Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bunga Merah 2


Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



Tentu saja Chi Li menjadi terkejut dan heran, lalu iapun duduk berhadapan dan mendengarkan penuh perhatian.

   "Ada apakah paman?"

   Ia berbisik.

   "Chi Li, aku sudah bicara dengan Ayahmu mengenai hal ini dan diapun sudah menyetujui, tinggal engkau yang menentukan, tergantung dari besar kecilnya kesetiaanmu kepada bangsa kita."

   Gadis itu terbelalak, dan menjawab dengan sungguh-sungguh,

   "Apakah paman masih menyangsikan kesetiaanku kepada bangsa kita? Katakanlah, apa yang harus kulakukan, paman?"

   "Chi Li, engkau pasti tahu mengapa kita menawan Kaisar Ceng Tung, bukan?"

   Gadis itu mengangguk.

   "Untuk dijadikan sandera, paman, karena dia merupakan sandera yang berharga sekali, karena itu dia diperlakukan sebagai tamu agung."

   "Bagus, engkau memang cerdik, Chi Li. Nah, sekarang kita mendapat kenyataan bahwa kerajaan Beng telah mengangkat seorang Kaisar baru yang menggantikan Kaisar Ceng Tung sehingga dengan sendirinya dia tidak lagi menjadi sandera yang berharga, bahkan tidak ada gunanya."

   "Lalu, apa yang hendak paman lakukan terhadap dia?"

   Chi Li bertanya dengan nada suara gelisah karena ia takut kalau-kalau pamannya akan membunuh Kaisar yang telah mendatangkan kesan mengagumkan di hatinya itu. Mendengar nada suara khawatir ini, senanglah hati Esen.

   "Bagaimanapun juga, masih ada satu jalan untuk dapat memetik keuntungan dari adanya Kaisar itu di sini, Chi Li, akan tetapi hal ini tergantung sepenuhnya kepadamu. Kalau saja kelak Kaisar Ceng Tung dapat memegang tampuk kerajaan kembali, kembali ke kedudukannya sebagai Kaisar, kita harus dapat menarik keuntungan dari peristiwa itu."

   "Bagaimana mungkin, paman? Kita telah menyanderanya, bagaimana kelak dia mau berbaik dengan kita? Tentu dia telah menaruh dendam kepada kita."

   "Karena itulah, keadaan harus diatur sedemikian rupa. Pertama, dia sudah kita perlakukan dengan baik, kalau ada lagi ikatan batin yang kuat antara dia dan kita, tentu kelak kita akan memperoleh banyak keuntungan untuk bangsa kita. Dan hanya engkau yang akan mampu melakukannya, Chi Li."

   "Paman, harap jangan berputar-putar, katakan saja apa yang harus kulakukan,"

   Kata Chi Li tidak sabar karena ia sama sekali tidak dapat menduga apa yang dikehendaki pamannya. Esen memandang ke kanan kiri, berbisik,

   "Di mana gurumu?"

   "Dia tidak berada di sini, paman. Ada apakah?"

   "Gurumu sekali-kali tidak boleh mendengarkan urusan ini, siapapun tidak boleh mendengar karena itu, mari kubisiki apa yang harus kau kerjakan."

   Esen mendekati keponakannya dan berbisik-bisik lirih sekali. Mendengar bisikan pamannya, tiba-tiba wajah gadis itu menjadi merah sampai ke lehernya dan ia tersipu malu.

   "Ihhh, paman..."

   Ia berkata sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan. Pamannnya mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dan ternyata itu adalah sebotol cairan merah.

   "Kalau engkau menyetujui, inilah benda itu. Pergunakan baik-baik."

   Katanya dan diapun meninggalkan botol kecil itu di atas meja lalu keluar dari kamar keponakannya. Setelah pamannya keluar, Chi Li cepat menutupkan daun pintu dan sebentar lagi ia sudah duduk melamun di atas pembaringannya, memegangi botol kecil itu. Tiba-tiba ia menangis, lalu berhenti menangis dan nampak tersenyum-senyum.

   (Lanjut ke Jilid 02)

   Pendekar Bunga Merah (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02

   "Demi bangsaku... demi menjaga keselamatannya... aku harus melakukannya..."

   Katanya berulang-ulang kepada diri sendiri. Malam itu Chi Li nampak segar dan harum. Ia telah mandi air bunga dan malam itu ia memasuki pondok di mana Kaisar Ceng Tung ditahan. Esen sengaja mengajak Liu Siong Ki membicarakan urusan keamanan di daerah mereka dan para penjaga juga sudah dipesan agar membiarkan Chi Li memasuki pondok sang Kaisar tanpa diganggu. Kaisar masih belum tidur dan hidangan makan malam hanya dimakannya sedikit. Dia sedang duduk melamun dengan wajah muram ketika Chi Li memasuki kamarnya. Tentu saja dia merasa heran sekali melihat masuknya seorang gadis yang cantik ke kamarnya dan segera dia menegur,

   "Siapa engkau dan apa keperluanmu masuk ke sini?"

   Dan diam-diam Kaisar Ceng Tung mengagumi kecantikan gadis yang memasuki pondoknya itu. Keharuman yang menyegarkan masuk bersama gadis itu yang tersenyum kepadanya.

   "Sribaginda, saya datang ke sini karena merasa kasihan kepada paduka yang setiap hari saya lihat hanya bermuram durja dan bersedih saja. Juga paduka hanya makan sedikit sehingga kini nampak kurus, berbeda sekali dengan ketika paduka datang pada hari pertama."

   Chi Li ingat akan semua yang dibisikkan pamannya, maka iapun bicara sesuai dengan siasat yang diberikan pamannya kepadanya. Kaisar menghela napas panjang.

   "Nona, aku tidak tahu engkau siapa, akan tetapi ucapanmu itu sedikit banyak mengharukan hatiku. Bagaimana aku tidak akan berduka? Aku adalah seorang Kaisar besar, dan sekarang menjadi tawanan yang tidak berdaya di sini."

   "Akan tetapi kenapa paduka tidak memenuhi permintaan ketua kami? Kalau paduka mau membantu dan bersahabat, tentu paduka akan dibebaskan."

   Kaisar Ceng Tung mengepal tinju.

   "Bagaimana mungkin aku menyatakan takluk kepada orang Mongol? Tidak, biar aku ditawan, biar dibunuh sekalipun aku tidak akan menjual kerajaan kepada orang Mongol!"

   "Saya mengagumi kegagahan paduka, Sribaginda. Sayapun tidak melihat jalan keluar. Paduka dijaga ketat, dan nasib paduka tentukan akan lebih menyedihkan lagi. Mungkin paduka akan diperlakuka secara hina kalau tetap berkeras kepala."

   "Aku lebih senang mati!"

   "Akan tetapi bagaimana paduka dapat mati kalau dijaga ketat dan tidak diberi kesempatan? Karena itu, saya akan menolong paduka. Saya merasa kasihan kepada paduka, maka kalau paduka memang lebih memilih mati dari pada menyerah, saya membawakan racun ini kepada paduka. Racun ini bekerja dengan halus sekali dan tidak menimbulkan nyeri."

   Begitu mendengar ucapan Chi Li, Kaisar Ceng Tung segera meraih dan mengambil botol kecil itu dari tangan Chi Li. Gadis itu tentu saja akan dapat mengelak kalau dikehendaki. Tidak percuma ia menjadi murid Liu Siong Ki. Akan tetapi ia sengaja membiarkan Kaisar itu merampas botol obat dan ia berkata.

   "Paduka jangan tergesa-gesa. Racun itu akan bekerja lebih cepat dan tidak menyakitkan kalau diminum dengan secawan arak merah."

   Ia lalu menghampiri meja dan dengan gerakan yang gemulai ia menuangkan anggur dari guci yang tersedia ke dalam sebuah cawan yang disediakan. Melihat ini, Kaisar yang memang memilih mati dari pada tersiksa dan terhina, karena kematiannya akan dipuja semua rakyat dari pada hidup terhina dan menjadi cemoohan rakyatnya, segera membuka tutup botol dan menuangkan isinya ke dalam anggur merah. Tercium bau harum olehnya sehingga dia percaya bahwa racun itu tentu kuat sekali. Dia mengangkat cawan arak itu ke atas dan berkata,

   "Selamat tinggal rakyatku, selamat tinggal kerajaanku, selamat tinggal semua keluargaku!"

   Dan tanpa ragu sedikitpun dia menuangkan isi cawan ke dalam mulutnya, dan terasa manis dan sama sekali tidak memuakkan.

   Begitu minuman itu memasuki perutnya, terasa perutnya panas dan dia makin yakin bahwa racun itu sudah bekerja. Maka dia menghampiri pembaringan dan merebahkan diri, tidak ingin mati menggeletak di atas lantai. Rasa panas di perutnya semakin hebat sehingga seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat. Saking panasnya, dia membuka bajunya, sehingga hanya mengenakan pakaian dalam saja, tidak perduli di situ ada seorang gadis yang sudah hampir dilupakannya. Kaisar Ceng Tung sama sekali tidak menyadari bahwa yang diminumnya itu sama sekali bukan racun yang mematikan, melainkan obat perangsang yang biasa dipergunakan bangsa itu untuk memaksa kuda jantan yang masih muda agar mau kawin! Dia semakin kepanasan dan timbul gairah yang amat sangat dan akhirnya dia merasa seperti tertidur dan mimpi. Akan tetapi mimpinya sungguh luar biasa sekali.

   Dia merasa seperti tidur bersama seorang bidadari yang amat dicintanya, melampiaskan berahinya tanpa mengenal batas sampai dia akhirnya terkulai kelelahan dengan seluruh tubuh terasa lemas dan lemah lunglai. Menjelang pagi dia terbangun dari mimpi dan mendapatkan dirinya berada di atas pembaringan bersama seorang gadis yang amat cantik jelita dan melihat keadaan pakaiannya, dan melihat pula betapa gadis itu menangis, mengertilah dia bahwa semalam dia tidaklah bermimpi. Dia telah tidur dengan seorang gadis dan telah terjadi hubungan yang berkali-kali di antara mereka! Tentu saja Kaisar Ceng Tung terkejut setengah mati. Apakah dia sudah mati, pikirnya, karena dia teringat bahwa semalam dia telah minum racun pemberian gadis yang kini menangis di atas tempat tidur itu. Dia bangkit duduk dan memandang gadis itu penuh perhatian.

   "Di mana aku...? Apa... apa yang telah terjadi?"

   Tanyanya. Chi Li, gadis itu, menangis dengan sungguh-sungguh, bukan berpura-pura. Ia telah menyerahkan dirinya, sesuai dengan perintah pamannya. Walaupun ia kagum dan suka kepada Kaisar Ceng Tung, namun cara ia menyerahkan diri sungguh membuat ia merasa malu dan menyesal.

   "Sribaginda... lupakah paduka apa yang paduka lakukan semalam terhadap diriku...?"

   Kaisar Ceng Tung terbelalak. Kini dia ingat benar, memang gadis ini yang semalam seperti bidadari berada dalam pelukannya, telah menerima curahan cintanya.

   "Ah, bagaimana aku dapat melakukan itu semua? Bukankah aku telah minum racun dan semestinya aku mati?"

   "Sribaginda, agaknya para dewa tidak menghendaki paduka mati keracunan dan telah melindungi nyawa paduka. Sekarang semuanya telah terjadi, saya yang menerima aib, sebaiknya saya yang membunuh diri di depan paduka..."

   Gadis itu menangis makin sedih dan Kaisar itu lalu merangkulnya.

   "Tidak, jangan. Sungguh, aku sayang kepadamu dan akan kupertanggung jawabkan semua kejadian ini."

   "Akan tetapi, apa artinya kalau paduka akhirnya akan membunuh diri dan meninggalkan saya seorang diri dalam keadaan terhina dan ternoda? Kalau paduka suka berjanji tidak akan berduka lagi, tidak berusaha melarikan diri, tidak akan membunuh diri, dengan senang hati saya akan melayani paduka dan menjadi selir paduka."

   "Baik, aku berjanji,"

   Kata sang Kaisar sambil mencium wajah yang cantik itu.

   "Siapakah namamu dan siapakah sebenarnya engkau?"

   Chi Li membiarkan diri dalam pelukan Kaisar dan ia merasa bahagia sekali karena selain tugasnya berhasil dengan baik, juga ia merasa bahagia menjadi milik Kaisar yang dikaguminya itu.

   "Sribaginda, saya bernama Chi Li dan saya adalah keponakan dari Paman Esen."

   Girang rasa hati Kaisar Ceng Tung, karena wanita yang dicintanya itu bukan gadis sembarangan bukan sekedar gadis pelayan melainkan keponakan dari kepala suku itu sehingga dia tidak merasa rendah diri.

   "Dan engkau senang menjadi selirku, Chi Li?"

   "Saya... saya berbahagia sekali, Sribaginda. Saya hanya mengharapkan kalau kelak paduka kembali ke kerajaan paduka, paduka akan mengajak saya."

   "Tentu saja, sayang,"

   Kata Kaisar Ceng Tung sambil merangkul kembali dengan hati gembira.

   Kini dia melihat kesempatan untuk meloloskan diri, dengan bantuan Chi Li! Berulang kali Esen membawa pasukannya untuk menyerang ke selatan, namun semua usahanya menemui kegagalan. Biarpun ditinggalkan Kaisarnya, ternyata penjagaan di Peking amat ketat, bahkan di sepanjang Tembok Besar terdapat bala tentara yang kuat. Hal ini tidaklah mengherankan. Setelah diterima kabar bahwa Kaisar Ceng Tung tertawan orang Mongol dan mungkin terbunuh, dan adik Kaisar, yaitu Ceng Ti, diangkat menjadi penggantinya dan pindah ke Nanking, penjagaan Peking diserahkan kepada seorang Panglima bernama Yu Cian. Panglima ini adalah seorang yang berpengalaman dan pandai sekali. Dia mendatangkan ransum yang berlimpahan dari selatan, dan menghimpun pasukan lalu mengatur penjagaan di sepanjang batas utara.

   Maka dengan mudah dia selalu memukul mundur gerakan suku Oirat yang hendak menembus benteng Tembok Besar ke selatan. Liu Siong Ki mendengar tentang hubungan Kaisar dan muridnya. Dia tidak dapat berkata apa-apa, karena memilih jodoh merupakan hal yang bebas bagi gadis-gadis Oirat. Kalau muridnya memilih Kaisar Ceng Tung sebagai suaminya, diapun tidak dapat melarangnya. Bahkan diam-diam dia merasa girang. Dia sayang kepada muridnya itu dan hubungan itu dengan sendirinya menghilangkan kekhawatirannya tentang keselamatan Kaisar. Setelah berulang kali usaha penyerbuannya ke selatan gagal, bahkan dia kehilangan banyak pasukannya, Esen lalu berganti siasat. Dia sudah memikirkan masak-masak. Dia sudah mendengar bahwa kerajaan telah mempunyai Kaisar baru, yaitu Kaisar Ceng Ti.

   Hal ini berarti bahwa Kaisar yang ditawannya kini tidak ada harganya lagi! Kecuali kalau Kaisar Ceng Tung dikembalikan dan menduduki singgasanya kembali. Baru Kaisar itu ada harganya karena bukankah Chi Li telah menjadi selirnya? Tentu dia akan dapat berhubungan baik yang amat menguntungkan bagi bangsa Oirat karena Kaisar Ceng Tung tentu tidak akan bersikap sebagai musuh, melainkan sebagai keluarga! Apa lagi ketika beberapa bulan kemudian, Chi Li nampak mengandung. Hal itu amat membahagiakan Esen dan memperbesar harapannya. Dia mengadakan pesta besar untuk merayakan peristiwa yang membahagiakan ini. Dan ketika kandungan itu sudah mencapai usia tujuh bulan, pada suatu hari Esen mengundang Kaisar Ceng Tung dan Liu Siong Ki ke dalam pondoknya. Setelah mereka mengambil tempat duduk, Esen bertanya kepada Kaisar Ceng Tung,

   "Sribaginda, kami mendengar bahwa di selatan orang telah mengangkat adik paduka, Ceng Ti menjadi Kaisar yang kini memindahkan kerajaannya di Nanking. Apakah paduka tidak ingin kembali menduduki singgasana paduka yang telah dirampas oleh adik paduka itu?"

   Ceng Tung menghela napas.

   "Paman Esen, engkau menawan aku di sini sampai begitu lamanya, bagaimana engkau mengajukan pertanyaan seperti ini? Aku tidak bebas, biarpun di sini diperlakukan dengan baik. Tentu saja aku akan menduduki singgasanaku lagi kalau aku berada di sana."

   "Bagus! Sribaginda, dahulu kami memang menawanmu, karena paduka merupakan Kaisar musuh. Akan tetapi sekarang, paduka telah menjadi anggota keluarga kami. Keponakan kami telah menjadi selir paduka, bahkan ia akan melahirkan putera paduka. Berarti kami bukan musuh lagi dan seandai paduka sudah menjadi Kaisar lagi, kami yakin paduka tidak akan memusuhi kami."

   "Hal itu tergantung kepada sikapmu, paman Esen,"

   Kata Kaisar Ceng Tung dengan bijaksana.

   "Kami tidak akan memusuhi golongan yang bersikap baik kepada kami. Bukankah begitu, paman Liu Siong Ki?"

   Setelah kini berhubungan sebagai suami isteri dengan Chi Li, Kaisar juga sudah lama berhubungan dan berkenalan dengan guru selirnya itu.

   "Hamba yakin akan kebijaksanaan Sribaginda,"

   Kata Liu Siong Ki.

   "Kalau begitu, mulai sekarang paduka kami bebaskan. Bahkan paduka akan kami beri pasukan pengawal untuk kembali ke kota raja dengan selamat. Tentu saja kami mengharapkan paduka tidak akan melupakan kebaikan kami, terutama sekali tidak melupakan anak isteri paduka yang berada di sini. Kaisar Ceng Tung mengerutkan alisnya.

   "Aku akan mengajak Chi Li pergi bersamaku."

   Akan tetapi Esen menggeleng kepalanya.

   "Sebaiknya jangan, Sribaginda. Keponakanku itu sedang mengandung tua, sungguh tidak baik bagi kesehatannya kalau melakukan perjalanan yang jauh dan sukar."

   Mengertilah Kaisar Ceng Tung. Chi Li ditahan di situ untuk menjamin agar dia kelak bersikap baik terhadap suku Oirat! Terpaksa dia menyatakan persetujuannya.

   "Baiklah, paman Esen. Kami hanya minta agar paman Liu Siong Ki ikut pula mengawal kami sampai ke kota raja."

   Permintaan ini diluluskan dan Kaisar lalu pergi ke pondoknya untuk berkemas. Chi Li yang mengandung tua itu menyambutnya dengan sikap manis. Kini Chi Li merupakan seorang isteri yang amat mencinta suaminya. Alasan-alasan kebangsaan sudah lama lenyap tak pernah dipikirkan lagi. Kini dia adalah isteri Ceng Tung yang mencinta suaminya. Melihat suaminya seperti orang berkemas, Chi Li merasa heran dan bertanya.

   "Eh, Sribaginda hendak pergi ke manakah?"

   Ia bersandar kepada suaminya dan memandang khawatir.

   "Chi Li, hari ini paman Esen membebaskan aku. Aku akan kembali ke kota raja bersama pasukan pengawal."

   Wanita itu terbelalak dan wajahnya menjadi agak pucat.

   "Pulang...? Dan saya...?"

   "Engkau sedang mengandung, sayang. Kandunganmu sudah tua dan melakukan perjalanan jauh dan sukar itu amat tidak baik bagi kesehatanmu."

   Chi Li menangis.

   "Sribaginda, bukankah berulang kali paduka mengatakan bahwa paduka akan membawa saya ke manapun paduka pergi? Kenapa sekarang paduka hendak meninggalkan saya yang dalam keadaan mengandung?"

   "Chi Li, kekasihku, aku tidak melanggar janji. Akan tetapi ini demi kebaikanmu sendiri, demi keselamatan anak kita yang berada dalam kandunganmu. Jangan khawatir, kalau kelak aku sudah kembali ke kota raja dan anakmu sudah terlahir dengan selamat, aku akan mengirim pasukan untuk menjemputmu."

   Kaisar Ceng Tung melepaskan seuntai kalung yang hiasannya dari batu giok berbentuk naga,

   "Simpanlah ini baik-baik karena ini merupakan tanda bahwa engkau dan anakmu adalah keluargaku. Di kerajaanku, takkan ada yang berani mengganggu kalau engkau memperlihatkan benda ini."

   Berangkatlah Kaisar Ceng Tung beberapa hari kemudian, dikawal pasukan Oirat yang seratus orang banyaknya. Chi Li berkurang kesedihannya ketika mendapat kenyataan bahwa gurunya juga ikut mengawal Kaisar. Ia percaya penuh kepada gurunya dan hanya mengharapkan akan segera bertemu kembali dengan suaminya tercinta setelah anaknya terlahir. Rombongan Kaisar Ceng Tung dengan selamat sampai di Tembok Besar. Ketika para penjaga melihat ada serombongan orang Oirat mendekati tembok, mereka sudah siap siaga untuk menyerangnya. Akan tetapi rombongan itu berhenti dan yang turun dari kuda adalah seorang yang berpakaian sasterawan, lalu orang itu mendekati Tembok Besar, berteriak kepada para penjaga.

   "Beritahukan kepada Panglima kalian bahwa yang datang adalah Yang Mulia Sribaginda Kaisar Ceng Tung...!"

   Mendengar teriakan itu, para penjaga terkejut. Sudah lebih dari setahun Kaisar Ceng Tung dikabarkan hilang tertawan orang Oirat ketika pasukan Beng dihancurkan orang Oirat di Tumupou dekat Huai Lai. Bagaimana kini tiba-tiba saja Kaisar Ceng Tung dapat muncul di situ? Tak lama kemudian nampak Panglima berdiri di atas tembok, seorang Panglima yang nampak gagah dalam pakaian yang gemerlapan. Melihat Panglima tua itu, Kaisar Ceng Tung yang sudah keluar dari dalam kereta, segera berseru,

   "Yauw-Ciangkun apakah engkau tidak mengenal kami?"

   Suara Kaisar terdengar mengandung keharuan. Panglima itu segera terbelalak dan dari atas tembok dia memberi hormat.

   "Ah, kiranya benar Yang Mulia Kaisar Ceng Tung! Cepat buka pintu benteng!"

   Liu Siong Ki menuntun Kaisar Ceng Tung memasuki kembali keretanya dan menjalankan kereta memasuki tembok besar. Kemudian Liu Siong Ki membalik, dan mengatakan kepada pimpinan pasukan pengawal agar pulang dan melaporkan kepada ketua mereka bahwa Kaisar sudah sampai di Tembok Besar dan sudah disambut oleh pasukan kerajaan. Pasukan pengawal itu lalu kembali ke utara. Tentu saja Kaisar Ceng Tung disambut dengan gembira oleh Yauw-Ciangkun yang memberi hormat sambil berlutut dan Panglima tua ini menangis saking gembiranya melihat junjungannya masih dalam keadaan selamat dan sehat. Segera Kaisar Ceng Tung dikawal menuju ke Peking. Panglima Yu Cian sendiri menyambutnya dengan segala kehormatan dan cepat dia mengirim kabar ke Nan-king kepada Kaisar Ceng Ti bahwa kakak Kaisar itu masih hidup dan kini sudah kembali ke Peking.

   Terjadi keributan di Nan-king ketika Kaisar Ceng Ti mendengar berita itu. Akan tetapi siapa orangnya yang mau melepaskan kedudukan yang begitu tinggi? Kaisar Ceng Ti segera menulis perintah yang dikirim ke utara bahwa Kaisar Ceng Tung sudah lama kehilangan kedudukannya dan bahwa dialah Kaisar Beng-tiauw yang sah, diangkat oleh para pembesar dengan sah. Oleh karena itu, mengingat bahwa Ceng Tung adalah kakaknya, maka dia mengangkat kakaknya itu sebagai seorang raja muda di Peking dan menjadi pembantunya. Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Ceng Tung mendengar perintah adiknya itu. Dia tidak lagi diakui menjadi Kaisar melainkan diangkat menjadi raja muda. Diangkat oleh adiknya sendiri yang telah menggantikan kedudukannya sebagai Kaisar. Sakit sekali hatinya.

   "Yang Mulia, perbuatan Kaisar Ceng Ti itu sungguh tidak patut dan kalau paduka menghendaki hamba sanggup merebutkan kedudukan itu untuk paduka dan mengembalikan paduka di atas singgasana, menjadi Kaisar kerajaan Beng yang menjadi hak paduka!"

   Kata Jenderal Yu Cina dengan marah. Akan tetapi Kaisar itu tersenyum dan menggeleng kepala dengan sedih sekali.

   "Jangan, Yu-Ciangkun. Aku tidak menghendaki perebutan kekuasaan dengan adikku yang kelak hanya akan mendatangkan perang saudara yang akibatnya akan menyengsarakan rakyat jelata."

   Ceng Tung berkeras tidak mau menggunakan kekerasan terhadap adiknya dan dia menerima menjadi raja muda yang dalam waktu berkala mengirim laporan kepada adiknya yang menjadi Kaisar. Juga dia harus mentaati perintah Kaisar untuk menjaga perbatasan utara, tetap memusuhi orang Mongol termasuk bangsa Oirat. Hal ini membuat marahnya bangsa Oirat dan Esen beberapa kali menyerbu ke selatan, akan tetapi selalu dapat dihancurkan oleh pasukan Jenderal Yu Cian. Dengan adanya perubahan keadaan itu, di mana dia harus mengambil sikap bermusuhan dengan bangsa Oirat, dengan sendirinya Kaisar Ceng Tung tidak dapat menyuruh jemput Chi Li. Pula, keadaannya yang membuat dia prihatin juga membuat dia tidak sempat lagi mengurus urusan pribadinya.

   Tidak mungkin hanya karena seorang wanita dia harus melawan perintah Kaisar untuk memusuhi bangsa Mongol. Melihat keadaan ini, Liu Siong Ki juga tidak mampu berbuat sesuatu. Bahkan dia dicurigai di kalangan para perwira Beng karena dikabarkan bahwa dia menjadi guru dari puteri Esen ketua suku Oirat. Hal ini membuat dia tidak kerasan di Peking. Hanya karena dia dipercaya oleh Ceng Tung saja yang membuat dia tidak ditangkap. Akhirnya Liu Siong Ki berpamit dari Kaisar untuk kembali kepada bangsa Oirat.

   "Paman Liu Siong Ki, baiklah kalau engkau hendak kembali ke sana. Aku hanya pesan kepadamu. Jagalah baik-baik Chi Li dan anakku. Kelak kalau aku bisa kembali kepada kedudukanku semula, barulah aku dapat membawa mereka ke sini,"

   Demikian pesan Ceng Tung kepada Liu Siong Ki. Demikianlah, pendekar itu berangkat kembali ke utara seorang diri.

   Kedatangannya disambut dengan marah oleh Esen yang marah kepada Ceng Tung, akan tetapi Chi Li menyambutnya dengan gembira, dengan seorang bayi di dalam pondongannya. Bayi itu adalah seorang anak laki-laki yang hebat yang diberi nama Haitu oleh ibunya. Akan tetapi Liu Siong Ki memberi tambahan nama Cu Sin Lee kepada anak itu, menggunakan nama keturunan Kaisar Ceng Tung yang bernama Cu Shi Sen. Untuk mencegah agar anak itu tidak mencari-cari Ayahnya, maka Liu Siong Ki mengangkat Sin Lee sebagai puteranya dan anak itu menyebutnya Ayah. Chi Li menanti dengan penuh kesabaran. Ia selalu mengirim seorang penyelidik untuk menyelidiki keadaan suaminya di Peking. Setelah lewat tujuh tahun, pada suatu hari ia mendapat kabar dari penyelidiknya bahwa Kaisar Ceng Tung telah diangkat kembali menjadi Kaisar karena adiknya, Kaisar Ceng Ti sedang menderita sakit berat.

   Akan tetapi Kaisar Ceng Tun pindah pula ke Nan-king dan mengambil alih kekuasaan adiknya yang hanya menjadi permainan para Thaikam. Dengan bantuan pasukan yang dipimpin para jenderal dan Panglima yang setia kepadanya, Kaisar Ceng Tung dapat mengambil alih kekuasaan dari adiknya tanpa penumpahan darah sedikitpun. Ceng Ti sebetulnya menjadi Kaisar karena paksaan dan bujukan para Thaikam yang mengelilinginya. Bahkan perintahnya agar kakaknya yang kembali itu diangkat menjadi raja muda adalah juga atas nasihat dan paksaan para Thaikam. Setelah dia sakit barulah para Thaikam tidak berdaya karena seolah-olah mereka kehilangan alat untuk memerintah. Maka, atas desakan para Panglima yang memanfaatkan keadaan Ceng Ti yang sakit,

   Para Thaikam itu tidak berdaya dan tidak dapat menghasut para Panglima sekutu mereka untuk menentang pengangkatan kembali Kaisar Ceng Tung. Yang kasihan adalah Kaisar Ceng Ti. Oleh keluarga kerajaan, dia dianggap sebagai pengkhianat yang berani merampas kedudukan kakaknya. Dia dipandang rendah, bahkan sesudah dia meninggal dunia, jenazahnya tidak boleh dimakamkan di makam para Kaisar Beng, melainkan di makam yang terpisah, di belakang Taman Sumber Kemala yang terletak beberapa li di sebelah barat Peking. Sementara itu, setelah kembali menduduki singgasana, Ceng Tung disibukkan oleh pekerjaan dan pemerintahan sehingga dia tidak ingat lagi kepada Chi Li. Juga dianggapnya bangsa Oirat tentu telah membencinya, dan akan merendahkan martabatnya kalau dia mendatangkan seorang wanita Mongol sebagai selirnya.

   Memang sudah lazim manusia itu lupa akan keadaan yang lalu, lupa akan kesengsaraan dan lupa pula akan para penolongnya apabila dia sudah meraih hasil gemilang dalam kehidupannya. Apa lagi kalau ada sesuatu yang mengancam kedudukan dan martabatnya, membuat dia dapat melakukan apa saja untuk mencegahnya. Demikian pula dengan Kaisar Ceng Tung. Kini dia dikelilingi selir-selir baru, gadis-gadis muda belia yang cantik jelita, bagaimana mungkin dia dapat teringat kepada Chi Li? Mendengar bahwa Kaisar Ceng Tung sudah menjadi Kaisar kembali dan pindah ke Nan-king, bahkan tidak lagi memperdulikannya, ia masih sabar menanti bahkan berhasil mengirim surat dengan utusannya yang bukan lain adalah Liu Siong Ki sendiri,

   Untuk menemui Kaisar dan menyampaikan suratnya. Sementara itu, Kaisar Ceng Tung sudah kembali ke Nan-king yang menjadi pusat pemerintahan. Namun, surat dari Chi Li itu tidak mendapat perhatian, bahkan dia mengirim emas permata untuk isterinya dengan pesan agar Chi Li tinggal di utara saja dan jangan mengganggunya karena banyak urusan pemerintahan harus diselesaikan! Ini sama saja dengan penolakan. Biarpun hatinya mendongkol bukan main melihat sikap Kaisar Ceng Tung terhadap nasib Chi Li muridnya, namun Liu Siong Ki tidak dapat berbuat sesuatu dan terpaksa dia kembali ke utara sambil membawa emas permata kiriman Kaisar kepada Chi Li. Ketika Chi Li mendengar bahwa gurunya sudah kembali, dengan gembira sekali ia lari menyambut. Melihat wajah gurunya yang begitu pendiam, wanita itu lalu bertanya,

   "Bagaimana Suhu, sudahkan Suhu berjumpa dengan Yang Mulia? Dan apa kata beliau? Akan segerakah saya diboyong ke kota raja?"

   "Mari kita bicara di dalam,"

   Kata Liu Siong Ki dan muridnya itu dengan was-was mengikuti dia memasuki pondoknya. Setelah berada di dalam rumah dan muridnya duduk di atas bangku dia lalu berkata.

   "Aku sudah bertemu dengan Kaisar Ceng Tung..."

   "Bagaimana, Suhu? Apakah dia sehat-sehat saja? Apakah dia gemuk atau kurus?"

   Chi Li bertanya dan wajahnya berseri penuh harapan. Kembali gurunya menghela napas panjang,

   "Aku sudah menceritakan tentang engkau dan anakmu, dan mengajukan permohonanmu agar segera dijemput ke kota raja, akan tetapi..."

   
Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Akan tetapi bagaimana, Suhu?"

   Chi Li mendesak, jantungnya berdebar tegang. Liu Siong Ki mengeluarkan sekantung emas permata dan berkata,

   "Dia memberikan ini untuk diserahkan kepadamu."

   Chi Li berseru girang dan menerima bungkusan kantung emas permata itu. Bagaikan seorang anak kecil menerima hadiah, ia tersenyum dan memeriksa perhiasan itu satu demi satu.

   "Ah, ternyata beliau masih ingat kepadaku. Dan kapan saya akan dijemputnya, Suhu? Tidak lama lagi, bukan?"

   Sukar bagi Liu Siong Ki untuk bicara dan dia merasa marah sekali kepada Kaisar Ceng Tung. Wanita begini baik dan mulia disia-siakan.

   "Chi Li, Kaisar berpesan... ah, persetan. Dia bukan manusia baik-baik, Chi Li..."

   Mata itu terbelalak dan wajah itu berubah pucat.

   "Kenapa, Suhu?"

   "Dia tidak menghendaki engkau lagi. Dia berpesan agar engkau tinggal saja di sini dan jangan mengganggunya karena dia menghadapi banyak sekali pekerjaan! Aku tahu, itu berarti bahwa dia tidak menginginkan engkau dan anakmu menyusul ke kota raja."

   Perlahan-lahan Chi Li bangkit berdiri, kantung perhiasan itu terlepas dari tangannya, terbuka dan berhamburan, kedua kakinya gemetar dan tubuhnya menggigil.

   "Tapi... tapi... aku... aku tidak mengerti... mengapa begitu, Suhu? Mengapa...?"

   "Hemm, aku mengerti, Chi Li. Engkau seorang wanita Mongol, itulah sebabnya. Dia tidak mau seorang wanita Mongol menjadi selirnya. Hal itu akan merendahkan martabatnya. Manusia tak berbudi!"

   Wajah itu makin pucat, sepasang mata itu basah dengan air mata, suaranya gemetar dan lirih,

   "Tapi... ketika di sini... dia mencintaku, Suhu. Sungguh, saya merasa benar dia amat mencintaku..."

   "Begitulah watak manusia tak berbudi. Dia mencinta tubuhmu karena menyenangkan dirinya. Akan tetapi dia tidak suka kepada suku bangsamu. Itulah sebabnya dia menolakmu."

   "Ahhh... ohhh... hu-hu-huhh... anakku... bagaimana dengan anakku... dan aku..."

   Wanita itu berdiri sambil menangis, mengguguk menutupi mukanya dengan kedua tangan. Air matanya mengalir keluar melalui celah-celah jari tangannya. Liu Siong Ki terharu bukan main. Baru sekarang terasa olehnya betapa mendalam dia mencinta wanita ini. Kalau sampai dia bertahun-tahun betah tinggal di utara, di antara bangsa Oirat, itu sebabnya karena dia mencinta Chi Li. Baru sekarang dia menyadari. Bukan hanya cinta seorang guru kepada muridnya, melainkan telah tumbuh menjadi cinta seorang pria kepada wanita. Dimulai setelah wanita itu menderita ditinggalkan suaminya. Tanpa terasa lagi dia melangkah maju dan merangkul Chi Li.

   "Sudahlah, Chi Li. Jangan menangis. Engkau masih mempunyai anakmu, masih ada aku di sini yang akan mendidik Sin Lee, yang akan melindungimu dengan segenap jiwaku."

   Mendengar suara yang bergetar penuh kasih sayang itu, Chi Li dapat merasakan. Sebagai seorang wanita iapun sudah lama dapat menduga akan perasaan hati gurunya terhadap dirinya, maka hiburan itu sungguh amat memilukan dan mengharukan hatinya dan iapun menangis di atas dada gurunya.

   "Ah, Suhu... Suhu... Suuuuuhuhu..."

   Sampai basah semua baju yang dipakai Liu Siong Ki oleh air mata Chi Lo. Setelah tangis yang dibiarkan saja oleh Liu Siong Ki itu agak mereda, seorang anak berusia tujuh tahun memasuki ruangan itu dan memandang kepada mereka dengan mata terbelalak. Anak ini tampan sekali, dengan tubuh yang sehat, sedang dan tegap, matanya bersinar terang seperti mata burung Hong dan bibirnya manis seperti bibir Chi Li.

   "Ayah, kenapa ibu menangis?"

   Tanyanya dan dia merasa heran sekali karena belum pernah melihat ibunya menangis dalam rangkulan Ayahnya! Pernah ibunya menangis, menangis lirih akan tetapi ketika berada seorang diri dan kalau dia bertanya, ibunya tersenyum dan mengatakan tidak apa-apa. Kini, adegan ibunya menangis dalam rangkulan Ayahnya sungguh mengherankan hatinya. Liu Siong Ki melepaskan rangkulannya dan dia menggandeng tangan Sin Lee dipangkunya anak itu.

   "Ibumu menangis karena bahagia, Sin Lee."

   "Berbahagia kenapa menangis?"

   "Ya, ia menangis karena melihat aku pulang dengan selamat dan membawa banyak mainan bagus. Lihat emas permata itu. Bagus, bukan?"

   Chi Li sudah dapat menguasai dirinya dan dipeluknya anaknya. Gurunya benar. Biarpun anak ini keturunan Ceng Tung, namun dia tidak pernah melihat Ayahnya dan yang menjadi Ayahnya selama ini, Ayah dan guru yang baik, adalah Liu Siong Ki.

   "Aku tidak apa-apa, anakku. Nah, ini, banyak mainan. Kau boleh pilih mana yang kau sukai,"

   Katanya sambil menuangkan emas permata itu keluar dari dalam kantung.

   "Ah, aku tidak suka, ibu. Ini mainan anak perempuan."

   "Ini aku bawakan oleh-oleh untukmu, Sin Lee. Engkau suka pedang pusaka kakek itu, bukan? Akan tetapi punya kakek itu terlalu besar dan berat untukmu. Ini aku dapatkan yang kecil dan cocok untukmu."

   Sepasang mata burung Hong itu terbelalak ketika dia melihat pedang yang bentuknya melengkung seperti pedang kakeknya. Juga pedang melengkung ini indah sekali, dan kecil. Gagang dan sarungnya dihias dengan permata, seperti milik kakeknya! Memang sengaja Liu Siong Ki menyuruh seorang pandai besi terkenal di kota raja untuk membuatkan pedang bengkok itu, persis milik Esen, akan tetapi bentuknya kecil dan dihias permata pada gagang dan sarungnya. Sin Lee berteriak girang ketika dia menerima pedang itu. Dicabutnya pedang melengkung itu dan nampak pedangnya berkilauan saking tajamnya.

   "Horeeee..., Ah, terima kasih, Ayah!"

   Katanya berkali-kali sambil memainkan pedang bengkok itu.

   "Aku akan minta kepada kakek untuk mengajarku bermain pedang ini."

   Dia lalu berlari keluar untuk memamerkan pedangnya kepada kakeknya dan kepada teman-temannya.

   Liu Siong Ki dan Chi Li mengikuti Sin Lee dengan pandang mata penuh kasih dan kini Chi Li yang tadi habis menangis sedih, dapat tersenyum kembali. Setelah Sin Lee lenyap dari pandangan mereka, mereka menengok dan tanpa disengaja mereka saling pandang. Sejenak dua pasang sinar mata itu bertemu, bertaut dan melekat. Kemudian Chi Li yang melihat betapa sinar mata gurunya kepadanya itu penuh kasih sayang, menundukkan mukanya yang berubah kemerahan karena tersipu malu. Liu Siong Ki merasa bahwa saatnya tiba untuk membuka isi hatinya. Kini dia tidak ragu lagi karena sudah jelas bahwa Kaisar Ceng Tung tidak memperdulikan Chi Li, bahkan menolaknya dan sama halnya dengan menceraikannya.

   "Chi Li, maafkan aku kalau kata-kataku menyinggung. Tidak sepatutnya sebagai guru aku berkata begini. Akan tetapi, melihat keadaan kita, dan demi Sin Lee yang sama-sama kita sayangi, aku mengambil keputusan untuk hidup selamanya bersamamu sebagai suami isteri, bersama-sama mendidik dan merawat Sin Lee. Bagaimana, Chi Li, maukah engkau menjadi isteriku? Jangan ragu-ragu, tolak saja kalau engkau tidak setuju. Aku tidak akan marah, tidak akan sakit hati."

   Chi Li merasa terharu bukan main dan kembali kedua matanya basah. Harus diakui bahwa sebelum ia menyerahkan diri kepada Kaisar Ceng Tung, pria pertama yang dipujanya adalah gurunya ini. Hanya karena ia ingin berbakti kepada bangsanya, menuruti permintaan pamannya, ia menjadi isteri Ceng Tung. Dan kini, biarpun ia sudah pernah menjadi isteri Ceng Tung bahkan melahirkan puteranya, gurunya masih meminangnya untuk menjadi isterinya! Ia mengangguk tanpa dapat mengeluarkan kata-kata, hanya kedua mata yang menatap wajah Liu Siong Ki itu mengalirkan air mata. Tentu saja Liu Siong Ki merasa berbahagia sekali, akan tetapi dia belum yakin. Dipegangnya kedua tangan muridnya seperti hendak membantu kekuatan hatinya.

   "Jawablah, walaupun hanya sepatah kata, Chi Li."

   "Aku... aku... berbahagia sekali..."

   Esen merasa gembira dan menyetujui perjodohan antara keponakannya dan Liu Siong Ki. Dia sudah putus harapan untuk dapat mendekati Ceng Tung dan diapun marah sekali bahwa Kaisar Ceng Tung telah menolak keponakannya. Percuma saja rencananya dahulu dengan mengorbankan keponakannya. Kalau tahu akan demikian tentu dulu sudah dibunuhnya Kaisar Ceng Tung. Demikianlah, Liu Siong Ki yang berusia empat puluh tiga tahun itu menikah dengan Chi Li yang berusia dua puluh tujuh tahun.

   Perayaan pernikahan itu diadakan secara sederhana sekali, tidak terlalu menyolok karena untuk menjaga putera mereka yang bertanya-tanya mengapa Ayah dan ibunya menikah lagi. Dan sejak kecil, Sin Lee digembleng dengan tekun oleh Liu Siong Ki. Setelah agak besar dan Sin Lee mulai mengerti, dia diberitahu bahwa namanya yang lengkap adalah Liu Sin Lee, menggunakan nama keturunan Liu, yang nama keturunan Liu Siong Ki, tidak lagi diberi nama marga Cu. Juga mainan kalung dari naga batu giok itu tadinya hendak dibuang saja oleh Chi Li, akan tetapi benda itu diminta oleh Esen dan diberikan oleh Chi Li yang menganggap benda itu tidak ada gunanya lagi, malah hanya akan mengingatkan hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. Pendeknya Chi Li dan Liu Siong Ki tidak menghendaki Sin Lee mengetahui bahwa dia adalah putera Kaisar Ceng Tung!

   Waktu berlalu dengan amat cepatnya bagi orang yang tidak memperhatikannya. Kalau kita renungkan kembali, belasan tahun yang lalu rasanya baru kemarin dulu saja. Tahu-tahu kita sudah menjadi tua melihat anak-anak kita sudah semakin dewasa, tanpa kita merasakannya. Usia menggerogoti kita sedikit demi sedikit, sedetik demi sedetik, lambat namun pasti. Sebaliknya, kalau kita memperhatikan waktu di kala kita menanti seseorang atau menanti sesuatu yang kita inginkan, waktu rasanya merayap lebih lamban dari pada siput. Tanpa dirasa, delapan tahun telah lewat sejak Liu Siong Ki menikah dengan Chi Li. Pada suatu hari, di padang yang sunyi, nampak seekor kuda membalap amat cepatnya dan setelah dekat, ternyata kuda itu adalah seekor kuda yang berbulu hitam mulus, tinggi besar dan gagah.

   Larinya secepat angin dan yang duduk di atasnya juga seorang ahli menunggang kuda, dapat dilihat dari cara dia duduk di atas pelana kuda sambil membungkuk ketika kuda itu membalap. Kini, setelah kuda itu tiba di luar perkampungan Oirat, kuda berjalan congklang. Bulunya yang hitam itu mengkilat karena peluh dan dari lubang hidungnya nampak uap tebal setiap kali dia menghembuskan napas. Dan nampak jelas penunggang kuda itu. Seorang pemuda berusia kurang lebih enam belas tahun yang tampan dan gagah. Wajahnya berbentuk bulat telur, rambutnya hitam dan agak keriting. Alisnya tebal sekali melindungi sepasang mata yang tajam namun lembut seperti mata burung Hong. Hidungnya mancung dan bibirnya yang manis itu selalu mengarah senyum.

   Dagunya berlekuk yang memberi sifat jantan kepadanya. Bentuk tubuhnya tidak kekanak-kanakan lagi, melainkan sudah dewasa berkat kebiasaan menunggang kuda dan berburu binatang buas. Pakaiannya ringkas dan wajah yang tampan gagah itu nampak berwibawa. Di kancing bajunya terdapat setangkai bunga merah. Inilah Liu Sin Lee atau yang nama Oiratnya Haitu, putera Liu Siong Ki dan Chi Li. Dia baru pulang berburu. Seekor binatang seperti beruang berada di punggung kudanya. Diapun bersenjata lengkap. Pedang panjang di punggung, pedang bengkok pendek di pinggang dan busur beserta sekantung anak panah di pelana kudanya. Ketika dia tiba di luar pintu gerbang perkampungan itu, beberapa orang gadis berlari-lari menyambutnya. Sin Lee atau Haitu melemparkan bangkai beruang kepada seorang penjaga dan berkata,

   "Bawa ke dapur, suruh masak yang enak untuk makan malam nanti!"

   Penjaga itu menerima beruang tadi sambil tertawa bangga dan juga kagum. Tidak mudah menangkap beruang hitam seperti itu karena selain terkenal gesit, juga suka bergerombol sehingga berburu binatang ini berbahaya sekali, dapat dikeroyok gerombolan beruang hitam.

   "Haitu, engkau sudah pulang. Aku minta bonceng!"

   Kata seorang gadis yang cantik sekali, kulitnya putih seperti susu dan mukanya bulat seperti bulan purnama. Haitu atau Sin Lee tertawa.

   "Naiklah!"

   Katanya dan dia menjulurkan tangan, menarik tangan gadis itu sehingga terangkat naik dan duduklah gadis itu di depannya! Hal ini dilakukan dengan cekatan, tanda bahwa dia bertenaga besar dan gadis itupun duduk dengan enaknya. Hal seperti ini biasa terjadi di antara mereka, tidak malu-malu bersopan-sopan seperti pada gadis-gadis Han.

   "Haitu, aku juga ikut bonceng!"

   Kata seorang gadis lain, yang hitam manis dengan mata dan mulut indah sekali. Haitu tertawa.

   "Hayo naik ke belakangku!"

   Diapun memberikan tangannya, menarik gadis hitam manis itu sehingga gadis itupun dapat meloncat dan naik di belakangnya. Mereka bertiga duduk berhimpitan. Haitu duduk di tengah dan berjalanlah kuda memasuki pintu gerbang diikuti beberapa orang gadis lagi sambil tertawa-tawa.

   Dekat pintu gerbang kuda itu berhenti dan Sin Lee meraih kembang yang tumbuh di situ. Dia memetik bunga merah beberapa batang, lalu membagi-bagikan bunga itu kepada dua orang gadis yang duduk di kudanya bahkan empat orang gadis yang berjalan di dekat kuda juga mendapatkan seorang satu! Pemuda ini memang suka sekali kepada bunga merah dan dia suka pula membagi-bagikan bunga kepada gadis-gadis, bahkan kepada siapa juga. Hampir tidak pernah lubang kancingnya tidak terhias bunga merah. Setelah tiba di depan rumah induk, tempat tinggal paman kakeknya yaitu Esen yang berusia hampir lima puluh tahun, pemuda itu menyuruh turun kedua orang gadis dan dia sendiripun meloncat turun. Akan tetapi sebelum menuntun kudanya pergi, dari pintu rumah itu terdengar suara kakeknya,

   "Haitu, ke sini kau sebentar. Aku ingin bicara denganmu!"

   Haitu menyerahkan kuda kepada penjaga untuk dirawat, dan dia lalu memasuki rumah paman kakeknya. Di ruangan tengah, Esen sedang menghisap pipa tembakau yang panjang dan dengan anggukan kepala, dia minta cucu keponakannya untuk duduk di depannya. Haitu duduk bersila, karena kakeknya juga duduk di atas lantai.

   "Engkau pulang berburu?"

   "Benar, kek."

   "Hasilnya?"

   "Seekor beruang hitam yang masih muda."

   "Bagus. Pisahkan kakinya untuk aku, suruh masak yang enak."

   "Baik, kek."

   Pemuda itu hendak berdiri akan tetapi dengan gerakan tangannya, Esen meminta Haitu duduk kembali.

   "Aku ingin bicara denganmu. Engkau sudah dewasa sekarang, sebentar lagi engkau boleh menggantikan kedudukanku, memimpin bangsa kita menjadi bangsa yang jaya dan besar. Akan tetapi engkau harus menikah dulu. Kulihat dua orang gadis itu cukup baik, kalau engkau mau, engkau boleh sekaligus menikah dengan mereka berdua."

   Haitu mengerutkan alisnya.

   "Kenapa kakek berulang kali menyatakan aku akan menjadi ketua bangsa kita? Aku tidak berniat, kek, aku tidak ingin menjadi ketua dan terikat di sini. Ayah telah bercerita banyak tentang negeri asal Ayah, yaitu di selatan dan aku ingin meluaskan pengetahuan dengan merantau ke selatan. Aku ingin menemui orang-orang pandai seperti diceritakan Ayah, ingin melihat negara besar itu."

   "Hemm, tahukah engkau? Negara besar itu dahulu adalah negara kerajaan kakek moyangmu. Negara besar itu dahulu dikuasai oleh kita bangsa Mongol yang jaya. Maka, engkau harus menjadi ketua suku Oirat dan membangun kembali kekuatan bangsa Mongol untuk merebut kembali kekuasaan di negara selatan."

   Pemuda itu mengerutkan alisnya.

   "Tidak, kek, aku ingin merantau dulu melihat-lihat di sana agar bertambah pengalamanku."

   Hemm, anak ini keras hati seperti Ayah ibunya, pikir Esen. Kalau dibiarkan pergi, bisa musnah harapannya. Sebaiknya diikat dulu dengan pernikahan agar di sana tidak akan tergila-gila kepada bangsa Han.

   "Baiklah, akan tetapi engkau harus menikah dulu sebelum kau pergi. Pilihlah satu di antara kedua gadis itu, atau kau nikahi saja keduanya."

   "Tidak, kek. Mereka hanya teman bermain. Aku belum ada keinginan untuk menikah. Ayah bilang, seorang laki-laki harus meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan, tidak boleh buru-buru menikah."

   "Ayahmu! Ayahmu!"

   Esen berkata marah.

   "Siapa Ayahmu?"

   "Eh, kakek ini bagaimana sih! Ayahku ya Ayahku!"

   "Hemm, siapa nama Ayahmu?"

   "Kakek bergurau. Namanya Liu Siong Ki, siapa yang tidak mengetahuinya?"

   Haitu tertawa. Akan tetapi Esen tidak tertawa dan memandang cucu keponakan itu dengan wajah serius. Dia mengesampingkan pipa tembakaunya.

   "Haitu, apakah selama ini kakekmu bersikap baik kepadamu?"

   "Tentu saja, kakek baik sekali. Mengajar aku menunggang kuda dan memanah..."

   "Dan apakah kakek pernah berbohong kepadamu?"

   "Tidak pernah. Ayah bilang bahwa kakek seorang yang jujur tidak pernah berbohong."

   "Bagus! Nah, apakah engkau sudah cukup dewasa untuk menyimpan rahasia, kalau aku menceritakan suatu rahasia kepadamu? Apakah engkau tidak akan bersikap kekanak-kanakan dan cengeng?"

   Pemuda itu mengerutkan alisnya,

   "Sejak kecil kakek dan Ayah mengajarkan agar aku tidak menjadi orang cengeng. Dan tentu saja aku dapat menyimpan rahasia, kek."

   "Baik, sudah waktunya engkau mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Coba tutupkan dulu daun pintu dan daun jendela itu."

   Pemuda itu bangkit berdiri dan dengan wajah keheranan akan tetapi juga tegang dia menutupi semua daun pintu dan jendela ruangan itu. Kemudian dia kembali duduk berhadapan dengan kakeknya.

   "Nah, dengarlah, cucuku yang baik. Sebetulnya Liu Siong Ki itu bukan Ayahmu yang sejati, bukan Ayah kandungmu, melainkan Ayah tirimu yang sudah menganggap engkau sebagai putera sendiri."

   Tentu saja pemuda itu terkejut bukan main. Akan tetapi selama ini dia sudah digembleng secara hebat oleh Liu Siong Ki sehingga kekagetan itu dapat ditindasnya di hati saja dan wajahnya hanya memperlihatkan sikap ingin tahu.

   "Lalu, siapa Ayah kandungku, kek?"

   Tanyanya tanpa memperlihatkan perasaannya yang terguncang.

   "Ayah kandungmu adalah Kaisar Ceng Tung yang menjadi maharaja di selatan."

   Sin Lee tertegun. Keheranan besar menyelimuti hatinya sehingga sampai lama dia tidak mampu bicara. Kemudian dia berkata dengan nada membantah.

   "Ah, bagaimana aku dapat percaya cerita yang aneh itu, kek? Bagaimana mungkin ibuku menjadi isteri maharaja di selatan? Kalau benar begitu, tentu ibu berada di istana Kaisar, bukan di sini."

   "Dengarkan dulu, jangan mencela. Akan kuceritakan padamu apa yang terjadi. Tujuh belas tahun yang lalu, dengan pasukanku, kakekmu ini berhasil menghancurkan pasukan Beng yang sedang mengawal Kaisarnya dan bahkan aku telah berhasil menawan Kaisar Ceng Tung dari kerajaan Beng. Bayangkan saja, aku, kakekmu ini, berhasil menawan Kaisar dari kerajaan besar di selatan!"

   Kakek itu berhenti dan memandang kepada cucunya dengan bangga. Memang, keberhasilannya menawan Kaisar itu merupakan kebanggaan besar dalam hidupnya, karena setelah itu, dia tidak pernah berhasil mencapai sesuatu yang besar lagi. Pasukannya berulang kali dipukul mundur oleh pasukan Beng.

   "Kakek memang hebat. Lalu bagaimana, kek?"

   "Kaisar Ceng Tung kujadikan sandera yang berharga. Dan dalam keadaan itulah dia... eh, bertemu dengan ibumu yang ketika itu masih gadis. Mereka... eh, saling mencinta dan aku setuju saja ibumu menikah dengan Kaisar Ceng Tung karena mengharapkan selanjutnya Kaisar itu akan bersikap sebagai keluarga yang baik dan di antara kedua bangsa akan ada kerja sama yang saling menguntungkan. Nah, ibumu menikah dengan dia dan lahirlah engkau!"

   Sin Lee mengerutkan alisnya, memandang kepada kakeknya dengan bimbang,

   "Akan tetapi, kalau benar begitu, kenapa sejak aku kecil sekali, sejak aku dapat ingat, yang menjadi Ayahku adalah Ayah yang sekarang ini?"

   "Ketahuilah, Liu Siong Ki adalah seorang pendekar yang pernah menyelamatkan ibumu dari tangan orang-orang jahat dan ibumu lalu menjadi muridnya dan dia tinggal pula di sini. Sebelum engkau terlahir, Ayahmu meninggalkan tempat ini untuk memegang kedudukannya kembali, dengan janji kelak akan menjemput ibumu dan engkau ke kota raja, selama dia tidak ada itu, engkau lahir dan agar engkau tidak menanyakan Ayahmu, Liu Siong Ki mengaku sebagai Ayahmu. Akan tetapi itu hanya pengakuan saja karena ketika itu Liu Siong Ki tidak menikah dengan ibumu yang masih dianggap isteri Kaisar Ceng Tung."

   Pemuda itu tertarik sekali.

   "Lalu bagaimana, kakek?"

   "Ternyata Kaisar Ceng Tung tidak memenuhi janjinya. Setelah dia menjadi Kaisar kembali, dia tidak memboyong ibumu dan engkau ke istananya. Bahkan ketika engkau berusia tujuh tahun, ibumu menyuruh Liu Siong Ki, yang ketika itu masih menjadi gurunya dan gurumu serta Ayah angkatmu, untuk pergi ke selatan menyerahkan surat ibumu kepada Kaisar Ceng Tung, dan apa hasilnya? Engkau tentu masih ingat ketika Liu Siong Ki pulang membawa sekantung emas permata yang indah-indah."

   "Ah, aku ingat sekarang. Aku disuruh memilih permata yang indah akan tetapi aku tidak mau, lebih senang menerima pedang bengkok ini dari Ayah."

   Dia menyentuh pedang bengkok yang berada di pinggangnya.

   "Dan aku melihat ibu menangis dalam rangkulan Ayah."

   "Ya, benar begitu. Liu Siong Ki pulang membawa emas permata pemberian Kaisar Ceng Tung dengan pesan agar ibumu tidak mengganggunya lagi, agar ibumu tinggal saja di sini. Pendeknya, Kaisar Ceng Tung mengingkari janji, menolak untuk memboyong ibumu ke istana."

   "Akan tetapi kenapa, kek?"

   "Kaisar sombong itu merasa malu kalau harus memboyong seorang wanita Mongol ke dalam istananya. Dia menganggap bangsa kita ini bangsa liar."

   "Ah, orang macam begitu mana mungkin menjadi Ayahku, kek? Aku tidak sudi mempunyai Ayah macam itu."

   "Akan tetapi kenyataannya, engkau adalah puteranya, Haitu. Namamu adalah Haitu atau Sin Lee, Cu Sin Lee, bukan Liu Sin Lee. Setelah Ayahmu menolak untuk menerima ibumu, barulah ibumu menikah dengan Siong Ki. Engkau ingat pesta pernikahan sederhana itu?"

   Jantung Sin Lee berdebar keras sekali. Berbagai macam perasaan, mengaduk hatinya. Rasa penasaran, rasa kecewa, dan keharuan membuat dia tidak mampu bicara. Tentu saja dia masih ingat akan pesta pernikahan itu yang membuat dia terheran-heran mengapa Ayah dan ibunya menikah lagi! Setelah agak lama berdiam diri, pemuda itu menatap wajah kakeknya penuh selidik.

   "Kakek, benarkah apa yang kakek ceritakan kepadaku ini?"

   "Kau tahu, kakekmu ini tidak pernah berbohong."

   "Tapi ini adalah urusan yang bagiku teramat penting, kek. Aku tidak dapat percaya begitu saja. Harus ada buktinya, harus kataku!"

   Sin Lee berkata dengan nada marah. Esen bersikap tenang dan dia mengeluarkan sebuah mainan kalung dari batu giok yang berbentuk naga.

   "Benda ini bukanlah benda sembarangan, Haitu. Ini adalah tanda kekuasaan Kaisar Beng. Dia memberikan ini kepada ibumu dan ketika ibumu menikah dengan Liu Siong Ki, benda ini akan dibuangnya, lalu aku simpan. Sekarang, terimalah benda ini, karena engkaulah yang berhak memiliki."

   Kakek itu mengalungkan kalung itu pada leher Sin Lee yang agak gemetar saking tegangnya.

   "Kek, apa yang harus kulakukan? Aku harus menanyakan hal ini kepada ibu dan Ayah!"

   "Hemm, apakah kau akan menjadi seorang yang melanggar janji, menjilat kembali ludahmu yang sudah kau ludahkan? Kau berjanji akan dapat menyimpan rahasia."

   Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tapi, kek. Aku harus dapat yakin akan kebenaran ceritamu tadi!"

   

Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini