Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cengeng 3


Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



"Nona memasang ganjil dengan taruhan semua uang nona? Ingat, kalau nona kalah berarti nona takkan dapat melanjutkan perjudian ini lagi,"

   Kata orang she Lauw itu dengan suaranya yang parau, akan tetapi dengan sikap tenang.

   Nona itu tersenyum mengejek.

   "Kalau aku kalah, ambil semua uang ini, mengapa banyak komentar lagi? Uangku boleh habis, tetapi apakah perhiasan-perhiasanku ini tidak laku untuk dipasangkan?"

   Ia membuka buntalan dan terdengar orang berseru kagum ketika terlihat perhiasan-perhiasan emas permata yang indah-indah dalam sebuah bungkusan.

   "Ha-ha-ha, nona benar-benar seorang penjudi ulung yang tabah. Bagus hari ini kami menerima kunjungan seorang tamu terhormat. He, pelayan, lekas bawa ke sini arak yang paling baik untuk nona!"

   Setelah menuangkan arak dan mempersilakan nona itu minum, It-gan Hek-hauw lalu berkata.

   "Sekarang kita mulai, nona memasangkan semua uang itu untuk angka ganjil?"

   "Betul dan harap lekas putar dadunya!"

   Jawab nona itu sambil tersenyum dan memandang tenang. Ia melihat betapa orang tinggi besar yang bermuka hitam itu menggulung lengan bajunya ke atas, kemudian tangan kanannya memegang mangkok, memasukkan dadu dengan tangan kiri ke dalam mangkok itu dan matanya yang tinggal satu memandang tajam ke arah dadu yang mulai ia putar-putar di dalam mangkok.

   Makin lama makin cepat dadu terputar dan dengan telapak tangan kirinya dia menutupi mulut mangkok sambil memutar terus. Gerakan kedua tangannya sedemikian cepat sehingga bagi mata para tamu, kedua lengan yang besar dan berotot itu telah berubah menjadi banyak demikian pula mangkoknya membuat para penonton menjadi pening kepala.

   Namun nona itu memandang dengan mulut masih tersenyum, namun kini senyumnya seperti orang mengejek. Bagaikan kilat cepatnya. It-gan Hek-hauw kini membentak keras dan mangkoknya sudah tertelungkup di atas meja dengan biji dadu di dalamnya. Ia mengangkat mukanya memandang gadis itu dengan peluh dikeningnya.

   "Nona, menurut aturan, baru setelah dadu diputar, orang mulai memasang taruhannya. Apakah nona tetap memasang angka ganjil? tidak dirabah lagi?"

   Nona itu menggelengkan kepala sambil menatap tajam wajah orang pemilik rumah judi itu yang mengangkat muka memandang para tamu lainnya.

   "Karena nona ini memasang angka ganjil berarti bertaruh langsung dengan aku, maka harap cuwi (tuan sekalian) untuk kali ini berhenti dulu dengan pasangan cuwi."

   Kemudian tanpa menanti jawaban orang-orang itu ia telah mendekati mangkok, kedua tangannya dipentang dan kini tangan itu menggetar. Melihat ini nona itupun bangkit berdiri, kedua tangannya terletak di atas meja.

   "Awas, lihat baik-baik! Mangkok dibuka dua...... tiga......!!"

   Dengan tangan kanannya It-gan Hek-houw mengangkat mangkok dan tangan kirinya menekan meja. Semua mata melibat ke atas meja dan...... mereka semua melongo.

   Jelas tampak betapa biji dadu itu memperlihatkan angka tiga, jadi angka ganjil. Akan tetapi secara aneh sekali biji dadu itu bergerak dan menggelimpang ke samping sehingga kini angka empat yang berada di atas. Namun hanya sebentar saja karena kembali biji dadu menggelimpang ke angka tiga, lalu bergerak-gerak sedikit, hampir terbalik ke angka empat tetapi seolah-olah tidak kuat dan miring lagi kembali ke angka tiga terus tidak bergerak-gerak lagi.

   Nona itu beradu pandang dengan bandar yang kini sudah menaruh kedua tangan di atas meja pula. Mukanya yang hitam menjadi makin hitam, matanya yang tinggal satu melotot serta muka itu kini penuh keringat.

   "Hemm, angka tiga adalah angka ganjil, bukan? Aku menang lagi!"

   Kata si nona, suaranya nyaring.

   Kini para tukang pukul yang jumlahnya belasan orang saling pandang dan semua memandang kepada It-gan Hek houw sambil meraba gagang golok, menanti perintah. Namun It-gan-hek-houw tidak memberi isyarat apa-apa, hanya menghapus peluhnya kemudian tertawa bergelak dan berkata,

   "Ha-ha-ha, nona benar hebat! Hayo bayar seratus duapuluh lima tail emas kepada nona ini!"

   Para pembantunya tersipu-sipu mengambil uang dari dalam karena persediaan di depan tidak cukup untuk membayar kekalahan yang begitu banyak.

   Para tamu menjadi berisik membicarakan pertaruhan yang besar-besaran dan keadaan biji dadu yang amat aneh tadi. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa tadi telah terjadi adu tenaga lwee-kang (tenaga dalam) yang seru antara It-gan Hek-houw dan nona baju merah itu melalui tekanan tangan mereka pada permukaan meja.

   Setelah uang pembayaran selesai dihitung dan ditumpuk di atas meja di depan nona itu, It-gan Hek-houw berkata.

   "Apakah nona masih berani untuk melanjutkan perjudian ini?"

   Kembali senyum mengejek itu membayang di mulut yang amat indah bentuknya dan berbibir merah.

   "Mengapa tidak berani?

   "Awas, kali ini kau bisa kalah, nona."

   "Kalau tidak menang, tentu kalah. Apa bedanya? Lekas putar, aku akan mempetaruhkan semua uangku ini, duaratus limapuluh tail emas!"

   Diantara para tamu ada yang menjadi pucat mukanya. Ini sudah gila, pikirnya. Mana ada taruhan sekali pasang duaratus limapuluh tail emas? Kekayaan ini cukup untuk dipakai modal berdagang besar. Ini tentu tidak sewajarnya dan ada apa-apa di balik taruhan ini. Ia menjadi tegang dan takut. Akan tetapi karena hatinya tertarik ingin melihat perkembangan selanjutnya, ia berdiri seperti terpaku pada lantai dan melihat sambil menahan napas.

   Kini It-gan Hek-hauw menggerakkan kedua lengannya secara aneh sekali, seperti orang bersilat. Kedua tangan itu bergerak ke sana ke mari dengan amat cepatnya sehingga orang-orang tidak bisa melihatnya lagi sewaktu ia mengambil mangkok dan kemudian dengan cara bagaimana pula ia menaruh dadu ke dalamnya, tahu-tahu sudah diputarnya mangkok itu dengan gerakan-gerakan cepat dan aneh.

   Nona itu hanya memandang dengan senyum tetap mengejek dan senyumannya melebar ketika tiba-tiba It-gan Hek-hauw menurunkan mangkok di atas meja dengan mulut di bawah.

   Ketika mangkok menyentuh meja, meja itu sampai tergetar dan mengeluarkan suara nyaring. Dengan mata berkilat kilat dia mandang nona itu dan berkata nyaring.

   "Nona, kau pasanglah!"

   Nona itu dengan gerakan sembarangan mendorong semua uangnya ke angka enam sambil berkata.

   "Aku mempertaruhkan semua ini atas angka enam!"

   Kembali para tamu menjadi berisik. Bukan main beraninya nona itu mempertaruhkan atas angka enam, tentu saja kesempatan menang jauh lebih kecil dari pada kalau memasang angka ganjil atau genap. Akan tetapi kalau ia menang bandar harus membayar empat kali lipat, berarti akan membayarnya seribu tail emas! Bisa bangkrut kali ini rumah judi Lok-nam kalau pasangan itu kena.

   Wajah yang hitam itu kini menjadi agak hijau, mata yang tinggal satu menjadi agak merah.

   "Memasang atas angka enam? Bagus! Sekali ini engkau kalah, nona. Lihatlah!"

   Ia menggerakkan tangannya cepat sekali membuka mangkok itu.

   "Ah, terlalu banyak engkau mengerahkan tenaga sampai dadunya terbawa ke atas!"

   Nona itu berseru berbareng dengan diangkatnya mangkok.

   Semua orang memandang dan....... berseru heran karena di bawah mangkok itu tidak ada apa-apanya! Akan tetapi si muka hitam yang kini mengeluarkan gerengan hebat dan nona itu yang tersenyum-senyum keduanya berdongak memandang ke atas. Semua orang juga ikut memandang ke atas dan....... di langit-langit ruangan itu, tepat di atas meja judi, dadu itu telah menempel di langit-langit dan memperlihatkan angka...... enam.

   "Aneh......!"

   "Angka enam.....!"

   "Ilmu siluman......!"

   Nona itu tidak memperdulikan teriakan-teriakan ini lalu berkata, suaranya tegas dan nyaring.

   "It-gan Hek-hauw, lekas bayar kekalahanmu seribu tail emas!"

   Diam-diam lt-gan Hek-hauw terkejut sekali dan maklum bahwa nona ini meskipun kelihatannya lemah, agaknya memiliki kepandaian hebat.

   Dan ia sangat kagum kepada nona itu karena ilmunya, meskipun ia sendiri pernah bertempur dengan orang-orang sakti.

   Tadi ia sudah mengadu lweekang dengan menekan meja dan ternyata kalah. Sekali ini dengan kecepatannya ia sudah mengantongi dadu pertama dan ketika hendak membuka mangkok, ia sengaja menaruh dadu lain dengan angka satu di atas. Siapa kira, dengan kepandaian yang luar biasa, entah secara bagaimana ia tidak tahu, dadu itu telah diterbangkan oleh nona itu ke atas, menempel langit-langit dan memperlihatkan angka enam yang dipasangnya!

   Pada saat itu, seorang tukang pukulnya berlari-lari ke dalam dari luar dengan muka pucat serta berteriak di depan It-gan Hek-hauw.

   "Celaka, Lauw taiya ....... , dia sekarang mati...... seluruh tubuh dan mukanya menjadi hitam......! Nona itu pasti yang melukainya!"

   Nona baju merah itu yang sejak tadi sudah berdiri, kini bertolak pinggang dan tersenyum lebar lalu berkata.

   "Anjing muka bopeng itu dibunuh sepuluh kalipun masih belum dapat menebus kekurang-ajarannya kepadaku. Lalu kalian ribut-ribut mau apa? Hayo lekas bayar uangku!"

   "Tangkap perempuan pengacau ini!"

   It-gan Hek-hauw berteriak marah.

   Limabelas jagoan yang menjadi tukang tukang pukul dan pegawainya segera mencabut golok serta mengurungnya. Akan tetapi gadis ini tersenyum sabar, berbeda dengan para tamu yang kini berlarian keluar serta ada pula yang mepet di sudut dengan muka pucat dan tubuh menggigil.

   "Eh, apakah kalian semua ini sudah tidak mau hidup lagi?"

   Ia menegur dan menyindir.

   Belasan orang jagoan itu sudah biasa melakukan pertempuran serta melawan musuh lihai, mendengar ancaman nona itu, mana mereka takut, apa lagi ia tak bersenjata!

   Sambil berseru keras, mereka menyerang maju seolah-olah berebut dan berlomba. Akan tetapi, tampak tiba-tiba benda merah berkelebat disusul suara melengking tinggi tubuh nona itu bergerak lalu sinar merah menyambar-nyambar dan...... terdengar suara nyaring di susul golok-golok terbang semua dan jerit mengerikan ketika tubuh belasan jagoan itu roboh susul menyusul dalam keadaan tidak bernyawa lagi.

   Nona baju merah itu kini berdiri tegak, tangan kiri bertolak pinggang serta tangan kanan memegang sebuah suling merah yang kecil mungil entah sejak kapan dikeluarkan. Sepasang mata yang bening seperti burung Hong itu lalu menatap kepada It-gan Hek-houw, bibirnya yang merah basah tersenyum dan deretan gigi yang putih bersih seperti mutiara berkilat ketika ia bertanya.

   "Bagaimana sekarang? Masih hendak coba-coba lagi atau lekas bayar uang kemenanganku?"

   Tangan kanan itu menggerak-gerakkan suling seperti gerakan seorang penari.

   Biarpun digerakkan perlahan, namun suling itu dapat mengeluarkan suara melengking lirih seperti suara kucing atau bayi menangis. Kemudian tanpa memperdulikan orang di sekitarnya seakan-akan di situ tidak ada orang lain, bibirnya diruncingkan dan terdengarlah tiupan suling mengalun merdu!

   "Cui-siauw-kwi""!"

   Teriak seorang diantara para pembantu It-gan Hek-hauw ketika melihat sikap nona baju merah itu, semua orang terkejut dan teringat. Tak salah lagi, inilah Cui-siauw-kwi (Setan Peniup Suling) yang pada waktu dua tahun ini amat menggemparkan dengan perbuatan-perbuatannya yang mengerikan.

   Seorang iblis betina yang cantik jelita, namun amat kejam sepak terjangnya. Entah berapa banyak jumlahnya orang yang telah dibunuhnya dan yang terbanyak adalah laki-laki muda belia yang tampan. Sudah terkenal betapa Cui-siauw-kwi gila laki-laki tampan.

   Setiap kali ia melihat laki-laki tampan dan muda lalu dipikat dan dibujuk menggunakan kecantikannya atau kalau bujukan ini tidak berhasil lalu memakai kepandaian untuk menculik laki-laki itu dipaksa menjadi kekasihnya. Celakanya laki-laki muda itu setelah jadi kekasihnya tidak akan lebih umurnya dari lima hari.

   Mendengar ada orang mengetahui julukannya itu, ia lalu melirik ke kiri dan melihat bahwa yang menyebut nama poyokannya tadi adalah seorang laki-laki setengah tua yang menjadi pelayan rumah judi.

   Tangan kanannya masih memegang suling sambil meniup menyanyikan lagu asmara yang merdu, akan tetapi tiba-tiba tangan kirinya bergerak ke depan, dan...... orang yang tadi menyebut nama poyokannya itu menjerit terus roboh terguling, lalu putus napasnya.

   Nona itu menghentikan tiupan sulingnya, melihat ke sekeliling lalu bertanya, suaranya masih halus merdu senyumnya masih mengembang di bibirnya.

   "Siapa lagi yang berani menyebutku setan?"

   Para tamu dan pegawai Lok-nam Po-koan menjadi pucat dan mundur ketakutan.

   "It-gan Hek-hauw, kau tidak lekas membayar uangku? Apakah aku harus memaksamu?"

   It-gan Hek-hauw adalah seorang bekas penjahat kawakan, akan tetapi semenjak lama mengundurkan diri dari dunia kejahatan karena sudah menjadi seorang kaya raya. Kini karena terancam kerugian besar sekali ia memutar otak. Ia maklum bahwa kalau melawan dengan kekerasan ia akan kalah dan tentu nona yang seperti iblis ini takkan segan-segan membunuhnya, maka ia cepat-cepat tersenyum lebar dan maju selangkah, memberi hormat dengan menjura dan membungkuk,

   "Ah, kiranya Cui-siauw Sianli ( Dewi Peniup Suling) Ma-kouwnio (nona Ma) yang datang berkunjung. Maaf...... maaf...... karena belum pernah jumpa biarpun sudah bertahun-tahun mendengar nama besar Kouwnio yang menjulang tinggi di angkasa, maka kami menyambut Kouwnio kurang hormat. Kalau tahu bahwa Kouwnio adalah Cui-siauw Sianli, tentu tidak akan sampai terjadi kesalah-pahaman ini"..."

   Senyum manis itu makin melebar akan tetapi pandang mata nona itu berobah dingin dan penuh ancaman.

   "It-gan Hek hauw, tak perlu engkau memulas bibir dengan madu. Akupun tidak sudi berkenalan dan berhubungan dengan kau dan orang-orangmu, maka tak perlu banyak cakap lagi. Lekas bayar kemenanganku seribu tail emas!"

   Muka yang hitam itu menjadi pucat sekali dan cepat-cepat It-gan Hek-hauw menjura sampai jidatnya hampir menyentuh tanah, semua anak buahnya terheran-heran.

   Biasanya, majikan mereka ini amat galak, setanpun takkan ditakutinya, mengapa kini bersikap demikian merendah terhadap nona baju merah itu. Sedangkan mereka itu tahu bahwa majikan mereka adalah seorang berkepandaian tinggi.

   "Tentu, tentu akan saya bayar lunas, Kouw-nio. Akan tetapi, seribu tail emas bukan jumlah sedikit. Tak mungkin saya dapat membayar sekarang karena tidak ada uang tunai sebanyak itu. Harap kouw-nio sudi memberi waktu tiga hari, saya akan kumpul-kumpulkan dan tukar-tukarkan perak menjadi emas, setelah tiga hari, seribu tail emas itu akan tersedia di sini harap saja kouw-nio mempertimbangkan."

   Nona itu menyipitkan kedua matanya.

   "Hemm, kalau menurut patut, setelah kalah berjudi tidak mampu bayar, seharusnya aku turun tangan membunuhmu! Akan tetapi, biarlah kuberi waktu tiga hari, kau takkan dapat lari dariku setelah tiga hari, malamnya aku akan datang untuk mengambil uang atau kepalamu!"

   Setelah berkata demikian, nona baju merah ini dengan tenang mengambil uangnya duaratus limapuluh tail emas dari atas meja, memasukkannya dalam buntalan, menggendong buntalannya, kemudian dengan langkah lemah gemulai sehingga sepasang pinggulnya menari-nari di belakangnya ia keluar dari rumah judi itu sambil meniup sulingnya perlahan-lahan.

   Semua orang mengikutinya dengan pandang mata terbelalak dan napas tertahan, dan belum berani bergerak sebelum suara suling yang makin lama makin lirih itu lenyap.

   Barulah tampak kesibukan luar biasa, para tamu-tamu cepat pergi meninggalkan ruangan dan para pelayan sibuk merawat teman-temannya yang tewas. Adapun It-gan Hek-hauw sendiri cepat menyuruh sediakan seekor kuda dan tak lama kemudian tampak pemilik rumah jadi ini sudah menunggang kuda, membalapkan kudanya keluar dari kota Ho-pak menuju ke selatan.

   Biarpun hampir semua penduduk Ho-pak menjadi. gelisah mendengar bahwa kota mereka kedatangan seorang tokoh mengerikan seperti Cui-siauw-kwi, namun sama sekali tidak mengganggu kegembiraan besar yang terdapat di rumah dua keluarga, yaitu keluarga Bhok dan keluarga Souw yang sedang merayakan hari perniikahan putera dan pateri mereka.

   Pemuda she Bhok seorang sasterawan muda yang tampan, pada hari itu dinikahkan dengan gadis she Souw yang cantik rupawan dan kaya raya.

   Pemuda Bhok yang tidak kaya dipilih mantu oleh hartawan Souw dan pada malam hari itu para tamu memenuhi ruangan tamu rumah gedung keluarga hartawan Souw, serombongan pemain musik meramaikan suasana dengan bunyi-bunyian merdu dan mengiringi nyanyian wanita-wanita cantik.

   Banjir arak dan masakan lezat membuat para tamu menjadi makin gembira sehingga makin jauh malam, suara ketawa para tamu makin bebas terlempar.

   Biarpun siang hari tadi terjadi pembunuhan belasan orang dan kekacauan di rumah judi Loknam, namun malam hari itu tak seorangpun diantara auggauta keluarga hartawan Soaw mengingat akan hal itu. Hanya para tamu yang kadang-kadang terdengar membicarakan si nona baju merah yang cantik seperti bidadari, namun kejam seperti iblis.

   Mereka bicara sambil tidak berani bicara keras-keras, apalagi menyebut nama Dewi Suling dengan nama poyokan, sama sekali mereka tidak berani! Kalau terpaksa menyebut, juga mereka menyebut Cui-siauw-sianli. Setelah mendengar betapa seorang yang menyebutnya Setan Suling dibunuh, semua bibir menyebut wanita aneh itu Dewi Suling!

   Menjelang tengah malam, sebagian besar para tamu sudah mulai mabok dan permain musik yang juga tidak sedikit minum arak, kini mainkan musik makin ramai penuh gairah. Suara suling mengalun merdu diseling suara yang-kim dan gitar, saling susul dalam paduan suara yang harmonis.

   Tiba-tiba terdengar suara melengking yang merdu, juga tinggi mengalahkan paduan suara itu. Suara melengking tinggi itu terdengar jelas seperti suara suling tetapi bukan keluar dari suara pemain musik. Suara melengking tinggi ini datangnya dari atas!"

   "Dewi Suling......!!!"

   Entah siapa orangnya yang berteriak menyebut nama itu. Agaknya ia tadi terpengaruh oleh percakapan mengenai tokoh itu, maka begitu mendengar lengking ini tanpa disadarinya ia menyebut nama Dewi Suling.

   Akan tetapi akibatnya luar biasa sekali. Para tamu menjadi pucat mukanya dan ada pula satu dua orang yang menyelinap turun bersembunyi di bawah meja, semua tamu menjadi panik, ada yang cepat-cepat menyelinap keluar dari ruangan itu terus melarikan diri.

   Dalam keadaan panik itu suara melengking terus terdengar tetapi kian menurun ke bawah tetapi tiba-tiba terdengar jerit mengerikan, jerit seorang wanita yang keluar dari dalam kamar pengantin menembus kegelapan malam di luar rumah.

   Mendengar jeritan ini, para tamu yang sembunyi di bawah meja menggigil seluruh tubuhnya, bahkan yang terlalu penakut sampai terkencing-kencing, membasahi celananya dan lantai. Yang sudah berlari keluar terus mempercepat larinya sampai ada yang tersandung jatuh bangun mengaduh-aduh.

   Keluarga Souw tadinya juga panik, akan tetapi begitu mendengar jerit mengerikan dari kamar pengantin, hartawan Souw menjadi gelisah sekali.

   Teringat nasib puterinya, ia memberanikan diri serta mengajak beberapa orang pengawal, lalu menggedor pintu kamar pengantin. Kamar ini semenjak tadi menjadi bahan senda gurau para tamu muda setiap kali mereka memandang pintu kamar yang dicat merah, mereka tersenyum-senyum dan memandang dengan mata penuh arti. Kini pintu itu digedor-gedor oleh Souw wangwe (hartawan Souw) yang memanggil-manggil puterinya.

   Namun suara saja tidak ada jawaban. Hanya terdengar suara suling melengking itu kini makin lama makin lirih dan akhirnya lenyap.

   Hartawan Souw tak dapat menahan kegelisahannya lebih lama lagi. Ia lalu menyuruh para pengawal untuk membongkar saja pintu kamar itu. Begitu daun pintu dibuka, hartawan Souw dan isterinya lari memasuki kamar pengantin yang dihias indah dan berbau harum sekali.

   Tadi para tamu muda yang bersenda gurau saling bicara tentang sikap sepasang pengantin itu dengan bermacam-macam dugaan yang lucu-lucu.

   Ada yang bilang betapa pengantin wanita dengan malu-malu menolak pendekatan pengantin pria, ada yang bilang pengantin wanita mengajak bergelut lebih dulu sebelum menyerah, dan masih banyak macam lagi. Sepantasnya pada saat seperti itu sepasang pengantin tentu setidaknya sedang berpelukan mesra. Akan tetapi ketika mereka memandang ke atas pemharingan tampak darah berlepotan dan tubuh pengantin wanita dengan pakaian masih lengkap rebah terlentang tak bernyawa. Pengantin wanita yang cantik dan muda belia itu mati di atas ranjang pengantin, menggeletak di atas gelimangan darahnya sendiri, sedangkan pengantin pria tidak nampak bayangannya lagi di dalam kamar itu.

   Jendela kamar masih tertutup rapat, akan tetapi langit-langit kamar itu robek lebar berikut gentengnya yang terbuka.

   Jerit tangis terdengar memenuhi malam sunyi, tawa gembira seketika berubah menjadi tangis duka. Perayaan pesta pora berubah menjadi perkabungan yang menyedihkan.

   Para tamu segera pulang tanpa pamit, nama Dewi Suling dibisikkan oleh bibir dan hati penuh rasa takut.

   Apakah yang sebenarnya telah terjadi di dalam kamar pengantin itu? Kedua orang muda yang baru sekali itu mengalami tidur sekamar dengan seorang lawan jenis menjadi jengah dan malu. Ketika para sanak dan kerabat, seperti sudah menjadi kebiasaan, mengantar pengantin pria memasuki kamar pengantin sambil menggoda dengan berbagai kata-kata kemudian menutup pintu kamar pengantin, suara ketawa mereka itu masih bergema dan terdengar dari dalam kamar pengantin.

   Pengantin pria, pemuda she Bhok itu semenjak kecil hanya tekun membaca kitab mempelajari sastera.

   Mimpipun belum pernah berdekatan dengan seorang wanita apalagi berduaan sekamar. Kini ia melangkah maju, langkah-langkah kecil dengan kedua kaki menggigil dan jantung berdebar seperti hampir pecah rasanya, pengantin wanita duduk di atas pembaringan sambil menundukkan mukanya.

   Mengerlingpun ia tidak berani sungguhpun ia tahu bahwa ia kini sudah berduaan sekamar dengan calon suaminya. Ia tahu betapa suaminya seorang pemuda yang halus dan tampan sekali dan sebetulnya ia merasa bahagia di dalam hati akan menjadi isteri pemuda itu.

   Akan tetapi rasa malu membuat ia tidak berani berkutik. Hanya kedua telinganya saja yang pada saat itu hidup, mendengarkan penuh perhatian ke arah suaminya bergerak. Sampai suaminya itu duduk di atas pembaringan di sebelahnya, ia tidak berani mengerling apalagi menengok.

   Mungkin ada satu jam lebih kedua orang muda remaja yang usianya baru antara enambelas sampai delapanbelas tahun ini sudah duduk bersanding tak bergerak-gerak seperti dua buah arca yang amat bagus buatannya.

   Si wanita duduk menunduk sampai punggungnya melengkung dan dagunya menyentuh dada, mata setengah terpejam dan mukanya tertutup untaian mutiara yang semacam kerudung. Yang pria, masih dalam pakaian pengantin yang indah, mukanya yang tampan itu kemerahan, sepasang pipinya yang putih halus menjadi merah karena tadi ia dipaksa minum arak pengantin oleh para handai taulan yang memberinya selamat, sepasang mata yang lebar bening itu berkilauan akan tetapi mulutnya tersenyum-senyum malu.

   Beberapa kali ia mengerling ke kanan, beberapa kali ia menengok, beberapa kali bibirnya bergerak-gerak hendak mengeluarkan suara, Namun, semua itu sia-sia belaka, tak dapat ia mengeluarkan suara karena setiap kali jantungnya melonjak-lonjak seperti mau meloncat keluar dari mulut melalui kerongkongannya.

   Ia sudah berusaha untuk menggerakkan tangan kanan buat menyentuh jari-jari tangan halus isterinya yang berada di atas pangkuan, namun tangannya gemetaran dan hilang tenaganya.

   Tiba-tiba pengantin wanita menarik napas panjang dan terdengar isak tertahan satu kali. Ia sudah lelah menanti, hampir tak kuat menahan getaran jantungnya saking tegang, namun suaminya tetap diam saja. Hal ini benar-benar menjadi godaan yang tak dapat ditahan lagi hampir ia menangis. Ingin ia menjatuhkan diri terlungkup di atas pembaringan sambil menangis tersedu-sedu.

   "Moi-moi"....!"

   Akhirnya suara yang dinanti-nantinya itu terdengar juga, suara suaminya yang menggetar-getar. Suara yang menembus dadanya, terus menyentuh jantungnya, membuat ia sesak bernapas lalu menoleh sedikit, melirik kemudian tersenyum malu-malu membuang muka lagi melihat ke bawah.

   Tangan pengantin pria itu tiba-tiba berada di tangan pengantin wanita, sentuhan perlahan namun merupakan sentuhan pertama yang terasa sampai ke tulang sumsum membuat tangan pengantin wanita yang kecil itu menggigil seperti seekor burung kecil digenggam orang.

   
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kenapa tanganmu dingin sekali, moi-moi?"

   "Tidak"". apa-apa."

   Kalimat pertama ini membuka pintu kecanggungan yang tadi memisahkan mereka tetapi tak lama kemudian, ketika dengan jari gemetar si pengantin pria membuka kerudung penutup muka pengantin wanita lalu terpesona oleh kecantikan wajah isterinya, wanita muda belia itu dengan malu-malu menahan ketawa lalu menyandarkan kepala di dada suaminya.

   Dalam keadaan mesra itu, keduanya lalu saling menuturkan keadaan diri masing-masing.

   Pada saat itulah mereka terkejut oleh suara lengkingan yang terdengar di atas rumah, suara yang makin lama makin nyaring dan dekat, setelah itu terdengar suara genteng terbuka bersamaan

   (Lanjut ke Jilid 04)

   Pendekar Cengeng (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04

   pecahnya langit-langit kamar pengantin melayang turun sesosok tubuh manusia ke dalam kamar itu lalu seperti seekor burung bayangan itu telah berdiri di atas lantai tersenyum-senyum.

   Sepasang pengantin itu terkejut bukan main. Akan tetapi hati mereka agak lega ketika melihat bahwa orang yang melayang turun dari atas ini ternyata adalah seorang wanita muda yang cantik sekali berpakaian serba merah dari sutera tipis. Seorang wanita cantik yang tersenyum-senyum dan sama sekali tidak menakutkan.

   Tentu saja sepasang pengantin ini belum mendengar tentang Dewi Suling yang telah menyebar maut siang tadi di rumah judi Lok-nam.

   Pengantin pria yang masih merangkul pinggang isterinya, segera menegur.

   "Kau siapakah dan apa perlumu memasuki kamar kami seperti ini......?"

   Dewi Suling tersenyum, manis sekali dan sepasang matanya menatap wajah pengantin pria terus ke bawah seperti orang menaksir serta memeriksa. Agaknya ia merasa puas dengan hasil pemeriksaannya itu, lalu tertawa sehingga bibir yang merah itu terbuka memperlihatkan rongga mulut yang lebih merah lagi di balik deretan gigi putih.

   "Ah, benar-benar tampan pengantin pria! Sayang jejaka setampan ini ditemani seorang wanita yang lemah!"

   Ia melangkah maju dan jari-jari tangannya mengusap dagu dan pipi si pengantin pria dengan gerakan mesra.

   Saking kaget dan herannya, pengantin pria itu membelalakkan mata tak mampu mengeluarkan suara dan mukanya yang putih menjadi amat merah.

   Akan tetapi pengantin wanita yang melihat bahwa pengunjungnya, itupun hanya seorang wanita sudah dapat menguasai kekagetannya dan membentak.

   "Dari mana datangnya perempuan rendah dan gila ini? Hayo pergi.......!"

   Akan tetapi kata-katanya ini segera disusul jeritannya yang mengerikan karena Dewi Suling sudah menggerakkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka menusuk ke depan dan...... jari-jari yang kecil halus itu bagaikan ujung lima batang pedang yang telah amblas memasuki ulu hati si pengantin wanita, menembus pakaian kulit dan daging.

   Si pengantin wanita roboh di atas pembaringan dan darah mengucur keluar dari dadanya. Di lain saat pengantin pria yang hendak bergerak tiba-tiba menjadi lemas dan tak dapat bergerak ketika tubuhnya direnggut kemudian dipanggul di atas pundak. Dewi Suling sekali meloncat sudah malayang naik dan ke luar melalui langit-langit kamar yang sudah bobol itu.

   Tak lama kemudian pemuda belia she Bhok yang tadi masih jadi pengantin, kini telah menjadi seorang tawanan yang dibawa berlari-lari cepat sekali dalam malam gelap.

   Malam itu pemuda remaja she Bhok memang masih jadi pengantin pria, akan tetapi ia bukan berpengantin dengan isterinya di dalam kamar pengantin melainkan berpengantinan dengan Dewi Suling seorang wanita yang penuh nafsu dan pengalaman dan bertempat di pinggir sebuah sungai kecil dalam hutan di luar kota Ho-pak.

   Bukan di ranjang pengantin yang berhiasan sutera berwarna, melainkan di atas tanah bertilamkan rumput hijau tebal dihias bunga yang tumbuh di sekitar tempat itu.

   Muda belia she Bhok ini bukanlah seorang mata keranjang, bukan pula seorang hamba nafsu dan betapa cantik menggairahkan sekali pun Dewi Suling itu, ia tidak akan tunduk dan menuruti hasrat kotor dari hina si iblis betina, kalau saja ia tidak dipaksa menelan dua butir obat yang membuat pemuda she Bhok menjadi seperti mabok dan gila karena pengaruh obat itu, dia berubah menjadi seperti setan kelaparan dan melayani hasrat Dewi Suling dengan nafsu yang sama besarnya.

   Akan tetapi pada keesokan harinya, menjelang siang pengantin pria she Bhok ini sudah terkapar mati di tepi sungai dengan tubuh utuh, tanpa pakaian, sama sekali tidak terluka dan mukanya pucat tak berdarah lagi itu membayangkan kepuasan dengan mulut tersenyum. Akan tetapi dari semua lubang di tubuh menetes-netes keluar darah!

   Siapakah wanita sekeji iblis yang disebut Dewi Suling itu? Dia ini bernama Ma Ji Nio dan orang-orang kang-ouw yang membenci sepak terjangnya memberi julukan Cui-siauw-kwi (Setan Peniup Suling) sedangkan orang-orang yang takut menyebut Cui-siauw Sianli (Dewi Peniup Suling).

   Dia ini seorang wanita muda yang cantik jelita dan sekiranya wataknya tidak seganas itu, tentu banyak laki-laki yang akan jatuh hati kepadanya dan akan suka sekali menjadi suaminya. Akan tetapi Cui-siauw Sianli ini memandang pria sebagai barang permainannya, buat memuaskan nafsu binatang yang telah menguasai dirinya.

   Dewi Suling ini murid tunggal Hek-siauw Kui-bo (Biang lblis Hitam) yang terkenal sebagai seorang tokoh dunia hitam yang amat ganas serta kejam.

   Dalam permulaan cerita ini kita sudah berkenalan dengan Hek-siauw Kui-bo yang amat kejam lagi ganas dan telah membasmi seluruh keluarga Yu Tiang Sin berjuluk Si Dewa Pedang tanpa berkedip di dusun Ki-bun, hanya berkat pertolongan seorang sakti bernama Sin-kong-ciang Han It Kong maka seorang cucu Yu-kiam-sian dapat diselamatkan serta iblis betina itu dapat diusir.

   Semenjak kekalahannya melawan Han It Kong si pengemis bertopi lebar, Hek-siauw Kui-bo tidak pernah muncul lagi di arena kang-ouw, ia lalu memperdalam ilmunya dan mendidik hanya seorang murid yaitu Ma Ji Nio.

   Murid ini ia pelihara semenjak masih kecil serta ia didik sejak umur lima tahun, seorang anak yatim piatu yang kehilangan ayah bundanya sewaktu penyakit menular mengamuk di dusun tempat tinggalnya.

   Ma Ji Nio mempunyai bakat yang amat baik sehingga ia telah dapat mewarisi semua kepandaian gurunya, bukan hanya kepandaian bahkan watak gurunya telah diwarisinya pula, malah dalam mengumbar hawa nafsu birahi ia telah melampaui gurunya!

   Di waktu ia berusia enambelas tahun saja ia sudah mulai bercinta-cintaan dengan pemuda-pemuda tampan yang dilihatnya namun masih ia lakukan secara bersembunyi karena ia masih takut terhadap gurunya itu.

   Setelah Ma Ji Nio berusia duapuluh tiga tahun lalu diperbolehkan merantau sendiri berpisah dari gurunya yang sudah merasa tua dan bosan merantau lagi maka keadaan Ma Ji Nio seperti seekor kuda terlepas dari kendali.

   Ia menjadi binal serta liar mengumbar nafsu sesuka hati tanpa ada yang melarangnya lagi. Serta berkat ilmu kepandaiannya yang amat luar biasa, seben-tar saja dalam waktu dua tahun, ia telah mendapat nama setinggi langit sehingga pada saat itu, tak ada orang yang berani jika mendengar nama Dewi Suling disebut-sebut!

   Entah sudah berapa banyak orang-orang menjadi korban di tangannya yang amat ganas, baik orang-orang itu bersalah kepadanya ataupun orang-orang yang sama sekali tidak bersalah, dan mudah diperkirakan berapa banyak pria yang tampan menjadi korbannya kalau diketahui bahwa ia tak pernah dapat melewatkan semalam pun tanpa ada pria tampan yang memeluk dan menemaninya tidur!

   Yang mengerikan, pria-pria tampan itu setelah melayani secara sukarela atau secara tak sadar karena pengaruh obat dalam waktu satu, dua atau paling lama tiga hari tiga malam tentu akan ditinggalkannya dalam keadaan tak bernyawa lagi!

   Sekali tusuk dengan jarinya yang tepat mengenai jalan darah maut, pria itu akan terbinasa tanpa terluka serta dalam keadaan dibuai kenikmatan karena ia mati tanpa merasakan nyeri dan bahwa sama sekali tidak menduganya.

   Mengapa Dewi Suling begini kejam? Mengapa pula membunuh pria-pria yang sudah melayani hasrat serta sudah mendatangkan kesenangan dan kepuasan kepadanya? Inilah keistimewaan serta kebiasaannya yang telah melampaui gurunya sendiri.

   Hek-siauw Kui-bo dahulu di masa mudanya juga gila laki-laki, akan tetapi tidak tega membunuh pria yang menjadi kekasihnya. Sebaliknya Dewi Suling ini selalu membunuh pria yang sebelumnya masih terbuai dalam pelukannya selama satu, dua atau tiga malam! Dia tidak mau membiarkan pria-pria itu hidup setelah menjadi kekasihnya, karena selain ia tidak rela membagi pria-pria itu dengan wanita lain yang tentu akan digauli pria-pria itu setelah ia pergi, juga ia tidak mau dijadikan bahan percakapan oleh pria-pria itu yang tentu akan membanggakan pengalaman nikmat bersamanya itu.

   Gegerlah dunia persilatan setelah Dewi Suling itu yang sukar dicari lawan merajalela di dunia kang-ouw selama dua tahun. Dan sekarang seperti biasa terjadi di mana saja yang dilaluinya, Dewi Suling membikin kacau di Ho-pak.

   "Sekali lagi saya mohon dengan segala kerendahan hati agar Locianpwe (Orang Sakti) sudi mengulurkan tangan membantu penderitaan kami penduduk Ho-pak, buat kesekian kalinya Lauw Bu si muka hitam itu memohon sambil berlutut.

   "Siapa lagi kalau bukan Locianpwe yang dapat menghadapi iblis betina Cui-siauw-kwi itu?"

   Kakek yang duduk di atas bangku dalam pondok bambu itu mengerutkan keningnya, akan tetapi mulutnya tersenyum lebar, bahkan ia lalu tertawa bergelak mendengar ucapan It-gan Hek-hauw Lauw Bu pemilik rumah makan dan rumah judi Lok-nam di Ho-pak itu.

   Kakek itu seorang tosu yang sudah tua sekali, rambutnya dan jenggotnya sudah putih semua, mukanya yang penuh keriput berwarna agak kehijauan.

   Matanya sipit dan mulutnya selalu tersenyum, kakek ini usianya sudah de-lapanpuluh tahun kurang sedikit. Di atas meja di depannya terdapat seguci arak dan di belakangnya terselip di dinding bambu tampak sebatang pedang yang bergagang dan bersarung tua sekali.

   Inilah Hap Tojin, atau yang di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Siauw-bin-mo (Setan Tertawa) karena mukanya memang selalu berseri dan tertawa.

   Lima belas tahun yang lalu kita pernah berjumpa dengan tosu ini sebagai seorang tosu kosen yang melayat kematian Yu Tiang Sin dan kemudian bersama Tho-tee-kong Liong Losu gagal dalam menghadapi Hek-siauw Kui-bo dan hampir saja tewas di tangan iblis betina itu kalau tidak tertolong oleh Han It Kong.

   Selama lima belas tahun ini Siauw-bin-mo Hap Tojin mengasingkan diri di dalam hutan sambil melatih dua orang muridnya. Beberapa lama ia sudah mencari-cari murid sampai akhirnya ia mendapatkan dua orang murid berbakat serta bertulang baik.

   Setelah itu ia setiap hari memberi didikan kepada dua orang muridnya, serta tidak lagi mencampuri dunia ramai. Betapapun juga ketika beberapa tahun telah lewat, It-gan Hek-hauw Lauw Bu bersama keluarganya yang mau pindah ke Ho-pak lewat di hutan itu lalu menjadi korban perampok-perampok yang amat lihai. Siauw-bin-mo tak dapat tinggal diam lalu memberi bantuan serta mengusir para perampok itu.

   Itulah sebabnya mengapa sekarang It-gan Hek-hauw Lauw Bu meminta waktu tiga hari setelah diancam oleh Dewi Suling lalu waktu ini ia pergunakan buat pergi ke tempat Siauw-bin-mo Hap Tojin yang pernah menolongnya.

   Hap Tojin mengelus-elus jenggotnya yang putih serta panjang. Ia menoleh kepada dua orang muridnya itu yang duduk di sebelah belakangnya.

   "Bagaimana pendapat kalian, murid-muridku?"

   Tanya Si Tosu kepada mereka yang sejak tadi cuma mendengarkan dengan mulut tertutup.

   Dua orang muda itu betul-betul patut dibanggakan sebagai murid oleh guru yang manapun juga, yang seorang bernama Ouwyang Tek, berusia duapuluh dua tahun, berpakaian serba kuning serta sebuah pedang tergantung di pinggang.

   Pemuda ini gagah perkasa, tubuhnya tinggi besar serta kuat, dadanya lebar dan tebal, pundaknya rata, pinggangnya kecil, kaki tangannya besar serta menonjolkan urat yang bergerak-gerak hidup.

   Wajahnya seratus persen laki-laki, bersikap keren serta pipi bagian atas mulai tampak rambut, begitu pula di atas bibir dan di bawah dagunya, sehingga betul-betul tampak gagah seperti seekor kuda jantan.

   Murid kedua adalah seorang pemuda berusia duapuluh tahun, bernama Gui Siong, berbeda dengan suhengnya (kakak seperguruan) Gui Siong ini tubuhnya sedang saja, wajahnya tampan dengan kulit muka halus licin tak ditumbuhi rambut kasar, berwarna kemerah-merahan seperti wanita cantik.

   Tetapi di dalam kehalusan gerak geriknya, tersembunyi kekuatan yang jelas terlihat dalam pandang matanya, berpakaian warna biru serta membawa pula sebatang pedang.

   Dua orang murid ini berbeda dengan suhu mereka, berpakaian indah serta bersih sehingga bagi mereka yang tidak tahu mengira tentulah mereka putera-putera bangsawan atau setidak-tidaknya putera hartawan, hal ini adalah kehendak Hap Tojin yang merasa bangga terhadap murid-muridnya dan dianggap pula sebagai putera sendiri.

   Selama limabelas tahun ini ia sudah menurunkan hampir seluruh ilmunya kepada dua orang murid itu serta memberikan ilmu pedang yang gerakannya disesuaikan pada tubuh mereka masing-masing.

   Kakek sakti ini mengambil semua intisari ilmu pedangnya lalu menciptakan dua macam ilmu pedang sesuai keadaan tubuh mereka sendiri-sendiri. Ouwyang Tek diberi ilmu pedang Pek-lui-kiam-hoat (ilmu Pedang Kilat), Gui Siong yang halus gerak-geriknya itu diberi ilmu pedang Bi-ciong-kiam-hoat (ilmu Pedang Indah Menyesatkan).

   Ketika mendengar pertanyaan gurunya Ouwyang Tek segera berdiri lalu menja-wab.

   "Mendengarkan cerita Lauw Bu tadi teecu (murid) berpendapat bahwa iblis betina itu amat jahat patut dienyahkan. Akan tetapi tidak semestinya kalau Suhu yang sudah lanjut usia pergi sendiri menghadapi seorang penjahat wanita yang masih muda belia, kiranya cukup kalau teecu yang pergi mewakili Suhu memberi hajaran kepadanya!"

   Gui Siong juga berdiri dan berkata.

   "Suhu pernah mengatakan bahwa di dalam dunia persilatan, ada tiga orang golongan yang harus dihadapi dengan hati-hati, yaitu pendeta tua, orang tapa-daksa dan wanita. Mereka bertiga ini pada umumnya termasuk orang-orang lemah, maka sekali mereka berani merajalela sudah pasti kepandaian mereka tinggi. Karena itu jika Suhu menghendaki, biarlah teecu menemani Suheng untuk menghadapi penjahat wanita itu!"

   Siauw-bin-mo Hap Tojin tertawa bergelak, jawaban-jawaban kedua muridnya ini sudah jelas membayangkan watak masing-masing. Ouwyang Tek orangnya jujur dan wataknya gagah perkasa, sedangkan Gui Siong orangnya lebih hati-hati dan teliti, ia lalu menengok kepada It-gan Hek-hauw Lauw Bu dan berkata.

   "Orang she Lauw! Terus terang saja kedua muridku yang akan menghadapi Cui-siauw-kwi itu bukan sekali-kali karena hendak membantumu. Pinto tahu orang apa engkau ini, It-gan Hek-hauw! Karena itu kami sama sekali tidak akan mencampuri urusanmu dan kalau murid-muridku hendak menghadapi Cui-siauw-kwi adalah semata-mata untuk menumpas kejahatan. Nah, kau pergilah!"

   Muka yang hitam dari Lauw Bu itu sebentar pucat sebentar makin hitam.

   "Tapi...... tapi......."

   Ia menggagap, sama sekali tidak mengira bahwa penolongnya itu ternyata dapat mengenal julukannya dan agaknya tahu bahwa dia dahulu bu-kanlah orang baik-baik.

   "Guruku sudah bicara, engkau masih hendak bilang apalagi? Pergilah!"

   Ouwyang Tek berkata sambil mendorong ke arah Si Muka Hitam.

   It-gan Hek-houw bukanlah orang lemah. Tidak, ia bahkan seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi sehingga tidak mudah dirobohkan orang.

   Kini menghadapi penghinaan dan melihat betapa pemuda tinggi besar itu me-mandang rendah kepadanya diam-diam ia mengerahkan tenaga dalam ke arah pundaknya yang hendak didorong, untuk membikin pemuda itu kecelik malu. Biarpun murid Hap Tojin yang ia tahu amat lihai, namun pemuda yang baru berusia duapuluh tahun lebih itu, mana mampu melawan lweekangnya?

   "Aduuuh""!"

   Lauw Bu yang menerima dorongan itu dengan tenaga dalamnya, merasa betapa pundaknya seperti dicambuk besi panas dan betapa pun ia melawan dengan tenaga dalam tetap saja ia terlempar keluar pintu pondok dan roboh bergulingan.

   Dari dalam pondok terdengar suara ketawa Hap Tojin terkekeh-kekeh sehingga cepat-cepat Si Muka Hitam ini lari menghampiri kudanya melompat ke punggung kuda dan melarikan kuda itu kembali ke Ho-pak.

   Ouwyang Tek dan Gui Siong setelah menerima nasihat-nasihat gurunya agar supaya berhati-hati, lalu bersiap-siap berangkat. Mereka belum pernah menggunakan kepandaian mereka untuk bertanding, maka biarpun mereka itu sama sekali tidak merasa takut, namun hati mereka tetap saja tegang.

   "Satu hal yang perlu kalian perhatikan adalah sikap harus waspada dan sama sekali jangan memandang rendah lawan. Kurasa seorang wanita yang sudah berani terjun ke dunia kang-ouw dan dengan ganas membunuhi banyak orang tanpa berkedip seperti Cui-siauw-kwi itu, adalah seorang lawan yang tangguh sekali. Pinto sendiri tidak tahu siapa dia, dari aliran mana, namun jelas bahwa dia itu seorang penjahat ganas yang lihai, harap kalian berhati-hati dan jangan mengecewakan hati pinto."

   Berangkatlah dua orang pemuda itu. Mereka berjalan kaki, namun karena mereka menggunakan ilmu lari cepat Hui-hong-sut (Berlari Terbang), pada malam hari itu mereka tiba di Ho-pak.

   Begitu memasuki kota ini, mereka sudah mendengar sepak terjang Cui-siauw-kwi yang mendirikan bulu roma mereka! Bukan hanya berita pengamukan iblis betina itu di rumah judi Lok-nam sehingga menewaskan belasan orang anak buah It-gan Hek-houw Lauw Bu, juga peristiwa-peristiwa berikutnya yang membuat kedua pemuda itu membelalakkan mata dan menjadi merah mukanya saking marah.

   Mereka mendengar betapa iblis betina itu telah membunuh pengantin wanita dan menculik pengantin pria yang kemudian ditemukan orang mati di tepi sungai dalam hutan. Kemudian mereka mendengar pula beberapa hari berikutnya putera Gak-taijin (Pembesar Gak) di kota itu yang tersohor tampan serta pandai, lenyap pula.

   Melihat cara lenyapnya pemuda ini dari dalam kamarnya dan betapa orang-orang di rumah pembesar itu mendengar suara lengking suling, jelas dapat diketahui atau diduga siapa penculiknya. Dan pembesar she Gak itu sudah menggerakkan pasukan untuk mencari, tetap saja tak dapat diketemukan di mana adanya Gak-kongcu!

   Mendengar berita ini, setelah mandi serta makan malam, Ouwyang Tek serta Gui Siong lalu melakukan penyelidikan, meronda sepanjang malam di kota Ho-pak serta kadang-kadang mereka mempergunakan kepandaian buat melompat ke atas genteng dan berlari-lari di atas wuwungan rumah-rumah yang berdempetan di kota itu.

   Menjelang pagi, dua orang pendekar muda itu melihat bayangan dua orang di dekat kandang kuda di sebuah rumah gedung. Mereka menjadi heran sebab seluruh penduduk pada saat itu sedang tidur pulas, mengapa dua orang itu, se-orang pria dan seorang wanita, berada di luar rumah dan berada dekat kandang kuda? Apakah mereka itu pengemis-pengemis yang berlindung di tempat itu? Ataukah pencuri? Ataukah...... iblis wanita itu bersama Gak-kongcu yang kabarnya hilang diculik?

   Ouwyang Tek memberi isyarat kepada sutenya (adik seperguruan) dan kedua orang ini lalu melayang turun dengan gerakan ringan kemudian mereka menye-linap dan mendekati tempat itu lalu mengintai.

   Alangkah heran mereka ketika tahu bahwa dua orang itu pasti bukan pengemis karena pakaian mereka menandakan bahwa mereka itu orang-orang kaya, juga bukan Si Iblis Betina dan Gak-kongcu karena mereka berusia empatpuluh tahun. Dua orang itu sedang bercakap-cakap perlahan dan berkali-kali mereka mengeluh.

   "Ah, asal saja pagi nanti mereka lekas pergi lagi dan tidak terjadi sesuatu di kamar kita,"

   Keluh yang laki-laki.

   "Suamiku""

   Aku...... aku takut......."

   Kata yang wanita.

   Ouwyang Tek bersama adik seperguruannya lalu meloncat keluar dari tempat sembunyi mereka, suami isteri itu. terkejut sekali, akan tetapi sang suami sudah berdiri menghadang di depan isterinya sambil menatap tajam dan membentak.

   "Siapa kalian dan ada perlu apa masuk di waktu yang tidak semestinya di tempat orang?"

   Ouwyang Tek menjadi marah, akan tetapi Gui Siong sudah mendahului suhengnya menegur halus.

   "Paman serta Bibi berdua kenapakah Paman berdua sepagi ini berada di tempat ini? Kami sampai kemari sebab merasa curiga melihat Paman berdua."

   "Hm, kami pemilik gedung serta kandang ini, sewaktu-waktu kami datang kemari siapa yang akan melarang?"

   Ouwyang Tek mendengar bahwa orang itu adalah pemilik rumah gedung itu sen-diri, lalu lenyap kemarahannya serta ia bertanya suaranya memang keras dan jelas.

   "Paman, perbuatan ini tentu tidak sewajarnya serta mencurigakan. Kalau Paman pemilik gedung ini kenapa Paman tidak tidur di dalam sebaliknya malah berada di tempat ini? Mengapa pula Bibi tadi bilang takut serta Paman mengharapkan mereka lekas pergi. Siapakah mereka? Harap Paman berdua jangan curiga, sebab kami bukan orang jahat. Sebaliknya, kami meronda untuk mencari orang-orang jahat yang mengganggu penduduk kota ini."

   "Kami mencari Cui-siauw-kwi,"

   Kata pula Gui Siong.

   Tetapi tiba-tiba tubuh suami isteri itu menggigil.

   "Jangan...... jangan keras-keras...... dia...... dialah yang berada di gedung kami dan sudah dua hari ini memaksa kami meninggalkan gedung."

   Dua orang pemuda gagah itu menjadi kaget dan cepat-cepat mereka mendesak suami isteri itu menceritakan keadaan mereka. Ternyata mereka itu adalah suami isteri yang cukup kaya, memiliki gedung indah serta pelayan banyak. Tetapi mereka tidak punya anak dan hidup hanya berdua di gedung itu.

   Malam hari itu sewaktu mereka tidur pulas dalam kamar yang mewah, tiba-tiba mereka terbangun dan melihat seorang gadis cantik sudah berdiri di situ sambil mengancam.

   Gadis itu bukan lain adalah Cui-siauw-kwi yang datang sambil memanggul tubuh Gak-kongcu yang pingsan. Kemudian dengan kekerasan iblis betina itu mengusir suami isteri ini keluar disertai pula ancaman.

   "Aku hanya pinjam rumahmu ini buat dua hari dua malam. Kalian keluar dulu dari dalam gedung ini, tetapi awas kalau sampai kalian memberitahukan pada orang lain perihal kehadiranku di sini, kalian akan mampus! Juga semua pelayan harus melayani aku sebagai tamu terhormat serta tak boleh bicara di luaran mengenai kami."

   Begitulah suami isteri itu dengan ketakutan bersembunyi saja di dekat kandang kuda dan disebabkan malam itu adalah malam kedua, mereka tidak bisa tidur di dalam kandang, cuma menanti tibanya pagi untuk mendapatkan kembali rumah mereka yang buat sementara ditempati oleh Cui-siauw-kwi.

   "Bagus!"

   Kata Ouwyang Tek.

   "Harap Paman serta Bibi tak usah khawatir. Kami berdua memang sengaja datang ke Ho-pak buat mencari Cui-siauw-kwi serta membasminya. Kalau dia berada di dalam kamar Paman saat ini, biarlah sekarang juga kami serbu dan menangkapnya."

   Tanpa mempedulikan keluhan-keluhan penuh rasa takut dari kedua suami isteri itu, Ouwyang Tek serta Gui Siong lalu berlari-lari memasuki gedung itu dari pintu belakang. Gedung itu sepi-sepi saja, semua pelayan berkumpul di kamar belakang, ketakutan serta berdesak-desakan. Mereka melayani hanya di waktu siang saja terhadap "tamu agung"

   Itu yang selalu mereka lihat bermesra-mesraan di dalam kamar tanpa malu-malu lagi.

   Dengan hati-hati sekali Ouwyang Tek dan Gui Siong menuju ke kamar suami isteri itu seperti tadi setelah diberitahukan. Mereka mencabut pedang dan dengan hati-hati sekali menghampiri kamar, lalu perlahan-lahan mereka menolak daun pintu yang ternyata tidak terkunci dari dalam.

   Pintu bergerak perlahan terbuka sedikit. Tangan Ouwyang Tek yang menolak pintu itu berhenti bergerak, sebab pada saat itu terdengar suara orang dari dalam kamar, suara seorang laki-laki menggumam lirih.

   "Ma-kouwnio (Nona Ma)......, mau ke manakah kau.......? Jantung hatiku...... kekasihku jangan tinggalkan aku...... ahh, betapa cintaku padamu......."

   Pada saat itu terdengar suara wanita tertawa genit.

   Ouwyang Tek dan Gui Siong, dua orang muda yang sopan dan gagah, menjadi merah sekali wajahnya mendengar semua itu, mereka menjadi marah dan cepat mereka mendorong daun pintu sambil memaki.

   "Iblis betina. Menyerahlah!"

   "Sute, awas!"

   Ouwyang Tek tiba-tiba berseru keras dan bersama sutenya ia melompat mundur lagi dan cepat membanting diri ke samping, beberapa batang jarum merah yang beracun menyambar lewat, diikuti suara ketawa cekikikan seperti ketawa siluman yang mengerikan.

   Dan pada saat itu terdengar jerit mengerikan dari dalam kamar, kemudian disusul suara, melengking nyaring dan tinggi, lengking suling.

   Sambil memutar pedang di depan dada, kedua orang muda perkasa itu melompat masuk ke dalam kamar, sebuah kamar yang mewah dan indah, kamar seorang hartawan. Bau harum semerbak menyambut hidung mereka dan ketika mereka memandang isi kamar yang diterangi lampu minyak yang dikerobong oleh kertas hijau, mereka melihat tubuh seorang pemuda yang telentang telanjang di atas pembaringan dalam keadaan tak bernyawa lagi.

   Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ouwyang Tek meraba dada pemuda tampan itu dan mendapat kenyataan bahwa mayat itu masih hangat, baru saja tewas. Tentu pemuda inilah yang tadi berkata-kata kemudian menjerit. Tapi di dalam kamar itu tidak ada lain orang lagi di situ dan suara suling yang melengking pun kini hanya terdengar lapat-lapat jauh dari situ.

   "Suheng, dia lolos dari situ!"

   Gui Siong berkata dan menunjuk ke atas.

   Kiranya langit-langit kamar itu sudah bobol dan berlubang besar, jelas bahwa Dewi Suling telah melarikan diri dari situ ketika serangan jarumnya gagal setelah lebih dulu membunuh korban nafsu iblisnya.

   "Kejar!"

   Ouwyang Tek berseru dan bagaikan dua ekor burung garuda tubuh mereka sudah meluncur ke atas melalui lubang langit-langit dan tak lama ke-mudian mereka sudah berlari cepat melakukan pengejaran di dalam gelap. Namun hasilnya sia-sia, orang yang dikejarnya telah lenyap tak berbekas lagi, juga suara lengking suling sudah lenyap.

   Sampai gelap terusir sinar matahari pagi dua orang pendekar muda ini mencari-cari, namun tetap tanpa hasil. Kemudian mereka melihat betapa para petugas pembesar setempat sibuk mengurus putera Gak-taijin yang sudah tewas di rumah hartawan itu. Penduduk Ho-pak makin panik.

   "Dia licin sekali!"

   Kata Gui Siong kepada suhengnya ketika mereka makan siang di sebuah kedai makanan.

   "Juga amat berbahaya, jarum-jarum merah itu mengandung racun yang mematikan."

   Suhengnya mengangguk-angguk.

   "Betapapun juga dia harus mati di tangan kita, sukar mencari tempat sembunyinya, tidak ada jalan lain kecuali menanti sampai malam nanti, bukankah malam nanti saat perjanjiannya dengan It-gan Hek-hauw untuk mengambil uang seribu tail emas? Nah, menanti sampai dia muncul di Lok-nam Po-koan."

   "Setidaknya orang she Lauw itu tentu akan melakukan perlawanan,"

   Kata Gui Siong setelah berpikir sejenak.

   "Orang seperti dia mana mungkin mau menerima saja kehilangan uang sebanyak itu? Selain itu, juga Gak-taijin juga tidak mungkin mendiamkan saja puteranya ditewaskan siluman itu, apakah kita harus menggabungkan diri dengan mereka?"

   Ouwyang Tek menggelengkan kepala.

   "Tak mungkin, Sute. Kalau memang mereka itu hendak menghadapi Dewi Suling, biarkanlah. Tidak semestinya kalau kita menggabungkan diri dengan mereka apalagi Suhu sendiri sudah menyatakan bahwa orang she Lauw itu dahulunya juga bukan orang baik-baik sehingga kalau kita bersekutu dengan dia berarti kita membantu bekas penjahat. Kalau mereka memang hendak melawan Dewi Suling, biarkanlah, kita menonton saja dan syukur-syukur kalau mereka berhasil merobohkan Dewi Suling dengan pengeroyokan mereka karena memang sebenarnya kita pribadi tidak mempunyai permusuhan dengan Dewi Suling."

   "Benar sekali, Suheng. Memang aku pun berpendapat demikian. Andaikata Dewi Suling mengganggu orang baik-baik, tentu kita akan turun tangan tanpa me-nanti apa-apa lagi. Akan tetapi sekarang ini, Dewi Suling bermusuhan dengan It-gan Hek-hauw Lauw Bu seorang penjahat yang mendapatkan kekayaan mungkin dengan jalan jahat pula. Kita menonton saja dan kalau mereka itu gagal barulah kita turun tangan."

   Setelah bermufakat dan membuat rencana, dua orang pendekar muda itu lalu bersembunyi dan mengintai rumah makan dan rumah judi Lok-nam dari tempat yang tidak seberapa jauh. Mereka mendapat kenyataan bahwa dugaan mereka tadi benar karena melihat sibuknya para jagoan yang dikirim oleh Gak-taijin untuk menangkap atau membunuh Dewi Suling. Sedikitnya ada duapuluh orang jagoan yang membawa-bawa senjata tajam dan berkeliaran di sekitar dua tempat itu, yaitu rumah makan dan rumah judi.

   Di samping itu It-gan Hek-hauw sendiri agaknya juga sudah berhasil mengundang lima orang sahabat baiknya yang datang dari utara.

   Mereka itu bukan lain adalah Ngo-tok-hai-liong (Lima Naga Laut Beracun). Mereka terkenal sebagai bajak-bajak laut yang kini sudah "pensiun", sudah mengundurkan diri dari dunia perbajakan dan tinggal di Sin-yang sebagai orang-orang yang hidup serba cukup, dan mempunyai sawah ladang luas.

   Mengingat akan persahabatannya yang sudah lama serta akan hadiah seratus tail emas yang dijanjikan oleh It-gan Hek-hauw kepada mereka, lalu kelima orang naga tua itu tiba di Ho-pak dan menanti saat munculnya perempuan iblis yang berani mengganggu kawan mereka Si Harimau Muka Hitam.

   Lima orang bekas bajak laut ini bukanlah orang sembarangan, ilmu silat mereka lihai, tidak kalah oleh tingkat kepandaian It-gan Hek-hauw dan mereka berlima dapat bekerja sama dengan baik dalam menghadapi musuh.

   

Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini