Ceritasilat Novel Online

Sakit Hati Seorang Wanita 7


Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



Cai Sun mengangguk dan mereka semua membalikkan tubuh dan berjalan kembali menuju ke gedung tempat tinggal Pui Ki Cong. Akan tetapi pada saat itu mereka mendengar suara ketawa seorang wanita, disusul kata-kata yang halus merdu.

   "Pui Ki Cong dan Koo Cai Sun, giliran kalian akan tiba. Tunggu sajalah!"

   "Setan!"

   Koo Cai Sun sudah mencabut senjatanya, yaitu sepasang siang-kek, tombak pendek yang bercagak dan dia meloncat ke arah datangnya suara tadi, dari kiri di mana terdapat sebuah bangunan tembok. Akan tetapi, dia hanya melihat bayangan yang bertubuh langsing berkelebat dan bayangan itu pun lenyap dari situ.

   "Akan kuhajar perempuan iblis itu! Akan kuhancurkan kepalanya dengan kepalanku, akan kucabik-

   (Lanjut ke Jilid 07)

   Sakit Hati Seorang Wanita (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07

   cabik dagingnya dengan siang-kek ini!"

   Sumbarnya, namun diam-diam dia terkejut melihat betapa cepatnya bayangan tadi berkelebat dan bergerak.

   Akan tetapi, Ki Cong sudah menjadi demikian takutnya sehingga dia cepat-cepat mengajak Cai Sun dan pasukan pengawalnya untuk kembali ke rumahnya. Setelah memerintahkan para pengawalnya untuk melakukan penjagaan yang lebih ketat dan mendatangkan pasukan pengawal lain, Pui Ki Cong lalu mengajak Koo Cai Sun untuk berunding di dalam ruangan sebelah dalam.

   "Bagaimana baiknya sekarang?"

   Tanya Ki Cong dengan suara agak gemetar. Melihat keadaan Louw Ti tadi, kemudian melihat berkelebatnya bayangan yang mengeluarkan suara ancaman, dia menjadi ketakutan. Di lubuk hatinya, Cai Sun juga sudah takut setengah mati. Dia bukan seorang bodoh, melainkan cerdik dan licik sekali.

   Dia tahu bahwa wanita puteri g uru silat Kim itu muncul untuk membalas dendam dan bahwa wanita itu kini lihai bukan main. Sudah terbukti ketika ia mencelakakan Pui-taijin kemudian menyiksa Louw Ti dan tadi pun kemunculannya membuktikan kelihaiannya. Dia dan keluarganya terancam! Dia harus dapat mempergunakan kecerdikannya untuk menyelamatkan keluarganya dan dirinya sendiri, di samping itu jangan sampai kelihatan sebagai seorang pengecut besar yang ketakutan. Maka dia pun tersenyum. Wajahnya yang bulat itu seperti terbelah menjadi dua ketika mulutnya terbuka lebar.

   "He-he-he, Pui-kongcu. Menghadapi ancaman bocah setan itu, tidak perlu kita takut. Memang jelas bahwa ia tentu akan berusaha untuk mencelakai kita, terutama sekali engkau, Kongcu, mengingat bahwa engkaulah musuh utamanya, akan tetapi aku yakin akan dapat mengatasinya. Pui-kongcu, memang seba iknya kalau untuk sementara waktu ini, kita bergabung untuk menghadapinya, dan juga aku merasa berkewajiban untuk membantumu dalam menolak ancaman perempuan itu. Bagaimana kalau untuk sementara ini aku membawa keluargaku tinggal di sini agar dapat menjaga keselamatan Kongcu?"

   Tentu saja Pui Ki Cong yang merasa gentar menghadapi ancaman gadis puteri Kim-kauwsu itu menjadi girang bukan main. Dia tidak tahu bahwa sebetulnya bekas pembantunya itu pun ketakutan dan ingin berlindung di gedungnya yang banyak dijaga para pengawal!

   "Baik sekali kalau begitu, Toako. Dan akupun akan mencari jagoan-jagoan di kota raja ini untuk melindungiku. Selain itu, juga aku akan mengerahkan orang pandai untuk mencari dan membekuk perempuan iblis itu."

   Girang sekali rasa hati Cai Sun. Memang itulah yang dikehendakinya. Selain dapat berlindung di gedung Pui Ki Cong dan dalam menghadapi Kim Cui Hong dia memperoleh bantuan orang-orang pandai, juga dia dapat berjasa terhadap bekas majikan itu karena seolah-olah dia berada di situ untuk melindungi keselamatannya, bukan untuk mengungsikan keluarganya!

   Cui Hong memasuki rumah makan yang tidak begitu ramai itu. Rumah makan yang sederhana dan berada di ujung kota. Seorang pelayan restoran yang selama beberapa hari ini melayaninya, segera menyambut dengan senyum ramah. Nona cantik ini memang telah menjadi langganan restoran, setiap hari makan di situ.

   "Selamat siang, nona. Selamat duduk, dan nona pilih saja meja mana yang nona kehendaki. Banyak yang masih kosong, nona."

   Pelayan itu menegur. Cui Hong mengangguk sedikit lalu matanya menyapu ruangan. Memang tidak banyak tamu, hanya lima enam meja yang ada orangnya. Mereka ini berkumpul di bagian depan, maka ia pun memilih meja di sudut agak belakang yang sepi. Hanya ada seorang tamu lain duduk di meja belakang, hanya terpisah dua meja dari tempat yang dipilihnya.

   "Sediakan makanan seperti kemarin,"

   Kata Cui Hong singkat kepada pelayan itu yang mengangguk-angguk ramah. Setelah pelayan itu mengundurkan diri untuk mempersiapkan pesanannya, Cui Hong mengambil tempat duduk dan tanpa disengaja ia memandang ke depan.

   Kebetulan sekali pada saat itu, pemuda yang duduk di meja lain, yang juga duduk sendirian saja, sedang memandangnya. Dua pasang mata bertemu dan Cui Hong segera membuang muka. Wajah seorang pria yang sangat menarik, pikirnya. Heran ia mengapa tiba-tiba saja ia tertarik kepada pria itu. Padahal, pria itu memandangnya dengan sinar mata kagum yang demikian jujur, tidak mengandung sinar kurang ajar seperti yang seringkali ia lihat dalam pandang mata pria lain. Biarpun ia tidak pernah memandang langsung, dari sudut kerling matanya ia beberapa kali mengamati keadaan pemuda berpakaian serba kuning itu.

   Pemuda itu bukan remaja lagi, tentu sudah tiga puluh tahun usianya, atau kurang pun hanya sedikit. Seorang pemuda yang berpakaian sederhana, dari kain kuning yang tidak mahal. Rambutnya yang hitam dan tebal agak keriting itu digelung ke atas dan diikat dengan pita biru.

   Wajahnya tidak terlalu tampan, namun ganteng dan penuh kejantanan, dengar, hidung mancung dan dagu meruncing membayangkan ketabahan dan kemauan besar. Sinar matanya lembut namun tajam, terbayang kejujuran di dalam pandang matanya. Bentuk tubuhnya sedang, dengan dada yang bidang dan leher yang nampak kuat. Melihat bentuk pakaiannya, tentu dia seorang pemuda petani, pikir Cui Hong yang merasa semakin heran melihat diri sendiri yang begini menaruh perhatian terhadap seorang pria yang tidak pernah dikenalnya. Padahal, biasanya ia belum pernah memperhatikan seorang pria. Semenjak ia diperkosa dan dipermainkan empat orang laki-laki, kemudian ia ikut belajar ilmu silat dari gurunya, ia tidak pernah tertarik kepada pria.

   Apalagi ketika ia mendapat kenyataan betapa pandang mata hampir semua orang pria yang ditujukan kepadanya selalu mengundang sifat kurang ajar, ingin menggoda, kekaguman yang mengandung nafsu, membuat ia teringat akan pandang mata empat orang pria musuh besarnya dan ia seperti tak pernah merasa tertarik atau suka kepada pria. Bahkan ada sedikit perasaan benci, menganggap bahwa semua pria adalah makhluk yang kejam dan hanya mengejar kesenangan nafsu berahi belaka!

   Inilah sebabnya mengapa ia merasa heran sendiri melihat ia merasa begitu tertarik kepada pria yang satu ini! "Ah, dia hanya seorang laki-laki....."

   Akhirnya Cui Hong mencela diri sendiri dan segera mengalihkan perhatiannya kepada hidangan yang baru saja dikeluarkan oleh pelayan. Sambil makan ia memikirkan dan mencari siasat untuk menghadapi dua orang musuhnya. Setelah berhasil membalas dendam terhadap Louw Ti, ia melakukan penyelidikan dan dengan mudah saja ia dapat menemukan di mana tinggalnya Pui Ki Cong dan Koo Cai Sun.

   Segera ia melakukan penyelidikan tentang keadaan hidup dua orang musuh besarnya itu. Ia sempat melihat rombongan Ki Cong dan Cai Sun yang dikawal belasan orang perajurit menemui Louw Ti yang telah menjadi gila di jembatan itu, dan ia sempat pula mengejek dan mengancam dua orang musuh besarnya. Kalau ia menghendaki, tentu pada waktu itu juga ia dapat menyerangnya dan melukai mere ka. Akan tetapi tidak, ia tidak mau dan tidak mau menimbulkan keributan, apalagi harus mengamuk di antara pasukan pengawal. Ia harus mencari siasat yang tepat dan baik.

   Sakit hati yang diderita Cui Hong terlalu besar sehingga mempengaruhi seluruh hidupnya, membentuk suatu watak tersendiri terhadap musuh-musuh besarnya. Ia ingin menikmati kemanisan pembalasan dendam sedikit demi sedikit! Ia tidak tergesa-gesa. Sudah hampir delapan tahun ia menahan sakit hati, sudah bertahun-tahun ia bersabar, maka sekarang pun ia tidak tergesa-gesa. Bagaikan seekor kucing yang melihat dua ekor tikus yang akan dijadikan korban, ia tidak tergesa-gesa menerkam mere ka, melainkan hendak mempermainkan sepuasnya, seperti ketika ia dipermainkan oleh musuh-musuhnya dahulu! la ingin melihat mereka menderita ketakutan, kengerian dan akhirnya barulah ia akan turun tangan membuat mereka menderita badan. Ia ingin mereka menderita lahir batin secara hebat, seperti yang pernah dideritanya dahulu oleh perbuatan mereka.

   Betapa nikmat dan manisnya melakukan pembalasan dendam seperti ini! Seperti orang makan hidangan lezat, tidak segera ditelannya, melainkan dikunyahnya perlahan-lahan, demikian pikir Cui Hong sambil mengunyah makanannya. Ia tidak tahu bahwa pria berpakaian kuning itu, yang tadi tidak mau memandang kepadanya secara langsung, kini menatapnya dengan penuh perhatian dan penuh kagum, selagi ia mencurahkan perhatiannya kepada makanannya. Selama beberapa hari ini, Cui Hong diam-diam mengikuti semua gerak-gerik dua orang musuhnya. Ia seringkali tersenyum mengejek melihat kesibukan mereka, melihat betapa Cai Sun membawa semua keluarganya, mengungsi ke rumah gedung Pui Ki Cong.

   "".

   --------------------------------------------------------------------------------------

   Halaman gak ada

   --------------------------------------------------------------------------------------

   dan ia pun melihat yang ada hanyalah seorang pemuda yang telah melukai para perajurit pengawal dan aku sebagai seorang kepala pengawal.

   "Menyerahlah untuk kutangkap dan aku pun tidak akan mempergunakan senjata terhadap dirimu."

   Tan Siong mengangguk.

   "Baiklah, ini urusan pribadi dan tidak ada sangkut-pautnya dengan Siauw-lim-pai maupun Kun-lun-pai. Akan tetapi aku tidak merasa bersalah, maka terpaksa aku menolak untuk menyerah dan ditangkap."

   "Su-toako, pemuda ini sombong sekali. Kalau tidak diberi hajaran tentu akan memandang rendah kepada kita!"

   Teriak Cai Sun marah karena dia merasa khawatir kalau-kalau rekannya itu akan berdamai dan tidak melanjutkan perkelahian melawan pemuda itu. Dia sendiri sudah menggerakkan pedang di tangannya melakukan serangan dahsyat yang disambut oleh Tan Siong dengan tenang. Melihat ini, terpaksa Su Lok Bu maju lagi melakukan serangan dengan sepasang pedangnya. Juga dua orang pengawal membantu dengan pedang mereka. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki pendek berkulit putih dan berperut gendut, dengan rambut dan jenggot putih semua.

   "Penjahat muda yang nekat, lihat golok besarku!"

   Bentak orang itu dan begitu tiba di situ, dia membentak dan menggerakkan sebatang golok besar dan berat dengan gerakan yang amat dahsyat. Suara golok itu semakin berdesing-desing dan menyambar-nyambar ganas menyerang Tan Siong.

   Tentu saja Tan Siong terkejut bukan main karena golok itu tidak kalah bahayanya dengan sepasang pedang di tangan Su Lok Bu! Orang yang baru datang ini adalah Cia Kok Han yang menyusul rekannya dan begitu melihat rekan-rekannya mengeroyok seorang pemuda yang amat lihai dan melihat ada empat orang pengawal yang terluka, dia pun segera maju mengeroyok.

   Kini Tan Siong kewalahan sekali, apa lagi karena dia tahu bahwa yang baru datang ini tentulah seorang Bu-tong-pai hatinya merasa semakin ragu dan khawatir. Karena itu, gerakan pedangnya agak".

   --------------------------------------------------------------------------------------

   Halaman gak ada

   --------------------------------------------------------------------------------------

   ""

   Nanti kemanisan balas dendam sepenuhnya tanpa gangguan orang lain.

   Napsu yang membakar hati Cui Hong mirip dengan napsu yang membakar d iri Kai Sun atau Ki Cong ketika memperkosa wanita itu tujuh tahun yang lalu. Dan untuk menjatuhkan pembalasan dendamnya, Cui Hong seperti seekor kucing yang tekun dan sabar mengintai tikus-tikus calon korbannya, kini dengan amat sabarnya menanti saat baik dan mencari-cari siasat bagaimana agar ia dapat berhadapan dengan dua orang musuh besar itu tanpa adanya gangguan orang lain.

   Tiba-tiba Cui Hong dikejutkan dari lamunannya oleh suara ketawa seorang laki-laki. Ia mengangkat mukanya dan melihat seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun, bermuka penuh bopeng dan bertubuh tinggi besar, berdiri dekat mejanya dan sedang memandang kepadanya sambil tertawa terkekeh-kekeh. Masih ada lagi tiga orang laki-laki lain, teman-teman dari orang yang kini berada di dekat mejanya, berada di meja sebelah kirinya, dan mereka pun tertawa-tawa dan memberi semangat kepada si muka bopeng.

   "Hayo, A-cauw, apakah engkau kehilangan nyalimu setelah berhadapan dengan wanita cantik?"

   Demikian antara lain orang itu berkata.

   Agaknya laki-laki yang berada di dekat meja Cui Hong itubernama A-cauw dan kini dia membungkuk dengan sikap hormat dibuat-buat kepada Cui Hong.

   "Nona, apakah Nona sendirian saja makan di sini?"

   Cui Hong maklum bahwa laki-laki ini hendak kurang ajar, akan tetapi ia tidak mau mencari keributan. Dengan suara datar ia pun menjawab.

   "Benar, aku duduk dan makan sendirian. Ada sangkutan apakah hal itu dengan dirimu?"

   "Begini, Nona. Aku dan teman-temanku itu, kami berempat baru saja menang taruhan, dan kami mengadakan pesta di restoran ini. Melihat Nona seorang diri saja, kami berempat ingin sekali mengundang Nona untuk makan bersama kami, bersenang-senang dan ikut menghabiskan uang kemenangan kami."

   Cui Hong mengerutkan alisnya dan ingin menampar muka yang bopeng itu. Akan tetapi ia menahan diri. Ia sedangberada di kota raja dan dengan tugas yang amat penting. Kalau ia membuat ribut tentu akan menarik perhatian, apalagi kalau sampai ia memperlihatkan kepandaiannya, tentu akan menimbulkan kecurigaan. Ia harus merahasiakan dirinya agar tidak ada yang tahu bahwa ia adalah Kim Cui Hong yang sedang berusaha membalas dendam terhadap musuhmusuhnya.

   Untuk ini pula ia sudah bersusah payah menghias mukanya dengan penyamaran sehingga tahi lalat di dagunya juga tidak nampak. Ia percaya bahwa seperti juga Louw Ti, musuh-musuhnya yang lain tidak akan dapat mengenalnya tanpa adanya tahi lalat di dagunya itu. Kalau kini ia melayani segala urusan kecil seperti gangguan laki-laki kurang ajar ini, hai itu amat berbahaya karena dapat membocorkan rahasia tentang dirinya yang hendak dirahasiakan. Pula, sejauh ini, laki-laki bermuka bopeng itu belum memperlihatkan sikap kurang ajar, bahkan mempersilakannya dengan sopan, walaupun kesopanan itu dibuat-buat.

   "Terima kasih, Saudara. Akan tetapi aku sudah kenyang, maka terpaksa aku tidak dapat menerima undanganmu. Terima kasih, aku malah sudah selesai makan dan hendak pergi."

   Berkata demikian, Cui Hong bangkit dan memberi isyarat kepada pelayan untuk datang agar ia dapat membayar harga makanan dan pergi secepatnya dari situ. Akan tetapi, ketika pelayan itu datang dengan sikap takut-takut Si Muka Bopeng membentaknya,

   "Mau apa kau? Pergi!"

   Pelayan itu mundur lagi dengan muka membayangkan ketakutan. Hal ini menyadarkan Cui Hong bahwa empat orang itu memang sudah dikenal di situ dan agaknya sudah biasa ditakuti orang.

   "Nona, seorang gadis secantik engkau tidak patut kalau makan sendirian, maka mar ilah ikut bersama kami, Nona. Nanti kami akan mengantar Nona pulang. Di manakah rumahmu dan siapa pula namamu, Nona?"

   Si Muka Bopeng kini semakin berani dan pertanyaan-pertanyaannya itu mulai kurang ajar.

   "Apakah sudah ada yang punya, Nona manis?"

   Terdengar seorang temannya berteriak dari meja sebelah.

   "Aihh, jangan jual mahal, Nona manis,"

   Kata yang lain.

   "Kami baru saja mendapat rejeki besar, jangan khawatir, kami mampu memberi hadiah besar kepadamu, Nona manis"

   Sambung orang ke tiga.

   Mendengar ucapan-ucapan itu dan melihat sikap mereka. Cui Hong mulai naik darah. Ia merasa serba salah, menghajar mereka berarti akan membuka rahasianya. Mendiamkan saja, mereka tentu akan semakin kurang ajar dan ia tidak akan kuat menahan kesabarannya lagi.

   Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara seorang laki-laki yang terdengar tegas dan halus, biarpun penuh dengan nada teguran.

   "Saudara-saudara adalah laki-laki, maka tidak sepatutnya kalau mengganggu seorang wanita baik-baik di tempat umum. Nona ini sudah makan dan menolak undangan kalian, kenapa mengeluarkan ucapan yang tidak sopan?"

   Cui Hong cepat memandang dan ternyata yang mengeluarkan kata-kata itu adalah pemuda yang berpakaian kuning yang tadi duduk seorang diri di sudut belakang. Kini pemuda itu telah bangkit dari tempat duduknya dan memandang kepada Si Muka Bopeng dengan sinar mata penuh teguran.

   Tentu saja Si Muka Bopeng menjadi marah. Mukanya berubah merah sekali. Dia dan kawan-kawannya terkenal sebagai jagoan-jagoan di lorong itu, dan kini seorang pemuda yang asing berani menegur mereka! Si Muka Bopeng meninggalkan meja Cui Hong dan cepat melangkah menghampiri meja Si pemuda berpakaian kuning dengan mata melotot dan tangan terkepal. Akan tetapi dia berhati-hati, ingin tahu dulu siapa adanya orang yang berani menegur dia dan teman-temannya. Di kota raja banyak terdapat orang pandai dan golongan-golongan yang kuat, maka dia tidak boleh salah tangan menentang orang yang lebih tinggi kedudukannya atau lebih kuat.

   Memang, di bagian mana pun di dunia ini, orang-orang yang suka bertindak sewenang-wenang, yang suka mempergunakan kekerasan untuk menekan orang lain, selalu memiliki watak pengecut dan beraninya hanyalah kepada orang-orang yang lebih lemah dari padanya. Sekali bertemu yang lebih kuat atau lebih tinggi kedudukannya, maka akan nampaklah wataknya yang aseli dan dia akan berubah dari s inga buas menjadi seekor domba yang mengembik, menjadi seorang penjilat yang tidak mengenal malu.

   "Siapakah engkau, berani mencampuri urusan kami?"

   Bentak Si Muka Bopeng. Juga tiga orang kawannya sudah bangkit berdiri dan memandang ke arah pemuda berpakaian kuning itu dengan mata melotot dan muka mengancam. Dengan sikap masih tenang pemuda itu menjawab,

   "Namaku Tan Siong dan aku tidak bermaksud mencampuri urusan kalian, melainkah hanya menasihatkan bahwa tidak sepatutnya laki-laki menggoda wanita di tempat umum."

   "Perduli apa engkau? Apa sih kedudukan dan pekerjaanmu maka engkau berani menentang kami?"

   Si Muka Bopeng kembali bertanya karena dia masih ragu-ragu untuk turun tangan terhadap pemuda yang belum dikenalnya ini.

   Sementara itu, sambil melirik dan mengikuti peristiwa itu dengan sudut matanya, Cui Hong menghampiri pelayan dan menyerahkan pembayaran harga makanannya. Akan tetapi ia masih berdiri di dekat pintu, memandang ke arah dua orang laki-laki yang sedang bertengkar itu. Hatinya semakin tertarik karena pemuda berpakaian kuning itu bersikap demikian tegas, jujur dan penuh dengan keberanian. juga hatinya senang sekali karena pemuda itu telah membelanya, walaupun ia yakin bahwa pemuda itu akan membela wanita mana pun yang diganggu orang. Pemuda itu tidak membela pribadinya, melainkan membelanya karena ia wanita yang mengalami gangguan laki-laki kurang ajar.

   "Aku tidak mempunyai kedudukan apa-apa, dan pekerjaanku adalah bertani Aku seorang perantau yang baru saja masuk ke kota raja dan kebetulan melihat apa yang kalian lakukan terhadap Nona itu. Aku hanya memberi nasihat kepada kalian, tidak bermaksud buruk.

   Mendengar bahwa pemuda itu hanya seorang petani dan perantau, Si Muka Bopeng menjadi marah sekali.

   "Keparat! Kiranya hanya seorang petani dusun busuk! Berani engkau menegur aku? Tidak tahu engkau siapa aku? Aku adalah Si Harimau Sakti, jagoan di kota raja. Manusia usil macam engkau ini harus dihajar!"

   Dan Si Muka Bopeng lalu menendang meja di depannya itu.

   "Brakkk....!"

   Meja itu terpelanting, berikut mangkok piring dan semua benda itu menabrak pemuda berpakaian kuning. Ada kuah sayur memercik ke pakaian pemuda dusun itu yang terpaksa melangkah ke belakang dan agak terhuyung karena meja itu menimpa dadanya cukup keras.

   Melihat ini, Cui Hong mengerutkan alisnya. Pemuda itu adalah pemuda dusun yang sama sekali tidak pandai ilmu silat. Kalau pemuda itu pandai ilmu silat, tentu akan dapat menghindarkan diri dengan mudah. Akan tetapi, kenyataan ini membuatnya semakin kagum. Kalau pemuda itu gagah perkasa, maka tidak aneh kalau dia berani menentang Si Muka Bopeng yang berjuluk Harimau Sakti itu bersama temantemannya.

   Akan tetapi, pemuda tani ritu t idak pandai ilmu silat namun berani menentang. Kegagahan ini amat mengagumkan hatinya dan ia pun siap untuk melindungi pemuda itu kalau sampai terjadi perkelahian karena ia dapat menduga bahwa tentu pemuda tani itu akan disiksa oleh Si Muka Bopeng dan kawan-kawannya yang kini sudah datang beramai-ramai dan mengepung pemuda itu.

   "Toako, perlu apa banyak bicara dengan cacing tanah ini? Hajar saja dia agar dia tahu rasa dan tahu diri! "

   Kata seorang teman Si Muka Bopeng yang hidungnya pesek.

   "Ya, mar i kita pukul dia setengah mati!"

   Teriak yang lain. Melihat sikap mereka, pemuda yang bernama Tan Siong itu kelihatan penasaran, akan tetapi sedikit pun tidak nampak rasa takut membayang di wajahnya.

   "Kiranya kalian adalah orang-orang yang suka melakukan kejahatan. Aku tidak takut karena aku percaya bahwa di kota raja ini tentu berlaku hukum yang melindungi orang-orang yang tidak bersalah."

   "Heh-heh-heh, siapa yang akan melindungimu? Aku akan menghajarmu, siapa yang akan melarang? Di sini tidak ada hukum, hukumnya berada di dalam genggaman tanganku."

   "Hemm, siapa bilang di sini tidak ada hukum?"

   Tiba-tiba terdengar suara keras dari ambang pintu muncullah tiga orang. Orang- terdepan adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, berperut gendut, mukanya putih bersih berbentuk bulat, wajahnya nampak gembira dan ramah, pakaiannya indah-indah dan di pinggangnya tergantung sepasang tombak pendek bercagak. Di belakangnya masuk dua orang laki-laki berusia lima puluhan tahun, yang seorang pendek putih gendut, yang ke dua tinggi besar hitam. Hanya tiga orang ini saja yang memasuki restoran, masih ada dua belas orang perajurit yang menanti di luar rumah makan itu.

   Cui Hong yang tadi lebih dulu melihat tiga orang ini. Melihat orang pertama, diam-diam ia terkejut. Orang itu bukan lain adalah Koo Cai Sun! Dan dua orang kakek di belakangnya adalah Cia Kok Han dan Su Lok Bu, dua orang jagoan yang kini menjadi kepala pengawal di rumah gedung keluarga Pui Seperti biasa, setiap kali melihat wanita cantik, sepasang mata Cai Sun mulai main dengan lirikan genit dan senyum penuh gaya. Dan dia pun langsung saja memperlihatkan kekuasaan dan pengaruhnya juga hendak memamerkan "kebaikannya"

   Kepada wanita cantik yang begitu dilihatnya membuat hatinya terguncang keras karena kagum itu.

   Sementara itu, empat orang jagoan yang ternyata hanyalah jagoan-jagoan kecil yang banyak berkeliaran di kota-kota besar begitu melihat masuknya Koo Cai Sun, menjadi terkejut dan seketika sikap mereka berubah. Bagi mere ka Koo Cai Sun adalah seorang jagoan yang lebih besar, baik kedudukannya maupun kekuatannya.

   "Aihh, kiranya Koo-enghiong yang datang!"

   Kata Si Muka Bor-ng.

   "Maafkan, kami sedang menegur seorang pemuda tani yang tidak tahu diri, berani hendak menentang kami berempat."

   Koo Cai Sun melirik ke arah Cui Hong dan kemudian mengangkat muka memandang pemuda berpakaian kuning itu.

   "Siapakah kamu dan apa yang telah terjadi di sini?"

   Tanyanya, sikapnya demikian angkuh seolah-olah ia berpangkat hakim yang berwenang untuk memeriksa seseorang!

   Pemuda itu menjura dengan sikap hormat, mengira bahwa penanya itu tentulah seorang pembesar.

   "Saya bernama Tan Siong, ketika saya sedang makan di sini, saya melihat empat orang saudara ini mengganggu Nona di sana itu. Saya lalu menegur untuk menasehati mereka, akan tetapi mereka malah marah dan hendak memukul saya, bahkan membalikkan meja saya."

   Koo Cai Sun kembali melirik ke arah Cui Hong dan dia lalu bertolak pinggang menghadapi Si Muka Bopeng.

   "Hem, bagus sekali perbuatan kalian, ya? Berani mengganggu seorang gadis di tempat umum! Apa kalian kira di sini tidak ada hukum? Selama aku di sini, kalian tidak boleh berbuat sewenang-wenang. Hayo cepat kalian minta maaf kepada Nona itu!"

   Si Muka Bopeng dan teman-temannya saling pandang dengan bingung. Mereka cukup mengenai Cai Sun, seorang yang paling suka kepada perempuan cantik dan sering pula mempergunakan kepandaian dan uangnya untuk memaksa perempuan cantik yang dikehendakinya. Akan tetapi kini bersikap sebagai seorang satria yang hendak melindungi seorang perempuan. Akan tetapi Si Muka Bopeng itu agaknya mengerti. Tentu Cai Sun hendak mencari muka kepada gadis cantik itu, pikirnya! Dia dan kawan-kawannya tidak berani membantah. Keempatnya lalu menghampiri Cui Hong, menjura dan Si Muka Bopeng berkata.

   "Harap Nona suka memaafkan kelancangan kami tadi."

   Akan tetapi Cui Hong hanya mengangguk dan ia pun sudah membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari rumah makan itu. Hati sendiri terlalu tegang berhadapan dengan Cai Sun, seorang di antara musuh-musuh besarnya, bahkan merupakan orang ke dua sesudah Pui Ki Cong, yang paling hebat menghinanya tujuh tahun yang lalu. Maka, ia tidak mau mengeluarkan suara, takut kalau-kalau suaranya akan terdengar gemetar saking menahan kemarahan dan kebenciannya.

   "Kalian harus mengganti semua kerusakan di sini."

   Kata Cai Sun dengan suara keras, dengan maksud agar terdengar oleh Cui Hong yang meninggalkan tempat itu. Pemuda berpakaian kuning itu lalu menjura kepada Cai Sun dan berkata.

   "Terima kasih atas kebijaksanaan Tuan."

   Cai Sun hanya mengangguk. Memang tidak ada sedikit pun juga maksudnya untuk menolong atau membela pemuda tani itu.

   Andaikata di situ tadi tidak ada gadis cantik itu, agaknya ia pun tidak akan peduli apakah pemuda tani ini akan dihajar setengah mati ataukah dibunuh sekali pun! Pemuda itu pun cepat meninggalkan rumah makan setelah membayar harga makanan.

   Cai Sun memang datang ke rumah makan itu untuk menjamu Cia Kok Han dan Su Lok Bu, dua orang rekan barunya yang dianggap cukup kuat untuk membantunya menghadapi Kim Cui Hong. Dia sudah membuktikan sendiri betapa hebatnya kepandaian dua orang ini, tingkat mereka bahkan lebih tinggi daripada tingkatnya. Dengan adanya kedua jago ini, dia sama sekali tidak takut akan ancaman gadis puteri Kim-kauwsu itu. Kalau saja di situ tidak ada dua orang kakek jagoan ini, tentu dia membayangi gadis cantik tadi untuk dirayunya karena dia sudah tergila-gila kepada gadis yang cantik manis tadi. Akan tetapi setidaknya dia telah berdaya dan gadis itu tentu berterima kasih kepadanya, pikirnya. Tentu sudah ada kesan baik dalam hati gadis itu mengenai dirinya, dan kalau lain kali dapat bertemu kembali, hemm, tidak akan sukar menundukkannya!

   "Nona, mari ikut bersamaku, cepat!"

   
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Cui Hong menoleh dan melihat bahwa pemuda berpakaian kuning tadi telah berjalan dengan cepat mengejarnya dan memberi isyarat kepadanya untuk mengikutinya. Tentu saja ia merasa heran, bahkan ada perasaan kecewa menyelubungi hatinya. Apakah pemuda ini, yang tadi sempat menarik perhatiannya dan membangkitkan rasa kagumnya, pada kenyataannya hanyalah seorang laki-laki biasa saja, seperti yang lain-lainnya dan yang selalu menyembunyikan pamrih di balik semua sikap dan perbuatannya terhadap seorang wanita? Seorang pemuda yang mempergunakan kehalusan sikapnya untuk memikat seorang gadis, dan kini, setelah merasa bahwa dia tadi melindungi dan membelanya, pemuda itu lalu memperlihatkan watak yang sesungguhnya dan mengajaknya ikut ke rumahnya untuk minta imbalan jasa?

   Akan tetapi, pandang mata pemuda itu demikian serius, sedikit pun tidak nampak maksud kurang ajar. Dan karena memang ingin sekali tahu dan mengenal pemuda ini lebih mendalam untuk mengetahui apakah benar pemuda ini seorang laki-laki yang patut dikagumi. 'Cui Hong tidak banyak berpikir lagi dan segera mengangguk dan mengikuti pemuda itu.

   "Cepat, ke sini....!"

   Berkali-kali pemuda itu berseru dan nampak tergesa-gesa mengajak Cui Hong keluar masuk lorong sempit di antara rumah-rumah di dalam kota raja itu.

   Akhirnya, dengan mengambil jalan melalui lorong-lorong sempit, mereka tiba di ujung selatan kota raja dan pemuda itu mengajaknya untuk memasuki sebuah kuil tua yang nampaknya sudah tidak terpakai lagi. Di depan kuil itu nampak beberapa orang gelandangan berteduh. Mereka adalah para tuna wisma yang mempergunakan kuil tua itu sebagai tempat berteduh mereka. Agaknya pemuda itu sudah biasa memasuki kuil tua itu sehingga para pengemis itu tidak ada yang memperhatikannya, walaupun ada beberapa orang yang menoleh dan memandang heran melihat betapa pemuda itu datang bersama gadis demikian cantiknya. Cui Hong merasa semakin heran dan hatinya tambah tertarik. Dengan hati yang agak tenang dan menduga-duga, ia pun terus mengikuti pemuda itu masuk kuil rusak yang sudah tua itu dan akhirnya pemuda yang mengaku bernama Tan Siong itu berhenti di ruangan belakang yang biarpun sudah rusak dan tidak terawat, namun lantainya sudah dibersihkan. Di situ tidak terdapat lain orang kecuali mereka berdua.

   "Nah, di sini kita aman sudah."

   Kata Tan Siong sambil menarik napas panjang, wajahnya yang tadi serius nampak lega. Kembali timbul kecurigaan di dalam hati Cui Hong. Benarkah kekhawatirannya tadi bahwa pemuda ini bermaksud kurang ajar terhadap dirinya?

   "Apakah artinya semua ini? Apa maksudmu mengajak aku pergi ke sini dengan tergesa-gesa seperti menyembunyikan diri?"

   Cui Hong bertanya sambil menatap tajam. Pemuda itu balas memandang dan kembali, seperti terjadi di dalam rumah makan tadi pada saat mereka bertemu pandang untuk pertama kali, dua pasang mata itu bertemu pandang, bertaut dan sampai lama mereka saling pandang, seolah-olah dua pasang mata itu saling menjajagi dan sinarnya saling melekat, sukar dipisahkan lagi. Akhirnya pemuda itu yang menundukkan sinar matanya karena dia harus menjelaskan tindakannya yang agaknya menimbulkan keheranan dan kecurigaan wanita itu.

   "Maafkan aku, Nona, tadinya aku tidak sempat menjelaskan, dan terima kasih bahwa engkau begitu percaya kepadaku dan memenuhi permintaanku tanpa ragu-ragu."

   Lega rasa hati Cui Hong. Bukan begini sikap seorang pria yang hendak berbuat kurang ajar, pikirnya, la tersenyum dan kembali pemuda itu terpesona. Biarpun usianya sudah tiga puluh tahun, namun selama hidupnya, rasanya baru sekali ini dia melihat senyuman yang demikian manis, demikian menyentuh perasaannya.

   "Tidak ada maaf dan tidak perlu berterima kasih. Yang penting jelaskan apa maksudnya engkau mengajak aku bersembunyi di sini."

   "Nona, sungguh aku merasa kagum dan heran sekali melihat betapa dalam keadaan terancam bahaya tadi, Nona bersikap demikian tenangnya, bahkan sampai sekarang engkau seperti tidak merasa bahwa dirimu terancam bahaya. Empat orang tadi, apakah engkau kira akan mau sudah begitu saja, Nona? Mereka tentu akan mencari dan mengejarmu, dan karena itulah, sebelum mere ka keluar dari rumah makan, aku cepat mengejarmu dan mengajakmu pergi bersembunyi, dan di tempat ini mere ka tentu tidak akan menemukanmu."

   Hampir Cui Hong tertawa geli. Pemuda ini terlalu khawatir, padahal pemuda ini sendiri tadi demikian tabah menghadapi empat orang itu walaupun dia t idak pandai ilmu silat sedikit pun. Kenapa pemuda ini tidak mengkhawatirkan diri sendiri, sebaliknya amat mengkhawatirkan dirinya?

   "Tapi, bukankah tadi muncul orang yang mereka takuti?"

   "Aih, Nona, apakah Nona tidak dapat menduga? Orang gendut tadi jelas memiliki kedudukan atau kekuasaan yang lebih t inggi daripada empat orang itu, dan dengan adanya orang tadi, Si Muka Bopeng tidak berani mengganggumu. Akan tetapi, jelas bahwa di antara mereka ada hubungan, buktinya Si Muka Bopeng demikian menghormat, dan aku melihat bahwa Si Gendut yang baru datang tadi lebih jahat"

   Dan berbahaya lagi bagi dirimu."

   "Ehhh...?"

   Cui Hong benar terkejut. Pemuda ini memang dapat menduga dengan amat cepatnya! Tentu saja Koo Cai Sun jauh lebih berbahaya daripada empat orang bajingan kecil tadi.

   "Bagaimana kau bisa tahu bahwa orang yang baru datang tadi lebih jahat dan berbahaya? Apakah engkau mengenalnya?"

   Tan Siong menggeleng kepalanya.

   "Aku tidak mengenalnya, Nona, akan tetapi siapapun dapat melihat bahwa dia mempunyai niat buruk di dalam benaknya tehadap dirimu, ketika dia melirik ke arahmu, Nona. Dan melihat senjata di pinggangnya itu.... hemm, aku sungguh khawatir terhadap keselamatanmu, maka aku segera menyusul dan mengajakmu dan lari bersembunyi ke sini."

   Ketika menyadari bahwa sejak tadi mereka hanya bercakap-cakap sambil berdiri saja, Tan Siong lalu cepat mempersilakan Cui Hong duduk.

   "Silakan duduk, Nona. Akan tetapi maaf, tidak ada tempat duduk yang layak di sini. Lantainya sudah kubersihkan dan kita hanya dapat duduk di atas lantai."

   Cui Hong mengangguk dan melihat pemuda itu duduk, ia pun duduk bersimpuh di atas lantai dan memandang ke kanan kiri.

   "Tempat ini adalah sebuah kuil tua yang tidak dipakai lagi. Mengapa engkau tinggal di tempat ini? Bukankah engkau tadi mengatakan bahwa engkau seorang petani dari luar kota?"

   Tan Siong menarik napas panjang.

   "Benar, Nona. Namaku Tan Siong dan pekerjaanku selama ini hanya bertani.... dan bertahun-tahun aku tinggal di pegunungan yang sunyi. Aku datang ke kota raja ini karena hendak mencari seorang Pamanku. Karena belum berhasil, untuk menghemat biaya karena bekalku tidak banyak, aku mengambil keputusan untuk melewatkan malam di tempat ini. Dan, kalau boleh aku mengetahui, siapakah namamu, Nona, dan di mana engkau tinggal?"

   "Namaku..."

   Cui Hong teringat bahwa ia harus menyembunyikan rahasia dirinya, maka disambungnya cepat, Cin Hwa, she Ok, dan aku.... aku pun sebatangkara di kota raja ini. Aku seorang yatim piatu..."

   Tan Siong memandang dengan penuh selidik dan alis berkerut, agaknya dia merasa heran karena melihat betapa pakaian gadis itu cukup indah dan mahal, dan betapa seorang yang demikian cantik jelita hidup seorang diri saja di dunia ini!

   "Tapi.... tapi kau.... benar-benar hidup sendirian saja, Nona?"

   Tanyanya, seperti tidak percaya.

   Cui Hong maklum bahwa tentu pemuda itu heran melihat pakaiannya yang indah dan mahal.

   "Aku memang hidup sendirian saja, akan tetapi aku menerima peninggalan warisan yang cukup banyak dari orang tuaku. Untuk kehidupanku, aku tidak khawatir, dan aku suka sekali pesiar."

   Ia merasa bahwa ia telah bicara terlampau banyak, maka ia pun bangkit berdiri.

   "Sudahlah, Saudara Tan Siong, aku harus pergi sekarang dan terima kasih atas semua kebaikanmu terhadap diriku "

   Tan Siong juga ikut bangkit.

   "Tapi, Nona Ok Cin Hwa... alangkah berbahayanya kalau engkau keluar dari sini. Bagaimana kalau sampai bertemu dengan mereka berempat yang tentu masih penasaran dan sedang mencari-carimu?"

   Cui Hong tersenyum manis.

   "Aku tidak takut. Bukankah selama ini aku pun merantau seorang diri dan selalu selamat? Aku tidak khawatir, karena bukankah seperti kaukatakan tadi, di kota raja ini terdapat hukum yang melindungi orang-orang yang tidak berdosa?"

   "Benar, itu untuk diriku, Nona. Siapa yang akan mengganggu aku dan untuk apa mengganggu aku, seorang laki-laki yang tidak punya apa-apa. Akan tetapi engkau! Engkau begini. ah, keadaanmu...."

   Cui Hong memandang tajam dan senyumnya masih menghias bibirnya yang merah membasah bukan karena gincu.

   "Begini..... apa, Saudara Tan Siong?"

   Tanyanya mendesak.

   "Maaf engkau begini cantik jelita dan pakaianmu.... menunjukkan engkau memiliki uang. Keadaan dirimu dan pakaianmu itu saja sudah cukup untuk membangkitkan selera buruk dalam hati orang-orang jahat."

   Untuk ke tiga kalinya Cui Hong merasa heran terhadap hatinya sendiri. Kenapa hatinya begini girang, sampai berdebar mendengar pemuda tani ini mengatakan bahwa ia cantik jelita? Padahal biasanya, kalau ada laki-laki yang berani memujinya, memuji kecantikannya di depannya, ia akan merasa sebal dan marah. Mengapa demikian? Apakah karena laki-laki lain memuji untuk merayu dan untuk berkurang ajar, sedangkan pemuda ini memuji dengan sinar mata jujur dan untuk memperingatkannya akan bahaya yang mengancamnya karena kecantikannya? Entahlah, akan tetapi yang jelas, ia merasa senang sekali mendengar pemuda itu mengatakan ia cantik jelita!

   "Jangan khawatir, Saudara Tan. Aku melihat bahwa di kota raja ini pusat wanita-wanita cantik dengan pakaian-pakaian mereka yang serba indah. Apakah mereka semua itu pun takut untuk keluar rumah? Tak mungkin kiranya empat orang itu hanya mengejar-ngejar aku seorang saja. Nah, selamat tinggal dan sampai berjumpa lagi!"

   Berkata demikian, Cui Hong lalu meninggalkan ruangan belakang kuil itu.

   "Nanti dulu, Nona Ok....!"

   Tan Siong mengejar dan berjalan di samping Cui Hong.

   "Biar aku mengantar Nona sampai ke tempat tinggalmu."

   "Ah, tidak perlu, Saudara Tan, tidak perlu,"

   Kata Cui Hong yang khawatir kalau orang ini mengetahui tempat ia bermalam. Dengan uangnya ia telah menyewa sebuah rumah gedung kecil di pinggir kota, tempat yang dipergunakannya untuk beroperasi dan berusaha membalas dendam terhadap musuh-musuhnya, la akan merasa tidak enak kalau sampai ada orang yang mengetahui tempat tinggalnya.

   "Baiklah, Nona Ok. Setidaknya aku akan merasa lega dan aman kalau engkau sudah tiba di tempat tinggalmu. Di manakah engkau tinggal?"

   "Di.... di rumah penginapan."

   Terpaksa Cui Hong berkata membohong dan ia pun mendapatkan akal. Kalau ia menolak terus, tentu akan menimbulkan kecurigaan pemuda ini, dan pula rasanya ia pun segan untuk berpisah begitu saja. Ingin ia berada lebih lama dekat dengan pemuda ini dan bercakap-cakap.

   Mereka lalu berjalan ke luar dari kuil. Matahari sudah condong ke barat dan sambil berjalan, mereka bercakap-cakap. Percakapan kecil saja, hanya omong-omong dan ngobrol tentang hal-hal remeh untuk mengisi kesunyian, akan tetapi sungguh aneh, Cui Hong merasa gembira bukan main karena belum pernah ia mengalami keakraban seperti dengan pemuda yang baru saja dikenalnya ini.

   Diam-diam, ketika bercakap-cakap, ia melirik dan mengamati wajah pemuda itu penuh perhatian. Seorang pemuda yang ganteng, menarik, jujur, sopan dan memiliki keberanian yang mengagumkan. Kesopanan dan keberanian itu wajar, sesuai dengan kejujurannya, tidak berpura-pura atau menyembunyikan pamrih apa pun. Seorang pemuda yang belum tentu dapat ditemukan di antara seribu orang pemuda lain, pikirnya.

   Setelah tiba di depan sebuah penginapan, Cui Hong berkata.

   "Di sinilah untuk sementara aku menginap, Tan-toako (Kakak Tan). Terima kasih engkau telah mengantarku sampai di sini."

   Wajah pemuda itu nampak berseri mendengar Cui Hong menyebutnya kakak, sebutan yang lebih akrab daripada sebutan saudara.

   "Baiklah, aku pergi sekarang, Hwa-moi (Adik Hwa). Harap kau suka berhati-hati menjaga diri. Ingat, di kota raja ini banyak terdapat orang jahat."

   "Terima kasih, Toako. Sampai berjumpa kembali."

   "Tapi. tapi.... dapatkah kita berjumpa kembali?"

   "Mengapa tidak? Kita sudah saling mengenal, bukan? Dan selama kita berada di kota raja, tentu saja besar kemungkinan kita akan saling jumpa."

   "Mudah-mudahan begitu. Selamat tinggal, Hwa-moi."

   Pemuda itu lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dengan langkah cepat dari situ. Cui Hong mengikutinya dengan pandang matanya. Seorang pemuda yang amat baik, pikirnya, dan selalu menjaga kesopanan. Kalau tidak demikian, tentu setelah tiba di depan rumah penginapan ini, Tan Siong akan berusaha mengikutinya sampai ke kamarnya. Tentu saja ia tidak tinggal di rumah penginapan ini dan setelah bayangan Tan Siong tidak nampak, ia menyelinap ke samping rumah penginapan itu dan mengambil jalan lain untuk kembali ke rumah yang disewanya, yang berada di satu jalan dengan rumah penginapan itu.

   Koo Cai Sun merasa tersiksa batinnya setelah dia tinggal di dalam gedung Pui Ki Cong bersama keluarganya. Memang, gedung itu besar dan megah, jauh lebih mewah daripada rumahnya sendiri, dari di situ terjaga ketat oleh para pengawal, juga merasa aman karena adanya dua orang jagoan yang tangguh. Akan tetapi perasaan aman dan tenteram ini hanya dinikmatinya di waktu malam. Dia dapat tidur nyenyak, tidak khawatir lagi akan kedatangan musuh besar yang ditakutinya. Cai Sun adalah orang yang suka keluyuran, suka mencari kesenangan di luar rumah. Setelah beberapa belas hari lamanya dia tinggal terkurung saja di dalam rumah, akhirnya dia tidak kuat, merasa seperti di dalam rumah tahanan saja. Dia rindu untuk mengunjungi rumah rumah pelesiran, rindu untuk mencari wanita-wanita baru yang akan dapat menghibur hatinya yang selalu haus akan kesenangan itu.

   Dan ternyata bahwa bayangan musuh itu sama sekali t idak pernah muncul! Juga setelah beberapa kali dia pada siang hari keluar rumah bersama Cia Kok Han dan Su Lok Bu. Tak pernah dia mengalami gangguan dari Kim Cui Hong. Hal ini membuatnya berbesar hati dan mulailah dia berani keluar dari rumah gedung itu di waktu siang. Dia berpendapat bahwa Kim Cui Hong tentu hanya berani turun tangan di waktu malam saja, hanya berani bertindak secara sembunyi. Kalau terang-terangan di waktu siang tentu wanita itu tidak berani karena pertama, dia sendiri memiliki kepandaian cukup untuk melawannya dan kedua, di waktu siang hari wanita itu tentu akan dikenal orang dan di kota raja terdapat banyak penjaga keamanan yang telah dikenalnya. Kalau di waktu siang dia berkelahi dengan seorang wanita asing, tentu banyak orang akan membantunya. Jelaslah bahwa Kim Cui Hong tidak akan berani menyerangnya di waktu siang di tempat umum yang ramai.

   Dengan pikiran seperti itu, Cai Sun mulai berani keluar dari gedung untuk berjalan-jalan dan tak lama kemudian, dia pun mulai berani keluar mengunjungi rumah-rumah pelesiran untuk bersenang-senang dengan pelacur-pelacur baru. Dan pada suatu hari, setelah matahari naik tinggi, pergilah Cai Sun keluar dari gedung seorang diri saja, tidak ditemani Cia Kok Han, Su Lok Bu atau seorang pun pengawal. Dengan santai ia melangkah keluar dan berjalan-jalan menuju ke pasar.

   Tiba-tiba matanya tertarik oleh seorang wanita muda yang memakai pakaian merah muda, pakaian yang cukup indah dan mewah berjalan seorang diri di depannya. Melihat lenggang yang memikat dari belakang, pinggul yang seperti menari-nari di balik celana sutera tipis, tergeraklah hati Cai Sun yang mata keranjang. Dia tidak ingat lagi dari mana wanita itu tadi muncul, karena tahu-tahu sudah berjalan di sebelah depan, dengan lenggang yang nampak dari celah-celah rambut yang hitam itu amat putih mulus dan timbul keinginan hati Cai Sun untuk melihat bagaimana wajah perempuan itu. Dari belakang memang amat menggairahkan, dengan bentuk tubuh yang ramping dan padat, dengan lekuk lengkung tubuh yang matang, akan tetapi hatinya belum puas kalau belum melihat bagaimana wajahnya.

   Betapa pun indah tubuh dan kulit seseorang, kalau tidak disertai wajah yang cantik, maka wanita itu tidak akan dapat menarik hati pria, terutama pria mata keranjang seperti Cai Sun. Dia pun mempercepat langkahnya dengan hati berdebar penuh kegembiraan Sebentar saja Cai Sun dapat menyusul wanita itu dan dia lewat di sebelah kanannya, mendahului dan sengaja melepas batuk. Wanita itu terkejut dan menoleh ke kanan. Mereka saling bertemu pandang dan Cai Sun merasa jantungnya seperti akan copot. Wanita itu cantik jelita dan manis sekali!

   Dan yang lebih daripada itu, dia mengenal wanita itu sebagai gadis yang pernah menimbulkan keributan di dalam rumah makan beberapa hari yang lalu! Selama itu, dia tidak pernah dapat melupakan gadis itu. Sudah dicobanya untuk bertanya-tanya para pelayan rumah makan, sudah diusahakannya untuk mencari, namun dia tak pernah berhasil. Dan sekarang, tanpa disangka-sangka, dia bertemu dengan gadis cantik menarik itu. Juga wanita itu nampak kaget, lalu tersipu-sipu malu.

   "Ah, kiranya engkau, Nona...l"

   Kata Cai Sun dengan sikap ramah dan segera ia memasang aksinya, tersenyum-senyum dan mencoba untuk memperlebar matanya yang sipit dan kecil seperti mata babi itu. Memang wajah Cai Sun yang bulat dan gemuk itu mirip wajah seekor babi.

   "Ah, In-kong (Tuan Penolong)"

   Wanita itu berseru dengan suara tertahan sehingga terdengar merdu sekali, lalu ia menundukkan mukanya yang berubah merah. Bukan main besar dan girangnya rasa hati Cai Sun disebut in-kong oleh gadis itu. Bagus, pikirnya, setelah gadis itu mengakuinya sebagai tuan penolong, tentu tidak akan sukar menariknya.

   "Engkau masih ingat kepadaku, Nona?"

   Pancingnya. Dengan sikap malu-malu karena ditegur seorang laki-laki di tempat umum, gadis itu menjawab lirih.

   "Tentu saja, semenjak mendapat pertolongan darimu, aku tidak pernah dapat melupakan penolongku."

   Hampir berjingkrak laki-laki itu saking girangnya.

   "Benarkah itu? Kalau begitu, bolehkah aku berkenalan denganmu dan singgah ke rumahmu, Nona?"

   Dengan sikap masih tersipu gadis itu pun menjawab.

   "Tentu saja boleh, in-kong dan aku akan merasa terhormat sekali."

   Cai Sun hampir bersorak penuh kemenangan. Tak disangkanya akan begini mudahnya memperoleh seorang calon pacar baru. Demikian muda, cantik jelita, dan agaknya semua ini berkat ketampanan dan kegagahannya, di samping kepandaiannya merayu dengan rayuan mautnya. Bangga akan diri sendiri, lubang hidung Cai Sun mere kah dan kembang-kempis.

   "Kalau beg itu, mari kuantar engkau pulang, Nona. Ataukah engkau masih ada keperluan lain?"

   "Aku memang hendak pulang, In-kong. Sudah lelah berjalan-jalan sejak pagi pulang. Di manakah rumahmu?"

   "Di ujung kota sebelah sana, In-kong."

   Mereka berjalan bersama dan dengan hati girang bukan main berkali-kali Cai Sun melirik ke arah gadis itu yang berjalan sambil menundukkan mukanya dan tak pernah membuka mulut. Seorang gadis yang luar biasa manisnya, pikir Cai Sun, dan tentu mudah didapatkannya karena gadis yang memakai bedak agak tebal "tu tentu bukan wanita yang suka jual mahal! Akan tetapi dia teringat akan keluarga gadis itu, dan timbul kekhawatirannya bagaimana kalau keluarga gadis itu berkeberatan dia menggauli gadis ini?

   "Nona, selain engkau, siapa lagi yang tinggal di rumahmu?"

   Wanita itu menggeleng kepala.

   "Tidak ada orang lain, hanya aku dan seorang pelayanku, In-kong."

   "Orang tuamu....?"

   "Mereka tinggal di dusun di luar kota raja..."

   "Engkau seorang gadis t inggal seorang diri saja?"

   "Suamiku sudah meninggal beberapa bulan yang lalu..."

   Cai Sun hampir bersorak. Seorang janda! janda muda yang beberapa bulan menjanda. Janda kembang! Bukan main girang rasa hatinya. Dia lebih senang seorang janda daripada seorang gadis. Seorang janda mempunyai banyak pengalaman dan jauh lebih pandai menyenangkan hati pria daripada seorang gadis yang masih bodoh!

   Tanpa disadarinya, Cai Sun mengikuti wanita itu sampai di ujung kota, bagian yang cukup sepi dan agak jauh dari tetangga, tidak seperti di tengah kota yang rumahnya berhimpitan Namun, Cai Sun yang sudah tergila-gila ini lupa akan keadaan dirinya, menjadi lengah dan lupa lagi akan ancaman terhadap dirinya selama ini. Yang dibayangkannya hanyalah janda kembang yang cantik molek itu sebentar lagi tentu akan menjadi miliknya, memasrahkan diri dengan suka rela kepadanya yang menjadi tuan penolongnya!

   "Di sana itulah rumahku, In-kong, yang bercat hijau. Sebaiknya In-kong menunggu dulu. Tidak baik kalau kita masuk bersama, aku.... aku merasa malu. .....sebagai seorang janda.... ah, tentu In-kong mengerti. Biar aku pulang dulu baru nanti In-kong datang bertamu. Dengan demikian, kalau pun ada yang melihatnya, tentu disangka bahwa In-kong masih ada hubungan keluarga denganku. Akan tetapi sebaiknya jangan sampai ada orang lain melihatnya, Inkong..."

   Ucapan itu disertai senyum dikulum dan kerling tajam menyambar. Kata-kata dan sikap itu saja sudah merupakan janji yang amat mesra bagi Cai Sun. Kalau wanita ini hendak merahasiakan pertemuan mereka, berarti wanita itu memang "ada maksud"

   Dan tentu saja dia mengangguk-angguk dengan muka merah dan berkali-kali menelan ludah. Dipandangnya lenggang yang menggairahkan itu, dan nafsu-nya semakin memuncak.

   Setelah wanita itu lenyap ke dalam rumah cat hijau, dengan tergesa-gesa Cai Sun setengah berlari menuju ke sana dan dengan girang dia melihat bahwa tempat itu sunyi dan tidak seorang pun melihatnya. Dan pintu depan itu tidak terkunci karena ketika daunnya ditolakkan, segera terbuka.

   Dia masuk dan menutupkan kembali daun pintu depan itu. Ia melihat wanita tadi telah berdiri di ruangan tengah, memandang kepadanya dengan senyum simpul. Cai Sun sengaja mengunci daun pintu itu, memasangkan palang pintunya dan ternyata janda muda itu hanya tersenyum saja. Ingin Cai Sun lari dan menubruknya, karena semua sikap itu jelas menandakan bahwa dia telah memperoleh "lampu hijau". Berbeda dengan dandanan wanita itu yang agak mewah, dengan pakaian yang indah dan mahal dan perhiasan di tubuhnya, keadaan di dalam rumah itu sendiri agak gundul. Hanya nampak meja kursi di ruangan tengah.

   "In-kong, silakan duduk. Kita dapat bercakap-cakap di sini. Pelayanku sedang keluar kusuruh membeli arak karena arakku telah habis."

   "Ah, tidak perlu repot-repot. Oh ya, pintunya terlanjur kupalang, bagaimana nanti pelayanmu dapat masuk?"

   Katanya setengah berkelakar.

   "Ia mengambil jalan pintu belakang, In-kong."

   Cai Sun lalu duduk, berhadapan dengan wanita itu, terhalang sebuah meja bundar yang kecil. Ingin Cai Sun menendang pergi meja itu dan langsung memeluk janda kembang yang duduk dengan manisnya di depannya. Bau semerbak harum telah tercium olehnya, bau harum yang sejak di jalan tadi sudah mengganggu hatinya. Akan tetapi, dia belum mengenal siapa janda muda ini, maka dia menahan hatinya untuk bersabar. Perlu apa tergesa-gesa kalau domba sudah tergiring masuk kandang?

   "Nona, ataukah aku harus memanggil Nyonya? Akan tetapi kurasa lebih baik kupanggil Adik saja, bagaimana?"

   "Terserah kepadamu, In-kong."

   "Aih, jangan menyebut In-kong, membikin hubungan kita menjadi kaku dan canggung saja. Moi-moi, aku bernama Koo Cai Sun, dan pekerjaanku adalah pedagang senjata-senjata pusaka yang mahal. Aku mempunyai sebuah to ko di pusat keramaian kota. Nah, kau sebut saja aku Koko (Kakanda). Siapakah namamu dan ceritakan keadaanmu agar perkenalan antara kita menjadi semakin.... akrab dan mesra."

   Wanita itu menundukkan mukanya yang menjadi merah dan ia tersipu malu.

   "Namaku Ok Cin Hwa dan seperti sudahkuceritakan tadi, orang tuaku tinggal di dusun dan suamiku telah meninggal dunia empat bulan yang lalu."

   Tiba-tiba daun pintu depan digedor orang. Cai Sun terkejut, juga wanita itu. Seperti para pembaca tentu sudah dapat menduga, wanita itu yang mengaku bernama Ok Cin Hwa sesungguhnya adalah Kim Cui Hong yang menyamar! Sudah berhari-hari ia membayangi Cai Sun yang suka berjalan-jalan seorang diri keluar dari gedung keluarga Pui dan kesempatan itu dipergunakannya untuk memancing musuh besar itu. Tentu saja ia dapat menyerang roboh musuhnya di tengah jalan, akan tetapi hal ini ia tidak mau melakukannya. Ia ingin membalas dendamnya sepuas hatinya, dan hal itu baru dapat tercapai kalau ia dapat berhadapan berdua saja dengan musuhnya. Dengan kecantikannya, ia berhasil memikat hati Cai Sun yang mata keranjang dan kini sudah bersiap-siap untuk melakukan balas dendamnya. Maka ketika daun pintu digedor orang dengan kerasnya, Cui Hong terkejut bukan main.

   "Pelayanmukah itu?"

   Tanya Cai Sun, mengerutkan alisnya. Cui Hong menggeleng kepalanya.

   "la tidak berani menggedor seperti itu, akan tetapi masuk melalui pintu belakang."

   Tiba-tiba wajah Cai Sun menjadi pucat. Baru dia teringat akan ancaman musuh besarnya. Jangan-jangan yang datang itu adalah musuhnya yang melihat dia berada di dalam rumah sunyi ini! Dia meraba gagang sepasang tombak pendeknya dan berkata kepada Cui Hong.

   "Hwa-moi, kau tanya dulu siapa yang menggedor pintu itu sebelum membukanya."

   Katanya dan suaranya terdengar agak gemetar. Baru sekarang dia sadar bahwa dia telah terlalu jauh meninggalkan gedung keluarga Pui, bahwa dia telah terlalu lengah.

   Dengan sikap takut-takut Cui Hong menghampiri pintu, sementara itu Cai Sun sudah mencabut sepasang senjata tombak pendeknya. Kembali terdengar pintu digedor dari luar.

   "Siapa itu yang menggedor pintu?"

   Teriak Cui Hong dengan nyaring.

   Suasana hening dan menegangkan, terutama bagi Cai Sun yang menanti terdengarnya jawaban dari luar, siap dengan senjata di tangan. Kemudian terdengarlah suara laki-laki menjawab dari luar.

   "Buka pintu, kami datang mencari Saudara Koo Cai Sun Tadi dia masuk ke dalam rumah ini. Buka atau.... akan kami jebol pintu ini! "

   Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mendengar suara itu, Cai Sun tertawa. Legalah hatinya ketika mengenal suara Su Lok Bu, seorang di antara dua jagoan yang diangkat menjadi kepala pengawal oleh Pui Ki Cong. Lenyaplah rasa khawatirnya.

   "Ha-ha-ha, kiranya engkau, Su-toako!"

   Teriaknya dan dia pun memandang Cui Hong dengan penuh gairah.

   "Dia sahabatku sendiri, Hwa-moi, jangan takut. Bukalah pintunya."

   Tentu saja Cui Hong diam-diam merasa mendongkol sekali. Musuh besar yang amat dibencinya ini telah berada di dalam genggaman tangannya, tinggal melaksanakan balas dendamnya saja dan kini datang gangguan yang merupakan pertolongan bagi Cai Sun. Tentu saja mudah baginya untuk merobohkan Cai Sun dan melarikannya dari situ, akan tetapi tempatnya telah diketahui orang dan kalau dilakukannya hal itu, berarti ia membuka rahasia sendiri. Padahal masih ada Pui Ki Cong yang harus dibalasnya pula. Tidak, ia harus melakukan pembalasan tanpa diketahui orang. Setelah semua musuhnya dibalas, ia tidak perduli lagi apakah ia dikenal orang ataukah tidak. Maka, sambil menyembunyikan kekecewaannya, ia lalu membuka daun pintu.

   

Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini