Pendekar Cengeng 16
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
Ouw Beng Tat tertawa parau, tidak bergerak dari tempatnya hanya lengan kirinya saja menangkis dan...... tubuh Ouwyang Tek terlempar ke belakang sampai tiga meter lebih!
Lauw Ci Sian menjadi marah dan sudah menerjang pula, diikuti oleh Tan Li Ceng dan Gui Siong. Mereka bertiga melawan secara beruntun menyerang dengan pukulan-pukulan ampuh, akan tetapi panglima tua itu masih tetap tertawa dan hanya menggerakkan kedua lengannya menangkis dan beruntun pula tubuh ketiga orang muda ini terlempar seperti halnya Ouwyang Tek tadi! Namun empat orang muda yang tabah ini tidak menjadi gentar, mereka melompat bangun sambil mencabut pedang masing-masing. Juga teman-teman mereka sudah bersiap-siap, ketiga Huang-ho Sam-liong yang pada waktu itu sudah berkumpul di situ, Cui Hwa Hwa dan lain-lain, sudah siap untuk melawan mati-matian, akan tetapi tiba-tiba Dewi Suling berbisik kepada mereka.
"Harap sabar dan tenang, jangan sembrono."
Mereka semua tidak suka kepada Dewi Suling mengingat akan watak dan perbuatan wanita ini dahulu, akan tetapi mereka harus mengakui bahwa Dewi Suling sudah amat banyak jasanya dalam perjuangan, dan mereka maklum pula bahwa diantara mereka semua Dewi Suling merupakan orang yang paling tinggi ilmu kepandaiannya, maka mereka sedikit banyak menjadi segan dan mendengar bisikan itu, mereka taat dan tak seorangpun berani bergerak.
Dengan pandang mata yang tajam Dewi Suling menyapu keadaan musuh dan risaulah hatinya. Benar-benar musuh amat lihai dapat melakukan pengepungan secara diam-diam dan tahu-tahu mereka semua telah terkurung rapat. Jumlah musuh sedikitnya tiga kali lebih banyak dan keadaan sungguh mengkhawatirkan.
Jalan satu-satunya harus dapat membekuk atau merobohkan para pemimpinnya, terutama panglima tinggi besar itu sendiri, untuk melumpuhkan semangat para perajurit musuh. Maka diam-diam ia mengerahkan sinkangnya, tangan kanan menggenggam ujung suling erat-erat dan secara tiba-tiba tubuhnya telah menyambar dengan kecepatan luar biasa sekali ke arah Panglima Ouw Beng Tat. Yang terdengar hanyalah lengking nyaring mengerikan dan bayangan putih berkelebat didahului sinar merah suling di tangannya. Semua orang dari pihak musuh maupun pihak pejuang terkejut dan kagum.
"Trang trang trang...... weess......!"
Tiga kali terdengar suara nyaring ketika suling dan pedang di tangan Ouw Beng Tat bertemu cepat sekali, disusul muncratnya bunga api kemudian tahu-tahu tubuh Dewi Suling terlempar ke belakang sampai lima meter lebih dan ketika turun ke atas tanah ia agak terhuyung dan mukanya berubah! Dalam segebrakan saja ternyatalah bahwa Dewi Suling bukan tandingan panglima yang kosen itu.
"Ha, ha, ha, ha!"
Panglima Ouw Beng Tat tertawa bergelak.
Gerakan kakek ini amat mengagumkan karena orang tidak dapat mengikuti kecepatannya mencabut dan menyarungkan kembali pedangnya dalam menghadapi terjangan Dewi Suling tadi. Seolah-olah ia tidak pernah mencabut pedang, begitu cepatnya pedang itu kembali ke sarung pedang yang tengantung di pinggang kiri!
"Ha, ha, ha! Tentu engkaulah yang disebut Dewi Suling, yang telah membunuh Panglima Ban Ciang. Hemm dengan kepandaian seperti itu saja, jangan harap kau akan dapat membunuhku! Kalau aku mau, apa sukarnya menumpas kalian kaum pemberontak ini? Kalau aku menghendaki, tidak seorangpun diantara kalian yang dapat lolos hidup-hidup!"
Kembali ia tertawa, suara ketawanya keras penuh nada mengejek.
Dewi Suling yang maklum akan kehebatan kepandaian panglima tinggi besar ini, menoleh ke kanan kiri mencari-cari Pendekar Cengeng. Bahkan mulutnya tanpa disadari mengeluh.
"Ah, dia tidak berada di sini...... telah pergi......"
Ouwyang Tek dan Gui Siong saling pandang. Mereka berdua maklum siapa yang dimaksudkan Dewi Suling karena mereka pun tahu bahwa untuk menghadapi lawan selihai Panglima Ouw Beng Tat ini, mereka hanya dapat mengandalkan Pendekar Cengeng. Akan tetapi, Pendekar Cengeng itu tidak tampak mata hidungnya dan kedua orang pemuda ini merasa menyesal sekali karena mereka dapat menduga bahwa pendekar itu tentu pergi karena urusan semalam, karena telah mereka tantang bertanding sampai mati! Karena penyesalan ini, kedua orang muda itu maju dan hampir berbareng membentak ke arah musuh.
"Kami berdua tidak takut! Hayo bunuhlah kalau mau bunuh!"
Lauw Ci Sian dan Tan Li Ceng sudah mendengar penuturan kekasih masing-masing akan peristiwa semalam maka keduanya kini mengerti betapa besar penyesalan hati kekasih mereka. Mereka saling pandang dan diam-diam mereka sadar bahwa kesalahan kedua orang pemuda terhadap Pendekar Cengeng itu adalah kesalahan yang menjadi akibat dari sikap mereka berdua, dari pada kebodohan mereka berdua sehingga membuat dua orang pemuda yang mencinta mereka itu berlaku nekad seperti itu. Kini melihat kekasih mereka nekad menghadapi musuh yang amat tangguh, mereka berdua cepat maju dan menyambung.
"Kami akan melawan sampai mati!"
Melihat dua pasang orang muda itu dengan pedang di tangan siap bertempur dengan semangat meluap-meluap, pada hal tadi mereka telah mengenal kesaktiannya, Panglima Ouw Beng Tat diam-diam menjadi kagum dan mengerti mengapa pasukan Mongol berkali-kali mengalami pukulan hebat, kiranya kaum pemberontak dipimpin oleh pemuda-pemuda yang begini besar semangat dan keberaniannya. Ia menghela napas panjang dan berkata.
"Hemm, sayang orang muda-muda seperti kalian, yang belum banyak menikmati hidup, membuang nyawa sia-sia, hanya karena menuruti jiwa petualang......"
Panglima tua ini teringat betapa dia sendiri hanya mempunyai seorang putera akan tetapi anaknya itu meninggal dunia ketika baru berusia enam tahun karena penyakit. Kalau anaknya itu hidup, kiranya sudah sebesar pemuda-pemuda yang gagah perkasa ini! Andaikata anaknya itu hidup, belum tentu ia kini menjadi panglima kerajaan Mongol!
Melihat keraguan Panglima Ouw Beng Tat, Dewi Suling yang cerdik segera maju dan berkata lantang.
"Ouw-ciangkun! Engkau tentu sudah tahu bahwa kami kaum pejuang memperjuangkan nasib para pekerja paksa dan para wanita tak berdosa, kami mengacau dan memusuhi pasukan pasukan Mongol karena mereka menyengsarakan rakyat tak berdosa, menyuruh rakyat bekerja sampai mati dan menyiksa mereka, menculik dan memperkosa wanita-wanita tak berdosa. Semenjak engkau memimpin Thian-an-bun kami sudah mendengar akan perubahan-perubahan yang kau lakukan ke arah kebaikan nasib rakyat yang dipekerjakan, juga tidak ada lagi penculikan-penculikan, bahkan wanita-wanita yang dikeram di dalam benteng telah kau bebaskan dan suruh antar pulang. Mengingat akan kebaikan-kebaikan yang kau lakukan itulah maka kami para pejuang berdiam diri, tidak memusuhi benteng Thian-an-bun selama kau menjadi pemimpin di sana. Akan tetapi mengapa kini secara pengecut sekali engkau diam-diam membawa barisan besar mengepung kami?"
"Hemm, manusia manusia sombong, bocah-bocah tak tahu diri!"
Ouw Beng Tat menjawab dengan suara lantang.
"Apakah kalian kira bahwa peraturan-peraturan yang kuadakan di Thian-an-bun itu menjadi tanda bahwa aku takut kepada kalian? Ha-ha-ha! Sama sekali tidak, bukan bocah nakal! Memang para panglima yang lalu kurang becus mengatur. Memang sengaja aku mendiamkan kalian semenjak aku datang karena yang penting adalah mengatur keadaan di Thian-an-bun untuk memperlancar jalannya pekerjaan menggali terusan. Sekarang, setelah semua lancar barulah aku teringat kepada kalian dan karena kalian ini anak-anak yang memberontak, harus diberi hukuman! Sekarang pilih saja, kalian semua kutumpas sampai habis, tak seorangpun lolos, atau memenuhi syarat yang kuajukan!"
Para pejuang menjadi panas telinganya mendengar ucapan yang memandang rendah mereka itu. Ie Cu Lin, orang tertua dari Huang-ho Sam-liong, yang beralis putih dengan marah lalu melangkah maju dan menudingkan telunjuknya.
"Ouw Beng Tat, kita tua sama tua, jangan kau bicara seperti terhadap anak-anak! Engkau boleh jadi gagah perkasa, akan tetapi sudah terbukti engkau mengabdi kepada penjajah asing! Kami biarpun tidak berani menyebut diri pandai masih memiliki jiwa patriot. Aku Ie Cu Lin rela mengorbankan nyawa untuk tanah air dan bangsa, aku menantang kau bertanding sampai mati!"
"Ha-ha-ha, cecunguk yang tak tahu malu! Siapa tidak mengenalmu? Engkau orang tertua Huang-ho Sam-liong? Kepala bajak! Bangsa bajak yang kerjanya hanya membajak dan mengganggu rakyat, masih berani bilang seorang patriot? Sungguh tak tahu malu, seperti seekor harimau yang keluar tak lain hanya gonggongan menjijikan!"
Ie Cu Lin tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia melompat maju menerjang dengan senjatanya diikuti Ie Kiok Soe dan Ie Bhok kedua orang adiknya. Dengan senjata di tangan, tiga orang Huang-ho Sam-liong ini menerjang dari depan penuh kemarahan. Agaknya, Panglima Ouw Beng Tat sudah lebih dahulu memesan anak buahnya tidak bergerak kalau tidak diperintah, atau memang para anak buahnya amat takut kepada pemimpin baru ini. Buktinya melihat tiga orang penerjang hebat dan mengancam keselamatan pemimpin mereka semua memandang tajam. Kiranya semua perajurit dan perwira itu sudah seratus prosen percaya akan kesaktian pemimpin mereka yang benar-benar hebat dan terbukti.
Ketika ketiga orang saudara Ie itu menerjang maju. Ouw Beng Tat masih tertawa dan sama sekali tidak bersiap-siap menyambut. Akan tetapi tiba-tiba kelihatan tangan kiri kakek itu bergerak, terdengar suara berkerincing nyaring sekali dan tampak sinar berkilauan menyambar ke depan dari tangan kiri panglima itu, menyambar ke arah tiga orang Huang-ho Sam-liong yang berturut-turut terjungkal sambil berseru kaget dan kesakitan, senjata di tangan mereka terlepas dan mereka berkelonjotan sebentar lalu tak bergerak lagi. Tampak di dahi mereka, tepat di antara kedua mata, sudah tertusuk senjata-senjata rahasia ampuh itu yang menancap sampai dalam memecahkan batok kepala menembus otak?
Peristiwa itu terlalu hebat sehingga kedua pihak sampai tercengang. Huang-ho Sam-liong bukanlah orang-orang lemah. Sebaliknya dari pada itu mereka adalah orang-orang yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi, akan tetapi dalam segebrakan saja mereka tewas oleh piauw-piauw panglima itu. Padahal kalau tiga orang itu diserang senjata piauw oleh lawan biasa, senjata piauw itu tentu dengan mudah dapat mereka elakan atau tangkis. Melihat ini saja makin yakin hati Dewi Suling bahwa Panglima Ouw Beng Tat benar-benar merupakan tandingan yang amat berat!
Pada saat itu, selagi para pejuang menjadi gelisah dan sudah mengambil keputusan untuk membela diri dengan mati-matian, akan tetapi terdengar ledakan bertubi-tubi tidak begitu keras, akan tetapi tampaklah di angkasa anak panah berapi, Ouw Beng Tat hanya mengerling ke atas sedikit lalu ia mendesak.
"Dewi Suling agaknya engkau yang menjadi pemimpin di sini. Dengarlah syaratku. Aku tidak menumpas semua pemberontak karena mereka itu tidak tahu apa yang mereka lakukan. Aku hanya ingin menangkap semua pemimpinnya untuk mempertanggung jawabkan pemberontakan mereka di depan pengadilan kaisar. Adapun para anak buah, akan diampuni nyawanya asal suka kembali bekerja, membantu penggalian terusan dan tidak usah khawatir lagi, kini mereka dijamin dan kalau sudah habis waktu kerja, mereka akan dipulangkan ke kampung dan diberi pesangon."
Dewi Suling merasa ragu-ragu untuk menjawab. Ia menyesal sekali mengapa Pendekar Cengeng tidak berada di situ. Kalau ada, tentu pendekar itu mampu mencari jalan keluar, atau setidaknya mengimbangi kelihaian Panglima Ouw Beng Tat ini.
Kalau dia menolak syarat itu, berarti semua pejuang yang berada di situ akan tewas semua! Kalau ia menerima, dia dan banyak teman akan ditangkap. Dia sendiri tidak perduli kalau ia ditangkap atau terbunuh sekalipun, akan tetapi bagaimana dia tega untuk membiarkan Ouwyang Tek, Gui Siong dan dua orang nona kekasih mereka yang sedang menghadapi hidup bahagia memadu kasih itu ditangkap dan dihukum pula?
Selagi Dewi Suling ragu-ragu dan bingung tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring dari atas pohon yang berdekatan dengan tempat itu.
"Ha-ha-ha! Ouw Beng Tat sungguh tak tahu malu, mengabdi kepada orang Mongol mengkhianati bangsa sendiri!"
Ucapan ini disusul melayangnya tiga bayangan orang dari atas pohon melalui kepala orang-orang dan turun ke depan Ouw Beng Tat. Semua orang memandang dan dua pasang orang yang sedang gelisah itu segera berseru girang.
"Suhu......"
"Ha! Bagus sekali. Thian-te Sin-kiam sudah tiba!"
Seru Ang Kwi Han atau Ang Kai-ong ketua Ang-kin Kai-pang dengan suara lega. Sejak tadi kakek pengemis ini diam saja dan dia yang merupakan orang kedua dalam pasukan pejuang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi disamping Dewi Suling, tadi diam-diam telah memberi isyarat kepada anak buahnya dan sudah siap-siap mengeroyok Panglima Ouw Beng Tat yang kosen.
Memang, yang datang itu adalah tiga orang kakek yang memiliki gerakan seringan burung. Orang pertama adalah Thian-te Sin-kiam Liem Kwat Ek, kakek atau juga guru dari Liem Siok Lan, seorang tokoh ilmu pedang yang amat terkenal, sejajar dengan nama besar Yu-kiam-sian. Kakek ini usianya sudah tua, rambutnya sudah putih tubuhnya tinggi kurus, akan tetapi sinar mata yang tajam membayangkan kekerasan hati dan kegagahan. Adapun orang kedua adalah Tho-tee-kong Liong Losu, hwesio gendut bertelanjang dada, tenang dan serius, kini memandang kepada kedua orang muridnya dengan alis berkerut, akan tetapi menjadi lega ketika melihat bahwa dua orang muridnya dalam keadaan sehat dan selamat.
Adapun orang ketiga, adalah Siauw-bin-mo Hap Tojin yang usianya juga sudah amat tua, tujuhpuluh tahun lebih akan tetapi sikapnya gembira dan jenaka masih seperti dulu, mukanya makin tua makin kehijauan, matanya makin sipit sehingga hampir terpejam, akan tetapi mulutnya tersenyum-senyum, tangan kiri memegang guci arak yang menghamburkan bau harum, pedang bututnya masih menempel di punggung.
Sebetulnya, sudah agak lama tiga orang sakti ini datang dan melihat ketika pasukan pejuang dikurung oleh barisan besar yang dipimpin sendiri oleh Ouw Beng Tat, mereka bertiga kaget dan khawatir. Mereka cukup maklum akan kelihaian Ouw Beng Tat. Lebih-lebih lagi Thian-te Sin-kiam Liem Kwat Ek yang tidak melihat cucunya di antara para pejuang hatinya amat gelisah. Maka ia lalu melepaskan panah apinya untuk memberi tanda agar kalau cucunya berada di sekitar tempat itu dapat maklum bawa dia telah datang. Dan memang betul panah apinya terlihat oleh Siok Lan, akan tetapi waktu itu Siok Lan berada di tempat yang jauh sehingga tidak dapat cepat-cepat tiba di situ.
Melihat munculnya tiga orang kakek yang dikenalnya dengan baik ini Ouw Beng Tat tertawa lalu menjura dan berkata dengan suara gembira.
"Wah, kalian bertiga kakek kakek tua bangka kiranya masih hidup? Ha-ha-ha sungguh lucu sekali dapat berjumpa dengan kawan-kawan lama dalam keadaan seperti ini. Ha-ha-ha-ha!"
Thian-te Sin-kiam Liem Kwat Ek yang lebih tua daripada semua tokoh yang berada disini, menudingkan telunjuk ke arah Ouw Beng Tat dan suaranya tegas dan bernada marah ketika ia berkata.
"Ouw Beng Tat, antara engkau, kami bertiga dan mendiang Yu-kiam-sian, dahulu terjalin persahabatan erat sebagai teman-teman seperjuangan melawan orang-orang Mongol, bahkan kami berempat boleh dibilang menjadi anak buahmu ketika engkau masih menjadi seorang Panglima Sung yang gagah perkasa dan kami berempat menjadi pejuang sukarela menentang penjajah. Siapa mengira, engkau dapat terbujuk dan menjadi kaki tangan kerajaan Mongol, dan kini malah tidak segan-segan menentang para pejuang bangsa sendiri! Ouw Beng Tat, aku tadi telah mendengar semua. Sekarang jelas bahwa di antara kita harus menyambung nyawa. Sahabat-sahabat pejuang semua......! Bersiaplah, bentuk lingkaran menghadapi musuh! Kita satu lawan tiga akan tetapi tidak perlu takut. Mempertaruhkan nyawa demi tanah air dan bangsa.......!"
Kakek itu masih bersemangat dan teriakannya mengingatkan orang akan sepak terjangnya di waktu muda dahulu.
Bangkitlah semangat para pejuang dan otomatis mereka bergerak, membentuk barisan lingkaran untuk menghadapi musuh yang sudah mengepung mereka.
Melihat ini Ouw Beng Tat tertawa terbahak-bahak.
"Ha-ha-ha, Liem Kwat Ek, ternyata nyalimu masih belum lenyap dan engkau tak pernah tua! Ketahuilah, seorang bijaksana harus dapat menyesuaikan diri dengan keadaan, melawan secara membabi buta tanpa perhitungan bukanlah laku seorang bijaksana, melainkan seorang tolol! Aku adalah seorang panglima yang bertanggung jawab dan setia kepada tugas dan kedudukanku. Aku harus membasmi setiap orang pemberontak. Akan tetapi aku masih mengingat bangsa sendiri, maka aku mengajukan usul. Para anak buah pemberontak dapat kuterima menjadi pekerja-pekerja kembali dan diampuni dosa-dosa mereka. Akan tetapi pemimpin-pemimpinnya termasuk engkau, Siauw-bin-mo dan Tho-tee-kong, harus menyerahkan diri untuk kujadikan tawanan ke kota raja!"
"Hem, apakah kaukira demikian mudah kau akan dapat menangkap kami? Ha-ha-ha, panglima anjing bangsa Mongol, cobalah kau tangkap Siauw-bin-mo!"
Kata kakek muka hijau Hap Tojin sambil tertawa-tawa mengejek.
"Bagus! Sekarang biarlah aku menghadapi kalian dengan aturan dunia persilatan! Kalau aku mengerahkan barisanku, tentu kalian semua akan terbasmi habis dan aku tidak menghendaki ini. Sekarang biarlah kita mengadu kepandaian antara para pemimpin pemberontak dengan aku dan para perwira bawahanku. Kalau kalian kalah, anak buah kalian harus menurut menjadi pekerja-pekerja kembali, sebaliknya kalau aku dan teman-temanku kalah, biarlah kalian semua kubiarkan bebas dan aku tidak akan mengerahkan barisanku."
"Nah, itu barulah ucapan seorang gagah. Ouw Beng Tat kiranya engkau masih ingat akan sopan santun dunia kang-ouw. Nah, sekarang aku Ang Kwi Han ketua Ang-kin Kai-pang yang akan menjadi pelopor melawanmu. Lihat pedangku."
Kakek yang berpakaian aneh itu meloncat maju. tongkatnya bergerak dan tahu-tahu tongkat itu sudah berubah. Sebatang pedang dengan ronce-ronce merah, gerakannya cepat sekali dan pedangnya mengeluarkan angin berkesiutan.
Memang kakek ini terkenal dengan ilmu pedang Soan-hong-kiam (Pedang Angin) dan dengan ilmu pedang inilah maka Ang-kin Kai-pang menjadi terkenal. Tingkat Kepandaian Ang Kwi Han sudah amat tinggi dan kiranya hanya Dewi Suling seorang diantara para pejuang yang dapat mengimbangi kepandaiannya.
Kalau tadi ketua pengemis ini tidak segera turun tangan adalah karena dia merupakan seorang yang banyak pengalamannya dan tidak sembrono. Ia tahu bahwa Ouw Beng Tat amat kosen, dan baru setelah kini ia melihat datangnya tiga orang teman yang kepandaiannya boleh diandalkan sungguhpun masih diragukan apakah dapat menang menghadapi panglima itu, ia maju lebih dulu untuk membuktikan bahwa dia adalah seorang pejuang yang pantang mundur dan rela mempertaruhkan nyawa!
"Wirrr...... trang......!!"
Pedang angin yang amat cepat gerakannya dari Ang Kwi Han tahu-tahu telah tertangkis oleh pedang panjang di tangan Ouw Beng Tat dan begitu api muncrat ke kanan kiri akibat benturan kedua pedang itu tampak Ouw Beng Tat mundur dua langkah, akan tetapi pangcu (ketua) itu terhuyung dan mukanya berubah agak pucat.
"Ha-ha-ha! Ang kai-ong (Raja Pengemis Ang) memang tidak bernama kosong belaka!"
"Yang lain-lain dapat dihadapi perwira-perwira, akan tetapi engkau Dewi Suling, Siauw-bin-mo, Tho-tee-kong dan Thian-te Sin-kiam sendiri adalah lawan-lawanku. Kalian berlima boleh maju bersama, boleh maju berbareng agar dapat membuktikan kelihaian Ouw Beng Tat, Ha-ha-ha!"
Sungguh sombong sekali ucapan panglima itu, akan tetapi Thian-te Sin-kiam dan dua orang kakek lain, yaitu Siauw-bin-mo dan Tho-tee-kong maklum bahwa kesombongan itu bukan kosong belaka. Mereka ini tahu bahwa memang ilmu kepandaian Ouw Beng Tat amat tinggi maklum dahulupun mendiang Yu-kiam-sian masih tidak dapat menandinginya! Andaikata mereka berlima sekalipun, belum tentu mereka berlima akan dapat dengan mudah mengalahkan Beng Tat. Akan tetapi sebagai orang-orang gagah mereka agak segan untuk melakukan pengeroyokan, terutama sekali Thian-te Sin-kiam yang sudah memiliki nama besar sebagai seorang tokoh pedang yang bertingkat tinggi. Turun tangan mengeroyok berarti mencoreng muka sendiri dan merendahkan derajat mencemarkan nama sendiri.
Akan tetapi, hati dan pendirian Tho-tee-kong Liong Losu dan Siauw-bin-mo Hap Tojin tidaklah sekeras Thian-te Sin-kiam. Mereka berdua ini dulu pernah berjuang di bawah pimpinan Ouw Beng Tat dan sudah maklum betapa tinggi ilmu panglima itu, maka kini menyaksikan Ang Kwi Han bertanding dan dalam beberapa jurus saja sudah tertindih dan tertekan mereka berseru keras dan meloncat maju, Tho-tee-kong Liong Losu menggerakkan tongkat hwesio di tangannya dan senjata yang berat ini sudah mengaung-ngaung seperti seekor naga mengamuk. Adapun Siauw-bin-mo Hap Tojin sambil tertawa-tawa, sudah mencabut pedangnya dan tampaklah segulung sinar pedang berkilauan menyambar-nyambar dan mengurung Ouw Beng Tat.
"Ha-ha-ha bagus sekali! Hap Tojin dan Liong Losu, puluhan tahun yang lalu kita berteman, kini
(Lanjut ke Jilid 19)
Pendekar Cengeng (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 19
berlawan. Memang hidup harus berganti ganti, banyak bumbu baru gembira! Ha-ha-ha!"
Pada saat tiga orang kakek itu mengeroyok Ouw Beng Tat, sesosok bayangan berkelebat memasuki tempat itu dengan cara seperti tiga orang kakek tadi, yaitu melompat dari pohon. Bayangan itu bukan lain adalah Siok Lan yang segera menghampiri Thian-te Sin-kiam dan berseru.
"Kong-kong...... (kakek)!"
Sejenak pandang mata kakek ini berseri dan ia menggandeng tangan cucunya, lalu ia memandang lagi ke arah pertandingan dengan mata mengandung kekhawatiran.
"Kong-kong, mari kita bantu mereka......"
"Stttt...... jangan sembrono Siok Lan. Engkau tidak boleh sembarangan turun tangan, takkan ada gunanya."
Siok Lan memandang bengong dan melihat betapa panglima tinggi besar itu biarpun dikeroyok tiga namun ternyata pedangnya hebat bukan main. Tubuhnya yang tinggi besar itu berdiri kokoh kuat seperti menara besi, pedangnya bergerak dengan tenaga yang menggetar-getar, terasa sampai jauh angin sambaran pedangnya dan betapapun juga akan lihainya tiga orang kakek yang mengeroyoknya, namun tidak pernah senjata tiga orang ini dapat menyentuh. Tiap kali tertangkis pedang di tangan Ouw Beng Tat bahkan tongkat Liong Losu yang berat disertai tenaganya yang kuat sekalipun terpental dan hampir terlepas dari pegangan!
"Kong-kong......"
Siok Lan berbisik lagi.
"tiga orang kakek itu takkan menang, kenapa kong-kong tidak membantu mereka......?"
"Ha-ha-ha! Tepat sekali desakan cucumu, Thian-te Sin-kiam. Hayo kau maju dan bantulah. Kau juga Dewi Suling!"
Siok Lan terkejut. Dia bicara bisik-bisik kepada kakeknya, dan panglima itu sedang bertempur dikeroyok tiga orang kakek lihai, namun masih dapat mendengarnya dan menjawab. Sungguh hebat panglima tua itu!
"Aku tidak akan melakukan pengeroyokan Siok Lan."
"Apakah...... kong-kong sanggup menandinginya......?"
"Sukar menangkan dia...... akan tetapi aku tidak takut. Kalau semua teman kalah, biarlah kuserahkan selembar nyawa dan tubuh tua ini."
"Kong-kong......"
"Stttt, mati hidup bukan apa-apa lagi bagi seorang tua bangka seperti aku. Akan tetapi berbeda lagi dengan engkau, maka janganlah engkau sembrono. Apakah kau sudah bertemu dengan dia?"
"Siapa, kong-kong?"
"Siapa lagi, Yu Lee tentu...... bukanlah kau pergi mencari dia?"
Merah wajah Siok Lan dan dia menggeleng kepala, tidak menjawab. Ditanya tentang Yu Lee atau Pendekar Cengeng, teringat ia kepada A-liok dan timbul kekhawatirannya. A-liok tadi berlari-lari menyusulnya bagaimana kalau tertangkap oleh pasukan musuh? Akan tetapi karena pasukan musuh tidak atau belum bergerak menanti perintah Panglima Ouw Beng Tat agaknya kekhawatirannya hilang dan ketika ia menolah ke kanan kiri dan belakang, ia terheran-heran melihat A-liok sudah menyelinap di antara anak buah pejuang! Kalau saja keadaan tidak demikian menegangkan, tentu ia akan merasa heran bagaimana A-liok dapat sedemikian cepatnya menyusul ke situ padahal tadi ia mempergunakan ilmu lari cepat.
Kakeknya tidak bertanya lagi, juga Siok Lan lupa akan A-liok ketika melihat betapa pertandingan sudah mencapai puncaknya. Baru kurang lebih tigapuluh jurus berlangsung, akan tetapi keadaan tiga orang kakek itu sudah payah! Mereka kini terus terhimpit dan tertekan oleh sinar pedang Panglima Ouw Beng Tat yang makin lama makin lebar gulungan sinarnya.
"Pengkhianat keji biar kau rasakan pedangku!"
Yang berteriak nyaring ini adalah Cui Hwa Hwa yang agaknya tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Wanita ini sudah meloncat ke depan dan Thian-te Sin-kiam dan Dewi Suling terkejut, hendak mencegah namun terlambat. Terdengar jerit mengerikan ketika terdengar suara kerincingan dan seperti keadaan tiga orang Huang-ho Sam-liong tadi, tubuh Cui Hwa Hwa roboh berkelojotan, sebatang piauw menancap di antara kedua matanya dan ia tewas tak lama kemudian!
Sungguh hebat kepandaian Panglima Ouw Beng Tat, Cui Hwa Hva terhitung orang lihai, jauh lebih lihai daripada tiga Huang-ho Sam-liong namun tetap saja ia tidak dapat menghindarkan diri dari serangan tiga batang piauw berkerincing yang sekaligus menyambarnya tadi. Ia dapat menghindarkan yang dua batang, namun piauw ketiga tak dapat ia hindarkan lagi.
Sambil tertawa Ouw Beng Tat mempercepat gerakan pedangnya dan Ang Kwi Han berseru perlahan, terhuyung ke belakang dan lengan kirinya sebatas siku terlepas dan jatuh ke atas tanah! Lengannya telah terbabat pedang Ouw Beng Tat! Namun luar biasa sekali kegairahannya dan daya tahan ketua Ang-kin Kai-pang ini, karena sambil mengeluarkan suara gerengan ia menubruk maju dengan nekat, pedangnya bergerak cepat sekali. Ouw Beng Tat mundur dan menangkis, tangan kirinya kembali diayun dan tiga batang piauw menancap di antara mata leher dan ulu hati ketua pengemis itu yang segera roboh tak berkutik lagi.
"Auuuuggghhh......!!"
Suara ini terdengar bergema keluar dari kerongkongan puluhan orang anggauta Ang-kin Kai-pang dan mereka sudah gatal-gatal tangan untuk menerjang maju.
Melihat ini Dewi Suling cepat mengangkat lengan ke atas dan berseru.
"Saudara-saudara anggauta kai-pang harap tenang! Orang gagah selalu memegang teguh janji! Kita sudah berjanji, diwakili Liem-locianpwe tadi untuk mengadu kepandaian antara pimpinan. Tidak seorangpun anak buah boleh turun tangan tanpa komando!"
Memang Dewi Suling paling disegani oleh para pejuang maka para pengemis yang menyaksikan sendiri betapa pangcu mereka terbunuh, menahan kemarahan dan hanya dapat mencucurkan air mata sambil merawat jenazah ketua mereka seperti yang dilakukan oleh anggauta-anggauta Huang-ho Sam-liong terhadap ketua mereka dan terhadap jenazah Cui Hwa Hwa tadi.
Setelah Ang Kwi Han tewas, tentu saja Siauw-bin-mo Hap Tojin dan Tho-tee-kong Liong Losu menjadi makin repot menghadapi Ouw Beng Tat.
Panglima ini tertawa-tawa mengejek lalu berkata.
"Mengingat akan persahabatan kita, tidaklah lebih baik kalian menyerah saja daripada mati konyol di ujung senjataku?"
"Omitohud pinceng tidak takut menghadapi kematian,"
Kata Tho-tee-kong sambil terus menggerakkan tongkatnya.
"He, he, he, Ouw Beng Tat panglima boneka. Siapa takut mati? Kalau kami mati di tanganmu, apa kau kira engkau kelak tidak akan mampus juga? Kami akan mati sebagai pejuang-pejuang bangsa akan tetapi kelak engkau mampus sebagai pengkhianat, namamu akan tercemar sampai tujuh turunan. Ha-ha-ha!"
Marahlah Ouw Beng Tat. Ia megeluarkan suara gerengan yang menbuat seluruh tempat itu tergetar, pedangnya berkelebat menyilaukan mata. Akan tetapi kedua orang kakek gagah perkasa itu tidak gentar, menyambutnya dengan senjata masing-masing, bahkan tongkat di tangan Tho-tee-kong berhasil "menyusup"
Masuk dan menggebuk pundak kiri Ouw Beng Tat.
"Bukkk!"
Tho-tee-kong terkejut ketika merasa betapa tongkatnya membalik dan tangannya sakit-sakit. Akan tetapi iapun girang ketika melihat Ouw Beng Tat terguling roboh, ia mengira bahwa biarpun tubuh itu kebal dan dilindungi pakaian sisik besi, namun tenaga pukulan tongkatnya membuat panglima itu terguling ia dan Hap Tojin menubruk maju untuk mengirim serangan maut.
"Awas......!"
Dewi Suling menjerit.
"Mundur......!"
Thian-te Sin-kiam memperingatkan.
Namun terlambat karena kedua orang tua yang sudah mulai lelah itu sudah terlanjur menubruk ke depan. Pada saat itu, tangan kiri Ouw Beng Tat yang rebah miring diayun dan belasan batang piauw berkerincing menyambar cepat sekali dari jarak dekat ke arah dua orang kakek itu.
Tho-tee-kong dan Siauw-bin-mo terkejut, berusaha memutar senjata melindungi tubuh, akan tetapi tidak semua piauw dapat mereka tangkis. Sebatang piauw menancap di lambung Tho-tee-kong dan sebatang lagi menancap leher Hap Tojin. Mereka terhuyung-huyung lalu roboh.
"Pengkhianat keji rasakan pembalasanku!"
Teriakan ini keluar dan mulut Tan Li Ceng yang diikuti oleh Ci Sian, Gui Siong dan juga Ouwyang Tek. Empat orang muda yang melihat suhu mereka roboh itu tak dapat menahan diri lagi dan sudah mencabut senjata dan menerjang ke depan.
"Tahan...... awas......!!"
Dewi Suling menjerit, tubuhnya melayang ke depan dan sulingnya diputar cepat di depan empat orang muda itu yang terancam oleh belasan batang piauw yang menyambar sambil mengeluarkan suara kerincing riuh rendah membisingkan telinga.
"Cring, cring, cring, cring......!!"
Belasan batang piauw itu beterbangan kena sampokan suling Dewi Suling, akan tetapi sebatang piauw masih meleset dan menancap di bahu kiri Dewi Suling, membuat wanita ini terhuyung-huyung. Tan Li Ceng cepat memeluknya dan membawanya mundur, di mana Dewi Suling mengeluarkan obat dan mengomel.
"Kalian berempat ini apa sudah bosan hidup? Lebih baik mengurus suhu kalian dan berusaha mengobati."
Empat orang muda itu menjadi pucat. Mereka maklum bahwa kalau tidak ada Dewi Suling, tadi mereka sendiri tidak akan mampu menyelamatkan diri dari pada sambaran belasan batang piauw yang hebat itu, Dewi Suling diam-diam juga kaget dan kagum, sambil memandang ke arah empat orang muda yang kini menolong guru masing-masing yang masih belum tewas. Dewi Suling dapat menduga bahwa nyawa dua orang kakek itu takkan dapat tertolong lagi.
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hal ini ia ketahui dari hebatnya sambaran piauw yang ditangkis, sulingnya yang menangkis piauw-piauw itu sampai tergetar hebat, berarti bahwa piauw itu disambitkan dengan tenaga dahsyat sekali, sepuluh kali lebih hebat daripada senjata-senjata rahasia yang dipergunakan ahli senjata rahasia. Pantas saja kalau Huang-ho Sam-liong bertiga, Cui Hwa Hwa, Ang Kwi Han. Orang-orang yang begitu lihai tak ada yang dapat menyelamatkan diri daripada sambaran piauw dari tangan Ouw Beng Tat.
"Suhu......!"
Tan Li Ceng dan Lauw Ci Sian menangisi guru mereka yang menggigit bibir.
"Suhu......!"
Gui Siong dan Ouwyang Tek juga memanggil gurunya perlahan dengan hati hancur.
Mereka melihat betapa guru mereka itu dalam keadaan terancam mati masih tersenyum-senyum memandang mereka, namun jelas bahwa luka suhu mereka itu takkan dapat ditolong lagi. Piauw itu menancap dalam di leher sehingga untuk mencabutnya malah mengkhawatirkan.
"Bagaimana...... dengan mereka......?"
Siauw-bin-mo menoleh ke arah kedua orang gadis murid Liong Losu.
"Kulihat...... kalian berempat...... hemm...... bagaimana......?"
Melihat betapa sukarnya suhunya bicara dengan leher seperti tercekik karena tertancap piauw itu. Gui Siong yang maklum akan watak suhunya, menjadi terharu dan tidak tega. Ia maklum bahwa sebelum mati gurunya ingin bertanya tentang usul perjodohan mereka dengan murid-murid Liong Losu!
"Mereka setuju suhu! Kami berempat tinggal menanti ijin suhu......"
Gui Siong berkata dengan muka merah dan menahan air mata.
"Ha-ha-ha......! Ha-ha-ha! Setuju ...... setuju......!"
Dan Siauw-bin-mo Hap Tojin tertawa terus sampai akhirnya berhenti sama sekali karena napasnya telah putus!
Tho-tee-kong Liong Losu keadaannya tidak lebih baik daripada Hap Tojin. Piauw menancap di lambung dekat jantung dan piauw yang mengandung racun hebat itu sudah meracuni semua darahnya, ia terengah-engah dan hanya membuka mata ketika mendengar suara ketawa terakhir Hap Tojin.
"Apa maksudnya......?"
Ia bertanya kepada Tan Li Ceng.
Tan Li Ceng maklum betapa pentingnya menyampaikan berita baik kepada suhunya yang dahulu merasa amat kecewa oleh penolakan mereka, maka kini dengan memberanikan hati menekan rasa malu ia berbisik di dekat telinga suhunya "Suhu...... kami berdua sudah sepakat menjadi...... jodoh kedua muridnya......"
"Omitohud...... lega hatiku...... ahh, Siauw-bin-mo, engkau benar...... hidup tidaklah begitu membosankan kalau hati kita lega ......"
Hwesio ini menghela napas panjang berkali-kali dan keadaan sungguh sebaliknya daripada Hap Tojin. Kalau sahabatnya itu mati sambil tertawa-tawa hwesio ini mati sambil menghela napas!
Ketika melihat betapa para pejuang menyaksikan kematian dua orang kakek itu dengan terharu dan suasana menjadi kosong mengharukan sejenak, Ouw Beng Tat lalu tertawa dan berkata keras.
"Apakah kalian masih berkeras kepala, tidak mau menyerah dan ingin mati konyol seperti yang lain-lain? Thian-te Sin-kiam, sudah terlalu banyak tenaga-tenaga baik mati konyol karena keras hati dan kepala batunya. Yang kupandang hanya lima orang di antara kalian yang patut melawanku. Yang tiga sudah tewas, seorang sudah terluka, tinggal engkau. Apakah engkau tidak dapat melihat gelagat dan menyerah saja? Hemm, jangan kaukira aku Ouw Beng Tat seorang yang berhati kejam. Sesungguhnya aku menangis dalam hati harus membunuh bekas-bekas sahabat baik. Akan tetapi karena keadaan memaksa, apa boleh buat. Harap saja kau orang tua berpemandangan lebih luas dan aku sudah akan merasa puas kalau dapat menggiringkan engkau, Dewi Suling dan empat orang anak muda itu sebagai pimpinan pemberontak ke kota raja."
Saking marahnya, Thian-te Sin-kiam tidak menjawab melainkan perlahan-lahan tangannya bergerak dan pedang yang sudah belasan tahun menganggur itu dicabutnya. Melihat ini Siok Lan memegang lengan kong-kongnya.
"Kong-kong, biarlah aku melawannya,"
Kata gadis itu.
"Ha-ha-ha, Thian-te Sin-kiam. Engkau sudah terlalu tua untuk berkelahi. Lebih baik engkau menyerah dan aku berjanji tidak akan menawan cucumu yang gagah ini. Selain itu, jangan mengira bahwa mereka yang kutawan dan kubawa ke kota raja tentu akan dihukum mati. Tidak sama sekali. Karena kerajaan Goan amat bijaksana dan dapat menghargai tenaga orang-orang pandai dan......"
"Tutup mulutmu, Ouw Beng Tat! Aku tidak sudi menjadi pengkhianat, lebih baik seribu kali mati daripada hidup menjadi pengkhianat bangsa seperti engkau!"
Teriak Thian-te Sin-kiam dan dadanya bergelombang saking marahnya. Kakek ini menggerakkan pedangnya, diputar-putar di atas kepala dan terpaksa Siok Lan mundur dan memandang kakeknya penuh kegelisahan. Lawan terlampau lihai dan kakeknya itu biarpun dahulu terkenal sebagai seorang pendekar pedang yang sukar dicari bandingnya, namun sejak dahulu sudah kalah tinggi ilmunya oleh Ouw Beng Tat, dan sekarang sudah amat tua dan mulai lemah.
"Thian-te Sin-kiam sungguh-sungguh engkau bodoh dan keras kepala! Engkau membikin hatiku merasa tidak enak sekali. Bagaimana aku dapat senang kalau harus mengadu pedang dengan orang yang dahulu menjadi anak buahku dan sudah banyak jasanya? Liem Kwat Ek, sabelum kita bertanding pedang, kau cobalah hadapi senjata rahasiaku. Kalau kau cukup tangguh menghadapi piauw-piauwku, barulah kau berharga untuk bertanding pedang denganku."
Setelah berkata demikian, kedua tangan Ouw Beng Tat bergerak dan pedangnya yang sudah dipegangnya tahu-tahu sudah kembali ke sarang pedang. Tangan kiri dan kanan kini merogoh piauw dari kantong-kantong piauw di pinggang kanan dan dada, dan begitu kedua tangan bergerak ke depan dan terdengarlah suara nyaring dan hiruk pikuk bunyi kerincingan dibarengi dengan menyambarnya puluhan batang piauw yang menyambar ke arah jalan darah di seluruh tubuh Thian-te Sin-kiam!
"Cring, cring, cring, cring, cring......!!"
Hebat gerakan pedang Thian-te Sin-kiam. Biarpun ia sudah tua, namun sekali kakek ini memutar pedang tubuhnya seolah-olah dilindungi benteng baja yang dibentuk oleh gulungan sinar-sinar pedang yang berkeredepan menyilaukan mata. Sambaran duapuluh piauw itu semua dapat ia runtuhkan dengan tangkisan pedangnya. Biarpun semua piauw runtuh namun diam-diam Thian-te Sin-kiam terkejut bukan main karena lengan kanannya yang memegang pedang seperti lumpuh rasanya saking kuatnya tenaga yang terkandung dalam senjata rahasia yang kecil seperti itu sehingga ketika menangkis tadi terpaksa ia mengerahkan seluruh tenaganya.
"Ha-ha-ha, hebat kau! Coba terima ini!"
Kembali terdengar suara berkerincingan nyaring sekali, lebih nyaring dari pada tadi dan yang berkelebat menyambar adalah tujuh batang piauw yang terbang menjadi satu dengan kecepatan luar biasa menuju dada Thian-te Sin-kiam. Kakek ini tidak dapat mengelak lagi terpaksa menangkis dengan pedangnya sambil mengeratkan tenaga.
"Tranggg......!"
Tujuh batang piauw yang menjadi satu itu terpukul runtuh akan tetapi pedang itu sendiri terlepas dari pegangan tangan Thian-te Sin-kiam! Kiranya tujuh batang piauw itu mengandung tenaga yang amat dahsyat sehingga tidak kuat Thian-te Sin-kiam menahan pedangnya yang terlepas dan runtuh bersama tujuh batang piauw yang ditangkisnya. Ouw Beng Tat tertawa-tawa dan kini kedua tangannya melempar-lemparkan piauw ke arah Thian-te Sin-kiam membuat kakek ini terpaksa mengandalkan kegesitan tubuhnya untuk mengelak dan berloncatan ke sana ke mari.
"Ha-ha-ha, engkau takkan dapat menghindar dari piauwku Liem Kwat Ek, akan tetapi kalau kau meayerah aku akan mengampuni nyawamu!"
"Kau boleh pergi ke neraka, Ouw Beng Tat! Bunuhlah aku kalau kau mampu, aku tidak takut mati!"
Ouw Beng Tat menjadi marah dan sengaja ia melepaskan sebatang piauw dengan pengerahan tenaga khusus, tidak seperti piauw-piauw lain yang dilepas hanya untuk mempermainkan jago pedang tua itu. Piauw ini luar biasa sekali, menyambar cepat dan terdengarlah Thian-te Sin-kiam Liem Kwat Ek mengeluh dan tubuhnya terhuyung. Piauw itu telah menyerempet pahanya. Biarpun tidak hebat lukanya, namun membuat kakinya setengah lumpuh karena pengaruh racun yang terkandung di ujung piauw.
"Ha, ha, ha, kau masih belum menyerah? Ingin semua kubunuh termasuk cucumu."
"Lebih baik kami mati semua daripada menyerah, manusia busuk!"
Siok Lan memaki sambil menolong kakeknya.
Dewi Suling yang sudah mengobati bahu kirinya meloncat dan berteriak, suaranya lantang,
"Ouw Beng Tat, jangan kira bahwa kami adalah orang-orang pengecut seperti engkau! Kami akan melawan sampai titik darah terakhir, dan setelah kami para pimpinan tewas jangan mengira bahwa anak buah kami akan suka tunduk begitu saja. Merekapun adalah patriot patriot sejati, orang-orang gagah yang memilih kematian daripada menjadi abdi penjajah terkutuk!"
Ucapan ini bukan merupakan pengingkaran janji, melainkan merupakan pembakaran semangat yang sengaja diucapkan Dewi Suling setelah menyaksikan betapa pihaknya akan kalah. Ucapannya disambut sorak sorak riuh dan gemuruh oleh para anak buah pasukan pejuang yang mengacung acungkan senjata.
"Kami lawan! Kami lawan sampai mati......!!"
Tadinya para anak buah pasukan pejuang sudah mengendur semangat juangnya, gentar karena menyaksikan betapa pihak pimpinan mereka banyak yang tewas. Terutama sekali anak buah Ang-kin Kai-pang yang kehilangan ketuanya, anak buah Huang-ho Sam-liong yang kematian tiga orang pemimpin dan hanya anak buah pimpinan Ouwyang tek, Gui Siong, Lauw Ci Sian dan Tan Li Ceng saja, bekas bekerja paksa itulah yang masih bersemangat tinggi.
Akan tetapi melihat sikap Thian-te Sin-kiam yang biarpun sudah tua namun masih bersemangat baja, dan sikap Dewi Suling yang gagah perkasa, timbul kembali semangat mereka sehingga dengan suara bulat mereka bertekad untuk melawan sampai titik darah orang terakhir!
Melihat sikap semua pejuang ini, kemarahan Ouw Beng Tat tak dapat ditahan lagi. Ia menggerakkan tangan hendak mengeluarkan perintah membasmi semua pemberontak yang dianggapnya tak tahu diri itu, akan tetapi sebelum mengeluarkan aba aba tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Ouw Tai-ciangkun sebagi seorang panglima tinggi seperti engkau, apakah tidak malu menjilat ludah yang dikeluarkannya sendiri?"
Kagetlah Ouw Beng Tat dan kini ia memandang. Yang menegurnya itu adalan seorang pemuda tampan dan gagah, berpakaian putih...... yang berdiri menghadapinya dengan tatap mata tajam dan sikap garang, menudingkan senjata yang berada di tangan pemuda ini berbentuk sebatang ranting kayu kecil yang yang masih ada dua helai daunnya di ujung ranting. Ia tidak mengenal pemuda ini juga tidak melihat ada diantara para pimpinan pemberontak. Sikap dan pakaian pemuda ini, seperti memang biasa saja, sama sekali tidak menimbulkan kesan, akan tetapi pandang matanya demikian mengerikan, tajam menembus jantung dan penuh keangkeran.
"Hm, siapa engkau dan apa artinya ucapan yang lancang tadi?"
Ouw Beng Tat membentak, suaranya mengguntur karena ia marah sekali.
Kalau seorang tokoh besar seperti Thian-te Sin-kiam masih tidak mampu melawannya apa pula pemuda sederhana ini? Ouw Beng Tat bukanlah seorang pengecut dan kejam terhadap bangsa seperti yang ia katakan. Dia merasa tidak senang harus bertanding melawan bekas sahabat seperjuangan dahulu, hatinya sakit karena ia harus membunuh orang-orang seperti Hap Tojin dan Liong Losu bekas anak buahnya. Akan tetapi, dia orang yang setia akan tugasnya.
Sikapnya menghadapi para pemberontak adalah sikap yang menyayang bangsa dan bekas sahabat, maka ia tidak begitu saja membasmi mereka yang sesungguhnya sudah berada di dalam telapak tangannya, melainkan ia mengajukan usul bertanding agar mereka itu dapat ia taklukkan tanpa pembunuhan, atau kalaupun ada pembunuhan, tidaklah banyak. Tentu saja dia bukan seorang bodoh dan sembrono. Adanya dia berani menantang bertanding adalah karena dia yakin bahwa di antara para pimpinan pemberontak itu tidak seorangpun dapat mengalahkannya!
Kini ada seorang pemuda yang berani menantangnya. Biarpun ia belum mengenalnya dan belum mengetahui sampai di mana kelihaiannya, akan tetapi tentu saja ia memandang rendah. Pemuda ini usianya tentu takkan lebih dari duapuluh lima tahun, sepandai-pandainya juga mana mungkin mampu melawan dia yang pengalamannya saja sudah lebih lama dari pada usia si pemuda?
"Namaku tidak menjadi soal, Ouw-ciangkun, akan tetapi perlu kau ketahui bahwa aku adalah seorang di antara para pejuang. Ucapanku tadi tidak lancang, karena sesungguhnya amat memalukan kalau seorang panglima seperti engkau menjilat ludah sendiri. Bukankah engkau janjikan kebebasan apabila kau kalah dalam pertandingan? Nah, pertandingan belum juga habis engkau sudah hendak mengerahkan pasukan untuk membasmi para pejuang!"
"Apa kau bilang? belum habis? Eh, orang muda dengarkan dengan kata-kataku. Semua pimpinan pemberontak sudah ku kalahkan. Siapa lagi yang masih berani melawan aku? Hayo, siapa lagi orangnya di antara para pemberontak yang berani menghadapi pedang dan piauwku? Siapa berani bertanding dengan panglima besar Ouw Beng Tat?"
Pemuda itu dengan sikap tenang lalu berkata, mengejutkan dan mengherankan Ouw Beng Tat dan semua anak buahnya.
"Akulah yang akan melawanmu, Ouw-ciangkun!"
"A-liok......! Jangan...... kau nanti mati......!"
Yang menjerit ini adalah Siok Lan. Gadis yang sudah jatuh cinta kepada bekas "pelayan"
Ini begitu kaget dan khawatir mendengar ucapan Yu Lee sehingga ia menjerit dan dengan tak disadarinya lagi ia sudah meloncat dan lari meninggalkan kakeknya, menghampiri Yu Lee dan memegang lengan pemuda itu.
"A-liok, apa kau gila? Kau hendak melawan dia? Banyak jalan kematian, mengapa memilih mati konyol! Dia bukan lawanmu. Biarlah aku yang menggantikanmu! Hayo, Ouw Beng Tat, kau lawan aku saja!"
Gadis ini dengan sikap gagah mencabut pedang.
Yu Lee tersenyum, memegang kedua lengan gadis itu, berkata dengan suara halus dan penuh perasaan.
"Adik, Siok Lan, harap kau mundur, ah...... kau tenang-tenang saja, A-liokmu ini tidak akan mudah saja dibunuh orang......"
Siok Lan hendak meronta akan tetapi alangkah heran dan kagetnya ketika ia merasa betapa kedua lengannya sama sekali tidak dapat digerakkan dalam genggaman tangan bekas pelayannya itu. Ia penasaran dan mengerahkan seluruh sinkang di tubuhnya disalurkan ke arah kedua lengan, namun sia-sia, sedikit pun ia tidak dapat bergeming. Dengan keheranan menjadi-jadi ia mengangkat muka menatap wajah pemuda itu yang tersenyum-senyum kepadanya.
"Siok Lan......!"
Panggilan ini datang dari mulut Thian-te Sin-kiam.
"Kong-kongmu memanggil, kau kesanalah dan tenangkan hatimu, moi-moi.......!"
Semua peristiwa ini demikian mengherankan dan mengejutkan hati Siok Lan. Ia merasa seperti dalam mimpi. A-liok menyebut "adik"
Dengan sebutan begitu mesra. A-liok memegang kedua lengannya dan ia sama sekali tidak mampu bargerak. A-liok kini menantang untuk bertanding melawan Panglima Ouw Beng Tat yang demikian lihai sehingga kakeknya sendiripun tidak mampu mengalahkannya! Seperti dalam mimpi, mendengar kata-kata terakhir A-liok. Siok Lan lalu berjalan perlahan menghampiri kakeknya.
Thian-te Sin-kiam yang pahanya terluka itu sudah ditolong oleh Dewi Suling yang menaruhkan obat dan membalutnya. Kini kakek ini sudah bangkit berdiri memandang cucunya dengan mata terbelalak dan segera ia menegur Siok Lan begitu gadis itu datang dekat.
"Siok Lan! Bagaimana engkau begitu berani kurang ajar? Kau...... kau menyebut dia...... A-liok? Apa-apaan ini? Siapa itu A-liok?"
"Dia A-liok pelayanku, kong-kong......"
Kata Siok Lan terheran-heran melihat betapa kong-kongnya itu memandangnya dengan mata terbelalak seperti itu.
"Apa? Pel...... pel...... pelayanmu? Dia...... pelayanmu? Ha, ha, ha, ha! Setua ini baru kali ini aku mendengar urusan begini lucu dan gila, ha, ha, ha, ha. ha......!"
Kakek itu tertawa terbahak-bahak sehingga mengejutkan semua orang yang memandangnya dengan khawatir, takut kalau-kalau kakek itu menjadi gila karena menyesal melihat pihaknya menderita kekalahan. Tubuhnya bergoyang dan Siok Lan cepat memegang lengan kakeknya.
"Kong-kong...... mengapa......?"
Thian-te Sin-kiam memeluk cucunya menghentikan tertawanya ketika sadar bahwa sikapnya itu mengherankan semua orang.
"Diamlah, dan kau lihat saja. Lihat baik-baik dan kau akan mengerti, cucuku,"
Katanya.
Yu Lee juga menengok ke arah mereka dan ketika bertemu pandang dengan Siok Lan. mengedipkan sebelah matanya.
Ouw Beng Tat juga mendengar percakapan antara kakek dan cucunya itu, maka ia tertawa.
"Ha-ha-ha, kiranya engkau ini pelayan cucu Thian-te Sin-kiam? Seorang pelayan berani menantangku? Apakah kau sudah gila?"
"Ouw-ciangkun, sudah kukatakan tidak perduli aku siapa, akan tetapi saat ini aku mewakili semua pejuang menghadapimu. Asal saja engkau tidak menjilat ludah sendiri. Kalau kau kalah terhadap aku, engkau akan membebaskan semua pejuang yang berada di sini. Benarkah itu?"
Ouw Beng Tat menjadi penasaran. Dia seorang panglima besar, bagaimana ia harus merendahkan diri melawan seorang....... pelayan? Selain Ouw Beng Tat, juga Siok Lan terheran-heran, bahkan mendongkol kepada A-liok. Gilakah A-liok! Mewakili semua pejuang? Mencari mati konyol?
"Thian-te Sin-kiam, benarkan pemuda ini menjadi wakil kalian?"
Thian-te Sin-kiam tertawa lebar dan mengangguk.
"Benar, lawanlah dia kalau memang engkau lihai Ouw Beng Tat! Sekali ini engkau akan mendapat malu!"
Ouw Beng Tat masih penasaran dan menoleh ke arah Dewi Suling yang sejak tadi menundukkan mukanya yang menjadi pucat mendengar percakapan antara Thian-te Sin-kiam dan cucunya tentang pemuda yang ia kenal sebagai Yu Lee Si Pendekar Cengeng, satu-satunya pria yang dicintainya dan yang telah menolak cintanya itu.
"Dewi Suling, engkau juga setuju pemuda ini menjadi wakil kalian dan kalau dia kalah dariku, kalian semua akan tunduk akan semua keputusanku?"
"Dia memang wakil tunggal kami Ouw-ciangkun. Dialah jago kami yang sejak tadi kami nanti-nanti!"
Jawab Dewi Suling tanpa ragu-ragu lagi.
Siok Lan melongo. Gilakah semua orang ini? Ataukah dia yang sudah gila dan telinganya tidak dapat menangkap ucapan orang dengan benar lagi?
Namun Ouw Beng Tat masih juga meragu. Ia tidak ingin dipermainkan dan dikatakan pengecut merendahkan diri hanya berani melawan seorang pelayan rendah. Maka ia berkata kepada Yu Lee.
"Orang muda, sebelum aku melawanmu hendak kulihat apakah kau cukup berharga untuk menjadi lawanku! Ia menoleh ke belakang dan berkata kepada seorang perwira gemuk pendek yang memegang sebatang cambuk besi.
"Kau wakili aku, hancurkan kepala budak hina ini!"
Perwira gedut pendek itu adalah seorang tokoh pengawal istana, seorang ahli silat yang bertenaga besar dan senjatanya itu, sebatang cambuk besi, amatlah hebatnya. Cambuk itu terbuat daripada baja lemas panjangnya tidak kurang dari tiga meter. Dengan senyum mengejek perwira itu melangkah maju cambuknya digerakkan dan diputar-putar di atas kepala menimbulkan suara meledak-ledak keras sekali seperti halilintar.
Yu Lee maklum bahwa senjatanya, yaitu sebatang ranting berani menghadapi segala macam senjata keras, kecuali cambuk yang lemas, karena ada bahayanya ranting itu akan terbabat putus oleh cambuk yang lemas sifatnya. Maka ia lalu menyelipkan rantingnya di pinggang, lalu bertolak pinggang ambil berkata.
"Baiklah Ouw-ciangkun. Aku akan menghadapi pembantumu ini dengan tangan kosong!"
Ucapan ini tentu saja dianggap tekebur oleh pihak lawan, dan memang ini yang diharapkan Yu Lee agar tidak diketahui orang akan rahasia kelemahan senjatanya yang amat sederhana ini.
Siok Lan menjadi pucat, menganggap bahwa A-liok benar-benar miring otaknya.
Perwira gendut itu marah sekali, merasa dipandang rendah dan dihina. Maka sambil berseru keras ia mengerang maju sambil menggerakkan cambuknya......
"Tar-tar-tar......."
Cambuk baja itu melecut-lecut dan ujungnya menari-nari di atas kepala Yu Lee, seolah-olah mengancam hendak benar-benar menghancurkan kepala pemuda yang tampak tenang saja itu. Melihat betapa pemuda itu tenang-tenang saja menghadapi ancaman- ancaman ujung cambuknya, si perwira gendut makin marah dan dengan bentakan keras ia kini benar-benar menyerang. Ujung cambuknya menyambar ke arah jalan darah di leher Yu Lee setelah meledak dengan suara nyaring.
Namun dengan amat mudanya Yu Lee mengelak. Ujung cambuk terus menyambar-nyambar dan terjadilah pemandangan yang membuat Siok Lan melongo.
"Pelayannya"
Itu kini bergerak-gerak indah sekali, indah dan cepatnya sampai membuat matanya kabur dan kepalanya pening. Itulah ginkang yang jarang ia saksikan. Tubuh pemuda itu seolah-olah berubah menjadi asap, begitu ringannya ia bergerak, seolah-olah ujung cambuk yang menyambar-nyambar itu lebih dulu membuat tubuhnya melayang sebelum tiba sehingga tak pernah satu kalipun ujung cambuk dapat menyentuh bajunya yang putih kasar.
Benarkah itu A-liok, pelayannya? Kalau begitu, selama ini dia seperti seorang buta, tidak melihat bahwa pelayannya itu sesungguhnya memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada dia sendiri! Akan tetapi mengapa A-liok berpura-pura bodoh? Dan kakeknya mengapa terkejut mendengar bahwa A-liok pelayan dan seakan-akan telah mangenal pelayannya itu? Mengapa pula semua pejuang, termasuk Dewi Suling, secara sewajarnya menerima A-liok sebagai jago mereika, seolah-olah sudah mengenalnya dengan baik dan tahu akan kepandaiannya?
Akan tetapi Siok Lan terpaksa harus menghentikan keheranannya karena ia amat tertarik menonton pertandingan itu. Yu Lee yang tadinya berloncatan menghindarkan diri dari sambaran-sambaran cambuk, kini tiba-tiba berdiri tegak dengan kedua kaki di pentang lebar dan kedua tangan bertolak pinggang, menanti datangnya serangan musuh! Perwira gendut itu berseru girang dan juga beringas, cambuknya menyambar ke arah dada Yu Lee.
Pemuda ini tadi memang sengaja mengelak terus untuk mengenal dasar gerakan ilmu cambuk lawan. Kini ia sudah dapat mengukur dan mengenal, maka ia berdiri tegak menanti datangnya cambuk. Begitu ujung cambuk sudah dekat dengan kulit dadanya tangan kanannya meraih dan ujung cambuk itu telah ditangkapnya dengan mudah.
Perwira itu marah membetot betot sekuat tenaga untuk merampas kembali senjatanya, namun sia-sia belaka, ujung cambuk baja itu tak dapat terlepas dari genggaman tangannya Yu Lee.
Kembali si perwira mengerahkan tenaganya yang besar, sampai mulutnya mengeluarkan suara "ah-ah-uh-uh"
Dan tiba-tiba Yu Lee melepaskan ujung cambuk itu bukan hanya dilepaskan begitu saja, melainkan ia lontarkan dengan pengerahan tenaga sinkang di tangannya. Ujung cambuk melesat ke depan, ke arah tubuh perwira gendut yang terhuyung-huyung ke belakang karena dorongan tangannya yang membetot tadi tanpa dapat dielakkan lagi ujung cambuk yang berubah menjadi seperti anak panah yang meluncur cepat ini menusuk perutnya.
"Crattt......!"
Ujung cambuk dari baja itu menusuk perut terus menembus punggung. Perwira gendut itu terjengkang dan berkelojotan, mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih.
Melihat temannya roboh tewas, enam orang perwira Mongol tanpa diperintah lagi sudah meloncat maju dan langsung menyerang Yu Lee.
Tawon Merah Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo