Sepasang Rajah Naga 11
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
"Wong Cin? Ah, tentu saja kami mengenal nama itu! Siapa yang tidak mengenalnya? Orang seluruh dusun Tong-Sin-Bun ini tentu mengenalnya karena Wong Cin adalah Wong-Chungcu (Kepala Dusun Wong)."
Berdebar rasa jantung Sin Cu mendengar keterangan itu. Ayahnya seorang kepala dusun?
"Dia-dia kepala dusun di sini, Paman?"
Tiba-tiba sikap petani itu berubah, alisnya berkerut dan wajahnya membayangkan rasa tidak suka ketika dia menatap wajah Sin Cu.
"Benar, dia kepala dusun di sini dan kalau engkau merupakan sanak keluarga atau sahabatnya, maafkan kami, terpaksa kami tidak dapat menerimamu bermalam di gubuk kami ini!"
Tentu saja Sin Cu menjadi kaget bukan main.
"Akan tetapi, kenapa, Paman?"
"Jawab dulu, orang muda. Siapakah engkau ini? Apakah masih ada hubungan sanak keluarga ataukah sahabat dari Wong Chungcu?"
Untuk memancing keterangan orang itu, Sin Cu menggeleng kepala. Apa lagi, dia belum yakin benar bahwa kepala dusun Wong Cin itulah Ayah yang dia cari-cari.
"Bukan apa-apanya, Paman. Akan tetapi mengapa Paman tampaknya membEnci kepala dusun itu? Orang macam apakah dia?"
"Orang macam apa? Semua orang di dusun ini tahu belaka orang macam apa adanya Kepala Dusun Wong Cin. Dia sewenang-wenang mempergunakan kekuasaan dan kedudukannya untuk memaksakan kehendak, memeras rakyat di dusun ini, menerima sogokan dari orang kaya dan menekan yang miskin, menyita sawah ladang dengan alasan untuk membayar pajak, bahkan suka merampas anak gadis dan isteri orang! Dia mata keranjang dan jahat sekali! Itulah macamnya Wong Cin yang Kau tanyakan!"
In Cu terkejut bukan main. Untung cuaca mulai gelap di senja hari itu dan penerangan dalam rumah itu belum dinyalakan sehingga tuan rumah dan isterinya tidak melihat betapa wajahnya menjadi pucat sekali.
"Ah, begitukah, Paman? Berapakah usianya?"
"Hemm, usianya tidak berselisih banyak denganku, sedikitnya tentu sudah berusia lima puluh tahun, akan tetapi penampilannya seperti orang muda saja."
"Dan isterinya? Anak-anaknya?"
"Isterinya ada lima orang, akan tetapi malam ini akan bertambah lagi seorang! Dia tidak mempunyai anak. Agaknya orang seperti itu memang dikutuk oleh Thian sehingga tidak dikaruniai seorang anakpun,"
Kata petani itu dengan nada suara penuh kebEncian.
"Agaknya Paman amat membEncinya. Mengapa, Paman? Apa yang telah dia lakukan terhadap Paman sekeluarga?"
Tiba-tiba saja isteri petani itu menangis sedih dan petani itu sendiri mengepal tangan dan menghela napas panjang.
"Setahun yang lalu, kepala dusun terkutuk itu ingin mengambil anak gadis kami sebagai isteri muda. Anak kami tidak mau, terpaksa kamipun tidak dapat memaksanya. Akan tetapi Lurah Wong membawa jagoan-jagoannya datang ke sini dan memaksa anak gadis kami untuk pergi ke rumahnya. Mereka menangkap dan menyeret anak kami tanpa kami dapat berbuat sesuatu. Ketika kami mencoba untuk mencegahnya, kami bahkan dipukuli para jagoan itu. Dan pada keesokan harinya, kami mendapatkan anak gadis kami telah mati menggantung diri di rumah Lurah Wong yang mengirim kembali anak kami yang telah menjadi mayat itu kepada kami. Agaknya anak gadis kami itu membunuh diri setelah dinodai oleh si keparat itu."
"Terkutuk...!"
Sin Cu berseru dan hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk! Ayahnya, Ayah kandungnya, melakukan kejahatan seperti itu? Akan tetapi dia teringat akan keterangan petani itu bahwa etani itu bahwa Lurah Wong Cin ini tidak mempunyai anak!
"Paman?, Benarkah dia tidak mempunyai anak,?"
Tanya Sin Cu.
"Sepanjang pengetahuan kami, dia tidak mempunyai anak. Entah kalau di luaran dia rnempunyai anak, Siapa tahu tentang rahasia kehidupan orang semacam itu!"
"Sudahlah, suamiku. Jangan bicara lebih banyak tentang manusia iblis itu. aku muak mendengarnya!"
Kata isteri petani itu sambil menghapus air matanya. Sin Cu tidak dapat lagi menahan gelora hatinya.
"Paman, di mana rumah Lurah Wong Cin itu?"
"Kau... Kau mau apakah, orang muda?"
"Aku mau menghajarnya, kalau benar dia sejahat seperti yang Paman ceritakan tadi."
"Ah, hati-hatilah, orang muda. Dia mempunyai banyak jagoan. Ada belasan orang tukang pukulnya yang galak-galak dan tangguh."
"Aku tidak takut, Paman. Tunjukkan di mana rumahnya?"
"Mudah saja,mendapatkan rumahnya,Kau dengar suara musik itu? Rumahnya berada di sebelah barat itu. Dia sedang mengadakan pesta pernikahannya dengan isterinya yang ke enam pada malam ini.
dia sedang mengadakan pesta perayaan itu."
Petani itu berhenti bicara karena Sin Cu sudah mengambil pedangnya dari buntalan, kemudian menggantung pedang itu di punggungnya dan sekali dia berkelebat, dia telah keluar dari dalam rumah itu, diikuti pandang mata terbelalak dari petani dan isterinya.
Dengan hati panas Sin Cu berjalan cepat menuju ke barat dan memang mudah mencari rumah yang sedang berpesta itu. diluar pekarangan rumah itu terdapat banyak orang dusun dan kanak-kanak yang menonton perayaan. Mereka tidak diundang, maka hanya dapat nonton orang berpesta di lapangan depan. Sin Cu menyelinap di antara para penonton. Dari luar dia dapat melihat jelas kedalam.
Para tamu, tidak banyak jumlahnya, kurang lebih seratus orang, duduk di ruangan depan. Agak ke dalam duduklah sepasang mempelai. Seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi agak bongkok dengan kumis melintang, berpakain mewah dan tersenyum-senyum, di samping seorang wanita muda, paling banyak delapan belas tahun usianya, cantik dalam pakaian pengantin yang kemerahan, akan tetapi wanita itu menunduk dan menangis. Para pemain musik berada di sebelah kiri dan tak jauh dari tempat duduk pengantin, terdapat belasan orang yang tampak bersikap gagah dan congkak, dengan senjata golok tergantung di punggung masing-masing. Itulah agaknya para jagoan yang menjadi tukang pukul Lurah Wong Cin. Membayangkan laki-laki bongkok yang menyeringai senang itu sebagai Ayahnya, Sin Cu menggigit Bibirnya karena kembali jantungnya seperti ditusuk rasanya.
Dia tidak dapat menahan diri lagi dan cepat dia melangkah memasuki pekarangan dan ruangan depan. Melihat masuknya seorang pemuda, para petugas yang menyambut tamu mengira bahwa Sin Cu seorang tamu yang terlambat datang. Tiga orang petugas sudah bangkit menyambut, akan tetapi dengan kedua tangannya, Sin Cu mendorong mereka minggir dan dengan langkah lebar dia terus menghampiri ke dalam, ke arah dua pengantin itu duduk. Ketika para jagoan melihat seorang pemuda yang membawa pedang di punggungnya menghampiri tempat duduk pengantin, mereka serentak bangkit berdiri dan menghadang. Jumlah mereka ada lima belas orang, rata-rata bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis. Seorang yang berjenggot panjang, agaknya pernimpin para jagoan itu, menghadapi Sin Cu dan menegur dengan suara galak.
"Kalau anda seorang tamu, persilakan duduk di ruangan depan bersama para tamu lainnya."
Sin Cu bersikap tenang dan berkata,
"Aku ingin memberi selamat dan bicara dengan pengantin pria. Apakah tidak boleh aku memberi selamat?"
Para tukang pukul itu menjadi ragu dan pada saat itu, pengantin pria yang mendengarkan ucapan itu berkata,
"Minggirlah kalian dan biarkan orang muda itu bicara padaku.!"
Wong Cin, pengantin itu, berada dalam suasana gembira memperoleh isteri ke enam yang masih muda dan cantik. Mendengar daa tamu hendak memberi ucapan selamat, tentu saja dia siap menyambutnya. Para tukang pukul itu minggir akan tetapi mereka bersiap siaga menjaga keamanan di situ. Sin Cu melangkah maju dan berdiri dalam jarak tiga meter dari sepasang mempelai, terhalang meja. Dia menatap wajah mempelai pria itu dengan pandang mata penuh selidik, sebaliknya Wong Cin juga memandang pernuda itu dengan sinar mata heran karena dia merasa tidak mengenal tamu ini.
"Apakah engkau yang bernama Wong Cin?"
Tanya Sin Cu dan suaranya agak gemetar karena tegang. Tentu saja Wong Cin semakin heran mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang aneh. Kalau pemuda ini datang sebagai tarnu, mustahil tidak tahu bahwa dia adalah Wong Cin, pengantinnya.
"Benar, aku Wong Cin yang hari ini merayakan pernikahanku. Engkau siapakah, orang muda?"
Kini dengan suara mengandung penuh perasaan dan teguran Sin Cu bertanya,
"Kalau engkau Wong Cin, apakah engkau tidak ingat kepada isterimu Su Leng Ci dan anakmu Wong Sin Cu?"
Sambil berkata demikian, pandang matanya demikian tajam seolah hendak menjenguk isi hati pria yang berpakaian pengantin itu. Wong Cin mengerutkan alisnya dan matanya terbelalak, heran dan marah.
"Omongan apa yang Kau ucapkan ini? Aku tidak mengenal nama-nama itu. Apa maksudmu dengan mengatakan mereka itu isteri dan anakku? Aku tidak mempunyai isteri dan anak itu!"
Legalah hati Sin Cu, seolah-olah batu berat yang menindih hatinya terangkat. Dia tersenyum gembira.
"Sukurlah kalau engkau bukan Wong Cin yang kucari, karena Wong Cin yang kucari adalah seorang laki-laki yang bijaksana dan berbudi baik, bukan seperti engkau ini lurah yang korup dan sewenang-wenang, lurah yang mata keranjang dan hidung belang!"
Tentu saja Lurah Wong Cin terkejut dan marah bukan main mendengar ucapan itu. Juga mereka yang mendengar ucapan Sin Cu yang lantang itu terkejut. Lima belas orang tukang pukul itupun sudah bergerak ke depan mengepung Sin Cu dengan sikap mengancam. Pengantin pria itu bangkit dari tempat duduknya dan sambil menudingkan telunjuknya ke arah Sin Cu dia berteriak kepada para tukang pukulnya,
"Tangkap bocah lancang mulut dah kurang ajar itu! Pukul dan hajar dia!!"
Lima belas orang jagoan itu lalu bergerak dan menerjang maju, menyerang Sin Cu dengan tangan kosong karena mereka memandang rendah pemuda itu, apa lagi karena mereka berjumlah banyak. Akan tetap keadaan menjadi gempar ketika empat orang pertama yang menyerang paling depan tiba-tiba saja berpelantingan roboh terkena sambaran kedua tangan Sin Cu. Sebelas orang jagoan lain menjadi terkejut sekali, akan tetapi mereka belum menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang amat tangguh. Mereka berteriak teriak dan menyerang bagaikan serombongan semut menyerang seekor jengkerik. Sin Cu menyambut mereka dengan gerakan tubuhnya yang lincah karena dia mempergunakan ilmu langkah Chit-Seng Sin-Po (Langka Ajaib Tujuh Bintang).
Sehingga semua serangan itu luput dan begitu kaki tangannya bergerak, para pengeroyok itu berpelantingan seperti disambar petir! Dalam waktu beberapa menit saja, semua jagoan telah berpelatingan roboh! Tentu saja mereka menjadi terkejut dan penasaran, akan tetapi juga kini mereka maklum bahwa Sin Cu adalah seorang pemuda yang tangguh. Maka, tanpa dikomando lagi mereka bangkit sambil mencabut golok mereka dan hujan senjata menyambar-nyambar kearah tubuh Sin Cu. Akan tetapi, dengan lincah tubuh pemuda itu yang memainkan Chit-Seng Sin-Po melangkah kesana sini dan semua sambaran golok itu luput. Ketika Sin Cu menggerakkan tangan kakinya, terdengar teriakan kesakitan dan empat orang pengeroyok roboh, golok mereka terlepas dari tangan. Sin Cu menyambar dan' menangkap sebatang golok, kemudian dengan golok rampasan itu dia mengamuk.
"Kalian biasa menggunakan kekerasan berbuat kejam kepada rakyat dusun, kini rasakan hajaranku!"
Golok di tangannya berkelebatan dan terdengar jerit-jerit kesakitan, darah muncrat dan tubuh yang roboh lalu merintih-rintih tidak mampu bangkit mengeroyok kembali. Golok di tangan Sin Cu bergerak terus sampai lima belas orang jagoan itu roboh semua dan menderita luka yang cukup berat. Ada yang lengannya terbacok, ada yang kakinya terluka, pundaknya dan cukup parah akan tetapi tidak membahayakan nyawa mereka. Tempat itu menjadi ternoda oleh darah yang mengucur dari luka di tubuh lima belas orang jagoan yang kini tidak berani bergerak lagi, hanya mengaduh-aduh sambil memegangi bagian tubuh yang terluka.
Melihat ini, para tamu lari berhamburan keluar dan meninggalikan tempat pesta itu. Wong Can sendiri ketika melihat betapa lima belas orang jagoan yang selama ini diandalkan sudah roboh semua dan menderita luka luka, menjadi terkejut dan ketakutan. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil, dia bangkit lalu melarikan diri ke dalam. Akan tetapi baru tiga langkah dia lari, tiba-tiba berkelebat bayangan dan Sin Cu sudah mencengkeram pundaknya. Wong Cin berteriak kesakitan dan ketika dia melihat hahwa yang mencengkeram pundaknya adalah pemuda yang mengamuk itu, yang masih memegang sebatang golok yang berlumuran darah, dia menjadi lemas dan tubuhnya terkulai dengan sendirinya, jatuh berlutut.
Ampun, Taihiap ampunkan saya Wong Cin meratap sambil menangis ketakutan. Sin Cu menempelkan golok rampasannya pada leher lurah itu da? menghardik
"Hayo katakan dengan sejujurnya? Bukankah engkau mmempunyal isteri bernama Su Leng Ci dan seorang putera bernama Wons Sin Cu.?"
Dengan terkEncing kEncing saking takutnya merasa betapa golok yang dingin menempel ketat di lehernya, laki-laki itu menggelengkan kepalanya dan berkata,
"Tidak. tidak saya tidak mengenal nama-nama itu."
"Benarkah? Jangan bohong, kalau berbohong,golok ini akan memenggal batang lehermu,"
Bentak Sin Cu yang menghendaki kepastian bahwa orang yang menjemukan ini benar-benar bukan Ayah kandungnya.
"Saya tidak berani berbohong, Saya tak pernah mempunyai anak yang amat saya dambakan... saya tidak mengenal nama nama itu"
Hati Sin Cu semakin lega. Kini dia merasa yakin bahwa laki-laki ini bukan Ayah kandungnya, hanya nama mereka saja kebetulan sama. Di dunia ini tentu banyak orang bermarga Wong dan bernama Cin seperti Ayahnya karena nama itu adalah nama umum.
Akan tetapi teringat akan cerita Kakek petani yang menjadi tuan rumahnya, dia marah sekali kepada lurah ini. Biarpun marganya sama dengan dia, berarti kalau diusut silsilahnya tentu masih ada hubungan keluarga jauh, dia tidak perduli. Siapa yang jahat, biarpun keluarga sendiri, harus ditentang dan dihajar! Tempat itu sudah sepi. Para tamu sudah lari semua, para penabuh musik juga sudah melarikan diri. Akan tetapi di luar pagar pekarangan, Sin Cu melihat masih banyak orang yang mengintai dan menonton. yang berada di ruangan yang terang benderang itu hanya dia dan sepasang pengantin,juga lima belas orang jagoan yang sudah menderita luka dan hanya berani duduk sambil memegangi anggauta tubuh yang terluka. Sin Cu mengerahkan Iwee-kang (tenaga dalam) dari pusar perutnya sehingga suaranya terdengar lantang dan dapat didengar pula oleh mereka yang nonton di luar pagar.
"Wong Cin, tahukah engkau akan dosa-dosamu?"
Dia membentak sambil melirik kearah pengantin wanita yang tadi menunduk sambil menangis itu. Kini pengantin wanita itu masih menangis dan menggunakan kedua tangan menutupi mukanya dengan tubuh gemetar dan ketakutan.
"Nona, jangan takut dan jawablah sejujurnya. Apakah nona suka menjadi isteri keenam Lurah Wong Cin ini?"
Pengantin wanita itu tidak berani menjawab, hanya menggeleng kepala kuat-kuat tanda bahwa ia tidak suka.
"Jawablah, jangan takut. Kalau engkau tidak suka, bagaimana engkau dapat duduk di sini dalam pakaian pengantin?"
"Saya... saya dipaksa, Ayah saya takut dipukuli dan akan dIbunuh kalau saya menolak menjadi isterinya,
Wong Cin kembali menekan goloknya pada leher Wong Cin.
"Nah, benarkah pengakuan gadis ini?"
Bentaknya.
"Jangan bohong, kalau bohong aku pasti akan memenggal lehermu."
"Be... benar..."
Lurah Wong Cin meratap.
"Bagus! Engkau seorang lurah yang sepatutnya melindungi penduduk dusun ini dan mengusahakan agar kehidupan mereka di sini aman tenteram. Akan tetapi sebaliknya engkau malah menjadi lurah yang korup dan menindas penduduk! Engkau mata keranjang, memaksa gadis-gadis menjadi isteri mudamu dan engkau mempergunakan tukang-tukang pukulmu untuk memaksakan kehendakmu dan menyiksa penduduk. Dosamu sudah bertumpuk dan engkau layak dipenggal lehermu!"
"Jangan bunuh saya... saya mempunyai lima orang isteri yang menjadi tanggungan saya... saya mohon ampun..."
Ratap laki-laki itu.
"Hemm, mudah saja mengampuni, akan tetapi engkau harus bersumpah, disaksikan semua orang itu. Hayo panggil mereka masuk ke sini untuk menjadi saksi!"
Lurah Wong Cin lalu melambaikan tangan ke arah mereka yang nonton di luar sambil berteriak.
"Heii, kalian semua, Masuklah ke sini, jangan takut, ke sinilah!"
Lurah itu berteriak menyuruh orang-orang itu agar jangan takut, untuk menyembunyikan rasa takutnya sendiri. Mendengar panggilan ini, orang-orang yang menonton dari luar pagar lalu memasuki pekarangan itu dan berindap-indap masuk ke ruangan depan tempat para tamu tadi duduk. Jumlah mereka ada tiga puluh orang lebih dan sebagian besar adalah penduduk dusun Tong-Sin-Bun. Tentu saja mereka masih merasa ngeri dan takut-takut melihat Lurah Wong Cin dalam keadaan berlutut dan pemuda itu menempelkan golok yang berlumuran darah dileher itu, sementara itu, lima belas orang jagoan itu masih merintih-rintih kesakitan.
"Nah, sekarang bersumpahlah, disakskan semua orang bahwa mulai saat ini engkau akan menjadi seorang lurah yang baik dan bijaksana, tidak menindas penduduk dusun, tidak sewenang-wenang, dan tidak akan mengganggu anak gadis dan isteri orang"
Karena takutnya, Lurah Wong Cin lalu berseru dengan suara yang cukup lantang dan gemetar,
"Saya bersumpah untuk menjadi lurah yang adil dan bijaksana, tidak menindas penduduk, tidak sewenang-wenang dan tidak mengganggu gadis dan isteri orang.
"Juga akan menolong penduduk yang kekurangan!"
Kata Sin Cu.
"Dan juga akan menolong penduduk yang kekurangan!"
Teriak lurah itu. Sekarang, bebaskan gadis ini dan suruh antar ia pulang ke rumah orang tuanyal"
Bentak lagi Sin Cu. Lurah Wong Cin lalu berteriak memanggil seorang yang masih Paman pengantin wanita dan yang tadi ikut mengantar wanita itu diboyong ke rumah Wong Cin.
"Cepat antarkan keponakanmu pulang!"
Pengantin wanita menangis saking gembiranya. la melepaskan hiasan kepala dan membuangnya, lalu lari menghampiri Pamannya. Kemudian, dibimbing Pamannya, mereka berdua berlutut di depan Sin Cu.
"Terimakasih atas pertolongan Taihiap..."
Kata gadis itu sambil terisak.
"Sudahlah, tidak perlu berterimakasih, cepat pulanglah ke rumah orang tuamu,"
Kata Sin Cu dan dua orang itu lalu bangkit dan berjalan setengah berlari meninggalkan rumah lurah itu.
"Wong Cin, engkau telah bersumpah disaksikan oleh banyak warga dusunmu. Bagaimana kalau engkau melanggar sumpahmu?"
Bentak Sin Cu kepada lurah yang masih berlutut itu.
"Tidak, Taihiap, saya tidak akan melanggar! Kalau saya melanggar sumpah saya, biarlah saya tidak akan selamat! Tiba-tiba Sin Cu menggerakkan golok rampasannya. Wong Cin menjerit dan mengaduh sambil mendekap telinga kirinya yang sudah buntung dan bercucuran darah. Daun telinga kirinya telah terbabat buntung oleh golok di tangan Sin Cu Sekali ini aku hanya membuntungi telinga kirimu untuk peringatan. Akan tetapi kalau lain kali aku lewat di sini dan melihat engkau mengingkari sumpahmu bukan hanya sebelah telingamu lagi yang kubuntungi, melainkan lehermu!"
Setelah berkata demikian, Sin Cu menggerakkan goloknya. Terdengar suara keras dan meja besa itu patah menjadi dua potong! Dia lalu melemparkan goloknya. Golok itu meluncur dan menancap di sebuah tihang sampai ke gagangnya!
Setelah melakukan itu, Sin Cu lalu meninggalkan lurah yang masih berlutut dan mengaduh-aduh dengan tubuh menggigi? itu. Sernua orang bubaran meninggalkan rumah Lurah Wong Cin dan tentu saja peristiwa itu menjadi bahan percakapan penduduk dusun Tong-Sin-Bun. Mereka membicarakan peristiwa itu dengan hati girang, penuh harapan bahwa semenjak saat itu sang lurah akan benar-benar menjadi lurah yang adil dan dapat dijadikan pengayoman penduduk dusun itu. Sin Cu kembali ke rumah petani yang menyambutnya dengan penuh hormat karena petani ini tadi juga ikut menonton peristiwa yang terjadi di rumah Lurah Wong Cin. Taihiap, kami semua senang sekali dan amat berterimakasih kepada Taihiap akan pertolongan Taihiap kepada kami dengan menundukkan Lurah Wong!"
Kata petani itu bersama isterinya sambil memberi hormat.
"Sudahlah, Paman dan Bibi. Jangan sebut-sebut lagi urusan itu. Aku merasa gerah dan ingin mandi. Apakah ada persediaan air jernih di sini?"
Kata Sin Cu yang kegerahan sambil membuka bajunya. Karena gerah dia membuka baju dan lupa, akan tanda rajah naga di dadanya. Baru dia menyadari hal ini ketika suami isteri itu memandang ke dadanya dengan mata terbelalak. Suami isteri petani sederhana itu tercengang melihat gambar seekor naga putih di dada pemuda itu, gambar seekor naga putih yang seolah hidup dan bergerak-gerak di atas dada yang bidang itu.
"Hanya rajah gambar naga,"
Kata Sin Cu mencela keheranan orang dan dia menggunakan tangan kiri menutup gambar itu.
"Paman, adakah air di sini untuk mandi?"
"Oh... ada... ada, Taihiap. Di belakang tersedia cukup air. Silakan..."
Petani itu membawa sebuah lampu gantung dan mengantar Sin Cu ke belakang, di mana terdapat sebuah kamar mandi sederhana, akan tetapi airnya memang cukup banyak. Sehabis mandi dan berganti pakaian Sin Cu memberi uang kepada petani itu untuk membeli hidangan untuk makan malam, Malam itu dia tidur nyenyak dalam sebuah kamar sederhana, di atas sebuah pembaringan bambu yang sederhana pula. Namun, dia dapat tidur dengan pulas. Perbuatannya terhadap Lurah Wong Cin semalam agaknya mendatangkan kepuasan dalam hatinya, juga menghilangkan kegelisahannya ketika dia mengira bahwa lurah yang menyeleweng itu adalah Ayah kandungnya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah pergi setelah meninggalkan sepotong uang perak untuk suami isteri petani itu.
Sin Cu melangkah perlahan memasuki hutan, mengikuti jalan mendaki lereng melalui hutan itu. Pagi itu amat indah dan cerah. Sinar matahari pagi menerobos di antara celah-celah daun, menimbulkan berkas-berkas sinar yang mengusir sisa-sisa halimun dari dalam hutan. Kicau burung menghidupkan hutan itu dan karena pada waktu itu musim semi telah menghijaukan pohon-pohonan bahkan di sana sini sudah tampak bunga menghias pohon-pohon itu, maka suasananya menjadi amat cerah dan menggembirakan hati. Biarpun hutan itu sepi manusia dan dia hanya melangkah seorang diri, namun Sin Cu tidak merasa kesepian. Burung-burung yang berkicau sambil berlompatan dari ranting ke ranting, kelinci yang berlari lucu dari semak ke semak lain, semua itu seolah menemaninya dan membuat dia merasa tidak kesepian.
Susah senang, puas kecewa, iri, marah, dengki, takut, bEnci, adalah keadaan hati akal pikiran yang diumbang-ambingkan dan dipermainkan oleh nafsu-nafsu daya rendah. Hati akal pikiran yang dikuasai oleh nafsu daya rendah membentuk "Si Aku"
Yang menjadi pusat di mana nafsu berulah. Segala sesuatu ditujukan untuk kepentingan dan kesenangan si aku dan kalau kesenangan tidak terdapat, maka menjadilah kesusahan,kalau kepuasan tidak terdapat maka terdapatlah kekecewaan yang mendatangkan kemarahan dan kebEncian, Kalau pikiran hening, di waktu naisu daya rendah tidak bekerja, seperti keadaan Sin Cu pada waktu melangkah memasuki hutan di pagi hari itu, akan terasalah keadaan yang hening, indah dan mulia dan dalarn keadaan seperti itu, maka terasalah apa kebahagiaan itu.
Kebahagiaan yang berada di atas suka duka, berada di atas semua perasaan jasmaniah. Inilah kiranya yang menjadi sebab dan pendorong mengapa para bijaksana di jaman dahulu banyak yang pergi ke tempat-tempat yang indah dan sunyi, di mana mereka dapat menikmati kebahagiaan itu. Namun, mereka salah duga. Kebahagiaan yang sudah dicari-cari berubah menjadi kesenangan dan seperti senua kesenangan, keindahan alam itupun akhirnya membosankan! Kebahagiaan tidak dapat dicari. Yang dapat dicari adalah kesenangan, dan di mana ada kesenangan, pasti ada pula kesusahan. Kebahagiaan adalah suatu keadaan jiwa yang terbebas dari pada kotoran nafsu-nafsu daya rendah, dan kebebasan jiwa dari kotoran nafsu ini tidak dapat diusahakan melalui hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu.
Hahya Kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membersihkan jiwa dari pengaruh nafsu daya rendah yang merupakan kotoran yang menutupi jiwa sehingga sinar jiwa tidak dapat menembus. Sin Cu melangkah perlahan-lahan, merasa dirinya ditelan keindahan alam sekelilingnya, merasa dirinya menjadi bagian dari keindahan itu, bukan sebagai penonton melainkan berada di dalamnya! Tak dapat digambarkan keadaan sebahagia itu. Bahkan setiap tarikan nafas, setiap kali hawa udara yang jernih memasuki tubuh, terasa nyaman dan nikmat yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata! Mata memandang, telinga mendengar, hidung mEncium, sesuatu yang lebih dari pada keindahan, bukan keindahan yang mendatangkan kesenangan, melainkan keindahan, kemerduan dan keharuman yang seolah sudah menyatu dengan diri jiwa raga.
Tak dapat digambarkan dengan kata-kata keindahan itu, kebesaran itu, kebenaran dan kenyataan itu. Sin Cu merasa dirinya seolah melayang layang dalam dunia yang lain sama sekali dari pada yang biasa dilihatnya. Tanpa disengaja, dia menarik napas panjang sekali, seolah olah udara yang disedotnya memasuki seluruh tubuhnya sampai dia seperti terisak dan pada saat itu dia menyadari akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan yang mEnciptakan semua itu. Jiwanya seperti berdoa dengan sendirinya, memuji kebesaran Tuhan. Dan pada saat itu, segala yang dilihat dan didengarnya, bahkan yang diciumnya, baginya seolah semua itu memuji kebesaran Tuhan. Burung berkicau, kupu yang beterbangan, daun dan bunga yang bergoyang-goyang dihembus angin semilir, keharuman tanah rumput dan bunga yang memasuki pEnciumannya, semua itu ditujukan untuk mengagungkan dan memuja kebesaran Tuhan.
"Tolooonngg... ahh, tolooong..."
Tiba-tiba terdengar jerit melengking memecahkan suasana, menyeret Sin Cu kembali ke alam yang keras.
Suara wanita minta tolong, pikirnya. Ada orang membutuhkan pertolongannya! Ada orang berada dalam ancaman bahaya! Urat syarafnya yang sudah peka sekali itu tiba-tiba bekerja, tubuhnya melompat dan berlari cepat ke bagian depan, kearah datangnya suara jeritan tadi, Setelah melewati sebuah tikungan jalan dalam hutan itu, Sin Cu melihat sebuah kereta berhenti di tepi jalan dan seorang pria berusia tiga puluh lima tahun sedang dipukuli seorang laki-laki tinggi besar. Yang membuat hatinya marah adalah ketika dia melihat dua orang wanita, seorang berusia tiga puluh tahun lebih dan yang kedua berusia kurang lebih empat belas tahun, sedang meronta-ronta dalam pondongan dua orang laki-laki lain. Sedangkan dua orang lagi yang tampak bengis dan kasar tertawa tawa dalam kereta. Perampok, pikirnya marah. Sin Cu melompat dekat.
"Lepaskan wanita-wanita itu!"
Bentaknya dan begitu dia menggerakkan tangan dua kali, laki-laki yang meringkus wanita-wanita itu terpelanting dan roboh sehingga korban mereka terlepas. Kemudian Sin Cu menyerang laki-laki yang memukuli pria berpakaian indah seperti bangsawan itu. Sekali pukul saja laki-laki tinggi besar itupun terpelanting roboh. Dua orang kawannya yang berada dalam kereta menjadi marah sekali. mereka berlompatan turun dan mencabut golok yang tergantung di punggung mereka.
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hei... Dari mana datangnya bocah setan yang berani menentang kami!"
Bentak seoang dari mereka yang berkumis tebal dan agaknya menjadi pemimpin gerombolan lima orang itu. Dia bukan hanya membentak akan tetapi juga langsung menyerang dengan goloknya, diikuti temannya yang juga mengayunkan golok menyerang Sin Cu. Biarpun dua orang itu sudah mengerahkan tenaga dan menyerang dengan gerakan secepat mungkin, namun gerakan mereka itu bagi Sin Cu masih terlampau lamban. Dengan amat mudahnya pemuda perkasa itu mengelak, kemudian dua kali berturut-turut kakinya menendang.
"Dukk...!! Dess...!"
Kedua orang itu berseru kaget dan kesakitan, tubuh mereka terlempar sampai empat lima meter dan terbanting jatuh berdebuk di atas tanah, golok mereka terlepas dari pegangan. Barulah terbuka mata lima orang gerombolan perampok itu bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang lihai sekali, yang dapat merobohkan mereka dengan sekali gerakan. Nyali mereka menjadi kecil dan pemimpin mereka yang berkumis tebal itu lalu merangkak bangun dan melarikan diri seperti dikejar setan. Dengan tubuh babak belur dan muka benjol-benjol karena dipukuli penjahat tadi pria yang berpakaian bangsawan itu terhuyung menghampiri Sin Cu lalu memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dadanya.
"Terimakasih kami ucapkan atas pertolongan Taihiap."
"Tidak perlu berterimakasih kepada saya karena apa yang saya lakukan hanyalah sekedar memenuhi kewajiban saya. Lima orang perampok itu adalah orang-orang jahat yang wajib saya tentang."
Tiba-tiba gadis remaja yang tadi bersama Ibunya diringkus dua orang penjahat, mendekati Sin Cu dan berkata penuh dengan nada teguran.
"Engkau tadi mampu mengalahkan mereka, mengapa tidak Kau bunuh saja lima orang jahat tadi? Mengapa engkau membiarkan mereka melarikan diri?"
"Loan Cin! Jangan berkata begitu!"
Tegur Ayah gadis itu yang bukan lain adalah Pangeran Ceng Sin. Seperti telah kita ketahui, Pangeran Ceng Sin, isterinya dan anak perempuannya telah melarikan diri keluar dari Kotaraja setelah Song Bu melepaskannya, tidak membunuhnya karena pemuda ini merasa kagum dan kasihan kepada puteri Pangeran yang lincah dan pemberani. Berhari-hari Pangeran Ceng Sin melakukan perjalanan dengan kereta bersama isteri dan putrinya dan pada pagi hari itu, dia dihadang oleh lima perampok yang hampir saja mencelakai keluarganya.
"Taihiap, maafkan kelancangan anak perempuan kami. Perkenalkan, saya Ceng Sin. Ini adalah isteri saya, Ceng Hujin (Nyonya Ceng) dan ini puteri kami bernama Ceng Loan Cin. Bolehkah kami mengetahui nama in-kong (tuan penolong) yang terhormat?"
Melihat sikap dan mendengar ucapan yang teratur itu tahulah Sin Cu bahwa dia berhadapan dengan seorang terpelajar dan melihat pakaian keluarga itupun dia dapat menduga bahwa mereka tentu keluarga bangsawan, maka dia lalu memberi hormat.
"Saya bernama Wong Sin Cu, seorang perantau yang kebetulan lewat di tempat ini. Akan tetapi Taijin (pembesar) sekeluarga mengapa melakukan perjalanan di tempat sunyi ini tanpa pengawal?"
"Ah, jangan menyebut saya Taijin!"
Kata Pangeran Ceng Sin yang hendak menyembunyikan keadaan dirinya. Dia adalah seorang pelarian yang mungkin menjadi buruan orang-orangnya Thaikam Liu Cin, maka perlu dia menyembunyikan keadaan dirinya.
"Kami hanyalah keluarga pedagang biasa. Kami datang dari Kotaraja dan kami ingin mencari tempat tinggal yang baru di sebuah dusun yang aman tenteram."
"Hemm, mengapa, Paman Ceng Sin? Mengapa Paman sekeluarga meninggalkan Kotaraja dan hendak mencari tempat tinggal baru di dusun yang aman tenteram? Apakah di Kotaraja tidak aman tenteram?"
"Di Kotaraja banyak kekacauan. Banyak pembesar yang bertindak sewenang wenang mengandalkan kedudukan dan kekuasaannya sehingga kami merasa tidak tenteram tinggal di sana. Tidak kami sangka bahwa di tempat sesunyi ini muncul pula penjahat-penjahat."
"Paman, di manapun tentu terdapat orang-orang yang baik dan orang-orang yang jahat. Sekarang Paman sekeluarga hendak ke mana?"
"Dari jauh tadi kami melihat bukit ini amat subur dan menarik, Kami hendak melanjutkan perjalanan mencari sebuah dusun di daerah pegunungan ini, kalau cocok kami akan tinggal di dusun daerah ini."
"Kebetulan sayapun hendak melalui jalan ini. Biarlah saya menemani Paman agar dapat mencegah kalau para perampok tadi melakukan penghadangan lagi."
"Ah, terimakasih, Wong-Taihiap. Engkau seorang pemuda gagah perkasa yang budiman. Mari, mari naik kereta dan duduk didepan bersama saya. Kami merasa aman melakukan perjalanan bersamamu,"
Kata Pangeran Ceng Sin dengan girang sekali. Ceng Loan Cin menjenguk dari dalam kereta dan berkata kepada Ayahnya,
"Ayah, akupun ingin belajar silat agar aku dapat membasmi para penjahat seperti Kakak Wong Sin Cu ini!"
"Hemm, enak saja engkau bicara! Apa Kau kira mudah menguasai ilmu silat seperti yang dikuasai oleh Wong-Taihiap ini?"
Pangeran Ceng Sin berkata sambil tertawa.
"Mengapa tidak, Paman Ceng Sin? Kulihat adik Ceng Loan Cin ini memiliki keberanian dan ketabahan. Kalau ia mendapatkan seorang Guru yang baik dan belajar dengan penuh semangat, aku yakin la dapat menjadi seorang yang berkepandaian lebih tinggi dari pada saya."
Mereka melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap. Sin Cu merasa suka dan kagum kepada Ceng Sin yang ternyata memiliki pengetahuan yang luas dan sikapnya amat ramah dan baik. Ketika kereta mereka tiba di sebuah lereng di luar sebuah dusun yang berpagar bambu, Ceng Sin menahan kudanya sehingga berhenti. Dia menoleh ke kanan dan matanya terbelalak kagum. Sin Cu juga memandang ke arah itu dan diapun kagum. Di sana, di lereng bukit tampak sebuah bangunan kuno yang indah sekali. Bangunan itu merupakan sebuah Kuil, Atapnya berbentuk bunga teratai dan ada pula menaranya yang, bertingkat sebelas, Melihat kapur dan cat bangunan itu bersih dan baru, sehingga tampak indah sekali, dapat diduga bahwa Kuil itu terpelihara baik baik. Juga dari situ dapat tampak ada taman bunga di sekeliling Kuil.
"Hemm, sebuah Kuil yang indah sekali,"
Kata Sin Cu.
"Tapi kenapa atapnya berbentuk bunga teratai?"
"Engkau belum tahu, Wong-Taihiap? Bunga teratai itu melambangkan bahwa Kuil itu adalah sebuah Kwan-Im-Bio (Kuil di mana dipuja Kwan Im Pauwsat), tentu penghuninya para Nikouw (Pendeta wanita),"
Kata Ceng Sin menerangkan.
Akan tetapi pada saat itu, perhatian mereka tertarik oleh suara hiruk pikuk dan ketika mereka menoleh ke kiri, mereka terkejut sekali melihat belasan orang berlari-lari menghampiri mereka. Melihat betapa belasan orang itu semua memegang senjata golok telanjang yang diacung-acungkan dengan sikap mengancam, tahulah Sin Cu bahwa mereka adalah gerombolan orang jahat. Dia segera dapat melihat bahwa di antara mereka terdapat lima orang perampok tadi. Sin Cu menjadi marah dan cepat dia melompat turun dari kereta dan berdiri menghadang belasan orang yang datang sambil berteriak-teriak itu. Setelah tiba di dekat kereta dan melihat Sin Cu berdiri dengan tegak dan tenang, kepala gerombolan lima orang yang berkumis lebat itu lalu menuding ke arah pemuda itu dan berkata,
"Dialah orangnya. Dari gerombolan belasan orang itu muncul seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun dan keadaannya sungguh berbeda dari belasan orang yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis itu. Orang ini berpakaian seperti seorang Tosu (Pendeta Agama To), Rambutnya digelung ke atas dan bajunya bagian dada yang berwarna kuning itu terdapat sebuah gambar bulatan Im Yang hitam putih. Tosu ini membawa pedang di punggungnya dan wajahnya penuh senyum, walaupun pandang matanya mencorong dan mengandung kekerasan. Melihat Tosu ini, Sin Cu menduga bahwa dia tentu seorang lawan tangguh, akan tetapi dia merasa heran bagaimana seorang Tosu dapat bersama kawanan berandal itu.
"Orang muda, siapakah engkau yang berani menentang kami dan melindungi orang orang yang menjadi buruan kami?"
Tanya Tosu itu sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Sin Cu.
"Totiang,"
Kata Sin Cu dengan sikap hormat karena dia harus menghormati seorang Pendeta.
"Nama saya Wong Sin Cu dan saya merasa heran sekali melihat seorang Pendeta seperti Totiang (sebutan Pendeta To) bersama kawanan perampok jahat ini."
"Wong Sin Cu, engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan. Pinto (aku) adalah Im Yang Tojin, seorang tokoh Im Yang-Kau w. Ketahuilah bahwa yang Kau lindungi itu adalah keluarga buronan yang harus kami tangkap."
"Saya merasa heran sekali, Totiang yang saya lihat tadi, keluarga Ceng ini telah disergap oleh lima orang perampok jahat, maka saya membela mereka dan menghajar lima orang jahat itu. Akan tetapi kenapa sekarang mereka kembali bersama Totiang dan belasan orang kawannya. Sungguh tidak mengerti saya melihat Totiang hendak membela kawanan perampok laknat itu."
"Sudahlah, engkau tidak perlu tahu akan urusan kami. Sekarang lebih baik engkau yang masih muda ini pergi meninggalkan keluarga itu yang akan menjadi tawanan kami!"
Biarpun ucapan itu dikeluarkan dengan kata-kata lembut namun mengandung nada mengancam.
"Tidak bisa, Totiang. Saya melihat kenyataan bahwa yang jahat adalah pihakmu yang hendak menggunakan kekerasan mengganggu sebuah keluarga yang tidak bersalah. Terpaksa saya harus melindungi mereka!"
Kata Sin Cu dengan suara tegas.
"Orang muda, engkau keras kepala! Terpaksa Pinto harus menggunakan kekerasan."
Dia menoleh kepada belasan orang gerombolan itu dan berseru memerintah,
"Tangkap mereka yang berada dalam kereta!"
Belasan orang itu bergerak mengepung mereka, akan tetapi Sin Cu dengan sigapnya melompat mendekati kereta dan berseru,
"Siapa berani mengganggu akan kuhajar!"
"Bocah sombong!"
Tosu itu berseru dan diapun menerjang ke depan, menyerang Sin Cu dengan pukulan tangan kiri. Agaknya dia memandang rendah kepada Sin Cu sehingga ketika menyerang, tangan kirinya menampar dengan keyakinan bahwa pemuda itu tidak akan mampu menghindarkan diri. Tidaklah mengherankan kalau Tosu itu memandang rendah kepada Sin Cu. Dia adalah Im Yang Tojin, bekas pengawal Koan-Ciangkun yang tewas di tangan Ouw Yang Lee, kemudian dia terbujuk oleh Thaikam Liu Cin, sehingga setelah kehilangan majikan, dia lalu menghambakan diri kepada Thaikam Liu Cin, menjadi rekan dari Ouw Yang Lee. Tingkat kepandaian Im Yang Tojin memang sudah tinggi, setingkat dengan kepandaian Ouw Yang Lee, maka tentu saja dia memandang rendah seorang pemuda seperti Sin Cu,
Akan tetapi ternyata tamparan itu degan mudah dihindarkan oleh Sin Cu yang mengelak ke kiri dan melihat ada dua orang anak buah gerombolan berusaha untuk membuka pintu kereta, dia lalu menerjang dan dua kali tangan kanannya menyambar maka robohlah dua orang itu. Pada saat itu, Im Yang Tojin yang merasa penasaran telah mengirim pukulan berturut-turut sampai tiha kali. Akan tetapi alangkah terkejut hatinya ketika dengan mudah Sin Cu dapat megelak dari tiga kali pukulan itu, bahkan pemuda itu sempat merobohkan seorang anak buah gerombolan pula yang berusaha menyerang Ceng Sin yang duduk di tempat kusir bagian depan kereta. Im Yang Tojin menjadi marah dan maklum bahwa pemuda itu memang lihai sekali. Maka, diapun lalu menerjang maju dan mengirim pukulan dengan pengerahan tenaga andalannya, yaitu Im Yang Sinkang.
"Sambut pukulan Pinto ini!"
Dia berseru sambil mengirim pukulan yang mengandung tenaga sakti yang dahsyat itu.
"Wuuuutt...!!"
Angin pukulan yang amat kuat menyambar ke arah Sin Cu. Pemuda ini terkejut, bukan main karena dia mengenal pukulan jarak jauh yang amat berbahaya. Diapun menyambutnya dengan pengerahan tenaga sakti Thai-Yang Sin-Ciang, tenaga inti matahari yang mengandung hawa panas.
"Wuuuut... Blaarr!!,"
Tubuh Im Yang Tojin terjengkang dan hampir saja dia roboh terbanting.
Untung dia amat cekatan dan dengan bersalto dua kali ke belakang sehingga dia dapat mencegah tubuhnya terbanting. Dia terkejut setengah mati. Pemuda itu bahkan mampu menyambut pukulannya dan membuatnya terjengkang! Hampir dia tidak dapat percaya akan kenyataan ini, akan tetapi diapun menjadi marah bukan main. Dia mencabutnya pedang dari punggungnya dan sambil borseru keras dia menyerang. Melihat sinar pedang meluncur dan menyambar ke arahnya, Sin Cu cepat mengelak dan karena maklum bahwa lawannya amat tangguh, maka diapun merogoh pedang yang berada dalam buntalan pakaian di punggungnya. melihat pedang berbentuk naga putih itu, ln Yarg Tojin terbelalak dan menjadi semakin terkejut. Akan tetapi karena sudah marah dan penasaran sekali, dia terus menyerang secara bertubi-tubi,
"Trang-cringgg..."
Bunga api berpijar ketika pedang di tangan Tosu itu bertemu dengan Pek-Liong-Kiam (Pedang Naga Putih) di tangan Sin Cu.
Im Yang Tojin menyerang terus dan mencoba mendesak lawannya yang masth muda, akan tetapi dia merasa seperti bertemu dengan dinding baja yong sukar ditembus, demikian kuatnya pertahanan yang dIbuat oleh pedang naga di tangan Sin Cu. Akan tetapi pemuda ini merasa gelisah karena lawannya memang lihai sehingga dia tidak sempat lagi menjaga keamanan keluarga yang berada dalam kereta, pada hal anak buah gerombolan itu mulai mengepung kereta sambil berteriak-teriak. Dia harus mencurahkan perhatiannya terhadap serangan bertubi dan berbahaya yang dilancarkan Tosu itu kepadanya. Pada saat yang amat gawat bagi keluarga Pangeran Ceng Sin, tiba-tiba tampak berkelebat bayangan putih dan para anak buah gerombolan yang mengepung kereta menjadi kocar-kacir ketika bayangan putih itu berkelebatan.
Dan ada sinar putih mencuat dan menyambar-nyambar merobohkan para pengepung. Pangeran Ceng Sin dan isteri serta anaknya menjadi girang bukan main melihat betapa para pengepung itu kocar kacir karena diamuk oleh seorang berpakaian putih, seorang Nikouw (Pendeta wanita) yang memainkan sabuk Sutera putih secara hebat sekali. Sabuk Sutera putih yang panjang itupun menyambar nyambar dengan dahsyatnya, siapapun yang terkena ujung sabuk Sutera putih itu pasti terjungkal roboh! Dalam waktu singkat saja, sembilan orang anak buah gerombolan itu sudah roboh oleh totokan ujung sabuk Sutera putih. Tentu saja hal ini amat mengejutkan yang lain sehingga mereka menjadi jerih dan tidak berani mendekati kereta yang kini sudah terjaga oleh Nikouw tua yang amat lihai dengan sabuk Suteranya itu.
Im Yang Tojin mulai terdesak oleh Sin Cu. Biarpun merasa penasaran sekali, namun Tosu tokoh Im Yang-Kau w yang sudah diusir dari perkumpulannya karena menyeleweng ini harus mengakui bahwa lawannya yang masih muda itu amat tangguh. Maka, ketika melihat munculnya seorang Nikouw tua yang lihai sekali dan dalam waktu singkat merobohkan banyak anak buahnya, maklumlah Im Yang Tojin bahwa keadaannya terancam bahaya. Dia memang menerima tugas dari Thaikam Lui Cin untuk melakukan pengejaran terhadap Pangeran Ceng Sin sekeluarga dan membunuh Pangeran itu. Akan tetapi sama sekali tidak disangkanya bahwa Pangeran itu dilindungi oleh seorang pemuda yang amat lihai bahkan kini muncul pula seorang NikOuw Yang juga amat lihai. Karena itu, Im Yang Tojin lalu berseru nyaring.
"Mundur...!"
Dan dia sendiri sudah melompat ke belakang lalu melarikan diri, meninggalkan tempat berbahaya itu. Para anak buahnya yang sudah merasa gentar, tidak menunggu perintah dua kali. Mereka saling bantu dan melarikan diri cerai berai, menggandeng kawan-kawan yang terluka. Sin Cu hanya mengikuti mereka yang lari dengan pandang matanya, tidak melakukan pengejaran. Kemudian dia memandang ke arah Nikouw tua itu dengan kagum. Dia melihat bahwa Nikouw itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, pakaiannya serba putih dan kepalanya yang gundul itu dilindungi kain penutup kepala berwarna putih pula.
Sabuk Sutera putih yang dipergunakan untuk mengusir para pengepung kereta tadi adalah sabuk yang masih diikatkan di pinggangnya yang masih ramping. Kedua ujung sabuk itu memang panjang dan untuk dapat memainkan sepasang ujung sabuk Sutera itu, diperlukan tenaga sinkang yang kuat sehingga sabuk Sutera yang lemas itu dapat berubah menjadi kaku dan kuat. Di lain pihak, Nikouw itupun memandang kepada Sin Cu penuh perhatian dan juga penuh kagum karena Ia tadi sudah menyaksikan betapa pemuds itu mampu mendesak lawannya yang amat tangguh. Pangeran Ceng Sin sudah melompat turun dari atas kereta, mernbuka pintu kereta dan menuntun isteri dan anak perempuannya turun dari kereta. Kemudian didampingi isterinya dia memberi hormat kepada Nikouw itu dan berkata dengan sikap dan suara penuh hormat.
"Kami sekeluarga mengucapkan terimakasih kepada Lo-Cianpwe (orang tua gagah) yang telah menyelamatkan kami dari ancaman bahaya besar."
Pangeran Ceng Sin dan isterinya memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk. Akan tetapi tiba-tiba Ceng Loa Cin sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Nikouw itu.
"Omitohud! Kebetulan saja Pinni lewat di sini dan melihat kejahatan dilakukan orang, bagaimana Pinni (saya) tidak akan turun tangan? Kalau tidak ada pemuda yang gagah perkasa itu, tentu Taijin (pembesar) sekeluarga akan tertimpa malapetaka,"
Kata Nikouw itu dengan suara lembut lalu menoleh dan memandang kepada Sin Cu sambil tersenyum ramah.
"Harap Lo-Cianpwe tidak menyebut saya Taijin. Saya adalah rakyat biasa bernama Ceng Sin. Ini adalah isteri saya dan anak kami bernama Ceng Loan Cin. Loan Cin yang masih berlutut di depan kaki Nikouw itu lalu berkata dengan suara tegas.
"Lo-Cianpwe, harap suka menerima saya menjadi murid dan mengajarkan ilmu silat kepada saya."
"Omitohu... Nona Ceng ingin belajar ilmu silat, untuk apakah seorang gadis sepertimu mempelajari ilmu silat?"
Kata Nikouw itu sambil tersenyum dan mengangkat bangun Loan Cin.
Sikap anak kami ini tidak mengherankan, Lo-Cianpwe. Kami sekeluarga meninggalkan Kotaraja karena terjadi banyak kejahatan yang membuat orang hidup tidak tenteram di sana. Kami pergi mencari tempat tinggal baru yang aman, tenang dan tentram. Akan tetapi dalam perjalananpun kami diganggu banyak orang jahat. Untung ada Song-Taihiap menolong kami dan tadi bahkan Lo-Cianpwe juga menolong kami sehingga kami semua terbebas dari kecelakaan, bahkan mungkin kematian. Karena menghadapi banyak kejahatan inilah kiranya yang membuat anak kami ingin mempelajari ilmu silat. Maka kalau Lo-Cianpwe sudi menerima anak kami menjadi murid, kamipun akan merasa berterimakasih sekali. Bolehkah kami mengetahui nama dan tempat tinggal Lo-Cianpwe?"
Nikouw itu tersenyum lebar dan ternyata wanita berusia lima puluh tahun itu masih memiliki gigi yang lengkap, bersih dan rapi.
"Pinni disebut Thian Li Nikouw, dan Pinni memimpin para Nikouw di Kuil Kwan-Im-Bio di sana itu,"
Katanya sambil menuding ke arah Kuil yang tadi dikagumi Ceng Sin.
"Ah, jadi Lo-Cianpwe adalah penghuni Kuil yang indah itu? Kamipun merasa suka sekali dengan pegunungan ini. Kami akan mencoba membeli sebidang tanah di dekat Kuil dan mengharap dengan sangat Lo-Cianpwe sudi menerima anak kami menjadi murid."
Thian Li Nikouw mengangguk-angguk sambil memandang kepada Loan Cin. NikOuw Yang berpandangan tajam dan berpengalaman luas ini tentu saja dapat menduga bahwa Ceng Sin tentu seorang bangsawan, melihat dari pakaian keluarga itu dan juga keretanya.
Apa lagi mendengar nama marga Ceng, Nikouw itupun dapat menduga bahwa Ceng Sin tentulah keluarga Kaisar. Karena sudah mendengar bahwa di Kotaraja terjadi pergolakan dan pertentangan dengan berkuasanya Thaikam Liu Cin, maka ia dapat menduga bahwa Ceng Sin tentu seorang diantara para bangsawan yang menentang Thaikam berkuasa itu dan kini terpaksa melarikan diri karena terancam. Apa lagi tadi melihat Tosu yang amat lihai itu berusaha membunuh keluarga ini, maka ia menduga bahwa Tosu itu tentulah suruhan orang- orang yang menginginkan kematian keluarga Ceng Sin, Berpikir demikian mengingatkan ia kepada pemuda perkasa itu dan kembali ia memandang kepada Sin Cu dengan penuh selidik.
"Memang baik sekali kalau Tuan Ceng Sin sekeluarga hendak menenteramkan hati dan tinggal di Lian-San (Bukit Teratai) yang indah ini, dan tentang Nona Ceng Loan Cin yang hendak mempelajari ilmu silat, dapat kita bicarakan kemudian. Akan tetapi pinni melihat bahwa Sicu (orang gagah) ini telah melindungi keluargamu dan ilmu kepandaiannya tinggi sekali! Sicu, siapakah nama Sicu dan kalau boleh Pinni mengetahui, siapa pula Guru Sicu?"
Sin Cu sejak tadi mendengarkan percakapan antara Thian Li Nikouw dan Ceng Sin. Diapun amat kagum kepada NikOuw Yang kelihatan lemah lembut ini namun dia tahu bahwa Nikouw ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka ditanya demikian, dia lalu cepat memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada sambil membungkuk.
"Nama saya Wong Sin Cu dan Suhu (guru) menyebut dirinya Bu Beng Siauwjin."
Ceng Sin dan isterinya yang baru sekarang mendengar nama sebutan Guru Sin Cu memandang heran. Bagaimana ada seorang Guru yang berilmu tinggi mempunyai sebutan Bu Beng Siauwjin (Orang Hina Tanpa Nama)? Akan tetapi ketika Thian Li Nikouw mendengar disebutnya nama ini, ia segera merangkap kedua tangan depan dada, menyembah.
"Omitohood... nama boleh serendah mungkin namun budi harus setinggi mungkin. Kiranya Wong-Sicu murid manusia luarbiasa itu? Pinni mengucapkan selamat bahwa engkau sudah terpilih menjadi muridnya, dan beruntunglah Tuan Ceng sekeluarga dapat berjumpa dengan seorang permuda seperti Wong-Sicu."
Karena hatinya tertarik kepada Nikouw dan Kuilnya itu, dan dia sudah mengambil keputusan untuk mencari dan membeli tanah lalu tinggal di daerah Bukit Teratai yang indah, maka Ceng Sin lalu berkata kepada Thian Li Nikouw.
"Saya persilakan Lo-Cianpwe suka duduk dalam kereta dan bersama kami pulang ke Kuil. Kami ingin berkunjung ke Kuil, bersembahyang dan menghaturkan terimakasih kepada Kwan Im Pouw-sat yang telah melindungi kami sekeluarga."
Isteri Ceng Sin juga ikut mempersilakan Nikouw itu. Sambil tersenyum ramah Nikouw itu mengangguk menyetujui sambil mengucapkan terimakasih. Pada saat itu, Sin Cu lalu memberi hormat dan berkata kepada Ceng Sin.
"Paman Ceng Sin, saya kira sudah tiba saatnya bagi saya untuk memisahkan diri. Saya hendak melanjutkan perjalanan saya dan saya boleh berlapang dada karena Paman telah bertemu dan mendapatkan perlindungan dari seorang sakti seperti Thian Li Nikouw. Saya percaya bahwa Paman sekeluarga pasti akan dapat hidup aman dan tenteram di daerah ini dan adik Ceng Loan Ci akan dapat mempelajari ilmu silat tinggi dari Thian Li Nikouw. Nah, selamat tinggal semuanya!"
Dia memberi hormat kepada mereka semua dan hendak melangkah pergi.
"Kakak Wong Sin Cu!"
Tiba-tiba Loan Cin berseru.
"Jangan Kau lupakan kami. Kelak kalau aku sudah mempelajari ilmu silat aku ingin menguji kepandaianku denganmu!"
Sin Cu tersenyum dan memandang kepada gadis cilik yang lincah dan cantik itu, kemudian dia mengangguk.
"Baiklah, adik Loan Cin. Akan kuingat selalu pesanmu ini."
Pemuda itu sekali lagi memberi hormat lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari situ, diikuti pandang mata empat orang itu. gagah perkasa dan budiman, pantas menjadi murid Bu Beng Siauwjin. Mereka semua lalu naik kereta dan Ceng Sin menjalankan kuda-kuda penarik kereta itu, menuju ke Kuil melalui jalan yang cukup rata dan baik yang menuju ke Kuil di lereng itu.
Pada suatu siang, dalam perjalanannya menuju Kotaraja, tibalah Sin Cu di kota Nam-Po. Dia telah melakukan perjalanan sejak pagi sekali tadi sampai siang hari tak pernah berhenti sehingga dia merasa lelah dan lapar. Ketika melewati sebuah rumah makan, dari mana berhamburan bau sedap masakan, perut Sin Cu berkeruyuk semakin kuat. Dia lalu masuk ke rumah makan itu, disambut seorang pelayan dan diapun duduk di bagian sudut ruangan rumah makan itu.
Dia memesan nasi dan dua macam sayuran, minum air teh lalu makan minum dengan seenaknya. Perut lapar dan hati pikiran tidak terganggu membuat orang dapat menikmati makanan. Betapa sederhanapun hidangan yang dimakan, akan terasa nikmat. Sebaliknya kalau perut tidak lapar dan hati pikiran terganggu, segala macam masakan yang serba lezat dan mahal sekalipun tidak akan terasa enak. Setelah makan dan minum air teh, Sin Cu merasa mengantuk dan timbul keinginan untuk mengasokan tubuhnya. Dia melihat rumah makan itu cukup besar dan di bagian belakangnya terdapat bangunan yang lebih besar lagi. Biasanya, rumah makan yang besar merangkap menjadi rumah penginapan pula. Maka setelah membayar harga makanan, Sin Cu bertanya kepada pelayan yang melayaninya.
"Twako, apakah rumah makan ini juga menyewakan kamar untuk menginap?"
Tanyanya sambil memandang ke arah belakang di mana terdapat pintu besar tembusan dan dari situ dapat dilihat anak tangga menuju ke sebuah loteng.
"Tentu saja! Tuan membutuhkan kamar?"
Perusahaan Thian-lok kami memang membuka rumah penginapan dan rumah makan terbesar di kota ini. Silakan ma?uk, tuan, saya antarkan kepada petugas kantor penginapan."
Pelayan itu mengantarkan Sin Cu masuk dan setelah diterima petugas penginapan, pelayan itu lalu meninggalkan Sin Cu berurusan dengan pegawai di situ. Sin Cu mendapatkan sebuah kamar di loteng, sebuah kamar yang tidak berapa besar akan tetapi cukup bersih dan terawat baik. Sin Cu memasuki kamar, meletakkan buntalan pakaian dan pedangnya di atas meja lalu merebahkan tubuhnya yang lelah di atas pembaringan. Sebentar saja dia sudah tertidur pulas. Ketika dia membuka matanya mendengar ketukan pada pintu kamarnya, hari telah menjelang sore. Rupanya dia telah tertidur cukup lama, tidak kurang dari tiga jam!
"Siapa?"
Tanyanya ketika mendengar ketukan pada daun pintu, ketukan perlahan dan sopan.
"Saya, pelayan rumah penginapan, tuan. Hari telah sore, apakah tuan tidak memerlukan air untuk membersihkan badan? Sin Cu turun dari pembaringan dan membuka daun pintu. Sambil membungkuk-bungkuk pelayan pria berusia tiga puluhan tahun yang bertubuh kurus itu masuk dan tersenyum ramah.
"Perlukah saya membawakan sebaskom air untuk membasuh muka, ataukah tuan hendak pergi mandi di belakang?"
"Aku ingin mandi,"
Kata Sin Cu.
"Silakan, tuan. Kamar mandi sudah diisi penuh air. Akan tetapi harap tuan mengunci pintu kamar ini kalau ditinggalkan. Kami tidak menanggung kalau ada barang yang hilang dari dalam kamar yang ditinggalkan tamu."
"Hemm, kalau begitu, buntalan pakaianku akan kubawa saja ke kamar mandi, ada barang berharga di dalamnya."
Sin Cu bukan maksudkan sekantung emas dan perak sebagai barang berharga, melainkan pedangnya. Setelah dia mandi dan bertukar pakaian, baru saja dia memasuki kamarnya, pelayan kurus itu sudah berada pula di situ.
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo