Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cengeng 7


Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



Mereka tak menduga sama sekali bahwa mereka bisa bertemu dengan nenek sakti ini disarang Dewi Suling. Meeka cerdik sekali dan kini melihat betapa Dewi Suling yang cantik jelita itu dikeroyok kedua orang pemuda tampan bersenjata pedang mereka bisa menduga bahwa tentulah Dewi Suling ini yang lihai tetapi cabul adalah murid Hek-siauw Kui-bo si iblis wanita itu.

   Lalu mereka melayang turun sambil mencabut pedang mereka yang tadi mereka temukan di dalam kamar, kemudian menerjang Hek-siauw Kui-bo membantu guru mereka serta si tosu yang kewalahan.

   "Ci Sian! Li Ceng! Kau bantulah dua orang murid Siauw-bin-mo itu merobohkan Cui-siauw Sianli si kuntilanak!"

   Teriak Liong Losu karena selain ia tahu bahwa bisa berbahaya kalau membantunya sebab saking lihainya Hek-siauw Kui-bo juga ia tadi telah melihat bahwa dua orang pemuda murid sahabatnya itupun terdesak hebat oleh Dewi Suling yang melawan sambil tertawa-tawa mengejek.

   Kembali dua orang gadis itu terkejut. Kiranya tosu yang lihai itu adalah Siauw-bin-mo Hap Tojin yang suka disebut-sebut oleh guru mereka sebagai seorang sahabat baik. Dan kedua orang pemuda itu yang tengah bertempur mati-matian melawan Dewi Suling adalah dua orang murid Siauw-bin-mo Hap Tojin.

   Mereka cepat menengok dan memang betul dua orarg pemuda itu terdesak hebat serta terancam bahaya karena dikeroyok pula oleh puluhan orang anak buah Dewi Suling yang telah mengepungnya dan sebagian bersorak-sorak melihat betapa empat orang musuh itu terdesak hebat oleh Toanio (nyonya besar) dan Siocia (nona) mereka!

   Sambil berseru keras sebab masih marah dan teringat akan penghinaan yang mereka tadi alami, Tan Li Ceng lalu memutar tubuhnya dan terus menerjang Dewi Suling yang tengah melawan Ouwyang Tek dan Gui Siong dua orang murid Siauw-bin-mo yang dulu pernah dipermainkan oleh Dewi Suling. Melihat adik seperguruannya mengeroyok, Lauw Ci Sian juga terus ikut mengeroyok Dewi Suling.

   "Hi, hi, hi! Dua orang bagus, kalian mendapat bantuan dua orang budak budak cilik ini? Hi, hi, mereka tidak cukup berharga buat melawanku!"

   Dewi Suling menyambut kedua pengeroyok baru ini dengan kibasan sulingnya yang membuat sinar panjang sehingga dua orang gadis itu kaget sekali lalu melompat mundur memutar pedang melindungi diri masing-masing.

   Dewi Suling mengeluarkan suara melengking keras disusul suara ketawanya lalu berkata.

   "Kawan-kawan semua, hayo kalian sambut dua orang budak ini dan kalau tertawan, kuserahkan kepada kalian untuk bersenang-senang!"

   Mendengar ini, para pimpinan bajak-bajak sungai menjadi girang sekali. Mereka terus bersorak dan menyerbu ke depan dengan senjata mereka sehingga dalam waktu singkat saja Tan Li Ceng dan Lauw Ci Sian telah terkurung dan dikeroyok oleh duapuluh orang lebih bajak sungai yang sudah mengilar melihat kecantikan dua orang gadis yang dijanjikan mau diserahkan kepada mereka oleh Dewi Suling.

   Pertempuran kini terpecah menjadi tiga bagian. Siauw-bin-mo Hap Tojin dan Tho-tee-kong Liong Losu sibuk melawan Hek-siauw Kui-bo. Ouwyang Tek dan Gui Siong terdesak dan repot melayani suling merah Dewi Suling, sedangkan Tan Li Ceng dan Lauw Ci Sian dikeroyok puluhan bajak yang biarpun kepandaian mereka tidak tinggi tetapi jumlah mereka amat banyak sehingga dua orang gadis itu menjadi repot juga.

   Di luar kepungan itu masih terdengar banyak bajak yang memegang obor sambil mengepung serta bersorak-sorak memberi "hati"

   Kepada kawan-kawan mereka.

   "Hemm, Hap Tojin dan Liong Losu, dua orang pendeta menjemukan! Kalian ini sudah tua bangka mengapa tidak mau menantikan mati baik-baik saja di tempat pertapaan, sebaliknya datang ke sini untuk mati konyol. Menjemukan sekali!"

   Kata Hek-siauw Kui-bo sambil menahan tongkat dan pedang musuh di dalam waktu cuma beberapa detik saja dengan suling hitamnya. Hebat tenaga sakti wanita tua ini karena tongkat dan pedang dari kedua orang lawannya seperti melekat dan tak dapat ditarik kembali.

   "Ha, ha, ha! Hek-siauw Kui-bo jangan tekebur. Pinto (aku) tidak ingin mati lebih dulu, karena pinto ingin tertawa gembira melihat engkau kelak tersiksa di dalam neraka. Bukankah begitu, hwesio gendut? Nenek macam Hek-siauw Kui-bo ini bukankah kelak dipanggang dalam api neraka?"

   Jawab Siauw-bin-mo Hap Tojin yang selalu terwatak riang gembira.

   Wajah Liong Losu yang serius itu mengerutkan kening.

   "Memang dia ini jahat dan tentu akan di hukum, semoga saja dia insaf dan menyesali dosa sendiri lalu bertobat. Omitohud......!"

   Hek-siauw Kui-bo marah bukan main. Dua orang lawannya itu terang tidak akan mampu menang melawannya, namun masih mengeluarkan kata-kata yang ia anggap menghinanya. Maka ia lalu melangkah mundur dan menarik sulingnya, kemudian terdengar ia melengking nyaring seperti lolong serigala kelaparan dan sulingnya bergerak lebih cepat dari tadi mengeluarkan suara melengking tinggi. Dua orang pendeta tua itu tidak bermain-main lagi dan cepat menggerakkan senjata melindungi diri dan balas menyerang hebat.

   Dewi Suling juga tertawa-tawa mengejek.

   "Kalau kalian berjanji mau menakluk, melempar pedang dan berlutut, mencium ujung jariku tujuh kali, aku mau mengampuni kalian dan selanjutnya menjadikan kalian pelayan-pelayan pribadiku. Enak dan senang bukan? Eh, kalau boleh setiap hari melayani aku hi, hi, hi hik!"

   Saking marah dan jemunya, Ouwyang Tek dan Gui Siong tak dapat menjawab, hanya berseru marah dan menerjang makin hebat. Namun wanita cantik baju merah itu hanya tertawa-tawa, bahkan dengan gerakan yang aneh sekali menyelinap diantara sambaran sinar pedang lawan dan tahu-tahu ujung sulingnya telah menotok ke arah pergelangan tangan dua orang lawannya secara bertubi-tubi.

   Dua orang pemuda itu kaget sekali dan cepat menarik kembali serangan mereka akan tetapi tangan kiri Dewi Suling sempat mengelus dan mencubit dagu Gui Siong yang halus dan putih sambil tertawa terkekeh genit. Kesembronoannya ini hampir mencelakakannya, karena dengan nekad Gui Siong lalu menusukkan pedangnya tanpa melindangi diri lagi untuk mengadu nyawa dengan si wanita yang dibencinya itu.

   "Aihhh"!"

   Dewi Suling menangkis keras sehingga pedang itu terpental akan tetapi tangan kiri Gui Siong menghantam dan walaupun ia sudah cepat mencelat, pundaknya masih terpukul, membuatnya terhuyung ke belakang.

   Seperti bernyala sepasang sinar mata Dewi Suling.

   "Keparat, kalian sudah bosan hidup. Nah mampuslah!"

   Kini ia menerjang maju dan sulingnya, mengeluarkan bunyi melengking seperti yang keluar dari suling hitam gurunya.

   Sementara itu Tan Li Ceng dan Lauw Ci Sian juga repot sekali. Tadinya mereka mengamuk ganas dan merobohkan beberapa orang bajak, akan tetapi empat orang roboh, delapan orang maju menggantikan dan karena mereka itu menyerang sambil mengurung, kedua orang tadi ini akhirnya hanya mampu melindungi tubuh dari hujan senjata, sukar mencari kesempatan untuk balas menyerang.

   "Hua, ha, ha, nona cantik. Lebih baik menyerah dan melayani kami sampai puas, ha ha!"

   Suara yang kurang ajar terdengar disela-sela sorak-sorak menjemukan, membuat dua orang gadis itu makin marah dan mengambil keputusan untuk melawan sampai titik darah penghabisan.

   Pagi telah tiba dan suara yang terdengar di tepi Sungai Yang-ce di saat itu amat riuh gemuruh, seolah-olah semua iblis dan setan penghuni sungai itu muncul dan berpesta pora ditempat itu.

   Semua orang gagah yang menyerbu Istana Air kini berada dalam keadaan terdesak karena pihak lawan lebih unggul.

   Tiba-tiba terdengar suara yang menyayat hati, suara lengking tangis yang amat keras, orang terisak-isak seperti yang menangis akan tetapi suara ini mengatasi semua suara hiruk pikuk bahkan mengatasi suara suling dari suling hitam Hek-siauw Kui-bo dan suling merah Dewi Suling! Hebat sekali suara yang tinggi nyaring ini sehingga belasan orang bajak yang tidak memiliki ilmu lwekang sudah roboh terguling! Hek-siauw Kui-bo dan Dewi Suling terkejut bukan main dan hati mereka menjadi gentar.

   Sesosok bayangan putih berkelebat dari atas serta sebatang tongkat kecil menahan suling hitam Hek-siauw Kui-bo, digetarkan dan...... tubuh Hek-siauw Kui-bo terhuyung mundur dengan wajah pucat! Pemuda baju putih murid Sin-kong-ciang Han It Kong yang ia takuti dan tadinya telah tertawan di ruangan silat itu kini telah berdiri di depannya.

   Yu Lee dengan tenang menjura di depan kedua orang pendeta itu sambil berkata "Hap Totiang serta Liong Losu harap sudi berlaku murah dan menyerahkan Hek-siauw Kui-bo kepada teecu (murid), sebab teeculah yang berhak melawannya."

   Dua orang pendeta itu tadi merasa kaget, heran serta kagum, betapa seorang pemuda berpakaian putih ini hanya memakai sebatang tongkat mampu membikin mundur Hek-siauw Kui-bo, membuat mereka teringat kepada Sin-kong-ciang Han It Kong serta otomatis mereka juga teringat akan bocah cengeng cucu Yu Tiang Sin yang diambil murid oleh pendekar sakti itu.

   "Omitohud.......! Kiranya Yu-kongcu yang sudah datang......!"

   Kata Liong Losu.

   "Ha ha ha! Cucu Yu Tiang Sin"

   Eh, namamu Yu Lee, bukan? Ha ha ha, si bocah cengeng! Hei, dengar baik-baik Hek-siauw Kui-bo kini ajalmu tiba di tangan Pendekar Cengeng buat menebus dosamu terhadap keluarga Yu Tiang Sin sahabatku, ha, ha, ha!"

   Hek-siauw Kui-bo marah sekali. Biarpun ia maklum akan kelihaian Yu Lee, tetapi ia bukan seorang penakut.

   Hek-siauw Kui-bo terlalu percaya kepada kepandaian sendiri dan kini ia harus nekad bertempur mati-matian. Cepat ia meniup sulingnya dan serangkum sinar hitam menyambar ke arah tujuh belas jalan darah di bagian depan tubuh Yu Lee. Tetapi pemuda itu dengan kalemnya membuka tangan kiri serta jari-jarinya yang terbuka itu mendorong dan...... sinar hitam itu runtuh lalu lenyap membawa jarum-jarum halus amblas ke dalam tanah.

   Kembali dua orang pendeta itu kaget serta kagum. Kali ini mereka merasa yakin betul akan kesaktian pemuda murid Han It Kong ini yang pasti bisa menandingi Hek-siauw Kui-bo, dua orang pendeta ini lalu berpaling dan menyerbu Dewi Suling yang tengah bikin repot dua orang pemuda itu.

   "Ouwyang Tek! Gui Siong! Kalian lekas bantu dua orang nona itu, hajar semua penjahat!"

   Kata Siauw-bin-mo Hap Tojin kepada dua orang muridnya itu.

   Ouwyang Tek dan Gui Siong girang melihat guru mereka yang tadi melawan nenek sakti, kini tiba bersama hwesio Liong Losu menghadapi Dewi Suling. Mereka segera melompat mundur lalu menyerbu puluhan bajak yang mengeroyok kedua orang gadis yang melawan mati-matian itu.

   Cerai berailah para pengeroyok dan kini empat orang muda itu menjadi berbesar hati, terus mengamuk seperti empat ekor burung garuda menyambar-nyambar tikus-tikus yang berlari serabutan, di dalam serbuan mereka mengeroyok empat orang muda itu.

   Begitu dua orang pendeta itu datang menyerbunya, Dewi Suling terkejut sekali. Ia sudah mendengar dari gurunya perihal dua orang musuh lama gurunya ini. Siauw-bin-mo Hap Tojin dan Tho-tee-kong Liong Losu. Dan ternyata ilmu mereka betul-betul hebat, serta memiliki tenaga sakti yang kuat. Tetapi ia tidak menjadi gentar lalu menyambut serangan mereka dengan ilmu silatnya yang ganas sekali.

   "Omitohud, nona ini tidak kalah ganas oleh gurunya!"

   Liong Losu menarik napas panjang penuh penyesalan ketika menangkis suling itu dengan tongkatnya. Ia merasa menyesal mengapa seorang nona begini muda cantik, yang sepatutnya menjadi seorang isteri dan ibu muda yang tercinta penuh kasih sayang dari suami dan anak-anaknya, tetapi justeru menjadi seorang wanita seperti iblis ganasnya.

   "Ha, ha, ha, hwesio tua bangka, kau masih merasa sayang, ya? Ha, ha! Aku berani bertaruh potong kepala dengan tongkatmu, bahwa iblis betina ini tentu tidak kalah jahat oleh gurunya, mungkin lebih jahat serta lebih cabul. Hina sekali. Ha, ha, ha!"

   Dewi Suling marah seperti dibakar hatinya. Ia mengeluarkan pekik keras lalu menerjang mati-matian, tetapi kedua musuhnya adalah pendeta-pendeta yang lihai ilmu silatnya dan pertahanan mereka seperti batu karang yang kokoh kuat serta tidak takut diterjang ombak membadai.

   Yang paling hebat adalah pertandingan antara Yu Lee dan Hek-siauw Kui-bo. Dua orang musuh besar itu kini berhadapan serta bertempur dalam dalam keadaan yang menentukan, kalah atau menang, mati atau hidup. Maklum akan kesaktian lawan, Yu Lee terus saja memakai ilmu dari gurunya, yaitu Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Penakluk Iblis) yang hebat. Dan tangannya kini memegang sebatang ranting yang biarpun terdengar aneh, namun sesungguhnyalah bahwa yang dipegangnya ini merupakan satu-satunya senjata yang paling tepat untuk permainan ilmu silat Ta-kwi Tung-hoat.

   Dengan rantingnya ini, Yu Lee jauh lebih hebat dan berbahaya dari pada ketika ia melayani Hek-siauw Kui-bo dengan pedang di tangan kemarin dulu. Pedang adalah sebatang benda baja yang keras, dan biarpun ia sudah menggunakan ilmu pedang berdasarkan ilmu Tongkat Pemukul iblis, namun masih tetap tidak sesuai.

   Ilmu ini adalah ilmu tongkat, maka tentu saja lebih tepat dan enak dimainkan kalau ia memegang tongkat. Dan tongkat yang dipegangnya, sebatang benda lemas, lebih perasa dan dapat menerima penyaluran tenaga dari hawa saktinya sehingga dalam "menempel"

   Dan "menggetar"

   Ranting ini jauh lebih kuat daripada sebatang pedang.

   Hek-siauw Kui-bo melawan dengan hati nekad. Wanita tua ini memang sakti sekali, sulingnya yang sudah membinasakan lebih dari seribu orang itu kini bergerak cepat, lenyap berubah menjadi kilatan sinar yang bergulung-gulung hitam.

   Ia bernafsu sekali buat merobohkan pemuda ini, sebab maklum bahwa pemuda ini merupakan batu perintang yang berbahaya baginya. Sekali ia dapat merobohkan pemuda ini, yang lain-lain bisa mudah dibereskannya. Sambil menerjang, ia mengeluarkan suara melengking yang merupakan ilmu tersendiri buat melemahkankan semangat lawan.

   Tetapi Yu Lee dengan tenang melayani, tongkatnya telah mempunyai gerakan mantap serta setiap jurus serangan musuh dapat ia punahkan, mulailah ia mengerahkan semua tenaga serta perhatian buat memainkan jurus-jurus yang mengurung dan memikat.

   Jurus-jurus inilah yang ditakuti Hek-siauw Kui-bo serta membuatnya kewalahan, karena dulu ketika melawan Han It Kong, ia pun repot oleh jurus ini, jurus yang membuat tongkat pemuda itu kadang-kadang tanpa ia ketahui telah mengancam tubuhnya bagian belakang walaupun pemuda ini menyerang dari depan!

   Hek-siauw Kui-bo yang menjadi repot sekali karena tekanan-tekanan jurus yang aneh ini serta beberapa kali hampir saja jalan darah di punggungnya terkena totokan ujung ranting, ia lalu mendapat akal. Ia berseru keras serta segera merobah gerakan, kini memainkan yang ia sebut Naga Siluman Membelit Pohon.

   Gerakan jurus ini betul-betul hebat sekali. Sulingnya berubah menjadi gulungan sinar hitam membuat lingkaran-lingkaran seperti angka delapan berputaran melingkari seluruh tubuhnya sehingga tidak saja bagian depan yang terlindung, tetapi di bagian belakang juga terlindung oleh sinar suling itu!

   Benar saja cara bertahan seperti ini membuat jurus yang dimainkan Yu Lee mulai dapat terbendung bahayanya.

   "Bagus......! Hebat kau, Hek-siauw Kui-bo!"

   Mau tidak mau Yu Lee memuji karena merasa baru sekali ini selama hidupnya ia bertemu musuh yang begini lihai serta kosen.

   "Mampuslah setan cilik!"

   Hek-siauw Kui-bo memekik keras dan kalau sulingnya kini telah melindungi tubuhnya menjadi tameng baja, lalu tangan kirinya bergerak-gerak memukul ke arah dada Yu Lee dengan sebuah pukulan tenaga dalam beracun! Inilah pukulan Siauw-bin-hiat-ciang (Tangan Membakar Darah), semacam ilmu pukulan yang amat keji, sebab hawa beracun yang disalurkan dalam pukulan ini bisa membuat orang yang terpukul roboh dengan darah menjadi kering seperti terbakar.

   Hawa panas yang keluar dari telapak tangan kiri nenek itu menyambar serta terasa panas oleh diri Yu Lee. Pemuda ini terkejut, tetapi dengan tenang ia lalu menahan napas menyalurkan hawa saktinya, membiarkan dadanya terpukul akan tetapi dengan cepat sekali tangan kirinya mengetok siku musuh yang kiri.

   "Dess...... takkk!"

   Hek-siauw Kui-bo menjerit kesakitan karena biarpun pukulannya tepat mengenai dada lawannya, tetapi tulang sikunya juga patah oleh ketukan jari tangan pemuda itu. Yu Lee terlempar sampai empat meter lalu terjatuh roboh, tetapi ia sudah melompat bangkit lagi dengan muka agak pucat.

   Sementara itu Hek-siauw Kui-bo meringis kesakitan, sejenak termangu, terus sambil memekik keras tubuhnya melayang naik ke atas genteng. Tangan kirinya lumpuh dan tangan kanan masih tetap mencekal suling hitamnya.

   "Kui-bo hendak lari ke mana kau? "

   Yu Lee juga melompat untuk mengejar ke atas genteng. Pada saat tubuh pemuda ini melayang Hek-siauw Kui-bo membalikkan tubuhnya dan dari suling yang ditiupnya menyambar sinar hitam kehijauan yang amat berbahaya itu. Jarum-jarum beracun!

   Yu Lee memutar rantingnya menangkis dan begitu kedua kakinya hinggap di atas genteng, nenek itu telah menerjangnya. Mereka melanjutkan pertandingan di atas genteng Istana Air. Sinar matahari telah menerangi tempat itu dan kini pertandingan antara kedua musuh besar itu terjadi di atas genteng disinari cahaya matahari pagi.

   Dalam keadaan sehat saja Hek-siauw Kui-bo sudah terdesak hebat oleh Yu Lee, apalagi sekarang dalam keadaan tulang lengan kirinya patah, biarpun ia bermain suling dengan tangan kanan namun ia membutuhkan tangan kirinya sebagai imbangan gerakan dan juga sebagai pancingan, ancaman, tangkisan atau serangan. Dengan lumpuhnya lengan kirinya, ia kehilangan hampir setengah kesaktiannya dan sebentar saja ia sudah mandi keringat dingin dan menjadi pucat sekali.

   "Yu Tiang Sin"..! Kenapa bukan engkau sendiri yang datang membunuhku?"

   Tiba-tiba nenek itu menjerit dengan suara menyayat hati.

   Mendengar ini teringatlah Yu Lee akan kakeknya, akan ayah bundanya, paman bibinya, dan saudara-saudaranya yang terbunuh iblis ini dan tak tertahankan lagi ia menangis terisak-isak. Air matanya membanjir ke atas pipinya dan tentu saja menghalangi pandang matanya.

   Dalam keadaan seperti itu, Hek-siauw Kui-bo tidak menyia-nyiakan waktu. Sulingnya berkelebat menusuk leher Yu Lee dengan kecepatan yang tak mungkin dapat dihindarkan lagi. Yu Lee terkejut, cepat membuang diri kesamping sambil tongkatnya bergerak dari bawah. Namun patukan suling hitam itu masih mengenai pundaknya dan darah muncrat dari daging di atas pundak kirinya.

   Akan tetapi Hek-siauw Kui-bo roboh terguling sambil menjerit ngeri. Ternyata pada detik yang bersamaan, ujung ranting di tangan Yu Lee telah berhasil menotok jalan darah di ulu hatinya membuat tubuhnya seketika menjadi lemas dan ia tidak kuat berdiri lagi!

   Yu Lee dengan tangan kiri memegangi pundak dan tangan kanan memegang ranting dengan air mata bercucuran, melangkah maju di atas genteng menghampiri lawannya yang masih memegang suling hitamnya akan tetapi sudah tak berdaya, rebah miring dan mendekam di atas ganteng.

   Dua pasang mata bertemu pandang, yang sepasang penuh kebencian bercampur ketakutan, yang sepasang lagi penuh kebencian bercampur keharuan.

   Tangan yang memegang ranting menggigil.

   Tiba-tiba terjadi perubahan pada Wajah Hek-siauw Kui-bo. Kini sinar kebenciannya lenyap yang tinggal hanya ketakutan. Tubuhnya menggigil mukanya pucat sekali dan bibirnya bergerak-gerak.

   "Jangan ......! Jangan siksa aku......! ah jangan siksa aku......!"

   Ketika Yu Lee melangkah maju setindak lagi, Hek-siauw Kui-bo menggerakkan sulingnya dengan sisa tenaga terakhir ia mengetuk kepalanya sendiri. Terdengar suara "krakk!"

   Dan kepala nenek iblis ini pecah! darah dan otaknya berhamburan, nyawanya melayang entah ke mana!

   Yu Lee berdiri dengan muka pucat memandang mayat musuhnya, kemudian dengan air mata berlinang ia berdongak ke atas dan memandang angkasa yang amat indah, dimana awan putih berarak disinari cahaya kemerahan matahari pagi.

   Dalam pandangan mata yang dibikin suram oleh air matanya, ia melihat seolah-olah awan awan putih itu membentuk wajah kakeknya, Si Dewa Pedang, wajah ayahnya, wajah ibunya, wajah paman dan bibi serta saudara-saudaranya.

   Mereka itu seolah-olah tersenyum kepadanya. Ketika cahaya matahari melenyapkan bayangan wajah-wajah itu, ia menunduk dan terngiang kata gurunya.

   "Orang yang suka melakukan perbuatan keji yang suka menyiksa dan membunuh orang, pada hakekatnya adalah orang-orang pengecut yang melakukan perbuatan keji itu terdorong oleh rasa takutnya."

   Dahulu ia tidak mengerti akan maksud ucapan ini, akan tetapi sekarang melihat mayat Hek-siauw Kui-bo dan mengenang betapa nenek iblis ini amat ketakutan menghadapi pembalasan baru ia mengerti. Hek-siauw Kui-bo yang terkenal keji, suka menyiksa dan membunuh manusia lain ini pada hakekatnya hanya seorang pengecut besar!

   Ia lalu menoleh ke bawah dan apa yang dilihatnya membuat ia menahan napas. Mayat-mayat bergelimpangan dan bertumpuk. Darah mengalir membuat halaman depan itu menjadi genangan air merah. Dua orang gadis dan dua orang pemuda masih mengamuk.

   Sisa anak buah bajak tinggal paling banyak duapuluh orang lagi. Mereka ini hanya berani melawan karena terpaksa, karena melarikan diri berarti mati oleh senjata empat orang muda yang gagah perkasa itu. Maka mereka melawan mati-matian. Melihat ini Yu Lee menggerakkan tubuhnya, melayang turun dan menggerakkan rantingnya.

   "Trang-trang-trang!"

   Semua pedang di tangan empat orang muda terlempar dan terlepas dari pegangan, Yu Lee menjura kepada mereka berempat.

   "Maaf, saya rasa cukup banyak penyembelihan."

   Kemudian ia membalik dan berkata, suaranya tetap halus akan tetapi penuh wibawa.

   "Kalian tidak lekas berlutut minta ampun kepada empat orang pendekar ini dan berjanji merobah watak jahat?"

   Duapuluh orang bajak itu lalu melempar senjata masing-masing dan menjatuhkan diri berlutut mengangguk-anggukkan kepala minta minta ampun. Yu Lee lalu meninggalkan empat orang muda yang terlongong, sekali melompat ia sudah berada di tengah-tengah pertempuran antara Dewi Suling dan dua orang pendeta.

   Memang patut dikagumi kelihaian Dewi Suling. Biarpun dikeroyok dua orang pendeta berilmu tinggi serta sudah sejak tadi ia terdesak dan terus dihimpit, namun dua orang lawannya belum juga berhasil merobohkannya.

   Hanya dua kali ia terkena senjata lawan, sebuah gebukan tongkat Liong Losu mengenai pinggir pinggulnya, serta pedang Siauw-bin-mo menyerempet pundaknya. Akan tetapi ia masih terus bisa bertahan, keringatnya telah membasahi seluruh tubuh, membuat pakaian merah yang tipis halus serta ketat itu melekat di tubuh, membuat ia seperti dalam keadaan telanjang bulat berkulit merah!

   "Ji-wi cianpwe, harap tahan......! Seru Yu Lee yang tiba-tiba sudah berada di tengah mereka.

   Kedua pendeta itu melangkah mundur serta menatap aneh, sedangkan Dewi Suling terhuyung-huyung karena lelahnya, lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah, sulingnya melintang di atas pangkuan.

   "Harap ji-wi cianpwe (dua orang gagah) sudi memaafkan kelancangan teecu, akan tetapi teecu mintakan ampun untuk dia."

   Ia menuding ke arah Dewi Suling yang melihat ke arahnya dengan mata terbelalak heran, tercengang serta juga kagum.

   "Omitohud......! Yu-kongcu (tuan muda Yu) apakah tidak tahu betapa jahatnya wanita ini dan betapa berbahayanya membiarkan dia hidup serta menggoda pemuda-pemuda tak berdosa?"

   "Yu Lee, dia ini adalah Cui-siauw Sianli Ma Ji Nio atau juga disebut Dewi Suling, murid Hek-siauw Kui-bo yang amat cabul dan ganas. Dua orang murid pinto hampir saja menjadi korbannya. Dia jahat sekali patut dibunuh. Mengapa kau menghalangi kami? Ha-ha-ha, orang muda, apakah kau mau mengecewakan gurumu dan kami dengan kenyataan bahwa kau tergila-gila oleh kecantikannya?"

   Yu Lee tidak memperlihatkan kemarahan, akan tetapi matanya yang merah mengeluarkan sinar berkilat yang membuat Hap Tojin membungkam mulutnya.

   "Ji-wi cianpwe, kalau teecu membiarkan dia ini tewas di depan mata teecu, hal ini bahkan akan membikin malu hati guru teecu yang tercinta, seorang gagah harus mengenal budi, membalas kebaikan dengan kebaikan pula berlipat ganda, membalas kejahatan dengan keadilan tanpa dibutakan perasaan dendam. Teecu pernah ditolong wanita ini, kalau tidak ada wanita ini, tentu teecu sudah tewas di tangan Hek-siauw Kui-bo. Oleh sebab itu, mana bisa teecu membiarkan saja dia terbunuh di depan mata teecu. Harap ji-wi locianpwe sudi memaklumi hal ini serta memaafkan teecu. Kalau ji-wi berkeras mau membunuhnya sedangkan di sini sudah begini banyak manusia terbunuh biarlah teecu menebusnya serta menerima kematian di tangan ji-wi."

   "Omitohud......!"

   Liong Losu berdoa dengan penuh takjub.

   "Siancai...... kau hebat. Ha-ha-ha! Kakek Han It Kong, dahulu kau mengalahkan kami, sekarang muridmu. Ha, ha, ha!"

   Dua orang pendeta itu lalu melangkah mundur sampai tiga tindak, pertanda mereka tidak akan menyerang Dewi Suling.

   Yu Lee membalikkan tubuh ke arah Dewi Suling. Lalu ia berkata.

   "Nona, kau telah menyelamatkan jiwaku dari tangan Hek-siauw Kui-bo sekarang aku telah menebus jiwamu dari tangan kedua locianpwe maka sudah tidak ada budi apa-apa lagi di antara kita. Kita berselisih jalan. Hanya aku memberi nasihat kepadamu, tinggalkanlah jalan gelap, carilah jalan terang. Engkau masih muda cantik serta berilmu tinggi, masih belum terlambat bagimu buat bertobat dan merubah jalan hidup. Kalau kelak kita saling berjumpa serta engkau masih tetap terbuat jahat, terpaksa aku harus menempurmu?"

   Dewi Suling bangkit sendiri perlahan, sejenak ia melihat ke wajah pemuda baju putih itu, penuh harap, penuh rindu serta penuh kasih. Tetapi ia melihat sinar mata Yu Lee tetap diam seperti air di telaga barat, ia menunduk serta terisak. Lalu ia mengangguk, kemudian dengan sedu sedan naik dari dadanya, ia memutar tubuhnya lalu lari pergi dari tempat itu.

   Kali ini tidak ada suara melengking yang menjadi tanda setiap kali Dewi Suling pergi!

   Dua orang pendeta itu lalu memerintahkan sisa sisa anggauta bajak yang takluk buat merawat temannya yang terluka serta mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan, kemudian Tho-tee-kong, Liong Losu membawa dua orang murid wanitanya ke tempat terpisah.

   "Ci Sian dan Li Ceng, secara kebetulan sekali kita dapat bertemu dengan sahabatku Hap Tojin dan dua orang muridnya. Pinceng lihat dua orang muridnya itu baik dan gagah, dan pinceng akan menjadi bahagia sekali andaikata kalian dapat berjodoh dengan dua orang murid sahabatku Hap Tojin itu. Bagaimana pendapat kalian? Kalau cocok, akan pinceng bicarakan dengan Hap Tojin. Tentu saja kau akan kumintakan ijin orang tuamu Li Ceng. Dan engkau boleh memutuskannya sendiri, Ci Sian."

   Tiba-tiba Ci Sian menubruk kaki gurunya yang bersila itu sambil menangis tersedu-sedu.

   
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Suhu...... ampunkan teecu...... teecu tidak....... tidak sanggup memenuhi perintah suhu...... lebih baik suhu bunuh saja teecu murid yang murtad ini!"

   "Omitohud! Apa artinya ini? Mengapa kau bersikap begini? Apakah yang terjadi? Li Ceng mengapa sucimu bersikap begini?"

   Betapa kaget dan heran pendeta gundul itu ketika Li Ceng yang biasanya keras hati dan tabah itu juga menjatuhkan diri berlutut dan menangis di samping sucinya!

   "Eh, eh...... bagaimana ini? Ci Sian! Li Ceng! Di mana kagagahan kalian! Hayo bangkit dan ceritakan yang jelas!"

   Ia membentak, agak marah, berbeda dengan sikapnya yang biasanya lemah lembut.

   "Suhu, ampunkan teecu,"

   Akhirnya Ci Sian berkata.

   "Teecu sudah berjanji dalam hati, hanya ada dua pilihan bagi laki-laki yang telah melihat teecu dalam keadaan...... telanjang bulat......! Pilihan ini ialah...... dia harus teecu bunuh dan kedua dia harus menjadi jodoh teecu."

   Sepasang mata yang lebar itu terbelalak, kedua tangan mengelus perut yang telanjang dan gendut sedangkan mulutnya berkata.

   "Omitohud! Telanjang bulat...... bunuh...... jodoh? Apa artinya semua ini, Ci Sian muridku?"

   Namun Lauw Ci Sian hanya terguguk menangis. Li Ceng tidaklah selemah kakak seperguruannya, maka setelah menghapus air matanya, gadis inilah yang kemudian menceritakan kepada gurunya tentang peristiwa penghinaan yang mereka alami malam tadi. Betapa mereka tertawan, kemudian ditelanjangkan dan hampir saja dinodai empat orang kepala bajak kalau tidak muncul Yu Lee yang menolong mereka.

   "Suhu tentu dapat memahami perasaan suci dan juga perasaan teecu sendiri. Teecu semalam dengan suci sependeritaan. Setelah tubuh kami terlihat seperti dalam keadaan itu bagaimana kami dapat menjadi isteri orang lain? Yang-ce Su-go yang melihat keadaan kami telah kami bunuh. Adapun...... dia...... dia penolong kami mana mungkin kami membunuhnya? Karena inilah, usul perjodohan suhu tidak mungkin dapat teecu berdua memenuhinya......"

   Tho-tee-kong Liong Losu mengerutkan kening dan menganguk-angguk.

   "Omitohud...... semoga manusia terbebas dari pada nafsunya sendiri. Pinceng hanya mengusulkan, akan tetapi...... yah, keputusannya ada pada kalian sendiri. Pinceng akan kembali ke pertapaan, soal ini terserah kalian. Kalian sudah cukup dewasa, sudah cukup belajar ilmu, pinceng memberi ijin kepada kalian berdua untuk menempuh hidup sendiri. Li Ceng, engkau yang masih mempunyai keluarga, berlakulah murah kepada sucimu."

   "Baik, suhu. Suci tentu saja ikut bersama teecu,"

   Kata Tan Li Ceng yang merangkul sucinya yang menangis terisak-isak. Hwesio itu menarik napas panjang lalu keluar dari tempat itu, menyeret tongkatnya. Setibanya di luar ia disambut Siauw-bin-mo Hap Tojin yang tertawa-tawa.

   "Eh, Tho-tee-kong, kenapa kelihatan muram wajahmu?"

   Hwesio itu menghela napas.

   "Ahh, toyu, alangkah inginnya hatiku bisa segembira engkau ini. Di dunia banyak hal-hal yang menyusahkan hati Di manakah adanya Yu-kongcu?"

   "Dia tidak berpamit. Telah pergi begitu saja. Dengar suaranya!"

   Tosu itu menuding ke arah utara.

   Hwesio tua itu berhenti dan mengarahkan pandang matanya. Sayup sampai terdengar lengking tinggi menyayat hati seperti orang menangis.

   "Diakah itu ......? Pergi sambil menangis?"

   "Ha-ha-ha! Pendekar Cengeng! Entah menangis entah tertawa dia sekarang, akan tetapi tadi kulihat dia menangis ketika dia melihat para bajak mengurus mayat-mayat yang amat banyak itu. Kemudian ia pergi tanpa pamit."

   "Ke mana?"

   "Ke mana? Entah ke mana dia siapa tahu?"

   Ya, tidak ada yang tahu ke mana perginya Yu Lee Si Pendekar Cengeng setelah ia berhasil membinasakan Hek-siauw Kui-bo, menyelamatkan nyawa Dewi Suling, dan sekaligus merusak hati dua orang gadis tanpa ia sengaja dan ia ketahui. Dua orang nona yang kini sudah keluar dari tempat terpisah tadi pun bengong mendengar suara lengking meninggi dan makin menjauh itu.

   Juga Ouwyang Tek dan Gui Siong yang merasa amat kagum terhadap Yu Lee, hanya saling pandang dan berjanji dalam hati untuk mencontoh sepak terjang Si Pendekar Cengeng dan memperdalam ilmu silat mereka.

   "Tho-tee-kong, aku telah membebaskan murid-muridku untuk memasuki dunia ramai dan mendarmabaktikan kepandaian mereka guna masyarakat. Aku telah bebas, Ha-ha-ha!"

   Ia memegang lengan hwesio itu.

   "Dan bagaimana dengan engkau?"

   "Omitohud, pinceng juga melepas pergi kedua orang murid pinceng, Ci Sian akan ikut adik seperguruannya yang mempunyai orang tua di An-keng, pinceng akan pergi ke gunung"".."

   "Bagus! Mari ikut bersamaku, Tho-tee-kong. Mari kita lupakan segala kedukaan hidup. Di sana kita dapat main catur, kita salurkan semua nafsu-nafsu duniawi melalui papan catur! Kalau perlu kita boleh membunuh Raja di papan catur, boleh bertaruh tanpa merugikan orang lain. Ha-ha-ha!"

   "Baiklah To-yu (sahabat). Pinceng akan belajar gembira dari Siauw-bin-mo Hap Tojin."

   Dua orang pendeta tua itu sambil bergandeng tangan lalu meninggalkan tempat itu pula, tanpa menoleh lagi kepada murid mereka

   Ouwyang Tek dan dan Gui Siong kini berhadapan dengan Lauw Ci Sian dan Tan Li Ceng yang masih merah matanya bekas menangis. Dua orang pemuda itu dengan sikap sopan lalu memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada yang dibalas oleh dua orang gadis itu dengan sopan pula.

   "Soal mengurus bekas-bekas bajak itu harap ji-wi siocia (nona berdua) serahkan saja kepada kami. Tentu ji-wi sudah mendengar bahwa kami adalah murid-murid Siauw-bin-mo Hap Tojin, nama saya Ouwyang Tek dan ini adalah sute Gui Siong."

   Tan Li Ceng yang lebih tabah dari pada sucinya setelah membalas penghormatan itu lalu menjawab.

   "Terima kasih atas kebaikan ji-wi twako (kakak berdua), karena guru kita bersahabat tidak akan keliru kiranya apabila kita melanjutkan persahabatan itu. Aku bernama Tan Li Ceng tinggal bersama orang tuaku di toko obat dalam kota An-keng. Dan ini suciku Lauw Ci Sian. Sekarang kami hendak ke An-keng dan apabila ji-wi lewat di An-keng, kami persilakan ji-wi untuk singgah di rumah kami."

   "Banyak terima kasih atas kemurahan ji-wi siocia,"

   Jawab pula Ouwyang Tek.

   Sekali lagi mereka saling memberi hormat kemudian sambil menggandeng tangan sucinya Li Ceng mengajak Ci Sian pergi meninggalkan tempat itu diikuti pandangan mata dua orang pemuda perkasa dengan penuh kekaguman. Untung bahwa kedua orang pemuda itu tidak dapat menjenguk isi hati dua orang gadis itu, juga tidak mendengar pengakuan mereka. Pengakuan yarg menyatakan bahwa mereka berdua itu mau dijodohkan kalau dengan Si Pendekar Cengeng!

   Dunia persilatan gempar, para tokoh Liok-lim dan kang-ouw, datuk-datuk serta cabang-cabang atas, baik dari aliran putih (bersih) maupun hitam (sesat) menjadi geger dengan munculnya seorang pendekar muda yang terkenal dengan sebutan Pendekar Cengeng! Dunia persilatan menyebutnya Pendekar Cengeng karena pendekar muda yang perkasa ini sering kali menangis. Tangannya amat ampuh, tongkat maupun pedangnya amat lihai merobohkan lawan-lawan yang kuat, akan tetapi kedua matanya selalu bercucuran air mata dan ia menangis sedih menyaksikan mayat-mayat lawan yang roboh di tangannya. Juga ia selalu tidak dapat menahan air matanya kalau mendengar penuturan yang menyedihkan dari mereka yng mohon pertolongannya.

   Di dalam waktu kurang dari setahun saja Pendekar Cengeng ini telah membasmi tujuh buah sarang bajak sungai di sepanjang Sungai Yang-ce-kiang serta belasan buah sarang perampok di hutan-hutan. Semua perbuatan ini dilakukan karena ada sebabnya bukan sekali-kali ia mencari sarang penjahat-penjahat itu. Kalau tidak dia sendiri yang kebetulan dihadang perampok tentu ada orang-orang lain yang menjadi korban kejahatan dan ia kebetulan melihatnya.

   Yu Lee, Si Pendekar Cengeng ini tidak pernah lupa kata-kata gurunya, serta tidak mau mencari permusuhan bahkan tidak mengusik para penjahat kalau saja ia tidak melihat kejahatan dilakukan orang. Kalau ia kebetulan melihatnya, barulah ia turun tangan dan sekali ia membasminya celakalah gerombolan penjahat itu.

   Para tokoh kang-ouw kaum sesat merasa sakit hati kepadanya sebab kematian kawan-kawan mereka serta saudara-saudara seperguruan mereka dan mereka selalu mencari kesempatan buat membalas dendam serta membunuh Pendekar Cengeng.

   Sebaliknya, para tokoh kang-ouw kaum pendekar merasa iri hati dan penasaran kepadanya serta merekapun mau bertemu dengan pendekar muda ini buat ditantang berpibu (Mengadu kepandaian silat).

   Yu Lee bukan tidak tahu akan hal ini. Ia tahu bahwa banyak orang pandai marah kepadanya, tetapi ia pura-pura tidak tahu dan sebab sikapnya selalu sederhana tidak suka menonjolkan diri, maka tidak ada orang yang mengira bahwa pemuda baju putih yaug kelihatan lemah, pakaian serta sikapnya sederhana seperti seorang perantau miskin itu adalah Pendekar Cengeng yang menggemparkan dunia persilatan.

   Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Yn Lee telah memasuki dusun Ki-bun. Walaupun hatinya sudah digembleng oleh si manusia sakti Han It Kong, tetapi hatinya berdebar penuh keharuan ketika ia memasuki dusun yang sunyi serta tenteram ini, dusun yang tidak pernah dilupakannya selama hidupnya yaitu dusun tempat tumpah darahnya, di mana darah ibunya tertumpah di waktu melahirkan. Dusun tempat kelahirannya!

   Enambelas tahun ia telah pergi dari dusun ini. Limabelas tahun digembleng suhunya di puncak Ta-pie-san kemudian setahun merantau setelah turun gunung. Dusun itu sendiri tak pernah berubah tetapi cuma penduduknya yang berubah.

   Ia kini tidak kenal akan wajah seorangpun serta tidak ada seorangpun di dusun itu mengenalnya. Tentu saja bisa demikian halnya! Karena dahulu ia baru berusia delapan tahun, kini telah menjadi seorang pemuda tinggi tegap berusia duapuluh empat tahun.

   Perih hati Yu Lee melihat betapa rumah-rumah di dusun ini masih seperti enambelas tahun yang lalu, rumah penghuni dusun masih merupakan pondok buruk. Demkianlah keadaan hampir di seluruh dusun, tidak ada kemajuan, rakyatnya miskin dan hidup serba kekurangan. Kekayaan bertumpuk-tumpuk di kota di mana orang-orang hidup bergelimang kemewahan.

   Anehnya di kota-kota inilah bertumpuk bahan makanan memenuhi gudang-gudang besar, bahkan sampai membusuk karena terlampau banyak dan berlebihan. Sedangkan di dusun-dusun di mana bahan makanan itu ditanam orang, yang menjadi sumber bahan makanan, malah kekurangan makanan. Memang kalau direnungkan amatlah aneh dan janggal, namun nyata demikian, tempat sumber bahan makanan malah kekurangan makanan, petani malah kekurangan makan di tengah sawah!

   Keadaan seperti ini tidaklah aneh kalau diketahui bahwa seluruh sawah ladang itu kesemuanya hanya dikuasai olah beberapa orang saja, dan para petani yang bekerja di sawah hanyalah merupakan buruh-buruh tani yang menerima upah amat sedikit, hanya cukup buat dimakan seorang saja.

   Sudah pasti para petani ini mempunyai keluarga maka timbullah kelaparan sebab jatah makanan buat seorang dimakan kadang-kadang empat atau lima orang. Akibat hal ini pula menimbulkan pemerasan tenaga, sampai anak-anak kecil terpaksa bekerja di sawah untuk sekedar mencari isi perut pencegah kelaparan.

   Bagi para penduduk dusun yang miskin, hidup mereka lebih rendah serta lebih sengsara dari pada kerbau. Pekerjaan berat di sawah ladang, makan tidak kenyang. Binatang kerbau masih dapat mengenyangkan perut serta tidak kelaparan sebab binatang ini dapat makan rumput yang tidak usah dibeli oleh majikannya.

   Para pemilik tanah yang membutuhkan kemewahan dan sebab kemewahan hanya dapat ditemukan di kota tentu saja mengirim seluruh hasil tanah ke kota untuk ditukar dengan harta benda. Hal inilah yang menyebahkan akibat bahwa di kota sampai berlebihan makanan, sebaliknya di dusun sebagai sumber makanan malah sampil banyak orang mati kelaparan.

   Tanah kuburan di luar dusun Ki-bun amat luas. Kuburan ini sudah tua sekali, sudah ratusan tahun dipakai sebagai tanah kuburan sehingga setelah beberapa kali dipakai masih tetap digali lagi buat dipakai yang baru.

   Di tanah kuburan inilah enambelas tahun yang lalu semua jenazah keluarga Yu dikubur oleh penduduk dusun Ki-bun. Dikubur menjadi satu, merupakan gundukan tanah yang tinggi. Ayah bundanya, dua orang pamannya dan dua orang bibinya, dan kakak kandungnya, tujuh orang kakak misan, empat orang pelayan semua berjumlah sembilan belas orang anggauta keluarga kakeknya, ditambah mayat dua orang penjahat suami isteri Kim-to Cia Koan Hok dan Bi-kiam Souw Kwat Si maka di dalam gundukan tanah kuburan ini terdapat duapuluh satu orang mayat yang dahulu binasa dalam tangan Hek-siauw Kui-bo! Teringat akan ini, tak dapat ditahan lagi, air mata Yu Lee bercucuran ketika ia berdiri di depan gundukan tanah kuburan.

   Ia lalu menjatuhkan diri berlutut. Biarpun ia sudah berhasil membalas dendam, berhasil membunuh Hek-siauw Kui-bo, akan tetapi ia masih merasa menyesal dan berduka karena ia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membalas budi orang tuanya tidak diberi ke sempatan untuk berbakti.

   Setelah berlutut dan pay-kui sampai delapan kali di depan gundukan tanah kuburan itu, barulah Yu Lee bangkit.

   Dengan muka pucat dan mata basah dimana ia memandang ke sekelilingnya. Kiranya tanah kuburan itu kini telah dikurung oleh delapan orang yang tidak diketahui kedatangannya. Tahu-tahu mereka telah berada di tanah kuburan itu, berdiri mengurung gundukan tanah kuburan berikut Yu Lee dengan wajah beringas mengancam seperti iblis-iblis sendiri yang datang hendak mengeroyoknya.

   Dalam kesedihannya Yu Lee tadi sampai tidak memperhatikan sekelilingnya dan baru sekarang ia tahu bahwa delapan orang itu datang dan sikap mereka jelas membayangkan permusuhan. Ia tenang-tenang saja mempermainkan tongkat bambunya dengan kedua tangan, matanya memandang penuh selidik dan bergantian kepada delapan orang itu. Mereka itu berusia antara tigapuluh dan empatpuluh tahun dan sikap mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah ahli-ahli silat yang pandai.

   Yu Lee memang tidak suka mencari permusuhan dan sikap serta pakaiannya memang amat

   (Lanjut ke Jilid 09)

   Pendekar Cengeng (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09

   sederhana, sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia adalah seorang ahli silat, apa lagi seorang pendekar yang ternama, kini menyaksikan sikap delapan orang itu iapun ingin menghindari mereka dan pura-pura tidak mengerti bahwa mereka itu mengurungnya.

   Kembali ia mengangguk kearah gundukan tanah kuburan sebagai penghormatan terakhir atau berpamit, kemudian ia membalikkan tubuhnya untuk pergi dari situ.

   "Hei, berhenti kau!"

   Seorang di antara mereka yang matanya merah menghardik.

   Yu Lee memutar tubuh menghadapinya dan berpura-pura terheran lalu bertanya.

   "Apakah tuan menegur saya?"

   "Siapakah namamu dan mengapa kau bersembahyang di depan kuburan ini?"

   Tanpa memperdulikan pertanyaannya, si mata merah itu kembali bertanya.

   Sekilas pandang saja Yu Lee dapat menduga bahwa delapan orang ini adalah orang kasar, golongan kaum sesat di dunia kang-ouw. Tidak mungkin mendiang kakek dan keluarganya bersahabat dengan orang-orang seperti ini, akan tetapi karena ia tahu bahwa kakeknya dahulu adalah seorang pendekar pedang yang amat terkenal dan mempunyai banyak sekali musuh di dunia kang-ouw maka ia dapat menduga bahwa tentu mereka ini musuh-musuh kakeknya. Kalau orang-orang ini memusuhi sebagai akibat dari sepak terjangnya selama ini, tentu mereka mengenalnya maka ia lalu menjawab sederhana dan berusaha mengelakkan pertempuran.

   "Saya adalah bekas pelayan keluarga Yu dan karena tidak ada lain orang lagi yang mengurus kuburan maka mengingat akan budi dahulu saya datang untuk memberi hormat."

   "Ha, ha, ha! Siapa kira Hek-siauw Kui-bo dapat tertipu oleh seorang bocah pelayan sehingga terluput dari pada pembasmian!"

   Kata si mata merah yang agaknya menjadi pemimpin di antara delapan orang itu.

   "Hee, budak hina! Belasan tahun yang lalu kau terluput dari kebinasaan, dan kami telah didahului Hek-siauw Kui-bo membasmi keluarga Yu Tiang Sin. Biarlah sekarang kami menyempurnakan pembasmian itu sebelum kami berhasil mencari keturunannya terakhir yang kabarnya telah lolos."

   Yu Lee mendongkol sekali. Tidak salah dugaannya. Delapan orang ini adalah musuh-musuh dari mendiang kakeknya. Ia sengaja memperlihatkan sikap takut dan bertanya.

   "Cuwi (tuan sekalian) siapakah dan mengapa hendak mengganggu saya yang tidak berdosa?"

   "Ha, ha, ha, perlu kau ketahui agar nyawamu kelak cepat melapor kepada arwah Yu Tiang Sin. Kami adalah delapan orang dari Timur yang terkenal dengan julukan Tung-hai Pat-ong (Delapan Raja Laut Timur), dahulu belum sempat membasmi keluarga Yu Thian Sin dan kedatangan kami untuk membongkar kuburannya, untuk menghancur leburkan tulang-tulang keluarganya, kebetulan kau datang dan karena kau adalah pelayan Keluarga Yu kau tidak terluput dari pada pembalasan kami, bersiaplah untuk mampus budak cilik!"

   Sambaran tangan si mata merah ke arah kepala Yu Lee amat kuatnya. Yu Lee yang tahu bahwa tak mungkin ia mengelakkan pertempuran diam-diam sudah mengambil keputusan untuk menghajar mereka ini, malah tidak berkelebihan kiranya kalau ia membunuh mereka ini.

   Mereka ini adalah orang-orang jahat, tidak mempunyai pribudi dan prikemanusiaan buktinya mereka ini mempunyai niat yang amat keji, hendak membongkar kuburan dan merusakkan tulang keluarga Yu.

   Melihat datangnya pukulan yang dimaksudkan untuk merenggut nyawanya, Yu Lee tetap bersikap tenang. Ia menanti saja karena dari gerakan si mata merah itu ia maklum bahwa tingkat kepandaian mereka ini biasa saja, walaupun si mata merah ini memiliki tenaga lweekang yang cukup kuat. Akan tetapi pada detik itu Yu Lee terkejut dan terheran-heran melihat berkelebatnya sinar putih yang kecil sekali yang meluncur dari arah kanannya serta menimpa lengan si mata merah, tepat pada jalan darah di pergelangan tangan.

   "Takk! Aduuhh!"

   Si mata merah berseru kesakitan, tangannya lumpuh dan ia meloncat ke belakang sambil meringis, ia memijat lengan kanannya, lalu dengan memakai jari-jari tangan kirinya ia cabut keluar sebatang jarum kecil yang menancap di pergelangan lengan itu.

   Yu Lee menahan senyum karena maklum bahwa ada orang membantunya, biarlah ia akan berpura-pura bodoh supaya tidak mengecewakan hati si penolongnya, akan tetapi ketika ia menoleh dan melihat berkelebatnya bayangan orang yang menolongnya tadi ia melongo dan memandang kagum.

   Ternyata dari balik pohon itu meloncat keluar seorang gadis remaja yang cantik molek, agaknya sukarlah dipercaya bahwa gadis ini yang tadi melepas jarum menolongnya. Gadis itu usianya paling banyak delapanbelas tahun, wajahnya berkulit halus dengan sepasang pipi kemerahan matanya bersinar-sinar penuh semangat dan mulutnya yang kecil tersenyum-senyum serta dari pandangan mata dan mulut ini terbayang sifat jenaka dan riang juga nakal penuh ketabahan.

   Kecantikannya itu tersendiri, seperti kecantikan setangkai bunga liar di dalam hutan. Sedikitpun tidak ada tanda-tanda bekas alat rias pada mukanya yang cantik, kehalusan kulit mukanya warna putih kuning, warna merah di pipi dan terutama di bibirnya semua adalah warna-warna yang wajar, membuktikan kebersihan dan kesehatan tubuhnya.

   Rambutnya hitam sekali juga amat lebat dan panjang sehingga rambut yang digulung semuanya itu menjadi mahkota hitam yang besar di atas kepala, kalau terurai, agaknya rambut yang halus itu ujungnya akan mencapai paha.

   Dengan lebat rambutnya sampai anak rambutnya merumbai di dahi dan tengkuk, juga anak rambut yang tumbuh subur di pelipis menjuntai serta menjungat ujungnya di pipi, hampir menyentuh hidung menimbulkan kejelitaan yang lucu pada wajah itu.

   Matanya seperti sepasang bintang pagi yang cemerlang, bersih dan bening sekali, sinarnya tajam namun selalu berseri gembira serta nakal, bentuk tubuhnya padat ramping, lincah gesit gerakannya dan pakaiaanya sederhana pula seperti cara ia berhias. Terbuat dari sutera warna hijau puput dengan warna sabuk berwarna emas, sepatunya dari kulit berwarna hitam.

   Gadis ini melangkah keluar dari balik pohon sambil tersenyum-senyum tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang sebatang rumput yang ujung tangkainya ia gigit-gigit dengan giginya, sehingga tampak giginya yang berderet putih dan rapih, matanya mengerling dan melihat bergantian kepada delapan orang itu yang kini semua melihatnya dengan pandang mata merah.

   "Tung-hai Pat-ong kalian ini, ya? Wah betul-betul gagah perkasa, delapan orang raja menghadapi seorang pelayan yang tidak tahu apa-apa! Sejak tadi pagi aku sudah curiga dan membayangi kalian, kukira kalian ini akan merampok dusun ini, kiranya malah lebih hina daripada perampok sebab ternyata kalian bukan lain adalah tikus-tikus kuburan yang tak tahu malu!"

   Makian "tikus kuburan"

   Adalah makian yang paling menghina, karena yang dimaksudkan dengan tikus kuburan adalah pencuri-pencuri yang suka membongkar kuburan untuk mengambil benda berharga yang menempel pada tubuh mayat. Dan diantara maling-maling, tikus kuburan inilah maling yang paling rendah serta dianggap hina dan rendah oleh kaum sesat sendiri sebab merendahkan "derajat"

   Bangsa maling!

   "Bocah bermulut lancang!"

   Bentak si mata merah yang kini telah biasa lagi. Tangan kanannya tidak sakit lagi dan hatinya lega sebab ini berarti bahwa jarum itu tidak beracun.

   "Engkau tidak mengenal betul siapa kami maka berani main gila. Apakah kau sudah bosan hidup? Hayo lekas katakan siapa kau dan siapa gurumu, mengapa kau berani mencampuri urusan kami!"

   Gadis itu melirik serta senyumnya makin melebar. Cantik jelita seperti bidadari, belum pernah Yu Lee bertemu dengan gadis secantik ini. Entah mengapa, segala gerak gerik gadis ini menarik hatinya, membuat jantungnya berdebar-debar serta membuat ia seperti berubah menjadi sebuah arca, tidak mampu bergerak atau bersuara, hanya memandang dengan mata terbelalak kagum.

   "Hemmmm, kalian ini delapan anak kecil berani menyombongkan diri terhadap nyonya besarmu. Sungguh menjemukan! Siapa tidak mengenal kalian bangsat-bangsat kecil ini? Kalian adalah bajak-bajak di laut Tung-hai, sombong-sombongan memakai julukan Delapan Raja, padahal tidak becus apa-apa. Belasan tahun yang lalu kalian membajak sebuah kapal, hendak merampas harta dan menghina puteri-puteri pembesar Kwan di kapal itu. Kemudian kalian dihajar habis-habisan sampai terkencing-kencing dan terkentut-kentut oleh mendiang Yu-kiam-sian Si Dewa Pedang. Huh, kalian seperti delapan ekor anjing ketakutan melingkarkan buntut dan lari bersembunyi. Setelah kini Yu-kiam-sian sekarang menjadi gundukan tanah pura-pura mau gagah-gagahan mau bongkar kuburan. Mencari gigi emas? Atau bekas sepatu? Tak tahu malu!"

   Yu Lee makin terbelalak. Bagaimana nona yang masih muda sekali ini tahu akan peristiwa itu? Dia sendiri yang menjadi cucu Si Dewa Pedang tidak tahu dan tidak mendengar dari kakeknya atau ayahnya!

   Dan sikap gadis ini benar-benar terlalu berani dan betapapun juga amat jenaka dan lucu. Masa gadis berusia kurang dari duapuluh tahun bersikap seolah-olah delapan orang yang empatpuluh tahun lebih umurnya seperti anak-anak saja?

   Kalau Yu Lee terheran-heran dan kagum adalah Tung-hai Pat-ong itu yang menjadi kaget sekali, kaget, malu-malu dan marah bercampur aduk menjadi satu, namun rasa kaget dan heran lebih besar sehingga si mata merah bertanya.

   "Budak cilik! Siapa kau?"

   Dara kecil itu kembali bertolak pinggang, kini dengan kedua tangannya sepuluh jari-jari yang kecil panjang itu seolah-olah dapat melingkari pinggangnya, begitu ramping pinggangnya, kemudian dengan gerakan lucu jenaka nona ini menuding hidungnya sendiri, hidung yang kecil dan mancung.

   "Kau mau tahu siapa nonamu ini? Buka telinga lebar-lebar untuk mendengar, buka mata baik-baik untuk melihat, akan tetapi teguhkan hati agar kalian tidak akan roboh pingsan karena kaget dan mati ketakutan. Di depan kalian inilah pendekar wanita muda yang mewarisi ilmu kesaktian dari Kun-lun-pai. Akulah yang berjuluk Sian-li Eng-cu (Si Bayangan Bidadari). Setelah kalian berhadapan dengan Sian-li Eng-cu, tidak lekas berlutut? Hayo berlutut dan minta ampun, pay-kui sampai tigabelas kali, baru Sian-li Eng-cu memberi ampun dan hanya minta sebuah saja daripada daun telinga kalian masing-masing satu, kalau tidak kepala kelinci yang akan putus lehernya!"

   Yu Lee hampir tak dapat menahan ketawa, bukan main nona ini ucapannya itu hebat dan sombong, akan tetapi lucunya, sikapnya sama sekali tidak membayangkan kesombongan bahkan mata dan mulutnya itu membayangkan kenakalan, jelas tampak oleh Yu Lee bahwa ucapannya yang keluar dari mulut nona itu adalah ucapan yang disengaja, bukan untuk menyombong melainkan untuk mempermainkan delapan orang bajak itu.

   Yu Lee makin tertarik dan ingin melihat sampai di mana keahlian nona ini, apakah ilmu silatnya selihai mulutnya? Melihat cara nona ini tadi menyambitkan jarum, ia tidak perlu mengkhawatirkan keselamatannya tetapi karena delapan orang ini adalah orang-orang kasar yang kejam, diam-diam ia bersiap melindungi nona yang menarik hatinya itu.

   Delapan orang itu tentu saja menjadi marah sekali. Mereka belum pernah mendengar nama julukan Sian-li Eng-cu pendekar wanita tokoh Kun-lun-pai. Tentu saja memandang rendah. Nona yang masih begitu muda mana mungkin memiliki kepandaian lihai? Diantara delapan orang itu, terdapat seorang yang mata kirinya buta.

   Dia inilah amat terkenal mata keranjang serta dahulunya ia pernah mengganas, secara keji menculik dan memperkosa banyak sekali wanita. Asal wanita muda dan cantik, tak perduli wanita itu isteri orang, ia tak mau berhenti kalau belum dapat menculiknya.

   Mata kirinya juga menjadi buta karena kesukaannya mempermainkan isteri orang karena dahulu ia pernah tertangkap basah, dikeroyok orang sedusun. Biarpun ia berhasil melarikan diri mengandalkan kepandaiannya, namun mata kirinya tertusuk pedang dan menjadi buta sebelah.

   Namun mata yang tinggal sebelah itu tidak mengurangi sifatnya yang buruk, bahkan ia menjadi makin gila karena merasa sakit hati melihat betapa wanita-wanita merasa jijik kepadanya karena matanya.

   Ia makin mengganas dan baru ia bersama tujuh orang saudara tidak berani mengganas lagi dan terpaksa menyembunyikan diri setelah muncul Si Dewa Pedang Yu Tiang Sin yang melabrak mereka di atas perahu pembesar.

   Kini melihat dara remaja yang cantik jelita dan mengaku berjuluk Bayangan Bidadari ini, seketika kambuh penyakitnya dan matanya yang tinggal sebelah itu berkedip-kedip serta bersinar penuh nafsu. Ia sudah meloncat maju dan berkata kepada si mata merah.

   "Twako, serahkan anak ayam ini kepadaku!"

   "Memang dia lebih pantas untukmu. Terkamlah!"

   Kata si mata merah menyeringai dan mundur, ia masih memandang rendah gadis itu serta merasa yakin bahwa adiknya yang telah ahli menghadapi wanita itu bisa menundukkan gadis ini.

   

Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini