Pendekar Bunga Merah 6
Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
"Pangcu, apakah Bu-tong-pai yang terhormat sekarang berganti haluan dan akan membela Beng-kauw yang sesat?"
Ketua Bu-tong-pai itu mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada perwira itu.
"Lu-Ciangkun apa maksud kata-katamu itu?"
"Pemuda ini!"
Dia adalah orang Beng-kauw pernah bersama tokoh-tokoh Beng-kauw lainnya menyerang seorang pembesar she Ouw di Nanking!"
Beng Sian Tosu terkejut dan memandang kepada Sin Lee dengan penuh perhatian.
"Engkau orang Beng-kauw?"
Tanyanya penuh wibawa. Sin Lee menggeleng kepala.
"Bukan, Locianpwe,"
Katanya tegas.
"Dia bohong! Seorang pengawalku dulu bekerja pada Ouw Taijin dan dia ini yang menjadi saksi,"
Kata Lu-Ciangkun. Pengawal itu dengan muka pucat, membenarkan ucapan atasannya.
"Dialah yang dulu menyerang Ouw-Taijin, bersama seorang gadis dan dua orang laki-laki Beng-kauw lainnya,"
Katanya.
"Orang muda, kalau benar engkau orang Beng-kauw terpaksa kami akan mengusirmu dari sini,"
Kata Beng Sian Tosu.
"Jangan khawatir, selama di sini dan menjadi tamu kami, takkan ada seorangpun boleh mengganggumu. Akan tetapi setelah keluar dari daerah kami, kami tidak mempunyai urusan lagi dengan kamu. Nah, kalau engkau benar orang Beng-kauw, cepat angkat kaki dari sini, kami tidak mengundang orang Beng-kauw!"
"Locianpwe, sungguhpun aku tidak tahu mengapa Beng-kauw dimusuhi, akan tetapi aku bukanlah orang Beng-kauw, Ouw-Taijin adalah seorang pembesar korup yang menyalah gunakan kekuasaannya, menindas rakyat, dengan ancaman kerja paksa dia menangkapi gadis-gadis cantik dari dusun-dusun. Kalau aku bertindak menghajar pembesar korup yang merusak nama dan wibawa kerajaan, salahkah itu? Aku bukan Beng-kauw seperti yang dituduhkan perwira ini!"
"Nah, Lu-Ciangkun. Pemuda ini sudah menyangkal. Dan saksimu adalah pengawalmu sendiri, hal itu belum dapat dijadikan kepastian bahwa pemuda ini benar orang Beng-kauw. Kecuali ada orang luar di antara tamu yang menjadi saksi."
Tidak ada di antara tamu yang maju menjadi saksi karena mereka memang tidak mengenal Sin Lee. Tiba-tiba Lu-Ciangkun yang merasa penasaran lalu berkata kepada Sin Lee,
"Orang muda, kalau engkau memang bukan orang Beng-kauw, engkau tentu berani menghadapi tantanganku untuk mengadu ilmu silat agar semua menyaksikan bahwa engkau memang bukan murid Beng-kauw."
Sin Lee tersenyum dan kini perhatian semua orang ditujukan kepadanya. Terdengar suara seseorang di antara para tamu,
"Pendekar Bunga Merah! Dia Pendekar Bunga Merah!"
Memang di kancing baju pemuda itu seperti biasa, terdapat setangkai bunga merah yang dipetiknya dalam perjalanan naik bukit Bu-tong tadi. Sin Lee tersenyum. Kiranya beberapa kali perbuatannya yang menolong rakyat jelata telah memberinya julukan Pendekar Bunga Merah. Dia tersenyum.
"Baiklah, Lu-Ciangkun. Aku menerima tantanganmu, hanya untuk menunjukkan bahwa aku bukan orang Beng-kauw."
Semua orang mundur untuk memberi ruangan kepada dua orang yang hendak mengadu ilmu itu. Ruangan itu memang cukup luas dan setelah semua orang mundur, dua orang itu saling berhadapan seperti dua ekor ayam yang hendak berlaga. Sin Lee nampak pendek dibandingkan dengan lawannya yang tinggi besar dan kekar.
"Kami tidak menghendaki pertumpahan darah,"
Kata Beng Sian Tosu "di hari baik ini kami tidak boleh terjadi keributan di sini. Karena itu, kami harap kalian tidak mempergunakan senjata dan pertandingan ini sekedar menguji ilmu belaka."
"Baik, Pangcu,"
Kata Lu-Ciangkun.
"Saya tidak akan melanggar peraturan yang dikeluarkan Bu-tong-pai."
Kata pula Sin Lee.
"Lu-Ciangkun, mulailah, aku sudah siap siaga.
Lu-Ciangkun yang berusaha untuk membongkar rahasia Sin Lee dan memaksa pemuda itu mengeluarkan ilmu silat Beng-kauw untuk membela diri, segera menerjang dengan cepat dan kuat. Dia memang seorang Panglima yang terkenal memiliki ilmu silat tangguh, maka serangan-serangannya berbahaya sekali. Semua orang memandang penuh perhatian, ingin mengetahui bagaimana pemuda itu akan membela diri. Melihat serangan yang hebat dari Panglima itu, mau tidak mau pemuda itu harus mengeluarkan ilmu simpanannya dan kalau dia murid Beng-kauw, akan segera dapat terbukti dari gerakannya. Akan tetapi begitu pemuda itu bergerak, Beng Sian Tosu tertegun dan para murid Bu-tong-pai bereru melihat Sin Lee meloncat ke atas untuk mengelakkan terjangan Lu-ciangkan.
"Heii, itu adalah Yan-cu coan-in (Burung Walet Menembus Awan)..."
Terkaman itu luput dan ketika tubuh Sin Lee turun, Lu-Ciangkun sudah menyerang lagi dengan pukulan kedua tangannya dari atas dan bawah. Sin Lee bergerak ke depan dan menangkis dengan kedua tangan pula, lalu membalas dengan pukulan tangan miring, kembali terdengar seruan orang-orang Bu-tong-pai,
"Kim-liong-hian-jiaw (Naga Emas Mengulur Kuku)...!"
Setelah kedua orang bertanding seru, berkali-kali para tokoh Bu-tong-pai berseru menyebut nama jurus yang dimainkan Sin Lee. Bahkan Beng Sian Tosu sendiri kini tidak meragukan bahwa Sin Lee adalah murid Bu-tong-pai, bukan orang Beng-kauw. Gerakannya itu seratus prosen ilmu silat Bu-tong-pai, bahkan dimainkan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya.
Hal ini adalah karena ilmu silat yang dipelajari Sin Lee dari Ayah angkatnya memang berdasarkan Bu-tong-pai walaupun dia juga mempelajari banyak macam ilmu dari aliran lain, dan ilmu-ilmu silatnya menjadi makin mantap dan gerakannya menjadi luar biasa setelah dia menerima gemblengan dari Ciu-sian Lo-kai. Kini, untuk membuktikan bawa dia sama sekali bukan anggota Beng-kauw, Sin Lee sengaja memainkan ilmu silat Butong-pai. Setelah lewat dua puluh jurus, Lu-Ciangkun mulai terdesak dan semua jurus yang dikeluarkan Sin Lee adalah jurus Bu-tong-pai asli. Ramailah sorak pujian para anggota Bu-tong-pai melihat ini dan ketika desakannya membuat Lu Ciangkun mundur, Sin Lee mendorong dengan tangannya sambil mengerahkan tenanga sinkang dan Lu-Ciangkun terhuyung-huyunng dan hampir saja terjengkang. Akan tetapi, Sin Lee tidak mendesak terus, melainkan berdiri tegak.
"Bagaimana Lu-Ciangkun? Apakah engkau sudah yakin bahwa aku bukan anggota Beng-kauw?"
Lu-Ciangkun terbelalak. Dia tadi merasa betapa dadanya terdorong dan ada sesuatu yang mengenai dadanya. Ketika dia memandang ternyata di saku baju Panglimanya sudah terselip setangkai bunga merah. Semua orang berseru kagum dan Lu-Ciangkun yang merasa penasaran dan malu, merenggut bunga merah itu dari bajunya dan dengan gemas dia meremas bunga itu sampai hancur. Dia lalu memberi hormat kepada ketua Bu-tong-pai,
"Pangcu, kami telah salah sangka dan dikalahkan seorang murid Bu-tong-pai. Selamat tinggal!"
Dia lalu keluar dari tempat itu diikuti oleh para rekan dan pengikutnya. Beng Sian Tosu menghela napas panjang. Lalu dia menghampiri Sin Lee, mengamati orang muda itu dari kepala sampai ke kaki.
"Orang muda, dari mana engkau mempelajari ilmu silat Bu-tong-pai?"
Suaranya menuntut jawaban pasti.
"Locianpwe, saya mempelajarinya dari Ayah saya sendiri."
Jawab Sin Lee sejujurnya.
"Siapa nama Ayahmu?"
"Ayah bernama Liu Siong Ki."
Ketua Bu tong pai nampak terkejut dan gembira sekali.
"Ah, sute (adik seperguruan) Liu Siong Ki itu Ayahmu? Kalau begitu engkau masih keponakan seperguruan kami sendiri. Orang muda, siapa namamu?"
"Nama saya Liu Sin Lee, Locianpwe."
"Jangan sebut aku Locianpwe, aku adalah Supekmu (uwa gurumu)!"
"Baik, Supek."
"Mari, mari kita duduk kembali. Cu wi (saudara sekalian), silahkan duduk kembali. Orang muda ini adalah keluarga Bu-tong-pai sendiri dan maafkan sedikit keributan yang terjadi tadi."
Sin Lee diterima sebagai keluarga Bu-tong-pai dan dia dihujani pertanyaan tentang Ayah angkat atau Ayah tirinya yang juga gurunya itu. Tentu saja Sin Lee tidak menceritakan bahwa Liu Siong Ki bukan Ayah kandungya. Setelah pesta bubar, Sin Lee masih tinggal di Bu tong pai selama tiga hari karena Supeknya selalu menahannya.
"Ayahmu memang sejak muda suka mempelajari ilmu lain di samping ilmu silat Bu-tong-pai. Dan melihat gerakanmu tadi, agaknya Ayahmu memperoleh kemajuan pesat. Ada sedikit perbedaan dalam gerakanmu dan terutama dalam hal kecepatan dan tenaga, engkau jauh lebih kuat dari pada murid Bu-tong-pai manapun."
"Ah, Supek terlalu memuji,"
Kata Sin Lee merendah lalu mengubah bahan percakapan. Mereka bercakap-cakap di ruangan baca perkumpulan itu, berdua saja karena ketua Bu-tong-pai ini ingin mendengar segalanya tentang sutenya yang sudah puluhan tahun tidak dijumpainya. Dan Sin Lee sudah menceritakan semua tentang Ayahnya yang kini tinggal di antara suku Oirat, bahkan menikah dengan puteri kepala suku Oirat atau Wala. Akan tetapi, ketua Bu-tong-pai itu ternyata seorang yang bijaksana. Mendengar keponakan itu peranakan suku Oirat, yaitu termasuk bangsa Mongol, dia bersikap biasa saja.
"Supek, saya masih tertarik sekali akan sikap Supek yang agaknya membenci Beng-kauw sehingga ketika tempo hari mendengar tuduhan bahwa saya orang Beng-kauw, Supek hendak mengusir saya. Kenapa Supek membenci Beng-kauw?"
Beng Sian Tosu mengerutkan alisnya,
"Ah, apa anehnya itu? Beng-kauw adalah sebuah perkumpulan sesat dan orang-orangnya tidak segan melakukan segala macam kejahatan. Semua orang dunia persilatan, golongan bersih, membencinya."
"Bagaimana kalau ternyata Beng-kauw sekarang tidak lagi menjadi perkumpulan sesat, tidak ada lagi orang Beng-kauw melakukan kejahatan? Apakah masih juga dibencinya?"
"Tentu saja tidak, kalau memang betul terbukti orang Beng-kauw tidak ada yang melakukan kejahatan. Akan tetapi mengapa engkau bicara tentang Beng-kauw, Sin Lee?"
"Karena saya tahu, Supek, bahwa selama ini Beng-kauw dikuasai oleh seorang bekas pendeta Lama yang bernama Bouw Sang Cinjin. Orang inilah yang menguasai Beng-kauw dan anak buahnya melakukan segala macam kejahatan. Akan tetapi sekarang, Bouw Sang Cinjin telah terusir, dan Beng-kauw dipimpin seorang ketua lain yang tentu akan membawa Beng-kauw ke jalan benar."
"Hemm, Sin Lee. Bagaimana engkau bisa mengetahui semua tentang Beng-kauw?"
"Karena saya ikut pula mengusir Bouw Sang Cinjin dan membersihkan Beng-kauw dari pengaruh dan kekuasaan orang-orang jahat, Supek. Dan yang menjadi ketuanya sekarang ada Sumoi saya sendiri."
"Apa...??! Murid Ayahmu menjadi ketua Beng-kauw? Berarti murid Bu-tong-pai menjadi ketua Beng-kauw...??"
"Harap Supek tidak salah sangka. Sumoi saya itu bukan murid Ayah. Hendaknya Supek ketahui bahwa saya pernah menerima gemblengan dari Ciu-sian Lo-kai, nah Sumoi juga murid dari Suhu Ciu-sian Lo-kai Ong Su itu."
Beng Sian Tosu mengangguk-angguk.
"Siancai, jadi engkau telah menjadi murid Ciu-sian Lo-kai? Pantas, gerakan ilmu silatmu demikian cepat
(Lanjut ke Jilid 06)
Pendekar Bunga Merah (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
dan kuat. Coba ceritakan tentang engkau dan Sumoimu itu membersihkan Beng-kauw."
Kepada Supeknya, Sin Lee menceritakan segalanya, tentang bagaimana dia dan Sumoinya itu menentang pembesar Ouw bersama dua orang Beng-kauw yang gagah perkasa, kemudian betapa mereka melakukan pembersihan dalam tubuh perkumpulan Beng-kauw. Mengingat bahwa mendiang Ayah gadis itu adalah seorang tokoh Beng-kauw.
"Saya hanya membantu Sumoi, Supek. Melihat bahwa Sumoi bermaksud membersihkan Beng-kauw dan membawa Beng-kauw ke jalan benar, tentu saja dengan senang hati saya membantu."
"Siancai... kalau ada orang kang-ouw mendengar akan hal ini, tentu mereka akan menaruh curiga kepadamu, Sin Lee. Akan tetapi, aku percaya kepadamu dan kita lihat saja nanti perkembangannya. Mudah-mudahan Beng-kauw benar-benar akan mencuci bersih namanya sehingga dapat berhubungan baik dengan semua golongan bersih di dunia persilatan."
Sin Lee merasa girang mendengar ini dan yakinlah dia bahwa kakak seperguruan dari Ayah tirinya ini adalah seorang yang bijaksana. Pada hari keempat dia berpamit dan meninggalkan Bu-tong-san. Dalam perjalanannya, Sin Lee melihat banyak sekali kesengsaraan melanda kehidupan rakyat jelata dan dia selalu menjulurkan tangan menolong mereka yang terhimpit, menentang mereka yang mengail di air keruh, yaitu mereka yang mempergunakan kesempatan selagi rakyat hidup menderita itu untuk mengeruk keuntungan bagi diri sendiri sebanyaknya. Dia tidak pernah meninggalkan nama, hanya meninggalkan setangkai bunga merah sehingga semakin terkenal nama julukan Pendekar Bunga Merah yang diberikan oleh rakyat jelata dan kemudian tersebar di dunia kang-ouw.
Pendekar Bunga Merah yang selalu menolong rakyat yang sengsara, menentang pembesar lalim dan hartawan kkir pemeras rakyat. Daerah pegunungan kapur di daerah Nanyang dilanda musim kering yang berkepanjangan. Rakyat di sekitar daerah itu kekurangan pangan. Tanah sudah berbulan-bulan tidak menghasilkan sesuatu. Dalam keadaan seperti itu para tuan tanah dan lintah darat melepas umpan; memberi hutang kepada para petani. Dengan bunga besar maka hutang itu akan menggembung sehingga tak mungkin terbayar kembali dan kalau sudah begini, kalau hutang itu menjadi beberapa kali lipat besarnya maka dengan ancaman-ancaman yang dilakukan tukang-tukang pukul mereka, terpaksa para petani melepas sawahnya, atau bahkan anak gadisnya, sebagai pembayar hutang!
Dengan demikian para tuan tanah dan lintah darat itu dapat membeli sawah ladang atau gadis muda dengan harga yang murah sekali. Di sepanjang jalan di daerah ini Sin Lee melihat tubuh yang kurus-kurus, mata cekung yang nampak sayu, pakaian kumal dan rambut kusut. Pada pagi hari itu, pagi yang cerah, terlalu cerah bagi penghuni daerah yang kekeringan itu yang selalu menanti datangnya mendung dan hujan, Sin Lee berjalan seorang diri di bawah terik matahari. Di depan terdapat sebuah dusun dan dia melewati sawah ladang yang luas kering gundul. Menyedihkan sekali. Tiba-tiba dia mendengar suara orang berkeluh kesah dan meratap dan menangis. Dia merasa heran dan menoleh ke kiri. Di sana, di tengah ladang gundul itu, dia melihat seorang laki-laki yang kurus kerempeng sedang mencangkul-mencangkuli tanah kering itu denga penuh semangat sambil meratap.
"Semua makanan datang dari tanah... ahh, semua datang dari tanah..."
Dia berhenti mencangkul lalu mencari-cari di antara tanah yang terbongkar itu, seolah mengharapkan mendapatkan makanan dari situ.
"Ya Tuhan... semua tumbuh-tumbuhan hidup dari tanah..., kalau tanah menghasilkan segala macam makanan, kenapa tanah tidak dapat dimakan...?"
Orang itu menemukan segumpal tanah lalu... mulai makan tanah itu! Orang itu sudah menjadi gila karena kelaparan, pikir Sin Lee dengan hati yang penuh haru. Dia lalu memasuki ladang itu dan menghampiri orang yang makan tanah dengan lahapnya. Ketika melihat Sin Lee datang menghampirinya, orang yang usianya sekitar lima puluh tahun itu lalu menyodorkan gumpalan tanah dan berkata kepada Sin Lee,
"Orang muda, engkau tentu juga lapar seperti kami. Nih, makanlah, agar engkau tidak mati kelaparan."
Sin Lee merasa jantungnya seperti diremas. Biarpun gila, jelas bahwa orang ini mempunyai watak yang baik. Yang dimiliki hanya tanah, namun masih menawarkan "Makanan! itu kepada orang lain yang disangka kelaparan! Padahal, banyak sekali orang kaya yang hidup berlebihan, enggan membagi sedikit saja dari hartanya yang banyauk untuk menolong mereka yang kelaparan, bahkan mencemooh mereka yang kelaparan itu dan mengatakan mereka malas, sudah sepatutnya kalau kelaparan.
Harta benda memang dapat membuat orang menjadi lupa bahwa dirinya adalah seorang manusia yang memiliki akal budi, memiliki hati dan perasaan sehingga sepantasnya kalau memiliki perikemanusiaan. Harta benda kadang membuat mereka lupa diri dan menjadi budak dari hartanya, merasa takut kalau hartanya berkurang, bahkan mendatangkan angkara murka untuk membuat hartanya bertambah bear, dengan cara dan jalan apapun. Penduduk dusun memang berpikiran sederhana sekali, bahkan mendekati bodoh dan memerlukan bimbingan. Orang dusun itu kurang luas pengetahuannya, pandangannyapun sempit sehingga mereka tidak memperkembangkan atau memperluas usahanya kalau menemui kesulitan di dusunnya. Bahkan banyak yang sampai mati kelaparanpun tidak beranjak dari dusunnya. Sin Lee ikut berjongkok di dekat orang itu.
"Paman, ingatlah paman. Yang kaumakan itu adalah tanah, bukan makanan. Mari, paman, mari pulang, dan aku mempunyai sedikit uang yang boleh paman ambil untuk membeli makanan."
"Ini memang tanah, dan apa salahnya makan tanah? Semua makanan, semua tumbuh-tumbuhan bukankah dari tanah asalnya. Tanah mengandung semua kehidupan itu, karenanya tentu dapat dimakan untuk menyambung hidup!"
Kata orang itu dan melanjutkan makan. Sin Lee tertarik, lalu mengambil sedikit tanah dari gumpalan itu dan memasukkan ke mulutnya. Dia terbelalak. Bukan tidak enak rasanya! Seperti roti kering yang tidak ada rasanya. Tidak asin tidak manis, akan tetapi juga tidak pahit atau getir. Tanpa rasa dan karenanya, tentu saja dapat dimakan. Ketika dia teringat akan keadaannya, makan tanah bersama seorang dusun yang pakaiannya kumal, dia tertegun,
"Apakah kita berdua sudah gila?"
Orang itu menghentikan makannya, lalu menangis.
"Tidak, orang muda, aku tidak gila... walaupun sudah sepantasnya kalau aku menjadi gila. Rumah sudah tidak ada makanan sedikitpun selama beberapa hari ini, dan hutangku sudah bertumpuk sehingga tidak akan bisa memperoleh pinjaman lagi. Bahkan hari ini orang-orangnya Chi Wan-gwe akan datang menagih, tentu aku akan dipukuli atau... ah, aku mengkhawatirkan sekali kedua orang anak perempuanku. Chi Wan-gwe sudah lama mengincar mereka, akan tetapi aku tidak sudi! Aku tidak sudi menyerahkan dua orang anak perempuanku untuk pembayar hutang!"
Dia meratap pula sambil menangis. Sin Lee bangkit berdiri, memegang tangan orang itu dan menariknya bangkit.
"Kalau begitu, mari kuantar pulang, paman. Bagaimana paman dapat meninggalkan dua orang puteri paman sendiri saja di rumah?"
Tapi... orang-orangnya Chi Wan-gwe tentu mencariku..."
"Jangan takut. Aku yang akan menghadapi mereka nanti."
Kata Sin Lee dan agaknya baru sekarang orang itu melihat bunga merah di lubang kancing baju pemuda itu. Dia terbelalak penuh harapan dan menuding ke arah kembang di dada itu.
"Kau... kau... Pendekar Bunga Merah...? Sin Lee tersenyum.
"Orang-orang menyebutku begitu. Mari, jangan takut, paman."
Kini orang itu tidak ragu-ragu lagi dan berjalan di sam ping Sin Lee. Agaknya makanan tanah tadi memulihkan tenaganya dan dapat berjalan cukup cepat. Harapannya akan dapat tertolong timbul setelah dia melihat kembang merah di dada pemuda itu. Dia sudah mendengar berita akan munculnya seorang pendekar memakai bunga merah di dadanya, yang kabarnya suka menolong rakyat yang sedang menderita sengsara. Ketika mereka memasuki dusun itu, Sin Lee melihat bahwa kehidupan di situ memang miskin sekali. Rumah-rumah yang mirip gubuk dan sawah, orang-orang kurus kering dengan pakaian yang kumal, mata yang cekung dan tidak bersinar lagi. Ketika mereka tiba di dekat rumah orang setengah tua itu, Sin Lee mendengar suara tangis wanita dan ribut-ribut. Melihat ini, orang itu lalu gemetar seluruh tubuhnya dan berbisik,
"Celaka, mereka sudah datang... ah anak-anakku..."
Sin Lee menjadi marah sekali ketika melihat belasan orang sedang menarik-narik tangan dua orang gadis berusia belasan tahun. Dua orang gadis itu meronta dan menangis. Mereka berusia sekitar lima belas dan tujuh belas tahun, juga kurus dan walaupun pakaian mereka kumal, masih dapat terlihat kulit mereka yang putih bersih dan wajah mereka yang cukup manis. Tahulah Sin Lee bahwa dua orang gadis itu sedang dipaksa untuk ikut oleh belasan orang tukang pukul hartawan Chi sebagai pembayar hutang.
"Keparat...!"
Dia berseru dan tubuhnya sudah melesat ke depan, dan begitu kaki tangannya bergerak, empat orang yang menyeret dua orang gadis itu terpental dan terjengkang! Belasan orang tukang pukul itu terkejut sekali dan seorang berjenggot panjang yang menjadi pimpinan segera menghadapi Sin Lee sambil membentak,
"Manusia lancang, siapa engkau berani mencampuri urusan kami. Dua orang gadis ini adalah sebagai pembayar hutang, kenapa engkau berani menghalangi kami membawa mereka?"
Sin Lee tersenyum mengejek.
"Siapa aku tidak penting, akan tetapi kalian hendak memaksa dua orang gadis untuk dijadikan pembayaran hutang. Ini sungguh tidak masuk akah. Jelas bahwa dua orang gadis itu tidak suka, juga orang tuanya tidak ingin memberikan mereka sebagai pembayar hutang!"
Dia menuding ke arah dua orang gadis ang kini sudah menghampiri Ayah mereka dan mereka bertiga saling berpelukan dengan wajah ketakutan.
"Dia... dia Pendekar Bunga Merah...!"
Tiba-tiba seorang di antara belasan tukang pukul itu menudingkan telunjuknya ke arah bunga di dada Sin Lee. Mereka semua terkejut dan nampak jerih. Akan tetapi si jenggot panjang yang mengandalkan banyak kawan dan melihat bahwa pemuda itu nampak tidak menakutkan, segera mencabut goloknya dan berkata,
"Orang muda, baik engkau Pendekar Bunga Merah atau bukan, kami hanya menjalankan tugas. Orang ini mempunyai hutang bertumpuk kepada majikan kami dan karena dia tidak mampu membayar atau menyerahkan kembali sebagian dari hutangnya, dua orang anak perempuannya harus diserahkan untuk membayar hutang."
"Kalian kembali sajalah dan katakan kepada Chi Wan-gwe majikan kalian itu bahwa dia tidak boleh memaksa anak gadis orang dan katakan bahwa aku akan datang menemuinya di rumahnya!"
"Kalau begitu engkau mencari penyakit. Kawan-kawan, hajar pemuda sombong itu. Belasan orang itu lalu mengepung Sin Lee dengan senjata di tangan. Sikap mereka bengis dan mengancam sehingga dua orang gadis dan Ayahnya menjadi semakin ketakutan. Juga para penghuni dusun itu, yang sudah mengenal kekejaman para tukang pukul, melarikan diri bersembunyi ke dalam rumah masing-masing. Mereka yang agak pemberani hanya menolong dari jauh saja sambil bersembunyi. Sin Lee merasa dongkol juga. Jelas bahwa para tukang pukul ini sudah biasa mengandalkan kekerasan untuk melaksanakan kehendak mereka atau kehendak majikan mereka.
Mereka mengandalkan kekerasan dan pengeroyokan. Tadinya dia ingin mereka itu kembali dan tidak menganggu lagi penduduk dusun itu akan tetapi dia malah dikeroyok. Orang-orang ini memang patut mendapat hajaran agar kelak tidak terlalu mengandalkan kekerasan lagi terhadap orang-orang lemah. Maka, begitu mereka bergerak mengeroyok, Sin Lee lalu menerjang mereka. Sambaran senjata itu dielakkan dengan mudah dan begitu kaki tangannya bergerak, orang-orang itu seperti diterjang badai mengamuk dan merekapun terpelanting ke kanan kiri dengan patah tulang, salah urat, atau benjol-benjol pada kepala mereka. Dalam waktu singkat, empat belas orang itu sudah jatuh semua, senjata mereka terlempar entah ke mana dan mereka hanya dapat bangkit kembali dengan susah payah sambil mengaduh-aduh kesakitan.
"Kalau lain kali aku mendapatkan kalian masih bersikap kejam terhadap penduduk dusun yang miskin, aku tidak akan mengampuni kalian lagi!"
Kata Sin Lee sambil bertolak pinggang melihat mereka itu tertatih-tatih meninggalkan dusun itu, meninggalkan pula senjata mereka yang berserakan di atas tanah. Karena tidak ingin orang-orang itu melapor lebih dulu sehingga dia akan menghadapi persiapan yang membuat tugasnya menjadi berat, Sin Lee menghampiri petani dan dua orang anak perempuannya, dan bertanya,
"Di mana rumah hartawan Chi itu?"
Petani itu dan dua orang puterinya menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
"Rumahnya di dusun sebelah utara, tak jauh dari sini, Taihiap!"
Sebelum mereka yang berlutut itu sempat mengucapkan terima kasih, setelah mendengar keterangan itu, Sin Lee melompat dan lenyap dari depan mereka. Sin Lee dengan ilmu berlari cepat, mendahului menuju ke dusun sebelah utara itu. Dusun ini tidaklah semiskin dusun yang baru saja dia tinggalkan dan ada beberapa rumah yang cukup besar dan mewah. Dengan mudah dia mendapatkan keterangan tentang rumah hartawan Chi dan bersembunyi, menanti sampai belasan orang tukang pukul yang terpincang-pincang itu sampai di rumah gedung hartawan Chi. Ketika hartawan Chi mendengar bahwa para tukang pukulnya pulang tidak membawa dua orang gadis melainkan dalam keadaan luka-luka, dia menjadi marah dan cepat keluar menemui mereka. Para tukang pukul itu berdiri di bawah anak tangga dan hartawan Chi berdiri di atas anak tangga, matanya merah karena marah.
"Apa yang terjadi? Dan mana dua orang gadis itu?"
Bentaknya. Si jenggot panjang menjawab dengan takut.
"Mohon maaf, loya, kami... kami telah gagal karena tiba-tiba saja muncul Pendekar Bunga Merah yang membela dua orang gadis itu dan menghajar kami. Dia lihai sekali dari kami... kami tak mampu menandinginya. Wajah hartawan Chi menjadi pucat.
Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pendekar Bunga Merah? Di mana dia...?"
"Aku di sini!"
Terdengar jawaban dan sesosok tubuh melayang dan berkelebat, tahu-tahu seorang pemuda yang memakai bunga merah di dadanya telah berdiri di depan hartawan Chi. Hartawan itu terkejut, mukanya menjadi semakin pucat dan dia mundur-mundur. Akan tetapi Sin Lee maju mendekati dan Chi Wan-gwe berteriak kepada anak buahnya untuk maju melindunginya. Akan tetapi para tukang pukul itu tidak ada seorangpun yang berani maju. Sin Lee mencabut pedangnya dan secepat kilat pedang itu berkelebat, tahu-tahu sudah ditodongkan ke dada hartawan Chi yang berusia lima puluhan tahun itu. Tubuh yang gendut pendek itu menggigil dan kedua kakinya menjadi lemas. Dia menjatuhkan dirinya berlutut dan mengangguk-angguk seperti ayam makan beras sambil berkata dengan suara gemetar,
"Ampun, Taihiap... ampunkan aku, apa salahku maka Taihiap marah kepadaku...?"
Pada saat itu, keluarga hartawan Chi yang terdiri dari isterinya, dua orang selirnya dan beberapa orang anak-anaknya muncul dari dalam mendengar suara ribut-ribut itu. Mereka terkejut sekali mendengar hartawan itu berlutut di depan kaki seorang pemuda yang memakai bunga merah.
"Kalian semua masuk dan jangan keluar!"
Bentak Sin Lee dan keluarga itu dengan ketakutan lalu masuk kembali.
"Chi wangwe, engkau masih dapat menanyakan apa kesalahanmu? Engkau mengirim tukang-tukang pukul untuk memaksa gadis-gadis untuk menjadi pembayar hutang. Engkau memberi hutang dan menyita sawah ladang mereka, memberi hutang untuk makan mereka selama musim kering dengan bunga yang berlipat ganda. Dan engkau masih bertanya tentang kesalahanmu?"
"Ampun, Taihiap. Saya... saya sungguh telah banyak menolong penduduk dusun itu. Kalau tidak ada saya yang memberi pinjaman bibit padi, memberi hutang uang, bagaimana mereka akan dapat bertahan hidup? Akan tetapi mereka malas, sudah diberi hutang tak mempu mengembalikan. Kalau saya menyita sawah ladang mereka, bukankah itu sudah adil? Dan gadis-gadis itu untuk dipekerjakan dalam perusahaan saya, baik bekerja di rumah maupun di sawah ladang..."
"Cukup semua alasan kosong itu! Aku ingin melihat apakah engkau benar seorang hartawan yang dermawan dan suka menolong orang dusun. Sekarang, suruh keluarkan semua surat tanah yang kau sita, engkau harus mengembalikan semua tanah itu, kemudia memberi hutang agar mereka dapat membeli bibit padi dengan perjanjian, kalau kelak mereka panen maka hutang itu akan dikembalikan. Kalau engkau bertindak begini, maka engkau akan dihormati dan disayang semua orang. Akan tetapi, kalau engkau tidak mau melakukan, aku akan membunuhmu, karena tidak ada artinya engkau menjadi hartawan yang semestinya dapat menolong mereka!"
Kembali ujung pedang di tangan Sin Lee menempel di leher Chi Wan gwe. Hartawan itu mengangguk-angguk sambil berkata,
"Baik-baik, akan kulakukan semua yang dikehendaki Taihiap!"
"Hayo sekarang juga laksanakan, bersama aku pergi ke dusun mengembalikan tanah mereka dan memberi pinjaman."
Dengan tubuh gemetaran Chi Wan-gwe berteriak kepada isterinya untuk mengambilkan surat-surat tanah dan beberapa kantung uang,
Kemudian dengan berkereta dia pergi ke dusun yang kelaparan itu bersama Sin Lee, Sin Lee memerintahkan agar beberapa karung gandum dikirim pula ke dusun itu untuk menolong mereka yang sudah kehabisan makanan dan terancam kelaparan. Tentu saja penduduk dusun itu menjadi kaget dan juga heran melihat hartawan Chi sendiri datang dengan kereta bersama Pendekar Bunga Merah. Ketika hartawan Chi itu mengumumkan bahwa semua tanah yang pernah disita akan dikembalikan kepada pemilik lama dan mereka diperbolehkan meminjam uang dan gandum atau bibit, semua penduduk keluar dari dalam rumah mereka, bersorak gembira, bahkan ada yang menangis tersedu-sedu sambil berlutut menghadap hartawan itu dan berulang-ulang menghaturkan terima kasih mereka.
"Kau lihat, bukankah lebih menyenangkan begini, dianggap sebagai penolong penduduk daripada dijadikan bahan kutuk dan umpan caci mereka?"
Bisik Sin Lee kepada hartawan itu yang wajahnya nampak berseri. Baru sekarang dia merasakan betapa perbuatannya yang mengakibatkan penduduk itu begitu bahagia dan berterima kasih, mendatangkan suatu perasaan bangga dan bahagia yang selama ini tidak pernah dirasakannya.
"Terima kasih, Taihiap. Mulai sekarang saya akan mengubah pandangan dan jalan hidup saya. Di sini, saat ini, saya menemui kebahagiaan."
Tentu saja Sin Lee merasa girang sekali bahwa dia telah berhasil menyadarkan hartawan itu tanpa harus menggunakan ancaman kekerasan. Dia hanya berharap mudah-mudahan hartawan itu tidak akan berubah pandangan lagi.
"ChiWan-gwe, aku girang sekali engkau berpendapat begitu. Lain kali aku lewat di daerah ini, tentu daerah ini sudah tidak dihuni orang-orang yang sengsara dan kelaparan lagi, dan aku pasti akan singgah di rumahmu."
Setelah berkata demikian, Sin Lee yang gembira sekali itu mengambil bunga dari kancing bajunya dan menyodorkannya kepada Chi Wan-gwe yang diterimanya dengan senyum lebar. Setelah itu, Sin Lee meloncat dan lenyap dari situ. Pagi yang cerah, Sin Lee berjalan di sepanjang jalan raya yang menuju ke kota besar Nan-king itu. Banyak penduduk dusun berjalan pula menuju ke kota. Mereka membawa barang dagangan berupa sayur dan hasil sawah ladang. Berat nampaknya sayur-sayuran yang dipikul mereka itu, akan tetapi wajah mereka membayangkan kegembiraan.
Mungkin mereka itu membayangkan dagangan mereka laku dengan harga baik dan pulang ke dusun membawa oleh-oleh untuk anak isteri mereka. Tubuh mereka mengkilat karena peluh. Melihat mereka, diam-diam Sia Lee memperhatikan dan melamun. Betapa sedikitnya orang kaya di dunia ini, dan alangkah banyaknya orang miskin. Semua orang setiap hari sibuk mencari uang! Dan karena amat membutuhkan uang yang menjadi sumber semua kesenangan dan kesejahteraan, maka uang diperebutkan dengan cara apa saja. Orang yang lupa diri kehilangan kepribadiannya, digantikan oleh pribadi uang sehingga apapun yang dilakukannya, tentu diukur dengan keuntungan uang. Orang memperebutkan kedudukan juga karena kedudukan itu mendatangkan uang. Andaikan kedudukan atau jabatan itu tidak mendatangkan uang banyak, kiranya orang tidak akan memperebutkannya.
Kehormatan dan kemuliaan juga didatangkan oleh uang. Bagaimana seorang yang miskin dan apa dapat memperoleh kehormatan dan kemuliaan di dunia yang penuh dengan manusia penyembah harta ini? Sin Lee mengaso, duduk di bawah pohon sambil melihat orang-orang dusun yang berlalu lalang. Ya, dunia memang tempat orang mengejar harta be nda sebagai sumber segala kesenangan. Akan tetapi, harta benda itu sesungguhnya bukan merupakan jaminan bagi manusia untuk dapat hidup berbahagia. Lihat mereka itu, yang sedang berjalan pulang, sesudah menjual hasil ladangnya, membawa uang yang tidak berapa beserta oleh-oleh yang murah harganya untuk anak isterinya, membayangkan anak isterinya akan menyambut mereka dengan senyum dan tawa. Betapa bahagia mereka itu nampaknya.
Dan wajah anak yang menggembala domba di padang rumput sana itu. Begitu cerah dan gembira, pada hal dia anak penggembala yang miskin. Agaknya bagi anak itu, asal perutnya kenyang, ternak yang digembalanya tenang dan mendapatkan rumput gemuk, diapun sudah merasa bahagia. Dan lihat pedagang yang dari pakaiannya dapat diduga seorang kaya itu. Menunggang kereta akan tetapi wajahnya nampak demikian tegang dan tertekan, penuh kerut merut, agaknya baru saja menderita kerugian yang mengurangi jumlah besar kekayaannya. Harta kekayaan yang sudah menguasai hati akan melekat pada jiwa raga orang itu sehingga seorang kaya yang memiliki seratus ekor ternak, baru kehilangan lima ekor saja sudah menjadi sedih dan murung, pada hal orang yang memiliki dua ekor domba dapat tertawa bahgia karena dombanya melahirkan dua ekor anak domba.
Jadi, bukan jumlah kekayaan yang penting, melainkan kemelekatannya. Sin Lee menanti sampai iring-iringan penduduk dusun itu mulai menipis karena matahari mulai meninggi. Dia bangkit dan melanjutkan perjalanannya menuju ke kota Nan-king. Ketika dia melihat sebuah kuil tua di atas bukit kecil di tepi jalan, entah mengapa hatinya tertarik untuk mendaki bukit itu dan menjenguk ke dalam. Ternyata kuil itu memang kosong, tidak ada penghuninya, namun keadaannya terawat. Mungkin penduduk perkampungan di dekat situ yang merawat karena masih menganggap kuil ini sebagai tempat para dewa dan pada waktu-waktu tertentu penduduk masih bersembahyang di situ. Ketika Sin Lee memasuki ruangan depan kuil itu, terdengar rintihan dan suara lirih memanggil namanya,
"Sin Lee....!"
Sin Lee terkejut dan terbelalak karena dia mengenal suara itu, lalu meloncat ke sebelah dalam. Dan di ruangan dalam itu, di atas tumpukan jerami kering, dia melihat Ayah tirinya, Liu Siong Ki, bersandar pada dinding dengan tubuh yang kurus dan muka pucat. Agaknya Ayahnya itu tadi baru mengintai dari balik pintu tembusan dan mengenalnya.
"Ayah.!"! Sin Lee berlutut dan merangkul Ayahnya.
"Kau kenapa, Ayah? Engkau terluka...? Sakit...? Kenapa Ayah berada di sini?"
Dengan susah payah, Liu Siong Ki yang nampak menyedihkan sekali itu, berusaha untuk menegakkan duduknya. Dalam usianya yang baru lima puluh lima tahun itu, Liu Siong Ki sudah nampak tua sekali dan tubuhnya kurus kering, wajahnya pucat, pakaiannya lusuh seperti seorang pengemis dan keadaannya sedemikian lemahnya sehingga Sin Lee merasa terkejut bukan main.
"Sin Lee... ahh... agaknya Tuhan telah menuntunmu ke sini, anakku... aku... aku... terluka parah..."
"Ayah, apa yang telah terjadi? Di mana ibu? Sejak kapan Ayah berada di sini?"
Bertubi-tubi pertanyaan dilontarkan Sin Lee dan dia harus bersabar karena Liu Siong Ki hanya dapat berbicara dengan lemah, tersendat-sendat. Dalam keadaan yang sukar itu, Liu Siong Ki menceritakan apa yang telah terjadi dengan dia. Seperti telah diceritakan di bagian depan, melihat Sin Lee pergi meninggalkan perkampungan ibunya, Liu Siong Ki merasa khawatir dan akan mencarinya ke selatan Chi Li tidak mau ditinggalkan dan isteri ini ikut pula. Suami isteri ini melakukan perjalanan mereka melakukan penyelidikan tentang putera mereka. Di beberapa tempat mereka mendapat keterangan bahwa putera mereka itu melakukan perjalanan ke selatan akan tetapi sampai di Peking mereka kehilangan jejak. Jelas bahwa putera mereka itu tidak memasuki Peking.
"Lebih baik kita menghadap Kaisar Ceng Tung,"
Kata Liu Siong KI kepada isterinya. Isterinya mengerutkan alisnya. Chi Li agaknya enggan untuk bertemu kembali dengan suami yang telah menyia-nyiakan dirinya itu.
"Tidak, kita terus saja mencari ke selatan. Untuk apa pergi mengunjunginya?"
Katanya.
"Maksudku berkunjung itu untuk minta pertanggungan jawab Kaisar Ceng Tung terhadap putera kandungnya. Agar sewaktu-waktu kalau Sin Lee berkunjung ke istana, dia akan menerimanya sebagai seorang puteranya dan memberi kedudukan pangeran kepada anak itu."
Chi Li menggeleng kepala.
"Nanti saja yang penting sekarang kita harus mencarinya terus. Engkau tentu memiliki banyak hubungan dengan dunia kang-ouw. Engkau dapat bertanya-tanya tentang Sin Lee kepada para tokoh kang-ouw yang pernah kau kenal."
Liu Siong Ki menghela napas panjang. Dia tidak menyalahkan sikap isterinya, bahkan dapat mengerti perasaannya. Tentu saja isterinya merasa tidak enak bertemu dengan Kaisar Ceng Tung setelah disia-siakan dan kini sudah menjadi isterinya.
"Baiklah, aku akan singgah ke Bu tong pai. Siapa tahu di antara murid Bu tong pai ada yang sempat bertemu dengan Sin Lee. Akan tetapi, kita akan mencari dulu ke selatan."
Demikianlah, suami isteri ini mencari jauh ke selatan. Di sepanjang perjalanan suami isteri ini melihat kesengsaraan rakyat dan sebagai seorang pendekar, Liu Siong Ki dibantu isterinya, selalu mengulurkan tangan membantu mereka dan menentang kejahatan. Akan tetapi, semua usaha mereka mencari Sin Lee sia-sia belaka sehingga akhirnya, terpaksa Chi Li menuruti keinginan suamisnya untuk langsung menemui Kaisar Ceng Tung dan memesan agar suka menerimanya kalau Sin Lee datang menghadap. Dengan jantung berdebar karena tegang, menduga-duga bagaimana sikap Kaisar Ceng Tung kalau sampai keduanya menghadap dan Kaisar itu mendengar bahwa Chi Li telah menikah dengan Liu Siong Ki, akhirnya suami isteri ini menghadap ke istana. Mereka diterima oleh pasukan pengawal dan Liu Siong Ki memberikan namanya dan diperkenankan menghadap Kaisar.
"Tidak begitu mudah, sobat,"
Kata kepala pengawal.
"Untuk menghadap Sribaginda, harus dilaporkan dulu kepada Thaikam yang akan meneruskan kepada Sribaginda. Nah, kalau sudah ada perkenan barulah ditentukan dari dalam istana, kapan engkau boleh menghadap."
"Sampaikan saja sekarang, aku adalah orang yang dulu mengawal Sribaginda ketika kembali dari utara."
Mendengar ini para pengawal itu terkejut dan cepat melapor ke dalam. Belum sampai satu jam menanti, suami isteri itu telah mendapat kabar bahwa mereka berdua diperkenankan menghadap sekarang juga. Dan para pengawal kini bersikap hormat sekali kepada mereka berdua karena belum pernah ada tamu yang seketika diterima oleh Sribaginda Kaisar. Tentu saja mereka merasa gugup, terutaman sekali Chi Li yang akan bertemu muka denga pria yang pernah menjadi suaminya, Ayah puteranya yang menyia-nyiakan dirinya. Akan tetapi ia menekan semua ketegangan hatinya, dan memberanikan diri, demi puteranya. Melihat keadaan istana yang demikian megah dan mewah, ia sama sekali tidak iri dan tidak ingin tinggal di tempat itu bahkan merasa dirinya seperti seekor semut dalam tempat yang terlalu besar.
Ia tidak akan betah tinggal di tempat seperti ini, walaupun amat megah dan indah. Akhirnya tiba juga saat yang dinanti-nantikan suami isteri itu. Mereka tiba di ruangan perpustakaan karena Sribaginda berkenan menerima sahabatnya di situ. Dia tadinya hanya mendengar laporan bahwa Liu Siong Ki dan isterinya datang berkunjung. Bukan main girang rasa hatinya mendengar disebutnya nama ini dan lebih girang lagi mendengar bahwa Liu Siong Ki telah beristeri dan kini datang bersama isterinya. Ketika suami isteri itu memasuki ambang pintu ruangan yang luas itu dan melihat Kaisar Ceng Tung yang kini nampak jauh lebih tua dari dua puluh tahun yang lalu, diam-diam Chi Li merasa terharu. Suami yang menyia-nyiakan dirinya itu ternyata tidak kelihatan bahagia! Mereka lalu memberi hormat sambil berlutut.
"Liu Siong Ki...!"
Seru Kaisar dengan gembira.
"Bangkitlah kalian dan majulah, duduk dengan kami di sini!"
"Terima kasih, Yang Mulia,"
Kata Liu Siong Ki dan bersama Chi Li dia bangkit, menghampiri Kaisar dan duduk di atas bangku yang disediakan untuk mereka berhadapan dengan Kaisar. Dari cara duduk bersama ini saja sudah merupakan penghargaan besar dari Kaisar.
"Ah, Paman Liu Siong Ki, kiranya engkau sudah beristeri? Dan ini isterimu? Cantik juga isterimu, paman Liu. Siapa namanya?"
"Nama hamba Chi Li, Yang Mulia."
Kaisar Ceng Tung terbelalak, akan tetapi cepat dia dapat menguasai keadaan sehingga para pengawal dan Thaikam yang berdiri di pinggiran tidak dapat melihat kekejutan di wajahnya. Sekarang Kaisar telah dapat mengenal wanita itu dan dia membelalakkan matanya, terheran.
"Engkau menjadi isteri paman Liu Siong Ki?"
"Ampunkan kami Yang Mulia. Melihat keadaannya, hamba merasa kasihan dan kami bersepakat untuk hidup bersama sebagai suami isteri."
"Bagus, bagus! Kami berterima kasih sekali kepadamu, paman Liu. Engkau memang selain bijaksana dan baik. Engkau setia dan jujur. Pantas engkau mendapat anugerah dari kami. Nah, anugerah apa yang kau kehendaki dari kami?"
"Ampun, Sribaginda. Hamba berdua tidak minta apa-apa, kecuali satu, yaitu apabila murid hamba Cu Sin Lee datang menghadap paduka, harap paduka sudi menerima sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, dia adalah darah paduka sendiri."
Kaisar Ceng Tung mengangguk-angguk.
"Kami tidak pernah lupa akan ceritamu tentang dia ketika engkau berkunjung ke sini, paman Liu. Baiklah, permintaan itu kami kabulkan dan kalau dia muncul di sini, akan kami beri kedudukan pangeran seperti sudah menjadi haknya. Dan sekarang kami minta kepada kalian agar kalian tidak tergesa-gesa meninggalkan istana, jadilah tamu kami selama beberapa hari untuk melepas rindu. Kami membutuhkan kalian untuk bercakap-cakap tentang masa lalu di utara yang mengesankan."
Demikianlah, mereka bercakap-cakap dengan gembira dan suami isteri itu menjadi tamu Kaisar yang dihormati. Percakapan mereka itu diam-diam diperhatikan oleh Thaikam yang hari itu bertugas di situ dan setelah dia diperkenankan mengundurkan diri, Thaikam ini cepat berlari membuat laporan kepada Bong Thaikam, yaitu kepala Thaikam di situ yang mempunyai kekuasaan besar karena menjadi orang kepercayaan Kaisar.
"Celaka, Bong-Taijin, celaka..."kata Thaikam itu. Bong Thaikam adalah seorang Thaikam berusia lima puluhan tahun yang bertubuh gendut pendek, kalau berjalan seperti sebuah bola menggelinding. Wajahnya bulat seperti boneka, akan tetapi sepasang matanya membayangkan kecerdikan. Dia mengerutkan alisnya yang hanya beberapa lembar dan bersungut-sungut,
"Hemm, apanya yang celaka itu? Engkau seperti monyet kebakaran jenggot."
"Bong Taijin, tadi hamba mendengarkan percakapan antara Sribaginda dengan Liu Siong Ki dan isterinya. Ternyata di utara sana Sribaginda mempunya seorang putera dan beliau sudah berjanji kepada Liu Siong Ki bahwa kalau puterana itu datang akan diberi kedudukan pangeran!"
"Ah benarkah?"
Bong Thaikam terbelalak dan mukanya berubah pucat.
"Ceritakan yang jelas!"
Thaikam itu lalu bercerita tentang semua percakapan yang dapat didengarnya antara Kaisar dan Liu Siong Ki dan isterinya. Setelah Thaikam itu selesai bercerita, Bong Thaikam berjalan hilir mudik di ruangan itu.
"Harus cepat ambil tindakan! Harus sebelum terlambat!"
Berulang-ulang dia berkata kepada diri sendiri. Pada waktu itu, kekuasaan kaisan sebagian besar dipengaruhi oleh Bong Thaikam. Dan Bong Thaikam bahkan sudah merencanakan siapa kelak pengganti Kaisar, yaitu dipilihnya seorang pangeran yang kiranya kelak akan dapat dia pengaruhi seperti Ayahnya. Kini muncul seorang pangeran baru, dari utara. Kalau sampai pangeran baru ini dapat merebut kedudukan putera mahkota, celakalah dia dan para sekutunya!
"Cepat sediakan perabot tulis!"
Katanya kepada para pembantunya dan tak lama kemudian Thaikam kepala itu telah menulis beberapa buah surat. Dia lalu memanggil Thaikam pengawal dan memberi perintah dengan bisik-bisik agar Thaikam pengawal itu mengirimkan tiga buah surat itu. Sebuah dilayangkan kepada Gubernur di Lok-yang, yang kedua kepada Panglima Coa di kota raja dan yang ketiga kepada seorang Tabib terkemuka yang sudah lama menjadi anteknya. Pada malam harinya, tiga orang itu mengadakan pertemuan dengan Bong Thaikam di sebuah kamar rahasia di rumah pribadi Thaikam itu, mengatur siasat mereka. Persekutuan rahasia antara Bong Thaikam, Gubernur Cen di Lok-yang, Panglima Coa di kota raja dan Tabib Loa itu merupakan persekutuan untuk menguasai Kaisar yang bertahta, agar Kaisar selalu berada di bawah pengaruh mereka sehingga kekuasaan mereka amat besar.
Bong Thaikam sudah mendekati pangerang sulung, yaitu pangeran Chu Jian Shen atau juga disebut pangeran mahkota karena dialah yang akan menggantikan kedudukan Ayahnya kelak. Bong Thaikam sudah mulai mendekati putera Kaisar ini sejak pangeran itu masih kecil sehingga pangeran Cu Jian Shen amat percaya kepada Thaikam kepala ini. Kini merasa ada muncul ancaman kalau putera Kaisar yang berdarah Mongol itu masuk istana, mereka lalu merencanakan untuk mengatur agar penggantian kedudukan Kaisar dapat dilakukan. Kalau Kaisar telah diganti oleh Pangeran Cu Jian Shen, tentu akan mudah sekali mencegah masuknya pangeran berdarah Mongol itu. Liu Siong Ki dan Chi Li merasa berbahagia sekali akan sikap Kaisar Ceng Tung yang ternyata sedikitpun tidak merasa cemburu.
Bahkan hampir setiap hari Kaisar mengajak mereka pesta di taman, dihibur oleh para penari dan penyanyi istana. Telah dua pekan mereka menjadi tamu istana. Malam ini mereka sudah siap berkemas karena besok mereka akan melanjutkan perjalanan mereka mencari Sin Lee. Akan tetapi ketika pada keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka bangun dan bersiap-siap mereka dikejutkan oleh berita yang dibawa oleh Thaikam bahwa Kaisar sakit keras! Tentu saja suami isteri ini menjadi terkejut dan heran. Baru semalam Kaisar masih berbincang-bincang dengan sehat gemira dengan mereka, bagaimana mungkin secara tiba-tiba saja pagi ini menderita sakit keras? Cepat suami isteri itu lalu pergi ke ruangan dalam, untuk menjenguk Kaisar dalam kamar peraduannya. Akan tetapi tiba di luar pintu kamar, mereka dihadang oleh para pengawal.
"Apakah kalian tidak mengenal kami?"
Tegur Chi Li.
"Kami adalah tamu-tamu dan sahabat Sribaginda Kaisar yang sudah dua pekan tinggal di sini!"
Kami harus menjenguk keadaan Sribaginda yang kabarnya menderita sakit."
"Maaf, toanio. Akan tetapi, Sribaginda sedang sakit keras dan kami hanya mentaati perintah Bong Taijin untuk melarang siapapun juga datang menganggu Kaisar. Kaisar perlu beristirahat total,"
Jawab kepala pengawal. Anehnya, tidak seperti biasa, sekali ini yang melakukan penjagaan di depan kamar itu banyak sekali pengawal, tidak kurang dari dua puluh orang, sedangkan biasanya hanya tiga atau empat orang saja.
"Ciangkun,"
Kata Liu Siong Ki kepada kepala pengawal.
"harap engkau suka berbaik hati untuk melapor ke dalam. Percayalah, kalau Sribaginda Kaisar tahu bahwa kami yang datang menghadap, tentu beliau akan suka menerima kami!"
"Kami... kami tidak berani, kami hanya menaati perintah saja,"
Kata Panglima pengawal itu.
"Bong Taijin telah memesan dengan tegas..."
"Pada saat itu, pintu terbuka dan muncullah Bong Thaikam. Pembesar yang gendut pendek ini mengerutkan alisnya ketika melihat Liu Siong Ki dan Chi Li di situ.
"Ada apakah ribut-ribut di luar kamar ini? Sudah kupesan agar jangan ribut karena Sribaginda sakit dan tidak suka diganggu!"
Bentaknya. Liu Siong Ki dan Chi Li lalu maju memberi hormat.
"Taijin, kami ingin menjenguk Sribaginda. Kalau beliau tahu, tentu akan suka menerima kami."
"Ah, Liu Taihiap. Maafkan, pada saat ini Sribaginda tidak mungkin diganggu. Beliau sakit keras dan sedang tidur, sama sekali tidak boleh diganggu."
"Akan tetapi, Bong Taijin, kami mengerti sedikit tentang ilmu pengobatan!"
Bantah Chi Li.
"Biarlah kami melakukan pemeriksaan terhadap beliau, siapa tahu kami akan dapat mengobati dan menyembuhkan."
"Ah, tidak mungkin, nyonya. Saat ini Sribaginda sedang diperiksa dan dirawat oleh Tabib Loa, yaitu Tabib istana yang merupakan Tabib terpandai di seluruh negara."
"Tapi, apa salahnya kalau sebagai sahabat-sahabat baik Sribaginda kami ikut memeriksa?"
Bantah Liu Siong Ki.
"Siapa tahu kalau-kalau Sribaginda keracunan. Karena semalam masih berpesta dan bercengkerama dengan kami."
"Tidak, Taihiap. Menurut Tabib Loa, Sribaginda mempunyai kelemahan pada jantungnya dan karena terlalu sering bergadang, maka beliau mendapat serangan jantung. Kalau Taihiap melakukan pemeriksaan tentu akan menyinggung perasaan Tabib Loa seolah-olah kita tidak percaya kepadanya."
Melihat ketegasan dan kekerasan thaikiam yang memang berkuasa dalam istana, maka suami isteri itu terpaksa mengundurkan diri. Akan tetapi merekapun tidak jadi meninggalkan istana karena tidak enak mereka pergi tanpa pamit kepada Kaisar. Selama menanti itu, mereka selalu merasa tegang dan tidak enak hati, juga curiga karena istana dijaga keras oleh pengawal-pengawal baru, yang kabarnya merupakan anak buah Panglima Coa, seorang Panglima di kota raja. Dan tidak ada kabar sama sekali tentang keadaan Kaisar. Yang boleh mendekati Kaisar hanyalah Tabib Loa, Bong Thaikam dan keluarga Kaisar. Dan pada tiga hari kemudian, dengan hati terkejut bukan main Liu Siong Ki dan Chi Li mendengar berita bahwa Kaisar Ceng Tung telah meninggal dunia! Chi Li menangis dalam kamarnya dan Liu Siong Ki mengepal tinju saking penasaran.
"Ini mencurigakan sekali!"
Katanya kepada isterinya.
"Aku yakin bahwa ada permainan kotor di sini."
"Kita harus memeriksa jenazahnya,"
Kata Chi Li sambil menyusut air mata.
"Aku juga curiga bahwa beliau diracuni orang. Tiga hari yang lalu masih segar bugar, tiga hari kemudian sudah meninggal dunia. Ini tidak mungkin!"
"Tenanglah, isteriku. Kita memang harus melakukan penyelidikan. Akan tetapi, harus hati-hati karena kalau kita hendak memeriksa jenazah secara terang-terangan tentu tidak diperbolehkan. Sedangkan ketika masih hidup saja tidak boleh, apa lagi setelah meninggal. Malam ini kita bergerak. Aku curiga kepada Thaikam yang gendut itu."
Malam itu, setelah lewat tengah malam Liu Siong Ki dan Chi Li mengenakan pakaian ringkas dan memakai pula penutup muka dengan sehelai kain, kemudian berindap-indap mereka menuju ke ruangan di mana diletakkan peti mati Kaisar.
Tempat itu luas dan sunyi karena hari sudah jauh malam. Beberapa orang Thaikam yang berjaga di situ sudah melenggut. Di bagian luar ruangan itu terdapat dua losin pengawal. Liu Siong Ki yang mengintai dengan isterinya melihat bahwa yang berjaga di dalam ada lima orang Thaikam. Lima orang ini harus mereka tangani lebih dulu sebelum mereka dapat melakukan pemeriksaan terhadap peti mati Kaisar. Setelah membuat perhitungan cermat, mereka menyusup masuk ke dalam ruangan itu. Chi Li mendapat bagian dua orang Thaikam sedangkan yang tiga lainnya bagian Liu Siong Ki. Suami isteri itu bergerak cepat sekali. Bagaikan dua sosok bayangan hitam mereka telah berhasil menotok lima orang Thaikam itu tanpa mereka ketahui, membuat mereka tertotok pingsan dalam keadaan rebah atau duduk. Setelah itu barulah mereka menghampiri peti mati.
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo