Ceritasilat Novel Online

Sepasang Rajah Naga 33


Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 33



Kemudian dia mengutus dua orang murid kepala agar besok pagi-pagi berangkat meninggalkan Siauw-Lim-Si untuk memberi kabar dan mengundang pimpinan Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai untuk berkunjung ke Siauw-Lim-Si. Akan tetapi, sungguh suatu kebetulan, pada keesokan harinya ketika dua orang murid Siauw-Lim-Pai itu berangkat, di depan Kuil mereka melihat rombongan Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai sedang bercakap cakap dengan Gan Hok San, pendekar murid Siauw-Lim-Pai yang banyak dikenal itu! Seperti kita ketahui, Gan Hok San mengunjungi cabang Pek-Lian-Kauw dalam usahanya mencari Ouw Yang Hui dan menyelidiki tentang pembunuhan terhadap para murid Kong-Thong-Pai dan Bu-Tong-Pai, akan tetapi dia tidak berhasil menemukan sesuatu. Karena dia mengkhawatirkan keadaan isterinya yang ditinggalkan di depan Kuil Siauw lim-pai, dia mengambil keputusan untuk kembali saja ke depan Kuil itu.

   Pagi itu, ketika Gan Hok San hendak menghadap para pimpinan Siauw-Lim-Pai, dia melihat rombongan pimpinan Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai yang dipimpin sendiri oleh Cang Su Cinjin sebagai Ketua Bu-Tong-Pai dan Lui Kai It sebagai Wakil Ketua Kong-Thong-Pai. Karena sudah mengenal mereka, Gan Hok San menyambut mereka dan mereka bercakap-cakap di depan Kuil. Dua orang murid Siauw-Lim-Pai itu girang melihat mereka dan menyampaikan undangan Ketua Siauw-Lim-Pai. Sungguh kebetulan sekali karena dua orang pimpinan Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai itupun hendak bertemu dengan pimpinan Siauw-Lim-Pai untuk menanyakan tentang hasil penyelidikan mengenai pembunuhan terhadap murid-murid mereka. Ketika diadakan pertemuan dan perundingan, yang dipersilakan masuk hanya Cang Su Cinjin Ketua Bu-Tong-Pai dan Lui Kai It Wakil Ketua Kong-Thong-Pai saja sedangkan anggauta rombongan lain dipersilakan menanti di ruangan depan.

   "Omitohud, sungguh kebetulan sekali kedatangan ji-wi (kalian berdua) berkunjung ke Kuil kami,"

   Kata Hui San Hwesio.

   "Sesungguhnya kamipun bermaksud untuk mengundang ji-wi ke sini. Ketahuilah, secara tak terduga-duga kami telah mendapat keterangan tentang pembunuhan-pembunuhan yang terjadi pada murid-murid perguruan Ji-wi. Bahkan semalam seorang murid kami juga terbunuh. Akan tetapi kami berhasil menangkap pembunuhnya dan terbongkarlah semua rahasia pembunuhan itu."

   "Siapa pembunuhnya, Lo-Suhu?"

   Tanya Cang Su Cinjin.

   "Ya, siapa pembunuh keparat itu?"

   Tanya Lui Kai It galak.

   "Kami harus menghukumnya!"

   Hui Sian Hwesio yang menyambut dua orang tamunya itu bersama Cu Sian Hwe sio, menoleh kepada Sutenya dan berkata.

   "Sute, ceritakanlah sejelasnya kepada mereka."

   "Cang Su Totiang dan Lui Kai It Taihiap, semalam terjadi hal yang sama sekali di luar persangkaan kami. Seorang murid kami terbunuh dan Lui-Taihiap, coba lihat ini, alat yang dipergunakan pembunuh untuk membunuh murid kami itu."

   Cu Sian Hwesio membuka buntalan kain kuning dan mengeluarkan tiga batang pisau yang semalam dipergunakan untuk membunuh murid Siauw-Lim-Pai itu, diperlihatkan kepada Wakil Ketua Kong-Thong-Pai itu. Lui Kai It terbelalak lalu mengerutkan alisnya.

   "Apa artinya ini? Ini merupakan senjata rahasia partai kami!"

   "Itulah, Lui-Taihiap! Dan Totiang, tahukah Totiang apa yang terjadi selanjutnya?"

   "Pinceng (aku) keluar dari ruangan Liam-Keng dan berhadapan dengan pembunuh yang bertopeng itu. Dia lalu menyerang Pinceng, menggunakan ilmu totok Tiam-Hiat-Hoat dari Bu-Tong-Pai!"

   "Siancaai... tidak mungkin murid kami."

   Seru Cang Su Cinjin terkejut dan heran, Juga penasaran.

   "Tenanglah, Toyu dan Taihiap. Pinceng semula juga merasa heran. Akan tetapi untung bahwa kami telah dapat menangkap pembunuh itu. Dia itu bukan lain adalah Pangeran Yorgi dari Mancu yang berjuluk Si Banci Bergigi Emas,"

   "Siancai! Aneh sekali, mengapa orang Mancu membunuh murid kami?"

   Kata Cang Su Cinjin. Apa artinya ini? Dan bagaimana jahanam itu bisa mempergunakan pisau terbang kami?"

   Lui Kai It juga berkata penasaran.

   "Dia sudah membuat pengakuan dan ternyata tidak ada keanehan dalam rahasia ini. Dia menjadi utusan dari Pek-Lian-Kauw yang dipimpin oleh Kim Niocu, puteri Ketua Umum Pek-Lian-Kauw untuk membunuh murid-murid kami dengan mempergunakan ilmu-ilmu Kong-Thong-Pai dan Bu-Tong-Pai yang sudah dipelajarinya. Adapun yang membunuh murid-murid Kong-Thong-Pai dan Bu-Tong-Pai adalah Hek Pek Moko yang menjadi orang-orangnya Thaikam Liu Cin. Ternyata Thaikam Liu Cin dan Pek-Lian-Kauw mengadakan persekutuan dan semua pembunuhan itu dimaksudkan untuk mengadu domba antara kita yang tidak suka dan menentang Thaikam Liu Cin. Pangeran Yorgi telah mengakui semua ini. Untung kami dapat menangkapnya sehingga kita semua mengetahui akan rencana jahat mereka untuk mengadu domba di antara kita."

   "Di mana Pangeran Yorgi itu sekarang? Ingin aku melihat mukanya!"

   Teriak Lui Kai It marah.

   "Pinto (aku) juga ingin mendengar pengakuannya sendiri,"

   Kata Cang Su Cinjin.

   "Harap ji-wi tunggu sebentar. Pinceng akan membawanya ke sini,"

   Kata Cu kian Hwesio dan dia lalu meninggalkan ruangan itu. Dia menotok tubuh Pangeran yorgi sehingga tidak mampu menggerakkan kaki tangan, lalu melepaskan ikatannya dan mengempitnya, membawanya keluar ke dalam ruangan di mana dua orang pimpinan dua parti persilatan besar itu sudah menunggu. Cu Sian Hwesio melepaskan tubuh Pangeran Yorgi ke atas lantai di mana orang Mancu itu rebah telentang. Dua orang pimpinan partai itupun belum pernah bertemu dengan Pangeran Yorgi, akan tetapi mereka berdua sudah pernah mendengar nama Si Banci Bergigi Emas. Cang Su Cinjin memandang wajah orang Mancu itu lalu bertanya,

   "Benarkah engkau mengaku bahwa semua pembunuhan itu direncanakan oleh persekutuan antara Pek-Lian-Kauw dan Thaikam Liu Cin?"

   Pangeran Yorgi tertawa mengejek dan menjawab,

   "Semua itu betul dan kalian mau apa? Kalian ini pemimpin-pemimpin partai persilatan besar hanyalah orang-orang penakut besar. Memeriksa orang dan menanyainya dalam keadaan tertotok seperti ini. apakah kalian berempat ini takut kalau aku dalam keadaan bebas lalu akan membunuh kalian? Ha-ha-hi-hi-hik!"

   Kemudian, disambungnya dengan kata-kata yang nadanya mengejek,

   "Lihat, kalian bermuka merah karena marah. Hayo bunuh saja aku, karena kalau tidak, aku yang nanti akan membunuh kalian!"

   Lui Kai It, Wakil Ketua Kong-thong pa"

   Itu adalah seorang yang berwatak keras dan galak, amat memegang teguh kegagahan dan kehormatan. Dihina seperti itu, dia membentak kepada Cu Sian Hwesio,

   "Cu Sian Lo-Suhu, engkau yang menotoknya, maka harap engkau pula yang membebaskannya. Hendak kulihat jahanam keparat ini dapat berbuat apa ? Hendak kulihat apakah dia akan mampu melarikan diri dari hadapanku!"

   "Siancai, Pinto juga ingin melihat dia dibebaskan dari totokan. Memang tidak enak memeriksa orang dalam keadaan seperti ini. Pinto tanggung bahwa dia tidak akan mampu lari dari Pinto."

   Kata Cang Su Cinjin yang juga merasa tersindir dan malu.

   "Sute, bebaskan dia!"

   Kata Hui Sian Hwesio kepada Sutenya. Cu Sian Hiwesio lalu menghampiri Pangeran Yorgi yang rebah telentang di atas lantai. Tangannya bergerak cepat dan dengan ilmu It-Yang-Ci, dia menotok tiga kali dan Pangeran Yorgi mengeluh lalu dapat menggerakkan kaki tangannya. Dia bangkit, duduk bersila dan mengatur pernapasan, menghimpun tenaga, duduk diam beberapa saat lamanya. Empat orang itu menandang dengan penuh perhatian dan waspada. Setelah Pangeran Yorgi menggerakan tubuh dan membuka matanya yang tadinya terpejam, Lui Kai It lalu berkata,

   "Orang Mancu, kami sudah mendengar akan semua pengakuanmu kepada para pemimpin Siauw-Lim-Pai, akan tetapi kami dari Kong-Thong-Pai ingin mendengar keterangan ini dari mulutmu sendiri. Hayo Ceritakan kepada kami tentang pembunuhan atas murid kami!"

   Perlahan-lahan Pangeran Yorgi bangkit berdiri, menggerak-gerakkan kaki tangannya yang tadinya terasa kaku sehingga menjadi lemas kembali. Empat orang pemimpin itu memandangnya dengan penuh kewaspadaan, maklum bahwa orang ini berbahaya dan cukup lihai. Tiba-tiba Pangeran Yorgi tertawa bergelak.

   "Ha-ha-hi-hi-bik! Setelah aku bebas, jangan harap kalian akan dapat mendengar keterangan dariku sepatah katapun. Mampuslah kau!"

   Dia bergerak ke kiri lalu menyerang ke arah Lui Kai dengan cepat dan tiba-tiba. Dia menyerang dengan ilmu totok Tiam-Hiat-Hoat dari Bu-Tong-Pai yang sudah dipelajarinya dari Kim Niocu!

   "Heiiitt...!"

   Lui Kai It yang sejak tadi selalu waspada, tentu saja tidak terkejut oleh serangan tiba-tiba ini. Dia cepat mengelak ke belakang dan membalas dengan pukulan tangan dengan ilmu Pek-Lui-Ciang (Tangan Geledek). Pangeran Yorgi dapat, menangkis dengan baik dan kembali menyerang dengan totokan Tian-Hiat-Hoat. Sekali ini Lui Kai It tidak mengelak, melainkan menangkis sambil mengerahkan tenaga.

   "Dukkk...!"

   Tubuh Pangeran Yorgi terhuyung ke belakang dan dia melompat ke kanan untuk melarikan diri. Akan tetapi di sebelah kanan Cang Su Cinjin menyambutnya dengan totokan Tiam-Hiat-Hoat. Karena yang melakukan totokan ini ketua Bu-Tong-Pai, maka tentu saja hebat sekali. Pangeran Yorgi terkejut dan mencoba untuk menangkis.

   "Dess...!"

   Pertemuan kedua tangan membuat Pangeran Yorgi yang belum pulih seluruh tenaganya itu, terhuyung-huyung. Akan tetapi melihat dirinya terkepung, dia menjadi nekat dan kembali dia menyerang Lui Kai It, kini menggunakan kedua tangan yang membentuk cakar untuk mencengkeram. Dia mempergunakan ilmu gulat dari Mancu yang tentu asing bagi orang yang diserang. Namun yang diserangnya adalah Wakil Ketua Kong-Thong-Pai yang sudah memiliki tingkat kepandaian silat tinggi dan mempunyai banyak pengalaman pula. Maka Lui Kai It bahkan membiarkan pundaknya di cengkeram tangan Pangeran Yorgi dan pada saat yang sama tangan kanannya yang terbuka menghantam ke dada lawan.

   "Hyaatttt...! Dukkk...!"

   Tubuh Pangeran Yorgi terpental lalu roboh terjengkang dan dia tewas seketika.

   "Omitohud...!"

   Hui Sian Hwesio berseru.

   "Kiranya dia sengaja mengejek kita agar dibebaskan sehingga dia dapat bertindak nekat dengan dua pilihan, berhasil lolos atau menemui kematiannya. Cu Sian Hwesio memanggil dua orang murid dan memerintahkan agar dua orang murid itu membawa jenazah Pangeran Yorgi keluar ruangan dan mengurusnya sebagaimana mestinya. Setelah jenazah dibawa pergi, Cu Sian Hwesio berkata kepada Cang Su Cinjin dan Lui Kai It.

   "Dari Pangeran Yorgi kami mendapat keterangan bahwa Kim Niocu sekarang berada di Kotaraja. Kami khawatir mendengar akan persekutuan antara Pek-Lian-Kauw dan Thaikam Liu Cin. Karena itu, kiranya sudah menjadi ke wajiban kita untuk membongkar rahasia kepada Kaisar, agar Kaisar mengetahui akan pengkhianatan Thaikam Liu Cin dan dapat cepat bertindak sebelum terjadi malapetaka d? Istana."

   "Tepat sekali!"

   Kata Lui Kai It.

   "Kita harus pergi ke sana sekarang juga dan membantu Kaisar untuk menangkap Kim Niocu, juga Hek Pek Moko yang telah membunuh murid-murid kita."

   "Omitohud... Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk mengingatkan dan menyadarkan Kaisar. Akan tetapi tidak perlu terlalu banyak orang menghadap ke Istana, cukup kalau setiap partai persilatan diwakili seorang saja,"

   Kata Hui San Hwesio.

   "Pendapat Hui Sian Lo-Suhu benar dan Pinto setuju. Biarlah Pinto sendiri yang mewakili Bu-Tong-Pai,"

   Kata Cang Su Cinjin.

   "Dan aku mewakili Kong-Thong-Pai karena ketua kami sedang tidak sehat badannya,"

   Kata Lui Kai It.

   "Pinto harap agar Hui Sian Lo-Suhu sendiri yang mewakili Siauw-Lim-Pai dan meminpin rombongan yang pergi ke Kotaraja, karena bagaimanapun juga, Kaisar akan lebih memperhatikan kalau Lo-Suhu memimpin rombongan menghadap beliau."

   "Benar sekali apa yang dikatakan Cang Su Cinjin!"

   Kata Lui Kai It.

   "Demi keselamatan Kerajaan dan demi membasmi komplotan jahat yang hendak mengadu domba kita, akupun mengharap agar Hui Sian Lo-Suhu suka pergi sendiri bersama kami ke Kotaraja!"

   Kata-kata kedua orang pimpinan Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai ini diterima Hui Sian Hwesio dengan senyum dan dia menghela napas panjang.

   "Omitohud...! Agaknya Pinceng akan pergi bersama ji-wi ke Kotaraja."

   Hui Sian Hwesio lalu memanggil Gan Hok San yang tinggal di luar Kuil bersama isterinya. Setelah pendekar ini menghadap, Hui Sian Hwesio minta agar Gan Hok San membantu Cu Sian Hwesio menjaga Kuil Siauw-Lim-Si kalau-kalau akan ada kawan-kawan Pangeran Yorgi yang datang menyerbu. Gan Hok San menyanggupi. Walaupun hati pendekar ini juga ingin sekali pergi ke Kotaraja untuk mencari Ouw Yang Hui, akan tetapi dia harus menjaga keselamatan isterinya.

   Apalagi kini mendapat tugas untuk ikut menjaga keselamatan Kuil Siauw-Lim-Si, maka dia terpaksa menaati perintah Ketua Siauw-Lim-Pai itu. Demikianlah, tiga orang tokoh besar tiga partai persilatan itu, Hui Sian Hwesio, Cang Su Cinjin, dan Lui Kai It pada hari itu juga berangkat menuju Kotaraja. Para anggauta rombongan Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai mereka perintahkan untuk pulang lebih dulu. Ketika pada suatu pagi tiga orang tokoh besar ini memasuki Kotaraja, mereka sama sekali tidak tahu bahwa saat itu terjadi keributan dalam Istana, yaitu rombongan para bangsawan yang dipimpin oleh pangeran Ceng Sin menghadap Kaisar Ceng Tek dan berakhir dengan tertawannya Thaikam Liu Cin. Juga bahwa pasukan yang dipimpin oleh adik Thaikam Liu Cin, yaitu Panglima Liu Kui, telah dilucuti oleh pasukan besar yang dipimpin para Panglima yang menentang kekuasaan Thaikam Liu Cin.

   Sementara itu, Sin Cu dan Ciang Lan (Ouw Yang Lan) ditemani Siauw Ming memasuki Kotaraja. Mereka mencari rumah Kui-Ciangkun dan di rumah besar ini bertemu dengan para bangsawan yang dipimpin oleh Pangeran Ceng Sin. Mereka lalu mengadakan perundingan.

   "Besok kami akan pergi menghadap Kaisar,"

   Kata Pangeran Ceng Sin kepada Sin Cu dan Ciang Lan.

   "Untuk itu kami telah mempersiapkan dukungan. Para pengawal Istana telah kami ganti dan pasukan para Panglima akan menghadapi pasukan pimpinan Panglima Liu Kui yang mendukung Liu Cin. Kelak kalau diperlukan sebagai saksi, Wong-Taihiap dan Ciang-Lihiap akan kami hadapkan Kaisar. Akan tetapi sekarang lebih baik kita membagi tugas. Ada tugas yang lebih penting bagi ji-wi, yaitu menyerbu ke sarang mata-mata Pek-Lian-Kauw, yaitu rumah hartawan Su Kian. Dia membuka toko rempa-rempa di sebelah timur Jembatan Rembulan. Besok pagi-pagi kita bergerak, kami ke Istana dan ji-wi, diantar oleh beberapa orang perajurit menyerbu rumah mata-mata Su Kian itu. Menurut laporan yang telah kami terima, wanita yang namanya Kim Niocu, puteri Ketua Umum Pek-Lian-Kauw yang memimpin persekutuan dengan Thaikam Liu Cin berada pula di sana. Siapa tahu, mungkin Nona Ouw Yang Hui yang ji-wi cari itu dibawa pula ke sana."

   "Baik, Pangeran. Kami berdua akan menyerbu ke sana!"

   Kata Sin Cu dan Ciang Lan juga mengangguk. Hati gadis ini panas dan marah sekali kepada wanita yang namanya Kim Lian atau yang disebut Kim Niocu itu.

   Bukan saja karena wanita Pek-Lian-Kauw itu menculik adiknya, Ouw Yang Hui, akan tetapi terutama sekali setelah mendengar cerita Sin Cu betapa wanita itu hendak memaksa Sin Cu menjadi kekasihnya! la telah jatuh cinta kepada Sin Cu dan membayangkan perlakuan Kim Niocu kepada Sin Cu, hatinya panas oleh cemburu. Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka semua berangkat melaksanakan tugas masing-masing. Sin Cu dan Ciang Lan, diiringkan selusin perajurit, berangkat ke rumah Su Kian yang di Kotaraja dikenal dengan sebutan Su Wangwe (Hartawan Su). Ketika Sin Cu mengetuk daun pintu gapura rumah besar yang masih tertutup itu, terdengar langkah orang dan pintu gapura terbuka dari dalam. Sin Cu dan Ciang Lan, diikuti selusin perajurit masuk halaman depan rumah yang luas itu. Lima orang laki-laki yang tampak galak segera menghadang di depan mereka.

   "Siapa kalian dan mau apa...?"

   Ciang Lan sudah melompat ke depan dan membentak,

   "Di mana orang yang namanya Su Kian? Kami mau bertemu dengan dia!"

   Lima orang itu mengerutkan alisnya. Mereka adalah jagoan-jagoan tukang pukul yang bertugas menjaga keamanan di situ. Tentu saja mereka marah dan munculnya selusin perajurit itupun tidak membuat mereka takut. Mereka maklum bahwa majikan mereka, Su Wangwe adalah seorang hartawan yang mempunyai hubungan baik sekali dengan para pembesar tinggi di Kotaraja. Bahkan menjadi sahabat dari Thaikam Liu Cin! Siapa berani mengganggunya?

   "Hei! Jangan kurang ajar kalian! Kalau ada kepentingan, tunggu di luar pintu gerbang, sebutkan nama dan keperluan, baru akan kami laporkan kepada Su Wangwe apakah beliau mau menerima kalian ataukah tidak. Hayo keluar! Keluar!"

   Kepala penjaga itu hendak mendorong kearah dada Ciang Lan secara kurang ajar sekali. Akan tetapi, Ciang Lan mengelak ke kiri lalu kaki kanannya mencuat ke depan dengan cepat sekali.

   "Bukk!!"

   Orang itu mengaduh, tubuhnya terpental dan terbanting ke belakang Empat orang temannya marah sekali. Mereka bergerak maju untuk menyerang. Akan tetapi Sin Cu dan Ciang Lan bergerak cepat, dengan beberapa tamparan dan tendangan saja empat orang tukang pukul itupun roboh dan tidak mampu bangkit lagi!

   Sin Cu dan Ciang Lan tidak memperdulikan mereka. Diikuti oleh selusin orang perajurit itu, mereka memasuki beranda rumah besar. Toko di sebelah rumah itu belum buka. Ketika mereka tiba di ruangan depan, daun pintu depan rumah itu terbuka lebar dan belasan orang berserabutan keluar, membawa golok atau pedang. Agaknya mereka telah melihat betapa lima orang penjaga di depan telah dirobohkan para pendatang itu, maka tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menerjang dan menyerang Sin Cu, Ciang Lan dan seregu perajurit itu. Pertempuran terjadi di ruangan depan yang luas itu. Akan tetapi, kembali Sin Cu dan terutama Ciang Lan, mengamuk dan bagaikan dua ekor naga mereka menerjang dan belasan orang lawan itu menjadi kocar-kacir. Para perajurit juga menyerang dan dengan cepat perlawanan para anak buah Su Kian itu dapat dilumpuhkan.

   "Di mana Su Kian!"

   Bentak Ciang Lan kepada seorang yang dirobohkannya. Ia mencengkeram lengan orang itu yang menyeringai kesakitan karena tangan yang berkulit lembut hangat itu seolah telah berubah menjadi jepitan baja.

   "Di... di ruangan sebelah kanan itu..."

   Dia menuding. Ciang Lan menamparnya dan dia roboh pingsan. Gadis itu lalu meloncat ke arah ruangan yang ditunjuk tadi. Sin Cu juga menangkap seorang penjaga.

   "Hayo katakan di mana Kim Niocu?"

   Rumah itu terlalu besar sehingga kalau harus mencari sendiri, selain sukar juga memberi kesempatan kepada musuh untuk melarikan diri. Orang itupun tidak berani membantah.

   "Kim Niocu berada di ruangan belakang..., ampunkan saya...!"

   Sin Cu melompat dan meninggalkan orang itu setelah berkata kepada pimpinan regu agar menangkapi orang-orang itu.

   Dia berlari cepat memasuki rumah itu dan langsung menuju ke ruangan belakang. Begitu dia memasuki sebuah ruangan di belakang, tampak sinar Putih menyambar dan sebatang pedang sudah menusuknya dengan luncuran kilat dari kanan. Kiranya yang menyerangnya adalah Kim Niocu dan wanita itu menyerang dengan Pek-Liong-Kiam, pedangnya yang dirampas wanita itu ketika dia ditawan. Biarpun Sin Cu telah dapat menyingkirkan dendam kebencian dari lubuk hatinya sesuai dengan apa yang diajarkan Gurunya, namun melihat Kim Nocu dia menjadi marah juga. Wanita yang kejam dan jahat sekali ini bukan hanya membuat dia marah benar. Akan tetapi terutama sekali karena Kim Niocu telah menculik Ouw Yang Hui, kekasih dan tunangannya. Menghadapi serangan yang dilakukan secara curang dan tiba-tiba itu, Sin Cu cepat mengelak dengan loncatan ke samping memasuki ruangan yang luas itu.

   "Kim Niocu, di mana Ouw Yang Hui? Cepat kau bebaskan ia!"

   Bentak Sin Cu sambil memandang kepada wanita itu dengan sinar mata mencorong.

   "Heh-heh-hi-hik! Kau mencari gadis itu? la sudah mampus! Ya, ia sudah mampus. Akan tetapi di sini ada aku yang menggantikannya. Marilah engkau ikut dengan aku dan hidup bersenang-senang...!"

   Dengan marah Sin Cu lalu menerjang dan menyerang wanita itu dengan It-Yang-Ci! Kedua jari telunjuknya menotok-notok dan gerakan kedua jari tangan itu mengeluarkan bunyi mencicit mengerikan karena Sin Cu mengerahkan tenaga saktinya. Kim Niocu terkejut, la maklum akan kelihaian pemuda itu, maka cepat ia menghindar dan membalas dengan serangan pedangnya secara bertubi-tubi.

   Akan tetapi dengan langkah-langkah ajaib Chit-Seng Sin-Po tubuh Sin Cu bergerak ke sana-sini dan semua serangan pedang itu tak pernah dapat menyentuhnya, Karena sudah marah sekali, tiba tiba Sin Cu berlutut dengan kaki kirinya, tangan kiri menyentuh tanah, tangan kanan diangkat lurus ke atas dan tiba-tiba kedua tangan itu bergerak dari atas dan bawah mendorong dengan telapak tangan ke depan. Angin pukulan yang dahsyat sekali menyambar. Itulah ilmu Im-Yang Sin-Ciang yang sudah mencapai puncaknya. Tubuh Kim Niocu terdorong ke belakang dan ia terhuyung. Akan tetapi wanita ini memang lihai sekali. Biarpun ia merasa dadanya sesak dan terhuyung, ia masih dapat melontarkan pedang itu dengan sekuat tenaga ke arah Sin Cu. Pedang berubah menjadi sinar putih yang meluncur dengan cepatnya ke depan. Sin Cu mengelak dan pedang itu terus meluncur.

   "Cappp...!"

   Pedang itu menancap di dinding. Gagangnya bergoyang-goyang saking kuatnya senjata itu menancap sampai setengahnya di dinding. Sin Cu cepat melompat mendekati dinding dan menggunakan tangan kanan mencabut pedangnya. Pada saat dia sudah berhasil mencabut pedang, terdengar ledakan keras dan ruangan itu penuh asap hitam. Sin Cu cepat melompat keluar dari ruangan melalui pintu karena khawatir kalau-kalau asap itu beracun. Akan tetapi dia tidak melihat lagi bayangan Kim Niocu. Dia tidak perduli. Yang penting sekarang mencari Ouw Yang Hui. Sin Cu memasuki lorong dan ruangan dalam rumah itu. Di sebuah ruangan Sin Cu melihat Ciang Lan memimpin dua belas orang perajurit pengikut mereka sedang menangkapi orang-orang dan menggiring mereka setelah membelenggu mereka.

   "Engkau berhasil?"

   Tanya Ciang Lan melihat Sin Cu memegang sebatang pedang berbentuk naga putih.

   "lblis betina itu dapat melarikan diri. Engkau melihat Ouw Yang Hui?"

   Balas tanya Sin Cu. Ciang Lan menggeleng kepala

   "Akan tetapi d"a ini tentu dapat memberi keterangan!"

   La menuding kepada seorang tawanan, seorang yang bertubuh kurus dan bermulut lebar.

   "Siapa dia"

   Tanya Sin Cu.

   "Dia inilah yang bernama Su Kian atau Su Wangwe, mata-mata Pek-Lian-Kauw itu."

   Kata Ciang Lan dan gadis ini tiba tiba mencabut pedangnya dan menodongkan pedangnya ke leher Su Kian. Ujung pedang menempel pada kulit leher sehingga terasa pedih.

   "Hayo katakan di mana adanya Ouw Yang Hui ?"

   Bentak Ciang Lan. Su Kian Ketakutan. Tadi dia sudah merasakan kelihaian gadis cantik itu yang mengamuk dan merobohkan dia dan para pembantunya. Dia sendiri sudah dihajar babak belur oleh gadis itu dan dia tahu bahwa gadis itu bukan sekedar membentak ketika pedangnya itu menodong lehernya.

   "Saya... saya tidak mengenal nama itu...!"

   Katanya. Sin Cu menghardiknya.

   "Katakan, dimana para gadis yang ditawan Kim Niocu itu ?"

   "Mereka... mereka telah dibawa ke gedung Thaikam Liu Cin."

   Ciang Lan menekan pedangnya.

   "Engkau tidak bohong?"

   "Tidak, tidak! Saya tidak berani bohong. Begitu tiba di sini, gadis-gadis itu dibawa kepada Thaikam Liu Cin untuk dibagi-bagikan kepada para pembesar."

   
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sin Cu lalu berkata kepada pemimpin regu.

   "Bawa semua tangkapan ini dan serahkan kepada Kui-Ciangkun. Kami berdua akan pergi! Hayo, Lan-moi, kita cari Hui-moi!"

   Sin Cu mengajak Ciang Lan berlari keluar untuk pergi ke gedung Thaikam Liu Cin karena dia yakin bahwa Ouw Yang Hui tentu berada di sana.

   Ketika dua orang muda itu berlari-lari mereka melihat bahwa agaknya telah terjadi sesuatu yang menggemparkan. Mereka melihat penduduk bergegas pula dan tampak tegang dan ketakutan. Sin Cu dapat menduga bahwa hal ini tentu ada hubungannya, dengan gerakan para bangsawan yang dipimpin oleh Pangeran Ceng Sin. Dia tidak memperdulikan dan mengajak Ciang Lan untuk berlari cepat menuju gedung Thaikam Liu Cin. Setelah dekat dengan gedung itu, tiba-tiba Sin Cu melihat tiga orang yang segera dikenalnya dengan baik karena mereka itu bukan lain adalah Hui Sian Hwesio ketua Siauw-Lim-Pai, Ceng Su Cinjin ketua Bu-Tong-Pai dan Lui Kai It wakil ketua Kong-Thong-Pai! Sin Cu berhenti, menghadapi mereka dan segera memberi hormat, diturut oleh Ciang Lan.

   "Sam-wi Lo-Cianpwe (tiga orang tua perkasa) berada di sini?"

   "Omitohud...! Kiranya engkau, Wong Sin Cu! Kami bertiga sudah berhasil menangkap orang yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu. Dia anak buah Pek-Lian-Kauw yang bersekutu dengan Thaikam Liu Cin. Kami akan melaporkannya kepada Kaisar!"

   Kata hui Sian Hwesio.

   "Benar dugaanmu dulu, Wong Sin Cu. Yang membunuh murid Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai adalah Hek Pek Moko! Kami akan mencarinya!"

   Kata Cang Su Cinjin.

   "Benar! Kami harus membunuh Hek Pek Moko, iblis jahat itu"

   Kata Lui Kai dengan marah.

   "Kalau begitu kebetulan sekali, sam-wi Lo-Cianpwe! Saya kira mereka itu berada di gedung Thaikam Liu Cin. Kami berdua sedang hendak pergi ke sana. Semua kaki tangan Liu Cin berada di sana!"

   "Omitohud..., kalau begitu kita kesana!"

   Kata Hui Sian Hwesio. Bergegaslah lima orang itu menuju ke rumah gedung Thaikam Liu Cin. Ketika mereka tiba di depan gedung, ternyata Kui-Ciangkun telah mengatur gerakan yang cepat. Sudah ada pasukan yang menyerbu gedung dan sedang bertempur, melawan para pengawal penjaga gedung.

   "Kita menyerbu ke dalam!"

   Kata Sin Cu dan lima orang itu segera menerjang masuk, merobohkan para pengawal yang berani menghadang. Setelah tiba di ruangan dalam, bertemulah mereka dengan para jagoan kaki tangan Thaikam Liu Cin. Mereka agaknya sudah siap untuk melarikan diri. Tentu saja mereka terkejut bukan main ketika tiba-tiba pintu depan ditendang jebol dan masuklah lima orang yang tidak mereka sangka-sangka itu. Mereka saling pandang dan kebetulan sekali jumlah para datuk yang menjadi jagoan Liu Cin juga berjumlah lima orang. Mereka adalah Tho-Te-Kong, Cu-Beng Kui-Bo, Hek Moko, Pek Moko, dan Ouw Yang Lee. Ouw Yang Lee marah sekali melihat Ciang Lan yang memegang pedang Lo-Thian-Kam.

   "Ouw Yang Lan! Apakah engkau hendak menjadi anak durhaka yang melawan Ayah kandung sendiri?"

   Bentaknya. Ouw Yang Lan memandang dengan mata mencorong.

   "Ouw Yang Lee, aku adalah Ciang Lan dan aku tidak sudi mempunyai Ayah kandung seorang iblis keji macam engkau!"

   "Anak setan!"

   Ouw Yang Lee membentak dan dia sudah menyambar sebatang tongkat baja yang sudah dipersiapkan sebelumnya sebagai pengganti dayung baja yang biasa menjadi senjatanya yang ampuh. Dengan tongkat baja yang berat itu dia menyerang dengan pukulan maut ke arah kepala puteri Kandungnya. Ouw Yang Lan atau Ciang Lan sudah siap siaga. Dengan sigap ia mengelak dan membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya. Ayah dan anak ini sudah saling serang mati-matian. Lui Kai It wakil ketua Kong-Thong-Pai ketika melihat Hek Moko yang mukanya hitam, bangkit kemarahannya karena dia tahu bahwa murid Kong-Thong-Pai terbunuh oleh telapak tangan hitam.

   "Kamu tentu iblis Hek Moko yang telah membunuh murid Kong-Thong-Pai!"

   Bentaknya sambil menggerakkan pedangnya, langsung menyerang Hek Moko yang sudah menyambut dengan pedangnya.

   "Siancai! Engkau tentu Pek Moko yang telah membunuh murid Bu-Tong-Pai!"

   Kata pula Cang Su Cinjin yang juga sudah mencabut pedangnya.

   "Engkaupun datang mengantar nyawa!"

   Bentak Pek Moko yang sudah menyerang pula dengan pedangnya. Dua orang inipun sudah bertanding dengan seru. Sin Cu menghadapi Tho-Te-Kong.

   "Tho-Te-Kong, engkau orang tua renta yang tidak mencari jalan terang! Engkau bahkan membantu pembesar lalim untuk mengacaukan negara. Akulah lawanmu!"

   Kakek tinggi kurus yang rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua itu tertawa. Sambil mengamangkan tongkat bambu kuning di tangan kanannya, dia berkata,

   "Orang muda, sekali ini aku tidak akan memberi ampun padamu!"

   Kakek yang sudah tua ini agaknya salah mengenal orang.

   Dia mengira bahwa Sin Cu adalah Tan Song Bu yang pernah melawannya ketika pemuda itu bersama Ouw Yang Lan, Ciang Sek dan Gu Tian melawan dia dan Ouw Yang Lee sehingga terpaksa dia dan Ouw Yang Lee melarikan diri. Dia dikalahkan karena dikeroyok. Sekarang berhadapan satu lawan satu, dia merasa yakin bahwa dia akan dapat mengalahkan dan merobohkan pemuda itu, Sama sekali dia tidak tahu bahwa yang dihadapinya adalah seorang pemuda lain. Sin Cu sendiri belum pernah bertemu dengan Tho-Te-Kong, akan tetapi dia sudah mendengar akan nama dan kelihaian Kakek ini. Maka tadi sengaja dia memilih Tho-Te-Kong untuk melawannya. Dia juga heran mendengar ucapan Kakek itu seolah Kakek itu pernah bertemu dengannya. Dia tidak memperdulikan ucapan itu lalu mencabut Pek-Liong-Kiam dan menghadapinya.

   "Haiiiitt...!"

   Tho-Te-Kong sudah membuka serangan. Tongkat Bambu Kuning yang tampaknya biasa saja dan tidak berbahaya itu merupakan senjata yang teramat ampuh di tangan Kakek ini. Ketika tongkat itu menyerang, terdengar suara bercuitan dan sinar kuning menyambar ke arah tubuh Sin Cu dan ujung tongkat itu seperti berubah menjadi tujuh dan menyerang ke arah tujuh jalan darah yang berbahaya dari tubuh depan pemuda itu! Sin Cu cepat memutar Pek-Liong-Kiam sehingga tampak sinar putih bergulung-gulung membentuk perisai yang menangkis atau menghalau tusukan bertubi-tubi itu. Segera mereka saling serang dengan seru.

   "Omitohud, bukankah yang berhadapan dengan Pinceng ini datuk wanita yang disebut Cui-Beng Kui-Bo? Kui-bo, sungguh memalukan kalau orang-orang tua seperti kita masih harus bertanding. Mengapa engkau tidak menyadari akan kesalahanmu, lalu bertaubat dan berjanji tidak akan mengulang kesalahanmu membantu pembesar lalim mengacau negara? Kalau engkau mau berjanji dan bertaubat, Pinceng tentu mau melepas engkau pergi."

   Cui-Beng Kui-Bo tersenyum genit seperti kebiasaannya.

   "Hui Sian Hwesio, aku tahu siapa engkau dan aku tahu pula akan kesaktianmu. Aku mengerti bahwa aku tidak akan mampu mengalahkanmu. Akan tetapi untuk mengaku kalah sebelum bertanding, pantang bagiku. Kalau engkau mampu mengalahkan Siang-Kiam (Sepasang Pedang) ini, baru aku mengaku kalah dan akan bertaubat!"

   Wanita berusia enam puluh lima tahun yang masih cantik dan genit itu mencabut sepasang pedang dari punggungnya, memasang kuda-kuda dan menyilangkan pedangnya.

   "Omitohud, setua ini engkau masih menjaga keangkuhanmu, Kui-Bo!"

   "Sambutlah!"

   Cui-Beng Kui-Bo berseru dan ia sudah menerjang ke depan, menggerakkan sepasang pedangnya dan menyerang dengan dahsyat.

   Hui Sian Hwesio menggerakkan kedua lengannya dan ujung lengan bajunya yang panjang menyambar-nyambar, menjadi dua gulung sinar kuning dan membawa angin bersiutan kuat sekali. Hui Sian Hwesio ingin cepat-cepat menundukkan datuk wanita itu, sebaliknya Cui-Beng Kui-Bo yang maklum bahwa ia bukanlah lawan ketua Siauw-Lim-Pai, agaknya juga tidak ingin berlama-lama melakukan perlawanan. Maka, baru kurang lebih sepuluh jurus, sepasang pedangnya sudah terbelit kedua ujung lengan baju Hui Sian Hwesio dan begitu Kakek itu mengerahkan tenaga dalam untuk menarik dengan sentakan, sepasang pedang itu terlepas dari kedua tangan Cui-Beng Kui-Bo.! Hui Sian Hwesio mengambil sepasang pedang itu dan menyerahkannya kepada pemiliknya.

   "Omitohud, Kui-Bo. Engkau telah banyak mengalah!"

   (Lanjut ke Jilid 31)

   Sepasang Rajah Naga (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 31

   Cui-Beng Kui-Bo menerima sepasang pedang itu, akan tetapi bukan disimpan melainkan dipatahkannya dengan kedua tangan, kemudian dibuangnya sepasang pedang yang telah patah itu.

   "Aku mengaku kalah dan akan meninggalkan dunia kang-ouw, Hui Sian Hwesio."

   Setelah berkata demikian, nenek itu lalu melompat dan pergi dari gedung itu. Dengan mudah ia menerobos keluar, merobohkan siapa saja yang berani menghadangnya dan tak lama kemudian dia sudah jauh meninggalkan Kotaraja!

   "Omitohud, mudah-mudahan ia dapat menjadi orang yang kembali ke jalan benar dan berguna bagi manusia dan dunia,"

   Kata Hui Sian Hwesio. Kakek ini lalu berdiri menonton mereka yang sedang bertanding. Biarpun dia tidak berusaha membantu namun dia waspada dan siap untuk melindungi pihaknya kalau sampai terancam bahaya.

   Ouw Yang Lee merasa penasaran dan marah sekali melihat kenyataan bahwa dia tidak mampu mendesak Ciang Lan. Ternyata tingkat kepandaian silat puterinya ini mampu menandinginya, bahkan kini gulungan sinar pedang gadis itu makin menekan dan mendesaknya sehingga dialah yang kini terancam. Ouw Yang Lee menjadi panik. Bukan saja dia tidak akan menang melawan puterinya sendiri, akan tetapi dia melihat betapa Cui-Beng Kui-Bo sudah melarikan diri dan kini Hui Sian Hwesio yang sakti itu berdiri menganggur. Kalau ketua Siauw-Lim-Pai itu turun tangan membantu Ouw Yang Lan, akan celakalah dia. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanyalah lari. Akan tetapi belum tentu dia akan dapat meloloskan diri. Dia teringat akan Ouw Yang Hui yang oleh Kim Niocu telah diserahkan kepadanya dan kini puterinya itu dia tahan dalam sebuah kamar. Dia mendapat akal.

   "Hyaaatttt...!"

   Dia melakukan Serangan yang dahsyat, pedangnya menyambar disusul pukulan tangan yang berubah merah karena dia telah mengerahkan ilmu Ang-Tok-Ciang (Tangan Beracun Merah). Maklum akan hebatnya serangan itu, Ciang Lan melompat mundur dan kesempatan itu di pergunakan oleh Ouw Yang Lee untuk lari ke sebelah dalam.

   "Keparat, hendak lari ke mana kau"

   Bentak Ciang Lan dan diapun mengejar ke dalam. Akan tetapi Ouw Yang Lee tak tampak lagi. Selagi gadis itu mencari-cari, muncullah Ouw Yang Lee dari dalam sebuah kamar. Akan tetapi Ciang Lan tidak dapat menyerang dan ia berdiri tertegun melihat betapa Kakek itu dengan tangan kiri memegang lengan Ouw Yang Hui dan pedangnya menempel di leher adik tirinya itu.

   "Hui-moi..."

   Ciang Lan berseru, merasa tidak berdaya. la mengangkat pedangnya akan tetapi tidak berani mendekat.

   "Jangan bergerak atau aku akan menggorok lehernya lebih dulu!"

   Bentak Ouw Yang Lee.

   "Manusia biadab! Iblis kejam"

   Ciang Lan memaki akan tetapi tidak berani bergerak.

   "Enci Lan, jangan begitu. Bagaimanapun juga, dia adalah Ayah kandung kita."

   Kata Ouw Yang Hui dan ia menurut saja ketika didorong Ayahnya keluar dari ruangan itu dan meninggalkan gedung lewat lorong rahasia di belakang gedung. Ciang Lan hanya membanting-banting kaki, tidak berani bergerak mengejar karena ia tahu benar bahwa Ayahnya yang kejam seperti iblis itu bukan hanya menggertak kosong belaka.

   Mungkin saja iblis itu membunuh Ouw Yang Hui kalau ia mengejarnya, membunuh anak kandung sendiri. Sementara itu, pertempuran antara pasukan yang dikirim Kui-Ciangkun melawan para perajurit pengawal gedung sudah berhenti. Semua perajurit pengawal Liu Cin telah dikalahkan dan sisanya menyerah. Atas perintah Kui-Ciangkun. semua anggauta keluarga Thaikam Liu Cin juga ditawan. Pertandingan di ruangan dalam yang luas antara para pimpinan partai besar dan Sin Cu melawan para datuk masih berlangsung dengan seru. Hui Sian Hwesio yang sudah ditinggal lari lawannya, hanya menonton dan tidak membantu karena semua kawannya tidak tampak terdesak. Cang Su Cinjin ketua Bu-Tong-Pai yang bertanding dengan Pek Moko bahkan telah mendesak hebat lawannya. Ilmu pedang Bu-Tong-Pai memang indah dan tangguh sekali.

   Dalam hal permainan pedang, Pek Moko masih kalah jauh. Pek Moko berusaha untuk mengimbangi kekalahan ilmu pedang dengan pukulan maut Pek-Tong-Ciang. Tangan kirinya berubah putih seperti kapur ketika dia menggunakan ilmu pukulan maut itu. Akan tetapi, Ketua Bu-Tong-Pai itu menyambutnya dengan ilmu totok Tiam-Hiat-Hoat yang berbahaya sekali. Pek Moko mulai menjadi panik dan mulai melihat ke kanan-kiri untuk mencari jalan keluar melarikan diri. Namun tempat itu telah terkepung perajurit sehingga dia tidak melihat jalan keluar lagi. Apa pula lawannya yang lihai itu sudah mendesaknya terus, tidak memberi kesempatan kepadanya untuk meloloskan diri. Dalam keadaan terhimpit itu Pek Moko menjadi nekat. Pada saat pedangnya bertemu pedang lawan, dia mengerahkan seluruh tenaganya melalui pedang it".

   Cang Su Cinjin merasakan adanya saluran tenaga dahsyat lawan. Maklumlah dia bahwa lawan hendak mengadu tenaga, maka diapun mengerahkan tenaga sinkang. Dua tenaga yang amat kuat bertemu melalui pedang sehingga kedua pedang itu seperti melekat. Pada saat itu, Pek Moko menggerakkan tangan kirinya yang berubah putih itu dari dekat pinggang, dengan tangan terbuka menghantam ke arah perut lawan. Akan tetapi Ketua Bu-Tong-Pai itu sudah siap siaga. Melihat gerakan tangan kiri lawan, cepat dia menotok dengan ilmu totok Tiam-Hiat-Hoat. Cepat sekali jari tangannya menotok siku kiri lawan sehingga lengan Pek Moko seketika lumpuh. Secepat kilat jari tangan kiri Cang Su Cinjin menotok lagi mengenai ulu hati dan Pek Moko mengeluarkan seruan lirih dan tubuhnya roboh terjengkang. Datuk ini tewas seketika!

   "Siancai...! Engkau mencari kematianmu sendiri, Pek Moko!"

   Kata Ketua Bu-Tong-Pai itu. Cang Su Cinjin lalu mundur dan berdiri di sebelah Hui Sian Hwesio menonton perkelahian yang masih berlangsung antara Sin Cu melawan Tho-Te-Kong dan Lui Kai It melawan Hek Moko. Pertandingan antara Hek Moko melawan Wakil Ketua Kong-Thong-Pai itu berjalan seimbang. Seperti yang lain, Hek Moko juga mengeluarkan seluruh kemampuannya dan mengerahkan seluruh tenaganya, karena dia melihat bahwa tidak ada jalan keluar untuk melarikan diri baginya. Apa lagi dia melihat Pek Moko sudah tewas.

   Ouw Yang Lee dan Cui-Beng Kui-Bo juga tidak tampak berada di mana. Mungkin sekali kedua orang itu telah tertawan, pikirnya. Karena itu, Hek Moko mengamuk. Akan tetapi, lawannya amat lihai sehingga semua usahanya untuk menyerang seperti bertemu dinding baja yang kuat. Berulang kali pedang mereka bertemu dan masing-masing merasa betapa tangan yang memegang pedang tergetar hebat. Pada saat itu, Ciang Lan kembali ke ruangan itu. Hatinya masih dipenuhi kemarahan dan penyesalan melihat Ouw Yang Lee telah menawan Ouw Yang Hui dan menyanderanya sehingga dia dapat melarikan diri tanpa ia dapat berbuat apa-apa. Karena kemarahan ini, melihat Lui Kai It masih bertanding melawan Hek Moko dan berada dekat dengannya ketika ia memasuki ruangan itu, Ciang Lan segera menggerakkan pedangnya menyerang si muka hitam itu.

   "Haaaiiittt...!!"

   La membentak dan pedang Lo-Thian-Kam menyambar dahsyat ke arah leher Hek Moko. Hek Moko terkejut bukan main. Serangan itu benar-benar cepat dan berbahaya sekali. Dia menggerakkan pedangnya menangkis.

   "Tranggg...!"

   Bunga api berpijar dan Hek Moko terhuyung, dan pada saat itu, pedang Lui Kai It sudah menusuk lambungnya dari kanan. Hek Moko berteriak dan roboh terguling, lambungnya ditembusi pedang dan dia tewas seketika. Pertandingan antara Sin Cu yang melawan Tho-Te-Kong berlangsung seru dan sengit. Sejak tadi Hui Sian Hwesio dan Cang Su Cinjin menonton pertandingan antara pemuda dan datuk besar itu dan mereka berdua saling membicarakan dengan penuh rasa kagum. Diam-diam Hui Sian Hwesio sendiri harus mengakui dalam hati bahwa datuk besar itu berbahaya sekali. Dia sendiripun belum tentu dapat mengalahkan Tho-Te-Kong dengan mudah. Akan tetapl pemuda itu, mampu menandinginya dalam pertandingan yang ramai dan seimbang.

   "Hebat sekali pemuda itu,"

   Kata Cang Su Cinjin.

   "Murid siapakah dia?"

   Tanya Hui Sian Hwesio kepada Ketua Bu-Tong-Pai itu.

   "Omitohud, apakah engkau tidak dapat mengenal dasar ilmu pedangnya, Toyu?"

   Cang Su Cinjin mengamati penuh perhatian. Dia adalah seorang yang berpengetahuan luas. Sebentar saja dia sudah melihat dasar-dasar ilmu pedang Pek-Liong Kiam-Sut yang dimainkan Sin Cu.

   "Hemm, dasar-dasar gerakan kaki dan pedang itu mirip ilmu pedang Im-Yang Kiam-Sut dari partai Im-Yang-Pai. Akan tetapi tangan kirinya yang menyelingi serangan pedang dengan totokan-totokan jari telunjuk itu, bukankah itu It-Yang-Ci dari Siauw-Lim-Pai? Bagaimana mungkin kedua ilmu itu digabung menjadi satu. Apakah dia murid Im-Yang-Pai? Ataukah murid Siauw-Lim-Pai?"

   "Omitohud! Penglihatanmu tajam sekali dan pengetahuanmu tentang ilmu silat luas Cang Su Cinjin. Dugaanmu tadi memang tepat dan pinceng tahu, hanya ada satu orang saja di dunia ini yang ahli dalam dua macam ilmu itu dan hanya dia yang dapat menggabungkannya menjadi ilmu pedang yang lihai itu."

   "Siapa dia, Lo-Suhu?"

   "Seorang sahabat pinceng. yang sudah hampir dua puluh tahun tidak pernah pinceng jumpai dan dia tidak ingat akan namanya sendiri dan kalau ditanya mengaku bernama Bu Beng Siauwjin!"

   "Siancai Bu Beng Siauwjin (Manusia Rendah Tak Bernama)? Benar-benar adakah tokoh aneh itu? Dan pemuda itu muridnya?"

   Kata Ketua Bu-Tong-Pai dengan heran dan kagum, Perkelahian antara Tho-Tek-Kong melawan Wong Sin Cu memang hebat sekali. Pedang Pek-Liong-Kiam di tangan sin Cu berubah menjadi sinar putih bergulung gulung bagaikan seekor naga putih mengamuk di angkasa. Adapun tongkat bambu kuning di tangan Tho-Te-Kong juga berubah menjadi gulungan sinar kuning yang menyambar-nyambar. Kadang-kadang kedua gulungan sinar itu saling dorong, saling tekan, dan ada kalanya saling belit. Hanya tinggal dua orang ini yang bertanding karena semua pertandingan sudah selesai. Para perajurit juga ikut tertarik dan menonton pertandingan yang seru dan dahsyat ini.

   Pimpinan ketiga partai persilatan hanya menonton dan tidak membantu Sin Cu. Hal ini pertama adalah karena mereka melihat Sin Cu tidak dalam keadaan terdesak dan kedua karena bagi seorang gagah merupakan hal yang memalukan, untuk melakukan pengeroyokan, apa lagi dalam keadaan tidak terancam bahaya. Akan tetapi Ciang Lan tidak perduli akan semua aturan dan sopan santun ini. Hal itu sudah dibuktikannya tadi ketika ia begitu saja membantu Wakil Ketua Kong-Thong-Pai sehingga Hek Moko dapat dirobohkan dengan mudah. Kini, melihat betapa Sin Cu belum juga dapat mengalahkan laawannya, Ciang Lan tidak perduli biarpun ia maklum betapa lihainya Kakek yang bertanding melawan Sin Cu itu. Ia pernah melihat Kakek itu ketika Tho-Tek-Kong bersama Ouw Yang Lee menyerang Pek-In-San.

   "Cu-Ko, mari kita bunuh tua bangka keparat ini!"

   Bentak Ciang Lan dan ia lalu menyerang dengan pedang Lo-Thian-Kam secara ganas sekali. Biarpun dibandingkan Tho-Te-Kong, tingkat kepandaian Ciang Lan masih kalah jauh, namun ilmu pedang Lo-Thian Kiam-Sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit) yang dimainkan gadis itu merupakakan Kiam-Sut yang hebat.

   Tho-Te-Kong yang belum juga mampu mendesak Sin Cu dan keadaan keduanya masih seimbang, ketika mendapat penyerangan Ciang Lan, menjadi terkejut bukan main. Serangan gadis itu cukup. hebat dan mengubah keseimbangan itu. Dia mulai terdesak hebat ketika mengelak dari serangan pedang Ciang Lan. Dia berusaha untuk merobohkan gadis itu lebih dulu, hal yang dianggapnya tidak sukar mengingat bahwa tingkat kepandaian gadis itu belum cukup tinggi untuk mengimbanginya. Akan tetapi, agaknya pemuda itu mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencegah dia mencelakai gadis itu, begitu dia hendak mengirim serangan maut kepada Ciang Lan, Sin Cu sudah mendesaknya dengan serangan berbahaya sehingga terpaksa Tho-Te-Kong membatalkan serangan kepada Ciang Lan. Dengan demikian, terpaksa Tho-Te-Kong harus menghadapi semua serangan Ciang Lan tanpa dapat membalas.

   Sin Cu sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menyerang gadis itu. Seluruh perhatiannya harus dia curahkan untuk melayani semua desakan Sin Cu. Celakanya, penyerangan gadis itu makin lama semakin dahsyat dan berbahaya! Sin Cu sebagai seorang yang mengutamakan kegagahan, tentu saja tidak ingin dibantu dalam menandingi Tho-Te-Kong, akan tetapi dia mengenal siapa Ciang Lan dan bagaimana watak gadis yang keras hati itu. Kalau bantuan Ciang Lan ini dia tolak, hal itu tentu akan membuat gadis itu marah dan sama sekali tidak alasan menghalangi bantuannya, bahkan akan menjadi semakin nekat. Karena itu, Sin Cu diam saja dan dia malah memperhebat serangannya untuk menghalangi Kakek itu agar tidak dapat balas menyerang Ciang Lan.

   Tho-Te-Kong mulai bingung dan panik. Menghadapi ancaman maut yang membayang di depan matanya, Kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih itu menjadi takut! Segala perbuatannya yang lalu, semua kejahatannya, membunuhi orang, memaksakan kehendaknya kepada orang lain, semua itu terbayang bagaikan kilat dan mendatangkan perasaan ngeri kepadanya. Biasanya, dia amat mengandalkan kekuatannya. Akan tetapi membayangkan betapa semua kekuatan sudah meninggalkannya, betapa dia tidak berdaya, tidak tahu apa yang akan menimpanya dan bayangan-bayangan mengerikan mengancamnya, Kakek itu menjadi panik dan takut. Perasaan takut ini tentu saja mempengaruhi perhatian dan kewaspadaanya, membuatnya lemah dan gerakannya menjadi ragu-ragu dan lambat.

   "Hyaattt...!"

   Pedang di tangan Ciang Lan menusuk. Kakek itu miringkan tubuh, akan tetapi pedang yang menusuk dada itu masih menyerempet pangkal lengan kanannya. Lengan baju dan kulit pangkal lengan itu robek. Rasa perih membuat Kakek itu terhuyung dan tendangan kaki kiri Sin Cu tepat menghantam lambungnya. Tubuh tinggi kurus itu terpelanting dan sebelum dia sempat menguasai dirinya, pedang di tangan Ciang Lan sudah menusuk dadanya. Tho-Te-Kong mengeluarkan teriakan dan dia tidak dapat bangkit lagi, tewas dan mandi darahnya sendiri.

   "Cu-Ko, Hui-moi dilarikan dan disandera Ouw Yang Lee, dilarikan keluar gedung!"

   Kata Ciang Lan kepada Sin Cu. Pada saat itu, seorang laki-laki tua berusia hampir tujuh puluh tahun, bertubuh kurus jangkung dengan muka keriputan berlari masuk. Melihat Sin Cu dan Ciang Lan, dia berkata,

   "Aku melihat gadis yang disandera dan dilarikan itu keluar pintu gerbang selatan Kotaraja!"

   Orang itu bukan lain adalah Siauw Ming yang ditinggalkan di rumah Kui-Ciangkun. Karena Sin Cu menganggap Siauw Ming sudah tua dan dia bersama Ciang Lan akan menghadapi datuk-datuk yang sakti, maka dia minta agar Siauw Ming tinggal saja di gedung Kui-Ciangkun. Siauw Ming yang melihat semua orang pergi melaksanakan tugas, merasa tidak enak harus berdiam diri. Walaupun sudah tua, namun dia merasa dirinya masih kuat. Maka akhirnya dia tidak dapat bertahan duduk diam di rumah dan segera keluar. Dia melihat betapa penduduk Kotaraja panik dan banyak yang berlarian mengungsi. Dia mendengar tentang keributan di luar Istana dan tahu bahwa Pangeran Ceng Sin, Kui-Ciangkun dan para bangsawan itu sudah mulai bergerak.

   Ketika dia sedang berjalan-jalan melihat keadaan dan tiba di dekat pintu gerbang selatan, tiba-tiba dia melihat seorang Kakek tinggi besar gagah perkasa berusia hampir enam puluh tahun sedang mendorong dan memegangi lengan seorang gadis cantik. Kakek itu memegang sebatang pedang telanjang dan dari sikapnya jelas bahwa dia mengancam untuk membunuh gadis itu. Siauw Ming adalah seorang yang sejak menjadi buron dari Kotaraja, telah banyak berkelana dan biarpun dia belum pernah bertemu dengan Ouw Yang Lee, ketika melihat laki-laki tinggi besar itu dia teringat akan cerita Sin Cu dan Ciang Lan. Gadis itukah yang dicari kedua orang muda itu? Dan apakah Kakek gagah perkasa itu yang bernama Tung-Hai-Tok (Racun Laut Timur) Ouw Yang Lee, majikan Pulau Naga? Karena ingin tahu, dia lalu mengejar dan setelah dekat bertanya.

   "Nona, apakah engkau yang bernama Ouw Yang Hui?"

   Gadis itu memang Ouw Yang Hui.

   Ketika Ayahnya sendiri menjadikannya sebagai sandera, ia tidak melawan. la sudah pasrah dan ia tidak perduli lagi apa yang akan terjadi dengan dirinya. Ketika Ouw Yang Lee dengan menggunakan ia sebagai sandera membawanya lari keluar dari gedung Thaikam Liu Cin, ia menurut saja, bahkan ia sempat menegur Ouw Yang Lan, la hanya bertanya kepada Ayah kandungnya itu kemana ia akan dibawa dan Ouw Yang Lee mengatakan bahwa mereka akan kembali ke Pulau Naga. kini, tiba-tiba ada seorang laki-laki tua yang menegurnya. la menoleh dan melihat laki-laki itu, ia teringat kepada mereka yang dekat dengannya. Teringat kepada Sin Cu, teringat kepada Song Bu, dan kepada Ouw Yang Lan juga teringat kepada Ibunya dan Ayah tirinya. la percaya bahwa mungkin orang yang menegurnya ini mempunyai hubungan dengan seorang di antara mereka, maka iapun lalu menjawab,

   "Benar, paman. Aku Ouw Yang Hui, Sampaikan ucapanku selamat tinggal kepada mereka semua, aku kembali ke Pulau Naga...!"

   Ouw Yang Lee mengerutkan alisnya dan memutar tubuhnya dengan marah, memandang kepada Siauw Ming dan membentak,

   "Siapa engkau? Pergi atau kubunuh kau!"

   Tangan kirinya mendorong dan serangkum angin pukulan menyambar ke arah Siauw Ming. Biarpun jarak di antara mereka tidak kurang dari lima tombak jauhnya, namun angin pukulan itu masih menyambar keras. Siauw Ming maklum betapa hebatnya pukulan jarak jauh itu, maka diapun melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan menjauh sehingga terhindar dari hantaman hawa pukulan dahsyat itu. Ketika Siauw Ming bangkit, Ouw Yang Lee dan Ouw Yang Hui telah keluar dari pintu gapura selatan.

   Siauw Ming tentu saja tidak berani mengejar, maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jauh dibandingkan penyerangnya tadi. Maka dia lalu kembali ke tengah kota dan langsung pergi ke gedung Liu Cin karena dia tahu bahwa Sin Cu dan Ciang Lan menurut rencana akan menyerbu ke sana. Para perwira yang memimpin pasukan mengenalnya sebagai tamu Kui-Ciangkun, maka mereka tidak menghalanginya ketika, Siaw Ming masuk mencari Sin Cu dan Ciang Lan. Kebetulan sekali, ketika Siauw Ming memasuki ruangan dalam, semua pertempuran telah berhenti. Banyak lawan telah tewas, lainnya ditangkap dan pada saat Siauw Ming datang, dia mendengar teriakan Ciang Lan yang berkata kepada Sin Cu bahwa Ouw Yang Hui disandera dan dilarikan Ouw Yang Lee. Maka diapun cepat berkata kepada mereka.

   "Aku melihat gadis yang disandera dan dilarikan itu keluar pintu gerbang selatan Kotaraja!"

   Mendengar ucapan Siauw Ming ini, Sin Cu dan Ciang Lan melompat keluar gedung itu dan mempergunakan ilmu berlari cepat seperti terbang, mereka melakukan pengejaran ke pintu gerbang selatan. Siauw Ming juga melakukan pengejaran, akan tetapi ia tertinggal jauh walaupun dia juga mempergunakan ilmu berlari cepat. Setelah tiba di luar pintu gapura sebelah selatan, Sin Cu dan Ciang Lan berhenti berlari, bingung karena tidak tahu ke arah mana perginya orang yang mereka kejar. Terdapat dua jalur jalan raya dari luar pintu gerbang itu, yang satu lurus ke depan, yang lain ke arah kiri.

   "Kita berpencar di sini!"

   Kata Sin Cu dan ia lalu mengambil jalan kiri yang Lebih kecil. Ciang Lan maklum apa yang dimaksudkan Sin Cu. Dengan berpencar mereka akan dapat mengejar melalui dua arah dan seorang di antara mereka tentu akan dapat mengejar Ouw Yang Lee. Maka iapun cepat berlari mengambil jalan yang besar lurus.

   Setelah melindungi Kaisar Ceng Tek dan membantu Pangeran Ceng Sin dan para bangsawan yang menentang Thaikam Liu Cin sehingga akhirnya Liu Cin dapat ditangkap dalam Istana, Song Bu teringat akan Ouw Yang Hui. Dia merasa yakin bahwa gadis itu tentu dibawa oleh Kim Niocu ke Kotaraja dan mungkin telah diserahkan kepada Liu Cin. Kalau demikian halnya, tentu Ouw Yang Hui terjatuh kembali ke dalam tangan Ouw Yang Lee yang jahat. Hatinya menjadi khawatir sekali dan setelah Kaisar berada dalam keadaan aman sedangkan para pengacau telah berhasil dilumpuhkan dan ditangkap, Song Bu mohon diri dari Kaisar untuk mencari dan menyelamatkan Ouw Yang Hui. Setelah mendapat ijin dari Kaisar, Song Bu berlari keluar dari Istana.

   Bagaikan dikejar setan Song Bu berlari secepatnya menuju gedung Liu Cin. Dia melihat pertempuran di luar Istana akan tetapi tidak memperdulikan, apa lagi melihat betapa pasukan yang pro Liu Cin tampak terdesak dan banyak yang roboh dan menyerah. Akan tetapi setelah dia tiba di situ pertempuran sudah selesai bahkan tiga orang pimpinan partai-partai persilatan besar telah pergi meninggalkan Kotaraja. Dia mendapat keterangan bahwa Hek Moko dan Pek Moko, juga Tho-Te-Kong, telah tewas dalam pertempuran, seluruh anggauta keluarga Liu Cin telah ditangkap. Akan tetapi dia mendengar juga bahwa Cui-Beng Kui-Bo telah melarikan diri, juga Ouw Yang Lee melarikan diri dengan menyandera Ouw Yang Hui! Mendengar keterangan ini, Song Bu tidak memperdulikan yang lain lagi dan cepat dia melakukan pengejaran sambil bertanya-tanya di sepanjang jalan dalam kota.

   Akhirnya dari keterangan-keterangan orang yang melihat, dia tahu bahwa Ouw Yang Hui dibawa Ayah kandungnya keluar dari Kotaraja melalui pintu gerbang sebelah selatan. Maka diapun cepat melakukan pengejaran keluar dari pintu gerbang itu. Hati Ouw Yang Lee merasa lega ketika dia sudah berhasil membawa Ouw Yang Hui keluar dari Kotaraja dan mereka kini sedang berjalan mendaki sebuah bukit di Sebelah selatan Kotaraja. Kini dia tidak lagi memegang lengan gadis itu dan sudah menyarungkan pedangnya. Sejak tadi Ouw Yang Hui berjalan di samping Ayahnya, tidak banyak bertanya atau bicara. Kedua kakinya terasa lelah sekali, akan tetapi dipaksanya kedua kakinya untuk melangkah. Setelah beberapa lamanya berjalan di jalan pendakian itu, Ouw Yang Hui merasa tidak kuat lagi menahan rasa lelahnya. Ia berhenti melangkah.

   "Kenapa berhenti? Hayo jalan terus perjalanan masih jauh"

   Kata Ouw Yang Lee.

   "Kakiku lelah sekali, Ayah. Aku tidak kuat lagi, aku harus beristirahat dulu."

   Kata Ouw Yang Hui lirih. Ouw Yang Lee mengerutkan alisnya dan menoleh ke kanan-kiri. Di kanan-kiri jalan yang sunyi itu hanya hutan.

   "Mari jalan sedikit lagi sampai kita keluar dari hutan dan tiba di sebuah dusun. Nanti kucarikan kuda agar kita dapat melanjutkan perjalanan menunggang kuda, Hayo jalan lagi". Ouw Yang Hui tetap mogok jalan

   

Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Suling Naga Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini