Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bunga Merah 9


Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



Bahkan ketika mereka mengubur jenazah atau rangka-rangka itu, para penduduk dusun masih merasa ngeri dan sampai berhari-hari lamanya mereka dicekam rasa ngeri yang membuat mereka tidak berani keluar rumah setelah malam tiba. Akan tetapi, setelah ternyata berminggu-minggu lamanya tidak terjadi sesuatu, tidak ada lagi pemuda yang lenyap, barulah mereka dapat hidup tenteram seperti biasa. Pada suatu hari, Sin Lee tiba di pegunungan Hong-san dan dia tahu bahwa pegunungan itu menjadi pusat perkumpulan Kong-thong-pai, sebuah aliran persilatan yang cukup terkenal namanya, walaupun tidak sebesar Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Gobi-pai atau Siauw-lim-pai. Sebetulnya Kong-thong-pai dapat dibilang masih keturunan dari partai Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai. Pendirinya mahir ilmu-ilmu silat Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai.

   Kedua ilmu itu digabungnya dan lahirlah Kong-thong-pai. Baik Kun-lun-pai maupun Siauw-lim-pai tidak berkeberatan karena buktinya perkumpulan Kong-thong-pai itu melahirkan pendekar-pendekar dan tidak pernah melakukan kejahatan di dunia kang-ouw, bahkan terkenal sebagai perkumpulan para pendekar yang gagah perkasa. Karena para murid Kong-thong-pai banyak yang membuka perusahaan pengawal kiriman barang, maka nama Kong-thong-pai terkenal di antara golongan hitam. Pengawalan barang yang dilakukan murid Kong-thong-pai jarang ada yang berani mengganggu. Ketika Sin Lee sedang berjalan dengan santai mendaki sebuah puncak, tiba-tiba dia melihat tiga orang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahunan, dalam keadaan pakaian robek-robek dan luka-luka datang dari arah belakangnya. Dia terheran dan karena tertarik dia menegur.

   "Sam-wi kenapakah, maka sampai luka-luka seperti ini?"

   Tiga orang itu mengerutkan alisnya dan seorang di antara mereka yang berkumis tebal menjawab,

   "Lancang mulut! Apa sangkut pautnya keadaan kami dengan engkau?"

   Mendengar jawaban seperti itu, tentu saja Sin Lee merasa mendongkol juga. Ditanya baik-baik orang ini menjawab demikian kasar.

   "Ah, sekarang aku mengerti mengapa kalian luka-luka, tentu akibat dari sikap kalian yang tidak sopan itu!"

   Mendengar ucapan ini, tiga orang yang sudah luka-luka itu menjadi marah dan tanpa banyak cing-cong lagi mereka segera menyerang Sin Lee! Bukan main gemasnya hati Sin Lee. Akan tetapi tiga orang ini sudah luka-luka, bagaimana dia dapat melayani bertanding tiga orang yang sudah luka-luka? Maka dia hanya main kelit, loncat ke sana-sini dan tidak pernah membalas. Pada saat itu, dari puncak bukit berlari seorang laki-laki berusia lima puluh tahun. Orang itu memiliki pedang di punggung dan begitu melihat tiga orang yang luka-luka bertanding melawan seorang pemuda yang memakai bunga di dada dan yang gerakannya gesit mempermainkan tiga orang itu dengan berloncatan ke sana-sini, orang itu membentak.

   "Tahan...!"

   Tiga orang yang sudah luka-luka dan kini napasnya ngos-ngosan itu berteriak girang,

   "Susiok, harap suka memberi hajaran kepada bocah kurang ajar ini!"

   Sang Susiok mengerutkan alisnya dan mencabut pedangnya.

   "Orang muda, kulihat engkau membawa pedang. Nah, cabutlah pedangmu. Engkau melanggar wilayah kami, bahkan menyerang tiga orang murid kami, engkau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu itu dengan pedang."

   Sin Lee tersenyum dan kagum akan kegagahan orang itu. Timbul keinginan hatinya untuk menguji ilmu orang ini, maka tanpa banyak cakap dia juga mencabut pedangnya.

   "Bagus, lihat pedang!"

   Kata orang berusia setengah abad yang jenggotnya panjang itu. Jenggotnya berkibar ketika dia menyerang dengan dahsyat. Sin Lee menggerakkan pedangnya menangkis, karena dia ingin menguji tenaga lawan.

   "Cringgg...!"! Bunga api berpijar ketika sepasang pedang bertemu. Keduanya meloncat mundur karena merasa betapa tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa lawannya memiliki tenaga sin-kang yang kuat. Ketika melihat tiga orang murid keponakan itu luka-luka mengeroyok pemuda itu, si jenggot panjang yang menduga mereka dilukai oleh Sin Lee, sudah dapat menduga bahwa Sin Lee lihai, maka begitu bertemu pedang dan merasakan tenaga yang kuat, diapun segera membuka serangan dengan lebih hati-hati, mengeluarkan jurus-jurusnya yang pilihan.

   "Haiiittt...!"

   Dia memekik dan pedangnya membuat gerakan melengkung membacok ke arah kepala Sin Lee dengan jurus Pek-hong-koan-jit (Pelangi Putih Menutup Matahari).

   Sin Lee maklum akan datangnya serangan hebat, maka diapun segera menggerakkan tubuh dan pedangnya, membalik dan menggerakkan pedang dengan jurus Sin-liong-tiauw-si (Naga Sakti Menyabetkan Ekornya) menangkis serangan lawan itu dan membalas dengan lanjutan jurus Kong-ciak-kai-pang (Burung Merak Membuka Sayap). Si jenggot panjang mengeluarkan seruan kaget dan segera meluncurkan pedangnya sambil mengelak dan tubuhnya miring tangannya seperti orang memanah karena dia memainkan jurus Likong-sia-ciok (Likong Memanah Batu). Demikianlah kedua orang itu tukar menukar jurus, saling serang dan karena Sin Lee bermaksud hanya menguji kepandaian orang, maka diapun tidak bermaksud merobohkan atau melukai. Si jenggot panjang agaknya merasakan ini dan diapun meloncat ke belakang sambil berseru,

   "Tahan senjata!"

   Dia mulai curiga. Pemuda ini sama sekali tidak bermaksud menyerang sungguh-sungguh, bagaimana pemuda ini sampai membuat tiga orang muridnya luka-luka?

   "Ilmu pedang paman sungguh hebat, saya mengaku kalah,"

   Kata Sin Lee sambil memberi hormat. Melihat sikap ini, orang itu semakin terkesan lagi. Dari pertemuan pedang tadi saja dia sudah tahu bahwa pemuda ini memiliki sin-kang yang tidak kalah kuat dengan sinkangnya. Dia memandang penuh perhatian dan melihat bunga merah di dada pemuda ini, teringatlah dia akan nama seorang pendekar baru yang sebentar saja namanya amat terkenal, yaitu Pendekar Bunga Merah. Bahkan para pejabat daerah membicarakan nama ini, terutama penduduk dusun-dusun karena pendekar ini banyak menolong orang-orang dusun yang tertindas.

   "Sobat muda, apakah engkau yang dijuluki Pendekar Bunga Merah?"

   Sin Lee memberi hormat.

   "Dugaan paman memang benar, sebetulnya julukan itu tidak pantas bagi saya yang muda dan bodoh."

   "Hemm, Pendekar Bunga Merah. Kami mendengar bahwa engkau adalah seorang pendekar yang suka membela si lemah, akan tetapi sekarang engkau melanggar wilayah kami dan bahkan melukai tiga orang murid kami?"

   Sin Lee tersenyum.

   "Melukai? Sebaiknya paman bertanya kepada tiga orang itu dan kalau mereka tidak terlalu pengecut tentu akan bercerita yang sebenarnya."

   Kini tokoh Kong-thong-pai itu memandang kepada tiga orang murid keponakannya, membentak,

   "Hayo ceritakan mengapa kalian bertiga luka-luka dan mengapa pula berkelahi melawan Pendekar Bunga Merah."

   "Ampun, Susiok (paman guru). Semua kesalahan kami. Pertama, kami tidak tahu bahwa sobat muda ini adalah Pendekar Bunga Merah dan yang melukai kami sama sekali bukanlah dia. Kami sedang mendaki bukit untuk pulang melapor akan malapetaka yang menimpa kami dan kami yang sedang sedih dan jengkel bertemu dengan pemuda ini. Karena kesalah pahaman maka kami menyerangnya dengan curiga kepadanya. Harap paman guru sudi memaafkan."

   "Bodoh dan ceroboh kalian. Bukan kepadaku harus minta maaf, melainkan kepada Pendekar Bunga Merah."

   Tiga orang itu memberi hormat kepada Sin Lee.

   "Maafkan kami, Taihiap."

   Mereka menyebut Taihiap karena maklum bahwa yang berjuluk Pendekar Bunga Merah memiliki kepandaian tinggi, bahkan tadi Susioknyapun tidak mampu menang. Sin Lee cepat membalas penghormatan mereka.

   "Aku yang meminta maaf, karena tertarik maka aku lupa akan sopan santun dan bertanya mengapa sam-wi sampai luka-luka. Tentu saja aku tidak tahu bahwa sam-wi sedang jengkel dan sedih,"

   Kembali dia membalas penghormatan mereka, juga kepada tokoh Kong-thong-pai itu.

   "Apa yang telah terjadi kepada kalian? Atau, sudahlah, nanti saja kalian melapor sendiri kepada Pangcu (ketua). Taihiap, sebetulnya apakah ada keperluan penting yang membawa Taihiap berkunjung ke tempat kami?"

   "Paman, saya hanya mendengar berita tentang kebesaran Kong-thong-pai dan ketika lewat di sini, saya ingin sekali singgah dan mengobrol dengan para pemimpinnya. Akan tetapi ternyata kini Kong-thong-pai menghadapi urusan dengan adanya tiga saudara ini yang tertimpa malapetaka, maka sebaiknya kalau saya pergi saja, tidak jadi singgah di Kong-thong-pai."

   "Ah, jangan begitu, Taihiap. Taihiap adalah seorang pendekar terkenal, bahkan kalau terjadi malapetaka, kami mengharapkan petunjuk dari Taihiap. Mari, silahkan bersama kami menghadap ketua kami. Perkenalkan, saya adalah wakil ketua Kong-thong-pai bernama Kiang Cu I."

   "Kalau paman Kiang berkata begitu, saya juga tidak berani menolak. Marilah!"

   Lima orang itu lalu mendaki puncak tanpa banyak cakap dan setibanya di puncak, ternyata di sana terdapat sebuah bangunan besar yang menjadi pusat dari Kong-thong-pai. Di pintu gerbang terdapat belasan orang murid Kong-thong-pai yang melakukan penjagaan. Mereka memandang heran ketika wakil ketua kembali bersama seorang pemuda asing dan lebih heran lagi melihat tiga orang rekan mereka babak belur.

   Akan tetapi di situ terdapat wakil ketua, mereka tidak berani bertanya. Setelah menghadap ketua di ruangan yang luas, di mana ketuanya duduk bersila di atas sebuah dipan, Sin Lee ikut memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada. Dia memperhatikan ketua Kong-thong-pai itu. Usianya kurang lebih enam puluh tahun akan tetapi tubuhnya masih tegap dan nampak kuat. Rambutnya berwarna dua, dibiarkan panjang dan diikat sutera kuning. Kepalanya juga diikat sutera kuning agar rambut itu tidak awut-awutan. Jubahnya kuning seperti jubah pendeta, dan wajahnya manis segar seperti wajah seorang pemuda. Dia menyambut kedatangan mereka dengan sikap sabar walaupun pandang matanya membayangkan keheranan melihat Sin Lee. Sutenya, yaitu wakil ketua yang bernama Kiang Cu I, setelah memberi hormat lalu melapor.

   "Suheng, sobat muda ini adalah Pendekar Bunga Merah yang namanya terkenal belakangan ini. Dia datang untuk berkunjung dan berkenalan dengan kita. Saya sudah sempat mencoba ilmunya dan ternyata namanya bukan nama kosong belaka."

   Kemudian Kiang Cu I menoleh kepada Sin Lee dan bertanya.

   "Taihiap, kalau tidak berkeberatan, kami ingin sekali mengenal nama Taihiap."

   "Maaf, paman Kiang. Saya seorang yatim piatu dan sebatang kara, ada sesuatu yang menyebabkan saya lebih suka dikenal sebagai Bunga Merah saja,"

   Kata Sin Lee. Dia khawatir bahwa kalau namanya banyak dikenal orang akan segera diketahui orang bahwa dia adalah seorang pangeran, adik Sribaginda Kaisar Kian Cung. Dan kalau sudah begitu tentu dia tidak akan leluasa bergerak lagi.

   "Ha-ha-ha, siancai... siancai..."

   Inilah yang dinamakan menurut apa yang disebut: Siapa yang menonjolkan diri tidak berhasil, siapa yang menjunjung diri tidak dapat berlangsung! Taihiap tidak ingin memperkenalkan nama dan menggunakan nama Ang-hwa (Bunga Merah), sungguh mengagumkan sekali!"

   "Harap Pangcu memaafkan saya dan tidak menganggap saya congkak dan sombong,"

   Kata Sin Lee sambil kembali memberi hormat.

   "Ah, tidak. Setiap orang berhak menentukan nama sendiri, Taihiap. Sekarang, kulihat kalian bertiga ini datang bersama Susiok kalian dalam keadaan babak belur. Bukankah kalian bertiga sudah bekerja membuka Pek-liong piauw-kiok (Perusahaan Pengawal Naga Putih)?"

   Tiga orang murid Kong-thong-pai itu lalu berlutut memberi hormat dan si kumis tebal melapor,

   "Harap Suhu memaafkan teecu bertiga kalau hari ini terpaksa teecu membuat sibuk pikiran Suhu dengan laporan kami. Ada malapetaka menimpa diri teecu bertiga."

   "Apa yang telah terjadi?"

   Tanya ketua Kong-thong-pai itu. Mereka lalu mengerling ke arah Sin Lee dan Kiang Cu I yang maklum akan keraguan mereka, segera berkata,

   "Kalian boleh menceritakan sejujurnya di depan Pendekar Bunga Merah. Dia adalah seorang pendekar perkasa, mungkin bahkan dapat memberi petunjuk kepada kalian."

   Kam Sun Tojin, ketua Kong-thong-pai tertawa,

   "Siancai, sebelumnya kami bahkan minta bantuan Ang-hwa Taihiap kalau-kalau kami menghadapi ancaman bahaya."

   "Harap Pangcu tidak bersikap sungkan. Di antara orang sendiri, soal bantu membantu sudah merupakan kewajiban yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Apa lagi terhadap Kong-thong-pai, bahkan terhadap siapapun yang membutuhkan bantuan, kalau tenaga saya mencukupi, pasti akan saya bantu."

   "Ci Toan, kau wakili saudara-saudaramu, ceritakan apa yang terjadi dengan kalian,"

   Kata ketua itu kepada si kumis tebal.

   Ci Toan, si kumis tebal itu, lalu bercerita. Setelah lulus dari perguruan Kong-thong-pai, Ci Toan bersama adiknya, Ci Gu, dan seorang sutenya, Yong Hai, membuka sebuah perusahaan pengawal pengiriman barang dan mereka memberi nama pada perusahaan mereka itu Pek-liong Piauw-kiok. Selama lima tahun membuka perusahaan itu, jarang terjadi gangguan. Para perampok sudah puas dengan menerima sedikit sogokan dari Pek-liong Piauw-kiok. Mereka tidak berani sembarangan mengganggun setelah para pengganggu sebelumnya dihajar oleh tiga saudara seperguruan itu. Bendera yang bergambarkan naga putih, dan tulisan Kong-thong-pai amat berwibawa dan para perampok tidak berani menganggunya. Sepekan yang lalu, Pek-liong Piauw-kiok mengawal kiriman sepeti terisi emas permata milik seorang pembesar yang pensiun dan hendak pulang ke dusunnya.

   Karena barang yang dikirim itu amat berharga, maka Ci Toan, Ci Gu dan Yong Hai sendiri turun tangan mengawalnya. Harta itu berharga amat besar sehingga kalau sampai hilang, biar bekerja keras sampai puluha tahunpun mereka tidak akan dapat menggantinya. Demikianlah, pada hari itu, sepekan yang lalu sepeti emas permata itu dikawal oleh tiga orang pimpinan Pek-liong Piauw-kiok sendiri dan masih ditambah dengan para pengawal anak buah mereka sebanyak selosin orang. Ketika rombongan pengawal ini tiba di kaki bukit Kwi-san, dalam perjalanan antara Lok yang dan Su-kiang, tepat pada jalan yang diapit hutan rimba, tiba-tiba saja muncul seorang pemuda. Melihat pemuda itu rebah di atas tanah melintang menghalangi jalan, semua piauw-su merasa heran. Disangkanya pemuda itu sakit, lalu mereka menghampiri dan mengurungnya.

   Ternyata pemuda itu sedang tidur mendengkur, telentang dengan mulut terbuka. Pemuda itu cukup tampan, akan tetapi rambutnya awut-awutan sebagian menutupi mukanya dan pakaiannya sungguh aneh sekali. Pakaian itu berwarna-warni, berkembang-kembang pula dan ternyata terbuat dari bermacam-macam kain yang disambung-sambung, akan tetapi semua kain itu masih baru dengan bentuk potongan pakaiannya juga luar biasa. Lengannya panjang pendek, di bagian leher dan dada terbuka sehingga nampak kulit dadanya yang putih. Baju itupun panjang sampai ke lutut. Celananya terlalu besar akan tetapi panjangnya hanya sampai bawah lutut dan di bagian bawahnya tidak terjahit sehingga menyerupai rumbai-rumbai. Melihat bahwa orang itu tidak sakit melainkan tidur mendengkur, Ci Toan dan dua orang adiknya tertawa.

   "Heii, bangun! Jangan tidur di tengah jalan, kami hendak lewat!"

   Tegur Yong Hai. Orang itu tidak menjawab dan tetap tidur mendengkur. Yong Hai yang berwatak berangasan itu merasa dipermainkan, lalu diguncang-guncang pundak orang itu.

   "Heii, bangun! Kalau tidak, kereta kami akan melindasmu hancur!"

   Orang muda itu kini membuka matanya, akan tetapi hanya sebelah, lalu mulutnya mengomel,

   "Huh, mengganggu orang sedang tidur. Pergi!"

   Yong Hai marah. Dia sudah menggerakkan tangan hendak memukul, akan tetapi Ci Gu melarangnya.

   "Suheng, jangan pukul. Orang ini agaknya tidak waras, otaknya miring, kalau tidak masa tidur melintang di tengah jalan?"

   Lalu Ci Gu yang mengguncang pundaknya.

   "Saudaraku, bangunlah dan biarkan kami lewat dulu, baru nanti kau tidur lagi."

   Orang itu membuka mata lagi, menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan.

   "Ahh, rewel, mengganggu orang tidur. Aku mau pindah kalau diberi upah."

   "Sobat, minta diupah berapa? Katakanlah, akan kami beri upah kepadamu."

   "Betul, berapapun yang kuminta, akan kau beri?"

   Orang gila itu kini terkekeh-kekeh senang seperti seorang anak kecil dijanjikan akan diberi hadiah.

   "Tentu saja boleh dan pasti kuberi,"

   Kata Ci Toan yang menduga bahwa orang gila ini tentu akan puas diberi sedikit uang receh.

   "Sumpah dulu, he-he-he, sumpah dulu..."

   "Gila! Masa pakai sumpah segala macam?"

   Bentak Yong Hai akan tetapi Ci Toan memberi tanda kedipan mata kepadanya.

   "Baiklah aku bersumpah akan kau hajar babak belur kalau aku berbohong."

   (Lanjut ke Jilid 09)

   Pendekar Bunga Merah (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09

   "Bagus!"

   Si gila itu kini bangun berdiri dan tubuhnya ternyata cukup tegap. Wajahnya juga tidak buruk, bahkan agak tampan akan tetapi jelas bahwa otaknya miring, matanya liar berputar-putar dan mulutnya tertawa ha-ha-he-he seperti anak kecil.

   "Coba aku hitung. Pertama, kalian mengganggu tidurku, itu harus didenda. Kedua kalian membuat kaget aku, itupun ada dendanya. Kemudian kalian minta aku pergi dari sini, padahal jalan ini bukan milik kalian. Haaaaa, itu bertumpuk-tumpuk jadinya aku minta kalian serahkan saja peti itu kepadaku, habis perkara! Adil, bukan?"

   Dia lalu menghampiri kereta itu untuk mengambil peti hitam yang terisi emas permata. Semua orang terkejut dan tentu saja tiga orang Piauwsu itu dan anak buahnya segera mengepung kereta dan melarang orang itu datang mendekat.

   "Gila! Mengapa upahnya begitu gila? Pantasnya upah itu uang beberapa keping. Nah, ini kuberi upah beberapa keping dan cepat pergilah!"

   Kata Ci Toan sambil merogoh saku bajunya untuk mengambil beberapa potong uang receh.

   "Tidak mau, ahhh, tidak mau... huu-huu-huuu... kalian mau berbohong melanggar sumpah, hu-huuu...!"

   Laki-laki muda itu menangis! Lucu dan aneh, bahkan mengerikan melihat seorang pemuda berusia kurang lebih tiga puluh tahun itu menangis sambil mengusap-usap kedua matanya yang basah dengan punggung tangan seperti anak kecil. Dan kembali dia rebah melintang di tengah jalan! Tiga orang Piauwsu itu menjadi marah. Terutama sekali Yong Hai, karena menurut dia, baik gila atau tidak, jelas orang itu hendak mempermainkan mereka.

   "Orang gila, bangun dan pergi kau! Atau kau ingin kupukuli sampai babak belur?"

   Mendengar ini, orang gila yang tadinya menangis itu mendadak tertawa bergelak-gelak.

   "Ha-ha-ha-heh-heh, benar sekali. Bukankah kalian tadi bersumpah bahwa kalau kalian berbohong, biar kuhajar sampai babak belur? Nah, sekarang aku harus menghajar kalian sampai babak belur!"

   Setelah berkata demikian, dia bangkit dan sekali tangannya menampar ke arah Yong Hai, terdengar bunyi,

   "Plakk!"

   Dan tubuh Yong Hai terpelanting karena tamparan itu kuat sekali dan membuatnya menjadi pening. Suheng dan sutenya terkejut. Kenapa demikian mudahnya Yong Hai terkena tamparan dan kenapa pula sekali kena tamparan si gila itu langsung terpelanting? Yong Hai marah sekali. Rasanya tadi seperti disambar halilintar saja akan tetapi dia tidak terluka parah, hanya pipinya agak membengkak dan rasanya nyut-nyutan. Dia bangkit kembali.

   "Orang gila, berani engkau memukul aku!"

   Bentaknya.

   "Mengapa tidak berani? Kalian sudah bersumpah, ha-ha-ha, dan aku boleh memukuli babak belur sesuka hatiku. Heii, kalian berdua belum kebagian. Mari sini kuberi hadiah tamparan!"

   Berkata demikian kakinya melangkah mendekati Ci Toan dan Ci Gu, dan kedua tangannya bergerak menampar. Ci Toan dan Ci Gu mengelak, akan tetapi sungguh aneh, lengan orang gila itu dapat mulur dan biarpun sudah dielakkan tetap saja dapat mengejar dan,

   "Plak! Plak!"

   Kedua orang itu terkena tamparan pada pipi mereka. Demikian keras dan kuatnya tamparan itu sehingga merekapun roboh terpelanting! Kini terkejutlah tiga orang Piauwsu itu.

   "Kepung, hajar orang gila ini!"

   Kata Ci Toan karena kini dia curiga bahwa orang gila itu hanyalah seorang perampok tunggal yang lihai sekali dan hendak merampas peti emas permata yang dikawalnya. Dikepung oleh dua belas orang anak buah piauw-kiok dan tiga orang Piauwsu itu, si gila lalu berteriak-teriak minta tolong.

   "Tolong... tolooongg... Ayah... ibu... toloongg...!"

   Semua orang tidak perduli, dan menganggap orang gila itu berteriak asal saja. Mereka semua menyerbu dan siap memukuli si gila. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tawa yang menyeramkan sekali. Tawa yang parau bercampur baur dengan suara tawa terkekeh genit. Mereka semua menoleh dan meremang bulu tengkuk mereka melihat dua orang laki-laki dan wanita setengah tua datang bergandeng tangan sambil tertawa-tawa.

   "Hua-ha-ha-ha, Aceng, kenapa engkau menangis?"

   Tanya si pria yang pakaiannya mirip pakaian pemuda tadi, berkembang-kembang aneh, sedangkan wanitanya berpakaian sutera merah polos! Jelas dari pakaiannya saja dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang gila.

   "Aceng sayang, jangan takut, mari kita hajar orang-orang gila ini!"

   Kata si wanita sambil terkekeh-kekeh genit. Orangnya memang cukup cantik akan tetapi kecantikan yang tidak menarik melainkan mengerikan dan menggelikan. Rambutnya awut-awutan, digelung secara malang-melintang aneh, memakai hiasan bunga-bunga setaman! Mulutnya memakai gincu merah sampai berlepotan di bibirnya.

   Dan kini tiga orang keluarga gila itu menggerakkan tubuh mereka. Semua Piauwsu dan anak buah mereka menggerakkan senjata untuk melawan, akan tetapi berturut-turut mereka roboh terpelanting. Mereka bangkit lagi hanya untuk disambut tendangan atau tamparan. Tiga orang itu seperti kanak-kanak yang mendapatkan permainan baru, tidak memukul terlalu keras sehingga tidak sampai membunuh akan tetapi cukup kuat membuat semua orang babak belur. Biarpun Ci Toan, Ci Gu dan Yong Hai menggunakan pedang dan memainkan ilmu pedang Kong-thong-pai, tetap saja mereka dihajar babak belur dan pedang mereka terlempar entah ke mana. Akhirnya, lima belas orang itu tidak dapat menahan lagi siksaan yang mereka derita dan merekapun melarikan diri agar jangan disiksa lebih lama lagi.

   "Demikianlah, Suhu. Kami bertiga tidak berdaya melindungi peti dengan isinya yang dibawa pergi mereka. Kami harus mempertanggung-jawabkan terhadap Ouw-Taijin (Pembesar Ouw) yang memiliki barang itu, akan tetapi bagaimana caranya? Keluarga gila itu sungguh lihai bukan main."

   Ci Toan menutup ceritanya sambil menangis.

   "Siancai... di manakah di dunia kang-ouw ini ada keluarga gila seperti itu? Pinto belum pernah mendengarnya..."

   Kata Kam Sun Tojin termenung.

   "Aku juga belum pernah mendengarnya, Suheng. Taihiap yang sudah banyak menjelajahi kota dan desa, apakah pernah mendengar tentang adanya keluarga gila seperti itu?"

   
Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanya Kiang Cu I. Sin Lee menggeleng kepalanya.

   "Belum pernah melihatnya, juga mendengarpun belum, paman."

   Tiba-tiba di antara para murid Kong-thong-pai yang hadir di situ, terdengar suara wanita,

   "Ayah, aku pernah mendengar tentang keluarga gila yang lihat itu!"

   Semua orang memandang, juga Sin Lee dan dia kagum. Gadis itu berusia sembilan belas tahun, cantik manis dengan kedua pipinya yang putih mulus itu kemerahan, seperti biasa pipi wanita muda dari pegunungan.

   "Bi Hwa, benarkah engkau pernah mendengar tentang keluarga gila itu? Dari mana engkau mendengarnya?"

   Tanya Kam Sun Tojin kepada murid keponakannya itu. Kiang Bi Hwa adalah puteri atau anak tunggal Kiang Cu I, dan ia merupakan murid Kong-thong-pai yang menjadi kesayangan semua murid, karena bukan saja ia cantik dan ramah, akan tetapi juga dalam hal ilmu silat, kepandaiannya menonjol dan ia sudah menguasai semua ilmu yang diajarkan Ayahnya.

   "Supek, saya mendengar ketika saya mewakili Kong-thong-pai berkunjung ke Thian-san-pai itu. Ketika itu di antara para tamu ada yang bicara tentang munculnya tiga orang gila di dunia kang-ouw yang terdiri dari suami isteri dan puteranya dan kabarnya ilmu kepandaian mereka memang luar biasa sekali. Akan tetapi yang saya dengar, mereka itu bukan penjahat, artinya di antara mereka tidak pernah melakukan perampokan atau kejahatan lain walaupun watak mereka memang aneh sekali. Kalau saya tidak salah ingat, mereka itu dari keluarga Song. Saya tidak menceritakan berita itu kepada Supek atau Ayah kerena saya anggap itu hanya kabar angin belaka, siapa kira hari ini kita berurusan langsung dengan mereka. Biar saya yang akan mendatangi mereka dan merampas kembali barang kawalan Ci Suheng dan kawan-kawannya, Supek!"

   Diam-diam Sin Lee kagum akan ketegasan dan kegagahan gadis itu. Akan tetapi Ayah gadis itu cepat berkata,

   "Suheng, urusan ini bukan urusan kecil, selain menyangkut pertanggungan-jawaban murid Kong-thong-pai, juga menyangkut nama dan kehormatan Kong-thong-pai. Kalau sampai tersiar berita bahwa barang yang dilindungi murid Kong-thong-pai dapat dirampas orang, tentu orang-orang akan memandang rendah kepada Kong-thong-pai. Dan mengingat bahwa keluarga gila itu amat lihai, maka saya minta perkenan Suheng untuk menangani sendiri urusan ini."

   "Siancai..."

   Hari ini Kong-thong-pai menghadapi urusan besar. Engkau benar, sute, memang harus engkau sendiri yang menangani. Akan tetapi jangan seorang diri. Bawalah murid-murid yang terpandai untuk membantumu. Urusan ini bukan urusan mengadu ilmu memperebutkan kehormatan, akan tetapi untuk mengambil kembali barang yang dirampok. Jadi, tidak perlu sungkan menggunakan tenaga banyak murid."

   "Baik, Suheng. Sekarang juga saya akan mengumpulkan murid-murid yang terbaik."

   "Ayah, biarkan aku yang akan memilih para Suheng yang patut untuk menyertai kita, aku yang akan memimpin mereka!"

   Kata Bi Hwa dengan gagah dan ucapan ini berarti bahwa ia, tidak boleh ditawar-tawar lagi, akan ikut dalam usaha perampasan kembali barang berharga itu. Sin Lee yang sejak tadi merasa tidak enak karena dia bertamu kepada keluarga yang sedang sibuk menghadapi urusan besar, lalu minta diri berpamit kepada mereka.

   "Harap Pangcu dan paman Kiang suka memaafkan aku. Akan tetapi kurasa aku tidak perlu mengganggu cu-wi (kalian) lebih lama lagi. Aku hendak melanjutkan perjalananku."

   Kam Sun Tojin dan Kiang Cu I segera memberi hormat dan Kiang Cu I berkata,

   "Taihiap harap maafkan kami tidak dapt menyambut sebagaimana mestinya."

   "Siancai..."

   Pendekar Bunga Merah kenapa demikian tergesa-gesa? Kenapa tidak tinggal di sini selama beberapa hari agar dapat bercakap-cakap dengan pinto?"

   "Terima kasih, Pangcu. Biarlah lain kali saja saya datang berkunjung lagi kalau saatnya tepat, kalau Kong-thong-pai tidak sedang menghadapi urusan besar seperti ini."

   Dia lalu memberi hormat dan meninggalkan tempat itu dengan cepat. Akan tetapi tentu saja Sin Lee tidak pergi jauh. Sampai di luar wilayah Kong-thong-pai, dia bersembunyi dan menanti. Hatinya sudah tertarik sekali mendengar cerita tentang keluarga gila itu. Dia seperti dapat mencium adanya bahaya yang mengancam Kong-thong-pai, oleh karena itu dia menanti dan mengambil keputusan untuk membayangi mereka dan kalau perlu membantu mereka. Dia tentu saja tidak berani mencampuri urusan orang lain secara berterang, karena hal itu sama saja dengan meremehkan kemampuan orang-orang Kong-thong-pai.

   Tak lama kemudian, lewatlah rombongan orang Kong-thong-pai itu di situ. Sin Lee mengintai. Yang menjadi pimpinan rombongan adalah Kiang Cu I sendiri yang berjalan di samping puterinya, Kiang Bi Hwa yang nampak cantik dan gagah. Gadis ini sudah berganti pakaian ringkas berwarna merah muda, dengan pedang di punggung dan rambut digelung ke atas ia nampak gagah dan jelita. Di belakang Ayah dan anak ini berjalan Ci Toan, Ci Gu dan Yong Hai sebagai penunjuk jalan, dan masih ada lagi sepuluh orang murid Kong-thong-pai yang sudah lihai ilmu silatnya. Mereka semua membawa pedang di punggung, sehingga kelihatan seperti barisan pedang. Sin Lee membiarkan mereka lewat sampai jauh, baru dia membayangi mereka dari jarak jauh. Dia teringat bahwa tempat di mana tiga murid Kong-thong-pai bertemu keluarga gila itu adalah di antara kota Lok-yang dan Su-kiang, di kaki bukit Kwi-san.

   Melihat gerakan rombongan itu tidak begitu cepat, Sin Lee lalu menggunakn ilmu berlari cepat, hendak mendahului mereka karena dia ingin sekali "Berkenalan"

   Dengan keluarga gila itu. Menurut Bi Hwa, gadis jelita itu, keluarga gila itu tidak pernah berbuat jahat. Kenapa sekarang mengganggu tiga orang murid Kong-thong-pai? Dan dia teringat pula akan sikap tiga orang murid itu yang agak kasar dan tidak menghargai orang. Apakah karena itu maka perampokan terjadi? Ingin dia mengetahui sendiri dan kalau memang keluarga gila itu tidak jahat, dia harus mencegah terjadinya pertempuran. Karena melakukan perjalanan dengan pengerahan ilmu berlari cepat, menjelang sore hari Sin Lee sudah tiba di tempat itu, di kaki bukit Kwi-san, jalan yang terapit hutan rimba itu. Karena jalan itu sunyi saja, dia lalu memasuki hutan.

   Dia mendaki bukit Kwi-san, karena dia menduga bahwa tinggal di daerah itu paling enak tentu memilih puncak Kwi-san. Belum lama dia mendaki, dia mendengar suara orang tidur mendengkur. Jantungnya berdebar. Bukankah Ci Toan bercerita bahwa ketika pertama kali bertemu dengan pemuda gila yang oleh orang tuanya dipanggil Aceng itu, pemuda gila itu juga tertidur melintang jalan sambil mendengkur? Makin keras saja suara dengkur itu ketika dia menyusup masuk hutan dan tak lama kemudian dia mendapatkan dari mana suara dengkur itu terdengar. Nun di sana, jauh di atas pohon yang tinggi terjepit dahan dan ranting, nampak seorang laki-laki sedang tidur mendengkur! Melihat betapa orang itu masih muda, berpakaian warna-warni berkembang, tahulah dia bahwa orang inilah yang disebut Aceng, pemuda gila itu.

   Diapun bersikap hati-hati dan waspada. Dia melihat sebuah sarang lebah tergantung di pohon itu dan dia mendapatkan pikiran baik untuk menggugah si gila tanpa terlihat bahwa dia yang melakukannya. Dipungutnya sebutir kerikil dan sehelai daun. Kerikil itu disambitkannya ke arah sarang lebah dan daun itu disambitkan ke arah kaki si gila yang sedang tidur mendengkur itu. Dengan tepat sarang lebah itu kemasukan kerikil. Tentu saja pada penghuninya menjadi geger dan beterbangan keluar, mengaung-ngaung. Adapun sehelai daun itu mengenai kaki yang telanjang dan yang pipa celananya tinggi, dan itu sudah cukup untuk membangunkan orang yang sedang tidur. Pemuda gila itu menguap dan menggerakkan tangannya, dan pada saat itulah lebah-lebah yang melihat gerakan ini, langsung saja menyerangnya.

   "Aduh, aduh... auwww... aduh...!"

   Si gila meronta, dan melayang turun dengan gerakan ringan sekali. Akan tetapi lebah-lebah itu masih mengejarnya. Dan ternyata si gila itu memang memiliki tubuh yang kebal. Biarpun terasa nyeri dan gatal, namun tidak ada yang bengkak disengat lebah itu. Dan diapun menjadi marah.

   "Tawon gila! Tawon jahat! Apa salahku maka engkau menggigitku? Kau kira aku tidak mampu balas menggigitmu?"

   Dan dia lalu menangkapi lebah yang menempel di tubuhnya, membawanya ke mulut lalu menggigit lebah-lebah itu.

   "Ehh? Engkau manis! Enak!"

   Dan diapun makin getol menangkapi lebah-lebah yang menempel di tubuhnya, langsung mengigit. Tentu saja lebah yang digigitnya langsung hancur. Sin Lee yang bersembunyi di balik pohon memandang dengan heran dan juga geli hatinya. Orang ini memang gila seratus prosen. Akan tetapi ketika melayang turun tadi jelas menunjukkan bahwa ginkangnya memang istimewa, dan disengat lebah-lebah itu mengapa tidak menjadi bengkak-bengkak malah membalas menggigit lebah dan menghisap darahnya yang dikatakannya manis?

   "Heii, Aceng...!"

   Dia memberanikan diri keluar dari tempat sembunyinya.

   "Heii...!"

   Aceng menoleh dan melambaikan tangan, seperti seorang anak kecil bertemu temannya.

   "Mari sini, lebah-lebah ini menggigit aku, maka kubalas gigit mereka. Wah, rasanya manis lho!"

   Sin Lee tidak mendekat.

   "Ogah ah, aku takut disengat. Aceng, lebah-lebah itu bukan menggigitimu, melainkan menyengat. Engkau tidak boleh balas menggigit!"

   Teriak Sin Lee yang asal bicara saja untuk mengadakan hubungan.

   "Tidak boleh menggigit? Lalu bagaimana? Kalau mereka menyengat, bagaiman aku harus membalasnya?"

   "Tentu juga dengan menyengat mereka!"

   "Waaah, bagaimana caranya menyengat? Dengan apa? Pantatku tidak ada sengatnya!"

   Dan Sin Lee tertawa mendengar ini, lalu terdengar pemuda itu juga tertawa. Keduanya tertawa bergelak-gelak. Sin Lee tertawa bukan dibuat-buat melainkan memang geli hatinya membayangkan pemuda itu mempunyai sengat di pantatnya. Si gila itu lalu menghampiri Sin Lee.

   "He-he-he, engkau menyenangkan sobat, mari kita main-main. Siapa namamu?"

   "Namaku Sin Lee,"

   Kata Sin Lee sambil mengambil bunga merah dari kancing bajunya dan menyerahkan kepada si gila.

   "Apa ini?"

   "Ini kembang merah, bagus sekali kalau engkau pakai menghias rambutmu,"

   Kata Sin Lee yang mengagumi perhiasan yang dipakai pemuda gila itu. Ada lima helai kalung melingkari lehernya, kalung emas dengan mainan permata besar-besar. Juga lengannya memakai gelang, bahkan kedua kakinya juga memakai gelang! Teringatlah dia akan peti perhiasan yang dirampas itu.

   "Ha-ha, bagus sekali. Kembang merah bagus sekali."

   Si gila itu menari-nari sambil memeluknya, agaknya dia memakai minyak wangi! "Sin Lee, nanti kalau aku menikah engkau akan kuberi sedikit."

   "Beri apa?"

   "Tentu kuberi apa yang kudapat. Aku memperoleh isteri, nah, kuberikan isteriku kepadamu sedikit."

   "Wah, engkau ini aneh saja."

   "Kenapa aneh? Kalau sahabat baik, tentu akan memberikan miliknya kepada sahabatnya itu dan engkau memang sahabat baikku."

   Wah, berabe memang. Jalan pikiran orang gila memang sukar diikuti, tapi Sin Lee maklum bahwa selamg tidak menentangnya, tentu Aceng akan menganggapnya sahabat baik. Aceng memegang tangan Sin Lee,

   "Mari ikut."

   "Ke mana?"

   "Pulang. Aku akan memberi tahu Ayah ibu bahwa aku telah mempunyai seorang kawan yang baik sekali. Mari, nanti kumintakan barang-barang bagus dari mereka untukmu."

   Aceng lalu berlari cepat sambil menggandeng tangan Sin Lee. Diam-diam Sin Lee mengendurkan tenaganya saja dan dia hendak melihat sampai di mana ilmu kepandaian Aceng. Dan dia kagum. Pemuda gila itu pandai berlari cepat. Tubuhnya ringan dan tangan yang memegang pergelangan tangannya itu kuat sekali sehingga tubuhnya seolah terangkat dan dia dibawa lari secepat terbang.

   Pantas saja tiga orang murid Kong-thong-pai itu tidak mampu melawannya. Dia merasa kebetulan sekali karena memang inilah yang dikehendakinya. Menyelidiki keadaan tiga orang gila itu. Kalau dia yang mendatangi mereka mungkin saja berbahaya. Akan tetapi kalau Aceng yang membawanya, tentu Ayah ibu pemuda yang tentu lebih lihai lagi tidak akan marah. Aceng membawanya naik ke puncak Kwi-san dan ternyata di sana berdiri sebuah rumah besar yang terbuat dari pada kayu dan bambu. Atapnya dari daun bambu dianyam. Biarpun sederhana seperti gubuk, namun gubuk itu besar dan di sekitarnya ditumbuhi banyak kembang yang beraneka warna dan ragam. Agaknya keluarga gila ini suka pula akan keindahan dan memiliki jiwa seni, pikir Sin Lee. Dan biasanya, orang yang memiliki jiwa seni, jarang ada yang berwatak jahat.

   "Ayah! Ibu! Lihat siapa yang kubawa ke sini!"

   Teriak Aceng ketika mereka tiba di depan rumah. Dia melepaskan tangan Sin Lee yang memandang sekeliling. Indahnya pemandangan dari tempat itu. Sungguh, tempat ini memiliki hong-swi (letak) yang bagus sekali. Dan inipun menunjukkan bahwa orang-orang ini memiliki jiwa seni. Seorang laki-laki berpakaian seperti Aceng datang menghampiri dan matanya bergerak liar memandang ke sekeliling, seperti berputar-putar. Wanitanya tidak kalah anehnya. Pakaiannya dari sutera merah, potongannya juga aneh, kedodoran. Dan wanita ini berbedak tebal, bergincu dan tubuhnya penuh dengan perhiasan yang mahal-mahal seperti yang dipakai Aceng. Wanita inipun tertawa-tawa mengerikan, walaupun harus diakui bahwa wajah itu sama sekali tidak buruk, bahkan cantik. Kecantikan yang aneh dan membuat orang takut!

   "Hooo, siapa kawanmu ini, Aceng?"

   Tanya sang Ayah sambil matanya memandang kepada Sin Lee penuh selidik. Sin Lee merasa seolah-olah pandang mata itu menggerayangi tubuhnya dari kepala sampai ke kaki, membuatnya merasa tidak enak.

   "He-he-hi-hi, pemuda begini tampan engkau dapatkan di mana, Aceng? Berikan saja kepada ibumu untuk teman main-main!"

   Kata wanita itu dan Sin Lee merasa tubuhnya panas dingin. Kalau dia diberikan kepada wanita itu dan diajak bermain-main, sungguh mengerikan sekali.

   "Aiih, ibu. Mana bisa? Aku yang menemukan dia."

   Wanita itu mendekati Aceng dan mengelus-elus wajah puteranya.

   "Aceng, kenapa pipimu ini? Dan lehermu? Kenapa ada tanda merah-merah ini. Engkau keracunan!"

   "Ihh, ibu. Sialan itu lebah-lebah. Mereka menggigiti aku, dan aku sudah balas menggigit mereka sampai hancur. Eh, kawan baikku ini mengatakan bahwa lebah itu tidak menggigit melainkan menyengat. Ayah, ibu, ajarkan aku menyengat supaya kelak aku dapat membalas lebah-lebah atau apa saja yang menyengatku!"

   Suara Aceng berubah manja seperti seorang anak kecil merengek minta dibelikan kembang gula. Diam-diam Sin Lee merasa geli sekali, akan tetapi ditahannya agar jangan sampai tertawa karena dia khawatir kalau dikira menertawakan mereka.

   "Hiiii, kalau ingin tertawa, tertawa saja. Jangan ditahan-tahan begitu, menyebalkan!"

   Wanita itu tiba-tiba menudingkan telunjuknya kepada Sin Lee. Sin Lee terkejut. Begitu awaskah wanita ini sehingga dapat melihat bahwa dia ingin tertawa dan ditahan-tahannya. Dan tiba-tiba saja ketiganya meledak-ledak tertawa dan mau tidak mau Sin Lee ikut pula tertawa haha-hehe. Celaka, pikirnya, kini dia tertawa lepas tak ditahannya pula, ketawa lepas bebas dan dia pikir, kalau terlalu lama berada di antara mereka, tentu dia ketularan gila!

   "Nah, begitu baru bagus!"

   Kata kakek itu.

   "Sin Lee, kami senang sekali padamu. Kamu waras seperti kami, tidak gila seperti orang-orang yang suka mencela kami dan mengatakan kami gila. Kamu adalah sahabat baik kami dan awas mereka kalau ada yang mengganggu kamu. Eh, Aceng, engkau ingin belajar menyengat?"

   "Benar, Ayah. Aku ingin sekali, akan tetapi bagaimana mungkin? Pantatku tidak ada sengatnya."

   "Siapa bilang tidak mungkin? Nah, kau lihat baik-baik."

   Kakek itu lalu membuat gerakan jurus silat yang aneh. Mula-mula pantat disorongkan akan tetapi tiba-tiba saja tubuh itu membalik dan kakinya sudah menendang.

   "Nah, tendangan kaki itu menggantikan sengatmu. Pasti orang menjadi terkejut dan tahu-tahu terkena tendangan."

   Aceng menirukan gerakan Ayahnya dan Sin Lee kagum bukan main karena kakek itu seketika dapat menemukan gerakan jurus yang aneh, dan Aceng juga setelah mengulang tiga empat kali sudah dapat meniru gerakan Ayahnya tadi. Tak terasa lagi Sin Lee bertepuk tangan memuji.

   "Bagus sekali, Aceng!"

   "Ha-ha-ha, engkau teman Aceng yang baik, Sin Lee. Ketahuilah, namaku Song Kian Ok, dan ini isteriku Nyonya Song. Dia bernama Song Ceng, panggilannya Aceng."

   "Eh, suamiku, ada orang-orang datang ke sini!"

   Kata Nyonya Song dan Sin Lee mengerahkan pendengarannya. Barulah dia dapat menangkap suara dari jauh. Wanita itu sambil bercakap-cakap dapat menangkap gerakan orang-orang yang mendatangi dari jauh. Ini saja sudah menunjukkan bahwa ia memang memiliki sin-kang yang jempolan. Ayah dan anka itu diam sejenak dan merekapun dapat mendengarnya. Sin Lee dapat menduga bahwa yang datang itu tentulah rombongan orang dari Kong-thong-pai, maka diapun memancing omongan tentang mereka.

   "Paman dan bibi Song, dan Aceng, tadi ketika aku mendaki bukit, di bawah sana aku melihat serombongan orang. Kalau tidak salah orang-orang itu adalah para muring Kong-thong-pai, dan beberapa orang adalah Piauwsu-Piauwsu dari Pek-liong Piauw-kiok. Apakah mereka yang naik ke sini?"

   "Bagus, kalau mereka benar-benar datang, biarlah si tua Kam Sun Tojin sendiri yang datang menghadap aku!"

   Kata Song Kian Ok.

   "Sudah lama mendengar namanya, kalau dia tidak mampu mengajar adat kepada murid-muridnya, biarlah aku yang mengajar adat kepada Kam Sun Tojin."

   "Suamiku, bukankah Kam Sun Tojin itu pewaris ilmu Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai?"

   "Benar, dan kalau sampai ketua Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai mau datang dan ikut-ikutan, biar sekalian kuhajar?"

   Sin Lee terkejut. Kakek ini demikian congkak, hendak menghajar ketua Kong-thong-pai, ketua Siauw-lim-pai dan ketua Kun-lun-pai. Sehebat apakah ilmu kepandaiannya?

   "Wah, kalau akan timbul perkelahian, aku takut. Lebih baik aku pergi dulu!"

   Katanya dan di hendak pergi dari situ. Akan tetapi Aceng memegang tangannya. Pegangannya demikian kuat sehingga Sin Lee tidak mampu melepaskan diri.

   "Sin Lee, kenapa takut? Kau kira aku tidak tahu bahwa engkaupun memiliki kepandaian? Kalau tidak ingin terlihat mereka, hayo bersembunyi di dalam rumah saja."

   Dan dia menarik Sin Lee memasuki rumah. Sin Lee terpaksa menurut karena tidak ingin mereka yang bersikap baik kepadanya itu tiba-tiba menaruh curiga. Dia mengintai dari balik pintu.

   Keluarga gila itu kini berdiri di pekarangan rumah dan bertolak pinggang, tertawa ha-ha-hi-hi menyambut datangnya belasan orang itu. Kini nampaklah rombongan orang Kong-thong-pai itu. Paling depan berjalan Kiang Cu I dan gadisnya Kiang Bi Hwa. Sedangkan di belakangnya berjalan tiga orang Piauwsu yang nampak jerih dan sepuluh orang murid Kong-thong-pai yang masih muda-muda dan nampak gagah perkasa. Barisan kecil ini nampak angker dan berwibawa. Akan tetapi tiga orang gila itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan Aceng lalu bermain-main dengan lima untai kalung emas permata yang melingkari lehernya. Akan tetapi ketika melihat Bi Hwa, matanya terbelalak, dan tiba-tiba saja Aceng tertawa, mengejutkan semua yang baru datang karena tawanya keras sekali. Pandang matanya tidak pernah lepas dari Bi Hwa dan Aceng lalu merengek.

   "Ayah, ibu, itu ia pengantinku sudah datang! Ha-ha-ha-ha secantik bidadari! Lihat ibu, matanya itu, dan mulutnya... wah, manisnya. Ayah, ibu, kalau tidak mendapatkan isteri seperti itu, lebih baik aku mati!"

   Wajah Bi Hwa seketika menjadi merah sekali lalu berubah agak pucat karena marah mendengar ucapan yang gila itu.

   "Orang gila!"

   Bentaknya dengan suara nyaring dan menudingkan telunjuknya ke arah muka pemuda gila itu.

   "Cepat kembalikan peti perhiasan yang kau rampok atau terpaksa aku akan menghajarmu!"

   "Bi Hwa, tenanglah,"

   Kata Ayahnya yang melangkah maju menghadapi keluarga gila itu. Kiang Cu I adalah seorang wakil ketua perkumpulan besar. Dia sudah mempunyai banyak pengalaman maka biarpun yang dihadapinya sebuah keluarga gila, dia tidak berani memandang rendah. Ada suatu sikap dari para tokoh kang-ouw, yaitu untuk tidak memandang remeh, bahkan berhati-hati sekali kalau bertemu dengan orang-orang yang nampaknya lemah seperti wanita, pendeta, pengemis yang nampaknya berpenyakitan. Dia melangkah maju dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada.

   "Saya Kiang Cu I, wakil ketua Kong-thong-pai, minta maaf apa bila kedatangan kami serombongan mengganggu sam-wi yang menjadi penghuni tempat ini,"

   Katanya lantang.

   "Bagus, bagus! Kam Sun Tojin sudah berani memandang rendah kepada kita sehingga datang hanya mengirim wakilnya saja. Apa dia kira dia itu terlalu hebat dan tidak pantas untuk datang berkunjung?"

   Kata Song Kian Ok kepada isterinya.

   "He-he-hi-hi-hik, kirim wakilnya juga sudah lumayan, apalagi disertai tiga belas orang muridnya. Hei, siapa namamu tadi? Kiang Cu I? Kenapa Kong-thong-pai mempunyai pimpinan yang brengsek, tidak dapat mengajar adat kepada para muridnya?"

   Kiang Cu I kembali mengangkat tangan memberi hormat.

   "Saya mewakili Kong-thong-pai minta maaf apa bila ada murid kami yang bersalah dan harap suka jelaskan apa kesalahan mereka."

   "Aceng, dia tanya apa kesalahan muridnya, ha-ha-ha!"

   Kata Song Kian Ok kepada puteranya.

   "Nah, katakan apa kesalahan murid mereka."

   Aceng menggaruk-garuk kepalanya.

   "Wah, apa, ya? Aku sudah lupa lagi. Coba kuingat... ya, sekarang aku ingat. Nah, itu tiga orang yang kurang ajar itu!"

   Dia menudingkan telunjuknya kepada Ci Toan, Ci Gu, dan Yong Hai yang menjadi ketakutan.

   "Hayo kalian pungkiri kalau bisa. Ketika aku sedang tidur di jalan. Eh, tahu-tahu orang-orang ini membentak dan menggugahku. Aku jadi terkejut dan terganggu. Eh, malah mereka marah-marah, memaki aku gila dan mengusirku dari situ. Siapa yang tidak muak. Orang-orang itu gila memaki aku sebagai orang gila. Kemudian yang lebih menjengkelkan lagi, mereka sudah bersumpah akan memberikan apa saja yang kuminta. Eh, setelah kuminta peti itu, mereka tidak mau memberikan, malah mengeroyok aku! Aku lalu menghajar mereka dan mengambil peti yang memang sudah dijanjikan akan diserahkan kepadaku kalau kuminta."

   Pemuda itu lalu menjulurkan lidahnya kepada tiga orang itu, mengejek dan tertawa-tawa. Kiang Cu I sudah mendengar penuturan tiga orang murid keponakan itu. Tentu saja tak diceritakan tentang sumpah itu, dan agaknya orang gila ini mempunyai cara sendiri untuk mempertahankan kebenarannya. Dia menoleh kepada mereka dan bertanya,

   "Benarkah apa yang diceritakannya itu?"

   Ci Toan mewakili saudara-saudaranya menjawab,

   "Memang benar, Susiok, akan tetapi..."

   "Tidak ada tapi, tidak ada tapi!"

   Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata pemuda itu.

   "Kalau sudah bersalah ya bersalah saja, tidak ada pakai tapi lagi."

   "Ha-ha-ha, anak kami ini, jelek-jelek tidak pernah berbohong, Kiang-Pangcu. Jelas murid-murid Kong-thong-pai yang bersikap keterlaluan. Nah, sekarang kalian datang ke sini mau apa?"

   "Locianpwe, kami mintakan maaf atas kesalahan para murid kami dan mereka sudah menerima hajaran dari putera Locianpwe. Kami kira hal itu sudah sepantasnya dan kalau yang bersalah sudah menerima hukuman, bukankah hal itu berarti sudah beres. Akan tetapi, kami datang untuk minta agar peti berisi perhiasan itu dikembalikan kepada kami. Hendaknya diketahui bahwa barang itu bukan milik kami, akan tetapi karena kami yang mengawalnya, maka menjadi tanggungan kami."

   "Enak saja!"

   Bantah Aceng.

   "Barang itu sudah kuminta, dan sudah diberikan, bagaiman bisa diambil kembali. Tidak bisa!"

   "Ha-ha-ha, orang-orang Kong-thong-pai seperti anak kecil saja. Heh, Kiang Cu I dengarlah, kalau memang kalian menghendaki kembalinya peti itu, saya minta agara Kam Sun Tojin datang sendiri ke sini dan kalian semua berlutut minta ampun. Kemudian Kam Sun Tojin harus dapat mengalahkan kami Ayah ibu dan anak, baru peti serta isinya kami kembalikan. Bagaimana?"

   Wajah Kiang Cu I menjadi merah. Dia membanting kaki kanannya dan berseru lantang,

   "Sungguh keterlaluan engkau menghina kami! Kami sudah banyak mengalah, akan tetapi engkau yang mendesak kami untuk menggunakan kekerasan!"

   "Orang gila seperti mereka apa perlunya diajak bicara baik-baik, Ayah? Kita hajar saja mereka!"

   Bentak Bi Hwa yang marah sekali dan gadis ini sudah mencabut pedangnya dan sekali melompat tubuhnya yang ringan seperti burung walet itu sudah berada di depan Aceng.

   "Orang gila, kembalikan peti perhiasan itu atau aku akan memenggal batang lehermu!"

   "He-he, engkau calon isteriku. Tadinya aku hendak meminangmu, akan tetapi karena pihakmu bermain kasar, engkau harus didenda. Mau tidak mau engkau harus menjadi isteriku, ha-ha-ha!"

   "Gila!"

   Bentak Bi Hwa dan pedangnya menyambar cepat ke arah leher orang gila itu. Akan tetapi dengan gerakan aneh seperti orang mabok, menggeleng-geleng kepalanya sambil mundur, Aceng sudah berhasil menghindarkan serangan pedang itu dan tiba-tiba tangannya meluncur ke depan untuk mencengkeram pundak Bi Hwa. Gadis ini terkejut karena biarpun ia sudah melangkah mundur, namun tangan itu tetap saja terulur hampir dapat mencengkeram pundaknya, maka terpaksa ia membuang diri ke belakang sambil berjungkir balij beberapa kali, barulah ia terhindar dari cengkeraman tangan yang dapat mulur itu. Sementara itu, Kiang Cu I juga sudah mencabut pedangnya dan melompat ke depan Song Kian Ok.

   "Sobat, silakan kalau hendak menguji ilmu kepandaian,"

   Katanya. Song Kian Ok tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, kalau Kam Sun Tojin yang datang sendiri, barulah ramai dan ada harganya untuk kulawan. Kini engkau hanya wakilnya. Kiang Cu I, majulah bersama semua muridmu itu agar keadaannya berimbang!"

   Dia mengangkat tangan yang memegang tongkat dan menuding ke arah para anggota Kong-thong-pai itu. Sikapnya memandang rendah dan tertawa-tawa. Sementara itu, Nyonya Song lalu mencari tempat duduk di atas batu dan ia tertawa haha-hihi sambil memeluk lutut yang diangkat tinggi.

   "Aduh, bagus, tontonan ramai sekali. Eh, Aceng, jangan engkau lukai calon isterimu itu, kasihan!"

   Iapun kelihatan gembira sekali.

   Melihat gerakan Aceng yang menggunakan tangan kosong melawan puterinya, Kiang Cu I terkejut bukan main. Dia tahu bahwa tingkat kepandaian Bi Hwa sudah hampir sama dengan tingkatnya, akan tetapi pemuda gila itu menghadapinya dengan tangan kosong saja dan dalam gebrakan pertama saja gadis itu sudah terdesak hebat. Baru kepandaian puteranya sudah demikian tingginya, apa lagi kepandaian Ayahnya. Oleh karena itu dia tidak malu-malu lagi menggunakan keuntungan tantangan lawan untuk dikeroyok itu. Bukan dia yang mengeroyok, melainkan pihak lawan yang menantang. Apa lagi, sekali ini bukan pertandingan silat, melainkan usaha merampas kembali barang yang dirampok. Maka dia memberi isyarat kepada tiga belas orang murid pilihan itu yang kesemuanya telah mencabut pedang dan mengepung Song Kian Ok yang tertawa bergelak kegirangan.

   "Bagus! Bagus! Hayo maju semua, jangan ada yang ketinggalan, jangan nanti tidak kebagian gebukan ada yang iri hati heh-heh-heh!"

   Karena merasa dipandang rendah sekali, Kiang Cu I lalu membentak,

   "Lihat pedang!"

   Dan dia mulai menyerang dengan dahsyatnya. Kakek itu hanya terkekeh, menggerakkan tongkat seenaknya akan tetapi ketika tongkatnya membentur pedang, Kiang Cu I terbelalak karena hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan. Tongkat orang gila itu seperti mengandung gerakan yang amat kuat. Tiga belas orang muridnya lalu mengeroyok. Diserang dari berbagai jurusan itu, Song Kian Ok girang sekali dan bergelak-gelak sambil menari-nari seperti orang gila. Akan tetapi kemanapun dia menggerakkan tongkat, dengan tepat tongkat itu menangkis pedang para pengeroyok.

   

Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono

Cari Blog Ini