Sepasang Rajah Naga 29
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 29
"Apa...? Engkau melarikan gadis yang menjadi tawanan Kim Niocu dan membebaskan seorang tawanannya?"
Bentaknya sambil memandang pemuda dan gadis yang duduk di atas kursi itu sambil menundukkan kepala mereka.
"Dengan begitu sebagai seorang anggauta Pek-Lian-Kauw engkau telah berkhianat! Bukan itu saja, engkau juga telah menyeret aku sebagai seorang Pek-Lian-Kauw yang tidak setia! Lupakah engkau bahwa aku adalah seorang ketua cabang Pek-Lian-Kauw? Perbuatanmu ini menempatkan aku menjadi seorang pengkhianat yang memusuhi puteri ketua umum! Sekarang, enyah kau dari sini! Pergi bersama perempuan ini"
"Ayah..."
Bhong-Kongcu memohon.
"Aku bukan Ayahmu dan engkau bukan anakku lagi! Pergi sekarang juga sebelum aku berubah pikiran dan membunuh kalian berdua!"
Bentak Bhong Khi dengan muka merah dan mata melotot.
"Akan tetapi Ayah..."
"Cukup!"
Tangan ketua cabang Pek-Lian-Kauw itu bergerak. Tampak sinar berkelebat dan sebatang pedang telah menancap di depan Bhong Lam, menancap di lantai dan gagangnya bergoyang-goyang. Wajah Bhong Lam menjadi pucat. Lemparan pedang itu membuktikan bahwa Ayahnya sudah marah sekali dan tidak mau memberi hati sedikitpun. Dia lalu menggandeng tangan Ouw Yang Hui, bagkit dan setelah sekali lagi memandang wajah Ayahnya, Bong Lam menarik Ouw Yang Hui pergi meninggalkan ruangan dan rumah itu, lalu keluar dari perkampungan Pek-Lian-Kauw. Ouw Yang Hui berjalan di samping Bhong Lam yang telah menjadi suaminya selama kurang lebih satu bulan. la melangkah dengan kepala ditundukkan. Gadis ini merasa betapa jantungnya seperti diremas-remas.
Harus diakuinya bahwa Bhong Lam bersikap baik sekali kepadanya, penuh kasih sayang, juga amat lembut dan menghormatinya. la merasakan benar bahwa pemuda ini memang sungguh mencintanya. Akan tetapi, kalau ia teringat kepada Wong Sin Cu, hatinya menjerit. Cintanya hanya untuk Sin Cu. Tak mungkin ia mencinta pria lain. Terhadap Bhong Lam yang amat mencintanya pun, ia tidak mempunyai perasaan cinta, ia terpaksa menyerahkan dirinya kepada Bhong Lam. Tidak, Bhong Lam sama sekali tidak memperkosanya, tidak menggunakan kekerasan untuk memilikinya. Akan tetapi ia terpaksa harus menyerahkan diri dengan rela untuk memenuhi janjinya. Bhong Lam telah membebaskan Sin Cu, telah menyelamatkan Sin Cu dari ancaman maut dan rela mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan pria yang dikasihinya itu.
la rela berkorban nyawa sekalipun demi cintanya terhadap Sin Cu. Akan tetapi, biarpun ia rela menyerahkan diri kepada Bhong Lam, namun pemuda Pek-Lian-Kauw itu benar-benar amat mencintanya, namun setiap kali ia teringat kepada Sin Cu, jantungnya terasa seperti ditusuk-tusuk. Ia telah menjadi isteri Bhong Lam, biarpun tidak sah karena Ibu kandungnya tidak pernah merestuinya bahkan tidak tahu akan pernikahan terpaksa itu, Ibu kandungnya yang hanya tahu bahwa ia adalah tunangan atau calon isteri Wong Sin Cu dan pertunangan itu bahkan telah diresmikan dan disaksikan oleh para tetangga bahkan orang tua Bhong Lam sendiri juga tidak memberi restu, bahkan menentangnya. Betapa hatinya tidak akan hancur menghadapi nasibnya ini. Tiba-tiba terdengar seruan nyaring sekali,
"Bhong Lam, berhenti kau...!"
Bhong Lam dan Ouw Yang Hui terkejut, menghentikan langkah mereka dan membalikkan tubuh. Sesosok bayangan berlari cepat sekali ke arah mereka. Bhong Lam yang lebih dulu mengenal bayangan itu.
"Ayah datang! Hui-moi, berlindunglah di belakangku."
Ouw Yang Hui mengerutkan alisnya. Mau apa orang tua yang sudah tidak merestui perjodohan mereka itu kini datang. la pun melangkah dan berdiri di belakang Bhong Lam yang menanti Ayahnya dengan alis berkerut. Cepat sekali Bhong Khi atau atau Bhong Pangcu, ketua cabang Pek-Lian-Kauw itu berlari dan sebentar saja dia sudah berdiri di depan Bhong Lam. Wajah ketua cabang Pek-Lian-Kauw itu merah sekali dan matanya bersinar mencorong.
Dia baru saja menerima utusan Kim Niocu yang menyampaikan perintah puteri ketua umum Pek-Lian-Kauw itu agar dia segera menangkap Bhong Lam dan Ouw Yang Hui hidup atau mati. Hidup atau mati Ini berarti bahwa dia harus memaksa puteranya dan gadis yang dipilihnya sebagai isteri itu untuk menyerahkan diri dan kalau puteranya membangkang, dia harus membunuh mereka. dan kalau dia tidak melaksanakan perintah ini, pasti dia akan dianggap memberontak dan akan dijatuhi hukuman mati. Kini Ayah dan anak itu saling berhadapan. Bhong Lam berdiri dengan sikap melindungi Ouw Yang Hui. Dan memang pemuda ini bertekad untuk melindungi wanita yang dicintanya dan yang sudah menjadi isterinya itu dari ancaman siapapun juga Bahkan Ayah kandungnya sendiri akan ditentangnya kalau hendak mengganggu Ouw Yang Hui.
"Bhong Lam, berlututlah engkau dan dengarkan perintah dari Kim Niocu!"
Dalam suara Bhong Khi itu terkandung wibawa yang amat kuat karena dia mengerahkan kekuatan sihirnya. Kalau Bhong Lam menghendaki, tentu dia dapat melawan perintah ini karena diapun sudah mempelajari ilmu sihir. Akan tetapi dia tidak berani dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Ayahnya. Perintah Kim Niocu sebagai puteri ketua Umum Pek-Lian-Kauw memang perlu disambut dengan segala kehormatan. karena gadis itu adalah orang kedua setelah Ayahnya. Melihat Bhong Lam menjatuhkan diri berlutut, Ouw Yang Hui juga berlutut di belakang pemuda itu sambil menundukkan mukanya, mendengarkan.
"Bhong Lam, atas perintah dari Kim Niocu, cepat kau bunuh perempuan itu kemudian ikut aku menghadap Kim Niocu. Mungkin dengan begitu engkau akan dapat diampuni!"
Kata ketua cabang Pek-Lian-Kauw itu. Mendengar ucapan Ayahnya ini, Bhong Lam terkejut dan diapun melompat berdiri, lalu berkata kepada Ouw Yang Hui yang masih berlutut,
"Hui-Moi, menjauhlah ke sana!"
Ouw Yang Hui menurut. la bangkit berdiri lalu mundur sampai agak jauh. Setelah itu Bhong Lam menghadapi Ayahnya dan berkata,
"Ayah, aku akan melaksanakan dan menurut semua perintah Ayah kecuali yang Ayah katakan tadi. Ouw Yang Hui adalah isteriku yang kucinta dengan segenap jiwa ragaku dan akan kubela dengan taruhan nyawaku. Karena itulah maka aku tidak akan menghadap Kim Niocu yang berniat buruk terhadap kami,"
Kalau tadi ketika mendengar perintah Ayahnya, muka Bhong Lam berubah pucat sekali, kini muka itu menjadi merah kembali, bahkan sangat merah karena hatinya dibakar kemarahan.
"Bhong Lam, engkau tahu apa hukumannya seorang anggauta Pek-Lian-Kauw kalau menentang perintah pimpinan?"
Bentak Bhong Khi.
"Aku tahu, Ayah. Hukumannya adalah mati, akan tetapi aku rela mati untuk melindungi dan membela Ouw Yang Hui."
Kata Bhong Lam dengan sikap gagah dan mendengar ini, Ouw Yang Hui merasa terharu juga. walaupun tidak ada rasa cinta dalam hatinya terhadap pemuda itu. Dengan sikap menentang Ayah kandungnya dan juga perkumpulannya itu, Bhong Lam membuktikan Cinta kasihnya kepadanya. Pemuda itu siap mengorbankan nyawanya untuk melindungi dan membelanya, seperti juga cintanya terhadap Sin Cu membuat ia dengan rela mengorbankan segalanya. Cinta kasih memang baru terbukti mutunya dengan mengorbankan diri.
"Kalau engkau tidak mau membunuhnya, akulah yang akan membunuhnya karena ia yang menjadi biang keladi sehingga keluarga kita akan dianggap mengkhianati Pek-Lian-Kauw"
Kata Bhong Khi dan ketua cabang Pek-Lian-Kauw ini sudah mencabut pedangnya, sebatang pedang panjang yang berkilauan saking tajamnya.
"Singgg..."
Bhong Lam juga sudah mencabut pedangnya dan menghadang di depan Ayahnya dengan pedang di tangan kanan bersilang di depan dada. Melihat puteranya berdiri menghadang dengan pedang terhunus di tangan, Bhong Khi memandang dengan mata terbelalak.
"Apa...?!? Engkau... engkau berani melawanku...!"
Dia membentak penasaran. Pemuda itu putera kandungnya, juga muridnya, berdiri dengan pedang telanjang menghadapi dan menentangnya. Dengan sikap serius dan tegas Bhong Lam berkata,
"Ayah, aku akan melawan siapa saja yang akan mengganggu Hui-moi."
"Keparat...! Anak durhaka...! Kalau begitu engkau juga akan kubunuh dan kepalarmu akan kuperlihatkan kepada pimpinan tertinggi Pek-Lian-Kauw sebagai bukti kesetiaanku!"
Setelah berkata demikian, Bhong Khi menggerakkan pedangnya menyerang dengan dahsyat. Bhong Lam juga menggerakkan tubuh dan pedangnya. Mula-mula dia mengelak, akan tetapi pedang Bhong Khi terus mengejar dan menyambar dengan serangan bertubi-tubi yang ganas. Setelah mengelak dan melompat ke sana sini untuk menghindarkan diri dari serangan yang menggunakan jurus-jurus yang telah dikenalnya, akhirnya Bhong Lam terpaksa menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Singgg... tranggggg...!"
Dua batang pedang bertemu dan Bhong Lam terhuyung ke belakang. Bagaimanapun juga, tenaga sinkangnya masih kalah kuat dibandingkan Ayahnya. Akan tetapi Bhong Lam sudah nekad. Dia akan melawan terus untuk melindungi isterinya, kalau perlu dia akan melawan Ayahnya sampai titik darah terakhir. Siapa saja baru boleh mengganggu Ouw Yang Hui setelah melangkahi mayatnya.! Dia mengeluarkan seluruh tenaga dan kemampuannya untuk melawan Ayahnya.
Perkelahian antara Ayah dan anak itu terjadi amat serunya karena keduanya maklum bahwa masing-masing tidak akan mau mengalah. Bhong Lam juga tidak sungkan-sungkan untuk membalas dengan serangan-serangan maut karena pada saat itu dia sudah tidak melihat Ayahnya sebagai Ayah, melainkan sebagai musuh yang harus dibunuh karena hendak mengganggu Ouw Yang Hui Namun, setelah dapat bertahan sampai lima puluh jurus, akhirnya Bhong Lam terdesak juga. Dia kalah matang dalam latihan dan juga kalah kuat tenaganya. Dia mulai terdesak dan Bhong Khi tidak mau mengalah sedikitpun juga, bahkan mendesak untuk membunuh! Ketika Bhong Lam terhuyung, sebuah sapuan kakinya membuat pemuda itu terpelanting. Bhong Khi menyusulkan bacokan dengan pedangnya ke arah leher Bhong Lam yang sudah roboh.
"Singgg... tranggg...!"
Bhong Ki terkejut dan melompat ke belakang. Ternyata yang menangkis bacokan tadi adalah seorang wanita berusia empat lima puluh tahun, masih tampak cantik, berpakaian mewah dan ia memegang sebatang pedang di tangannya, pedang yang tadi dipergunakan menangkis bacokan Bhong Khi ke arah leher puteranya. Bukan main marahnya hati Bhong Khi ketika mengenal wanita itu yang bukan lain adalah isterinya sendiri! Bhong Khi menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka isterinya dan berkata lantang,
"Mau apa engkau kesini dan mengapa engkau mencegah aku membunuh anak durhaka yang telah mengkhianati Pek-Lian-Kauw ini?"
Dengan alis berkerut Nyonya Bhong Khi menjawab dan suaranya juga penuh kemarahan.
"Apakah engkau sudah menjadi gila? Seekor harimaupun tidak akan membunuh anaknya sendiri."
"Kau tahu apa? Dia sudah mengkhianati Pek-Lian-Kauw, menentang Kim Niocu. Kalau sekarang aku tidak membunuhnya, kita sekeluarga tentu akan dihukum mati oleh Pimpinan tertinggi!"
Bantah Bhong Khi.
"Lebih baik aku dihukum mati daripada harus membunuh anakku"
Teriak Nyonya Bhong Khi marah.
"Tidak, tidak ada yang boleh membunuh Bhong Lam! Aku yang akan menghalangi!"
"Lam-ji (anak Lam), cepat pergi engkau menyelamatkan diri, biar aku yang akan mencegah Ayahmu yang telah menjadi gila ini mengejarmu!"
Bhong Lam tahu bahwa Ayahnya amat mencinta Ibunya, akan tetapi diapun maklum bahwa imu silat Ibunya tidak akan mampu menandingi ilmu kepandaian Ayahnya, bahkan tingkat kepandaian Ibunya itu masih berada di bawah tingkatnya sendiri. Dia tahu bahwa bahaya yang mengancam keselamatan Ouw Yang Hui masih ada, maka tanpa berkata apapun dia lalu menghampiri Ouw Yang Hui dan mengajak gadis itu berlari meninggalkan tempat itu. Bahkan dia lalu memondong tubuh isterinya itu dan membawa berlari cepat memasuki sebuah hutan lebat. Melihat ini, Bhong Khi menjadi semakin marah.
"Perempuan bodoh! Apa engkau ingin melihat kita sekeluarga dihukum mati semua, Minggir kau! Aku harus dapat menangkap mereka!"
"Tidak, selama masih ada aku di sini, engkau tidak boleh membunuh Lam-ji!"
Teriak isterinya sambil melintangkan pedangnya menghadang.
"Keparat! Daripada kita semua yang binasa, lebih baik engkau sendiri mampus!"
Bentak Bhong Ki dan diapun sudah menyerang dengan tusukan pedang ke arah dada isterinya sendiri. Nyonya Bhong Khi cepat mengelak dan membalas. Terjadilah perkelahian dengan pedang antara suami isteri ini. Perkelahian sungguh-sungguh, setiap serangan merupakan cengkeraman maut. Mereka bersungguh untuk saling membunuh.! Biarpun tingkat kepandaiannya sebenarnya kalah jauh, akan tetapi wanita yang sudah nekat untuk melindungi puteranya itu mengamuk dengar hebat sehingga Bhong Khi agak kewalahan juga untuk menundukannya.
Akan tetapi setelah ketua cabang Pek-Lian-Kauw ini mencurahkan perhatiannya, dia mulai dapat mendesak dan dengan gerakan yang amat cepat sambil membentak keras pedangnya berhasil menembus dada Isterinya, Wanita itu roboh mandi darah dan tewas seketika. Bhong Khi tidak memperdulikan lagi isterinya dan cepat melakukan pengejaran. Akan tetapi Bhong Lam sudah lenyap ke dalam hutan dan Bhong Khi tidak tahu ke arah mana puteranya itu melarikan diri. Sementara itu bermunculan Para anggauta Pek-Lian-Kauw. Beberapa orang wanita pembantu Nyonya Bhong Khi menangisi mayat majikan mereka. Ketika Bhong Khi kembali ke tempat tadi, dia menegur mereka yang menangisi mayat isterinya.
"Sudah, kalian jangan menangis. la mati karena membela seorang pengkhianat. Sekarang angkut jenazah itu pulang!"
Biarpun dalam hatinya Bhong Khi berduka dan menyesal sekali telah membunuh isterinya sendiri yang sesungguhnya dia cinta, namun diapun merasa lega karena kematian isterinya di tangannya itu dapat di jadikan bukti bahwa dia setia kepada Pek-Lian-Kauw sehingga menegakan putera dan isteri sendiri. Bukti kesetiaannya ini tentu akan dapat membebaskan dia dari hukuman yang biasa dijatuhkan terhadap anggauta yang berkhianat atau memberontak.
Mereka berhenti di lereng sebuah bukit. Bhong Lam menyeka keringatnya yang membasahi muka dan lehernya. Dia telah berlari jauh sambil memondong Ouw Yang Hui sehingga merasa kelelahan dan juga berkeringat. Setelah tiba di lereng bukit itu, yang sudah jauh sekali dari tempat Ayahnya, dia berhenti. Mereka duduk di bawah pohon besar dan Ouw Yang Hui menangis tanpa suara, hanya mengusap air matanya yang menetes-netes di atas kedua pipinya. Bhong Lam duduk di dekatnya dan dengan lembut dan penuh kasih sayang menyentuh pundaknya.
"Hui-moi sayang, kenapa engkau menangis? Bahaya sudah lewat, engkau tidak perlu takut dan khawatir, Hui-moi,"
Katanya dengan halus. Ouw Yang Hui menahan isaknya dan mengusap kering air matanya, kemudian sambil menundukkan mukanya ia berkata.
"Bhong-Kongcu..."
"Aih, Hui-moi, kenapa engkau masih saja menyebut aku Kongcu (Tuan Muda)? Bukankah engkau ini isteriku"
Bhong Lam menegur lembut.
"Maafkan aku, Kongcu. Aku masih belum dapat mengubah sebutan itu."
"Sudahlah, akan tetapi kenapa engkau menangis? Sudah kukatakan bahwa engkau tidak perlu khawatir karena aku akan melindungi dan membelamu dengan taruhan nyawaku."
(Lanjut ke Jilid 27)
Sepasang Rajah Naga (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 27
Ouw Yang Hui menghela napas panjang,
"Aku tidak khawatirkan diriku sendiri. Aku menangis karena merasa sedih Kongcu, Kenyataannya bahwa diriku hanya mendatangkan malapetaka bagi orang lain, Aku telah membuat tunanganku terjebak dan nyaris tewas, semua itu terjadi hanya karena dia hendak membelaku Sekarang engkaupun sampai dimusuhi bahkan hampir dibunuh oleh Ayah kandungmu sendiri karena aku pula. Ah sungguh buruk sekali nasibku, hanya membikin celaka orang lain."
"Ah... engkau mengkhawatirkan aku, Hui-moi? Benarkah... benarkah engkau mengkhawatirkan diriku?"
Ouw Yang Hui memandang wajah itu Memang tidak ada perasaan cinta di hatinya terhadap pria ini, akan tetapi bagaimanapun juga, harus ia akui bahwa Bhong Lam amat menyayangnya, bahkan rela mengorbankan nyawa untuk melindunginya. telah berkorban membiarkan dirinya dimusuhi bahkan akan dibunuh Ayahnya, juga perkumpulannya sendiri. Bagaimanapun juga, pengorbanan Bhong Lam besar sekali demi cintanya kepadanya.
"Tentu saja aku mengkhatirkan dirimu, Kongcu demi akulah maka engkau mengalami malapetaka ini"
"Ah. terima kasih, Hui-moi terima kasih! Pengorbanan ini tidak ada artinya bagiku! Aku cinta padamu, Hui-moi dan Untuk belamu, aku siap untuk mati seribu kali"
Ouw Yang Hui merasa tidak enak sekali. pemuda itu mencinta dengan mati-matian, padahal ia sendiri sama sekali tidak mempunyai perasaan cinta kasih kepadanya. Segera ia mengalihkan percakapan dan perhatian Bhong-Kongcu,
"Sekarang kita akan pergi ke mana?"
Bhong Lam bangkit berdiri dan memandang ke bawah lereng bukit itu.
"Lihatlah Hui-moi, di lereng paling bawah itu terdapat sebuah rumah terpencil. Kalau aku tidak salah ingat, rumah itu milik seorang kaya dari kota yang menjadikannya sebagai tempat peristirahatan di bukit ini. Kita dapat tinggal di sana untuk sementara waktu, Mari kita ke sana, Hui-moi!"
Ouw Yang Hui tidak membantah atau bertanya lagi, lalu keduanya berjalan menuruni lereng menuju ke rumah yang dari atas tampak gentengnya yang kemerahan itu. Setelah mereka tiba di depan rumah itu, hari telah sore. Matahari sudah turun ke barat dan cahayanya sudah lemah kemerahan. Bhong Lam dan Ouw Yang Hui memasuki halaman rumah itu. Rumah itu temboknya putih dan tampaknya terawat dengan baik. Bermacam tanaman bunga tumbuh subur di pekakarangan depan, menjadi Semacam taman kecil. Beberapa batang pohon jeruk penuh dengan jeruk-jeruk yang sudah mennguning. Seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang sedang bekerja di pekarangan itu, menyirami bunga, melihat mereka, ia segera maju menghampiri. Dia seorang dusun yang bekerja sebagai tukang kebun rumah itu.
"Selamat sore, Kongcu (Tuan Muda) dan Siocia (Nona), apakah yang dapat saya bantu unt"k ji-wi (anda berdua)?"
Tegur tukang kebun itu yang agaknya sudah terbiasa bersikap sopan terhadap orang-orang yang pakaiannya bukan seperti orang dusun. Dengan sikap halus seperti biasa, Bhong Lam mengangguk kepada orang itu dan bertanya,
"Paman yang baik, bukankah ini rumah peristirahatan seorang hartawan dari kota See-kang?"
"Benar sekali, Kongcu. Lai-Wangwe (Hartawan Lai) dari kota See-kang yang memiliki rumah peristirahatan ini dan kebetulan sekali, pada saat ini Lai-Wangwe sedang berada di sini sejak kemarin, bersama seorang isterinya. Mereka datang dengan kereta kemarin pagi."
Tukang kebun itu agaknya bangga akan majikannya dan suka bercerita.
"Apakah hanya mereka berdua dan Paman saja yang berada di rumah ini?"
Tanya Bhong Lam.
"Benar, Kongcu. Lai-Wangwe tidak mau diganggu kalau berada di sini. Kusir dan keretanya sudah disuruh pulang dan minta dijemput besok pagi. Saya memang selalu berada disini untuk mengurus dan menjaga rumah kalau sedang kosong. Pada saat itu, dua orang muncul di pintu depan yang terbuka. seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun berpakaian mewah dan seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun yang juga berpakaian mewah dan masih tampak cantik.
"A-sam, siapakah yang datang?"
Tanya laki-laki itu kepada tukang kebun. Melihat dua orang itu, Bhong Lam lalu menggandeng tangan Ouw Yang Hui, diajak menghampiri dua orang yang muncul di pintu depan rumah itu. Setelah berhadapan dengan mereka, Bhong Lam menjura dengan sikap hormat dan Ouw Yang Hui hanya meniru yang dilakukan pemuda itu.
"Harap Paman dan Bibi sudi memaafkan kami berdua. Saya bernama Bhong Lam dan ini adalah isteri saya. Kami berdua melakukan perjalanan dan sampai di sini hari telah senja. Kami khawatir kemalaman di tengah perjalanan, maka kalau sekiranya Paman dan Bibi tidak berkeberatan kami mohon diperkenankan melewatkan malam di sini."
Sikap Bhong Lam demikian lembut dan kata-katanya juga menunjukan bahwa dia seorang terpelajar, wajahnya tampan dan pakaiannya mewah. Jelas bahwa dia seorang pemuda terpelajar dan hartawan, bahkan pantas menjadi seorang bangsawan, maka tentu saja amat menarik hati Lai-Wangwe dan isterinya. Apa lagi Ouw Yang Hui juga amat menarik hati. Seorang gadis yang amat cantik.
"Ah boleh sekali. Kami tidak keberatan dan memiliki beberapa buah kamar yang malam ini kosong tidak dipakai. Silakan masuk, orang-orang muda, Kalian masih begini muda, tentu kalian pengantin baru, bukan?"
Kata Lai-Wangwe sambil mempersilakan kedua orang pendatang itu masuk.
"Benar sekali, Paman. Kami memang belum lama menikah,"
Kata Bhong Lam.
"Mari, silakan duduk!"
Kata Lai-Wangwe setelah mereka tiba di ruangan dalam.
"kalian tentu belum makan malam! Kebetulan kami juga sedang hendak makan malam, kami bersedia banyak makanan dan baru saja tadi A-Sam membantu isterinya memanaskan masakan."
Hartawan itu beserta isterinya lalu mengajak dua orang tamunya memasuki ruangan makan di bagian belakang rumah. Sebuah meja penuh hidangan yang masih mengepulkan uap telah tersedia di atas meja. Bhong Lam dan Ouw Yang Hui tentu saja merasa sungkan akan tetapi diam-diam mereka juga girang sekali karena perut mereka terasa lapar sekali dan tubuh lelah. Empat orang itu lalu makan minum dan dengan ramahnya Lai-Wangwe menjamu mereka.
"Rumah Paman begini indah dan banyak kamarnya, kenapa hanya Paman dan Bibi berdua saja yang tinggal di sini?"
Bhong Lam bertanya sedangkan Ouw Yang Hui sejak tadi tidak ikut bicara, hanya tersenyum ramah kalau suami isteri tuan rumah itu kebetulan memandang kepadanya.
"Ah, rumah ini memang merupakan rumah peristirahatan keluarga kami Bhong-hiante. Aku bernama Lai Sin dan tinggal di kota See-kang, berdagang di kota itu. Kalau ingin mengaso, kami sekeluarga tinggal di tempat sunyi dan sejuk ini untuk beberapa hari lamanya dan kebetulan kali ini hanya aku dan Sam-hujin (Nyonya ketiga) berdua saja yang ingin beristirahat di sini selama dua malam, dan besok kami akan di jemput kereta kami dan kembali ke See-Kang.
"Akan tetapi tadi kami bertemu dengan orang diluar."
Kata Bhong Lam.
"Oh... itu A-Sam tukang kebun dan penjaga rumah kami ini. Hanya dialah yang menemani kami berdua di sini dan dia yang kami suruh kalau kami membutuhkan apa-apa."
Setelah selesai makan, Bhong Lam berkata,
"Banyak terina kasih atas keramahan dan kebaikan hati Paman dan Bibi yang sudah menerima dan menjamu kami. Sekarang kami mohon maaf, Paman dan bibi. Kami telah melakukan perjalanan jauh dan kami merasa lelah sekali. Kami ingin membersihkan diri lalu mengaso. Besok pagi saja kita dapat bicara lebih lama."
"Tentu saja. Silakan, di sana ada kamar mandi dan kalian boleh bermalam di kamar yang berada di sudut itu,"
Kata Lai-Wangwe dengan ramah. Bhong Lam dan Ouw Yang Hui mengucapkan terima kasih, Mereka lalu membersihkan badan di kamar mandi, kemudian memasuki kamar yang diperuntukkan untuk mereka. Kamar itu cukup bersih dan indah. Saking lelahnya, begitu tubuhnya rebah dia atas pembaringan, Ouw Yang Hui langsung pulas. Bhong Lam duduk di tepi pembaringan,memandang wajah isterinya sambil tersenyum. Hatinya terasa berbahagia sekali memandang wajah wanita yang amat disayangnya itu. Sinar lampu gantung yang redup membuat wajah itu tampak semakin jelita. Dia membungkuk dan mencium dahi Ouw Yang Hui dengan hati-hati dan penuh rasa kasih sayang. Dia tidak mau mengganggunya, akan tetapi dia juga belum ingin tidur.
Masih ada pekerjaan penting yang harus diselesaikannya. Dia duduk bersila diatas pembaringan untuk memulihkan tenaganya karena diapun merasa lelah sekali setelah tadi bertanding melawan Ayahnya sendiri kemudian harus melarikan diri sambil memondong tubuh Ouw Yang Hui sampai setengah hari lamanya. Malam itu hawa udara amat dingin. setelah keadaan sunyi dan pernapasan Ouw Yang Hui menunjukkan bahwa gadis itu sudah pulas sekali, Bhong Lam lalu turun dari atas pembaringan, Ia membetulkan letak selimut yang menutupi tubuh wanita yang dicintanya itu, kemudian berindap-indap dia meninggalkan kamar, membuka pintu lalu menutupkan lagi daun pintu kamar dari luar. Tak lama kemudian tubuhnya berkelebat dan dia sudah berada di luar kamar hartawan Lai dan isterinya. Dia menempelkan daun telinganya pada jendela tidur kamar itu.
Pada saat itu, sinar lampu gantung diluar kamar menyoroti mukanya dan wajah pemuda itu sungguh berbeda jauh dari biasanya. Garis-garis yang menunjukkan kelembutan pada wajah itu lenyap terganti garis-garis yang keras dan mulutnya tampak membayangkan kekejaman, sepasang matanya mencorong seperti mata sepasang binatang buas. Pada saat seperti itu, seluruh pikiran dalam benaknya hanya tertuju sepenuhnya kepada kepentingan diri sendiri, keuntungan diri sendiri. Setiap apa saja yang dianggapnya sebagai penghalang pemenuhan keinginannya, harus disingkirkan dengan cara apapun juga. Dia melihat rumah itu sebagai tempat tinggal sementara yang amat baik bagi dia dan Ouw Yang Hui. Cukup tersembunyi, terpencil, juga cukup menyenangkan. Dia harus memilikinya, untuk menjadi tempat tinggal mereka berdua. Setidaknya untuk sementara.
Dan semua penghalang harus disingkirkan! Pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara dengkur Hartawan Lai. Jelas, suami isteri itu sudah tidur nyenyak, pikirnya. Dia lalu menggunakan tenaganya untuk mendorong daun jendela sehingga terbuka dengan paksa. Dengan ringan dia melompat ke dalam kamar yang remang-remang karena hanya diterangi sebuah lampu meja yang kecil. Dalam keremangan, dia melihat tubuh dua orang suami isteri itu menggeletak di atas pembaringan. Karena cuaca remang-remang, ketika tangannya menyentuh meja, tanpa sengaja dia menggulingkan sebuah cawan. Cawan itu terguling dan jatuh dari atas meja tanpa dapat dicegah Bhong Lam karena tidak kelihatan. Terdengar bunyi berkerontangan dan suara ini cukup nyaring sehingga membangunkan Hartawan Lai dan isterinya.
"Eh, apa itu..."
Tanya Hartawan Lai sambil menyingkap selimutnya. Isterinya sudah bangkit duduk dan melihat bayangan Bhong Lam di dekat pembaringan.
"Heii, siapa engkau..?"
Jeritnya. Tubuh Bhong Lam. bergerak cepat sekali ke arah pembaringan, dua kali tangan kanannya bergerak ke depan dan suami lsteri itu roboh kembali dan tidak mampu bergerak kembali karena Pemuda itu dengan kejam sekali telah menurunkan tangan maut, Dia sengaja mempergunakan Tok-Ci (Jari Beracun), menotok dada suami isteri itu. Hawa beracun yang terkandung dalam jari telunjuknya menyerang jantung dan orang yang ditotoknya langsung tewas seketika. Tanpa melihat lagi Bhong Lam sudah yakin bahwa dua orang itu tentu telah tewas. Dengan tenang sekali dia membuka Palang daun pintu dan keluar dari dalam kamar itu, menutup kembali daun pintu dan daun jendela kamar, kemudian pergi ke bagian belakang rumah itu. Mudah saja dia mendapatkan kamar A-sam di bagian belakang. Dia mengetuk daun pintu kamar itu.
"Tuk-tuk-tuk!"
A-sam terbangun.
"Siapa itu?"
Terdengar suaranya.
"Aku, Paman A-sam, bukalah pintunya Aku mau bicara, penting sekali!"
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Bhong Lam. Tadinya A-sam merasa heran dan bingung karena suara itu suara seorang laki-laki akan tetapi bukan majikannya. Akan tetapi dia segera teringat bahwa majikannya menerima dua orang tamu pria dan wanita. Dia segera turun dari pembaringan dan membuka daun pintu. Di bawah sinar lampu gantung di luar kamarnya dia mengenal pemuda yang menjadi tamu itu.
"Ah, Kongcu. Ada apakah, Kongcu?"
"Tidak usah banyak tanya, A-sam, cepat arnbil cangkul dan lakukan perintahku!"
Kata Bhong Lam, suaranya berubah menjadi dingin penuh ancaman. A-Sam mengerutkan aiisnya.
"Ada apa ini? Malam-malam disuruh mencangkul? Mencangkul apa.?"
"Sudahlah, cepat bawa cangkul dan lakukan apa saja yang kuperintahkan."
A-sam mengerutkan alisnya.
"Kongcu bersikap tidak pantas Kongcu hanya seorang tamu dan aku tidak mau melakukan perintahmu. Aku hanya menaati perintah majikanku"
Katanya dengan nada penasaran. Bhong Lam menggerakkan tangannya, tampaknya hanya menyentuh pundak tukang kebun itu, akan tetapi A-sam mengeluh dan dia terkulai roboh. A-sam adalah seorang yang biasa bekerja kasar, tubuhnya kuat dan tentu saja menjadi marah. Ditahannya rasa nyeri di pundak kirinya dan dia lalu menyerang Bhong Lam dengan tangan kanannya. Akan tetapi sekali lagi pemuda itu menggerakan lagi tangannya dan sekali kini pundak kanan A-san yang, disentuhnya dan untuk kedua kalinya tubuh A-sam terkulai roboh dan karena mengaduh-aduh, kedua pundaknya terasa nyeri bukan main.
"Nah, apakah engkau membantah? Ataukah harus kupukul Sampai mati...?!?"
Bentak Bhong Lam. Kini mengertilah A-sam bahwa ia berhadapan dengan orang yang amat lihai.
"Aku... aku menurut."
Katanya sambil mengaduh. Bhong Lam menggerakkan tangannya, dua kali ia menepuk kedua pundak A-sam dan orang ini merasa betapa pundaknya tidak nyeri lagi. Makin yakinlah dia bahwa pemuda itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka diapun segera mengambil sebuah cangkul dari sudut kamarnya. Bhong Lam mengambil lampu yang tergantung di situ, lalu mengajak A- Sam menuju ke kebun belakang. Setelah tiba di tempat terbuka dalam kebun itu, dia menuding ke arah sepetak rumput dan berkata kepada A-sam.
"Cepat gali lubang yang besar, Cepat kataku!"
A-sam tidak berani membantah atau bertanya walaupun dia merasa bingung dan heran sekali, mengira bahwa pemuda itu tentu gila. Akan tetapi karena ketakutan, diapun menggali dengan cepat mengerahkan seluruh tenaganya.
"Kurang panjang, dua kali itu panjangnya"
Perintah Bhong Lam. A-sam menggali terus, keringat mulai membasahi tubuhnya, dia merasa semakin heran. Untuk apa menggali lubang sepanjang itu!
"Kurang dalam!"
Kata Bhong Lam.
"Sepinggang lebih dalamnya dan lebarnya juga dua kali itu!"
Diam-diam A-sam mengutuk. Orang ini tentu gila, pikirnya. Kalau menggali tanah saja untuk menanam pohon, untuk apa demkian panjang, demikian lebar dan dalam. Akan tetapi dia tidak berani bertanya dan menggali terus. Mencangkul adalah pekerjaannya sejak muda, maka dia dapat mengali dengan cepat dan kuat. Malam telah larut, mendekati fajar ketika galian lubang sudah di anggap cukup Sudah lebar dan dalam oieh Bhong Lam.
"Cukup, hentikan penggalian itu,"
Kata Bhong Lam. A-sam menghentikan galiannya, membawa cangkulnya merangkak keluar dari lubang. Dia memberanikan dirinya bertanya lirih,
"Kongcu, untuk apakah lubang ini?
"Untuk menguburmu!"
Kata Bhong Lam. Dan sekali tangannya bergerak menyambar ke arah pelipis A-sam tukang Kebun itu terpelanting roboh masuk lubang galian dan tidak mampu bergerak lagi, karena pukulan itu telah menewaskannya seketika!
Setelah menjenguk ke dalam lubang dan melihat A-sam menelungkup di dalamnya. Bhong Lam lalu, berlari menuju rumah dan masuk dari pintu belakang yang sudah terbuka ketika dia keluar ke kebun bersama A-sam tadi. Dia langsung berlari ke kamar Hartawan Lai, sama sekali tidak pernah menduga bahwa Ouw Yang Hui sudah terbangun dari tidurnya. Ketika gadis itu terbangun ia merasa heran karena tidak melihat Bhong Lam di dalam kamar. la lalu turun dari pembaringan dan menghampiri jendela, menguak tirai dan melihat bahwa di luar masih gelap. Akan tetapi mendengar suara ayam jantan berkeruyuk dari arah belakang rumah, Agaknya A-Sam memelihara ayan jantan, pikirnya dan keruyuk ayam jantan itu menandakan bahwa saat itu malam telah beralih dan fajar mulai menyingsing.
Tiba-tiba ia terkejut melihat bayangan Bhong Lam yang bergerak cepat menuju kamar induk. Kamar tuan rumah. Jantungnya berdebar karena heran dan ia tertegun, hanya berdiri di belakang jendela kamarnya. lampu diatas meja dalam kamarnya sudah padam sehingga dalam kamar itu gelap sekali. la dapat melihat keluar jendela melalui kaca jendela, akan tetapi ia tidak tampak dari luar. Tak lama kemudian ia melihat Bhong Lam datang dari kamar induk dan ia terbelalak karena pria yang telah menjadi suaminya itu memanggul dua tubuh manusia di kedua pundaknya. Bhong Lam berjalan cepat sekali, setengah berlari mamanggul dua tubuh manusia itu ke arah kebun belakang. Jantung Ouw Yang Hui berdebar keras, wajahnya pucat sekali. Ia masih dapat mengenal bentuk tubuh dan pakaian kedua orang yang dipanggul Bhong Lam itu. Mereka adalah Hartawan Lai dan isterinya yang tadi menjamu mereka!
"Ya Tuhan! Mereka kenapa? Dan apa yang dilakukan oleh Bhong Lam itu!"
Tanyanya dalam hati dan ia merasa khawatir bukan main, rasa khawatir yang bercampur dengan perasaan ngeri. la mengingat-ingat Pemuda itu adalah putera ketua bahkan cabang Pek-Lian-Kauw yang kejam bahkan yang hendak membunuh anak sendiri. Bhong Lam juga sudah memaksa ia menjadi isterinya dengan cara memaksanya berjanji dengan imbalan memberi pertolongannya membebaskankan Sin Cu. Bhong Lam sudah mengkhianati perkumpulannya sendiri. Orang seperti itu biasanya tentu akan dapat melakukan apa saja, demi kepentingan dirinya!
"Jangan-jangan...!"
Ouw Yang Hu bergidik. Bukankah tadi Bhong Lam mengatakan bahwa tempat itu amat indah menyenangkan? apa mungkin dia ingin miliki tempat itu dan... kedua orang pemiliki rumah itu telah mati? Dibunuhnya? Ouw Yang Hui bergidik dan kedua kakinya menjadi lemas. la terhuyung dan menghempaskan tubuhnya ke pembaringan tak dapat menahan tangisnya. Kalau benar dugaannya bahwa Bhong Lam membunuh suami isteri itu, ia menjadi muak dan benci sekali.
Ingin rasanya la mengakhiri hidupnya daripada menjadi istri seorang manusia iblis seperti itu. Ia tidak mungkin dapat melakukan bunuh diri sekarang, tidak mungkin hal itu ia lakukan. la berani membunuh diri sendiri, akan tetapi ia tidak tega untuk membunuh anak yang berada dalam kandungannya! la telah menjadi isteri Bhong Lam sudah hampir dua bulan dan ia tahu benar bahwa ia telah mengandung walaupun hal itu belum ia beritahukan kepada Bhong Lam. Demi anak itulah ia harus bertahan untuk hidup, betapapun sengsara lahir batinnya. Matahari sudah mulai menerangi bumi, sinarnya sudah mencapai jendela kamar itu. Ouw Yang Hui sejak tadi sudah duduk di atas kursi dalam kamarnya, ia menanti dengan hati gelisah. Akan tetapi Bhong Lam tidak pernah muncul dan suasana yang sunyi sekali di rumah itu membuatnya bergidik ngeri.
Tidak ada suara orang, dan suara di bagian belakang. Di mana adanya A-sam? Ouw Yang Hui lalu keluar dari kamarnya lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Kemudian ia memasuki rumah, mencari-cari. Akan tetapi ia tidak menemukan siapapun. Hartawan Lai dan isterinya tidak tampak demikian pula A-Sam tidak tampak batang hidungnya. Ia sudah mencari sampai pekarangan depan, namun tidak ada seorangpun di sana. Sunyi sekali di situ, kesunyian yang mengerikan hatinya Karena ia teringat akan apa yang dililihatnya pagi-pagi sekali tadi. Apakah yang di pondong di atas kedua pundak Bhong Lam adalah mayat-mayat Hartawan Lai dan isterinya? Ia bergidik. la membayangkan lagi apa yang dilihatnya melalui jendela pagi tadi. Bhong Lam memanggul tubuh Lai-Wangwe dan isterinya, dan membawanya ke kebun belakang!
Teringat akan ini, Ouw Yang Hui keluar dari pintu belakang dan pergi ke kebun yang cukup luas itu. Kebun yang penuh dengan pohon-pohon buah. Di sinipun sunyi, tak tampak seorang pun manusia. Ia melangkah perlahan-lahan matanya meneliti dan mencari-cari. Tiba-tiba ia memandang ke kiri. sebatang cangkul berdiri dengan gagangnya yang membungkuk. Cangkul itu seperti menceritakan sesuatu. Ouw Yang Hui tertarik dan segera menghampir. la berdiri terbelalak dan mukanya menjadi pucat sekali, kedua kakinya gemetar, jantungnya berdebar, matanya yang terbelalak memandang ke bawah, ke arah tanah urukan di depannya. Jelas sekali tampak tanah yang baru dicangkul. Tentu ada sesuatu yang berada di bawah tanah itu. Tiba-tiba Ouw Yang Hui merasa mual dan tak dapat ditahannya lagi ia muntah-muntah.
"Hui-moi!"
Tiba-tiba terdengar panggilan dan Bhong Lam sudah berada di dekat Ouw Yang Hui, memegang kedua pundak dan merangkulnya. Ada apakah denganmu Hui-moi? Engkau sakit...?"
Pemuda tu bertanya dengan khawatir. Ouw Yang Hui mengusap bibirnya, berdiri tegak kembali sambil menatap wajah Bhong Lam, kemudian terdengar suaranya bertanya, gemetar.
"Bhong-Kongcu, dimanakah Lai-Wangwe, isterinya, dan A-sam? Aku mencari mereka di mana, akan tetapi tidak dapat menemukan mereka."
Bhong Lam tersenyum. Hatinya tenang saja menghadapi pertanyaan Ouw Yang Hui itu. Baginya, apa yang dilakukannya semalam merupakan peristiwa biasa saja. Akan tetapi dia ingin menyembunyikannya dari Ouw Yang Hui agar isterinya yang tidak biasa dengan hal-hal seperti itu tidak akan menjadi kaget.
"Ah, pagi-pagi sekali tadi mereka telah pergi dari sini dijemput dengan kereta. Mereka tidak sempat pamit padamu, akan tetapi mereka meninggalkan pesan padaku agar kita mendiami rumah ini sementara waktu."
Sepasang mata yang jeli itu menatap tajam penuh selidik. Perlahan-lahan wajah yang tadinya pucat itu berubah menjadi merah ketika api kemarahan mulai berkobar dalam hati Ouw Yang Hui. Ia mengambil cangkul dan menyerahkannya kepada Bhong Lam.
"Engkau bohong! Hayo gali timbunan tanah ini, galii...!"
Bhong Lam menerima cangkul itu akan tetapi tentu saja dia tidak menggalinya melainkan melempar cangkul itu ke samping,
"Hui-moi, tenanglah. Engkau kenapakah...?"
Bhong Lam hendak memeluk, akan tetapi Ouw Yang Hui mendorongnya dengan tangannya.
"Engkau membunuh mereka! Aku tahu, aku lihat engkau memanggul mayat mereka. Engkau membunuh suami isteri itu, juga A-sam! Engkau kejam, jahat... engkau manusia iblis"
Ouw Yang Hui terkulai lemas dan ia tentu akan roboh kalau Bhong Lam tidak dengan cepat merangkulnya. Wanita itu pingsan karena guncangan hebat pada batinnya. Bhong Lam lalu memondongnya dan membawanya masuk ke dalam rumah. Ketika siuman dari pingsannya dan mendapatkan dirinya rebah diatas pembaringan Bong Lam duduk di tepi pembaringan, Ouw Yang Hui segera bangkit duduk,
"engkau... engkau... iblis terkutuk... aku benci kamu... benci kamu ah, terkutuk kamu"
"Hui-moi, ah, Hui-moi, semua ini kulakukan untuk menyenangkan hatimu Hui-moi, aku terusir dari rumah, Kita tidak punya rumah, tidak punya pakaian, tidak punya apa apa maka kuambil rumah ini untukmu, Hui-moi, karena aku cinta padamu, aku ingin menyenangkan hatimu Hui-moi"
"Tidak! Tidak sudi aku. aku benci kamu. Engkau manusia berwatak iblis! Engkau membunuh orang-orang yang baik kepada kita, engkau terkutuk, aku benci kamu...!"
Ouw Yang Hui menutupi mukanya dan menangis.
"Ampunkan aku Hui-moi... maafkan aku..., akan tetapi jangan benci aku, Hui-moi, jangan benci aku"
Bhong Lam menelungkup dan membenamkan mukanya di atas pangkuan Ouw Yang Hui dan diapun menangis! Dia takut sekali kehilangan wanita yang dicintanya ini. Memang aneh sekali melihat seorang yang dengan darah dingin membunuh tiga orang tanpa berkedip itu sekarang menangis seperti anak kecil diatas pangkuan Ouw Yang Hui! Ouw Yang Hui menggunakan kedua tangannya mendorong kepala Bhong Lam dari atas pangkuarnya dan iapun turun dari pembaringan, menghapus air matanya menggig?t bibirnya menahan tangis.
"Aku tidak sudi lagi ikut denganmu biar engkau membunuhku, aku tidak mau dekat denganmu. Aku akan pergi!"
Katanya.
"Hui-moi...!"
Bhong Lam rnenghadang di depannya kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ouw Yang Hui, kedua tangannya merangkul kaki wanita itu.
"Jangan... Hui-moi, ahh... Jangan tinggalkan aku... aku lebih baik mati dari pada hidup tanpa engkau, jangan pergi,"
Pada saat itu terdengar suara wanita berteriak dari luar rumah itu.
"Pengkhianat Bhong Lam. Keluar dan menyerahlah!"
Bhong Lam terkejut dan bangkit berdiri. ia amat mengenal suara itu, Itu Suara Ang Hwa, pemimpin pasukan Hek I Kiam-Tin. Tahulah ia bahwa pasukan pengawal Kim Niocu telah berhasil menemukannya.
"Mari kita pergi."
Katanya dan dia sudah memondong tubuh Ouw Yang Hui. lalu melompat dengan cepatnya, berlari ke pintu dengan maksud untuk melarikan diri dari belakang karena suara tadi terdengar dari depan rumah. Dia membuka Pintu belakang melompat ke dalam kebun dan... Sembilan bayangan hitam berkelebatan dan pa?ukan Hek I Kiam-Tin telah mengepungnya. Sembilan orang gadis berpakaian serba hitan dengan pedang di tangan telah mengepung dan siap menerjang, Tahulah Bhong Lam bahwa dia tidak dapat meloloskan diri lagi. Kiranya dia sudah dikepung. Hek I Kiam-Tin menjaga di belakang dan Ang I Tok-Tin berada di pekarangan depan. Tidak ada jalan lain. Dia harus melawan mati-matian Dia menurunkan Ouw Yang Hui dan mencabut pedangnya.
"Pengkhianat Bhong Lam! Menyerahlah kalian berdua untuk kami hadapkan kepada Niocu!"
Hek Hwa berseru sambil menudingkan pedangnya ke arah Bhong Lam.
"Hek Hwa, aku bersedia untuk menyerahkan diri dan menerima hukuman apapun yang akan dijatuhkan kepada diriku, akan tetapi hanya dengan satu syarat, yaitu bebaskan isteriku Ouw Yang Hui ini dan biarkan ia pergi tanpa diganggu!"
Terharu juga hati Ouw Yang Hui mendengar ucapan ini. Berkali-kali pria ini membuktikan cinta kasihnya yang amat besar kepadanya, rela berkorban apapun juga, bahkan nyawanya, untuk menyelamatkannya. la amat membenci Bhong karena kekejamannya, menbunuh orang-orang yang tidak berdosa seperti membunuh semut saja, akan tetapi iapun terharu melihat bukti kasih sayang pria itu kepadanya.
"Tidak bisa, Bhong Lam! Menurut perintah Kim Niocu, kalian harus menyerah dan kami bawa menghadap Niocu, kalau engkau melawan, terpaksa kami akan membunuhmu"
Kata Ang Hwa Ternyata pasukan baju merah yang dipimpin Ang Hwa sudah tiba di situ. tadi mereka menjaga di bagian depan. Setelah mendengar bahwa Bhong Lam keluar dari rumah melalui pintu belakang, merekapun cepat menuju ke belakang bergabung dengan pasukan baju hitam.
"Kalau begitu, terpaksa aku akan melawan kalian! Hui-moi, cepat lari!"
Bhong Lam maklum bahwa sekali terjatuh ketangan Kim Niocu, tentu Ouw Yang Hui akan dipaksa menyerahkan diri kepada seorang pejabat menurut pilihan Kim Niocu. Dia tidak rela wanita yang dikasihinya itu dipaksa melayani laki-laki lain. Kalau mereka berdua menyerahkan diri, dia pasti tidak akan mampu melindungi Ouw Yang Hui karena sedikit sekali harapan dia akan mendapat pengampunan dari Kim Niocu. Maka dia nekat hendak melawan sampai mati asalkan Ouw Yang Hui dapat terbebas dari tangan mereka. Akan tetapi lalu bagaimana Ouw Yang Hui akan dapat melarikan diri? la pun di kepung. dengan marah sekali Bhong Lam lalu mengamuk, menyerang mereka yang mengepung Ouw Yang Hui untuk memberi kesempatan kepada isterinya itu untuk melarikan diri. Akan tetapi diapun Segera dikeroyok belasan orang anggauta Ang I Tok-Tin dan Hek I Kiam-Tin yang lihai itu.
Ouw Yang Hui yang tidak mungkin dapat melarikan diri itu hanya berdiri menonton perkelahian itu dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan kekhawatiran. Tentu saja mengkhawatirkan Bhong Lam karena bagaimanapun juga, laki-laki itu kini bertanding mati-matian untuk membelanya! Biarpun, bukan ahli silat yang pandai, namun Ouw Yang Hiu dapat melihat bahwa betapapun lihainya Bhong Lam, tetap saja dia kewalahan menghadapi pengeroyokan regu yang dapat bekerja sama dengan amat baiknya itu. Masih untung baginya bahwa dalam pengeroyokan seperti itu, regu Ang I Tok-Tin tidak dapat mempergunakan bubuk atau asap beracun karena khawatir mengenai rekan-rekan sendiri, yaitu regu Hek I Kiam-Tin. Maka regu berpakaian merah itu hanya mempergunakan masing-masing sepasang pisau belati berwarna hitam kehijauan yang menganndung racun berbahaya sekali.
Bhong Lam mengeluarkan seluruh kemampuannya dan mengerahkan seluruh tenaganya karena dia bertekad untuk dapat membebaskan Ouw Yang Hui. Akan tetapi dipihak lawan terlalu banyak. Dia memutar pedangnya dan menyerang dengan amat nekat sehingga akhirnya dia dapat melukai dua orang pengeroyok yaitu anggauta Hek I Kiam-Tin dan anggauta Ang I Tok-Tin Akan tetapi dia sendiri terkena sabetan pedang di Pundak kirinya sehingga bajunya di bagian Pundak terobek berikut kulit dan daging pangkal lengan kirinya. Darah membasahi baju bagian dadanya, Akan tetapi Bhong Lam seperti Tidak menperdulikan dan merasakan luka ini Pedangnya berkelebat dan kembali dia melukai dan merobohkan Seorang pengeroyok. Pada saat pedangnya menangkis tiga batang pedang sekaligus, tiba-tiba saja kaki Ang Hwa mencuat dan tepat mengenai perutnya.
"Dessss...!"
Tubuh Bhong Lam terjengkang dan dia roboh bergulingan dan agaknya dia sengaja bergulingan ke dekat Ouw Yang Hui. Gadis ini memandang dengan wajah pucat dan membayangkan kengerian. Bhong Lam telah merangkul kedua kakinya dan mengangkat muka yang terkena percikan darah itu memandang kepadanya.
"Hui-moi..., ampunkan aku, Hui-moi...!"
Katanya. Sepasang mata itu meneteskan air mata,
"Mintalah ampun kepada Tuhan, Kongcu!"
Katanya lirih, Pada saat itu, beberapa batang pedang menyambar ke arah tubuh Bhong Lam. Dia memutar tubuh dan bergulingan sambil menggerakkan pedangnya dengan dahsyat. Para penyerangnya mundur dan diapun melompat bangkit lalu mengamuk
lagi. Dia tau bahwa dirinya tidak akan lolos dari kepungan, bahwa dia menghadapi ancaman maut.
Akan tetapi hal ini tidaklah menggetarkan hatinya. Yang amat memedihkan hatinya adalah bahwa Ouw Yang Hui tidak mau mengampuninya, bahkan nyuruh dia minta ampun kepada Tuhan, Hal ini membuat dia penasaran dan sakit sekali hatinya. Dia tidak akan dapat mati dengan mata terpejam sebelum Ouw Yang Hui dapat memaafkannya, matinya akan penasaran kalau isterinya membencinya! Hati yang sakit ini menambah kekuatan ketika dia menghadapi pengeroyokan. Dia mengamuk dan kembali pedangnya dapat merobohkan dua orang pengeroyoknya. Akan tetapi sebatang pisau beracun di tangan kanan Ang Hwa menyambar paha kirinya. Bhong Lam terhuyung, merasa kiki kirinya seperti terbakar. Pada saat dia terhuyung, ujung pedang di tangan Hek Hwa menyerempet dadanya, Baju dan kulit dadanya robek dan darah bercucuran. Bhong Lam terhuyung dan roboh di kaki Ouw Yang Hui.
"Hui-moi... kau maafkan aku... jangan membenciku, Hui-moi..."
Pemuda itu mengeluh. Air mata bercucuran dari sepasang mata Ouw Yang Hui, melihat keadaan laki-laki itu. Kini pakaiannya penuh darah, juga mukanya berlepotan darah. Bhong Lam kelihatan mengerikan sekali.
"Aku maafkan engkau... Bhong-Ko (Kakak Bhong)... aku tidak membencimu..."
Kata Ouw Yang Hui terisak. Bhong Lam meloncat bangkit dan membalikkan tubuhnya, menyambut serangan para pengeroyoknya.
Wajahnya berseri, matanya bersinar-Sinar. Ucapan Ouw Yang Hui itu seolah memberi semangat baru kepadanya, membuatnya kuat dan tidak lagi merasakan kepedihan luka-lukanya, walaupun kaki kirinya seperti kaku dan terbakar karena keracunan. Kembali amukannya merobohkan dua orang pengeroyok. Akan tetapi pada saat yang sama, tusukan pedang Hek Hwa memasuki lambungnya. Ketika pedang tercabut dia roboh bergulingan kembali ke kaki Ouw Yang Hui. Dia merangkul kaki isterinya itu. Melihat keadaan Bhong Lam yang mandi darahnya sendiri Ouw Yang Hui tidak dapat menahan keharuan hatinya dan iapun menekuk kedua lututnya dan duduk bersimpuh. Dengan air mata berucuran ia mengangkat kepala Bhong Lam dan memangku kepala itu. Bhong Lam memandangnya dengan sinar mata yang penuh kasih sayang dan mulut yang berdarah itu tersenyum!
"Hui-moi... katakan... engkau cinta padaku...?"
Katanya berbisik. Ouw Yang Hui menangis, mulutnya ingin membuat pengakuan itu akan tetapi hatinya menyangkal. tidak, ia tidak mau membohongi orang yang sudah sekarat menghadapi maut.
"Bhong-Ko... aku tidak bisa mencintamu, akan tetapi, Koko... aku... aku telah mengandung anakmu."
La lalu menangis tersedu-sedu. Mendengar ini, seperti ada kekuatan baru memasuki tubuh Bhong Lam. Dia bangkit duduk, matanya terbelalak
"Kau mengandung anakku...?"
Terima kasih, Tuhan...! Hui-moi, isteriku sayang... didiklah baik baik anak kita... jangan menjadi seorang jahat seperti Ayahnya..."
Bhong Lam melompat berdiri, la tertawa seperti setan tertawa, muka dan pakaiannya penuh darah, Dia mengangkat pedang tinggi-tinggi dan sambil tertawa gembira, dia menyerbu para pengeroyoknya. Banyak pedang dan pisau beracun menyambutnya. Tubuhnya menerima banyak tusukan dan ketika pedang dan pisau itu dicabut, darah bercucuran dari tubuhnya melalui banyak lubang. Tubuh itu terhuyung.
"Hui-moi... jaga Eng-ji (Anak Eng) baik-baik!"
Tubuh yang bermandi darah itu setelah meninggalkan pesan dengan teriakan nyaring itu, roboh dan tewas seketika. Ouw Yang Hui yang masih duduk bersimpuh tidak tahan melihatnya. Ia menutupi mukanya dengan kedua tangannya yang juga berlepotan darah, darah Bhong Lam ketika ia memangku kepalanya tadi dan menangis tersedu-sedu. Ang Hwa lalu menghampirinya dan memegang lengannya, menariknya bangun.
"Nona, engkau ikut dengan kami menghadap Kim Niocu!"
Katanya. Ouw Yang Hui menyerah saja, akan tetapi ia tidak berani memandang ke arah Bhong Lam yang telah menjadi mayat yang bersimbah darah. Ang Hwa yang kedudukannya sebagai orang ke dua sesudah Pek Hwa dalam deretan pembantu Kim Niocu, lalu berkata kepada Hek Hwa.
"Hek Hwa, kau rawat teman-teman yang terluka dan bawa jenazah Bhong-Kongcu itu, serahkan kepada Bhong-pangcu dan buat laporan. Aku bersama sisa anak buahku akan mengantarkan Nona Ouw Yang Hui menyusul Niocu."
"Baiklah, enci Ang Hwa,"
Kata Hek Hwa. Empat orang anak buah Hek I Kiam-Tin dan tiga orang anak buah Ang I Tok-Tin roboh oleh pedang Bhong Lam tadi. Hek Hwa lalu mengerahkan anak buahnya untuk mengobati teman-teman yang terluka kemudian mereka membawa jenazah Bhong Lam Untuk dikembalikan kepada Ayahnya. Sedangkan Ang Hwa yang kehilangan tiga orang anak buah, bersama sisa anak buahnya yang tinggal lima orang mengawal Ouw Yang Hui meninggalkan tempat itu menuju ke Kotaraja. Di sepanjang perjalanan, Ouw Yang Hui seperti patung. Pikirannya masih penuh oleh kenangan yang mengerikan tentang kematian Bhong Lam. Hatinya terasa kosong. Kematian Bhong Lam yang amat mengerikan itu amat memberatkan hatinya. Merasa telah menanggung banyak sekali dosa.
Pertama-tama, ia yang membuat tunangan atau kekasihnya, Wong Sin Cu tertawan dan disiksa, nyaris dibunuh. Kalau tidak ada dia, kiranya Sin Cu tidak akan mengalami semua itu. la dapat membayangkan bahwa keputusannya untuk menebus nyawa Sin Cu dengan dirinya, dengan cara menyerahkan dirinya menjadi isteri Bhong Lam, tentu akan mendatangkan kehancuran bagi hati Sin Cu. Akan tetapi tidak ada waktu, baginya tidak ada pilihan lain atau kalau ia tidak mau menyerahkan diri kepada Bhong Lam, tentu Sin Cu akan dibunuh setelah disiksa hebat, setelah kedua matanya dibutakan. la rela berkorban apa saja demi keselamatan Sin Cu. la merasa berdosa kepada pria yang dikasihinya. Kemudia sekarang, kembali ia menjadi sebab kematian Bhong Lam secara demikian mengerikan! la tahu dan merasa benar betapa pemuda Pek-Lian-Kauw itu amat mencintanya, bukan sekedar cinta nafsu.
Dan kini terbukti murninya cinta kasih Bhong Lam kepadanya. Kalau Bhong Lam mau menyerahkannya kepada Kim Niocu, besar kemungkinan dia akan dimaafkan. Akan tetapi tidak. Bhong Lam tidak mau menyerahkannya dan membelanya sampai titik darah terakhir. Pemuda itu mengorbankan nyawa untuknya! Bagaimanapun juga Bhong Lam adalah Ayah dari anak yang ia kandung. Walaupun ia tidak pernah dapat mencinta pria itu, namun pria itu telah mati untuknya, Ia merasa berdosa kepada Bhong Lam. Dosanya yang kedua kalinya. la merasa nelangsa sekali Ingin rasanya ia mengakhiri hidupnya. Akan tetapi tidak mau membunuh anak dalam kandungannya. Anak itu tidak berdosa dan Tuhan telah memberikan anak itu kepadanya. Tidak... ia tidak akan mengakhiri hidupnya. la akan melahirkan dan merawat anak itu, seperti yang telah dipesankan Ayah kandungnya itu.
Akan merawat dan mendidik Eng-Ji (Anak Eng) baik-baik. Bhong Lam telah memberi nama kepada anaknya, nama yang dapat dipergunakan untuk anak laki-laki maupun perempuan. la akan mendidik agar anak itu tidak menjadi sekejam dan sejahat Ayah kandungnya, demikian pesan terakhir Bhong Lam. Ang Hwa dan lima orang anak buahnya menungang kuda. Ang Hwa berboncengan dengan Ouw Yang Hui. Wanita ini menurut saja dibawa pergi karena ia menang tidak berdaya, maklum bahwa tidak mungkin dapat melepaskan diri dari enam orang wanita itu. la berserah diri kepada Tuhan, menyerahkan diri kepada nasib karena memang, sudah tidak berdaya Sama sekal". Hidupnya kini hanya untuk anak yang dikandungnya, la tidak memperdulikan lagi apa yang akan terjadi dengan dirinya. Ia sudah pasrah. la tidak khawatir lagi, tidak menangis lagi.
Semua perasaan duka telah habis tercurahkan keluar melalui ratap tangis hatinya, melalui air mata semenjak ia harus mengikuti Bhong Lam, sejak harus berpisah dari Wong Sin Cu. Ang Hwa meninggalkan tiga orang anak buahnya yang terluka oleh amukan Bhong Lam. Mereka membutuhkan rawatan dan tidak mungkin ikut melakukan perjalanan bersamanya. Akan tetapi dengan adanya lima orang anak buahnya, mereka berenam masih cukup tangguh untuk mengajak Ouw Yang Hui ke Kotaraja, menyusul Kim Niocu. Setelah melakukan perjalanan cepat dengan berkuda selama beberapa hari, pada suatu pagi mereka tiba di sebuah padang rumput. Kotaraja sudah tidak begitu jauh lagi. Sore nantipun mereka sudah akan tiba di Kotaraja. Ang Hwa merasa Senang sekali. Sampai hari itu, tidak pernah rombongannya mengalami gangguan.
Setiap kali ada gerombolan orang yang mencurigakan dan agaknya mau mengganggu, ia cukup mengeluarkan sebuah bendera kecil bergambar bunga teratai putih di atas dasar biru gerombolan itu melarikan diri dengan ketakutan. Tidak ada gerombolan penjahat yang berani dengan rombongan Pek-Lian-Kauw! Selagi Ang Hwa melamun dengan hati senang, tiba-tiba ia yang melarikan kudanya paling depan melihat seorang pemuda berdiri di tengah jalan. Ang Hwa cepat memberi isyarat kepada lima orang anak buah yang menunggang kuda di belakangnya. Lima Orang itu lalu melajukan kuda mereka melampaui Ang Hwa sehingga kini Ang Hwa yang memboncengkan Ouw Yang Hui berada di belakang. Lima orang anak buahnya berada di depan dan dari jauh mereka berseru kepada pemuda yang berdiri menghadang di tengat jalan itu.
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo