Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cengeng 12


Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



Namun hanya dapat dihitung dengan jari tangan saja kaisar-kaisar yang bijak-sana seperti itu dalam sejarah. Misalnya Kaisar Yang Ceng, pendiri bangsa Sui yang menjadi kaisar selama duapuluh tiga tahun (581-604). Kaisar Tang Tai Cung atau yang tadinya terkenal dengan nama Li Shi Bin (627-946). Kaisar Hiau Tong atau terkenal sebagai Beng Ong (712-755) dan beberapa orang kaisar lain-nya.

   Apakah yang menyebabkan mereka terkenal dan negara menjadi makmur di bawah kekuasaan mereka? Tiada lain karena mereka memperhatikan kepentingan rakyat tidak tenggelam dalam nafsu menurutkan kesenangan diri pribadi, sadar akan kewajiban tidak mabok oleh hak dan kekuasaannya.

   Untuk menjadi seorang raja bijaksana seperti itu membutuhkan rasa cinta kasih yang mendalam kepada rakyat dan negaranya, terutama kepada rakyat kecil. Pemerintah Goan adalah pemerintah penjajah, kaisarnya pun seorang asing. Tentu saja andaikata ada perasaan kasih sayang di hatinya terhadap rakyat, maka bukanlah rakyat yang dijajahnya, tetapi yang disayangnya! Kaisar kerajaan Goan kedua, yaitu Kubilai Khan, boleh jadi seorang kaisar yang besar dan pandai. Akan tetapi iapun tidak memperdulikan nasib rakyat jelata, rakyat kecil dan miskin.

   Bukan saja tidak memperdulikan, bahkan dia membutakan mata terhadap kenyataan betapa semua perintah-perintahnya dilaksanakan oleh para penguasa dengan jalan memeras, menginjak, dan memperkuda rakyat jelata.

   Perbuatan atau penyempurnaan saluran dan terusan yang dimaksudkan untuk memperlancar hubungan dari selatan ke utara, dilaksanakan secara keji. Rakyat dipaksa bekerja rodi, dipaksa mengalami hidup seperti dalam neraka, kerja berat secara paksa kadang-kadang tanpa ransum dan sampai mati di tempat kerja, dikubur begitu saja oleh teman-teman senasib di tempat kerja, ada kalanya dicambuk sampai mati, disembelih oleh penjaga-penjaga yang dikuasai nafsu amarah. Yang laki-laki ditangkapi dari rumah disuruh kerja paksa, anak bini ditinggalkan dan anak atau bini yang muda dan yang cantik terjatuh ke tangan orang-orang kaya raya dan pejabat-pejabat daerah yang rakus, sedikit sawah ladang terjatuh pada tuan-tuan tanah.

   Tidaklah mengherankan apabila banyak diantara rakyat yang sudah tidak dapat menahan kesengsaraan hatinya, memberontak.

   Di sana sini muncul pemberontakan dan di sana sini muncul kekacauan-kekacauan. Pemerintah Mongol (Goan) berusaha menggencet pemberontakan ini dengan kekerasan. Memang di banyak tempat mereka berhasil membasmi kaum pemberontak, namun mungkinkah membasmi rasa dendam dan benci dari hati rakyat? Menguasai rakyat dengan jalan kekerasan merupakan langkah pertama yang sesat dan keliru bagi sebuah pemerintah, karena hal ini akan menanamkan bibit kebencian dan dendam.

   Dan betapa negara akan dapat menjadi tenteram, damai dan makmur kalau rakyatnya gelisah diamuk benci dan dendam? Akibatnya, kekacauan terus menerus, padam di sini timbul di sana, reda di sana bergolak di sini!

   Ouwyang Tek, Gui Siong, Lauw Ci Sian dan Tan Li Ceng terus menerus memimpin pasukannya mengadakan kekacauan di daerah penjagaan di sekitar terusan yang digali. Makin banyak pengikut pasukan ini, sampai mencapai jumlah lebih dari duaratus orang! Sebagian besar dari mereka adalah pekerja-pekerja yang berhasil lolos keluar dengan bantuan pasukan ini.

   Karena mereka semua telah mengalami penyiksaan dan penderitaan yang amat hebat di dalam neraka dunia ketika menggali terusan itu maka rasa dendam dan kebencian mereka membuat mereka semua ini menjadi sebuah pasukan berani mati yang amat luar biasa!

   Mereka tidak mempunyai markas tertentu, selalu berpindah-pindah tempat di daerah lembah sungai yang banyak hutannya, dan selalu muncul di saat yang tidak tersangka-sangka lawan, di tempat tempat yang selalu kurang penjagaannya sehingga banyaklah para penjaga yang terbunuh. Kalau pasukan penjaga mengadakan penyergapan dengan pasukan yang besar dan kuat, mereka hilang seperti ditelan bumi untuk kemudian muncul di tempat lain yang penjagaannya kurang kuat lalu menghancurkan pasukan penjaga di situ.

   Mudah diduga sebelumnya dan memang tidaklah aneh kalau dua pasang orang muda itu makin lama makin saling tertarik. Bagi Ouwyang Tek dan Gui Siong memang dua orang gadis itu bukan wanita-wanita biasa saja, melainkan semenjak pertama ketika bertemu dahulu, hati mereka telah dicuri. Apa lagi ketika guru mereka, Siauw-bin-mo Hap Tojin menyatakan bahwa kakek ini akan merasa bahagia sekali kalau dua orang muridnya itu dapat mengikat perjodohan dengan dua orang murid wanita sahabat baiknya itu. Memang hal ini sudah pula dibicarakan oleh Hap Tojin kepada sahabatnya Liong Losu, akan tetapi pendeta berkepala gundul itu hanya menggelengkan kepala dan berkata.

   "Pinceng setuju sekali akan tetapi hanya terserah kepada yang akan menjalani!"

   Persoalan ikatan jodoh itu terhenti sampai di situ saja dan selama setahun tidak diusik-usik kembali. Kini seolah-olah Tuhan sendiri yang mengatur sehingga mereka tidak hanya dapat bertemu di tempat yang tak disangka-sangka, bahkan mereka terus dapat berkumpul dan berjuang bahu membahu.

   Mengherankankah itu namanya kalau Ouwyang Tek makin lama makin tertarik kepada Lauw Ci Sian, gadis pendiam yang cantik jelita dan gagah perkasa itu?

   Dan anehkah kalau Gui Siong yang halus lembut dan hati-hati itu makin lama makin tergila-gila kepada Tan Li Ceng, gadis cantik manis yang lincah jenaka itu? Akan tetapi, sampai berbulan-bulan mereka berjuang bersama, bertanding bahu membahu, berlumba merobohkan lawan, makin berat menindih rasa cinta kasih di hati kedua orang muda itu, namun mulut mereka tetap membungkam, berat dan sukar rasanya untuk membuka kata menyampaikan rasa cinta dengan suara!

   Apalagi bagi Ouwyang Tek yang memang pendiam dan tidak pandai bicara, tiap kali hendak mengaku cinta, lehernya seperti tercekik tangan yang tak tampak sehingga jangankan mengeluarkan kata-kata bahkan bernapas pun sukar rasanya, sedangkan Gui Siong yang biasanya psndai bicarapun kalau berhadapan dengan Tan Li Ceng, seperti seekor jangkerik terpijak, tidak ada suaranya lagi, seperti "mati kutunya"!

   Pada suatu malam empat orang muda ini mengadakan sebuah serbuan pada sebuah tempat penjagaan yang cukup kuat dijaga oleh seratus orang lebih penjaga, sedangkan jumlah penyerbu yang dipimpin keempat orang muda itu hanya ada tujuhpuluh orang.

   Akan tetapi karena penyerbuan dilakukan pada tengah malam secara tiba-tiba dan tak terduga-duga, maka pasukan penjaga menjadi panik. Apalagi karena pasukan penyerbu yang dipimpin empat orang muda perkasa itu adalah pasukan pilihan yang sudah terlatih, sudah belajar jurus-jurus pokok dalam perang campuh seperti itu, diambil dari jurus-jurus ilmu silat tinggi keempat orang muda itu.

   Terjadilah pertempuran hebat atau lebih tepat penyembelihan karena pihak penjaga benar-benar dihancurkan di malam itu. Mereka berusaha melawan namun sia-sia dan mulailah tempat itu banjir darah dan mayat-mayat roboh bergelimpangan.

   Seperti biasa dalam setiap penyerbuan Ouwyang Tek, Gui Siong, Lauw Ci Sian dan Tan Li Ceng menjadi pelopor, mengamuk paling depan. Pedang mereka merupakan jangkauan-jangkauan maut yang sukar dihindarkan musuh. Kemana pedang mereka berkelebat, tentu ada lawan yang roboh dibarengi darah muncrat!

   Hiruk pikuk suara perang di malam terang bulan itu. Teriakan-teriakan marah dan kemenangan para penyerbu bersaing dengan jerit korban dan pekik kematian, membubung di angkasa. Akan tetapi, diantara suara hiruk pikuk ini, Ouwyang Tek yang kebetulan mengamuk bersama Lauw Ci Sian, selalu berdekatan dan seakan berlomba merobohkan lawan malah sempat tertawa-tawa gembira dan berkata,

   "Sian moi (adik Sian), sudah beberapa orang korbanmu?"

   Lauw Ci Sian tersenyum. Selalu itulah yang ditanyakan pemuda tinggi besar dan gagah perkasa ini setiap kali mereka bertempur melawan musuh. Ia melihat betapa pemuda itu merendahkan tubuh untuk membiarkan sebatang golok terbang lewat di atas kepala, lalu dari bawah pedangnya menusuk memasuki perut seorang pengeroyok yang menjerit dan roboh di bawah kaki si pemuda. Pada saat itu, Ci Sian miringkan tubuhnya karena ada tombak yang menusuk dada, begitu tombak lewat ia menjepit batang tombak di dalam kempitan lengan kiri pedangnya membabat dan si pemegang tombak sudah kehilangan kepalanya karena lehernya terpental putus!

   "Baru enam, Ouwyang twako,"

   Jawabnya.

   Mereka berdua mengamuk terus, bahu membahu. Agaknya Ouwyang Tek gembira bukan main karena penyerbuan itu berhasil baik, maka tidak seperti biasanya kini dia tidak hanya mengeluarkan pertanyaan tentang banyaknya korban saja, melainkan terdengar ia mengeluarkan ucapan yang amat aneh bagi pendengaran Ci Sian

   "Sian moi......!"

   Pemuda itu berseru lagi sambil tetap mengamuk, tanpa menoleh ke arah gadis yang diajak bicara.

   "Trang, trang......!"

   Ci Sian memutar pedang menangkis dua batang golok yang menyambar dari kanan kiri, kemudian pedangnya menyambar. Hanya dengan menjatuhkan diri, dua orang pengeroyok itu terlepas daripada bahaya maut, lalu meloncat dan mengeroyok lagi bersama teman-teman mereka.

   "Ada apakah, Ouwyang twako?"

   "Aku...... aku...... cinta padamu...... mampus kau setan!!"

   Ci Sian terkejut bukan main dan memandang dengan mata terbelalak, Ouwyang Tek tadi mengeluarkan kata-kata itu sambil meloncat dan menubruk ke belakangnya. Kiranya pemuda perkasa itu telah menolongnya dari sebuah serangan musuh yang kedua tangannya penuh dengan senjata rahasia pisau kecil. Untung didahului oleh Ouwyang Tek yang merobohkan lawan itu dengan pedang.

   Kalau sampai diserang piauw dari belakang dalam jarak dekat berbahaya juga. Akan tetapi kekagetan Ci Sian tidaklah sekaget ketika ia mendengar pengakuan pemuda itu.

   Ci Sian memutar pedangnya. Jantungnya berdebar tidak karuan dan tiba-tiba ia teringat akan pengalamannya setahun yang lalu. Teringat betapa ia seakan-akan di dalam batinnya telah terikat kepada Yu Lee Si Pendekar Cengeng. Padahal pendekar itu sama sekali tidak pernah memperdulikan dia dan sumoinya. Tentu saja ia akan membuka kedua lengan lebar-lebar, membuka dada menyerahkan hati penuh kasih dan kagum kepada Ouwyang Tek, pemuda yang gagah perkasa ini.

   Akan tetapi hal itu tidak mungkin karena ia telah terlihat dalam keadaan telanjang bulat oleh seorang pria dan rasa malu ini hanya dapat ditebus dengan menjadi isteri pria itu atau...... membunuhnya! Hal ini membuat Ci Sian menjadi sedih dan tak tertahankannya lagi air matanya bercucuran membasahi kedua pipinya. Saking sedih, ia menjadi makin marah kepada musuh dan mengamuklah Ci Sian dengan hebatnya tanpa dapat menjawab pertanyaan Ouwyang Tek tadi.

   Ouwyang Tek wajahnya agak pucat. Untuk mengeluarkan pernyataan cinta tadi membutuhkan seluruh tenaga batinnya! Akan tetapi setelah ia keluarkan juga, ketegangannya agak mengurang dan ia terheran-heran melihat Ci Sian kini mengamuk hebat sambil menangis! Iapun menyerbu ke depan merobohkan dua orang lawan dan bertanya.

   "Sian moi...... kenapa kau menangis? Aku...... aku cinta padamu...... adakah ini menyakitkan hatimu......?"

   "Tidak......! Trang trangg...... aduuh......!"

   Seorang lawan tertembus pedang Ci Sian sampai ke punggung.

   Gadis itu melompat ke belakang menarik pedangnya menghadapi pengeroyokan empat orang lainnya.

   "Kalau begitu, engkau menerima kasihku......?"

   "Tidak bisa...... Ah, tidak mungkin......!"

   Dua orang muda itu kini tidak berkata-kata lagi. Wajah keduanya pucat dan muram, akan tetapi amukan mereka makin hebat. Bukan hanya Ouwyang Tek dan Ci Sian saja yang mengamuk, juga Gui Siong dan Li Ceng bersama anak buah mereka mengamuk sehingga pihak musuh menjadi makin panik, banyak jatuh korban di pihak musuh dan tak lama kemudian setelah dua orang perwira penjaga itu roboh di tangan Ouwyang Tek dan Ci Sian sisa para penjaga itu lalu melarikan diri meninggalkan pondok-pondok dan gardu-gardu penjagaan, meninggalkan pula banyak senjata dan ransum yang kemudian dirampas oleh pasukan penyerbu, meninggalkan pula belasan wanita hasil culikan yang terus dibebaskan oleh Ci Sian serta Li Ceng.

   Sebelum fajar muncul, pasukan ini lenyap dan hanya ada belasan orang terluka ringan, telah menghilang dari tempat itu sehingga ketika datang ratusan serdadu penolong pihak penjaga, tempat itu sudah menjadi sunyi dan gardu-gardu telah dibakar, mayat para penjaga berserakan!

   Semenjak malam hari penyerbuan itu wajah Ouwyang Tek kelihatan muram dan sayu mencerminkan kekecewaan dan kedukaan besar. Namun mulutnya tidak mengeluh, tidak pernah mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan hati yang patah!

   Sebaliknya Ci Sian juga tampak berduka dan setiap kali memandang wajah teman seperjuangan ini, matanya menjadi merah. Betapa tidak akan duka hatinya karena sesungguhnya ia juga mencintai pemuda ini, namun perasaan cinta kasih ini ia selimuti dengan pendapat pikiran bahwa tidak mungkin ia menjadi isteri orang lain kecuali Yu Lee! Karena kedua orang ini adalah orang-orang pendiam, maka mereka itu menahan derita korban asmara gagal ini di dalam batin saja.

   Berbeda keadaan mereka dengan Gui Siong dan Tan Li Ceng. Beberapa hari setelah penyerbuan yang berhasil itu, pada malam harinya yang terang benderang karena bulan purnama muncul sejak sore, kebetulan Gui Siong dan Li Ceng berada berdua saja di dalam hutan yang menjadi tempat persembunyian mereka. Hampir semua pasukan sudah beristirahat, kecuali mereka yang menjaga, dan kedua orang muda yang bertugas mengawasi penjagaan ini bertemu di bagian yang terbuka sehingga sinar bulan sepenuhnya menyinari mereka.

   "Adik Li Ceng, ada satu hal yang sudah lama sekali menjadi ganjalan di hatiku, namun sampai kini belum jua dapat kukeluarkan dari mulut......"

   "Hi, hik, kau aneh sekali, Siong-koko (kakak Siong)!"

   Li Ceng tertawa menutupi bibirnya. Biarpun ia tetap berpakaian pria, namun kadang-kadang muncul juga sifat genit kewanitaannya yang wajar.

   "Kalau ada ganjalan hati, kenapa tidak lekas dikeluarkan? Ayahku seorang ahli obat dan pernah bilang bahwa ganjalan hati dapat merusak jantung dan paru-paru. Kalau dibiarkan berlarut-larut menimbulkan racun mengamuk dalam dada. Apa sih ganjalan hatimu, koko?"

   "Aku khawatir akan ada orang yang marah besar kalau sampai aku berani mengatakan ganjalan ini, Ceng-moi......"

   Li Ceng memandang, dengan mata bening terbelalak, alis hitam panjang terangkat, Gui Siong terpesona. Betapa cantiknya gadis ini kalau sudah memandangnya seperti itu, ia tidak percaya kepada kekuatan sendiri dan cepat-cepat mengalihkan pandangan, kini ia menengadah menatap bulan.

   "A"ihh, engkau lucu dan aneh. Siapakah orangnya yang akan marah-marah?"

   "Engkaulah orangnya."

   ""Eh, eh! Jangan bergurau, Siong-ko! Mengapa aku harus marah?"

   Tanpa mengalihkan pandang matanya dari bulan, Gui Siong berkata perlahan.

   "Benarkah engkau tidak akan marah, moi-moi?"

   "Tidak. Mengapa harus marah? Aku berjanji takkan marah. Apa sih ganjalan aneh itu?"

   "Biarlah aku berterus terang, memang tidak baik menyimpan ganjalan hati, moi-moi, dan kaupun boleh marah padaku, memang aku yang tak tahu diri. Moi-moi...... semenjak pertemuan kita setahun lebih yang lalu, ketika menyerbu Istana Air sarang iblis betina Dewi Suling dan gurunya. Aku...... aku...... telah cinta kepadamu, Li Ceng. Bahkan suhu sendiri mengusulkan agar aku dan suheng dapat berjodoh dengan engkau dan sucimu. Li Ceng, aku cinta padamu......! Nah, inilah ganjalan hatiku......"

   Seluruh muka Li Ceng menjadi merah mendengar pernyataan cinta ini. Menurut suara hatinya, pemuda itu tidak bertepuk sebelah tangan. Pemuda yang begini tampan, halus, gagah perkasa, sudah lama menjatuhkan hatinya Akan tetapi, ah, betapa ia dapat menerima kasih sayangnya kalau di sana ada...... Pendekar Cengeng! Ia menghela napas panjang.

   Mendengar gadis itu menghela napas dan tidak menjawab, Gui Song mengerutkan keningnya dan menoleh dengan muka pucat, ia sudah siap menanti akibat yang paling buruk yaitu ditolak cintanya dan dianggap kurang ajar. Ia menoleh dan melihat betapa gadis itu menunduk, wajah yang cantik dan tersinar cahaya rembulan itu murung dan muram.

   "Maaf, Ceng-moi, sungguh aku tak tahu diri dan......"

   "Bukan begitu, koko. Aku tidak marah, juga aku harus bersyukur dan berterima kasih bahwa seorang peuuda gagah perkasa seperti engkau sudi menaruh perhatian kepada diriku yang buruk dan bodoh......"

   "Kalau begitu engkau? "

   Gui Siong seperti tercekik lehernya saking girangnya.

   "Aku...... aku...... terpaksa tak........ dapat menerima perasaan hatimu yang murni itu, Siong-koko, karena...... karena......."

   Gui Song melongo penuh kekecewaan.

   "Kenapa moi-moi? Karena engkau tidak mempunyai perasaan cinta kepadaku?"

   Li Ceng menggeleng kepalanya sambil menunduk. Jari-jari tangannya tanpa disadarinya mencabut rumput dan mempermainkan rumput-rumput itu.

   "Kalau begitu mengapa, Ceng-moi? Beritahulah kepadaku moi-moi agar aku tidak menjadi penasaran."

   Tan Li Ceng menghela napas kemudian mengangkat mukanya yang agak pucat. Mereka saling berpandangan dan dari sinar mata gadis itu, Gui Song dapat merasa betapa mesra pandang mata itu dan bahwa tidak mungkin pandang mata seperti itu mencerminkan hati yang tidak mencinta!

   "Siong-ko, harap jangan salah mengerti, sesungguhnya, bagaimanakah aku dapat menjawab pertanyaanmu. Hal itu tidak mungkin karena...... ada sesuatu ikatan yang amat berat bagiku......"

   "Ahhh......!"

   Gui Siong melompat bangun dengan wajah makin pucat.

   "Adikku yang baik, sungguh aku tak tahu diri dan kurang ajar! Maafkanlah aku kalau begitu sungguh kalau aku tahu bahwa engkau sudah terikat jodoh dengan orang lain, biar sampai mati mulut ini takkan membuka rahasia ini......"

   Tan Li Ceng yang tadinya duduk di atas akar pohon, juga bangkit berdiri dan berkata, suaranya sungguh-sungguh "Bukan ikatan jodoh, koko. Dengarkan baik-baik dan aku mengharapkan pengertianmu yang mendalam. Ingatkah engkau ketika kita bersama menyerbu Istana Air dahulu itu? Nah, di tempat itu aku dan suci mengalami hal yang amat memalukan......."

   Tan Li Ceng lalu menceritakan pengalamannya bersama Lauw Ci Sian ketika mereka tertawan dan hampir saja diperkosa Yang-ce Su-go kemudian tertolong oleh Yu Lee dalam keadaan telanjang bulat! Betapa kemudian dia dan sucinya membunuh empat orang laki-laki berhati binatang itu.

   "Demikianlah Song koko. Setelah ada seorang pria melihat keadaan kami seperti itu, betapa mungkin kami berdua menjadi isteri orang lain?"

   Gui Siong mengangguk-angguk. Wah, kiranya saingannya adalah pendekar sakti itu! Ia merasa kecewa dan runtuh semangatnya. Berat kalau harus bersaing dengan Pendekar Cengeng pikirnya dengan hati berat ia lalu berkata.

   "Ah, sekali lagi maaf. Kiranya engkau mencintai Yu-taihiap?"

   Li Ceng cepat mengangkat muka memandang, lalu menggelengkan kepala.

   "Siapa mencintai dia, koko? Jangan menyangka sembarangan. Aku memang kagum kepada Yu-taihiap yang memang patut dikagumi, akan tetapi mencinta......? Kenalpun tidak, pertemuan baru satu kali itu, dalam waktu singkat pula.

   Gui Siong terheran-heran dan jantungnya kembali berdebar girang penuh harapan.

   "Dan dia......? Adakah dia mencintaimu?"

   "Siapa mengetahui hati orang lain?"

   "Eh, Ceng-moi, bagaimana pula ini? Kalau kalian tidak saling mencinta, kalau diantara kalian tidak ada ikatan jodoh mengapa kau bilang tidak mungkin menjadi isteri orang lain? "

   Dara itu menghela napas panjang.

   "Engkau tidak mengerti keadaan hati wanita, Siong-koko. Aku dan Suci Lauw Ci Sian mempunyai pendapat yang sama. Kalau ada laki-laki yang melihat keadaan kami bertelanjang bulat seperti dahulu itu, dia harus kami bunuh! Itulah sebabnya mengapa kami membunuh Yang-ce Su-go. Akan tetapi betapa kami dapat membunuh Yu-taihiap yang sudah menolong kami? Karena itulah maka jalan satu-satunya untuk menghilangkan aib dan hina, kami harus menjadi isterinya......"

   Dengan saputangannya, Li Ceng mengusap dua butir air mata dari pipinya.

   Gui Siong melongo.

   "Kalau...... andaikata...... Yu-taihiap tidak suka menjadi suami kalian berdua......?"

   Dengan muka menunduk, Li Ceng berkata.

   "Kami akan menantangnya bertanding sampai mati."

   "Wah...... mana bisa begini? Mana ada aturan begitu......?"

   Gui Siong berulang mencela dan mengomel, akan tetapi Li Ceng sudah meninggalkannya menggerutu seorang diri di tempat itu, menyesali hal yang amat membingungkan hatinya itu. Kembali teringatlah ia akan kesuraman wajah suhengnya dalam beberapa hari ini seolah-olah ada sesuatu ganjalan di hati kakak sepenguruannya itu semenjak penyerbuan tengah malam yang berhasil menghancurkan pos penjagaan musuh. Kalau ia tanya, suhengnya hanya menghela napas dan tidak mau menjawab.

   Kini ia dapat menduga. Memang antara dia dan suhengnya tidak ada rahasia lagi betapa mereka berdua mencinta dua orang gadis murid Liong Losu itu. Ah, kini ia dapat menduga. Tentu suhengnya telah mendengar pula urusan dua orang gadis itu dengan Yu Lee, dan telah pula ditolak cinta kasihnya.

   Keesokan harinya, Gui Siong menemui suhengnya dan langsung berkata.

   "Suheng, katakanlah terus terang, apakah suheng berduka karena cinta kasih suheng ditolak oleh nona Lauw Ci Sian?"

   Wajah Ouwyang Tek seketika menjadi merah sekali dan matanya melotot memandang sutenya, siap untuk mendampratnya karena pertanyaan itu dianggap kurang ajar. Akan tetapi melihat betapa wajah sutenya ini tampak sungguh-sungguh dan juga membayangkan kedukaan kelihatan dan agak pucat seperti orang kurang tidur, ia menahan kemarahannya dan hanya berkata kasar.

   "Kau bicara apa? Tak patut mau tahu urusan pribadi orang!"

   Gui Siong memegang lengan kakak seperguruannya yang sudah dianggap seperti kakak kandungnya itu lalu bercerita.

   "Jangan marah, suheng. Aku dapat menduga dan memaklumi keadaanmu karena akupun malam tadi telah mengalami hal yang sama yaitu ditolak cinta kasihku terhadap adik Tan Li Ceng."

   Berkerut sepasang alis yang hitam tebal itu.

   "Hemmm......! Dia kelihatan menaruh perhatian kepadamu. Mengapa menolak?"

   "Dengan alasan yang sama dengan alasan penolakan nona Ci Sian kepadamu, suheng."

   "Apa katamu? Sute, jangan main gila engkau! Apa engkau telah mendengar percakapan antara kami tentang hal itu? Dia...... dia, tidak mengajukan alasan sesuatu......"

   "Aduh, apakah nona Ci Lian tidak bercerita kepadamu tentang aib yang menimpa mereka dan urusan mereka dengan Yu-taihiap?"

   Ouwyang Tek melongo terheran dan menggeleng kepala.

   "Akupun masih bingung memikirkan, betapa dia menolakku tanpa alasan, padahal kelihatannya, eh sute, apakah ada sesuatu yang terjadi?"

   Ouwyang Tek memegang lengan sutenya erat-erat dengan hati tegang.

   "Peristiwa yang membingungkan sekali, suheng. Aku sendiri heran mengapa mereka begitu picik pandangan dan mengambil keputusan gila seperti itu. Persoalannya begini...... Suheng masih ingat ketika kita bertemu dengan mereka pertama kali setahun yang lalu?"

   Ouwyang Tek mengangguk.

   "Di Istana Air bersama guru kita dan Liong Losu, dan Yu Lee Si Pendekar Cengeng."

   "Nah, ketika itu, dua orang nona ini tertawan musuh dan hampir saja diperkosa oleh Yang-ce Su-go. Baiknya pada saat yang amat berbahaya itu muncul Yu-taihiap yang menolong mereka dan merobohkan Yang-ce Su-go. Setelah dibebaskan, kedua orang nona itu membunuh Yang-ce Su-go dan...... mulai saat itulah mereka merasa tidak bebas dan tidak mungkin dapat menjadi isteri orang lain. Itulah sebabnya mengapa mereka menolak cinta kasih kita."

   "Eh, mengapa begitu? "

   "Mereka berpendapat bahwa laki-laki yang melihat mereka dalam keadaan telanjang bulat, harus mereka bunuh! Tentu saja mereka tidak dapat membunuh Yu Lee yang menolong mereka, maka jalan satu-satunya bagi mereka untuk mencuci aib itu hanya menjadi isterinya."

   "Begitu gila! kalau Yu-taihiap tidak setuju? "

   "Kalau tidak setuju, mereka akan menantangnya dan mengajak bertanding sampai mati!"

   "Wah lebih gila lagi itu! Tidak sute, kita harus mencegah terjadinya hal gila itu. Sute kita harus berkorban, demi cinta kita!"

   "Apa maksudmu suheng? "

   "Kelak kitalah yang akan mencari Yu Lee kita jelaskan persoalan mereka dan minta ke pada Yu Lee agar suka menerima mereka sebagai isterinya."

   "Kalau dia tidak mau?"

   "Kita paksa, kalau perlu kita tantang dia. Biarlah kita atau dia yang tewas dalam pertandingan itu, agar kedua orang nona yang kita cinta tidak usah mengorbankan nyawa."

   
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Gui Siong hanya termenung, keduanya merenungkan nasib mereka yang tidak beruntung dalam asmara.

   "Nona......! Tunggulah jangan tinggalkan saya......!"

   Siok Lan menahan kendali kudanya dan membiarkan pelayannya itu sampai dapat menyusulnya, lalu berkata.

   "Engkau menjemukan sekali, membikin malu kepadaku!"

   "Lhooh......! Apakah dosaku sekali ini siocia (nona)?"

   Tanya Yu Lee.

   "Melakukan kesalahan berkali-kali masih tidak merasa punya dosa? Di tempat pertemuan tadi kau sudah membikin kacau dan membikin malu dengan tingkahmu bersama A-bouw yang gila-gilaan. Masih untung bahwa engkau dan A-bouw tidak sampai celaka, kalau kalian roboh di tangan orang, apakah aku yang menjadi majikannya tidak menjadi malu sekali. Kedua, engkau begitu tak tahu malu dan tidak sungkan-sungkan lagi menerima pemberian kuda ini. Hemm, agaknya engkau paling senang akan pemberian orang lain, ya? Memalukan saja! Apa kau kira aku tidak bisa membeli kuda kalau aku mau?"

   Yu Lee diam-diam tersenyum di dalam hatinya. Nona ini lincah, jenaka, g"lak, panas, penuh semangat hidup, pendeknya selalu menyenangkan hatinya, baik dalam keadaan tenang, dingin, panas atau sedang marah-marah tidak karuan sekalipun. Begitulah kalau orang sudah mabok asmara, setiap gerak gerik si dia tentu akan selalu menarik!

   "Maaf, siocia,"

   Katanya sambil mengangkat kedua tangan di depan dada penuh hormat.

   "Sesungguhnya karena hati saya tidak rela mendengar nona dihina, maka saya memberanikan diri untuk balas menghina dan mempermainkan si pinggul besar itu. Adapun tentang kuda...... Ah, saya rasa...... eh, nona akan lelah sekali kalau melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki, maka saya......"

   "Sudahlah, yang lewat biarlah lalu,"

   Kata Siok Lan, geli juga membayangkan kembali pelayannya ini mempermainkan C"i Hwa Hwa yang lihai.

   "Akan tetapi, mulai detik ini, engkau tidak boleh berbuat sesuka sendiri, harus menanti perintahku! Mengerti?"

   "Baik, siocia."

   "Hemm kalau lain kali menjengkelkan hatiku tentu akan kugaplok engkau!"

   Yu Lee memandang ke arah tangan gadis itu. Tangan yang berjari halus kecil kulitnya halus putih kelihatan lunak hangat. Tiba-tiba saja ia mempunyai perasaan ingin digaplok! Entah bagaimana timbul keinginan hatinya agar pipinya disentuh tangan itu!

   "Memang saya telah melakukan dua kesalahan di sana tadi, harap nona sekarang suka memberi hukuman itu kepada saya......!"

   Ia memajukan kudanya mendekati Siok Lan.

   "Apa......? Kau....... minta digaplok......?"

   Siok Lan demikian herannya sampai matanya terbuka lebar dan mulutnya agak ternganga memperlihatkan deretan gigi putih dan ujung lidah yang runcing merah.

   Saking terpesona Yu Lee menyaksikan "keindahan"

   Ini, sampai tak dapat berkata sesuatu hanya mengangguk-angguk dan menelan ludah.

   "Eh, A-liok, apakah kau ini agak tidak waras pikiranmu?"

   "Nona mengira saya gila? Tidak, nona. Saya sehat walafiat, otak saya tidak pernah miring."

   "Kenapa minta di gaplok?"

   "Karena...... karena...... saya sudah mengaku salah dan memang patut dihukum!"

   "Kali ini kuampunkan kau. Sudahlah, kau pergi carikan aku air dingin yang jernih, aku haus sekali dan bekal minumanku habis. Mengapa tadi kau tidak minta sekalian mereka membekali minuman!"

   Siok Lan meloncat turun dan cepat-cepat Yu Lee juga turun lalu membawa dua ekor kuda itu ke bawah sebatang pohon dan membiarkannya makan rumput. Memang siang hari itu panas amat teriknya. Melihat Siok Lan duduk di akar-akar pohon, Yu Lee segera memeriksa perbekalan dalam tas kulit itu cukup lengkap. Ada roti kering, daging panggang, dendeng, bahkan ada seguci arak baik, pada setiap punggung kuda!"

   "Wah ini ada makanan dan minuman nona. Apakah nona hendak makan?"

   Agak merah wajah Siok Lan. Tadi ia tidak memeriksa lebih dulu sudah pula menyalahkan pelayannya mengapa tidak minta perbekalan minuman. Kiranya di dekat sela kaki kudanya terdapat makanan dan minuman, bahkan sekantung uang perak!"

   "Siapa sudi minum arak di tengah hari panas ini? Aku ingin minum air sejuk yang jernih!"

   Katanya menutup rasa malu.

   Yu Lee mengambil roti, daging dan arak, menurunkannya dan menaruhnya baik-baik di depan Siok Lan kemudian berkata.

   "Saya akan mencarikan air itu untuk nona."

   Setelah pelayannya itu tidak tampak lagi, Siok Lan duduk termenung. Aneh sekali, mengapa ia merasa amat suka kepada pelayan itu? Mengapa pemuda yang bodoh dan tolol itu demikian menarik hatinya? Pemuda yang lemah akan tetapi amat pemberani sehingga tidak gentar mempermainkan Cui Hwa Hwa dengan pertaruhan nyawa! Pemuda yang bodoh akan tetapi cerdik sehingga mengeluarkan ucapan-ucapan yang kadang-kadang aneh dan berpengaruh di depan begitu banyak orang kang-ouw.

   Pemuda miskin akan tetapi amat setia dan kaya akan pribudi yang baik, sifat-sifat yang menawan inilah agaknya yang menarik hatinya, yang membuat ia kadang-kadang merasa gemas dan kadang-kadang merasa kasihan, kadang-kadang merasa marah tanpa sebab dan barulah kadang-kadang marah karena semua sifat baik itu dipunyai oleh seorang yang hanya menjadi pelayan saja! Mengapa kalau Pendekar Cengeng, pemuda she Yu itu demikian sombong, tidak memandang sebelah mata kepada keluarganya, kini pelayannya begini baik?

   Siok Lan sedang makan roti kering ketika Yu Lee datang membawa tempat air yang penuh berisi air dingin yang jernih sekali, diletakkannya tempat air itu di depan Siok Lan dan berkatalah ia dengan ramah.

   "Minumlah, siocia. Airnya dingin dan amat jernih."

   Siok Lan mengangguk dan minum air beberapa teguk.

   "Kau makanlah rotinya."

   Gadis itu menawarkan.

   Yu Lee menggeleng kepala.

   "Saya tidak lapar, nona."

   Gadis itu memandang dan melihat bibir pemuda pelayannya ini kering, bertanya.

   "Kau juga belum minum?"

   Yu Lee tersenyum menggeleng kepala.

   "Saking tegesa-gesa saya lupa minum di sana tadi."

   "A-liok, kau memang aneh, kau begitu bodoh tapi......."

   "Tapi bagaimana, siocia?"

   "Sudahlah, kau boleh minum air ini!"

   "Nona baru minum sedikit, dan sehabis makan roti tentu haus lagi."

   Siok Lan memandang marah.

   "Aku bisa minum lagi nanti. Apakah air sebegini banyak akan kau habiskan sekali minum? Kalau kau habiskan, engkau harus mengambilkan lagi untukku. Minumlah kalau haus, kalau tidak ya sudah."

   Yu Lee berdebar jantungnya. Ia memang mengenal watak gadis ini yang amat polos dan menganggap pelayannya seperti teman seperjalanan dan sudah biasa diajak makan bersama. Akan tetapi untuk minum berdua dari satu tempat air? Sungguh ia hampir tak dapat percaya, maka untuk membuktikannya, ia lalu mengangkat tempat air itu, lalu meneguk airnya beberapa teguk. Sengaja ia menempelkan bibirnya pada bibir tempat air yang tadi berbekas bibir Siok Lan, kemudian diletakkannya kembali tempat air itu. Airnya masih setengahnya.

   "Hayo makanlah roti ini. Kalau kita berangkat lagi nanti, aku tidak akan berhenti sebelum malam, kau bisa mati kelaparan nanti!"

   "Baiklah, siocia,"

   Yu Lee lalu mengambil roti sisa yang dimakan Siok Lan dan ia mulai makan roti kering. Jantungnya berdebar makin keras ketika ia melihat Siok Lan mengelap bibirnya kemudian mengangkat tempat air itu dan...... minum air itu tanpa ragu-ragu lagi dan ia tahu betul tempat bibir gadis itu tanpa disengaja menempel di bibir tempat air dibekas bibirnya tadi! Lehernya serasa tercekik karena ia merasa amat terharu. Benar-benar seorang gadis yang polos dan masih bersih hatinya. Ia tersedak dan Siok Lan cepat-cepat menyerahkan tempat air.

   "Ihh, seperti anak kecil saja! Makan sampai tersedak. Hayo diberi minum, bisa mati mendelik engkau nanti!"

   Yu Lee minum air dan tenggorokannya menjadi longgar kembali ia memandang kepada Siok Lan dengan wajah berseri.

   "Nona sungguh amat baik......"

   Siok Lan megerutkan alisnya.

   "Apa? Kenapa baik? Aku berbuat baik apa kepada siapa? Jangan menjilat kau!"

   Yu Lee melengak. Memang aneh watak nona ini. Sebentar ramah sebentar galak! sebentar senyum sebentar merengut. Saat itu bergurau, saat lain membentak-bentak!

   "Nona amat baik sebagai nona majikan mengajak makan minum pelayannya bahkan...... eh...... minum dari satu tempat air...... sungguh merupakan kehormatan besar bagi saya......!"

   "Hemm apa anehnya begitu saja? Kau tidak punya penyakit batuk bukan? Tidak punya penyakit menular?"

   "Ah, tidak sama sekali nona."

   "Nah, mengapa ribut-ribut? Majikan maupun pelayan apa bedanya? Sama-sama manusia."

   "Terima kasih atas pendapat yang mulia ini nona."

   "Sudahlah, sudahlah! Kalau kau memuji-muji terus bisa kuanggap menjilat dan aku akan marah setengah mati karena aku paling benci pada seorang penjilat!"

   Pada saat itu Yu Lee sudah tahu akan adanya orang yang bersembunyi di pohon besar tak jauh dari situ. Sebaliknya Siok Lan baru terkejut ketika dari balik pohon itu terdengar suara tertawa.

   "He, he, he, benar sekali. Penjilat-penjilat harus dibasmi dari permukaan dunia!"

   Siok Lan dan Yu Lee menoleh dan ternyata yang muncul dari balik pohon itu adalah seorang pengemis tua, usianya tentu paling sedikit enampuluh tahun, pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi kelihatan bersih, juga sepatunya yang sudah berlubang sehingga tampak ibu jari kakinya itu putih bersih seperti sepatu baru. Mukanya halus tidak tertutup jenggot atau kumis, akan tetapi sepasang alisnya yang tebal itu sudah putih, juga rambutnya penuh uban.

   Tubuhnya tingi kurus dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat bambu. Pinggangnya terikat sabuk merah yang lebar dan berbunga, yaitu dibagian depan diikatkan dalam bentuk bunga teratai. Dandanan yang aneh menggelikan bagi seorang pengemis, namun melihat sabuk merah dan tongkat itu, diam-diam Yu Lee terkejut dan memandang penuh perhatian.

   Siok Lan masih duduk di atas akar pohon matanya mengerling tajam. Iapun dapat mengenal tanda sabuk merah dan tongkat itu, maka kemarahannya bangkit seketika dan ia menduga tentu ini adalah tokoh Ang-kin Kai-pang yang sudah berkali-kali memusuhinya. Berpikir demikian, ia lalu berkata mengejek.

   "Kembali ada srigala yang menyamar sebagai domba, perampok menyamar sebagai pengemis. Menjemukan sekali!"

   Setelah berkata demikian, Siok Lan menyambar tempat air tadi lalu mengerahkan sin-kang, menyambitkan tempat air itu ke arah si pengemis tua.

   Tempat air itu bentuknya seperti sebuah piring yang dalam atau seperti sebuah panci yang dangkal dan lebar, bentuknya bundar. Karena kini disambitkan dengan keadaan miring dan didorong tenaga sinkang yang amat kuat, maka piring itu berputar cepat seperti gasing, mengeluarkan suara mengaung keras dan meluncur ke arah si pengemis tua. Tak boleh dianggap ringan piring terbang seperti ini karena dalam keadaan berputar dan mengandung tenaga kuat seperti itu, pinggirannya dapat setajam golok dan kalau mengenai leher dapat menyembelih sampai putus! Maka serangan Siok Lan ini amatlah hebat.

   "He, he, he, sungguh ganas cucu Thian-te Sin-kiam!"

   Kakek itu terkekeh dan tetap tenang-tenang saja menghadapi serangan piring terbang itu.

   Ketika piring itu menyambar ke arahnya, ia sama sekali tidak membuat gerakan mengelak, hanya memandang sambil terkekeh seperti seorang dewasa mentertawai seorang anak-anak nakal.

   "Siingg......!"

   Piring itu menyambar ke arah lehernya. Kakek itu mengangkat tangan kanan ke depan, dengan perlahan jari tangan telunjuk menyentil ke arah piring terbang.

   "Trang...... nguuuuuung!"

   Piring dari panci itu begitu kena disentil telunjuk kanan kakek pengemis berbunyi nyaring lalu berputar lebih cepat daripada tadi, akan tetapi kini meluncur ke atas mengeluarkan suara mengaung yang jauh lebih nyaring daripada ketika disambitkan Siok Lan tadi!

   Piring terbang itu melayang cepat dan jauh sekali ke atas sampai akhirnya lenyap dari pandangan mata, entah jatuh di mana. Akan tetapi agaknya benda itu dijadikan sebagai isyarat rahasia oleh kakek pengemis, karena tiba-tiba bermunculanlah sedikitnya tigapuluh orang pengemis bersabuk merah dari semua penjuru dan mereka berdiri mengepung tempat itu dari jarak jauh. Bahkan di antara mereka sudah ada yang "merawat"

   Dua ekor kuda tunggangan Siok Lan dan Yu Lee!

   Siok Lan meloncat bangun diturut oleh Yu Lee yang bangkit juga dengan tenang.

   "Wah, memang tidak salah dugaanku! Ang-kin Kai-pang hanyalah sekumpulan perampok yang menyamar sebagai pengemis kelaparan! Sungguh hal ini amat memalukan golongan liok-lim (perampok) dan kai-pang (kaum pengemis) yang tulen!"

   Kakek pengemis itu mengangkat tongkatnya ke atas kepala dan suara hiruk pikuk para pengemis yang muncul dan marah mendengar ucapan Siok Lan, mendadak sirep dan keadaan menjadi sunyi.

   Jelas bahwa semua pengemis, di mana tampak juga Ang Kun, tokoh tingkat lima, kemudian Ang Ci dan Ang Sun tokoh-tokoh tingkat tiga, dan beberapa tokoh Ang-kin Kai-pang yang lain, amat mematuhi kakek ini sehingga makin yakinlah Yu Lee akan dugaannya tadi bahwa kakek itu agaknya adalah ketua dari Ang-kin Kai-pang yang terkenal dengan julukan Kai-ong (Raja Pengemis) Ang Kwi Han. Maka ia memandang penuh kekhawatiran karena maklum bahwa menghadapi tokoh Ang-kin Kai-pang tingkat tiga juga Siok Lan belum tentu dapat menang, apa lagi menandingi ketuanya!

   "Nona cilik yang bermulut besar!"

   Bentak Kakek ketua itu.

   "Sesungguhnya tidaklah pantas bagi aku sebagai ketua Ang-kin Kai-pang untuk berurusan dengan bocah seperti engkau! Semestinya aku menemui kakekmu untuk menegur cucunya! Akan tetapi karena sudah dua kali engkau menghina pembantu-pembantuku, sudah sepatutnya pula aku menegur langsung kepadamu agar engkau tidak memandang rendah kami orang Ang-kin Kai-pang!"

   Siok Lan mendengar bahwa kakek ini adalah ketua Ang-kin Kai-pang, menjadi terkejut juga. Ia sudah mendengar dari kakeknya tentang kelihaian raja Pengemis ini, akan tetapi dasar ia bandel, berani dan tidak mengenal takut, maka ia tersenyum dan berkata.

   "Ah, kiranya Ang-kin Kai-pangcu yang muncul sendiri! Pangcu, kebetulan sekali kita berjumpa. Engkau tadi bilang hendak menegurku, boleh saja. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku pun ingin sekali menegurmu atas kelakuan anak buahmu yang tidak patut. Pelayanku ini menjadi saksi akan kekurangajaran para pengikutmu dan orang-orangmu itupun kebetulan hadir."

   Sampai di sini Siok Lan menudingkan telunjuknya ke arah Ang Kun, Ang Ci dan Ang Sun yang berdiri tak bergerak, mata mereka mendelik marah.

   "Betul seperti yang dikatakan nona majikanku!"

   Tiba-tiba Yu Lee berkata, suaranya lantang dan ia tidak perduli betapa tiga orang tokoh pengemis itu, juga si ketua sendiri, memandang kepadanya penuh perhatian dan kecurigaan.

   Pemuda ini maklum bahwa tiga orang tokoh pengemis itu tentu sudah mengerti bahwa dia adalah seorang berkepandaian tinggi dan tentu sudah melapor kepada ketua mereka bahwa dialah yang "melindungi"

   Siok Lan secara diam-diam.

   "Aku menjadi saksi hidup! Aku berani sumpah demi apapun juga bahwa dalam urusan antara nonaku dan para tokoh Ang-kin Kai-pang nonaku tidak bersalah seujung rambut sekali pun! Pangcu harap suka mengambil pertimbangan yang adil. Pertama-tama, pembantumu yang seorang itu telah menghadang nona dan dengan paksa hendak minta sumbangan, yang kemudian ditolak oleh nona majikanku sehingga terjadi bentrokan. Kemudian kedua orang yang lebih besar itu,"

   Ia menuding ke arah Ang Ci dan Ang Sun.

   "datang pula selagi nonaku sedang makan. Coba pangcu katakan apa kesalahan nonaku? Kalau kalian tidak mengganggunya, tentu tidak akan terjadi bentrokan!"

   "Ha-ha-ha ha! Omonganmu tepat namun jelas membela sebelah pihak! Seorang gagah akan berpemandangan luas menilai persoalannya, bukan hanya yang berada di depan hidung saja. Nona cilik ini cucu Thian-te Sin-kiam seorang pejuang dan penentang pemerintah penjajah, maka sudah sepatutnya kalau anak buahku minta sumbangan kepada nona cilik ini, karena sumbangan-sumbangan itu bukan untuk diri kami pribadi melainkan untuk pembiayaan perjuangan melawan pemerintah Mongol. Akan tetapi nona cilik ini tidak menyumbang malah menghina, mengandalkan perlindungan sembunyi. Ha-ha-ha! Setelah sekarang bertemu dengan aku sendiri, apakah nona cilik akan lari ketakutan?"

   "Tua bangka sombong!"

   Tiba-tiba Liem Siok Lan berseru keras dan mencabut pedangnya.

   "Jangan asal terbuka saja mulutmu! Siapa takut kepadamu? Kalau tidak terima dan mendendam kepadaku, hayo ini aku sudah berada di sini. Kau mau apa?"

   Ang Kwi Han tertawa, akan tetapi matanya mengerling ke arah Yu Lee.

   "Setidaknya hari ini akan kupaksa orang mengaku dirinya! Nona mari kita main-main sebentar dengan pedangmu. Bukankah itu gin-kiam (pedang perak)? Tentu ada pula gin-ciam (Jarum perak)! Itulah kepandaian yang dibanggakan Thian-te Sin-kiam. Apakah nona telah mewarisi kepandaian itu seluruhnya? Perlihatkan baik-baik kepadaku!"

   Setelah berkata demikian, kakek itu melangkah maju, tangan kanannya menampar ke arah Siok Lan.

   Gadis ini maklum akan kelihaian lawan, maka iapun berlaku hati-hati dan miringkan tubuh mengelak sambil menggeser kaki. Tangan lewat di atas pundaknya, anginnya bersiut, akan tetapi ujung lengan baju itu masih meluncur akan menotok lehernya!

   "Aiiihhh......."

   Siok Lan berseru, membelakangkan tubuhnya dan sinar perak pedangnya menyambar ke arah lengan kakek itu.

   Kakek itu memutar tubuh, tongkatnya di gerakkan menangkis dan""

   Tubuh Siok Lan terhuyung-huyung ke belakang sampai delapan langkah. Ia merasa seperti tubuhnya didorong tenaga tersembunyi yang dahsyat. Namun, biarpun jelas kakek tua sakti dan bertenaga sinkang amat hebat, sedikitpun ia tidak memperlihatkan rasa takut. Ia memasang kuda-kuda, kemudian ia meloncat ke depan, menelan jarak delapan langkah tadi dalam sekali lompat, pedangnya meluncur dan menerjang lawan amat cepat dan kuatnya.

   "Ha-ha-ha sedikitnya engkau mewarisi semangat Liem Kwat Ek!"

   Kakek itu tertawa sambil miringkan tubuhnya sehingga terjangan Siok Lan yang dahsyat itu mengenai angin. Kembali kakek itu menampar dengan lengan kanannya yang dibuka lebar-lebar. Angin sambaran hebat ini menambah tenaga dorong dari serangan. Siok Lan yang tidak mengenai sasaran sehingga kembali gadis itu terhuyung ke depan. Akan tetapi Siok Lan sudah siap-siap begitu tubuhnya membalik, tangan kiri yang bergerak dan sinar putih jarum-jarum peraknya menyambar ke arah tujuh bagian penting tubuh depan kakek itu.

   "Ha-ha-ha gin-ciam yang hebat!"

   Teriak kakek itu, lengan bajunya mengebut dan segera jarum dapat dikebutnya runtuh. Siok Lan sudah menerjang lagi, kini mainkan jurus pedang Kun-lun-pai yang amat indah dan hebat. Kakek itu tidak berani memandang rendah, berkali-kali mulutnya memuji dan menggunakan ginkangnya untuk mengelak ke sana ke mari dibantu tongkatnya yang kadang-kadang mendorong atau menangkis.

   (Lanjut ke Jilid 15)

   Pendekar Cengeng (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15

   "Kiam-hoat bagus......! Kiam-hoat bagus""! Sayang pemainnya amat sembrono dan keras kepala!"

   Ia berulang kali memuji ilmu padangnya dan mencela orangnya, membuat Siok Lan makin marah dan memperhebat terjangannya yang selalu mengenai tempat kosong, bahkan beberapa kali ia terhuyung.

   Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Siok Lan terkejut sekali dan tahulah ia bahwa sekali ini ia tentu akan menderita kekalahan terhadap kakek yang amat lihai ini. Akan tetapi ia menggertak gigi dan maju terus, malah kini ia mengeluarkan jurus-jurus nekad mengadu nyawa!

   "Hemm, bocah ganas. Apakah engkau masih juga tidak mau menyerah dan mengakui keunggulan aku orang tua? Kakekmu sendiri belum tentu dapat menangkan aku!"

   "Tua bangka busuk! Siapa sudi menyerah? Robohkan aku kalau kau mampu!"

   Siok Lan menantang berani.

   "Hemm, bocah sombong!"

   Kakek itu berkata gemas sambil menangkis pedang Siok Lan sehingga gadis itu terdorong mundur.

   "Kalau tidak ingat kepada kakekmu Liem Kwat Ek, apa kaukira tidak sejak tadi kau sudah roboh binasa! Lihatlah sekarang, aku akan menghajarmu dengan senjatamu sendiri, dan tanganmu sendirilah yang akan melukaimu. Kalau kelak kakekmu melihat betapa engkau melukai dirimu sendiri dengan senjatamu, tentu akan insaf bahwa aku telah memandang mukanya, masih mengampunkan dirimu! Engkau terluka atau mati tergantung seranganmu sendiri!"

   "Banyak cerewet!"

   Siok Lan membentak dan menyerang, menusukkan pedangnya ke arah kakek itu. Ang Kwi Han tidak mengelak, melainkan menggerakkan tongkatnya menangkis dengan menggunakan tenaga yang amat aneh dan....... pedang itu masih di tangan Siok Lan, namun telah membalik dan menusuk ke arah gadis itu sendiri!

   "Aihhh......!"

   Siok Lan cepat membuang diri dan memusnahkan tenaga menarik tangannya, betapapun juga, pedang itu ujungnya sudah menyambar ujung bajunya sehingga berlubang.

   Ternyata kakek itu tidak mengeluarkan ancaman kosong. Namun Siok Lan masih belum sadar dan kembali ia menubruk, kini pedangnya membabat leher. Sekali lagi kakek itu menangkis dan pedang itu membalik dan menyambar leher Siok Lan sendiri yang kini sudah siap-siap, sehingga dapat mengelak sambutan pedang yang dipegang oleh tangannya sendiri!

   "Nona, lebih baik menyerah......!"

   Tiba-tiba Yu Lee berkata.

   Pemuda ini maklum akan bahayanya permainan Siok Lan ini karena makin hebat serangan gadis itu, makin hebat pula bahaya mengancam. Ia pernah mendengar akan ilmu pedang yang bernama ilmu pedang "Mengusir Naga Pulang ke Sarang!"

   Yaitu yang jurus-jurusnya terdiri dari tangkisan-tangkisan yang membuat senjata lawan itu membalik dan menyerang orangnya sendiri!

   Diam-diam ia amat kagum, sungguhpun ia maklum bahwa ilmu semacam itu hanya ampuh kalau dipergunakan menghadapi lawan yang tingkatnya jauh lebih rendah seperti hal nya kakek itu menghadapi Siok Lan.

   Akan tetapi, bujukan Yu Lee ini malah merupakan minyak bakar menyiram api! Seperti diketahui, Siok Lan tadinya merasa bangga sekali karena berkali-kali ia telah membuktikan di depan pelayannya betapa hebat ilmunya sehingga ia tidak pernah terkalahkan selama ini! Kalau sekarang ia harus menyerah mentah-mentah di depan pelayannya, alangkah akan rendahnya, alangkah akan malunya. Tentu pelayannya tidak lagi akan memandang kepadanya dengan sinar mata begitu penuh kekaguman!

   Kembali kakek itu tertawa mengejek ketika gadis itu menyerang makin hebat sebagai jawaban atas permintaan Yu Lee.

   Memang ketua Ang-kin Kai-pang ini sudah tahu bahwa pelayan nona ini adalah orang yang sesungguhnya mengalahkan beberapa orang pembantunya, maka kini ia hendak mencari kesempatan agar si pelayan turun tangan membantu Siok Lan. Kalau dia menghendaki, sejak tadipun gadis itu tentu telah dapai ia robohkan.

   Karena kini Siok Lan menjadi makin ganas kakek itupun panas juga. Pada saat Siok Lan menusukkan pedang ke dadanya, secepat kilat tangan kanannya menotok pundak gadis itu dan tongkatnya menangkis membuat pedang gadis itu membalik dan menusuk dada itu sendiri.

   Siok Lan sudah membelalakkan mata karena merasa bahwa tubuhnya kaku tak dapat digerakkan sehingga sekali ini pedangnya sendiri tentu akan menembusi dadanya.

   Akan tetapi pada saat itu, Yu Lee berseru "Jangan bunuh nonaku......!"

   Pelayan itu meloncat kepadanya selagi pedangnya tertangkis dan kini pedang di tangannya itu membalik dan menusuk ke arah dada Yu Lee! Pada saat itu, Yu Lee yang marah karena kakek itu tega hendak membunuh Siok Lan, sambil berdiri di depan gadis itu dan membelakanginya, sengaja menerima ujung pedang dengan dadanya akan tetapi pada detik itu ia mendorongkan kedua lengannya ke depan, mengirim pukulan sakti Sin-kong-ciang ke arah ketua Ang-kin Kai-pang!

   Cepat sekali terjadinya semua ini. Pedang itu meleset seketika mengenai dada Yu Lee karena tepat pada saat itu Yu Lee mengerahkan tenaga Sin-kong-ciang akan tetapi ujung pedang yang melesat itu menusuk miring dan melukai pundaknya. Akan tetapi kakek yang terkena pukulan Sin-kong-ciang itu terhuyung mundur tiga langkah dan dari mulutnya menyembur darah segar.

   "Sungguh kejam kau orang tua hendak membunuh nonaku......!"

   Yu Lee berkata dan diapun terhuyung ke kiri lalu roboh terduduk, Siok Lan yang tadinya berdiri di belakang Yu Lee, tidak melihat itu semua. Begitu Yu Lee roboh dan melihat pundak dekat dada pemuda itu mengucurkan darah, ia kaget bukan main.

   Kemarahannya timbul dan ia menuding ke arah kakek itu

   "Kau......! Berani kau melukai pelayanku......?"

   Ia hendak menerjang maju, akan tetapi tertegun dan terbelalak ketika kakek itu tiba-tiba menjura dan berkata.

   "Mana aku berani kurang ajar? Terima kasih atas pelajaran yang diberikan."

   Setelah berkata demikian Ang Kwi Han memberi isyarat dengan tongkatnya dan pergilah dia diikuti semua pengemis tadi menonton dengan muka pucat.

   Gadis ini bingung, dia tidak tahu sama sekali bahwa sikap Ang Kwi Han itu adalah akibat pukulan sakti yang dilakukan Yu Lee. Diserang pukulan sakti jarak jauh sekali saja lalu menderita luka, segera kakek itu mengenali bahwa pukulan itulah yang bernama Sin-kong-ciang dan tiba-tiba saja ia menjadi tunduk dan gentar.

   Ia dapat menduga bahwa pemuda yang menyamar sebagai pelayan ini tantu ada hubungan dengan tokoh yang menjadi pujaan dan gembongnya semua dunia pengemis, yaitu Sin-kong-ciang Han It Kong, tokoh sakti dan penuh rahasia yang selalu berpakaian pengemis. Karena itulah Ang Kwi Han menjadi "mati kutunya"

   Dan tidak berani banyak lagak lagi karena maklum bahwa pemuda itu adalah "golongan sendiri"

   Yang kedudukan dan kepandaiannya lebih tinggi daripadanya.

   "A-liok...... kau...... kau terluka......?"

   "Tidak...... tidak mengapa, nona......!"

   Jawab Yu Lee.

   Akan tetapi pemuda ini wajahnya pucat sekali dan terhuyung-huyung. Berat sungguhkah luka yang diderita Yu Lee akibat tusukan pedang gin-kiam pada dadanya tadi?

   Sesungguhnya tidaklah terlalu berat biarpun mengeluarkan darah cukup banyak, hanya pemuda ini masih terguncang hatinya kalau teringat betapa tadi nyaris Siok Lan tewas di tangan nona itu sendiri dengan pedang nona itu sendiri pula kalau saja ia tidak cepat turun tangan. Mengingat akan hal inilah yang membuat ia menjadi ngeri dan lemas sehingga kini ia terhuyung dengan kepala pening.

   Melihat ini Siok Lan cepat memegang lengan pelayannya dan membimbingnya ke dekat pohon.

   "Hati-hati...... agaknya lukamu berat, kau duduklah bersandar pohon A-liok."

   Nona itu membantu Yu Lee yang diam-diam merasa terharu, juga geli karena sesungguhnya dia tidak apa-apa. Luka itu hanya luka kulit dan daging dan memang ia sengaja menekan dari dalam agar banyak darahnya mencuci bekas luka dari dalam. Hal ini amatlah penting, demikian nasihat gurunya dahulu, karena darah yang keluar iu dapat "mencuci"

   Dan membersihkan daging yang terluka asal jangan terserang racun.

   Yu Lee bersandar pada pohon, matanya setengah terpejam tidak berani ia secara langsung menentang wajah Siok Lan yang berada begitu dekat dengannya.

   Gadis itu tanpa ragu-ragu membuka baju atasnya untuk memeriksa luka di dada dan ini dikerjakannya dengan begitu teliti sehingga Yu Lee merasa betapa jari-jari halus itu menyentuh-nyentuh dan mengusap-usap dadanya, betapa rambut yang hitam halus seperti benang sutera itu kadang-kadang menyapu leher dan pipinya, betapa hembusan napas dari hidung gadis itu kadang-kadang menyentuh mukanya......

   Yu Lee terpaksa memeramkan mata dan hanya hidungnya yang menangkap keharuman yang amat sedap, yang membuat jantungnya berdenyut lebih cepat daripada biasanya.

   "Eh, kenapa dadamu berdebar-debar seperti ini?"

   Siok Lan yang memeriksa luka itu dan meraba-raba dada itu diam-diam amat mengagumi dada yang bidang dengan kulitnya yang halus putih membayangkan otot yang hebat dan kuat, akan tetapi gadis ini terheran ketika ujung-ujung jarinya merasakan denyut jantung yang demikian keras.

   "Ah, tidak apa-apa, nona......"

   Yu Lee berkata, akan tetapi kembali ia memejamkan kedua matanya yang tiba-tiba menjadi panas. Suara gadis itu demikian halus dan merdu, penuh perhatian terhadap dirinya, membuat ia menjadi makin terharu. Di dunia ini mana seorang nona majikan yang merawat pelayannya yang terluka seperti yang dilakukan Siok Lan terhadap dirinya sekarang ini? Gadis itu telah mengeluarkan arak dan mencuci lukanya dengan arak dan saputangan, begitu telaten dan mesra tampaknya, sedikitpun tidak membayangkan jijik pada muka yang menarik jelita itu.

   "Sakitkah......?"

   Tanya Siok Lan ketika memandang wajah pemuda itu yang agak pucat, mata yang dipejamkan dan kening tebal itu berkerut.

   "Ti......tidak, nona......"

   Siok Lan melanjutkan pekerjaan mencuci kemudian mengeluarkan obat bubuk untuk luka yang selalu dibawanya sebagai bekal, menaruh obat bubuk pada luka di dada Yu Lee dan membalut luka itu dengan sobekan ikat pinggangnya. Untuk membalut luka di dada, gadis itu terpaksa beberapa kali merangkul leher sehingga mukanya begitu dekat dengan muka Yu Lee. Pemuda ini saking terharunya tak dapat menahan menitiknya dua tetes air matanya.

   "Ehh ......? Kau...... kau menangis?"

   Melihat wajah yang cantik jelita dan amat detat itu menatapnya penuh perhatian dan keheranan, Yu Lee teringat bahwa ia telah mendekatkan diri kepada terbukanya rahasianya, maka cepat-cepat ia memaksa dirinya tersenyum dan mengusap dua butir air mata itu dari pipinya.

   "Tidak menangis hanya...... rasa nyeri membuat air mata keluar tanpa dapat saya cegah......"

   "Ahhh...... kukira engkau juga cengeng seperti bekas majikanmu! Sakit benarkah rasanya sampai keluar air matamu?"

   

Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Tawon Merah Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini