Ceritasilat Novel Online

Sakit Hati Seorang Wanita 6


Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



Pada keesokan harinya, matahari telah naik tinggi ketika Louw Ti memasuki dusun Ang-ke-bun dan dia segera langsung menuju ke rumah besar baru seperti yang diterangkan oleh nona bangsawan itu. Jantungnya berdebar tegang ketika ia memasuki pekarangan rumah itu. Punggungnya menggendong sebuah buntalan besar. Dia merasa lega dan girang sekali melihat betapa rumah besar itu nampak sunyi, tidak ada orang lain.

   Ketika dia mengetuk pintu, yang membuka daun pintu adalah nona bangsawan itu sendiri. Nona itu nampak makin cantik jelita, dengan pakaian yang indah dan sungguh aneh sekali, Louw Ti merasa seolah-olah ia pernah mengenal nona ini. Bukan kemar in dulu ketika nona bangsawan itu datang ke rumahnya di kota raja, melainkan jauh sebelum itu. Dia pernah mengenal atau setidaknya bertemu dengan wanita ini.

   Akan tetapi dia lupa lagi kapan dan di mana. Akan tetapi, hati dan pikirannya segera dipenuhi oleh

   (Lanjut ke Jilid 06)

   Sakit Hati Seorang Wanita (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06

   rencana siasatnya dan dia tidak mau repot-repot tentang hal itu. Apalagi nona bangsawan itu sudah tersenyum sehingga nampak deretan gigi yang putih seperti mutiara dan rapi.

   "Ah, kiranya Louw-enghiong baru datang?"

   Tepat seperti yang direncanakan, Louw Ti memandang ke kanan kiri seolah-olah takut kalau-kalau kedatangannya diketahui orang.

   "Kudaku jatuh sakit di tengah jalan, nona, sehingga saya terpaksa berjalan kaki. Maaf, saya agak terlambat, akan tetapi saya berhasil membawa harta..... eh, ini sampai ke sini."

   Kembali ia memandang ke kanan kiri dan menahan katakatanya hendak menyebut harta pusaka.

   Nona bangsawan itu tersenyum.

   "Tidak usah khawatir, Louw-enghiong, di sini tidak ada orang lain hanya aku sendiri. Masuklah, aku girang bahwa engkau sudah berhasil membawa harta pusaka itu dengan selamat sampai ke rumah ini. Rumah ini masih kosong, karena masih baru dan belum ada pelayan. Besok pagi baru keluarga ayah datang bersama barangbarang dan pelayan."

   Bukan main girang rasa hati Louw Ti. Keadaan tempat ini sungguh tepat sekali untuk pelaksanaan siasatnya! Sunyi tidak ada orang lain kecuali mere ka berdua! Dia mengikuti nona itu masuk ke ruangan sebelah dalam dan dia melihat bahwa rumah ini memang besar, mempunyai banyak kamar.

   "Mari, silakan duduk dan berikan buntalan itu kepadaku, Louw-enghiong,"

   Kata nona itu setelah mereka tiba di ruangan sebelah dalam yang luas, di mana hanya ada beberapa buah kursi dan sebuah meja besar.

   Louw Ti merasa betapa jantungnya berdebar semakin kencang. Dia tidak pernah mengalami ketegangan seperti ini. Biasanya, biar ada maksud membunuh orang atau melakukan perbuatan apa pun, dia bersikap tenang saja. Akan tetapi entah mengapa, sekali ini dia merasa amat tegang dan buntalan itu mengeluarkan bunyi ketika dia letakkan di atas meja, tanda bahwa tangannya agak gemetar.

   "Nanti dulu, Siocia, Buntalan ini akan saya serahkan kepada nona kalau uang tanggungan saya berikut ongkos pengiriman yang lima puluh tail emas itu nona serahkan dulu kepada saya."

   Nona bangsawan itu tersenyum manis dan kembali Louw Ti seperti merasa pernah melihat mulut yang amat menggairahkan itu.

   "Ah, tentu saja, tunggu sebentar,"

   Kata nona itu dan saking tegang dan gembiranya, Louw Ti telah melupakan lagi perasaannya itu.

   Nona itu memasuki sebuah kamar dengan langkah berlenggang-lenggok amat menggairahkan dan pada saat itu Louw Ti menambah rencananya. Sayang kalau nona itu dibunuh begitu saja, pikirnya, sayang tubuh yang demikian indah, wajah yang demikian cantik! Malam tadi dia merencanakan untuk membunuh nona bangsawan ini, karena tidak ada seorang pun yang tahu bahwa nona ini berhubungan dengan dia, tidak ada yang tahu bahwa nona ini menyuruh dia mengirim harta pusaka itu. Kalau dia dapat membunuh nona itu dan melenyapkan mayat dan bekas-bekasnya, tentu dia akan selamat. Biarlah harta pusaka itu hilang dirampok orang.

   Setidaknya dia akan dapat memperoleh kem-bali rumahnya dan isinya, bahkan menerima pula upah lima puluh tail emas! Malapetaka yang menimpa dirinya akan berubah menjadi keuntungan! Dan kini, melihat wajah itu, melihat lenggang itu, dia menambahkan "perkosaan"

   Pada rencananya, akan memperkosa dulu nona bangsawan itu sepuasnya sebelum membunuhnya!

   Nona itu muncul kembali dari dalam kamar, membawa dua buntalan. Ia meletakkan dua buntalan di atas meja, lalu membuka dua buntalan itu. Mata Louw Ti bercahaya ketika dia melihat uangnya, uang tanggungan hasil penggadaian rumah, berada di buntalan besar, sedangkan di buntalan ke dua nampak berkilauan emas batangan lima puluh tail!

   "Nah, ini upah lima puluh tail emas, Louw-enghiong. Dan ini uang tanggungan-mu kukembalikan, di dalamnya sudah kusisipkan uang bunganya. Sekarang perlihatkan harta pusaka itu kepadaku, hendak kulihat apakah masih lengkap, sesuai dengan catatan ini."

   Tanpa bicara, Louw Ti mendorong buntalannya, mendekatkannya kepada nona itu. Buntalan dibuka dan nona itu terbelalak, lalu menatap wajah Louw Ti.

   "Louw enghiong, apa artinya ini?"

   Ia menuding ke arah tumpukan batu koral yang berada di dalam buntalan. Sepasang mata Louw Ti yang sejak tadi bersinar-sinar aneh itu kini mencorong dan wajahnya membayangkan kebengisan yang menyeramkan. Dia mendekati nona bangsawan itu dan menyeringai bengis.

   "Heh-heh, artinya bahwa engkau akan mati di tanganku dan tak seorang pun tahu apa yang telah terjadi di antara kita!"

   Setelah berkata demikian, dia menerjang ke depan dengan kedua lengan dipentang lalu menyambar ke depan seperti dua kaki depan harimau menubruk kelenci. Dia membayangkan bahwa sekali tubruk saja tentu dia akan dapat menangkap nona itu dan akan diperkosanya di situ juga sebelum dibunuhnya dan mayatnya akan dikubur di belakang rumah malam nanti setelah gelap.

   Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia melihat nona itu berkelebat ke samping dan tubrukannya mengenai tempat kosong! Nona ini telah mampu mengelak dari tubrukannya tadi dengan gerakan yang amat lincah! Dengan penasaran, Louw Ti lalu membalikkan tubuhnya dan menyerang lagi, lebih cepat dan dengan loncatan, menerkam ke depan. Dia sudah memperhitungkan bahwa nona itu tentu tidak akan mampu menghindarkan diri sekali ini, karena selain cepat, juga terkamannya itu kuat, dan kedua tangannya menyambar dari kanan kiri menutup jalan keluar bagi lawan.

   Akan tetapi untuk kedua kalinya dia kecelik karena tiba-tiba saja tubuh nona bangsawan yang kelihatannya lemah-lembut itu sudah berkelebat ke belakang. Tubrukannya luput dan nona itu sudah lenyap menghilang ke dalam sebuah kamar dan menutupkan daun pintunya dari dalam.

   "Ha-ha-ha, hendak lari ke mana kau? Ke dalam kamar? Haha-ha, kebetulan sekali!"

   Louw Ti tertawa, mengira bahwa calon korbannya itu melarikan diri ke tempat tidur.

   Dengan beberapa kali loncatan saja, dia sudah berada di depan pintu yang tertutup. Sekali menendang, daun pintu itu roboh dan dia pun meloncat ke dalam. Sebuah kamar kosong dan ada sebuah pintu tembusan ke be lakangnya. Dia menerjang pintu ini dan ternyata menembus ke sebuah lorong yang kosong pula. Louw Ti merasa penasaran, mencari-cari. Banyak kamar di kanan kiri lorong dan dia membuka daun pintu kamar-kamar itu satu demi satu, akan tetapi semua kamar itu ternyata kosong tidak ada isinya, belum ada perabot kamarnya dan nona bangsawan itu tidak nampak bayangannya.

   Terpaksa dia kembali ke ruangan tadi melalui kamar yang daun pintunya diruntuhkannya tadi dan..... di dekat meja di dalam ruangan itu kini telah berdiri seorang yang membuat jantungnya seperti berhenti berdenyut, seorang bertubuh semampai yang mengenakan pakaian serba hitam dan memakai topeng hitam pula, orang yang pernah merampas harta pusaka itu dan merobohkannya di kuil tua! Wajah Louw Ti yang hitam menjadi agak pucat dan dia merasa gentar sekali. Akan tetapi, orang itu berdiri di dekat meja dan dua bungkusan uang dan emas telah dikumpulkannya di atas meja di dekatnya.

   Jelaslah bahwa orang berkedok itu akan merampas pula dua bungkusan berharga itu. Dan habislah kesemuanya untuk dia! Rumahnya habis, tidak ada sepeser pun di sakunya, dan dia masih akan dituntut pula oleh nona bangsawan yang kini telah menghilang entah ke mana! Dan semua barang berharga itu telah dirampas deh orang berkedok yang berdiri di depannya ini. Orang inilah biang keladi kejatuhannya, semenjak mengganggu rumah hartawan yang dilindunginya. Orang inilah yang mencelakakannya! Teringat akan itu semua, Louw Ti menjadi sedemikian sakit hati dan marahnya sehingga dia mengeluarkan suara teriakan yang terdengar seperti gerengan seekor binatang buas dan dia pun sudah menerjang ke depan sambil melolos dan menggerakkan senjata cambuknya.

   Akan tetapi, Kim Cui Hong yang kini menjadi orang bertopeng hitam itu tidak mau membuang waktu seperti ketika ia melayani Louw Ti di kuil tua. Dengan gerakan aneh, tubuhnya menyelinap di bawah sinar cambuk dan tahu-tahu tangan kirinya sudah menangkap ujung cambuk itu, tangan kanannya menotok ke depan disusul kaki kanan yang menendang ke arah lutut kiri lawan. Serangan ini sangat cepat dan tak terduga-duga oleh Louw Ti. Dia mencoba untuk menarik kembali senjatanya, namun cambuk itu tak dapat terlepas dari pegangan tangan lawan, sedangkan tangan kanan lawan sudah menyambar dengan totokan ganas ke arah pergelangan tangan kanannya. Untuk menyelamatkan tangannya, terpaksa dia melepaskan cambuknya dan meloncat ke belakang menghindarkan tendangan lawan. Dalam segebrakan saja kini cambuknya sudah berpindah tangan.

   "Tar-tar-tar....!"

   Kini cambuk itu meledak-ledak dan menyambar-nyambar, seperti ular-ular mematuk ujung cambuk itu menyambar ke arah berbagai jalan darah penting di tubuh Louw Ti!

   Tentu saja orang ini terkejut dan sibuk sekali, berusaha mengelak, namun datangnya serangan cambuk yang bertubi-tubi itu terlampau cepat baginya sehingga akhirnya, dia pun terpelanting roboh dan tak mampu bergerak lagi karena jalan darahnya tertotok, seperti keadaannya malam tadi di kuil tua dalam hutan! Ia hanya rebah miring dan memandang dengan mata melotot tanpa dapat menggerakkan kaki tangannya yang menjadi lumpuh.

   Sinar matanya penuh kebencian kepada orang berkedok itu. Cui Hong memandang kepada korbannya melalui lubang di topengnya, sepasang matanya berkilat-kilat penuh dendam. Kemudian dia berkata.

   "Louw Ti, engkau jahanam keparat yang paling busuk di dunia ini, karena itulah maka aku hendak menghukummu sesuai dengan kejahatanmu."

   Karena sudah putus asa dan t idak berdaya, Louw Ti menjadi nekat.

   "Iblis keji, siapakah engkau?"

   Cui Hong mengeluarkan suara dengusan mengejek.

   "Hemm, engkau ingin melihat isterimu diperkosa di depan matamu, seperti yang sering kali kau lakukan? Engkau ingin melihat anak-anakmu dibunuh di depan matamu, seperti engkau membunuh mereka? Tunggu sebentar?"

   Dan Cui Hong lalu meninggalkan Louw Ti, memasuki sebuah kamar. Louw Ti tertegun dan diam-diam merasa ngeri. Orang berkedok itu kejam seperti binatang buas, jahat seperti iblis, dan dia tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh orang itu, ucapan yang membuat hatinya gelisah dan jantungnya berdebar penuh ketegangan.

   Tak lama kemudian orang berkedok ini muncul lagi dari dalam kamar itu dan Louw Ti merasa jantungnya seperti akan copot karena berdebar keras sekali ketika dia melihat isterinya dan dua orang anaknya berjalan di samping si kedok hitam itu!

   "Ayah.....!"

   Dua orang anaknya itu, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang usianya baru enam dan empat tahun, memanggilnya dan lari menghampirinya, lalu berlutut di dekat tubuhnya. Akan tetapi isterinya hanya berdiri saja memandang, dengan kedua mata berlinang air mata.

   "Louw Ti, inilah isteri dan anak-anakmu. Engkau tentu ingin melihat isterimu diperkosa orang, bukan oleh satu orang melainkan akan kudatangkan empat orang untuk memperkosanya, dan melihat anak-anakmu dibunuh di depan matamu, bukan?"

   Wajah yang hitam itu menjadi pucat. Dia mencoba untuk menggerakkan kaki tangannya namun tak berhasil.

   "Tidak...... tidak...., jangan ganggu mereka....."

   Dia meratap.

   "Hemm, di mana kekerasan hatimu? Di mana kekejamanmu? Engkau terlalu sering membunuh orang begitu saja, di depan mata orang-orang yang mencintanya, dan engkau selalu sering memper-kosa wanita, juga di depan orang-orang yang mencintanya. Kenapa sekarang engkau meratap agar isterimu jangan diperkosa di depan matamu dan anak-anakmu dibunuh di depan matamu?"

   "TIDAK.... jangan..,, ah, ampunkan mereka.... bunuh aku tapi jangan ganggu mereka...."

   "Hemm, enak saja bicara! Aku pun tidak sekejam engkau untuk melakukan semua itu di depan matamu, akan tetapi setidaknya engkau akan mendengarkan sendiri dengan kedua telingamu."

   Cui Hong lalu memegang kedua orang anak kecil itu. Dua orang anak itu meronta dan memanggil-manggil ayahnya, akan tetapi Cui Hong menarik tangan mereka, bahkan kini dibantu oleh isteri Louw Ti yang sejak tadi diam saja, hanya menitikkan air mata. Dengan paksa kedua orang anak itu diseret masuk ke dalam kamar yang tidak jauh dari ruangan itu.

   "Jangan....! Jangaaaannn....!"

   Louw Ti meratap, merintih dan berteriak. Akan tetapi semua Tatapannya tidak ada yang memperdulikannya. Akhirnya dia diam dan dengan mata terbelalak memandang ke arah kamar itu yang pintunya ditutup dari dalam, lalu terdengar isterinya menangis dan terdengar pula anak-anaknya menjerit dan menangis ketakutan! Dapat dibayangkan siksaan yang diderita batin Louw Ti di saat itu. Dia membayangkan betapa isterinya diperkosa orang sampai merintih-ritih dan menangis, membayangkan kedua anaknya disiksa dan dibunuh sampai menjerit-jerit ketakutan,

   "Jangan....! Ah, ampunkan mereka..... jangan....!"

   Dia berteriak-teriak akan tetapi teriakannya semakin lemah karena dia mengalami guncangan batin yang amat hebat.

   Membayangkan isterinya diperkosa orang dan anak-anaknya disiksa, tanpa mampu berbuat apa pun untuk menyelamatkan mereka, sungguh merupakan siksaan yang lebih hebat daripada siksaan badan. Akhirnya dia menangis mengguguk seperti anak kecil. Kini sunyi saja dari kamar itu. Tangis isterinya dan jerit anak-anaknya sudah berhenti.

   "Jangan-jangan mereka sudah mati...., pikir Louw Ti dan tangisnya makin mengguguk.

   Ketika daun pintu itu terbuka, Louw Ti menghentikan tangisnya, mengedip-ngedipkan matanya untuk mengusir air mata yang menghalangi pandang matanya, lalu memandang dengan melotot ke arah orang berkedok itu, yang keluar dari kamar dengan langkah seenaknya. Diakah yang memperkosa isteriku? Ataukah ada kawan-kawannya? Tentu dia yang telah membunuh anak-anakku. Sampai mati dia tidak akan melupakan ini. Dia harus mengenal orang ini agar kelak, kalau ada kesempatan, dia akan membalas dendam!

   "Binatang she Louw, sudah puaskah hatimu mendengar isterimu diperkosa orang dan anak-anakmu disiksa? Aku menyerahkan isterimu kepada orang-orang ku agar dipermainkan secara bergilir sampai mampus, dan juga membunuh anak-anakmu di luar dusun. Akan tetapi aku masih belum selesai dengan dirimu."

   Louw Ti yang merasa berduka, marah dan penuh kebencian itu kini sudah nekat dan lupa akan rasa takut.

   "Jahanam! Iblis keji! Siapakah engkau? Jangan menjadi pengecut dan perlihatkan mukamu kepada ku!"

   Tiba-tiba dari balik kedok itu terdengar suara ketawa halus dan disusul suara merdu seorang wanita, berbeda dengan suara si kedok hitam tadi yang seperti suara pria.

   "Tentu saja engkau akan mengenal aku."

   Dan orang itu lalu membuka kedoknya dan sepasang mata Louw Ti terbelalak lebar dan penuh keheranan ketika dia melihat bahwa muka di balik kedok itu adalah wajah cantik dari nona bangsawan tadi! Kini mengertilah dia. Si kedok hitam itu bukan lain adalah nona bangsawan itu pula. Seorang wanita! Dan demikian lihainya, dan demikian penuh dendam kepadanya sehingga mengatur siasat yang sudah direncanakan dengan rapi untuk menghancurkannya!

   "Kau....!!"

   Dia berseru dan habislah harapannya. Bagaimana wanita ini tidak akan berlaku kejam kepadanya? Baru saja dia hendak membunuhnya, bahkan hendak memperkosanya!

   "Ya, akulah si kedok hitam yang mengganggu para hartawan yang kaulindungi itu. Aku pula yang merampas harta pusaka yang dititipkan oleh nona bangsawan yang juga aku sendiri orangnya. Aku telah mengatur semua ini untuk menjatuhkanmu, untuk menghancurkanmu, Louw Ti!"

   "Tapi.... tapi..... mengapa engkau lakukan semua ini kepadaku? Siapakah engkau? Siapa namamu?"

   "Hemm, buka matamu lebar- lebar dan lihat siapakah diriku, Louw Ti."

   Kim Cui Hong lalu menghapus bedak yang menutupi tahi lalat di dagunya. Ia memang menyembunyikan tahi lalat itu, satu-satunya ciri pada mukanya, agar tidak dikenal oleh musuh-musuhnya sebelum saatnya tiba.

   "Buka matamu dan lihatlah baik-baik siapa aku!"

   Wanita itu mendekatkan mukanya dan sepasang matanya mencorong, penuh dengan api dendam.

   "Aku.... aku tidak mengenalmu...."

   Kata Louw Ti ragu-ragu. Memang kembali perasaan bahwa dia telah mengenal wanita ini timbul, akan tetapi dia tetap saja tidak dapat mengingatnya siapa wanita ini.

   "Siapakah engkau....?"

   Bibir yang merah basah dan indah bentuknya itu tersenyum.

   "Agaknya terlalu banyak sudah engkau menyiksa orang sehingga tidak dapat kau ingat kembali satu-satu. Namaku adalah Kim Cui Hong. Ingatkah engkau akan nama itu?"

   Louw Ti menggeleng kepalanya.

   "Tidak, aku tidak kenal...."

   Memang, waktu yang tujuh tahun lamanya itu telah terisi dengan pengalaman yang banyak sekali sehingga sukar baginya mengingat gadis ini yang sudah lama sekali dianggapnya mati dan tidak ada lagi di dunia ini, apa pula dengan kepandaian selihai itu!

   "Jahanam keparat, kenal atau tidak, engkau akan menerima pembalasanku!"

   Tiba-tiba dengan hati mendongkol sekali Cui Hong menggerakkan cambuk rampasannya tadi. Terdengar bunyi meledak dua kali dan ujung cambuk sudah mematuk dan menotok, membebaskan Louw Ti. Orang ini lalu menggerakkan kaki tangannya dan bangkit. Cui Hong melemparkan cambuk itu kepada pemiliknya.

   "Aku tidak mau menyerang orang yang tak berdaya. Nah, pergunakan senjatamu, dan pertahankan nyawamu!"

   Hati Louw Ti merasa gentar sekali. Baru se karang dia tahu apa artinya takut. Akan tetapi, dia teringat akan isteri dan dua orang anaknya. Mungkin dua orang anaknya telah tewas dan isterinya.. ... dia menelan ludah, isterinya telah diperkosa orang-orang secara bergantian, mungkin sudah mendekati maut lagi.

   Perempuan ini membalas dendam? Apakah dia pernah membunuh anak-anak perempuan ini? Rasanya tak mungkin karena ia masih begitu muda. Kalau begitu, memperkosanya? Memperkosanya secara bergantian? Banyak sudah perempuan yang pernah diperkosanya ketika dia masih menjadi jagoan dan tukang pukul, dan dia tidak ingat lagi pernah memperkosa gadis cantik ini. Isteri dan anak-anaknya sudah tewas, dia sudah jatuh miskin. Dia tidak memiliki apa-apa lagi. Pikiran ini mengusir rasa takutnya, bahkan mendatangkan kemarahannya dan tekad untuk melawan mati-matian, untuk sedapat mungkin membunuh wanita yang telah membuatnya sengsara ini.

   "Baik, kita mengadu nyawa!"

   Bentaknya marah. Dia menyambar cambuknya dan dengan gerengan seperti seekor singa terluka, dia pun menyerang Cui Hong dengan cambuknya. Cambuk itu meledak-ledak di atas kepalanya ketika diputar cepat dan meluncurlah cambuk itu turun ke arah kepala Cui Hong. Dalam keadaan nekad dan marah itu, Louw Ti yang memang lihai sekali menjadi semakin berbahaya. Dia nekad dan bernapsu sekali untuk membunuh lawan tanpa memperdulikan keselamatan dirinya sendiri.

   Dalam ilmu silat yang dipergunakan untuk berkelahi, seorang ahli silat hanya mengerahkan setengah bagian dari tenaga dan kepandaiannya untuk melakukan penyerangan, sedangkan setengahnya lagi untuk melindungi diri. Akan tetapi dalam keadaan nekad, Louw Ti mengerahkan seluruh tenaga yang ada padanya untuk menyerang tanpa memperdulikan pertahanan atau perlindungan diri, oleh karena itu serangan-serangannya amatlah dahsyat.

   Namun, pada waktu itu, tingkat Kepandaian Cui Hong sudah lebih tinggi dari tingkat kepandaian lawan. Gadis ini menang dalam segalanya. Menang tinggi ilmu silatnya, menang dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan menang pula dalam kekuatan sinkang (tenaga sakti). Maka, biarpun ia hanya bertangan kosong menghadapi cambuk yang diputar dengan cepat dan kuat itu, ia masih tenang saja dan mengandalkan ginkangnya untuk menyelinap di antara gulungan sinar cambuk yang tak pernah berhasil menyentuh tubuhnya.

   Sebaliknya, di dalam hati Cui Hong juga terjadi kebakaran! Api dendam dan kebencian menyala-nyala di dalam dadanya. Sambil mengimbangi kecepatan gerakan cambuk yang meledak-ledak, Cui Hong membayangkan peristiwa yang terjadi tujuh tahun lebih yang lalu. Masih nampak jelas di depan matanya ketika dia diperkosa oleh musuh-musuhnya, dan pada saat itu, selagi berhadapan dengan Louw Ti, yang terbayang adalah ketika Louw Ti memperkosanya dengan buas.

   Laki-laki bertubuh pendek tegap yang bermuka hitam ini, dahulu ketika memperkosanya, kelihatan amat menakutkan. Matanya yang lebar melotot merah dan Cui Hong yang ketika tiba giliran Louw Ti memperkosanya sudah lemah dan dalam keadaan setengah pingsan, merasa seolah-olah ia menjadi seekor domba yang dicabik-cabik dan di lahap seekor harimau buas. Hatinya kini merasa sakit bukan main dan kalau saja ia tidak teringat akan sumpahnya kepada gurunya, tentu akan dibunuhnya orang ini.

   "Tidak, aku tidak boleh membunuhnya ...."

   Katanya kecewa di dalam hatinya dan ia pun menekan kemarahannya agar jangan sampai kelepasan tangan membunuh lawan ini, kalau ia mau tentu pada saat itu ia akan mampu membunuh Louw Ti. Akan tetapi, kembali peristiwa yang lalu membayang di depan matanya, kini dilihatnya bayangan ayahnya dan suhengnya yang disiksa sampai mati oleh tiga orang jagoan itu, ialah Louw Ti, Koo Cai Sun, dan Gan Tek Un.

   "Wuuuuttt....!"

   Kaki kiri Cui Hong menyambar dahsyat, dengan kecepatan yang tak dapat diikuti oleh kecepatan gerakan Louw Ti.

   "Krekk....!"

   Louw Ti menjerit karena tendangan dahsyat yang dilepaskan Cui Hong dengan kemarahan meluap-luap ini tepat mengenai pergelangan tangan kanannya sehingga tulangnya patah dan kembali cambuknya sudah pindah ke tangan wanita cantik itu.

   "Tar.... tar....!"

   Cui Hong mengayun cambuk itu di atas kepala dengan sikap mengancam.

   Louw Ti menahan rasa nyeri di lengan kanannya, lalu dengan nekad dia menubruk maju, menggunakan tangan kirinya yang membentuk cakar, mencengkeram ke arah dada Cui Hong. Sebagai seorang jagoan berilmu t inggi, biar lengan kanannya sudah patah tulangnya dan tak dapat dipergunakan lagi, dia masih berbahaya.

   "Wuuuuttt.... tarrr.... singgg....!"

   Cambuk di tangan Cui Hong menyambar seperti kilat cepatnya, dengan amat kuat menyambut tangan kiri Louw Ti yang mencengkeram itu dan samping. Nampak sinar berkilat saking cepatnya cambuk itu menyambar.

   "Crokkk....!"

   Untuk kedua kalinya Louw Ti menjerit dan dia memandang terbelalak kepada lengan kirinya yang kini buntung karena cambuk itu membabat lengannya seperti sebatang pedang saja. Tangan kirinya putus sebatas pergelangan tangan dan terlempar jauh, dan dari lengan yang buntung itu bercucuran darah!

   Kini kedua tangan Louw Ti tak dapat dipergunakan lagi, yang kanan telah patah tulang lengannya yang kiri buntung. Hal ini membuat Louw Ti menjadi semakin nekad. Dia maklum bahwa dia takkan mampu menandingi gadis itu, maka dia tak takut lagi menghadapi kematian, apalagi kalau dia teringat bahwa isteri dan dua orang anaknya tentu akhirnya akan mati pula. Maka biarpun kedua tangannya sudah tak dapat dipergunakannya lagi, dia masih belum mau menyerah.

   "Perempuan iblis kejam!"

   Bentaknya sambil menyerang dengan tendangan bertubi-tubi, menggunakan kedua kakinya bergantian.

   Cui Hong mengelak ke sana-sini, mempermainkan.

   "Louw Ti jahanam busuk, orang macam engkau masih dapat memaki orang lain kejam?"

   Melihat kenekatan lawan, Cui Hong kembali mengayun cambuknya yang meluncur ke depan.

   "Tarrr....!"

   Louw Ti mengeluh dan menggerakkan kedua lengan yang sudah tak berdaya itu ke arah mukanya. Mata kirinya pecah oleh ujung cambuk dan berdarah.

   Ketika lengan kirinya yang buntung bercucuran darah itu digerakkan untuk menutup mukanya, muka itu pun berlumuran darah yang keluar dari mata kirinya dan dari lengan kiri yang buntung. Mengerikan sekali keadaan Louw Ti di saat itu, namun dia memiliki tubuh yang kuat. Biarpun kedua lengan sudah tak berdaya dan mata kirinya sudah menjadi buta, dia masih maju lagi dengan ganasnya, menyerang dengan tendangan-tendangan membabi buta. Kembali cambuk itu meledak-ledak dan tubuh Louw Ti kini roboh terpelanting karena kedua kakinya tak dapat dipakai untuk berdiri lagi. Tulang kering kaki kirinya patah-patah dan sambungan lutut kaki kanannya terlepas. Dia tidak berdaya lagi, hanya rebah sambil memandang wanita itu dengan mata kanan yang melotot. Mukanya penuh darah dan mulutnya mengeluarkan busa saking marahnya.

   "Iblis betina, bunuhlah, aku tidak takut mati!"

   Bentaknya penuh geram.

   Cui Hong sudah merasa puas dengan pembalasan dendamnya dan ia tersenyum sambil menggeleng kepala, memandang dengan sinar mata mengejek.

   
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku t idak akan membunuhmu, aku ingin melihat engkau menyesali hidup dan menyesali dosamu yang terkutuk!"

   "Perempuan iblis! Dosa apakah yang telah kulakukan kepadamu maka engkau berlaku sekejam ini, bahkan telah menyiksa dan membunuh isteri dan anak-anakku yang sama sekali tidak berdosa? Katakanlah agar aku tidak mati penasaran!"

   "Memang matamu buta sehingga engkau tidak mengenal aku, Louw Ti. Ingin aku membutakan kedua matamu, akan tetapi biarlah kutinggalkan sebuah agar engkau dapat melihat akibat dari perbuatanmu yang terkutuk. Namaku Kim Cui Hong tidak kauingat lagi, akan tetapi agaknya engkau tidak akan lupa kepada gadis puteri guru silat Kim di Dusun Ang-ke-bun itu, ketika si jahanam Pui Ki Cong dibantu oleh Thian-cin Butek Sam-eng membunuh guru silat Kim bersama seorang muridnya, kemudian mereka berempat itu secara biadab memperkosa dan menghina puteri guru silat Kim dan membuangnya di dalam hutan? Akulah puteri guru silat Kim itu!"

   Mata tunggal itu terbelalak, muka yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat. Kini teringatlah Louw Ti.

   "Kau.... kau.... gadis itu.... benar.... tahi lalat di dagumu itu.... ahhhh....!"

   Louw Ti memejamkan matanya yang tinggal sebuah seperti hendak mengusir peristiwa tujuh tahun yang lalu, yang kini kembali terbayang di dalam benaknya. Tentu saja dia teringat karena dia pun ikut pula memperkosa gadis yang sudah hampir mati itu, memperkosanya setelah gadis itu oleh Pui Ki Cong dihadiahkan kepada mereka bertiga, dia sendiri, Koo Cai Sun, dan Gan Tek Un, dipelopori oleh Koo Cai Sun yang memang suka sekali mempermainkan wanita cantik. Pantas saja gadis ini menyuruh orang-orang memperkosa isterinya sampai mati, kemudian menyuruh orang-orang menyiksa kedua anaknya sampai mati. Kiranya gadis yang mereka lempar dan tinggalkan di dalam hutan itu masih belum mati dan kini telah menjadi seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi bukan main!

   "Kau.... kau.... menjadi iblis betina yang kejam. Aku hanya memusuhi engkau, akan tetapi kenapa engkau membalas kepada anak isteriku pula yang tidak tahu apa-apa? Siksalah aku, bunuhlah aku, akan tetapi kenapa engkau menyiksa mereka?"

   Cui Hong tersenyum mengejek.

   "Manusia berhati binatang! Engkau lupa betapa kalian telah menyiksa dan membunuh ayahku dan suheng, juga tunanganku. Akan tetapi aku tidaklah serendah dan sekejam engkau."

   Cui Hong lalu melompat ke pintu dan membuka daun pintu tembusan itu.

   Keluarlah seorang wanita dan dua orang anak yang tadi dibawa ke dalam. Isteri Louw Ti itu masih berpakaian biasa, dan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia telah diperkosa orang! Dan dua orang anak-anak itupun dalam keadaan sehat-sehat saja, sama sekali tidak menderita cidera. Melihat Louw Ti rebah dengan berlumuran darah, isterinya dan kedua orang anaknya lalu lar i menghampiri dan menangisinya.

   Melihat mereka, Cui Hong merasa kasihan pula dan ia pun berkata, suaranya tenang dan jelas terdengar oleh isteri Louw Ti.

   "Seperti sudah kuceritakan kepadamu, Enci, suamimu ini telah melakukan dosa yang tak dapat diampuni terhadap diriku dan ayahku, juga tunanganku. Dia dan komplotannya tidak saja menyiksa dan membunuh ayah dan tunanganku yang sama sekali tidak berdosa, bahkan dia dan komplotannya itu memperkosa aku di depan mata ayah dan tunanganku sebelum membunuh mereka. Dia dan komplotannya telah memperkosa aku bergantian selama beberapa hari, kemudian karena mereka mengira aku mati mereka melempar aku ke dalam hutan dan meninggalkan aku. Aku sudah puas sekarang, membalas dendam kepadanya akan tetapi aku tidak membunuhnya."

   Diingatkan akan perbuatan suaminya yang sudah didengarnya dari Cui Hong, isteri Louw Ti berhenti menangis dan kini ia memandang wajah suaminya yang berlumuran darah. Di bawah ancaman Cui Hong, juga karena sudah mendengar penuturan gadis itu, ia tadi membantu Cui Hong dengan merintih dan menangis seperti orang diperkosa, dan anak-anaknya ditakut-takuti sehingga mereka pun menangis dan berteriak-teriak.

   "Benarkah semua yang diceritakan itu? Benarkah engkau dahulu melakukan i semua perbuatan terkutuk itu?"

   Tanyanya sambil bangkit berdiri.

   Louw Ti tak dapat menyangkal lagi. Tiada gunanya menyangkal. Dengan mata tunggalnya yang berkedip-kedip dia memandang anak isterinya seorang demi seorang, lalu berkata dengan suara lirih dan parau.

   "Benar.... semua benar...."

   Jawaban ini seperti memukul isterinya. Wanita itu cepat meraih dan memegang tangan kedua anaknya, ditariknya menjauh dari tubuh yang rusak itu seolah-olah takut kalau-kalau mereka akan ikut menjadi kotor.

   "Engkau memang manusia biadab! Aku sendiri pun dulu kau paksa menjadi isterimu, dengan menggunakan pengaruh uangmu dan kepandaianmu. ayahku takut menolak dan aku terpaksa menjadi isterimu. Aku berusaha untuk menyesuaikan diri, belajar mencinta ayah dari anak-anakku, akan tetapi.... kiranya engkau pernah melakukan hai yang sedemikian kejinya. Terkutuk kau! Aku tidak sudi menjadi isterimu lagi, aku tidak sudi melihat mukamu lagi!"

   Wanita itu menangis dan membalikkan diri, membelakangi suaminya.

   Cui Hong menyerahkan sebuah bungkusan kepada wanita itu.

   "Enci, terimalah uang ini untuk bekal hidupmu bersama anak-anakmu."

   Isteri Louw Ti menerima bungkusan itu yang berisi uang yang harganya seratus tail emas lebih, yaitu uang yang diterima Cui Hong dari Louw Ti sebagai uang tanggungan, hasil penggadaian rumah dan seisinya. Isteri Louw Ti menerima uang itu lalu mengajak pergi kedua orang anaknya, untuk pulang ke rumah orang tuanya dan selamanya tidak akan mau lagi bertemu dengan bekas suaminya itu.

   Melihat isteri dan anak-anaknya meninggalkannya, Louw Ti merasa gelisah bukan main. Dia sudah kehilangan segala-galanya, rumahnya dan seisi rumah, juga tubuhnya sudah cacat. Kalau sekarang isteri dan kedua orang anaknya meninggalkannya, bagaimana dia dapat hidup? Dia memanggil-manggil, meratap dan menangis, akan tetapi isteri dan anak-anaknya tidak memperdulikannya lagi sampai lenyap ke luar rumah. Cui Hong memandang dengan sinar mata penuh ejekan.

   "Nah, baru sekarang engkau merasakan akibat dari perbuatanmu terhadap diriku tujuh tahun yang lalu. Rumah ini hanya kusewa dari orang. Selamat tinggal, Louw Til"

   Cui Hong lalu meloncat keluar.

   Louw Ti kini menjerit-jerit dan menangis, akan tetapi tak lama kemudian terdengar dia tertawa bergelak, lalu menangis lagi. Kiranya pukulan batin lebih hebat daripada pukulan lahir baginya dan dia telah menjadi gila secara mendadak! Sesal kemudian memang tiada gunanya sama sekali. Penyesalan tidak akan mengubah seseorang dari wataknya yang sesat, karena penyesalan biasanya datang setelah akibat perbuatan itu menimbulkan kerugian bagi dirinya, kerugian lahir maupun batin.

   Jadi yang disesalkan bukanlah perbuatan pesatnya, melainkan akibatnya yang merugikan. Andaikata tidak ada akibat yang merugikan, penyesalan pun tidak akan ada, dan biasanya, kalau akibat yang merugikan itu sudah mereda dan t idak begitu terasa lagi, maka pengulangan perbuatan sesat itupun terjadilah! Yang penting bukan penyesalan, melainkan pengamatan setiap detik terhadap diri sendiri, setiap detik pada pengamatan apa yang kita pikirkan, ucapkan, lakukan.

   Pengamatan diri sendiri ini harus terjadi tanpa adanya "aku"

   Yang mengamati, karena kalau terdapat sang aku, tentu pengamatan ini akan menilai dan pengamatan itu pun akan menjadi miring dengan adanya pendapat-pendapat baik dan buruk, benar dan salah. Padahal, setiap penilaian adalah palsu karena si penilai tentu akan mendasari setiap penilaian dengan perhitungan untung rugi bagi diri sendiri. Jadi, tidak ada "aku"

   Yang mengamati, melainkan yang ada hanyalah pengamatan itu saja, perhatian sepenuhnya tanpa penilaian dari sang aku. Pengamatan inilah yang akan mengubah! Perubahan seketika pada saat itu juga, tanpa penyesalan, tanpa pamrih.

   Laki-laki itu berusia empat puluh tahun lebih. Mukanya yang bulat bersih tidak ada kumis atau jenggotnya selembar pun juga, agak putih dan mata itu bergerak-gerak lincah, mulutnya selalu tersenyum mengejek, akan tetapi seketika menjadi senyum ramah kalau ada wanita lewat berpapasan dengannya. Perutnya gendut dan pakaiannya serba mewah dan dari sutera mahal. Mukanya masih dibikin lebih putih dengan olesan bedak tipis, dan pakaiannya mengeluarkan bau wangi sekali, seolah-olah sebotol minyak wangi telah tumpah dan menyiram pakaiannya.

   Biarpun dia kelihatan seperti seorang laki-laki hidung belang tukang pelesir, dengan sinar mata membayangkan kecabulan dan mata keranjang, namun pria ini bukan seorang biasa, bukan sembarang orang. Dia adalah seorang jagoan yang memiliki ilmu silat tinggi! Dialah Koo Cai Sun, dan. seperti pembaca tentu masih ingat, Koo Cai Sun merupakan seorang di antara Thian-cin Bu-tek Sam-eng atau Tiga Jagoan Tanpa Tanding dari Thian-cin! Dialah seorang di antara tiga jagoan yang pernah membantu Pui Ki Cong, membunuh Kim-kauwsu dan Can Lu San, muridnya, dan memerkosa Cui Hong.

   Bahkan dalam perbuatan memperkosa Cui Hong, dialah yang menjadi pelopornya, karena di antara tiga orang jagoan itu, dialah yang berwatak paling mata keranjang dan suka sekali mempermainkan wanita cantik, baik secara halus mempergunakan pengaruh uang dan kepandaiannya, namun juga secara kasar dengan jalan mengancam dan memperkosa. Dan selama ini tidak ada orang berani menentangnya, karena selain dia sendiri lihai, juga semua buaya darat dan kaum penjahat adalah sahabat baiknya!

   Seperti juga Louw Ti, Koo Cai Sun tinggal di kota raja. Akan tetapi di antara mereka berdua jarang mengadakan perhubungan karena pekerjaan mereka memang berbeda. Louw Ti mempergunakan pengaruhnya untuk "melindungi"

   Para hartawan dengan imbalan jasa, juga kadang-kadang melindungi pengiriman barang-barang berharga dengan upah tinggi.

   Adapun Koo Cai Sun yang tinggal di tengah kota, membuka sebuah toko yang berdagang macam-macam senjata kuno yang dianggap sebagai pusaka-pusaka yang ampuh. Tokonya terkenal sekali dan dia memperoleh banyak keuntungan, menjadi kaya raya. Para pembesar di kota raja mengenalnya karena para pembesar itu suka membeli benda-benda kuno yang dianggap keramat dan bertuah, dan dalam hal mencarikan senjata-senjata kuno yang ampuh untuk para pembesar itu, Cai Sun amat pintar.

   Sejak dulu Cai Sun berwatak mata keranjang, tak boleh melihat wanita cantik. Mudah saja dia tergila-gila kalau melihat wanita cantik, dan celakanya, kalau dia sudah tertarik, tidak perduli wanita itu masih perawan, ataukah sudah janda, bahkan isteri orang, akan diusahakan agar jatuh ke dalam pelukannya. Dan setelah kini menjadi kaya-raya, kegemarannya akan paras cantik ini makin menjadi, sehingga terkenallah nama Koo Cai Sun sebagai seorang hartawan yang mata keranjang.

   Di dalam rumahnya, dia telah mempunyai seorang isteri dan tiga orang anak, dan di samping isterinya yang dianggapnya sudah tua, masih ada lagi empat orang isteri muda di dalam rumahnya. Namun, lima orang isteri di rumah ini masih belum cukup bagi Cai Sun. Dia masih berkeliaran ke luar rumah, mencari-cari mangsa baru dan setiap kali mendengar ada janda cantik tentu akan didatangi dan digodanya sampai dapat. Di samping itu, dia pun menjadi langganan rumah-rumah pelacuran yang paling terkenal di kota raja.

   Pada suatu hari, pagi-pagi pada saat matahari mulai naik, Koo Cai Sun meninggalkan sebuah rumah yang terletak di dekat sebuah jembatan. Rumah itu tempat tinggal seorang janda yang terpikat pula oleh rayuan Koo Cai Sun, seorang janda yang tidak muda lagi sudah empat puluh tahun lebih usianya, akan tetapi masih sexy dan genit. Cai Sun yang mata keranjang dan rakus akan wanita ini tidak melewatkan janda itu sehingga terjadilah hubungan di antara mereka, hubungan gelap tanpa menghiraukan kritik yang dilontarkan oleh anak-anak janda itu yang besar-besar, bahkan janda itu sudah mempunyai beberapa orang cucu! Tanpa mengenal malu, Cai Sun keluar dari rumah itu dalam keadaan yang agak kusut dan lesu, tidak seperti biasa dia selalu necis dan pesolek.

   Ketika dia tiba di jembatan itu, sesosok tubuh yang menggeletak di tepi jalan menarik perhatiannya. Bagi orang lain yang lewat di situ, tubuh yang menggeletak itu tidak diperdulikan, bahkan dengan jijik mereka membuang muka agar jangan terlalu lama memandang keadaan orang yang mengerikan itu. Keadaan laki-laki yang oleh umum dianggap sebagai seorang gelandangan yang terlantar ini memang mengerikan sekali. Tangan kirinya buntung dan ujung lengan sebatas pergelangan itu dibalut kain yang mulai kotor.

   Tercium bau yang busuk dan banyak lalat merubung balutan tangan buntung itu. Agaknya kedua kaki orang itu pun cacat karena ia menggeletak setengah rebah di tepi jembatan. Matanya yang kiri juga buta, biji matanya tidak ada dan pelupuknya masih memperlihatkan luka borok. Rambutnya awut-awutan dan pakaiannya compang-camping lagi kotor. Akan tetapi, Cai Sun terkejut dan menghampiri orang itu. Biarpun keadaan orang itu seperti gelandangan terlantar, dia masih dapat mengenal orang pendek muka hitam itu.

   "Louw Ti! Bukankah engkau Louw Ti....?"

   Tanyanya sambil berjongkok dan memandang penuh rasa kaget dan heran. Dia ingat bahwa sahabatnya ini telah menjadi seorang yang cukup kaya dan berhasil, tinggal di tepi kota raja. Kenapa kini berada di sini seperti seorang gelandangan dalam keadaan cacat seperti itu?

   Orang itu membuka mata tunggalnya memandang kepada Cai Sun, lalu tertawa ha-ha-he-he, kemudian menangis. Tahulah Cai Sun bahwa orang ini telah menjadi gila! Hai ini membuat dia menjadi semakin penasaran dan dipegangnya kedua pundak orang itu, diguncangnya agak keras.

   "Louw t Ti! Sadarlah! Aku Koo Cai Sun, sahabat baikmu!"

   Orang itu memang Louw Ti yang telah menjadi cacat dan gila setelah Cui Hong melampiaskan dendamnya kepada musuh besar ini. Dia memandang Cai Sun dan alisnya berkerut. Agaknya dia mulai ingat kepada wajah sahabatnya ini.

   "Koo Cai Sun? Ahhh, Koo Cai Su.... hu-hu-huuu....!"

   Dan dia pun menangis dan menjambak-jambak rambutnya.

   "Louw Ti! Tenangkanlah dan ceritakan apa yang telah terjadi? Kenapa engkau menjadi begini?"

   "Hu-hu-huuu.... Cai Sun.... hu-huuuuu, aku celaka.... habishabisan....."

   "Kenapa? Apa yang terjadi? Kenapa kau tinggalkan rumahmu....?"

   "Aku tidak punya rumah lagi, isteri dan anak-anakku pergi semua.... aku.... aku...."

   "Kenapa? Dan engkau cacat seperti ini! Siapa yang melakukan hal ini terhadap dirimu, Louw Ti?"

   "Cui Hong.... ia Kim Cui Hong, anak guru silat Kim dari Angke-bun itu.... ia gadis bertahi lalat di dagunya yang kita. perkosa dulu.... ha-ha-ha, ia hidup lagi, ia lihai dan aku disiksanya..... ha-ha-ha, engkau pun tentu dicarinya. Cai Sun.. .... ha-ha-ha...."

   Setelah tertawa-tawa, Louw Ti menangis lagi. Wajah Louw Ti menjadi pucat seketika Dan dia pun melompat berdiri memandang ke sekeliling, seolah-olah takut kalau-kalau gadis itu muncul di situ. Tentu saja dia teringat.

   Gadis manis itu! Gadis yang dimusuhi oleh Pui-kongcu di Thian-cin, kemudian ayah dan tunangan gadis itu dibunuhnya bersama dua orang temannya, yaitu Louw Ti dan Gan Tek Un, dan gadis itu diperkosa habis-habisan sampai disangka mati. Pertama oleh Pui-kongcu tentu saja, kemudian dioperkan kepada mereka bertiga, dan setelah memperkosanya sampai sepuasnya, mereka lalu melemparkan tubuh gadis itu di tengah hutan. Gadis itu kini menjadi lihai sekali dan membalas dendam?

   "Huh, takut apa menghadapi seorang gadis saja?"

   Hatinya membantah dan mencela diri sendiri. Akan tetapi dia memandang Louw Ti dan bergidik. Dia tahu bahwa ilmu kepandaian Louw Ti cukup tinggi, tidak lebih rendah dari kepandaiannya sendiri, terutama ilmu cambuknya yang lihai. Dan kini Louw Ti dibikin cacat seperti itu oleh gadis itu.

   "Hemm, jelas bahwa gadis itu tentu merupakan lawan berbahaya,"

   Pikirnya. Dia harus cepat menemui Pui Ki Cong yang juga tinggal di kota raja, karena kalau gadis itu hidup lagi, menjadi lihai dan membalas dendam, tentu bukan hanya Louw Ti saja yang disiksa seperti itu, melainkan gadis itu tentu akan mencari dia pula, dan tentu saja Pui Ki Cong! Gan Tek Un tidak tinggal di kota raja dan ada sesuatu yang membuat Cai Sun segan untuk menyampaikan berita mengejutkan tentang Louw Ti dan gadis bertahi lalat di dagunya itu kepada Tek Un. Bekas sahabatnya itu kini telah menjadi seorang pendeta! Dan telah condong bergaul dengan para pendekar, bahkan kabarnya Gan Tek Un yang telah menjadi pendeta itu kini berpihak kepada para pendekar, menentang golongan hitam! Biar lah gadis itu mencari dan menemukan Tek Un dan menyiksanya, pikirnya. Akan tetapi dia harus mencari Pui Ki Cong, berunding dan bersama-sama mencari daya upaya dan persiapan untuk menghadapi gadis itu kalau-kalau benar-benar gadis itu akan datang mencari mereka!

   Cai Sun tidak jadi pulang melainkan langsung saja dia pergi mengunjungi gedung tempat tinggal Pui Ki Cong. Seperti telah kita ketahui, Pui Ki Cong adalah putera kepala jaksa Thian-cin. Kini usianya sudah tiga puluh tujuh tahun dan dia menikah dengan puteri seorang bangsawan di kota raja, masih kerabat keluarga kaisar. Karena ayah mertuanya adalah seorang pejabat tinggi di istana, maka Pui Ki Cong dengan mudah memperoleh kedudukan pula sebagai seorang pejabat tinggi di bagian perpajakan.

   Kedudukannya itu membuat dia mudah mencari uang haram dan membuat dia menjadi kaya raya dan terhormat. Dia tinggal di sebuah gedung yang terjaga oleh pasukan pengawal, hidup bersama isterinya yang bangsawan dan telah mempunyai seorang putera yang berusia empat tahun. Seperti juga Cai Sun yang mata keranjang, Pui Ki Cong setelah berkeluarga tidak pula meninggalkan kesenangannya itu, dan karena memiliki kesenangan yang sama, keduanya gemar mengejar paras cantik, maka selalu terjalin hubungan dekat antara Pui Ki Cong dan bekas pembantunya itu.

   Akan tetapi, sudah sebulan lebih Cai Sun tidak pernah berjumpa dengan bekas majikannya yang kini tidak pernah nampak keluar ke tempat pelesir, dan tentu saja amat heranlah hati Cai Sun ketika berkunjung ke rumah Pui Ki Cong, dia ditahan oleh para penjaga. Penjagaan di gedung itu amat ketat, nampak belasan orang pengawal berjaga dengan senjata tombak dan golok di tangan. Para pengawal itu tentu saja mengenal Cai Sun yang sudah sering datang berkunjung, akan tetapi pada pagi hari itu, mereka menahan Cai Sun dan tidak diperbolehkan dia langsung masuk.

   "Eh? Apakah kalian tidak mengenalku lagi? Aku adalah Koo Cai Sun, sahabat baik tuan muda Pui Ki Cong!"

   "Maaf, kami harus melaporkan dulu setiap orang tamu yang hendak berkunjung kepada majikan kami,"

   Kata kepala penjaga.

   Terpaksa Cai Sun menunggu dengan hati yang tidak enak, dan kepala jaga lalu pergi melapor ke dalam. Tidak lama kemudian, kepala jaga itu datang lagi dan Cai Sun dipersilakan masuk, akan tetapi diantar atau dikawal oleh dua orang pengawal! Hal ini merupakan hal baru baginya, akan tetapi walaupun merasa penasaran, terpaksa dia pun diam saja dengan hati mendongkol karena dia hanya seorang tamu yang harus tunduk akan peraturan tuan rumah.

   Cai Sun merasa lebih heran lagi melihat kenyataan betapa di gedung besar itu pun nampak penjagaan yang ketat. Hampir di setiap sudut terdapat seorang pengawal berjaga. Ketika akhirnya dia disambut oleh Pui Ki Cong, dia memandang dengan kaget. Tidak berjumpa dengan bekas majikan itu sebulan saja, kini Pui Ki Cong nampak kurus dan pucat, pada matanya terbayang kegelisahan. Cai Sun memandang penuh selidik. Putera kepala jaksa di Thian-ciri itu memang masih nampak tampan dengan pakaian yang mewah, akan tetapi tubuhnya yang memang sudah tinggi kurus itu kini kelihatan semakin kurus dan mukanya yang tampan agak pucat seperti orang yang baru sembuh dari penyakit berat.

   "Pui-kongcu, ada terjadi hal apakah?"

   Cai Sun bertanya, hatinya merasa semakin tidak enak karena langsung saja dia menghubungkan keadaan sahabatnya itu dengan keadaan Louw Ti yang mengerikan.

   "Rumahmu penuh dengan pengawal, dan engkau nampak begini kurus dan pucat."

   Pui Ki Cong menarik napas panjang.

   "Duduklah, Toako, kebetulan sekali kau datang karena memang aku sebetulnya ingin bertemu dan bicara denganmu."

   Semakin tidak enak rasa hati Cai Sun ketika dia duduk berhadapan dengan bekas majikan itu.

   "Pui-kongcu, katakanlah kepadaku, ada urusan apakah yang membuatmu nampak begini gelisah?"

   "Urusan Ayahku...."

   "Ayahmu? Ah, apa yang terjadi dengan Pui-taijin?"

   Cai Sun masih pura-pura bertanya, padahal tentu saja dia sudah mendengar akan peristiwa yang menimpa diri Jaksa Pui di Thian-cin itu. Dia sudah mendengar betapa Jaksa Pui itu kini masuk penjara karena dianggap memberontak dan kesalahan terhadap pembesar atasannya.

   "Koo-toako, jangan kau pura-pura lagi. Semua orang sudah mendengar akan apa yang terjadi dengan Ayahku."

   Kata Ki Cong sambil memandang tajam dengan alis berkerut.

   Wajah Cai Sun menjadi agak merah dan dia pun mengangguk.

   "Memang sesungguhnya saya sudah mendengar berita angin bahwa Pui-taijin tertimpa musibah dan dihukum penjara oleh atasannya."

   "Tahukah engkau apa yang telah terjadi sehingga Ayahku tertimpa musibah seperti itu?"

   Cai Sun menggeleng kepalanya.

   "Saya tidak tahu, Kongcu, dan saya tidak berani mencampuri....."

   "Dengar baik-baik, Toako, karena dalam urusan ini, engkau pun terlibat. Baru beberapa hari kemudian setelah ayah dipenjara, aku sempat berkunjung dan bertemu dengan ayah di dalam penjara. Ayah menceritakan semua yang telah terjadi dan ternyata bahwa ayah masuk penjara karena fitnah. Ada orang menukar batu-batu permata yang oleh ayah diberikan kepada Kwa Taijin dengan batu-batu biasa. Batu-batu permata yang amat mahal harganya itu lenyap dicuri orang dan ditukar dengan batu-batu koral. Dan bukan itu saja, malam harinya ada orang mencuri cap kebesaran Kwa Taijin dan menyembunyikannya di dalam kamar ayah sehingga ketika diadakan penggeledahan, cap kebesaran yang hilang itu ditemukan di kamar ayah."

   "Ahhh....! Aneh sekali!"

   Kata Cai Sun.

   "Siapakah yang melakukan fitnah keji itu, Kongcu?"

   Pui Ki Cong menatap tajam wajah yang bulat itu.

   "Kootoako, coba kau terka, siapa kiranya orang yang mencelakakan Ayah itu?"

   Cai Sun merasa betapa jantungnya berdebar kencang, bulu tengkuknya meremang karena dia merasa ngeri sekali.

   "Ia.... ia.... bukankah ia puteri Kim-kauwsu yang bernama Kim Cui Hong itu....?"

   Kini Pui Ki Cong yang terkejut bukan main. Dipegangnya lengan Cai Sun dan dengan suara gemetar dia bertanya.

   "Kootoako, bagaimana engkau dapat menduga begitu?"

   Cai Sun menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang terlanda rasa takut.

   "Ceritakanlah dulu apa dugaanku itu benar, Kongcu."

   Ki Cong mengangguk.

   "Ayah sendiri tadinya tidak tahu siapa yang telah melakukan fitnah keji terhadap dirinya, akan tetapi ketika dia berada di dalam kamar tahanan, surat ini melayang kepadanya. Kau baca sendiri!"

   Ki Cong menyerahkan selembar surat kepada Cai Sun yang membacanya dengan muka pucat dan kedua tangan agak gemetar.

   "Kepala Jaksa Pui, kami mengucapkan selamat kepadamu!"

   "Mendiang guru silat Kim Siok sekeluarga."

   Keringat dingin memenuhi muka dan leher Cai Sun yang gemuk itu ketika dia mengembalikan surat itu kepada Pui Ki Cong.

   "Tak salah lagi, tentu ia yang menulisnya...."

   "Koo-toako, ia siapakah? Bicaralah yang jelas!"

   "Kongcu, lupakah engkau akan gadis remaja puteri guru silat Kim Siok dari dusun Ang-ke-bun itu? Gadis manis yang bertahi lalat di dagunya? Kita..., kita telah membunuh ayahnya dan tunangannya dan kita..... kita telah memperkosanya...."

   Pui-kongcu mengangguk-angguk dan meraba-raba dagunya, mengenangkan peristiwa tujuh tahun yang lalu. Tentu saja kini dia teringat akan semua itu. Seorang gadis manis yang angkuh dan galak sehingga dia pernah menerima tamparan tangan gadis itu. Akan tetapi dia telah membalas sakit hatinya sampai sepuasnya, bukan hanya membunuh ayah dan tunangan gadis itu, melainkan juga memiliki tubuh gadis itu sampai sepuasnya, selama tiga hari dia mempermainkan gadis itu sampai menjadi bosan. Dia lalu memberikan gadis itu kepada Thian-cin Bu-tek Sam-eng.

   "Tapi, bukankah ia telah kalian bawa pergi dan kalian bunuh....?"

   "Itulah kecerobohan kami, Kongcu. Kami melemparkan ia di dalam sebuah hutan, dalam keadaan hampir mati dan kami yakin bahwa binatang buas tentu akan membunuhnya. Akan tetapi ternyata ..... ah, ia hidup kembali dan agaknya hendak membalas dendam kepada kita semua."

   "Tidak perlu takut! Sebaiknya kita menghubungi saudara-saudara Gan Tek Un dan Louw Ti untuk bersama-sama menghadapi gadis itu. Masa kita harus takut menghadapi seorang anak perempuan seperti anak guru silat itu! Kalau ia terjatuh ke tanganku, sekali ini akan kupermainkan ia sampai mati di depan mataku sendiri!"

   Ki Cong berkata dengan gemas.

   "Kongcu, Louw Ti..... Louw Ti.... dia... dia...."

   Melihat sikap Cai Sun seperti orang ketakutan, Ki Cong memandang dengan alis berkerut.

   "Ada apa dengan Louw Ti?"

   "Celaka, Kongcu, dia.... dia.... ah, gadis itu telah turun tangan terhadap Louw Ti. Karena itulah saya datang menemui Kongcu. Baru saja di jembatan sana, saya bertemu dengan seorang gelandangan gila yang tubuhnya penuh cacat, dan dia adalah Louw Ti! Dia kehilangan segala-galanya, hartanya, rumahnya, anak isterinya dan tubuhnya sendiri cacat, bahkan dia telah menjadi gila, semua itu adalah perbuatan Kim Cui Hong, gadis puteri guru silat Kim di Ang-ke-bun itu!"

   "Ahhh....?"

   Wajah Ki Cong menjadi semakin pucat.

   "Tapi..... tapi..... bukankah Louw Ti memiliki ilmu kepandaian yang tinggi? Bagaimana mungkin gadis itu dapat membikin dia cacat?"

   Cai Sun menggeleng-geleng kepala.

   "Entahlah, Kongcu, ketika Louw Ti masih mampu bercerita, dia berkata bahwa gadis itu kini lihai bukan main."

   "Mari kita temui dia, aku ingin mendengar sendiri ceritanya."

   Kata Ki Cong, mengajak Cai Sun untuk keluar.

   "Nanti dulu, Kongcu..."

   Cai Sun berkata dan ternyata mukanya yang bulat itu selain pucat juga penuh keringat dingin. Mendengar betapa gadis puteri guru s ilat Kim itu juga sudah menjatuhkan dendamnya terhadap Jaksa Pui, dia menjadi semakin gentar.

   Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Agaknya.... tidak amanlah kalau kita berdua pergi keluar.... bagaimana kalau ia muncul?"

   Mendengar ucapan ini, Ki Cong terkejut. Tak disangkanya Cai Sun demikian berubah. Sikap jagoannya hilang dan kini dia menjadi seorang penakut. Dia tidak tahu bahwa memang demikianlah watak orang yang suka bersikap kejam, seorang jagoan atau tukang pukul. Seorang tukang pukul bersikap kejam dan pemberani kalau menghadapi lawan yang sekiranya dapat ditundukkan. Akan tetapi begitu berhadapan dengan lawan yang lebih kuat, nampaklah wataknya yang sebetulnya. Dia seorang pengecut, seorang penakut yang hendak menyembunyikan rasa takutnya di balik kekejaman terhadap pihak yang lebih lemah.

   Karena Cai Sun, bekas jagoannya itu memperlihatkan sikap takut-takut, Ki Cong juga menjadi gentar dan dia lalu memer intahkan sepasukan pengawal yang terdiri dari be lasan orang untuk mengawalnya keluar rumah bersama Cai Sun. Dengan adanya pasukan ini, besarlah hati Cai Sun dan dia pun melangkah dengan gayanya di samping Ki Cong, dengan sikap seolah-olah dia yang melindungi putera bekas jaksa Thian-cin itu!

   Mereka menemukan Louw Ti yang kini sudah meninggalkan jembatan dan berusaha sedapatnya untuk pergi dari situ. Ki Cong memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia pun mengenal Louw Ti, akan tetapi Louw Ti sekarang telah menjadi seorang yang cacat lahir batinnya. Mata kiri orang itu buta, tangan kiri buntung, tangan kanan tergantung seperti lumpuh, jalannya pun terpincang-pincang, kaki kanan pincang, kaki kiri diseret. Keadaan orang itu sungguh menyedihkan dan mengerikan. Dia tertawa-tawa, lalu menangis dan ketika melihat rombongan Pui Ki Cong menghampirinya, tiba-tiba dia terbelalak dan berteriak,

   "Jangan.... ah, jangan bunuh mereka..... ampunkan aku....!"

   Dan dia pun melarikan diri sambil terpincang-pincang menyeret kakinya.

   Wajah Ki Cong menjadi semakin pucat melihat keadaan Louw Ti. Juga Cai Sun mengikut i lar inya bekas rekan itu dengan hati penuh kegelisahan dan kengerian membayangkan betapa nasib seperti itu mungkin akan menimpa dirinya.

   "Tidak!"

   Tiba-tiba dia membentak marah dan mengepal tinju tangan kanannya, mengacungkan ke atas.

   "Aku akan melawannya, aku akan membunuh perempuan iblis itu!"

   "Tenanglah, Koo-toako. Sungguh menyedihkan se kali nasib Louw-toako. Mari kita kembali, kita harus membicarakan urusan ini dan mengambil langkah-langkah demi keselamatan kita."

   

Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini