Pendekar Muka Buruk 4
Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Segera setelah hari menjadi siang, persoalan ini dilaporkan kepada yang berwajib dan karena pelapornya adalah Lo-Wangwe, seorang hartawan besar, pembesar itu tidak mengusut lebih jauh dan perintahkan untuk mengubur jenazah hwesio jahat itu. Lo-Wangwe suka sekali kepada Lie Bun dan gurunya. Ia memaksa mereka bermalam dan tinggal di rumahnya beberapa lama. Sebenarnya Kang-lam Koay-hiap hendak menolak, tapi melihat wajah Lie Bun yang berbeda dari pada biasa itu, ia merasa kasihan dan bermalam di situ selama dua malam. Pada keesokan harinya, ketika Kang-lam Koay-hiap sedang duduk minum arak dengan Lo-Wangwe yang sangat menghargainya itu, Lie Bun secara iseng-iseng memasuki taman bunga di pinggir gedung. Taman bunga itu luas sekali dan ketika ia berjalan menikmati bunga-bunga yang mekar indah, tiba-tiba ia mendengar suara Kwei Lan bernyanyi perlahan.
Ia cepat bersembunyi di belakang gerombolan bunga dan dari jauh tampak dara itu bernyanyi-nyanyi kecil memasuki taman. Ketika tiba di dekat empang ikan, di mana terdapat sebuah meja dan empat kursi, gadis itu duduk. Ternyata bahwa Kwei Lan sedang membawa kipas dan perabot tulis telah tersedia lengkap di atas meja itu. Gadis ini termenung dan hentikan nyanyiannya, karena agaknya ia hendak menulis syair di atas kipas itu. Sambil termenung, dia melihat ke arah air yang jernih dan memandang ikan-ikan yang sedang berenang kesana kemari. Tiba-tiba ia melihat sepasang ikan sisik emas berenang berdampingan, tapi ketika tiba di depannya, sepasang ikan itu berpisah, yang berekor merah ke kanan dan yang berekor kuning ke kiri. Pemandangan ini membuat Kwei Lan sadar dari lamunannya dan ia mulai menulis dengan huruf-huruf kecil di atas kipasnya.
Sepasang ikan bercerai
Seekor ke kanan, seekor ke kiri...
Sampai disini, ia termenung kembali...
"Ah!"
Pikirnya, kenapa syair di mulai dengan peristiwa menyedihkan? Tiba-tiba ia mendengar suara kaki orang menginjak daun kering, ia menengok dan tersenyum.
"Lie-inkong kau datang? Duduklah...!"
Lie Bun kikuk dan malu sekali. Gadis itu demikian cantik, demikian bersih dan indah pakaiannya.
"Siocia... janganlah sebut aku inkong, tak pantas bagiku. Aku... aku tak sengaja mengganggumu di sini. Maafkan aku."
Kwei Lan tersenyum, ia suka melihat kejujuran dan kehalusan watak pemuda yang bertampang buruk itu. Bagi Kwei Lan, tampang yang buruk itu tidak menjijikan, karena ia dapat menangkap sinar mata yang lembut dan selain kulitnya rusak karena cacar, sebetulnya pemuda itu mempunyai potongan wajah dan tubuh yang gagah.
"Tidak apa, Lie-Twako, kau duduklah! Aku sedang bingung bagaimana harus melanjutkan bunyi syairku ini."
Gadis itu lalu memberikan kipasnya kepada Lie Bun. Pemuda itu membacanya dan iapun tidak tahu bagaimana harus menyambung syair itu. Ia dulu hanya sebentar belajar sastra, yakni sebelum ia ikut suhunya merantau.
"Aku seorang bodoh, nona. Tak mengerti tentang syair. Tapi syairmu ini menyedihkan. Bukankah lebih baik kalau kipasmu ini digambari saja?"
Wajah Kwei Lan berseri.
"Kau pandai melukis? Ah, alangkah baiknya itu! Kau pandai melukis apa, Lie-Twako?"
"Apa saja, yakni binatang-binatang atau apa saja yang bernyawa dan hidup dan dapat bergerak. Melukis bunga-bunga dan gunung aku tak dapat."
"Binatang?"
Kwei Lan mengerutkan kening dan garuk-garuk belakang telinga. Ia tadinya mengharapkan untuk digambarkan bunga yang indah dan cantik. Tapi tiba-tiba ia berseri kembali.
"Kau tadi katakan bahwa kau dapat melukis segala yang bernyawa? Kalau begitu kau dapat melukis orang?"
"Sedikit-sedikit akan kucoba,"
Kata Lie Bun. Gadis itu melompat turun dari duduknya dan hampir menari kegirangan.
"Kalau begitu kau harus melukis aku di atas kipasku ini!"
Pikiran ini juga menggembirakan hati Lie Bun. Segera ia angkat meja dan sebuah kursi menjauhi Kwei Lan serta minta gadis itu duduk di dekat empang. Lalu ia gunakan pit untuk melukis gadis itu di atas kipas putih yang baru ditulis sedikit. Tak lama kemudian selesailah lukisan itu. Kwei Lan girang sekali karena lukisan itu biarpun sederhana, tapi jelas menggambarkan wajahnya yang cantik jelita.
"Tapi sebelah belakang kipas ini masih kosong,"
Kata Kwei Lan.
"Apakah kau suka membuat sebuah lukisan lain lagi?"
"Aku hanya dapat membuat lukisan binatang atau..."
"Apa saja yang dapat bergerak?"
Kwei Lan melanjutkan.
"Nah, kau boleh melukis... orang lain. Kau sendiri, misalnya..."
"Melukis aku sendiri? Tapi... aku tak dapat melihat rupaku, nona."
"Mudah saja, kau dapat bercermin di air empang."
Karena di desak berkali-kali, Lie Bun lalu duduk di pinggir empang dan ia mulai melukis dirinya sendiri, mencontoh bayangannya di dalam empang. Asyik sekali ia melukis hingga ia tidak tahu bahwa Kwei Lan telah berdiri di belakangnya dan ikut melihat lukisan itu. Di situ terlukis wajahnya dengan bagus sekali, memang raut mukanya gagah dan tampan. Mata Lie Bun bersinar-sinar gembira, tapi tiba-tiba ia melihat ke dalam air dan teringat akan sesuatu. Kerongkongannya mengeluarkan isak tertahan dan dengan cepat ia gunakan ujung pit untuk membuat totol-totol hitam di muka lukisannya itu.
"Twako...!"
Kwei Lan menjerit kecil sambil tak sengaja menyentuh pundak Lie Bun. Pemuda itu menengok dan Kwei Lan melihat betapa kedua mata pemuda itu basah air mata.
Lie Bun segera banting pitnya dan lari tinggalkan Kwei Lan yang masih berdiri termangu memandang lukisan di balik kipasnya. Lukisan seorang pemuda yang bermuka hitam totol-totol buruk sekali. Ia menghela napas dan memungut kipas itu. Kemudian lama sekali ia memandang kedua lukisan itu. Lukisan gambarnya sendiri dan gambar pemuda yang telah menolongnya itu. Kemudian ia tutup kipas itu dan menyimpannya dibalik lipatan lengan bajunya. Setelah menghaturkan terima kasih kepada tuan rumah atas kebaikan dan keramah tamahannya, kedua guru dan murid itu berpamit dan melanjutkan perantauan mereka. Lie Bun merasa seakan-akan jiwanya tertinggal di taman bunga yang indah itu dan semenjak melangkah keluar dari gedung Lo-Wangwe, ia merasa tak gembira dan pendiam. Suhunya tahu akan perubahan muridnya, maka ia bertanya.
"Lie Bun, agaknya kau mengalami sesuatu di gedung Lo-Wangwe."
Lie Bun terkejut dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak apa-apa, suhu!"
Biarpun suaranya tetap dan gelengan kepalanya keras, namun ia tidak berani menentang pandangan mata suhunya. Kang-lam Koay-hiap tersenyum dan angkat pundaknya. Ia maklum akan hati seorang muda dan menganggap hal ini wajar. Tapi ia merasa iba kepada muridnya yang berwajah buruk ini. Ia maklum bahwa wajah muridnya ini agaknya tak memungkinkan ia untuk dapat hidup berkasih-kasihan dengan seorang wanita cantik. Maka diam-diam ia menghela napas dan menyedihkan keadaan muridnya yang ia cinta sepenuh hatinya, bagaikan cinta seorang ayah terhadap putera sendiri. Dua tahun kemudian, di dalam perantauannya Kang-lam Koay-hiap telah mengajak muridnya menjelajah hampir seluruh Tiongkok Timur sampai ke pantai laut.
Kemudian mereka kembali ke barat karena kakek pengemis itu berpikir bahwa kini kepandaian Lie Bun sudah cukup masak dan sudah tiba saatnya pemuda itu kembali kepada orang tuanya. Ia ingin menyerahkan anak muda itu kepada Lie-Wangwe dan menyatakan terima kasihnya atas kepercayaan wan-gwe itu, karena dengan ikutnya Lie Bun merantau menjadi muridnya, maka orang tua yang hidup sebatang kara itu merasa sangat terhibur dan merasa hidupnya mempunyai tujuan dan cita-cita, yakni menggembleng Lie Bun menjadi seorang yang berguna. Tapi malang baginya, ketika mereka berdua sampai di kota Tembok, Kang-lam Koay-hiap yang terkenal gagah perkasa dan berkepandaian tinggi itu terpaksa menyerah dengan kekuasaan alam dan ia menderita sakit.
Tubuhnya panas sekali dan kepalanya selalu pening hingga ia tak kuat bangun. Lie Bun menjaganya dengan teliti sekali, bahkan dengan uang simpanan ia membeli obat di warung obat dalam usahanya menolong suhunya. Seminggu lamanya Kang-lam Koay-hiap yang kosen itu menggeletak di emper sebuah kelenteng dengan lemas tak berdaya sama sekali dan tidak mau makan, hanya menerima sedikit minum yang disediakan oleh muridnya. Lie Bun sendiri tidak mempunyai selera untuk makan karena hatinya sedih dan cemas sekali melihat keadaan suhunya. Setelah lewat sepekan, penyakit yang mengganggu tubuh Kang-lam Koay-hiap berangsur-angsur mengurang dan ia sudah mulai suka makan hidangan yang disediakan oleh Lie Bun.
"Muridku, tubuhku yang telah tua dan lemah ini agaknya tidak kuat menandingi semangatku yang masih kuat dan gembira. Kalau kupaksa-paksa tentu aku akan semakin menderita. Mulai besok, kita akan langsung menuju ke kotamu dan pulanglah ke rumah orang tuamu. Ingatkah kau, sudah berapa lama kau tinggalkan rumah orang tuamu? Karena gembira melihat suhunya telah sembuh, Lie Bun menjawab sambil tersenyum.
"Kurang lebih tujuh tahun, suhu, karena dulu teecu baru berusia sebelas tahun dan sekarang sudah hampir delapan belas tahun."
"Perjalanan kita sudah jauh juga hingga waktu lewat tidak terasa lagi. Dari sini ke kotamu masih membutuhkan waktu perjalanan sedikitnya setengah bulan. Tapi dalam keadaan tubuhku seperti sekarang ini, mungkin dalam satu bulan baru bisa sampai."
"Tidak apa, suhu. Teecu sabar menanti. Apakah artinya satu atau dua bulan setelah berpisah selama tujuh tahun?"
Kang-lam Koay-hiap mengangguk-angguk.
"Kau benar, muridku. Jadi orang harus sabar, harus sabar sekali..."
Lie Bun heran melihat sikap suhunya. Agaknya penyakit itu telah mendatangkan perubahan besar kepada gurunya yang tadinya bersemangat kini menjadi lemah. Kemudian ia tinggalkan gurunya untuk mencari hidangan malam. Karena ia masih ada simpanan uang, maka ia membeli masakan dari rumah makan. Ia tahu bahwa sehabis sembuh dari penyakitnya, suhunya tentu ingin sekali makan enak. Juga ia membeli arak wangi satu guci penuh. Dengan hati girang Lie Bun yang setia dan menyinta gurunya itu lari kembali ke kelenteng rusak. Ia sengaja ambil jalan di atas genteng agar dapat lari lebih cepat lagi.
Tapi alangkah kagetnya ketika ia loncat turun dari atas genteng kelenteng. Ternyata gurunya sedang bertempur hebat melawan tiga orang. Dan suhunya terdesak hebat sekali oleh ketiga musuh yang tangguh itu. Lie Bun banting makanan yang dipegangnya dan cepat sekali ia menyerbu dengan marah sekali ke dalam medan pertempuran. Ternyata olehnya bahwa yang mengeroyok gurunya adalah dua orang berusia kurang lebih empat puluh tahun dan seorang hwesio gundul yang bertubuh kate dan gemuk. Kepandaian dua orang setengah tua itu tidak begitu hebat walaupun pedang mereka cukup cepat, tapi yang hebat ialah hwesio kate gemuk itu. Biarpun hwesio itu hanya bertangan kosong, tapi jelas bahwa kepandaian si kepala gundul itu tidak berada di bawah kepandaian Kang-lam Koay-hiap sendiri. Karena ini maka Lie Bun menyerang dengan hebat dua orang yang bersenjata pedang.
"Lie Bun, kau gempurlah dua tikus ini!"
Yang dimaksud dua tikus adalah dua orang yang bersenjata pedang itu, maka Lie Bun lalu lepas ikat kepalanya dan menyerang dengan benda itu. Lie Bun telah maju pesat ilmu silatnya, juga ia telah banyak mengalami pertempuran selama ikut suhunya merantau, maka ia dapat melayani kedua orang itu dengan baik. Biarpun ia bersenjata ikat kepala tapi karena ikat kepala itu panjang dan lemas dan digunakan dengan tenaga lweekang, maka ganas dan kuatnya tidak kalah dengan pedang lawannya.
Bahkan dengan ikat kepala itu ia mencoba untuk membelit pedang lawan dan merampasnya. Sementara itu, Kang-lam Koay-hiap melayani hwesio pendek gemuk yang sangat lihai itu. Mereka sama-sama mahir dan ahli lweekeh yang tinggi ilmu silatnya, hingga pertempuran mereka merupakan pertempuran yang mati-matian. Sayang sekali bahwa tubuh Kang-lam Koay-hiap yang baru saja sembuh dari sakit itu masih lemah dan setelah bertempur ratusan jurus, Kang-lam Koay-hiap merasa lelah sekali dan kepalanya mulai pening. Agaknya penyakit yang telah sembuh itu kambuh lagi. Lie Bun memang tahu bahwa suhunya masih lemah, maka ia menaruh perhatian sekali dan sambil bertempur ia selalu melirik ke arah suhunya. Untung baginya bahwa kedua lawannya tidak merupakan lawan terlalu berat hingga ia dapat bagi perhatiannya.
Ketika melihat betapa suhunya telah mandi keringat dan tampak pucat dan lelah sekali, Lie Bun sangat khawatir. Ia hendak membantu, tapi kedua lawannya cepat mendesak. Dengan marah sekali, Lie Bun lalu berseru keras dan berhasil membelit pedang seorang lawan dengan ikat kepalanya lalu menariknya. Pedang itu dapat terampas dan Lie Bun segera gunakan pedang rampasan untuk mengamuk kepada kedua pengeroyoknya. Biarpun keduanya cukup tangguh, tapi karena Lie Bun berkelahi dengan penuh semangat terdorong oleh kekhawatirannya akan keselamatan suhunya, sebentar saja ia berhasil menusuk dada seorang lawan hingga roboh binasa. Musuh kedua sebelum dapat berbuat banyak, telah kena tendang lambungnya hingga terlempar dua tombak lebih dan tak dapat bangun lagi, hanya merintih-rintih di atas tanah.
Setelah merobohkan kedua lawannya, Lie Bun cepat berbalik dan membantu gurunya. Pada saat itu, Kang-lam Koay-hiap telah lelah dan payah sekali. Dua kali ia kena pukul pada dada kanan dan pundaknya. Tapi biarpun kedua pukulan hebat itu telah melukainya di sebelah dalam, berkat keuletannya kakek kosen ini masih saja tidak mau menyerah kalah dan terus melawan dengan tekad bulat. Lie Bun dengan gemas sekali gunakan pedangnya menyerang hwesio yang lihai itu. Melihat betapa serangan anak muda yang telah merobohkan kedua kawannya ini berbahaya sekali, hwesio kate menjadi terkejut. Ia merasa bahwa kini ia menghadapi dua lawan yang tangguh sekali dan berbahaya sekali kiranya kalau ia melawan terus.
"Kang-lam Koay-hiap, kau telah mendapat luka dalam dan jangan mati penasaran. Kalau kau tidak mampus dalam pertandingan ini dan dapat sembuh, datanglah kau ke Thian-siang dan kita lanjutkan pertempuran ini!"
Setelah berkata demikian, hwesio kate gemuk ini cepat meloncat ke atas genteng dan menghilang dalam gelap. Lie Bun hendak mengejar, tapi Kang-lam Koay-hiap berkata lemah.
"Lie Bun... jangan...!"
Kemudian tubuh kakek itu menjadi limbung dan terhuyung-huyung, kemudian roboh sambil semburkan darah segar dari mulutnya.
"Suhu...!"
Lie Bun lempar pedangnya dan loncat menubruk lalu memondong tubuh suhunya ke tempat bersih. Kang-lam Koay-hiap tersenyum.
"Aku puas muridku. Kau telah cukup kuat dan tidak kalah gesit dengan aku ketika masih muda."
"Suhu, suhu... bagaimanakah rasanya? Kau mendapat luka di mana?"
Lie Bun tanya dengan penuh kekhawatiran, sama sekali tidak memperhatikan pujian suhunya.
"Aku... aku mendapat luka... dua kali, yang terakhir hebat sekali..."
Kemudian ia geleng-geleng kepala.
"Bok Bu Hwesio itu memang lihai..."
"Teecu akan mencarinya, suhu! Teecu akan mengadu jiwa dengannya!"
Lie Bun gemas.
"Tahukah kau siapa yang kau robohkan tadi? Mereka adalah Siong Gak dan Siong Gi kedua murid dari Kiu-thou Lo-mo yang dulu mencari ayahmu dan kubinasakan di atas rumah orang tuamu dulu! Kini kedua murid itu mencari aku dan membalas dendam gurunya. Mereka belajar silat lagi kepada Bok Bu Hwesio dan berhasil ajak suhunya yang baru ini untuk menjatuhkan aku! Tapi mereka sendiri jatuh dalam tanganmu. Ah... balas membalas...agaknya hukum karma terjadi cepat sekali. Lebih baik begitu, Lie Bun. Hutangku lunas sudah! Kau tak perlu mencari Bok Bu Hwesio untuk membalas sakit hati. Aku tidak merasa sakit hati padanya. Ingat! Kau tak boleh mencari dia untuk membalas dendam! Kalau kau bertempur dengan dia karena urusan lain, apa boleh buat. Tapi jangan sekali-kali karena membalas dendam. Jangan kau ikat dirimu dengan rantai karma, muridku..."
(Lanjut ke Jilid 04)
Pendekar Muka Buruk/Ouw Bin Hiap Kek (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
Karena keadaannya memang payah sekali ditambah ia telah mengumpulkan tenaga terakhir untuk memberi wejangan ini, sehabis bicara, Kang-lam Koay-hiap muntahkan darah lagi dan napasnya empas-empis. Lie Bun terkejut sekali, tapi ia tidak berdaya, hanya airmatanya saja menitik turun dan ia gunakan tangannya mengurut-urut dada suhunya. Biarpun keadaannya sangat parah, tapi guru yang sangat menyinta muridnya itu gunakan waktu semalam penuh untuk mengatur napas dan kekuatannya untuk memberi nasehat-nasehat dan wejangan-wejangan penting kepada muridnya. Lie Bun dengan terharu sekali bersumpah hendak menjujung tinggi semua nasehat suhunya dan hendak menjaga nama suhunya sampai akhir hayat. Agak lega tampaknya orang tua itu, mendengar sumpah Lie Bun. Kemudian sambil pegang pundak muridnya yang berlutut di sebelahnya, Kang-lam Koay-hiap berkata lirih.
"Lie Bun, jangan kau membohong pada gurumu. Agaknya kau tidak dapat melupakan puteri dari Lo-Wangwe, bukan? Aku telah beberapa kali melihat kau diam-diam melukis wajah gadis itu di atas tanah. Lie Bun, jangan kau lemah dan menyerah terhadap perasaan itu. Bukankah kau laki-laki? Kau pulanglah dan mintalah orang tuamu untuk melamar gadis itu, kalau kau setuju. Orang tuamu cukup kaya untuk melamar anak Lo-Wangwe. Tapi pesanku, jangan hanya mengutamakan kebagusan lahir dalam perkawinan, muridku. Kebahagiaan suami isteri tidak tergantung dari wajah tampan dan cantik! Kau perhatikan ini baik-baik!"
Lie Bun merasa terharu sekali. Sungguh suhunya seorang guru yang mulia dan sangat memperhatikan muridnya seperti kepada anaknya sendiri. Hal-hal yang begitu dirahasiakan dapat juga diketahuinya.
Menjelang fajar, Kang-lam Koay-hiap, kakek gagah perkasa yang selama hidupnya sengaja menjadi pengemis, hiapkek budiman yang telah banyak sekali melepas budi kebaikan menolong sesama hidup, menghembuskan napas terakhir hanya di jaga oleh Lie Bun, muridnya yang menangis sedih sambil peluki mayat gurunya yang tercinta itu. Betapapun juga kakek pengemis itu boleh merasa bangga dan puas karena setidaknya ada seorang yang dengan tulus menangisi kepergiannya, tidak seperti tangis-tangis yang sering terdengar pada upacara-upacara kematian. Karena kelenteng itu kosong dan tiada penghuninya, maka Lie Bun lalu menggali tanah di pekarangan kelenteng sebelah belakang dan dengan penuh khidmat ia kubur jenazah suhunya baik-baik. Kemudian Lie Bun berangkat menuju ke kota Bi-ciu di mana ayah dan ibunya tinggal. Ia telah mendapat petunjuk dari suhunya jalan mana yang harus di tempuh untuk menuju ke kota itu. Tongkat bambu suhunya ia bawa.
Ia tempuh perjalanan dengan cepat dan hanya berhenti bila mana perlu saja hingga lima hari kemudian, ia telah tiba di kota Tong-kwang yang ramai karena kota di tepi sungai Lung-kiang ini memang terkenal dengan perdagangan dan hasil bumi. Karena Lie Bun masih melanjutkan kebiasaan suhunya, yakni mengemis, maka ia mengikuti orang banyak yang menuju ke satu jurusan. Ia duga tentu ada tempat yang ramai hingga orang-orang itu pergi ke sana. Tidak tahunya, orang-orang itu menuju ke rumah Ong-tihu yang penuh dengan para tamu. Tihu ini sedang merayakan pesta ulang tahunnya dan tentu saja sebagai seorang pembesar berpengaruh, ia mempunyai banyak kenalan dan yang hadir dipesta itu terdiri dari orang-orang gagah dan para pejabat pemerintahan. Melihat ini, Lie Bun sudah hendak pergi lagi, tapi tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh seorang laki-laki yang berkata kepada kawannya.
"Pertandingan silat nanti tentu hebat dan ramai."
"Ah, aku sih tidak ingin menonton silatnya hanya ingin melihat keindahan wajah dan bentuk badan Ong-Siocia kalau sedang bersilat,"
Jawab kawannya.
"Hush! Jangan keras-keras, kalau terdengar oleh mereka, kau akan celaka!"
Mendengar akan diadakan pertandingan silat, Lie Bun menjadi tertarik sekali dan ia mendesak maju.
Ternyata di ruang depan yang penuh tamu itu, ditengah-tengah telah dibangun sebuah panggung rendah untuk bermain silat. Tapi berbeda dengan panggung-panggung lui-tai yang biasa, panggung ini selain rendah juga dihias segala macam bunga-bunga kertas yang indah dan beraneka warna hingga kehilangan sifat menyeramkan yang ada pada panggung tempat mengadu kepandaian yang umum. Lie Bun merasa heran dan ingin tahu orang macam apakah yang akan bertanding di atas panggung macam itu. Tak lama kemudian, terdengar tepuk orang ramai dari para tamu dan dari dalam keluarlah seorang gadis berpakaian merah. Lie Bun kagum melihat kecantikan gadis itu dan pakaian gadis yang sangat mewah dan indah itu menambah kecantikannya. Sebatang pedang bersarung merah pula tergantung di pinggangnya.
Biarpun ia harus akui bahwa gadis itu cantik sekali, namun lirikan mata dan senyumannya mendatangkan rasa tidak suka dalam hati Lie Bun. Gadis genit dan manja, pikirnya. Ong-tihu memperkenalkan puterinya kepada para tamu dan kemudian setelah menjura kepada semua tamu, Ong-Siocia loncat ke atas panggung dan mulai bersilat dengan tangan kosong. Gerakan-gerakannya memang indah dan lemas hingga mengagumkan mereka yang menonton, sedangkan Lie Bun diam-diam merasa tertarik sekali karena ilmu silat gadis itu bukanlah ilmu silat yang rendah. Apalagi setelah Ong-Siocia cabut pedangnya dan bersilat pedang, mau tidak mau Lie Bun kagum juga. Ia tahu bahwa ilmu pedang gadis itu adalah dari cabang Hwa-san yang telah bercampur dengan lain cabang. Tapi geraknya terlatih sempurna hingga bukan saja indah di pandang, juga cukup lihai kalau dipakai bertanding.
Karena tempat itu berdiri agak jauh dari panggung, maka ketika Ong-tihu berkata sesuatu sebagai pengumuman. Ia tidak mendengar jelas. Kemudian Ong-Siocia menghentikan permainannya dan mundur ke dalam. Setelah itu berturut-turut tampil ke panggung orang-orang muda yang muncul dari para tamu. Mereka seorang demi seorang bersilat seorang diri. Orang pertama sampai ketiga hanya memiliki kepandaian silat rendah saja maka setelah mereka bersilat, mereka dipersilahkan turun kembali. Tapi orang keempat yang bersilat dengan ilmu silat cabang Siauw-lim, agaknya menarik hati Ong-Siocia yang menonton dari sebelah dalam. Ia lalu keluar dan setelah saling hormat, keduanya lalu bertanding silat. Kini mengertilah Lie Bun bahwa anak gadis Ong-tihu itu sombong sekali dan ingin memperlihatkan kelihaiannya.
Agaknya gadis baju merah itu sengaja memilih orang-orang yang agak tinggi kepandaiannya untuk dijajal. Yang berkepandaian rendah tidak menerima penghormatan untuk beradu tangan dengannya. Ia tidak tahu sama sekali bahwa di samping ini, gadis itu mempunyai maksud lain. Gadis yang dimanja ayahnya ini sebenarnya sedang memilih-milih seorang pemuda yang sekiranya pantas menjadi pasangannya. Telah berkali-kali ia dilamar orang, tapi selalu ditolaknya. Hal ini diam-diam diketahui oleh para tamu. Maka pada kesempatan ini pemuda yang memiliki sedikit ilmu silat tentu tidak menyia-nyiakan waktu. Karena siapa tahu mereka akan "Kejatuhan bintang,"
Atau setidaknya mereka akan merasa puas kalau bisa bersilat bersama gadis juwita yang sombong itu. Karena menganggap bahwa gadis itu sombong dan jumawa, maka timbullah niat dalam hati Lie Bun untuk mencoba kepandaiannya.
Sementara itu, dengan mudah saja gadis baju merah itu dapat merobohkan lawannya yang pertama. Tempik sorak menyambut kemenangannya ini dan pemuda yang tertelentang jatuh hanya meringis kesakitan dan merangkak dari tempat itu menuju ke sebuah bangku. Maka pemuda-pemuda lain mulai bersilat pula. Setelah enam orang memperlihatkan kepandaiannya, pemuda ketujuh baru terpilih dan dianggap cukup pandai untuk melayani Ong-Siocia. Pemuda itu tampan dan gagah, tapi kepandaiannya juga masih jauh di bawah gadis itu hingga dalam beberapa puluh jurus saja ia terdesak hebat. Tapi anehnya, Ong-Siocia agak merasa kasihan untuk menjatuhkannya, maka beberapa kali ia hanya gunakan jari tangannya menowel dan menampar saja. Hal ini memang tak dapat terlihat oleh orang biasa, tapi bagi Lie Bun tampak jelas hingga diam-diam ia merasa jengah dan mukanya menjadi merah.
Ia anggap gadis itu terlalu sekali mempermainkan orang. Akhirnya pemuda itupun terdesak ke pojok dan loncat turun mengaku kalah. Setelah beberapa pemuda naik dan tidak diterima, yakni tidak dianggap cukup pandai, Lie Bun tak dapat menahan dorongan hatinya lagi. Ia loncat secepat kilat hingga tak ketahuan orang dan tahu-tahu ia telah berada di atas panggung setelah pemuda kedelapan turun. Orang-orang merasa heran melihat dia. Dari mana datangnya pemuda pengemis ini? Memang keadaan Lie Bun sangat ganjil. Di antara orang-orang yang berpakaian mewah dan gagah, ia tampak lucu sekali. Bajunya penuh tambalan, celananya hanya sampai di bawah lutut, sedangkan kedua kakinya telanjang. Tiba-tiba terdengar bentakan halus dari dalam.
"Hai, pengemis busuk, siapa suruh kau naik ke panggung?"
Lie Bun berpaling ke arah Ong-Siocia yang memakinya itu dan makin gemaslah ia.
"Bukankah kau sedang mencari lawan yang tangguh?"
Tanya Lie Bun sambil tersenyum. Ong-Siocia membuang muka dan wajahnya yang cantik itu menjadi merah karena marah.
"Ha! Siapa sudi bersilat dengan kau yang buruk rupa dan kotor ini!"
Kata-kata itu menikam betul ulu hati Lie Bun. Ia tidak merasa sakit hati disebut buruk rupa karena ia memang telah maklum betapa mukanya tidak dapat disebut tampan. Tapi sikap gadis itulah yang memuakkan hatinya. Dengan sengaja ia berkata keras agar terdengar oleh semua tamu.
"Jadi ujian ini hanya diberikan kepada pemuda-pemuda cakap dan tampan belaka? Jadi Siocia hendak mengadu kepandaian hanya dengan pemuda-pemuda yang tampan saja, tak mau dengan pemuda yang buruk rupa? Eh, apa-apaan ini? Menguji kepandaian atau mengukur tampang?"
Ong-tihu mendamprat.
"Binatang! Dari mana datangnya pengemis hina yang berani mengacau? Hayo pergi, kalau tidak akan kuseret kau ke dalam penjara!"
Lie Bun menjura dengan senyum sindir.
"Memang beginilah seharusnya sikap seorang pembesar yang berkuasa. Garang terhadap seorang yang dianggapnya tidak berdaya. Baiklah kalau Siocia yang gagah perkasa itu takut melawan aku si buruk rupa. Biarlah ia melawan si muka tampan yang tidak becus apa-apa!"
Marahlah Ong-Siocia mendengar sindiran ini.
"Bangsat, kalau kau memang ada kepandaian, cobalah kau layani pedangku ini!"
Gadis itu lalu cabut pedangnya. Dengan sengit ia loncat ke arah panggung dan langsung mengirim serangan kilat. Lie Bun berkelit cepat dan berkata.
"Bagus!"
Kemudian ia layani gadis baju merah itu dengan tangan kosong. Memang hebat ilmu pedang gadis itu. Hanya sayang sekali kurang tenaga hingga ilmu silatnya itu ternyata hanya bagus ditonton saja. Lie Bun di dalam beberapa gebrakan saja maklum bahwa untuk menjatuhkan gadis ini bukanlah soal yang sukar baginya. Tapi ia masih merasa kasihan untuk mencelakakan atau membuat malu kepada gadis yang tiada hubungannya sedikitpun dengan dia itu.
Maka iapun bersilat meniru gerakan gadis itu hingga bagi para penonton kedua orang bersilat dengan indah dan lemasnya hingga mengagumkan para penonton yang sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pengemis muda itu demikian gagah dan lihai. Juga Ong-Siocia sendiri merasa terkejut sekali karena pemuda muka hitam ini tepat sekali meniru gerak-geriknya dan bersilat menurut pelajaran dari cabangnya sendiri. Tapi gerakan pemuda ini demikian cepat dan lihai hingga setiap serangan pedang dapat dikelitnya dengan lincah seakan-akan pemuda itu telah tahu sebelumnya ke mana pedangnya hendak menyerang. Setelah menyerang lebih dari lima puluh jurus tapi belum juga dapat merobohkan pemuda itu, gadis baju merah itu merasa penasaran dan malu.
Terang sekali bahwa ilmu silat pemuda ini jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Tapi sayang bahwa pemuda ini demikian buruk dan hitam wajahnya. Sedangkan pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang pengemis pula. Diam-diam Ong-Siocia merasa kecewa sekali. Pada suatu saat Ong-Siocia menyerang dengan tusukan kilat ke arah dada Lie Bun. Pemuda itu sengaja hendak memperlihatkan kepandaiannya. Ia tidak kelit tusukan itu, hanya miringkan tubuhnya sedemikian rupa hingga pedang itu tepat sekali menusuk bajunya dan menyerempet kulit dadanya sebelah kanan, tapi sama sekali tidak melukai kulitnya. Karena pedang itu tepat memasuki baju, maka baik gadis itu maupun semua penonton mengira bahwa pemuda itu dada kanannya kena tusuk hingga semua orang mengeluarkan seruan.
Untuk menghidupkan permainannya, Lie Bun pura-pura berteriak kesakitan dan gunakan dengan tangannya mengepit pedang itu. Ong-Siocia buru-buru cabut pedangnya karena bukan maksudnya membunuh orang. Tapi alangkah terkejutnya ketika pedang itu terasa seakan-akan terjepit tulang iga pemuda itu hingga tak dapat dicabut. Sementara itu, Lie Bun terhuyung-huyung mundur hingga terpaksa Ong-Siocia lepaskan pedangnya yang kelihatan masih menancap di dada kanan Lie Bun. Kemudian Lie Bun tertawa geli dan dengan tangan kiri cabut pedang itu. Semua orang memandang dengan mata melongo karena pedang itu tidak berwarna merah ujungnya seperti yang mereka sangka. Bahkan pemuda itu kini tertawa geli dan berkata.
"Aku mendengar orang berkata bahwa siapa yang dapat menangkan Ong-Siocia, maka ia akan mendapat hadiah luar biasa besarnya. Hadiah yang tak terbeli oleh harta di dunia ini. Tapi aku setelah dapat melawanmu bahkan mendapat hadiah pedang. Terima kasih, terima kasih! Harap saja Siocia rela memberikan pedang ini padaku, ataukah hendak kau minta kembali?"
Ia pegang ujung pedang dan mengangsurkannya kepada Ong-Siocia. Tapi gadis itu dengan merasa malu lalu lari ke dalam tanpa berkata apa-apa. Ong-tihu dengan diikuti beberapa orang pengawal bersenjata lengkap menghampiri Lie Bun hendak menangkapnya. Tapi pemuda itu berkata.
"Ong-tihu, tak usah repot-repot melayani aku. Aku bisa ambil sendiri hidangan-hidangan itu."
Dan dengan sikap yang lucu, Lie Bun loncat ke arah meja paling ujung, melewati kepala para tamu, hingga orang-orang yang duduk di meja ujung itu menjadi panik dan tinggalkan mejanya.
Lie Bun lalu duduk di atas sebuah bangku dan mulai makan minum dengan lahap. Karena memang semenjak pagi tadi belum makan dan perutnya merasa lapar sekali. Ong-tihu dengan wajah merah dan bersungut-sungut lalu memerintahkan para pengawal itu untuk mengejar Lie Bun. Tapi sambil bawa mangkok di tangan kanan dan pedang rampasan di tangan kiri, Lie Bun loncat melewati kepala mereka dan turun di ujung lain, lalu dududk di sebuah bangku melanjutkan makannya seakan-akan tiada terjadi apa-apa. Setelah beberapa kali loncat dan pindah-pindah meja hingga membuat para pengejarnya tidak berdaya karena harus jalan mengitari sekian banyak meja sedangkan yang dikejarnya dengan mudah dan enak saja melompati kepala para tamu, akhirnya Lie Bun merasa kenyang dan ia lalu berkata.
"Terima kasih untuk pedang dan makanan!"
Ia lalu loncat keluar dan lari pergi. Tentu saja peristiwa ini menggemparkan semua orang, termasuk para penonton di luar.
Terutama Ong-Siocia yang telah lama sekali mencari-cari dan mengharap-harapkan bertemu dengan seorang pemuda yang berkepandaian lebih tinggi darinya, menjadi bengong dan kecewa. Mengapa pemuda itu berwajah hitam? Ini tidak begitu hebat, tapi kenapa pemuda itu hanya seorang pengemis? Ia menyesal sekali, dan setelah diingat-ingat barulah ia terkejut karena pedangnya telah terampas, sedangkan pedangnya itu bukanlah pedang biasa, tapi sebilah pedang pusaka pemberian kakeknya. Ia hanya bisa merasa menyesal dan seringkali ia kenangkan pemuda muka hitam yang memiliki kepandaian luar biasa itu. Sepekan kemudian, setelah menempuh perjalanan yang jauh tanpa berhenti kecuali untuk makan dan tidur, Lie Bun tiba di kota Kwie-ciu yang letaknya hanya beberapa puluh li saja dari Bi-ciu, kota tempat tinggal orang tuanya.
Karena dulu ia sering pergi ke Kwie-ciu, maka melihat kota ini, Lie Bun merasa gembira sekali dan ia tunda perjalanannya sambil melihat-lihat bagian kota yang tidak asing baginya itu. Ternyata selama beberapa tahun ini tidak banyak terjadi perubahan pada kota ini. Waktu yang tujuh tahun itu seakan-akan baru tujuh hari saja lamanya. Alangkah cepatnya sang waktu meluncur. Ketika ia sering datang ke kota ini, ia masih berusia kurang lebih sebelas tahun. Tapi kini ia telah menjadi seorang pemuda dewasa. Ia tundukkan kepala memandang pakaiannya yang buruk penuh tambalan dan kedua kakinya yang telanjang. Lalu teringatlah ia ketika dulu ia mengunjungi kota ini dengan pakaian mewah. Maka tersenyumlah dia.
Bagaimana kalau ayah ibu dan kakaknya melihat ia dalam pakaian macam ini? Ah, mereka tentu takkan mengenalnya lagi. Biarlah aku akan membuat mereka terkejut dan bingung, pikirnya gembira. Tiba-tiba terdengar suara gembreng dan tambur dari jauh. Bersinarlah kedua mata Lie Bun karena ia teringat akan arti bunyi-bunyian itu. Itulah tambur gembreng di kelenteng Kwan-im-pouwsat di tikungan jalan yang menuju ke Bi-ciu. Ternyata musim kering telah lewat dan untuk menyatakan terima kasih kepada Kwan-im-pouwsat, dewi yang murah hati yang selalu menjaga ketentraman dan kemakmuran para petani dan rakyat kecil itu, penduduk Kwie-ciu lalu mengadakan keramaian. Seperti biasa di depan kelenteng itu dibangun di mana orang bermain barongsai dan lion. Juga kadang-kadang di situ dipakai untuk bermain silat mendemonstrasikan kepandaian guru-guru silat di Kwie-ciu.
Maka tentu saja Lie Bun tertarik sekali, karena dulupun ia selalu dari Bi-ciu sengaja datang ke kota ini untuk menonton keramaian ini. Benar saja, ketika ia tiba di depan kelenteng itu, orang-orang yang menonton keramaian telah penuh. Kelenteng dihias dengan bunga-bunga, daun-daun dan kertas-kertas beraneka warna. Di depan kelenteng telah dibangun panggung yang tinggi dan kokoh dan di atas panggung tampak sedang dimainkan barongsai dengan tetabuhan yang sangat nyaring dan ramai. Lie Bun mendesak maju dan berdiri di depan melihat permainan barongsai. Setelah permainan itu selesai, maka seorang gemuk yang berpakaian sebagai seorang ahli silat, muncul dari belakang panggung dan setelah menjura ke empat penjuru dengan kaku karena ketika membongkokkan tubuh, perutnya yang gendut itu mengganjal di depan. Ia lalu berkata, ternyata suaranya keras dan nyaring.
"Saudara-saudara sekalian, perayaan untuk menghormat Pouwsat tahun ini diadakan lebih besar dari pada tahun-tahun yang sudah lalu. Bahkan sekarang diadakan pertunjukkan istimewa, yakni pemilihan jago muda yang paling gagah di kota Kwie-ciu dan sekitarnya. Para guru silat di Kwie-ciu dan Bi-ciu menjadi saksi dan juri, sedangkan yang telah mendaftarkan untuk mengikuti pertandingan ini adalah enam belas jago-jago muda dari Kwie-ciu dan Lun-kwan."
"Pertandingan pertama dilakukan delapan kali dan keenam belas orang pengikut itu namanya akan diundi untuk menetapkan harus berhadapan dengan siapa. Kemudian delapan orang pemenang dari pertandingan babak pertama ini akan diundi dan dipilih lagi menjadi empat orang pemenang. Dan demikian selanjutnya sampai terpilih pemenang pertama yang akan disebut jago muda dari daerah Kwie-ciu."
Pidato ini disambut dengan tepuk tangan riuh rendah karena para penonton merasa gembira sekali hendak disuguhi atraksi istimewa yang belum pernah diadakan. Juga Lie Bun merasa gembira sekali, karena ia ingin sekali tahu siapakah jago muda terpandai di kota ini. Si gendut itu angkat kedua tangannya untuk mencegah orang-orang membuat gaduh, lalu berkata lagi.
"Nama-nama peserta akan diumumkan dan undian telah dilakukan tadi."
Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pertandingan diadakan dengan cara tangan kosong dan tidak boleh menggunakan senjata tajam atau senjata rahasia. Luka atau kematian akibat pertandingan ini bukan tanggung jawab para peserta, dan hal ini telah disetujui oleh para pembesar yang berkuasa.
"Nah, sekarang peserta nomor satu Kwee Siang In berhadapan dengan peserta nomor tujuh Mo Kang Lok. Kwee-enghiong adalah jago muda dari Lun-kwan, sedangkan Mo-enghiong adalah pemuda di kota ini. Kedua enghiong, silahkan naik ke panggung."
Dengan disambut tepuk tangan riuh rendah, dua orang pemuda yang berpakaian dan bersikap gagah naik ke panggung dengan loncatan indah. Melihat gaya loncatan itu, tahulah Lie Bun bahwa mereka hanya mempunyai kepandaian silat pasaran saja, maka ia menjadi kecewa. Tapi timbul pula kegembiraannya ketika mereka berdua mulai bertanding. Keduanya tampan dan gagah dan kepandaian mereka berimbang. Tapi sebagaimana dapat diduga oleh Lie Bun pada saat mereka mulai bergebrak, pemuda she Kwee menang gesit dan pada suatu saat yang tepat ia berhasil mendupak perut lawannya hingga terhuyung dan akhirnya terguling dari atas panggung.
Kemenangan ini disambut sorak pujian dan pemuda she Kwee itu menjura ke arah penonton lalu mengundurkan diri untuk mempersiapkan diri menghadapi pertandingan babak kedua nanti. Dengan lagak gagah si gendut lalu mengumumkan pertandingan kedua antara seorang she Oey dari Kwie-ciu dan seorang she Gak dari Bi-ciu. Lie Bun tertarik sekali mendengar bahwa orang she Gak itu berasal dari kotanya, tapi ia tidak kenal padanya. Walau demikian, ada juga perasaan membela dalam hatinya hingga ketika dua pemuda itu bertempur, ia diam-diam mendoakan agar orang she Gak itu yang menang. Tapi ia kecewa, karena pemuda she Gak itu akhirnya kena terbanting roboh dan dinyatakan kalah. Demikianlah berturut-turut pertandingan diadakan. Ketika tiba giliran pertandingan ke enam, si gendut mengumumkan dengan suara dibuat-buat untuk menarik perhatian para penonton.
"Saudara-saudara sekalian. Pertandingan yang keenam ini dilakukan oleh orang-orang gagah kelas berat. Siapakah yang belum mendengar nama Rajawali Emas dari Bi-ciu dan Si Tangan Besi dari Kwie-ciu? Nah, kedua jago lihai ini sekarang akan bertanding di atas panggung ini. Diharap kedua jago ini, si Rajawali Emas Lie Kiat-enghiong dari Bi-ciu dan Kok Tian-enghiong dari Kwie-ciu suka tampil ke atas panggung."
Lie Bun merasa betapa dadanya berdebar. Kakaknya akan ikut bertanding. Kakaknya, Lie Kiat yang bengal dan sering menggodanya itu.
Ah, kakaknya itu kini telah menjadi seorang ahli silat dan bahkan telah mempunyai julukan pula. Si Rajawali Emas dari Bi-ciu. Alangkah gagahnya. Dengan mata terbuka lebar Lie Bun memandang ke atas panggung. Tiba-tiba dari bawah melayang naik seorang pemuda dengan gaya yang cukup indah hingga tahulah Lie Bun bahwa pemuda itu anak murid Go-bi-pai. Kemudian dari sebelah kiri melayang pula naik ke panggung seorang pemuda yang berwajah tampan dan berpakaian kuning emas. Sungguh gagah dan tampan sekali hingga ia mendapat sambutan tepuk tangan yang luar biasa. Melihat kakaknya yang telah tujuh tahun ditinggalkan itu, Lie Bun merasa terharu sekali dan air matanya mengalir di kedua pipinya yang hitam dan bopeng. Kemudian ia tak dapat menahan gelora hatinya lagi dan loncatlah ia naik ke atas panggung, tepat di depan Lie Kiat dan berseru.
"Engko Kiat... engko Kiat..."
Lie Kiat bertindak mundur sampai tiga langkah ketika tiba-tiba ada seorang pemuda yang berwajah hitam dan berpakaian aneh sekali loncat dan berdiri dihadapannya sambil memanggil-manggilnya. Tapi ia segera kenali wajah adiknya yang telah bertahun-tahun pergi. Betapapun juga, seringkali Lie Kiat menangis dan rindu sekali kepada adiknya yang hanya satu-satunya ini. Maka ketika melihat Lie Bun berdiri di depannya, timbul rasa girang besar sekali dalam hatinya. Ia segera maju dan peluk adiknya itu sambil berbisik.
"Lie Bun... kau... kau kembali?"
Lie Bun peluk kakaknya dengan besar hati, tapi pada saat itu teringatlah Lie Kiat bahwa ia sedang berada di atas panggung dan ribuan pasang mata memandang ke arah mereka. Ia ingat pula akan keadaan adiknya yang seperti pengemis itu, maka cepat-cepat ia lepaskan pelukannya dan berkata kepada semua penonton.
"Cuwi yang terhormat. Janganlah cuwi salah sangka. Inilah adikku yang nakal. Belum lama ini adikku pergi menyelidiki keadaan para pengemis dan perihal kehidupan mereka. Karena itu ia sengaja menyamar sebagai seorang pengemis tulen. Jangan ia direndahkan, karena jelek-jelek adikku ini mempunyai kepandaian yang boleh juga dan ia mempunyai julukan Ouw-bin Hiap-kek, Si Pendekar Muka Hitam. Tapi biarpun buruk rupa, hatinya baik sekali."
Semua penonton yang tadinya memandang terharu, kini mengangguk-anggukkan kepala dan Lie Kiat lalu menyuruh adiknya turun.
"Kau lihatlah permainanku,"
Katanya. Lie Bun loncat turun dan di dalam hatinya ia mengaku bahwa kakaknya ini belum dapat mengubah adatnya yang tinggi dan sombong.
Agaknya kakaknya malu mengaku adik kepada seorang pengemis, maka ia sengaja mengarang cerita bohong kepada para penonton agar keadaan Lie Bun sebagai seorang pengemis itu tidak merendahkan namanya sendiri. Dan betapapun juga, kakaknya itu masih saja suka menggodanya tentang wajahnya yang buruk hingga terang-terangan memberi ia julukan Pendekar Muka Hitam. Diam-diam Lie Bun tersenyum. Ah, julukan ini tidak lebih buruk dari pada Si Topeng Setan, yakni julukan yang dulu kakaknya memberinya. Kemudian ia perhatikan kakaknya yang mulai bertanding. Setelah bertempur beberapa jurus, Lie Bun tahu bahwa kakaknya mendapat didikan seorang guru silat dari cabang Siauw-lim dan bahwa kakaknya ini meyakinkan sedikit kepandaian lweekang. Biarpun kepandaian kakaknya tidak berapa tinggi, namun ia memiliki kegesitan dan dengan tenaga lweekangnya,
Ia dapat menarik keuntungan dalam pertandingan melawan seorang yang hanya melatih gwakang seperti Si Tangan Besi itu. Juga Lie Kiat cerdik, karena ia sengaja tidak mau mengadu lengan dan gunakan telapak tangan untuk menangkis lalu membalas dengan serangan-serangan kilat. Telah beberapa kali ia berhasil menyampok dan menyodok tubuh lawannya, tapi karena kebalnya, belum juga si Tangan Besi dapat dirobohkan. Pertandingan ini boleh dibilang yang paling menarik di antara pertandingan-pertandingan yang tadi, karena kepandaian kedua orang ini memang lebih tinggi. Mereka telah bertempur lebih dari lima puluh jurus, tapi belum juga ada yang kalah. Tiba-tiba Lie Bun yang sengaja berdiri di dekat panggung dan menonton pertandingan itu mendesak-desak penonton lain, lalu berseru keras.
"He, jangan kau desak-desak orang sampai tersodok mataku. Dan kau, jangan dorong-dorong sampai hampir jatuh."
Dengan lweekangnya yang sudah sempurna, Lie Bun dapat kirim suaranya itu hingga terdengar nyaring dari atas panggung. Lie Kiat tidak kenali suara adiknya, tapi kata-kata yang jelas itu membuat ia sadar. Kalau ia hanya memukul biasa saja, maka sukar untuk menjatuhkan lawan yang kebal ini. Mendengar kata-kata "Sodok mata"
Dan "dorong roboh"
Ia mendapat akal. Maka ia segera rubah serangannya. Kini ia tidak mau sembarang menendang atau memukul, tapi percepat gerakannya dan semua serangannya ditujukan ke mata lawan. Karena memang ia lebih gesit, lawannya menjadi bingung dan cepat-cepat menangkis setiap sodokan.
Karena kalau sampai matanya tersodok, tak mungkin ia gunakan kekebalannya ke matanya. Ia mulai terdesak ke pinggir dan tiba-tiba Lie Kiat ubah gerakannya dan sepenuh tenaga mendorong ke arah dada lawannya. Karena serangannya dilakukan tiba-tiba tanpa ampun lagi tubuh si Tangan Besi terjengkang lalu jatuh ke bawah panggung. Tentu aja hal ini dianggap satu kemenangan untuk Lie Kiat. Tepuk sorak riuh menyambut kemenangan ini dan mungkin yang bertepuk paling keras adalah Lie Bun. Ia segera menghampiri kakaknya yang telah turun dan memeluknya mesra. Pada saat itu, pertandingan ketujuh telah dimulai, tapi yang bertempur adalah pemuda-pemuda biasa saja hingga tidak menarik dan sebentar saja diakhiri dengan kemenangan pihak Lun-kwan. Tapi, ketika pertandingan ke delapan dimulai, Lie Bun berkata kepada Lie Kiat.
"Koko, apakah kau nanti bertempur lagi?"
"Tentu saja, dalam babak kedua harus bertempur lagi. Untuk mencapai kejuaraan, aku harus bertempur tiga kali lagi!"
"Koko, orang tinggi kurus yang sedang bertempur itu boleh juga."
Lie Kiat memandang dan saat itu orang tinggi kurus yang dimaksudkan Lie Bun dengan tendangan telah berhasil menendang lawannya ke bawah panggung hingga pingsan.
"Ooh, dia adalah jago nomor satu dari Lun-kwan. Namanya Biauw Kak dan julukannya si Tangan Maut. Tapi kukira aku dapat mengalahkannya, ilmu silatnya tidak seberapa,"
Jawab Lie Kiat dengan jumawa hingga diam-diam Lie Bun tidak puas hatinya.
Kakaknya ini perlu belajar hati-hati dan jangan memandang rendah lawan, pikirnya. Setelah diumumkan pemenang-pemenang babak ke satu, maka lalu dimulai pertandingan babak ke dua. Untung sekali bagi Lie Kiat bahwa undian membuat ia berhadapan dengan pemuda she Kwee pemenang pertandingan pertama tadi. Dengan mudah saja Lie Kiat menggulingkan lawannya. Setelah selesai, maka kini tinggal empat orang jago yang tinggal sebagai pemenang-pemenang. Lalu diadakan undian lagi dan sekali lagi Lie Kiat mendapat lawan ringan, maka tinggallah Lie Kiat dan Biauw Kak si Tangan Maut. Kini si Gendut naik ke atas panggung dan berkata nyaring dengan muka berseri.
"Cuwi yang mulia! Nah, kalian telah menyaksikan para pemuda kita yang gagah perkasa. Sekarang tinggal pertandingan babak terakhir antara dua pemenang, yakni Lie Kiat-enghiong si Rajawali Emas dari Bi-ciu dan Biauw Kak-enghiong si Tangan Maut dari Lun-kwan. Saudara-saudara tadi telah menyaksikan betapa gagah perkasa dan lihai kedua enghiong muda ini dan sebentar lagi akan terbuktilah siapa di antara keduanya yang lebih lihai. Bersiaplah menyaksikan pertandingan ilmu silat kelas tinggi yang akan dihidangkan dihadapan saudara sekalian."
Setelah berkata demikian, si gendut itu turun dari panggung dengan langkah dibuat-buat agar tampak gagah.
"Hati-hati, koko,"
Lie Bun berbisik dengan khawatir. Tapi Lie Kiat dengan senyum sindir telah menggerakkan tubuh dan loncat dengan gerakan It-ho-ciong-thian atau Burung Ho Terjang Langit ke atas panggung. Tepuk tangan riuh dan sorakan memuji menyambut anak muda yang tampan dan gagah ini hingga Lie Kiat segera menjura dan mengangguk keempat penjuru. Pada saat itu, Biauw Kak juga loncat ke atas panggung dengan tipu loncat Le-hi-ta-teng atau Ikan Lehi Loncat Ke Atas.
Juga untuk pemuda tinggi kurus ini para penonton memberi sambutan meriah, hingga pada saat itu di antara penonton sendiri, terutama mereka yang datang dari Bi-ciu dan Lun-kwan, terpecahlah menjadi dua kelompok yang saling bertentangan dan membela jago masing-masing. Setelah saling memberi hormat, maka Lie Kiat dan Biauw Kak saling serang dengan hebat. Untuk merebut kedudukan juara, mereka tidak mau saling mengalah dan mengeluarkan seluruh kepandaian mereka. Bahkan mengirim serangan-serangan berbahaya yang dapat mendatangkan maut kepada lawan. Setelah bertempur puluhan jurus, belum juga Lie Bun mengerti mengapa Biauw Kak mendapat julukan tangan maut. Karena menurut pendapatnya, ilmu silat Biauw Kak yang mirip cabang Kun-lun itu tidak lebih tinggi dari pada ilmu silat kakaknya.
Bahkan diam-diam Lie Bun menghela napas lega karena ia yakin bahwa akhirnya Lie Kiat pasti keluar sebagai pemenang dan juara. Agaknya Lie Kiat juga tahu akan hal ini, maka ia perhebat serangannya dan segera mendesak Biauw Kak yang berkelahi sambil mundur-mundur dan kebanyakkan hanya menangkis saja. Para pendatang dari Bi-ciu dan Lie Bun merasa gembira dan girang sekali. Ketika tiba-tiba Lie Bun melihat sesuatu yang membuat ia terkejut sekali dan seketika wajahnya berubah pucat. Ia melihat sesuatu yang bagi orang-orang lain sama sekali tidak dimengerti. Tapi baginya merupakan tanda maut bagi kakaknya. Ketika ia melihat ke arah lengan Biauw Kak, kulit lengan si tinggi kurus itu ternyata perlahan-lahan berubah menjadi merah seakan-akan darah di tubuhnya dialirkan ke situ semua.
Lie Bun tahu bahwa orang itu tentu ahli Ang-see-ciang atau Lengan Pasir Merah, sebuah ilmu yang sangat berbahaya karena lengan tangan yang telah terlatih hebat dan kemasukkan hawa beracun itu dapat mengirim pukulan yang mematikan. Biarpun kepalan tangannya tidak menyentuh tubuh lawan, tapi angin pukulannya saja yang membawa tenaga dalam serta hawa racun dapat merobohkan lawannya. Inilah yang membuat Lie Bun terkejut dan cemas. Kalau saja kakaknya tahu akan hal ini masih baik, karena tentu Lie Kiat bisa berlaku waspada dan hati-hati. Tapi celakanya, agaknya Lie Kiat tidak tahu akan hal ini dan masih merangsek hebat. Memang kelihatannya Biauw Kak mundur dan repot sekali karena desakan Lie Kiat. Tapi Lie Bun tahu benar bahwa si tinggi kurus itu mundur-mundur sambil mencari kesempatan.
Dan menunggu sampai tenaga Ang-see-ciangnya sudah berkumpul penuh di kedua lengannya, baru mengirim pukulan mematikan. Karena kepandaian inilah agaknya, maka Biauw Kak diberi julukan si Tangan Maut. Sekarang barulah Lie Bun mengerti. Tapi sudah terlambat karena tak mungkin ia memberitahu kakaknya sekarang. Hal yang dikhawatirkan Lie Bun terjadilah. Ketika Lie Kiat sedang menyerang dengan pukulan tangan kanan, Biauw Kak tidak mau berkelit dan menerima poukulan itu dengan dadanya. Tapi berbareng ia pukulkan kedua tangannya yang mengandung tenaga Ang-see-ciang itu ke dada Lie Kiat. Terdengar teriakan Lie Bun dan pada saat yang genting itu tiba-tiba Lie Bun ayunkan tangan kirinya hingga dua sinar hitam yang kecil dan hampir tak terlihat melayang cepat ke arah sambungan siku Biauw Kak.
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Memburu Iblis Karya Sriwidjono