Pendekar Bunga Merah 10
Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 10
Dalam beberapa jurus saja beberapa orang pengeroyok kehilangan pedangnya yang terpental ketika ditangkis tongkat. Pertandingan antara Bi Hwa melawan Aceng juga berat sebelah. Biarpun gadis itu memiliki gerakan yang gesit sekali dan pedangnya diputar menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata, akan tetapi Aceng menari-nari dan selalu tusukan atau bacokan itu luput. Bahkan beberapa kali Aceng sudah dapat menepuk pundak atau pinggul Bi Hwa, bahkan mengelus pipi. Bukan gerakan yang mengandung kekurangajaran, melainkan seperti gerakan anak kecil yang suka menggoda. Muka Bi Hwa menjadi sebentar merah sebentar pucat, akan tetapi ia merasa tidak berdaya melawan si gila yang amat lihai ini. Pertempuran mengeroyok Song Kian Ok juga sudah nampak tanda-tanda bahwa para pengeroyok itu tidak akan mampu menang.
Beberapa orang sudah terkena tendangan atau tamparan tangan atau totokan tongkat Song Kian Ok, bahkan pundak Kiang Cu I pernah terkena hantaman tongkata. Dari semua pukulan ini, Sin Lee dapat melihat bahwa Song Kian Ok sama sekali tidak ingin melukai parah kepada pengeroyoknya. Hal ini amat menyenangkan hatinya dan menambah rasa kagumnya kepada keluarga gila itu. Nyonya Song hanya bertepuk-tepuk tangan memuji suaminya saja. Sementara itu, Bi Hwa nampak kepayahan sekali. Gadis ini berkelahi dengan kedua mata basah karena saking jengkelnya, ia tidak mampu menahan air matanya walaupun tidak terang-terangan menangis. Melihat keadaan Kiang Cu I dan Bi Hwa ini, Sin Lee merasa tidak tega dan sekali melompat dia telah terjun ke tengah pertempuran, dengan tangannya menangkis gerakan tongkat Song Kian Ok lalu melompat untuk menengahi Aceng dan Bi Hwa.
"Tahan senjata...!"
Dia berseru keras. Nyonya Song sudah turun dari atas batu dan menghampiri Sin Lee bersama suaminya, juga Aceng menghampiri Sin Lee. Sinar mata mereka liar dan mereka agaknya merasa penasaran sekali melihat Sin Lee turun tangan melerai pertempuran yang sudah hampir dimenangkan pihak mereka itu.
"Siapa suruh engkau ikut campur?"
Bentak Song Kian Ok.
"Sin Lee, anak tampan. Mau apa engkau menahan kami?"
Bentak pula Nyonya Song penasaran.
"Sin Lee, apakah engkau bukan sahabatku lagi?"
Kata pula Aceng penasaran.
"Justru karena aku sahabat baik kalian maka terpaksa aku melerai. Paman dan bibi Song, aku tidak dapat membiarkan kalian bertiga melakukan hal bo-ceng-li (tidak punya aturan)."
"Apa katamu? Kita bo-ceng-li. Mereka inilah yang bo-ceng-li, mereka datang hanya untuk menggangu kami, mengatakan kami gila. Hayo, siapa yang tidak tahu aturan?"
Kata Song Kian Ok.
"Ketahuilah, paman dan bibi Song, juga engkau Aceng. Mereka ini adalah keluargaku. Nona Kiang Bi Hwa itu adalah... tunanganku. Nah, apa benar kalau kalian sahabat-sahabat baikku mengganggu tunanganku dan keluarganya? Sama saja dengan mengganggu aku! Peti perhiasan itu adalah tanggungan murid-murid calon Ayah mertuaku, kalau kalian ambil tentu saja mereka akan celaka termasuk tunanganku dan aku pula. Maka demi persahabatan kita, paman dan bibi Song dan engkau Aceng sahabatku yang baik, kembalikanlah peti perhiasan itu kepada mereka dan jangan memusuhi mereka. Kalau mereka telah bersikap kasar dan membuat kalian marah, akulah yang mintakan ampun. Harap kalian bertiga memandang mukaku untuk memaafkan mereka."
"Wah, ia tunanganmu, Sin Lee? Aduh, aku sudah kedahuluan!"
Aceng merengek kecewa.
"Kenapa tidak dari dulu kau katakan bahwa mereka ini adalah keluarga calon isterimu, Sin Lee?"
Tegur Nyonya Song.
"Heh, sudahlah. Kalau memang mereka ini keluarga calon isteri Sin Lee, tentu saja kami memandang mukanya untuk dapat memaafkan. Akan tetapi, Sin Lee, tidak begitu mudah, ada syaratnya agar kami mau mengembalikan peti perhiasan berikut semua isinya."
"Paman Song, aku sanggup memenuhi semua syaratmu itu."
"Awas kalau engkau tidak dapat memenuhi, akan kuobrak-abrik mereka ini, kuberi hajaran agar jera. Nah, dengarlah syaratku. Pertama, engkau harus mewakili keluarga isterimu itu, bertanding melawan kami satu lawan satu. Aku sudah lama ingin melihat sampai di mana kelihaianmu. Syarat ke dua, engkau harus mengaku kami sebagai orang tuamu dan Aceng sebagai kakakmu. Dan syarat ke tiga, karena kami sudah ingin sekali mempunyai mantu dan menimang cucu, engkau sebagai putera kami harus segera melangsungkan pernikahan dengan tunanganmu ini, sekarang juga dan di tempat kami ini. Nah, bagaimana? Tidak boleh satupun syarat dilanggar, atau aku akan melanjutkan menahan peti perhiasan dan tetap menentang mereka itu."
"Syarat-syarat gila!"
Bentak Kiang Cu I yang tentu saja tidak ingin melihat Sin Lee berkorban demi mereka.
"Sstt, paman. Jangan berkata apa-apa lagi, aku menerima syarat-syarat itu!"
Katanya sambil mengedipkan matanya sebagai tanda bahwa penerimaan syarat itu hanya untuk meredakan kemarahan keluarga gila itu.
"Paman Song aku terima ketiga syaratmu!"
"Ha-ha-heh-heh, bagus, bagus! Aceng, kau mulailah, coba main-main sebentar dengan Sin Lee adikmu!"
"Bagus, Sin Lee, mari kita latihan sebentar. Lihat seranganku ini, jangan lengah atau engkau akan kubikin jungkir balik, ha-ha-ha!"
Aceng gembira sekali dan tangannya sudah menyambar ke arah Sin Lee. Sin Lee maklum akan kelihaian Aceng, maka cepat dia mengelak dan sebelum tangan itu mulur dan mengejarnya,
Dia sudah balas menyerang dengan menotok ke arah pergelangan tangan yang tadi menyerangnya. Aceng juga lincah sekali, dia menarik tangannya sambil tertawa ha-ha-he-he dan menendang dengan kakinya yang panjang. Sin Lee juga mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, mengelak lagi dan membalas. Mereka serang menyerang dan kalau Aceng hanya main-main saja, Sin Lee bersungguh-sungguh, berusaha memenangkan pertandingan itu. Pada jurus ke lima belas, ketika tangan kanan kiri Aceng melakukan dorongan ke arah dadanya, dia merendahkan tubuhnya sehingga kedua tangan itu meluncur ke atas kepalanya dan secepat kilat dari bawah dia mengirim totokan ke arah siku kanan kiri lawan. Usahanya berhasil dan begitu terkena totokan jari tangan Sin Lee, maka seketika kedua lengan Aceng menjadi lumpuh.
"Wah, wah, tanganku... aaah, tidak dapat digerakkan... hu-hu-huuhh...!"
Dan Aceng menangis seperti anak kecil ketakutan. Sin Lee cepat merangkulnya dan membebaskan totokannya.
"Ilmu silatmu hebat, Aceng-ko, akan tetapi aku masih dapat mengatasimu."
"Wah, kau nakal. Sin Lee, aku tidak mau bermain-main denganmu lagi!"
Aceng meloncat menjauh. Nyonya Song tertawa.
"Heh-heh-heh, ternyata engkau memang hebat, Sin Lee anakku yang tampan. Akan tetapi engkau harus dapat mengalahkan aku! Nah, sambutlah ini!"
Nyonya itu sudah menyerang, serangannya berupa totokan-totokan dengan satu jari tangan, cepat bukan main gerakannya dan begitu menyerang, serangannya bertubi-tubi. Sin Lee terkejut. Ilmu totokan yang diperlihatkan nyonya itu memang aneh dan hebat dan kalau melihat betapa Nyonya Song hanya menggunakan satu jari tangan saja, mirip ilmu totokan It-sin-ci (Satu Jari Sakti), hanya saja gerakannya demikian aneh dan lucu, seperti gerakan orang main-main saja walaupun amat cepat. Justeru keanehan gerakan ini yang berbahaya karena selain tidak dikenalnya, juga tidak dapat diketahui perubahannya. Maka Sin Lee cepat mengerahkan gin-kangnya,
Mempergunakan kecepatan gerakan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini seperti gerakan seekor burung walet saja, dan diapun membalas dengan ilmu tendangan berantai dari Bu-tong-pai, yaitu Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh). Barulah setelah dia menggunakan ilmu tendangan Soan-hong-twi, desakan Nyonya Song kepadanya dapat ditahan dan mengendur karena nyonya itupun harus menyelamatkan diri dari hujan tendangan yang mendatangkan angin berputar, Nyonya Song bersilat sambil berteriak-teriak dan tertawa-tawa, nampaknya ia gembira bukan main mendapatkan lawan yang begitu tangguh. Tiga keluarga ini memang orang-orang gila yang aneh. Selain mereka tidak kejam dan tidak mau mencelakakan orang, juga agaknya mereka gila ilmu silat sehingga bertanding ilmu silat bagi mereka seperti mendapatkan permainan yang amat menggembirakan.
"Hai, kau hebat! Ahhh...!"
Nyonya Song menjerit-jerit ketika kaki Sin Lee seperti berubah menjadi banyak sekali, menendangnya bertubi-tubi dan kini nyonya itu mengubah gerakannya. Ia tidak menghindarkan diri dengan berloncatan ke sana ke mari melainkan kini berusaha untuk menangkap kaki Sin Lee! Seperti seorang anak kecil bermain-main hendak menangkapi burung-burung yang beterbangan menyambar-nyambar. Sin Lee maklum akan bahayanya perbuatan wanita itu. Kalau kakinya sampai terkena ditangkap, berarti dia akan kalah. Baru lepas sepatunya saja dapat dianggap kalah. Maka diapun menghentikan tendangannya dan kini diapun mengubah ilmu silatnya, kini dia memainkan ilmu silat yang diajarkan oleh Ciu-sian Lo-kai,
Yaitu ilmu silat Dewa Mabok, semacam ilmu yang dirangkai oleh Ciu-sian Lo-kai dan cocok sekali dengan pengemis tua dewa arak itu. Gerakannya seperti orang mabok, terhuyung-huyung akan tetapi pada saatnya yang tepat dapat mengirim serangan atau mengelak seperti tidak sengaja dan seperti orang mabok terhuyung-huyung ke sana ke mari. Nyonya Song gembira sekali melihat gerakan Sin Lee yang hampir sama dengan gerakannya, hanya bedanya kalau gerakan Sin Lee seperti orang mabok, maka gerakannya seperti orang sinting! Sampai lima puluh jurus kedua orang ini bertanding dan akhirnya dengan cara menggulingkan dirinya, Sin Lee berhasil menangkap kaki nyonya itu dan menariknya sehingga nyonya Song terpelanting jatuh! Biarpun ia tidak terluka, namun ia terkejut sekali dan sambil bersungut-sungut ia melompat bangun.
"Sin Lee, bocah nakal kau, berani menarik-narik kaki ibumu?"
Kini Song Kian Ok sendiri yang melompat ke depan.
"Sin Lee, engkau pantas menjadi puteraku. Sekarang, kita main-main sebentar, pergunakan senjatamu!"
Dia sendiri lalu melepaskan sabuknya, sehelai sabuk kulit yang panjangnya satu setengah meter berwarna hitam seperti ular. Sin Lee dapat menduga betapa ampuhnya senjata yang sederhana itu, maka diapun menengok ke kanan kiri mencari senjata.
"Twako, pakailah pedangku ini!"
Bi Hwa berseru sambil melolos pedang dari sarungnya.
"Bagus, calon mantuku sungguh mencinta calon suaminya!"
Kata Nyonya Song.
"Sin Lee, kau pakailah pedang calon isterimu itu."
Akan tetapi Sin Lee menolak dengan halus, dia harus bersandiwara, dan menyebut gadis itu "Siauwmoi"
Seolah memang ia tunangannya.
"Biarlah, Siauwmoi, karena ini hanya pertandingan antara keluarga, aku menggunakan tongkat ini saja."
Dia memungut sebuah kayu ranting yang besarnya selengan tangan dan panjangnya satu meter. Dia menghadapi Song Kian Ok dengan senjata itu di tangan.
"Nah, paman Song, aku sudah siap!"
Katanya.
"Bagus, nah, sambutlah sabukku ini, Sin Lee!"
Song Kian Ok mulai menyerang dan serangannya bukan seperti orang bermain silat melainkan seperti orang gila mengamuk.
Dia memutar-mutar sabuk di atas kepalanya dan menyerang dengan ganas. Sabuk itu mengeluarkan suara bercuitan dan nampak bergulung-gulung hitam, mengeluarkan angin dahsyat pula. Maklum bahwa gerakan yang kacau ini sesungguhnya merupakan gerakan silat yang aneh dan berbahaya, Sin Lee tidak berani memandang rendah dan diapun menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini sambil membalas dengan ranting. Dia mencari celah-celah antara gulungan sinar hitam untuk memasukkan rantingnya, menusuk dan menotok ke tiga belas jalan darah di bagian depan tubuh lawan. Song Kian Ok mengeluarkan suara aneh, kadang-kadang tertawa, kadang-kadang seperti orang menangis dan sungguh luar biasa sekali. Semua orang hampir saja ikut terbawa menangis kalau dia mengeluarkan suara tangis, dan ikut tertawa kalau mendengar dia tertawa.
Ternyata suara itu mengandung khikang yang amat kuat! Namun Sin Lee sudah mengerahkan sin-kangnya dan tidak hanyut oleh pengaruh suara itu. Bahkan dia mampu mengimbangi kecepatan gerakan sabuk sehingga mereka itu saling serang dengan seru sekali. Sudah lewat lima puluh jurus dan belum juga di antara mereka ada yang terkena senjata lawan. Akhirnya Song Kian Ok melompat ke belakang. Napasnya agak terengah dan mukanya penuh keringat, sedangkan Sin Lee sama sekali tidak berkeringat dan pernapasannya tidak memburu, ini saja sudah merupakan bukti bahwa dalam hal ketahanan tenaga dan napas, pemuda ini jauh lebih unggul walaupun dalam hal ilmu silat, dia masih belum dapat mengalahkannya. Sin Lee harus mengakui bahwa selama dia meninggalkan gurunya, Ciu-sian Lo-kai belum pernah dia bertemu lawan setangguh tiga orang gila itu!
"Ha-ha-ha, engkau pantas menjadi puteraku. Hayo penuhi syarat ke dua, engkau mulai hari ini harus menjadi putera kami, Sin Lee!"
Karena menghadapi orang gila, dia harus pula melayani seperti orang gila, untuk mencegah terjadinya keributan, maka dia lalu memberi hormat kepada Song Kian Ok dan menyebut Ayah, kepada Nyonya Song menyebut ibu, dan kepada Aceng menyebut kakak. Mereka bertiga girang sekali, berloncatan seperti anak kecil mendapatkan mainan, bahkan Aceng lalu merangkul Sin Lee dan mengajaknya menari-nari sambil berkata,
"Aku girang sekali, mendapatkan adik yang lihai, ha-ha-ha!"
"Sekarang mari kita semua pulang. Aku undang orang-orang Kong-thong-pai sebagai keluarga sendiri. Putera kami akan menikah dengan puteri wakil ketua Kong-thong-pai, mari kita rayakan di rumah kami!"
Kata Song Kian Ok dan semua orang mengikuti. Tadinya Sin Lee mengira bahwa pernikahan itu sudah cukup kalau diakuinya saja, akan tetapi dia menjadi pucat juga ketika suami isteri Song itu lalu mengatur meja sembahyang.
"Sepasang pengantin harus bersembahyang di sini untuk peneguhan pernikahan mereka!"
Kata Song Kian Ok.
"Nanti dulu!"
Kata Nyonya Song.
"Aku masih menyimpan pakaian pengantinku. Mantuku harus mengenakan pakaian pengantian biar lebih cantik!"
Nyonya itu lalu menggandeng tangan Bi Hwa diajaknya masuk ke dalam kamar dan Bi Hwa juga menurut saja. Tak lama kemudian, Bi Hwa keluar lagi digandeng Nyonya Song, mengenakan pakaian merah, pakaian pengantin kuno! Dan anehnya, Bi Hwa melangkah perlahan-lahan, persis pengantin, bahkan wajah gadis itupun bersungguh-sungguh! Terpaksa Sin Lee lalu bersanding dengan Bi Hwa, keduanya disuruh berlutut dan bersembahyang di depan meja sembahyang melakukan sumpah sebagai sepasang pengantin. Nyonya Song yang memberi contoh kepada mereka.
"Aku bersumpah disaksikan Bumi dan Langit bahwa mulai saat ini kami berdua telah menjadi suami isteri yang saling mencinta dan saling setia!"
Kembali terjadi keanehan. Kalau Sin Lee menirukan suara Nyonya Song dengan ngawur saja, asal menggerakkan bibir akan tetapi tidak demikian dengan Bi Hwa. Gadis ini mengeluarkan ucapan itu dengan suara lantang dan jelas dan sikapnya bersungguh-sungguh, bahkan kedua pipinya kemerahan dan sinar matanya berseri-seri.
Hal ini tidak luput dari penglihatan Ayahnya yang merasa heran pula, juga khawatir. Setelah upacara pernikahan selesai, Nyonya Song lalu menyuruh semua orang membantunya memotong ayam dan kambing yang dimiliki keluarga itu, memasaknya dan hari itu mereka berpesta dengan gembira. Kegembiraan yang aneh. Orang-orang Kong-thong-pai tidak berpura-pura, mereka memang gembira karena peti perhiasan itu, lengkap dengan isinya benar-benar dikembalikan kepada mereka. Hanya Sin Lee yang hampir tak dapat makan, karena dia merasa seperti terjepit. Mengaku mereka sebagai keluarganya masih belum mengapa, akan tetapi pernikahan dengan Bi Hwa itu membuat jantungnya berdebar karena dia melihat betapa Bi Hwa demikian bersungguh-sungguh! Ketika mereka semua sedang makan, tiba-tiba Nyonya Song menangis tersedu-sedu.
"Aih, ibu, mengapa menangis? Diamlah, ibu, aku akan ikut menangis kalau ibu tidak diam..."
Kata Aceng sambil mewek-mewek, siap untuk ikut menangis. Akan tetapi ibunya malah mengguguk dan akhirnya Aceng ikut menangis meraung-raung. Song Kian Ok memegang pundak isterinya.
"Sudahlah, isteriku yang tersayang, jangan menangis."
"Hu-huuh-huh, aku kehilangan putera, diambil oleh wanita lain, bagaimana tidak boleh bersedih dan menangis?"
Nyonya Song berkata dan kembali ia menangis.
"Hu-huk, akupun kehilangan saudara...!"
Aceng mengikuti contoh ibunya.
"Ha-ha-ha, kalian ini bodoh. Kalian tidak kehilangan anak dan adik, akan tetapi malah mendapatkan anak mantu dan adik ipar. Seharusnya tertawa, kenapa menangis?"
Kata Song Kian Ok. Mendengar ini, Nyonya Song menghentikan tangisnya lalu tertawa.
"Hi-hik-hik, engkau benar. Mari kita minum untuk mantu perempuanku yang cantik manis!"
"Hore, akupun mendapatkan adik ipar yang manis. Mari kita minum!"
Aceng ikut-ikut ibunya tertawa bergelak sambil minum araknya. Setelah pesta bubaran, semua orang berpamit sambil membawa peti perhiasan dan kereta, sedangkan Sin Lee juga berpamit untuk berkunjung ke Kong-thong-pai, ke rumah "Mertuanya". Untuk meyakinkan keluarga itu, dia sengaja menggandeng tangan Bi Hwa dengan mesra.
"Ya-ya, akan tetapi jangan lupa kadang-kadang menengok Ayah ibu dan kakakmu di sini, ya?"
Pesan mereka dan semua orang lalu meninggalkan tempat itu dengan hati lega dan cepat-cepat, takut kalau keluarga gila itu berubah pikiran. Ketika mereka semua tiba di Kong-thong-pai, Bi Hwa terus lari memasuki kamarnya dan tidak mau keluar lagi. Melihat ini, ibunya segera menengoknya dan ternyata Bi Hwa rebah telungkup sambil menangis terisak-isak. Ibunya terkejut dan segera merangkul puterinya.
"Bi Hwa, kenapa engkau menangis bersedih? Bukankah peti perhiasan itu telah kembali dan semua orang bergembira di ruangan dalam, mengadakan pesta, kenapa engkau malah bersembunyi di kamar sambil menangis?"
Ditanya begitu oleh ibunya, Bi Hwa bangkit duduk merangkul ibunya dan tangisnya semakin mengguguk.
"Ibu... ah, ibu... aku ingin mati saja, ibu...!"
Tentu saja ibunya terkejut setengah mati.
"Hushhh... jangan bicara begitu, anakku. Kabarnya kalian semua berurusan dengan keluarga gila, apakah engkau ketularan penyakit itu? Ada urusan dapat diurus, ada permasalahan dapat diselesaikan, jangan berkata ingin mati begitu. Katakan, ada masalah apa yang membuat engkau begitu bersedih?"
Bi Hwa mencoba untuk menghentikan tangisnya. Setelah tangisnya mereda dan ia hanya kadang terisak saja, ia lalu berkata,
"Apakah ibu belum mendengar apa yang terjadi di rumah keluarga Song yang gila itu?"
"Tentu saja sudah. Mereka ramai membicarakan. Berkat pertolongan Pendekar Bunga Merah yang bernama Sin Lee itu maka peti perhiasan itu dapat diambil kembali. Kabarnya, Pendekar Bunga Merah mengorbankan dirinya, mengalahkan mereka dan bahkan mau mengakui mereka sebagai orang tua, dan juga berpura-pura menikah denganmu. Eh, ada apakah?"
Ibunya menegur melihat anaknya bersungut-
(Lanjut ke Jilid 10)
Pendekar Bunga Merah (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 10
sungut.
"Ibu, di dunia ini mana ada pernikahan dilakukan pura-pura? Kalau pura-pura, itu merupakan suatu penghinaan bagiku. Ibu, ingat kami telah bersumpah di depan meja sembahyang, disaksikan bumi dan langit bahwa kami telah menjadi suami isteri. Bagaimana dapat berpura-pura lagi?"
"Akan tetapi, pernikahan itu hanya dilakukan oleh keluarga gila, dan hanya untuk memenuhi syarat saja."
"Bagi orang lain begitu, tetapi bagiku... ahh, aku malu disuruh mengenakan pakaian pengantin segala. Aduh, ibu... aku malu... aku malu kalau pernikahan itu dibatalkan begitu saja..."
"Maksudmu..."
"Tidak tahulah, ibu harus tahu sendiri..."
Gadis itu lalu menelungkup dan menangis lagi. Ibunya lalu berlari keluar dan tak lama kemudian ia kembali memasuki kamar bersama suaminya. Kian Cu I terkejut ketika mendengar pelaporan isterinya tentang puterinya. Kini ia dapat mengerti. Kiranya puterinya itu jatuh cinta kepada Sin Lee dan benar-benar menghendakinya sebagai suami. Pantas ketika diadakan upacara di rumah keluarga Song yang gila, Bi Hwa begitu bersungguh-sungguh!
"Bi Hwa, apakah engkau menganggap upacara pernikahan di keluarga Song itu benar-benar?"
Tanyanya dengan halus. Bi Hwa menyusut air matanya dan bangun duduk, memandang kepada Ayahnya dengan mata merah.
"Habis bagaimana, Ayah? Apakah penyumpahan itu pura-pura belaka? Aku tidak bisa berpura-pura seperti itu. Aku akan mati karena malu, Ayah."
"Akan tetapi anakku, Pendekar Bunga Merah melakukan itu hanya untuk memenuhi syarat keluarga itu, hanya untuk membujuk mereka agar mengembalikan peti perhiasan dan dia sudah berhasil menolong kita. Dia melakukan upacara pernikahan pura-pura itu hanya untuk memenuhi syarat. Kalau kau anggap sungguh-sungguh, tentu harus dimintai persetujuannya dulu. Tidak mungkin pernikahan dilangsungkan hanya sepihak saja, anakku."
"Mengapa Ayah tidak bertanya kepadanya dan membujuknya? Orang lain boleh menganggap pura-pura, akan tetapi bagiku sungguh-sungguh, Ayah!"
"Katakan saja bahwa engkau telah jatuh cinta kepada Pendekar Bunga Merah, anakku."
"Apakah Ayah juga tidak akan bangga kalau mempunyai mantu dia?"
Gadis itu balas bertanya. Ayah ibunya mengangguk-angguk.
"Akan kubicarakan dengan dia, anakku. Akan tetapi engkau jangan yakin lebih dulu. Bagaimanapun juga, kita semua tahu bahwa dia bukan bermaksud mempermainkanmu, melainkan hanya untuk memenuhi syarat yang diajukan oleh keluarga itu. Akan kucoba membujuk dia."
"Mudah-mudahan dia akan setuju, Ayah,"
Kata Bi Hwa sungguh-sungguh. Ia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukannya kalau seandainya pendekar itu menolak. Yang jelas, ia akan merasa terpukul, kecewa, patah hati dan malu sekali. Dan semua ini gara-gara keluarga yang gila itu! Seluruh murid Kong-thong-pai berpesta. Setelah selesai perjamuan itu, dan Sin Lee sudah siap-siap untuk meninggalkan tempat itu, Kiang Cu I mendekatinya dan berkata.
"Taihiap, saya ada urusan penting sekali yang hendak saya bicarakan dengan Taihiap berdua saja."
"Ah, ada urusan apakah yang demikian pentingnya, paman Kiang? Dan harap paman jangan sebut saya Taihiap lagi. Dari keluarga Song tentu paman sudah mendengar bahwa nama saya adalah Sin Lee."
"Dan nama margamu?"
"Lebih baik aku dikenal sebagai Sin Lee saja, paman. Nah, ada urusan apakah yang hendak paman bicarakan denganku?"
"Mari, Sin Lee. Kita bicara di dalam. Sudah kukatakan bahwa aku ingin bicara berdua saja jangan terdengar orang lain."
Dengan penuh keheranan pemuda itu lalu mengikuti Kiang Cu I pergi ke tempat tinggal wakil ketua Kong-thong-pai itu dan dipersilahkan duduk di ruangan tamu. Mereka hanya berdua saja, duduk berhadapan terhalang meja kecil. Setelah mereka duduk, Kiang Cu I berkata,
"Sesungguhnya, amat sulitlah bagi saya untuk membicarakannya, Sin Lee. Akan tetapi apa boleh buat, demi sayangku kepada anak, terpaksa aku memberanikan diri membicarakannya. Ketahuilah, setelah pulang dari rumah keluarga Song yang gila itu, anakku Bi Hwa mengeram saja di dalam kamarnya dan tidak keluar ikut berpesta atas kemenangan itu."
Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pantas saya tidak melihatnya, paman. Ada apakah?"
"Ibunya mendapatkan ia menangis sesenggukan di dalam kamarnya dan ketika ditanya, ia bercerita tentang pernikahan di keluarga Song itulah. Pernikahan pura-pura itu yang membuatnya bersedih, Sin Lee. Dan ketika aku datang bertanya, ia mengatakan bahwa ia telah melakukan sumpah di sana dan bahwa Bi Hwa tidak menganggapnya sebagai pernikahan pura-pura, melainkan sungguh-sungguh."
"Ahhh...!"
Sin Lee terbelalak dan mukanya berubah kemerahan. Sama sekali tidak pernah disangkanya gadis itu akan menganggapnya demikian. Semua orang tahu belaka bahwa hal itu dilakukan hanya untuk memenuhi syarat yang diajukan keluarga gila itu.
"Kenapa begitu, paman? Paman sendiri menjadi saksi bahwa hal itu dilakukan hanya untuk memenuhi syarat yang diajukan keluarga Song! Apakah artinya ini, paman?"
"Aku mengerti, Sin Lee. Dan aku tahu benar apa artinya. Artinya bahwa anak kami yaitu Bi Hwa, telah jatuh cinta padamu dan menghendaki agar engkau benar-benar menjadi suaminya. Dan kami semua juga mengharapkan begitu Sin Lee."
"Akan tetapi, paman. Aku sama sekali belum pernah memikirkan soal pernikahan..."
"Apakah engkau sudah menikah?"
"Belum."
"Apakah engkau sudah bertunangan?"
"Belum."
"Kalau begitu apa salahnya? Anak kami akan menjadi seorang isteri yang baik, hal ini kami berani menanggungnya!"
"Bukan begitu, paman. Akan tetapi pernikahan tidak dapat dilakukan secara begitu saja. Perjodohan haruslah didasari dasar cinta kasih dan cinta hanya dapat terjadi kalau kedua pihak menghendaki. Sedangkan aku..."
"Engkau tidak mencinta puteri kami?"
"Bagaimana mungkin, paman? Kami baru saja bertemu, tidak saling mengenal, dan terus terang saja, aku sama sekali belum berpikir tentang perjodohan."
Kiang Cu I menghela napas panjang.
"Kami tidak menyalahkanmu, Sin Lee. Kami juga terkejut melihat sikap puteri kami yang secara tiba-tiba jatuh cinta padamu. Akan tetapi, bagaimana kami harus memberitahu padanya, Sin Lee. Ia puteri kami, anak tunggal dan manja. Kalau kami menceritakan seperti yang kau katakan tadi, tentu ia tidak akan percaya kepada kami. Ah, kami sedih sekali, Sin Lee..."
Sin Lee merasa kasihan kepada orang tua itu. Begitulah kalau mempunyai anak manja. Kalau tidak dapat memenuhi permintaannya, menjadi bersedih hati karena anak manja biasanya segala permintaannya harus dipenuhi. Pada hal urusan perjodohan dan cinta mencinta haruslah dihadapi dengan kejujuran hati, dengan keterus-terangan.
"Baiklah, paman. Kalau begitu biarkan aku sendiri yang bicara dengan adik Bi Hwa agar ia dapat yakin dan tidak akan menyalahkan paman dan bibi."
Wajah Kiang Cu I menjadi berseri.
"Benarkah itu, Sin Lee? Ah, terima kasih banyak kalau engkau mau bicara dengannya. Hanya dengan jalan itulah kiranya ia akan percaya. Akan kupanggil ia ke sini, Sin Lee."
Berdebar juga hati Sin Lee ketika Kiang Cu I pergi dan dia menanti kedatangan Bi Hwa. Ternyata agak lama Bi Hwa tidak juga datang. Dia tidak tahu betapa gadis itu menjadi gugup dan panik, sibuk mendandani wajah dan menghapus bekas tangisnya ketika Ayahnya memberitahu bahwa Sin Lee ingin bicara dengannya berdua saja. Setelah merasa diri patut untuk berhadapan dengan Sin Lee, berdandan dan berganti baju, Bi Hwa muncul. Ia berdiri di ambang pintu memandang kepada Sin Lee dengan tersipu. Sin Lee bangkit berdiri dan menenangkan hatinya.
"Ah, adik Bi Hwa, silahkan duduk Hwa-moi,"
Katanya ramah dan mempersilahkan gadis itu duduk di atas kursi yang tadi diduduki Ayahnya, berhadapan dengan dia terhalang meja. Bi Hwa duduk.
"Kata Ayah, engkau memanggil aku, Lee-ko,"
Katanya lirih.
"Benar, Hwa-moi. Kita harus bicara untuk menghilangkan segala kesalahpahaman di antara kita. Aku sudah mendengar semua tentang engkau dari paman Kiang Cu I, dan beliau pun sudah menyampaikan niat beliau untuk menjodohkan kita."
"Ahhh...!"
Bi Hwa tersipu malu dan menundukkan mukanya.
"Hwa-moi, keterus-terangan dan kejujuran kadang terdengan tidak enak, bahkan menyakitkan hati. Ayahmu bicara tentan perjodohan, Hwa-moi. Akan tetapi, bukan aku tidak suka, aku berterima kasih sekali kepada keluargamu yang memberi kehormatan besar bagiku. Akan tetapi, pada saat ini aku sama sekali belum mempunyai pikiran untuk berjodoh, Hwa-moi. Dan engkau sendiri tahu bahwa aku terlibat dengan keluarga Song hanya karena aku ingin menolong Kong-thong-pai, ingin mengembalikan peti perhiasan itu kepada Kong-thong-pai. Dan pernikahan kita di sana itu, engkaupun tahu bahwa hal itu terjadi bukan atas kehendakmu, atau kehendakku, atau kehendak orang tuamu. Itu adalah syarat yang diajukan oleh keluarga Song yang mendengar pengakuanku bahwa engkau tunanganku. Dan engkau tahu mengapa aku mengaku engkau tunanganku, agar engkau tidak diperisteri oleh Aceng yang gila itu. Semua itu terpaksa kulakukan untuk menyelamatkan dirimu, untuk menyelamatkan Kong-thong-pai, bukan sungguh-sungguh."
Bi Hwa mendengarkan dengan tunduk. Wajahnya yang tadinya kemerahan dan disertai senyum tersipu malu, kini menjadi pucat dan alisnya berkerut.
"Jadi engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak suka kepadaku, Lee-ko?"
"Sama sekali tidak, adikku. Engkau seorang gadis yang baik, pandai dan cerdik. Akan tetapi perjodohan haruslah berdasarkan cinta kedua pihak. Apa engkau menghendaki menikah dengan orang yang tidak mencintamu dan kelak setelah menikah hanya akan bentrok dan cekcok, menciptakan rumah tangga yang penuh pertentangan? Marilah kita berpisah sebagai sahabat, sebagai saudara, karena sesungguhnya pada saat ini, hatiku belum menghendaki aku berjodoh dengan siapapun juga."
Bi Hwa terisak.
"Maafkan, maafkan aku, Hwa-moi. Memang menyakitkan, akan tetapi ini merupakan kata-kata yang sejujurnya dan kita berdua haruslah dapat menerima kenyataan hidup. Hidup ini memang banyak duka dan kecewa. Tidak semua keinginan kita terkabul dan tidak semua kejadian cocok dengan apa yang kita kehendaki. Dapatkah engkau menerima semua keteranganku ini?"
Bi Hwa mengangguk sambil terisak.
"Anggap saja aku ini kakakmu, Hwa-moi. Jangan berduka, seorang gadis seperti engkau ini kelak pasti akan bertemu jodoh yang cocok, yang sepenuh hatinya mencintamu, dan kau cinta. Nah, terimalah ini sebagai hiburan, tanda ketulusan hatiku kepadamu."
Sin Lee mengambil bunga merah dari kancing bajunya dan menyerahkan kepada Bi Hwa. Bi Hwa menerimanya dan sesenggukan.
"Nah, Hwa-moi, sekarang aku hendak pergi melanjutkan perjalanan, sampaikan salamku kepada Ayah ibumu, kepada Pangcu, kepada saudara-saudara yang lain."
Setelah berkata demikian dengan cepatnya Sin Lee keluar dari ruangan itu.
"Lee-ko...!"
Bi Hwa mengejar, akan tetapi ketika ia tiba di luar ruangan itu, Sin Lee sudah lenyap. Hanya nampak bayangannya saja berkelebat di atas genteng. Sin Lee terpaksa berhenti ketika di depannya di atas genteng, terdapat Kam Sun Tojin.
"Siancai, Taihiap hendak pergi begitu saja? Belum sempat pinto mengucapkan terima kasih atas bantuan Taihiap kepada Kong-thong-pai."
Sin Lee memberi hormat.
"Aih, Pangcu, mengapa sungkan? Perbuatan saya itu bukan pertolongan sama sekali, melainkan pelaksanaan kewajiban saya. Di antara kita ini mana ada bantuan dan pertolongan? Yang ada hanyalah pelaksanaan tugas kewajiban dan sudah menjadi tugas saya untuk membantu Kong-thong-pai memperoleh kembali peti perhiasan itu."
"Apakah Taihiap tidak ingin menanti barang sepekan di sini? Ketahuilah bahwa dalam sepekan ini, di sini akan berkumpul para tokoh partai besar, para tokoh pendekar dari segala jurusan."
"Ah, akan ada keramaian apakah, Pangcu?"
Tanya Sin Lee, hatinya tertarik. Bertemu dengan para tokoh kang-ouw tentu saja merupakan suatu pengalaman yang berharga sekali, dan juga amat menarik hati.
"Mereka memilih Kong-thong-pai sebagai tempat untuk mengadakan perundingan."
"Perundingan apakah itu, kalau saya boleh bertanya?"
"Siancai, kenapa tidak boleh? Semua tokoh itu akan membicarakan tentang penyerbuan kepada Beng-kauw."
Untung saja cuaca sudah mulai gelap sehingga ketua Kong-thong-pai tidak melihat betapa wajah Sin Lee berubah ketika mendengar bahwa para tokoh kang-ouw hendak menyerbu Beng-kauw!
"Menyerbu Beng-kauw? Akan tetapi kenapakah, Pangcu?"
"Aih, apakah engkau belum mendengarnya, Taihiap? Beng-kauw terkenal selama beberapa bulan ini dengan perbuatannya yang jahat. Beng-kauw agaknya telah melakukan penyelewengan lagi, melakukan segala macam kejahatan yang keji. Kalau menyerbu Beng-kauw, haruslah semua kekuatan dipersatukan, karena Beng-kauw mempunyai banyak orang pandai dan kuat sekali. Apakah Taihiap tidak tertarik dan bukankah sudah menjadi kewajiban Taihiap pula untuk membantu para tokoh kang-ouw memberantas kejahatan seperti yang dilakukan oleh Beng-kauw itu?"
"Maaf, Pangcu. Saya mempunyai urusan lain yang penting sekali, akan tetapi kurasa kita akan dapat berjumpa kembali kelak, karena bagaimanapun juga, saya tidak dapat membiarkan saja kejahatan kalau benar dilakukan oleh Beng-kauw."
"Kalau begitu, selamat jalan, Taihiap, dan sekali lagi terima kasih."
"Selamat berpisah, Pangcu!"
Sin Lee berkelebat lenyap ditelan kegelapan yang mulai menyelimuti bumi. Hatinya terguncang keras dan dia teringat kepada Giok Lan, Sumoinya yang menjadi ketua Beng-kauw. Tidak mungkin Sumoinya membiarkan orang-orang Beng-kauw menyeleweng dan melakukan kejahatan. Dia harus menyelidiki hal ini. Dan yang terpenting sekarang dia harus cepat-cepat mengunjungi Sumoinya karena seperti yang diceritakan ketua Kong-thong-pai tadi, Sumoinya terancam bahaya.
Seorang gadis yang cantik keluar dari kota Kian-cu seorang diri. Gadis itu memang cantik manis, matanya tajam dan pada punggungnya terdapat sebatang pedang dan buntalan pakaian. Gadis ini bukan lain adalah Gan Lian Si, puteri guru silat Gan Kong yang tinggal di Shanghai itu. Pernah kita bertemu dengan gadis ini ketika ia dan Ayahnya bertemu bahkan pernah bentrok dengan Sin Lee, akan tetapi kemudian menjadi sahabat. Bahkan Gan Kong mengusulkan perjodohan antara puterinya dan Sin Lee yang ditolak Sin Lee dengan halus. Kini gadis itu melakukan perjalanan seorang diri. Ayahnya yang sudah merasa tua dan lemah tinggal di rumah, akan tetapi Lian Si yang haus akan pengalaman, melakukan perantauan seorang diri. Ia tinggal di Kian-cu beberapa hari lamanya, menikmati pemandangan di telaga dekat kota Kian-cu dan baru hari ini ia meninggalkan Kian-cu untuk melanjutkan perjalanannya merantau.
Ia pamit untuk merantau selama setahun kepada Ayahnya dan sekarang baru berjalan tiga bulan. Baru saja ia keluar dari pintu gerbang kota Kian-cu sebelah selatan, ia melihat lima orang pemuda keluar pula dari pintu gerbang itu dan mereka selalu berjalan di belakangnya, tidak mengejarnya dan tidak pula mau tertinggal melainkan menjaga jarak. Ia menjadi curiga, sebab sikap lima orang itu seperti sedang membayanginya. Pada hal, jalan itu makin lama semakin sunyi. Akan tetapi, sebagai seorang ahli silat, seorang gadis kang-ouw tentu saja Lian Si tidak merasa khawatir. Ia mampu membela diri dan sikap lima orang itu membuatnya waspada. Akan tetapi ketika tiba di persimpangan jalan, lima orang pemuda itu bergabung dengan lima orang lain yang datang dari lain jurusan dan kini sepuluh orang pemuda itu mempercepat langkah mengejarnya!
Maklum bahwa agaknya mereka tidak mempunyai niat baik. Lian Si sengaja berhenti dan menanti di tepi jalan. Matanya yang tajam itu berkilat ketika sepuluh orang itu sudah datang mendekat. Setelah dekat, ia mengenal dua orang pemuda hartawan yang pernah dihajarnya ketika ia bermain-main dekat telaga dan dua orang pemuda itu menggodanya dengan kata-kata cabul. Ia hanya menampar mereka saja ketika itu. Akan tetapi sekarang pemuda itu datang bersama delapan orang lain sehingga jumlah mereka menjadi sepuluh orang! Lian Si pura-pura tidak mengenal mereka. Sepuluh orang pemuda itu setelah tiba di depannya, langsung mengambil sikap mengepungnya. Dan dua orang pemuda hartawan yang pakaiannya mewah itu lalu berkata.
"Inilah perempuan sombong yang telah berani menampar kami. Eh, nona galak, sekarang engkau harus minta maaf kepada kami dan bersedia menemani kami selama tiga hari tiga malam, atau kalau tidak kami akan menebus tamparanmu itu dengan menghajarmu babak belur lalu menyerahkanmu kepada anak buah kami agar engkau dikeroyok sampai mati!"
Lian Si memandang dan matanya berkilat.
"Dua anjing mata keranjang, kalian berdua berani muncul lagi dan membawa serta delapan anjing lain? Apakah kalian masih belum jera dan minta dihajar lebih keras lagi?"
Dua orang pemuda hartawan itu menjadi merah mukanya dan marah sekali.
"Tangkap perempuan setan ini! Tangkap dan telanjangi dia!"! Dan mereka yang mengepung itu memperlihatkan sikap seperti sepuluh ekor anjing srigala mengepung seekor domba. Seolah-olah hendak dikeroyok dan dicabik-cabiknya daging domba yang lunak itu.
Melihat bahwa sepuluh orang yang mengepungnya itu tidak menggunakan senjata, agaknya memang hendak mengepungnya dan menangkapnya lalu menelanjanginya seperti yang diperintahkan dua orang pemuda hartawan itu, Lian Si juga tidak mencabut pedangnya. Biarpun dikeroyok, kalau pengeroyoknya tidak bersenjata, iapun enggan mengunakan pedang, kecuali kalau ternyata ia kewalahan. Bagaikan segerombolan anjing mengeroyok harimau betina, sepuluh orang itu, atau lebih tepat delapan orang karena yang dua hanya menggonggong saja memerintahkan anak buah mereka, para pemuda yang tidak tahu malu itu mengeroyok Lian Si. Akan tetapi gadis yang sudah marah itu mengamuk, kaki tangannya bergerak menendang dan memukul dan para pengeroyok berjatuhan. Mereka menjadi marah. Dua orang pemuda hartawan lalu mengeluarkan aba-aba,
"Pergunakan senjata. Bunuh saja ia!"
Mereka lalu mencabut senjata masing-masing, ada yang membawa golok, ada yang membawa pisau belati dan ada pula yang memegang pedang. Setelah para pengeroyoknya mengeluarkan senjata, barulah Lian Si melolos pedangnya. Akan tetapi, sebelum ia menggerakkan pedangnya untuk menghajar mereka, tiba-tiba terdengar bentakan,
"Banyak laki-laki mengeroyok seorang wanita, sungguh tidak tahu malu!"
Entah dari mana datangnya, seorang muda sudah meloncat ke dalam gelanggang pertempuran ini dan begitu dia menyerbu, dia menggerakkan sebatang suling perak dan kipas lebar untuk menghajar para pengeroyok itu. Lian Si merobohkan dua orang dan ia memandang kagum betapa pemuda itu dengan gerakan yang gesit sekali menghajar sisa para pengeroyok. Karena pemuda itu dengan mudahnya mengalahkan para pengeroyok, Lian Si cepat meloncat ketika melihat betapa dua orang pemuda hartawan itu hendak melarikan diri. Sekali pedangnya berkelebat, ia telah melukai dua orang pemuda itu pada pundaknya sehingga luka di pundak mengucurkan banyak darah membasahi baju mereka.
"Aduh, tolong... tolong... pembunuh...!"
"Aduh, pundakku... pundakku putus...!"
Dua orang itu melolong-lolong dan minta tolong, akan tetapi siapa dapat menolong mereka? Delapan orang anak buah merekapun keadaannya tidak lebih baik dari mereka. Delapan orang itu sudah mengaduh-aduh dengan kepala benjol, ada yang tulang lengannya patah, hidungnya penyok berdarah, giginya rontok, salah urat dan perut mulas. Kemudian tanpa diperintah lagi, dua orang hartawan dan delapan orang anak buahnya itu melarikan diri, ada yang terpincang-pincang, ada yang terseok-seok, ada pula yang setengan merangkak.
Melihat ini, mau tidak mau Lian Si tertawa, dan pada saat itu, si pemuda juga tertawa geli. Mereka saling pandang dan berhenti tertawa. Lian Si memandang kagum sekali, karena pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh lima tahun itu memang tampan dan gagah. Wajahnya bulat, kulit mukanya putih sehingga alisnya nampak hitam sekali. Matanya tajam dan mulutnya tersenyum setengah mengejek, hidungnya besar dan pemuda ini mengenakan pakaian sutera putih dengan potongan seperti seorang sasterawan. Pemuda ini masih memegang sebatang suling perak dengan tangan kanan dan sebuah kipas dengan tanan kiri. Gagah dan tampan sekali, tidak kalah tampan dibandingkan dengan Sin Lee yang pernah digandrunginya! Mereka saling pandang dan sinar kagum terpancar dari pandang mata pemuda itu, membuat Lian Si tersipu malu dan tidak tahu harus berkata apa. Pemuda itu mendahului,
"Sungguh sepuluh orang itu tidak tahu diri, berani mengganggu seorang pendekar wanita yang gagah perkasa!"
"Ah, engkau terlalu memuji, kongcu."
Lian Si menyebut kongcu karena dandanan pemuda itu memang mirip seorang tuan muda yang terpelajar.
"Sebaliknya aku menghaturkan terima kasih atas bantuan kongcu mengusir orang-orang tidak sopan itu."
"Tidak perlu berterima kasih, nona. Bagiku suatu keuntungan besar karena aku jadi dapat berkenalan denganmu. Namaku Bhe Tun Hok, nona. Bolehkah aku mengetahui nama nona yang terhormat?"
"Namaku Gan Lian Si, kongcu."
"Lian Si... hemm, nama yang indah, seindah orangnya."
Kalau saja yang mengeluarkan ucapan itu seorang di antara pemuda-pemuda tadi, Lian Si tentu marah dan menganggapnya kurang ajar. Akan tetapi karena yang memuji itu pemuda ini, mukanya berubah kemerahan dan hatinya menjadi senang sekali!
"Ah, kongcu terlalu memuji..."
Katanya sambil tersenyum dan tersipu.
"Nona hendak pergi ke manakah dan bagaimana dapat bertemu dengan serombongan anjing tadi?"
"Aku seorang perantau, kongcu. Kemarin dulu ketika aku berada di telaga di dekat kota Kian-cu, aku diganggu oleh dua orang pemuda hartawan itu dengan kata-kata cabul. Mereka itu kutampar dan mereka melarikan diri. Siapa kira, ketika hari ini aku keluar kota, mereka mengejarku bersama delapan orang anak buahnya."
"Hemm, kalau aku tahu begitu, tentu sudah kupecahkan kepala dua orang pemuda hartawan itu."
Lian Si terkejut. Pemuda ini kelihatan demikian lemah-lembut, demikian halus dan ramah, akan tetapi ketika mengeluarkan ancaman itu, sungguh amat mengerikan. Ia dapat merasakan bahwa itu bukan sekedar ancaman belaka, akan tetapi agaknya kalau dua orang pemuda hartawan itu berada di situ, akan benar-benar hancur kepala mereka.
"Ah, tidak perlu begitu keras, kongcu. Bagaimanapun mereka itu belum menjamah sama sekali, kekurangajaran mereka hanya terbatas dalam kata-kata saja."
"Nona Gan, setelah kita berkenalan, maukah kalau nona kupersilahkan singgah di tempat kediamanku? Tidak begitu jauh, di lereng bukit itu!"
Pemuda itu menunjuk dengan sulingnya ke arah bukit di sebelah kiri jalan. Kembali Lian Si merasa heran.
Bagaimana pemuda yang kelihatannya seperti putera bangsawan pemuda yang kelihatannya seperti putera bangsawan atau hartawan ini tinggal di bukit yang sunyi itu? Atau barangkali tentu saja rumah itu adalah rumah peristirahatan. Biasanya kaum bangsawan atau hartawan memang suka mendirikan rumah-rumah peristirahatan di bukit-bukit, di dekat telaga atau di tepi laut untuk sekedar beristirahat dan bersantai. Setelah orang demikian baiknya, membantunya dari pengeroyokan para pemuda berandalan tadi, bagaimana ia menolak undangan itu? Apa lagi pemuda ini demikian sopan dan ramah, rasanya tidak pantas kalau ditolaknya. Apa lagi ia adalah gadis kang-ouw yang dalam pergaulan tidak dapat disamakan dengan gadis pingitan. Gadis kang-ouw sudah biasa bergaul, baik dengan pria sekalipun.
"Baiklah, kongcu, kalau tidak terlalu merepotkanmu."
"Ah, sama sekali tidak repot. Di sana terdapat beberapa orang pelayanku, dan aku akan menyuruh mereka menyediakan hidangan untuk kita makan bersama. Dan aku akan meniup suling untukmu, nona."
"Ah, engkau baik sekali, kongcu."
Keduanya lalu mendaki bukit itu, berjalan perlahan-lahan dan ketika mereka berjalan berdekatan, Lian Si mencium bau yang harum keluar dari pakaian pemuda itu. Sungguh seorang pemuda tampan dan pesolek, pandai memikat hati wanita, pikirnya dengan gembira karena ialah yang menjadi pilihan pemuda itu. Ia kelak akan menceritakan pengalamannya yang hebat ini kepada Ayahnya.
"Maaf, kongcu, kalau aku banyak bertanya. Kongcu ini kelihatan seperti seorang pemuda pelajar, seorang pemuda bangsawan, akan tetapi kongcu memiliki ilmu silat yang tinggi, sungguh mengagumkan sekali."
"Ha-ha-ha, dan engkau sendiri bagaimana, nona? Engkau begini cantik jelita, anggun dan nampaknya lemah-lembut, akan tetapi sepuluh orang dibuat kocar-kacir olehmu."
"Apakah rumah di bukit itu merupakan tempat tinggal tetap kongcu? Kongcu tinggal di sana bersama siapa? Keluarga kongcu?"
"Ha-ha-ha, maksudmu isteri dan anak? Ha, kau salah sangka, nona. Aku masih perjaka tulen, belum menikah dan rumah itu hanya merupakan rumah peristirahatan saja. Orang tuaku tinggal jauh dari sini, di kota raja."
Jantung Lian Si berdebar. Di kota raja? Jangan-jangan pemuda ini seorang pangeran. Ia hanya puteri seorang guru silat biasa, maka tentu saja membayangkan pemuda itu seorang pangeran membuat jantungnya berdebar tegang.
"Dan Suhumu? Tentu guru kongcu seorang tokoh sakti yang amat terkenal di dunia persilatan."
"Ah, tidak. Guruku sama sekali tidak terkenal. Dia seorang pendeta Lama dari Tibet. Bagaimana dengan engkau sendiri, nona? Siapakah gurumu?"
"Guruku adalah Ayahku sendiri, kongcu. Ayah telah menjadi duda dan dia adalah seorang guru silat di Shanghai, hidup dari mengajar silat. Kami dari keluarga sederhana saja, kongcu, tidak seperti kongcu."
"Ah, sudahlah. Persahabatan tidak diukur dari kedudukan, bukan? Asal ada kecocokan hati, dua orang manusia bisa saja bersahabat dan aku suka sekali bersahabat denganmu, Nona Gan."
"Terima kasih, kongcu. Akupun senang sekali dapat bersahabat dengan orang seperti kongcu."
Kedua orang muda yang berjalan santai mendaki bukit ini tidak tahu bahwa dari jauh ada seorang yang membayangi dan mengintai mereka. Orang ini bukan lain adalah Sin Lee. Sin Lee tadi melihat ketika terjadi keributan dan dia heran bukan main mengenal gadis itu sebagai Gan Lian Si, puteri guru silat Gan Kong yang pernah diusulkan untuk dijodohkan dengan dia, akan tetapi yang ditolaknya dengan halus.
Tadinya dia hendak turun tangan membantu, akan tetapi melihat gadis itu dapat mengatasi semua pengeroyoknya, diurungkan niatnya untuk membantu dan dia melihat munculnya pemuda berpakaian putih yang lihai dan yang membantu Lian Si itu. Kini mereka berdua mendaki bukit. Sin Lee merasa tidak enak hatinya. Dia tidak mengenal pemuda itu, akan tetapi ada sesuatu pada diri pemuda itu yang membuatnya waspada. Mungkin karena gerakan suling yang dimainkan pemuda itu ketika menghajar para pemuda berandalan tadi. Dia seperti pernah melihat gerakan seperti itu, akan tetapi lupa lagi di mana. Dan sesuatu yang membuat dia waspada adalah sinar mata pemuda itu ketika memandang Lian Si. Dia sudah cukup sering melihat sinar mata pria seperti itu kalau memandang gadis dan biasanya sinar mata seperti itu mengandung nafsu yang berkobar.
Karena khawatir akan keselamatan Lian Si yang begitu mudahnya diajak singgah ke rumah seorang pemuda, maka Sin Lee diam-diam membayangi mereka dan mengintai dari jauh. Dia melihat keduanya bicara dengan akrab dan tidak melihat pemuda itu melakukan sesuatu yang mencurigakan. Biarlah, dia tidak akan memperlihatkan diri. Kalau kekhawatirannya itu ternyata tidak betul, dia akan meninggalkan mereka tanpa memperlihatkan diri. Bahkan kalau Lian Si dan pemuda itu saling jatuh cinta, dia akan ikut merasa gembira karena dia pernah menolak gadis itu Lian Si dan Tun Hok sudah tiba di sebuah rumah mungil yang berdiri terpencil di lereng bukit itu. Mereka disambut oleh seorang pelayan pria berusia empat puluhan tahun dan dua orang pelayan wanita yang baru belasan tahun usianya dan cantik-cantik wajahnya.
"Cepat potong ayam dan kelinci, buatkan hidangan yang lezat untuk kami berdua,"
Perintah Tun Hok kepada tiga orang pelayannya yang tersenyum sambil mengangguk dan pergi ke belakang.
"Silahkan duduk, nona. Di sini tidak ada orang lain kecuali tiga orang pelayanku itu dan anggaplah seperti di rumah sendiri."
Akan tetapi Lian Si tidak duduk, melainkan melihat-lihat ruangan itu. Semua prabot rumahnya serba mewah dan di situ tergantung banyak lukisan dan syair-syair berpasangan yang tulisannya indah sekali. Ia kagum bukan main. Tak salah lagi, pemuda ini tentu seorang pemuda bangsawan, bahkan mungkin saja dia seorang pangeran! Kalau Ayahnya tahu bahwa ia diundang oleh seorang pangeran!
"Nona, maukah engkau mendengarkan permainan sulingku?"
"Tadinya aku mengira bahwa sulingmu itu hanya sebuah senjata yang lihai sekali, tidak tahunya engkau pandai pula meniup suling? Tentu saja aku suka sekali mendengarnya, kongcu!"
Tun Hok bertepuk tangan tiga kali dan muncullah seorang di antara dua pelayan wanita itu. Bahkan pelayan wanita inipun pakaiannya tidak seperti pelayan, dan cukup mewah serta cantik.
"A Mi, tinggalkan dulu dapur, biarkan A Lan dan Acian memasak. Kau ambil yang-kim dan temani aku meniup suling,"
Perintah Tun Hok. Gadis itu membungkuk dalam dan cepat pergi dari situ. Tak lama kemudian ia sudah kembali dan membawa sebuah yang-kim (semacam gitar) lalu duduk di atas lantai dengan yang-kim di depannya.
"Kita mainkan lagu "Menanti Kekasih!, A Mi,"
Kata pula kongcu itu.
"Baik, kongcu,"
Kata gadis itu dan jari-jari tangan yang lentik itu mulai memetik-metik dawai yang-kimnya. Terdengarlah suara merdu dan nyaring berkerintingan. Tun Hok lalu membawa suling yang tadi menjadi senjata ampuh itu ke depan mulutnya dan melengkinglah suara suling yang merdu, diikuti suara yang-kim yang berkerintingan. Dan terdengarlah lagu yang merdu merayu, membuat Lian Si memandang kagum bukan main. Hebat pemuda ini, lebih hebat dari pada yang diduganya. Permainan sulingnya sungguh mengagumkan, membuat hatinya seperti ditarik-tarik. Setelah beberapa lagu diperdengarkan, dan setiap habis satu lagu Lian Si bertepuk tangan memuji, hidangan dari dapur pun dikeluarkan.
"Wah, sudah matang. Mari kita makan dulu, nona Gan,"
Kata Tun Hok dengan ramah. Mereka makan minum dengan gembiranya karena memang Tun Hok pandai bicara dan pandai mengambil hati. Dalam waktu singkat saja Lian Si sudah tertarik, bahkan boleh saja dikatakan bahwa dia sudah terpikat dan jatuh hati kepada pemuda yang pandai membawa diri itu. Dan gadis yang sudah dimabok dan dibuai perasaan cinta itu menjadi lupa diri dan setiap kali tuan rumah mengajaknya minum arak, iapun menuruti saja sehingga akhirnya Lian Si menjadi mabok! Dan dalam keadaan mabok itu, secara setengah sadar Lian Si dituntun oleh Tun Hok, dipapah masuk ke dalam kamarnya.
"Kepalaku pening, semua rasanya berputaran...!"
Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keluh Lian Si.
"Kalau begitu mengasolah dulu, nona. Mari, mari kuantar nona tidur-tiduran dulu sampai peningmu hilang."
"Aihh, tidak kongcu. Tidak baik kalau tidur di sini..."
Lian Si masih teringar akan kesopanan dan tahu benar bahwa tidak pantas sekali kalau ia tidur di kamar diantar pemuda itu.
"Tidak mengapa, nona..."
Pemuda itu merangkul dan memapahnya.
"Tidak, tidak baik, kongcu. Biar aku pergi sendiri ke kamar..."
"Dan membiarkan engkau jatuh? Lihat, kalau kulepas engkau akan jatuh."
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo