Pendekar Cengeng 8
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
Si mata satu maju sampai dekat di depan gadis itu, Sian-li Eng-cu, dara remaja yang cantik dan jenaka itu menggerak-gerakkan cuping hidungnya yang mancung, lalu berkata.
"Ihhh, bau busuk! Kau ini si mata buta, keringatmu bau bangkai, tanda bahwa sebentar lagi engkau akan menjadi bangkai!"
Si mata satu menyeringai, memperlihatkan deretan gigi yang besar-besar dan berwarna kuning di balik bibir membiru.
"Heh-heh, nona muda yang manis! Mau kulihat apa yang kau akan lakukan dan katakan kalau engkau sudah berada di dalam pelukanku, heh-heh!"
Belum habis ucapannya, tiba-tiba si mata satu ini sudah menubruk maju, gerakannya cepat sekali, kedua lengannya dikembangkan, sepuluh jari tangannya juga terbuka dan dengan gerakan gesit ia merangkul leher dan pinggang.
Sesungguhnya gerakannya itu adalah jurus ilmu silat yang bernama Go-houw-po-touw (Macan Lapar Menubruk Kelinci) semacam jurus serangan dengan pukulan bertubi-tubi dari kedua tangan, akan tetapi oleh si mata satu ini dirobah menjadi tubrukan buat menerkam tubuh gadis yang menggairahkan itu.
"Menjijikkan!"
Dara ita berseru marah dan ia hanya menggeser kaki miringkan tubuh saja, gerakan ini cukup membuat si mata satu menubruk tempat kosong.
Dan sebelum si mata satu dapat memperbaiki posisi tubuhnya yang terhuyung ke depan, secara tiba-tiba saja tubuh dara itu berkelebat, meloncat ke atas serta dengan gerakan indah sekali kakinya telah menendang dari atas, ujung sepatunya membuat gerakan menotok yang tepat sekali mengenai jalan darah di tengkuk si mata satu.
"Klokkk!"
Tubuh orang yang gerakannya gesit dan ringan sekali itu sudah melayang turun kembali ke atas tanah dan berdiri sambil bertolak pinggang. Celaka adalah si mata satu. Tiba-tiba saja ia meringis lalu...... menangis. Tak dapat menahan lagi ia, air matanya bercucuran, dan matanya yang masih baik, sedangkan matanya yang sudah rusak hanya bergerak-gerak, demikian mengguguk ia menangis sampai hidungnya pun mengeluarkan air!
Pemandangan ini aneh dan lucu sekali akan tetapi Yu Lee yang tahu diam-diam menjadi kagum. Gadis itu ternyata memiliki ginkang yang mengagumkan dan tingkat kepandaiannya agaknya tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian dua orang murid perempuan Tho-tee-kong Liong Losu! Akan tetapi gadis ini memiliki ginkang tinggi dan sifat ugal-ugalan, nakal sekali dan suka mempermainkan orang!
Buktinya menghadapi si mata satu yang tentu akan mudah ia robohkan itu tadi ia bersusah payah meloncat hanya untuk dapat menotok jalan darah di tengkuk yang mengakibatkan si mata satu itu menangis di luar kehendaknya, dan itupun ia lakukan dengan meloncat karena agaknya gadis itu tidak sudi melakukan totokan dengan tangan melainkan dengan ujung sepatu!
Biarpun serentak tidak dapat menahan akibat dari pada totokan itu, namun karena tubuh si Mata Satu sudah memiliki kekebalan, sebentar saja ia sudah dapat memulihkan diri, ia menjadi marah sekali dan sambil mendengus ia sudah menerjang maju dengan golok di tangan. Lenyaplah kegairahannya untuk memeluk dan mempermainkan gadis itu, berganti kemarahan yang mendatangkan nafsu membunuh.
Goloknya menyambar dengan cepat, menjadi sinar yang memanjang dengan sabetan ke arah leher gadis itu yang hendak dibikin buntung dengan sekali bacokan! Namun gadis itu tersenyum mengejek, ujung kakinya menotol tanah dan tubuhnya melejit ke belakang sehingga golok itu menyambar angin kosong sampai menimbulkan suara berdesing!
"Hi-hi golokmu penyembelih ayam itu perlu apa dipamer-pamerkan ke sini? Tidak akan mampu menyentuh leherku. Nah, kupasang leherku, sembelilah kalau mampu!"
Sambil berkata demikian gadis itu mengulurkan lehernya yang memang panjang sehingga tampak kulit leher yang putih kuning ketika ia menggerakkan kepala menyingkapkan rambut hitamnya. Tampak dara ini sembrono sekali dengan memasang tubuh seperti itu, akan tetapi Yu Lee yang bermata tajam dapat melihat betapa tangan gadis itu merogoh saku.
Hemm, pikirnya. Gadis ini nakal, lincah dan juga bertangan ganas. Ia hanya menonton saja dan kini hatinya lebih lega karena merasa yakin bahwa tidaklah perlu baginya untuk melindungi gadis yang kelihatan semberono namun amat lihai ini.
Si Mata Satu menggereng saking marahnya. Memang tadi serangan goloknya tidak mengenai sasaran akan tetapi kalau gadis itu memasang diri seperti itu dengan tubuh membungkuk, leher diulurkan alangkah akan mudahnya memenggal leher itu dan tanpa memberi kesempatan gadis itu mengelak.
Sinar buas memancar dari sebelah matanya dan dengan geraman seperti seekor harimau kelaparan si Mata Satu itu menubruk maju, mengayun golok dengan gerakan yang kuat dan cepat sekali, memenggal ke arah leher yang putih kuning.
"Mampus kau""!"
"Werrr""
Wessss""
Crotttt!"
"Aduh mati aku""!"
Jeritan ini bukan keluar dari mulut si Dara Jelita, sebaliknya keluar dari mulut si Mata Satu yang goloknya sudah terlepas, tubuhnya terhuyung ke belakang, kedua tangannya mendekap mata kanannya yang bercucuran darah.
Kiranya dalam detik terakhir tadi ketika golok menyambar, dara itu meloncat ke depan lalu membalikkan tubuh, tangannya bergerak melepas sebatang jarum yang dengan tepat menancap mata kanan lawan bahkan terus masuk dalam sekali, kakinya menendang ke arah pergelangan tangan sehingga golok lawan terpental.
Gadis itu berdiri sambil bertolak pinggang tersenyum mengejek kepada si Mata Satu yang kini mengaduh-aduh dan merintih-rintih dan cepat ditolong oleh saudara-saudaranya. Akan tetapi jarum itu menancap terlalu dalam, tidak tampak lagi dan sukarlah menolong nyawa orang itu karena jarum menyelinap memasuki otak dalam kepala.
"Perempuan jahanam, kau harus mengganti nyawa!"
Bentak si mata merah ketika melihat saudaranya itu berkelojotan seperti ayam disembelih. Tujuh orang itu kini sudah merebahkan tubuh si mata satu ke atas tanah masing-masing mencabut golok dan pedang dan mengurung gadis yang masih tersenyum-senyum.
"Ahaa, baru sekarang kalian tidak memandang rendah dan hendak maju mengeroyokku? Bagus, bagus, baik begitu agar aku tidak perlu membuang banyak waktu. Majulah bersama dan matilah bersama. Dunia akan menjadi lebih bersih dan lebih tenteram kalau kalian mampus!"
Yu Lee kembali memandang penuh perhatian. Boleh jadi tingkat kepandaian tujuh orang itu lebih rendah akan tetapi kalau mereka maju mengeroyok dan kalau gadis itu masih bersikap sembrono seperti tadi, ada bahayanya juga. Maka kini ia lalu duduk di atas tanah, dekat gundukan tanah kuburan keluarganya, menonton dan tangannya mempermainkan tanah tanah kering. Ia melihat betapa tujuh orang laki-laki kasar itu mengurung si gadis, senjata mereka berkilauan saking tajamnya.
Gadis itu masih berdiri enak-enak di tengah, senyumnya mengejek, matanya mengerling ke kanan ke kiri mengikuti gerakan mereka, tangan kiri mendekati saku baju di mana tersimpan jarum-jarumnya, tangan kanan meraba pedang yang tergantung di pinggang. Cantik jelita dan gagah perkasa tampaknya, dan hati Yu Lee makin terpikat dan kagum.
Banyak sudah ia bertemu dengan wanita-wanita cantik jelita, bahkan pernah dirayu seorang wanita cantik sekali seperti Dewi Suling, pernah pula melihat dua orang dara jelita, murid Tho-tee-kong Liong Losu, yang selain gagah perkasa juga muda remaja dan cantik jelita, bahkan melihat mereka dalam keadaan telanjang bulat ketika menolong mereka. Namun, belum pernah ia merasa hatinya terbetot seperti saat ini oleh gadis yang lincah jenaka dan ugal-ugalan yang mengaku berjuluk Sian-li Eng-cu itu.
Si mata merah berseru keras dan ini merupakan aba-aba agaknya bagi saudara-saudaranya, karena serentak mereka bertujuh itu maju menerjang dengan senjata mereka mengeroyok gadis itu, kembali Yu Lee kagum dalam hatinya.
Gadis itu benar-benar memiliki ginkang yang hebat. Tubuhnya yang ramping itu bergerak cepat sekali, melebihi daripada kecepatan gerakan senjata lawan berkelebatan ke kanan kiri. Seolah-olah gerakan seekor burung walet, menyelinap diantara sambaran senjata, mengelak ke kanan kiri, menyepak pergelangan tangan lawan.
Dan di lain saat tangan kanannya indah memegang sebatang pedang yang berkilauan putih dan ternyata pedangnya itu adalah pedang perak seperti juga jarum-jarumnya. Pedang itu putih mulus dan bersih sehingga waktu dimainkan, berubahlah menjadi gundukan sinar putih menyilaukan mata.
Yu Lee menyaksikan ilmu pedang Kun-lun-kiam-hoat yang amat indah dan cepat. Ia mengenal ilmu pedang ini dan diam-diam ia harus mengakui bahwa gadis ini telah mendapat latihan serta didikan seorang tokoh Kun-lun-pai yang pandai.
Gerakannya indah seperti orang menari, cepat seperti kilat menyambar. Hatinya kembali lega sebab jangankan baru dikeroyok tujuh orang itu, biar ditambah tujuh orang lagi, ia tidak perlu mengkhawatirkan keadaan gadis itu.
Betul saja dugaannya, terdengar suara berkerontangan serta teriakan mengaduh ketika gadis itu memutar pedang dan membalas serangan. Kemana saja pedangnya berkelebat, pasti senjata lain terpental serta darah muncrat. Juga tangan kirinya bergerak dan sinar-sinar putih jarumnya meluncur ke sana sini. Teriakan mengaduh makin riuh disusul robohnya tujuh orang itu yang mengaduh-aduh.
Pedang di tangan gadis itu lalu berkelebat menyambar ke arah delapan orang yang sudah roboh. Yu Lee kaget sekali dan mencela di dalam hatinya ketika melihat betapa pedang itu telah menyambar serta dalam sekejap mata telah membuntungi delapan buah telinga para bajak itu!
"Masih tidak lekas pergi dari sini? Menanti Sian-li Eng-cu memenggal leher kalian?"
Gadis itu mengancam sambil memutar-mutar pedangnya. Walaupun pedang itu telah membuntungi delapan buah daun telinga serta melukai pundak, lengan dan paha, tetapi sedikit pun tidak terkena darah!
Keadaan delapan orang itu amat menyedihkan. Semua terluka serta si mata satu tadi masih berkelojotan dalam sekarat. Tiga orang lagi menderita luka berat dan juga berkelojotan.
Empat orang yang juga terluka, masih bisa bergerak. Mereka ini sambil merintih-rintih lalu membantu saudara-saudaranya yang tak bisa berjalan sendiri, masing-masing memondong seorang kawan kemudian tanpa pamit mereka pergi dari tempat itu setelah memungut delapan buah daun telinga yang buntung. Karena mereka itu takut kalau kalau si nona ganas mengejar, empat orang itu menahan sakit serta terus lari sehingga dalam waktu cepat mereka sudah tidak tampak lagi.
"Kau ganas sekali, nona......!"
Gadis yang baru saja memasukkan pedangnya ambil tersenyum puas itu membalikkan tubuhnya melihat kepada Yu Lee yang masih duduk dengan mata terbelalak, mulutnya lalu cemberut serta pipinya merah. Telunjuk kirinya menuding ke arah Yu Lee ketika ia memaki dengan kata-kata ketus.
"Engkau ini bekas pelayan macam apa? Tadi bersikap seperti seorang pelayan setia, sekarang ada orang membela nama baik dari kuburan keluarga majikanmu malah kau mencela! Hayo jawab apa itu pringas pringis kaya monyet? Kenapa kau sebut aku ganas?"
Yu Lee menjadi merah mukanya, merah sampai ke telinganya. Baru sekali inilah ia dimaki-maki oleh seorang gadis, akan tetapi tidak menimbulkan marah di hatinya, hanya menimbulkan rasa malu. Akan tetapi, di lubuk hatinya ia memang tidak puas melihat keganasan gadis itu, maka ia menjawab.
"Aku...... aku merasa ngeri melihat kau membuntungi daun telinga mereka tadi. Setelah mereka kalah, apakah masih perlu dibuntungi daun telinga mereka?"
"Huhh, kau bujang tahu apa? Baru dibuntungi daun telinganya mereka itu masih untung besar! Coba kalau bertemu pendekar lain, umpamanya Pendekar Cengeng, tentu mereka itu bukan hanya daun telinganya yang buntung, melainkan lehernya!"
Yu Lee terbelalak saking herannya, mendengar disebutnya nama Pendekar Cengeng. Karena nama itu adalah dia sendiri.
"Pendekar Cengeng......? Kenalkah nona kepadanya?"
Gadis itu menggeleng kepala serta bibirnya dilebarkan menghina.
"Perlu apa mengenal seorang suka menangis? Biar dia seorang pendekar, kalau cengeng sungguh tidak patut. Tetapi aku memang mencari dia! Eh, kau ini pelayan keluarga Yu, tentu tahu dia. Bukankah Pendekar Cengeng yang suka membantu orang yang tertindas itu cucu mendiang Yu-locianpwe (orang tua gagah she Yu) satu-satunya keluarga yang terbebas daripada maut ketika Hek-siauw Kui-bo membasmi keluarga Yu-locianpwe?"
Yu Lee makin heran. Gadis ini, semuda itu sudah banyak pengetahuannya, bahkan tahu pula akan keluarganya. Ia mengangguk,
"Memang betul nona. Akan tetapi mengapa nona mencari, Yu-kongcu (tuan muda Yu)?"
"Bocah cengeng itu sombong sekali, malang melintang di dunia kang-ouw tidak memandang mata kepada orang lain, aku hendak mencarinya dan menantangnya bertanding!"
"Kenapa? Apa kesalahannya?"
"Ihh, kau ini cerewet benar! Dan tidak tahu terima kasih, tahukah kau bahwa kalau tidak ada aku tadi, kau sudah mampus di tangannya Tung-hai Pat-ong. Dan kuburan majikanmu ini sudah dibongkar, tulangnya dihancurkan? Dan kau sepatah katapun tidak pernah berterima kasih kepadaku!"
Yu Lee cepat-cepat bangkit lalu menjura ke arah gadis itu.
"Ah, maafkan aku nona. Aku menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu tadi sehingga sampai detik ini, aku masih hidup dan kuburan ini tidak dibongkar orang."
"Cih! Beginikah sopan santun seorang bekas pelayan, keluarga Yu? Hemm, Yu-locianpwe masih hidup dan melihat sikapmu ini, tentu kau akan digampar dan nantinya dipecat dengan tidak hormat tanpa mendapat pesangon!"
Yu Lee teringat bahwa kini sedang bermain sebagai pelayan, maka untuk menyesuaikan diri ia berlutut, mengangguk-angguk dan minta maaf serta menghaturkan terima kasih. Heran sekali dia. Biarpun ini hanya merupakan permainan sandiwara baginya, namun hatinya merasa tulus iklas biarpun ia harus berlutut seperti itu!
"Nah, begitu baru tahu peraturan dan sopan santun namanya. Eh, pelayan, kau ketahuilah bahwa antara majikanmu yang tua Yu-locianpwe dan kakekku terdapat persahabatan maka engkau harus menganggap aku sebagai seorang nona majikan pula. Akupun menganggap kau sebagai pelayan keluargaku sendiri, maka aku tadi tidak ragu-ragu untuk menolongmu. Dan sekarang, aku berbalik ingin minta pertolongan darimu."
"Tentu saja saya bersedia melakukan perintah nona, akan tetapi saya hanya seorang pelayan biasa, dapat menolong apakah?"
Gadis itu lalu duduk di atas sebuah batu di depan gundukan tanah kuburan. Sikapnya bebas duduknya juga bebas seperti seorang laki-laki saja.
"Kau duduklah dan dengarkan aku!"
Ia memandang wajah Yu Lee penuh perhatian kemudian ia mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan hitam sekali.
"Kau tentu masih kecil ketika keluarga Yo dibasmi musuhnya. Selama belasan tahun itu, kau menjadi apa dan berada di mana?"
Pertanyaan yang tiba-tiba itu membuat Yu Lee gugup juga sehingga sejenak ia tidak mampu menjawab, hanya memandang wajah yang semakin lama makin cantik baginya itu.
"Eh, kau memandang apa?"
Bentak nona itu.
"Anu...... eh, anu...... memandang nona."
"Kau mau kurang ajar, ya?"
"Eh, tidak sama sekali. Bagaimana saya berani? Dan kalau tidak memandang kepada nona, bagaimana saya dapat diajak bicara?"
Gadis itu menggerak-gerakkan alisnya, menimbang-nimbang lalu tersenyum.
"Betul juga kau. Kukira tadi pandang matamu kurang ajar seperti pandangan mata si Mata Satu tadi. Nah, kau belum menjawab pertanyaanku."
Semenjak itu, Yu Lee sudah dapat menenangkan hatinya dan sudah dapat mencari akal untuk menjawab.
"Selama ini saya menjadi petani di dusun, nona. Hari ini kebetulan hari ulang tahun kematian keluarga majikan saya, maka karena teringat akan budi mereka terhadap orang tua saya dan saya, maka saya datang untuk sekedar memberi hormat."
"Hemm, bagus. Kau mengenal budi. Apakah kau bisa membaca? Ataukah buta huruf?"
Pertanyaan aneh-aneh, pikir Yu Lee yang mengangguk.
"Sedikit-sedikit saya bisa nona."
"Baik, aku tidak senang kalau kau buta huruf, akan menambah kebodohanmu dan tentu akan menjengkelkan saja. Kau bilang tadi bahwa kau tahu akan Pendekar Cengeng. Betulkah?"
Yu Lee mengangguk.
"Dan akan mengenalnya kalau bertemu dengannya?"
Kembali Yu Lee mengangguk sambil menelan ludah. Ia tidak biasa membohong, maka ia pilih lebih baik tidak berkata apa-apa. Kalau hanya membohong dengan kata mengangguk itu mudah.
"Bagus, mulai sekarang biarlah kau menjadi pelayanku. Kau bisa mengurus kuda, kan? Nah, baik, kau kuberi gaji secukupnya, makan dan pakaian akan kuberi jangan takut kekurangan. Aku perlu bantuanmu mencari Pendekar Cengeng, kalau sudah bertemu dengannya, kau berhenti menjadi pelayanku. Bagaimana, maukah kau membantu sebagai balasan pertolonganku tadi?"
Hebat! Bocah ini benar-benar pintar sekali, banyak akalnya serta bisa mempengaruhi hati orang, pikir Yu Lee. Entah puteri siapa dia ini. Heran dia mengapa ayah bunda anak ini membiarkannya terlepas seorang diri. Dia mirip seekor kuda betina liar yang sekali terlepas lalu menjadi binal dan ugal-ugalan. Akan tetapi seekor kuda betina yang hebat. Tak mungkin ia menolak. Menjadi pelayan pun jadilah asalkan bisa berdekatan dan dapat melihat sinar mata serta senyumnya setiap hari. Ah, aku sudah menjadi gila, pikir Yu Lee.
"Heee! Hayo jawab! Melamun apa lagi!"
Tangan gadis itu menyambar dan......
"plak!"
Pundaknya telah ditampar.
Yu Lee marasa betapa tangan gadis itu mengandung tenaga sinkang, maka ia tahu gadis itu tidak hanya sembarang menegur, tetapi juga mengujinya. Mungkin gadis itu ragu-ragu serta curiga, karena sebagai bekas pelayan keluarga jagoan, mungkin dia sendiripun mempelajari ilmu silat.
"Aduh......! Nona, kenapa nona memukul saya......?"
Yu Lee membuat gerakan wajar, terjengkang lalu roboh, serta mengaduh-aduh memegangi pundaknya yang tertampar tadi.
Gadis itu tersenyum. Lega hatinya bahwa pelayan ini tidak mengerti ilmu silat.
"Kalau lain kali kau tidak cepat menurut perintahku, baru akan kupukul betul-betul. Tadi cuma tamparan pelan saja. Nah lekas jawab, mau atau tidak engkau menjadi pelayanku dan membantuku mencari Pendekar Cengeng!"
Yu Lee cemberut.
"Mau sih mau akan tetapi nona jangan bersikap terlalu galak terhadap saya."
"Aku tidak biasa bersikap galak terhadap pelayan, akan tetapi aku belum pernah mempunyai pelayan setolol engkau ini. Eh, siapa namamu?"
Ditanya namanya, Yu Lee bingung. Ia tidak biasa membohong dan kalau saja nona ini tidak lagi mencari Pendekar Cengeng untuk diajak bertanding tentu ia pun mengakui terus terang bahwa dialah si Pendekar Cengeng. Akan tetapi untuk pergi begitu saja meninggalkan nona ini, tak mungkin dapat ia lakukan karena seluruh perasaan hatinya memaksa untuk selalu berdekatan dengan nona ini. Terpaksa ia harus mencari nama dan teringatlah ia akan nama seorang pelayan cilik keluarganya yang dahulu juga ikut terbunuh, yaitu A-liok. Maka cepat berkata menjawab.
"Nama saya A-liok, nona."
"Hemm, itu nama singkatan, nama lengkapmu siapa, A-liok?"
"Saya tidak tahu nona. Dahulu semua keluarga majikan saya menyebut saya, A-liok. Dan siapakah nama siocia (nona)?"
Nona itu menggerakkan alisnya, matanya mengerling tajam bibirnya cemberut. Mati aku, pikir Yu Lee yang merasa seakan-akan jantungnya tertusuk. Begitu cantik menariknya nona ini kalau sudah marah-marah seperti itu.
"Eh, mau apa kau tanya tanya namaku segala?"
Nona itu membentak.
Sambil memandang wajah nona itu penuh kagum Yu Lee menjawab.
"Setelah menjadi pelayan nona, saya harus mengetahui nama nona. Bagaimana kalau ada orang bertanya siapa nona. Bagaimana kalau ada orang bertanya siapa nama nona majikan saya? Apakah saya harus menjawab tidak tahu?"
"Hemm, kau betul juga A-liok. Namaku Siok Lan, she Liem. Akan tetapi aku lebih terkenal dengan Sian-li Eng-cu."
Liem Siok Lan! Sebuah nama yang indah bagi Yu Lee serta sekaligus nama ini terukir di dalam hatinya. Dia tersenyum di dalam hati, nona ini begitu bangga akan nama julukannya, bangga akan ilmu silatnya sehingga menganggap seolah-olah diri sendiri terpandai di dunia kang-ouw. Hemm, seorang bocah dengan kepala kosong seperti ini dibiarkan saja berkelana seorang diri, sungguh berbahaya! Tidak mengenal tingginya langit dalamnya lautan. Perlu sekali dilindungi dan dijaga, kalau tidak tentu akan terjerumus dalam bahaya dalam waktu dekat.
"Kalau begitu marilah kita berangkat siocia."
"Kau ambilkan dulu kudaku, tadi kuikat di sebuah pohon di sana!"
Siok Lan menunjuk ke selatan di mana terdapat segerombolan pohon dan Yu Lee berjalan ke arah yang ditunjuk melaksanakan perintah.
Dari belakangnya, Siok Lan memandang. Memang hebat keluarga Yu, pikirnya, seorang bujang saja begini tampan dan bagus gerak geriknya, dengan bentuk tubuh yang jantan. Sayang ia bodoh, pikirnya lagi. Akan tetapi tentu saja bodoh, kalau pintar masa menjadi pelayan?
Lamunannya buyar ketika pelayannya itu datang, sambil menuntun kudanya. Dengan gerakan ringan dia melompat naik ke punggung kudanya, lalu berkata.
"Hayo kita berangkat."
"Ke mana nona?"
"Ke mana lagi kalau tidak mencari Pendekar Cengeng? Kau tahu dimana ia sekarang ini?"
Aku harus mengarang cerita, pikir Yu Lee, agar dia percaya dan mereka dapat terus berkumpul dan melakukan perjalanan bersama.
"Saya pernah bertemu dengan Yu-kongcu dan dia pernah bilang bahwa dia ingin merantau ke kota raja. Sebaiknya kita menyusul ke kota raja dan karena namanya sudah terkenal tentu kita dapat bertanya-tanya sepanjang jalan!"
"Hemm benar juga pendapatmu itu. Akan tetapi kota raja amatlah jauh!"
"Nona menunggang kuda, tentu tidak akan lelah."
"Hemm""
Marilah!"
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nona itu tentu saja tidak menyatakan isi hatinya yang membuatnya meragu. Biarpun orang muda ini menjadi pelayannya namun keadaan orang muda ini terlalu tampan untuk menjadi pelayan! Siapa tahu, jangan-jangan orang-orang di jalan mengira bahwa pemuda ini bukan pelayannya, tetapi sahabatnya atau lebih celaka lagi, sebagai suaminya atau tunangannya! Inilah yang membuat ia tadi ragu-ragu karena kalau harus melakukan perjalanan ke kota raja yang jauh tentu makan waktu yang cakup lama.
"Eh, nona......? Jangan cepat-cepat...... nona, mana mungkin saya dapat menyusul larinya kuda?"
Yu Lee berteriak-teriak ketika nona itu mempercepat kudanya.
Siok Lan menoleh dan menghela napas panjang. Wah, berabe juga mempunyai pelayan, pikirnya. Kalau dia harus melakukan perjalanan yang lambat hanya demi untuk mencegah pelayannya ketinggalan ini berarti dialah yang harus melayani si pelayan! Ah apa perlunya ini? Dan diapun hanya membutuhkan A-liok untuk mengenal dan mencari Pendekar Cengeng.
Dia sudah bertanya-tanya dan orang-orang kang-ouw sudah pula mendengar nama Pendekar Cengeng sebagai seorang pendekar muda yang baru muncul, akan tetapi tidak seorang pun tahu di mana adanya si pendekar itu, dan ia mendengar pula bahwa sukar untuk mengenal si pendekar muda karena pendekar itu tidak pernah menonjolkan diri bahkan lalu bersembunyi dari dunia kang-ouw. Maka ia mengambil A-liok sebagai pelayan untuk membantunya, akan tetapi siapa duga bahwa risikonya malah berat.
Baru dalam perjalanan saja ia harus menjalankan kudanya perlahan-lahan agar si pelayan tidak ketinggalan.
"Aku akan jalan dulu ke dusun depan. Biar kutunggu engkau di sana, kau jalanlah lebih cepat!"
Teriaknya sambil menoleh lalu membalapkan kudanya ke depan.
Ia akan menjadi kesal setengah mati kalau harus menjalankan kudanya perlahan-lahan, mengimbangi si pelayan yang berjalan kaki begitu lambat! Akan tetapi, sejam kemudian Siok Lan menghentikan kudanya termangu-mangu di atas kuda. Ah, ia telah bersikap keterlaluan. Pelayan itu harus berjalan menyusulnya dan tentu saja tertinggal jauh. Entah mengapa, membayangkan wajah pelayan itu timbul rasa kasihan di hatinya, padahal kalau berhadapan ia ingin memperlihatkan kekuasaan dan kegalakannya!
Biar kutunggu dia di sini, pikirnya dan iapun melompat turun dan duduk di bawah pohon yang teduh. Akan tetapi, alangkah herannya ketika ia menengok, ia melihat bayangan si pelayan itu melenggang!
Keheranan hati Siok Lan tidak melawan kekagetan Yu Lee, ketika di tikungan itu ia melihat si nona duduk menantinya! Hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya.
Ia mengira bahwa gadis itu benar-benar meninggalkannya sampai ke dusun di depan, maka tadi karena tidak ingin tertinggal jauh dan ingin mengamat-amati sang nona itu dari dekat, maka ia telah mempergunakan ilmu lari cepat mengejar. Siapa kira gadis itu kini berhenti di situ dan menantinya! Sebab tidak menduga maka ia terlihat di tikungan dan sudah kepergok.
Tetapi lalu ia mencari akal, ia berpura-pura lari terhuyung-huyung napasnya terengah-engah serta begitu tiba di depan nona itu, ia lalu menjatuhkan diri kelelahan.
"Waduh....... siocia...... bisa putus napas ku kalau begini......."
Ia terengah engah.
"A-liok, kenapa kau berlari-lari?"
"Habis, nona membalapkan kuda. Saya tidak mau tertinggal jauh. Namanya saja pelayan, tentu harus selalu mengiringkan majikannya. Masa harus melakukan perjalanan terpisah?"
"Salahmu sendiri!"
Yu Lee mengangkat sepasang alisnya yang hitam tebal, memandang heran.
"Lho! Salah aku sendiri bagaimana nona?"
"Kau tidak seperti pelayan ...... eh, ku maksud...... tidak patut menjadi pelayanku."
Yu Lee melirik ke arah pakaiannya. Pakaiannya memang sudah sederhana, cukup patut menjadi pelayan.
"Mengapa tidak patut, nona? Memang saya pelayan."
"Tidak, engkau lebih pantas menjadi seorang perantau, malah""
Hemm...... kau membawa tongkat bambu, seperti pengemis muda!"
"Ahhh ini? Sesungguhnya saya...... amat takut terhadap anjing, nona. Apalagi anjing kelaparan dan anjing gila. Kabarnya orang bisa gila kalau terkena gigit anjing gila, bisa gila seperti anjing. Mengerikan sekali, sebab itu saya bawa tongkat ini buat menjaga diri untuk mengusir kalau kalau ada anjing mau menggigit."
"Huh, setelah menjadi pelayanku, masa terhadap anjing saja takut? Memalukan majikan itu namanya merendahkan nama besar Sian-li Eng-cu!"
Gadis itu cemberut, agaknya tidak puas mendengar betapa pelayannya ini amat penakut.
Yu Lee diam-diam tersenyum.
"Kalau dekat dengan nona yang saya tahu amat lihai tentu saya tidak takut. Biarlah say"
Menuntun kuda nona jadi saya selalu dapat berdekatan serta tidak takut lagi digigit anjing, juga lebih patut kalau terlihat orang!"
"Akan tetapi perjalanan menjadi lambat sekali."
Memang itu yang dikehendaki Yu Lee.
"Mengapa nona tergesa-gesa? Bukankah kita mencari orang? Kalau tergesa-gesa, siapa tahu orang itu justeru berada di tempat yang telah kita lewati?"
Siok Lan mengerutkan keningnya lalu bangkit berdiri.
"Hemm, betul juga. Marilah kita berangkat lagi."
Girang hati Yu Lee. Sudah tiga kali nona itu membenarkan pendapatnya serta menurut. Biarpun galak kelihatannya, tetapi sebetulnya nona ini punya pendirian yang adil, suka mendengar kata dan tidak membawa maunya sendiri. Sifat seperti ini adalah sifat yang baik sekali, sebab memperlihatkan watak yang bijaksana mau menurut kata-kata orang lain biarpun orang itu cuma pelayan atau bujangnya.
Berangkatlah mereka. Siok Lan duduk di atas kudanya. Yu Lee berjalan di depan kuda, menuntun kuda itu. Mula-mula Siok Lan yang keisengan mengajaknya bercakap-cakap bertanya soal keluarga Yu. Bahkan bertanya tentang nama Pendekar Cengeng.
"Kau tentu tahu, siapakah nama cucu Yu-locianpwe yang kini menjadi Pendekar Cengeng itu, A-liok?"
Sambil tetap menuntun kuda tanpa menoleh agar nona itu tidak melihat perubahan pada wajahnya. Yu Lee menjawab.
"Yu-kongcu itu namanya Lee."
"Bagaimana dia dahulu bisa terbebas dari tangan Hek-siauw Kui-bo. Dan engkau sendiri bagaimana bisa bebas? Bukankah Hek-siauw Kui-bo membasmi seluruh keluarga itu berikut semua binatang peliharaan yang berada di situ?"
"Waktu itu, kebetulan sekali saya pulang ke kampung, nona. Dan ketika keesokan harinya saya kembali ke Ki-bun mereka telah tewas semua, kecuali Yu-kongcu yang entah pergi ke mana tak seorangpun mengetahuinya. Saya sendiri juga tidak tahu serta tidak bisa menduga, lalu saya hidup sebagai petani di kampung dan setahun sekali saya mendatangi Ki-bun buat bersembahyang di kuburan. Tahun lalu saya bertemu dengan Yu-kongcu di kuburan......."
"Bagaimana dia? Betul-betul lihaikah? Mana lebih lihai antara dia dan aku?"
"Bagaimana saya bisa tahu nona? Akan tetapi, melihat betapa nona tadi memukul delapan orang penjahat, pasti nona lebih lihai dari dia."
Girang hati Siok Lan mendengar ini, tersenyum-senyum wajahnya berseri-seri sehingga geli hati Yu Lee ketika menengok dan mengerling ke arah wajah yang manis itu.
"Nona yang amat lihai benar-benar membuat saya heran. Seorang nona masih begini muda sudah memiliki kepandaian yang mengalahkan delapan orang kepala bajak, kalau tidak menyaksikan sendiri, mana bisa saya percaya? Tentu nona ini murid seorang yang sakti seperti dewa dan yang kepandaiannya agaknya lebih tinggi dari pada mendiang Yu-kiam-sian sendiri!"
Pancingan Yu Lee ini berhasil baik sekali. Dengan penuh semangat, tanpa ia sadari bahwa ia telah menceritakan riwayatnya kepada pelayannya, Siok Lan lalu berkata.
"Guruku adalah kakekku sendiri yang bernama Liem Kwat Ek dan yang terkenal dengan julukan Thian-te Sin-kiam (Pedang Sakti Bumi Langit)."
"Wah, seorang jago pedang seperti mendiang Yu-kiam-sian!"
Seru Yu Lee diluar kesadarannya. Untung ia masih ingat untuk menyebut Yu Tiang Sin dengan julukannya, kalau lupa menyebut kakek tentu akan terbuka rahasianya.
"Memang! Kakekku seorang jago pedang yang amat ternama sekali di San-si. Kakekku di San-si dan majikanmu di Ki-bun seperti sepasang bintang di utara dan di selatan sama cemerlang dan kalau mau diadakan pertandingan sungguh susah dikatakan. Ditimbang sama beratnya, diukur sama besarnya! Akan tetapi di antara mereka tidak pernah terjadi permusuhan maka sukar diketahui siapa yang lebih lihai. Bahkan mereka menjadi sahabat baik, sahabat seperjuangan menentang pemerintah penjajah Goan. Sejak kecil aku dilatih ayah sendiri yang bernama Liem Swie dan kini masih tinggal di San-si akan tetapi selama lima tahun terakhir ini aku dilatih sendiri oleh kakekku yang menurunkan ilmu simpanannya kepadaku seorang."
"Wah, pantas saja nona begini lihai!"
Siok Lan semakin berseri wajahnya. Biarpun yang memujinya hanyalah seorang pelayan namun bukanlah sembarang pelayan, melainkan bekas pelayan Yu-kiam-sian!
"Kalau tidak lihai, masa dunia kang-ouw menyebutku Sian-li Eng-cu? Sebaliknya bekas majikanmu itu, biarpun menjadi pendekar, disebut Pendekar Cengeng? Uh memalukan sekali! Ingin kucoba sampai di mana sih kepandaiannya maka ia begitu sombong!"
Diam-diam Yu Lee merasa penasaran sekali. Nona iai sudah dua kali mengatakan bahwa Pendekar Cengeng sombong. Apa sih sombongnya dan mengapa? Bukankah menurut nona ini sendiri tadi bahwa terdapat persahabatan erat, bahkan sahabat seperjuangan antara pendekar Yu-kiam-sian dan kakek nona ini? Mengapa nona ini mencari Pendekar Cengeng dan hendak menantangnya dengan sikap kelihatan marah dan membenci?
"Nona, maafkan pertanyaanku. Mengapa nona membenci Pendekar Cengeng? Apakah kesalahannya terhadap nona, padahal diantara Yu-kongcu dan nona tidak pernah ada hubungan, bahkan tak pernah saling jumpa!"
"Apa? Engkau hendak berpihak kepadanya?"
"Wah...... tidak sama sekali nona. Hanya ingin tahu belaka......"
(Lanjut ke Jilid 10)
Pendekar Cengeng (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 10
"Hemm, kau pelayan tahu apa? Dia telah menghina keluargaku tidak memandang sebelah mata. Ia sombong."
Yu Lee semakin terheran-heran, akan tetapi tidak berani mendesak bertanya. Sementara itu Siok Lan juga sadar kini bahwa ia telah bicara terlalu banyak dengan pelayannya ini sehingga ia telah menuturkan keadaan dirinya. Hal ini menimbulkan kejengkelannya dan ia menghardik.
"Kau cerewet benar sih! Hayo jalan lebih cepat. Perutku sudah lapar dan hari sudah hampir gelap. Itu di depan ada dusun, kita berhenti dan makan di sana. Syukur kalau ada, aku akan membeli seekor kuda untukmu agar perjalanan kita dapat lebih cepat lagi."
"Saya rasa tidak perlu membeli kuda, nona. Bahkan kuda nona ini pun dalam waktu tiga hari lagi lebih baik dijual saja."
Saking kaget dan heran bercampur marah, Siok Lan menghentikan kudanya dengan tiba-tiba.
"Eh, kau bilang apa tadi?"
Ia mengangkat cambuknya dan mengancam hendak memukul.
"Wah, wah, jangan pukul nona. Maksud saya baik, harap nona dengarkan dengan sabar. Kita menuju ke kota raja, bukan? Apakah nona pernah pergi ke kota raja?"
Siok Lan yang masih marah, hanya menggelengkan kepadanya. Makin jengkel dia karena pertanyaan itu malah membuktikan bahwa ia kurang pengalaman, belum pernah ke kota raja!
"Nah, kalau nona belum pernah ke sana, saya sudah pernah! Karena itu saja lebih mengetahui jalan. Sebab itu pula, tadi saya katakan dalam waktu tiga hari, terpaksa kuda nona ini harus dijual sebab dalam waktu tiga hari kita akan tiba di kota Kai-feng dan seterusnya dari situ kita berlayar naik perahu sepanjang Sungai Huang-ho ke timur laut, terus sampai ke teluk Po-hai. Dari sana barulah mendarat dan melanjutkan perjalanan melalui pesisir ke utara sampai ke kota raja. Perjalanan ini selain lebih cepat, juga lebih indah menarik dengan pemandangan-pemandangan alam yang hebat sekali. Nona pasti akan senang melihat pemandangan-pemandangan indah dari tamasya alam sepanjang sungai dan laut."
Bibir yang merah basah itu berjebi.
"Hem aku bukan mau pesiar denganmu!"
"Bukan pesiar, tetapi mencari Pendekar Cengeng dan perjalanan itu jauh lebih cepat serta tidak melelahkan. Hanya sayang...... dan saya sendiri lebih senang melakukan perjalanan melalui darat yang melelahkan dan jauh karena perjalanan melalui Sungai Huang-ho ini penuh bahaya maut!"
Kembali Siok Lan terkena pancingan Yu Lee yang cerdik serta mengetahui wataknya dengan baik.
"Bahaya apa?"
"Pelayaran melalui Sungai Huang-ho penuh dengan bahaya serbuan kaum bajak sungai, belum lagi para perampok serta penjahat. Apa lagi pada saat ini pemerintah sedang membangun terusan Sungai Huang-ho sampai ke kota raja, maka kabarnya keadaan makin tidak aman. Laki-laki muda yang lewat suka diculik oleh para serdadu dan dipaksa bekerja di terusan itu sampai mati. Wanita-wanita muda jaga diculik untuk para perwira pasukan yang menjaga pekerjaan terusan itu. Sebetulnya saya tidak berani melakukan perjalanan lewat di situ, hanya mengandalkan kelihaian pedang nona. Akan tetapi kalau nona juga merasa takut, lebih baik......"
"Apa?? Aku....... takut......?? Jangan ngaco belo kau, ya? Kaulihat saja nanti, kubasmi semua penjahat yang menghalang di jalan. Biarlah mereka tahu bahwa Sian-li Eng-cu tak boleh dibuat main-main dan jalan menuju ke kota raja akan menjadi bersih daripada pangguan penjahat setelah aku lewat. Kita jalan melalui Sungai Huang-ho!"
"Dan kuda ini akan dijual nanti di Kai-feng nona?"
Yu Lee menuntun kuda itu serta melanjutkan perjalanan menuju ke dusun yang sudah tampak di depan. Diam-diam ia tersenyum.
Apa yang dikatakan Yu Lee kepada Siok Lan perihal penggalian terusan itu memang betul bukan sekedar cuma pancingan belaka agar si nona mau melanjutkan perjalanan melalui Sungai Huang-ho. Pada waktu itu, Kaisar Kubilai Khan yang memerintah kerajaan Goan, melihat perlunya diadakan perhubungan yang baik sekali ke selatan demi lancarnya pengiriman barang terutama bahan makanan. Bahan makanan terutama beras terdapat banyak sekali di lembah Sungai Yang-ce, maka untuk melancarkan pengangkutan bahan makanan ke kota raja, kaisar memerintahkan untuk menggali terusan dari Sungai Huang-ho ke kota raja.
Terusan antara Yang-ce dengan Huang-ho memang sudah ada, yaitu peninggalan dari jaman kerajaan Sui dan Sung dahulu. Seperti juga ketika diadakan penggalian terusan di jaman Sui dan Sung itu kini kerajaan Goan, apalagi sebagai kerajaan penjajah, rakyatlah yang menjadi korban.
Buat pekerjaan menggali terusan sampai ke kota raja ini memerlukan banyak sekali tenaga manusia. Dan buat memenuhi kebutuhan ini para petugas serta pembesar, demi melaksanakan perintah kaisar melakukan paksaan kepada rakyat.
Laksaan rakyat dan ratusan ribu petani dipaksa meninggalkan sawah ladang serta keluarganya buat dipekerjakan dalam penggalian ini.
Mereka dipaksa bekerja melebihi kuda beratnya serta tidak mendapat jaminan selayaknya sehingga banyak sekali diantara mereka meninggal dalam kerja paksa itu. Kalau sudah mati dikubur sejadinya di tepi sungai.
Bagaimana dengan sawah ladang mereka di dusun? Ada yang "membereskannya", yaitu para tuan tanah yang menjadi raja-raja kecil di setiap dusun. Bukan hanya sawah ladang yang dirampas, tetapi juga isteri muda yang cantik dan anak-anak gadis remaja dirampas buat dipaksa menjadi selir oleh tuan tanah dan kaki tangannya. Anak lelaki otomatis menjadi buruh tani yang nasibnya tidak lebih dari pada budak belian.
Kebencian rakyat terhadap pemerintah penjajah dan "raja kecil"
Di dusun, kehidupan rakyat yang morat marit, dendam yang bertumpuk-tumpuk, semua ini tentu saja menimbulkan akibat yang sangat tidak baik. Kekacauan, timbullah pemberontak-pemberontak kecil-kecilan dalam bentuk gerombolan-gerombolan yang mengganggu keamanan.
Rakyat pula yang makin menderita. Di satu pihak takut kepada tangan-tangan kejam pemerintah yang setiap saat siap untuk menciduk mereka untuk dijadikan pekerja paksa, di lain pihak takut kepada gerombolan-gerombolan yang menjadi pengganggu siapa saja tanpa mengenal hukum.
Dan dalam keadaan jaman seperti itulah Yu Lee melakukan perjalanan bersama Siok Lan bahkan mendekati daerah "angker, daerah gawat karena pelayaran melalui Sungai Huang-ho itu akan melewati terusan yang kini sedang dilanjutkan penggaliannya menuju ke utara, ke kota raja!
Dua hari kemudian, mereka telah tiba di luar kota Kai-feng, kota besar bekas kota raja yang amat ramai yang terletak di lembah Sungai Huang-ho ini.
Yu Lee masih berjalan menuntun kuda, pakaian dan mukanya penuh debu dan keringat, sehingga kini ia agak patut menjadi pelayan Siok Lan duduk di atas pelana kudanya, melenggut dan mengantuk karena hawa amat panasnya di siang hari itu, apalagi musim kering membuat jalan berdebu.
Karena kudanya dituntun sehingga ia tidak perlu memperhatikan jalan lagi. Siok Lan menjadi mengantuk dan tidur ayam sambil duduk di atas punggung kuda
"Nona yang mulia mohon sudi membantu!"
Siok Lan membuka matanya memandang ke depan. Ternyata di pinggir jalan itu berdiri seorang pengemis penuh tambalan, memegang tongkat yang dipakai bersandar dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya memegang sebuah mangkok retak.
Dari rambutnya yang panjang awut-awutan sampai kakinya yang telanjang dan pakaiannya yang butut, jelas dia seorang pengemis biasa, akan tetapi anehnya, pengemis yang berpakaian butut itu memakai sabuk merah yang melibat pinggangnya. Dan sabuk merah ini dari sutera yang masih baru dan bersih.
"Lopek, harap kau orang tua suka memaafkan kami, biarlah kali ini kami tidak memberi apa-apa dan lain kali saja akan kami beri sumbangan kepadamu. Harap lopek ketahui bahwa nona majikanku ini sedang melakukan perjalanan jauh sekali ke kota raja dan karenanya memerlukan biaya yang banyak."
Demikian Yu Lee berkata dengan suara halus kepada kakek pengemis itu.
Siok Lan merasa sebal mengapa pelayannya bersikap begitu menghormat dan halus terhadap seorang pengemis! Akan tetapi sebelum ia sempat menegur, pengemis itu sudah membuka mulutnya lagi dan kali ini bernyanyi dengan suara parau, akan tetapi hanya perlahan seperti berbisik sehingga hanya mereka berdua saja yang mendengarnya:
Membanting tulang bekerja paksa
anak bini di rumah menderita
tanpa makan tiada upah
mengharap nona memberi sedekah
Siok Lan marah. Nona ini melihat betapa A-liok memandang dan berkedip seperti memberi isyarat atau mencegah kemarahannya akan tetapi ia tidak perduli, bahkan makin mendongkol karena A-liok tampaknya begitu takut terhadap jembel tua yang banyak lagu itu. Ia menudingkan telunjuknya ke arah muka pengemis sambil membentak.
"Sungguh engkau ini jembel tua yang tidak tahu malu! Jelas engkau seorang pemalas yang tidak mau bekerja, becusnya hanya minta-minta saja, akan tetapi masih bicara tentang bekerja keras dan membanting tulang! Cih, tak tahu malu. Masih mempunyai sabuk sutera merah yang tentu dapat kau tukar dengan nasi untuk dimakan tetapi ada muka untuk mengemis! Hayo pergi!"
Akan tetapi kakek itu tidak mau pergi, juga pada wajahnya yang berdebu tidak tampak perubahan, seolah-olah kemarahan dan ucapan Siok Lan itu dianggapnya seperti tingkah seorang anak kecil saja. Malah ia menengadahkan mukanya ke atas dan bernyanyi lagi, kini suaranya yang parau terdengar lantang dan gagah, tidak berbisik seperti tadi.
Dengan sabuk merah di pinggang
sampai mati kami berjuang
Siok Lan makin panas hatinya. Dengan gerakan kilat tubuhnya mencelat dari atas kudanya lalu berdiri di depan pengemis itu. Sengaja ia memperlihatkan ginkangnya yang hebat dan kini ia berdiri sambil bertolak pinggang di depan kakek pengemis itu terus berkata.
"Rupanya engkau bukan jembel sembarangan, melainkan seorang anggauta kai-pang (perkumpulan pengemis). Akan tetapi tidakkah engkau tahu siapakah aku?"
Pengemis tua itu melihat tajam sejenak kepada Siok Lan, lalu melirik ke arah Yu Lee kemudian berkata sambil merangkap kedua tangan di depan dada.
"Maaf bahwa saya yang bodoh tidak mengenal nona. Akan tetapi saya cuma tahu sebuah hal yaitu bahwa tiada seorang gagah akan menolak buat membantu kami yang miskin. Harap nona tidak terkecuali dan suka membantu kami dengan sedekah."
"Aku tidak punya uang!"
"Uang tidak berapa perlu, kuda serta pedang nona itu cukuplah......"
"Jembel busuk! Kau buka mata serta telinga lebar-lebar! Aku adalah Sian-li Eng-cu, tahukah engkau? Aku adalah cucu dan juga murid Thian-te Sin-kiam mengertikah engkau?"
"Maaf"".. maaf...... tentu saja saya telah mendengar nama besar Thian-te Sin-kiam yang amat kami hormati......"
"Nah, kalau sudah tahu, lekas minggir jangan menghalangi jalan dan membuat malu saja kepadaku!"
Bentak Siok Lan memotong kata-kata Yu Lee yang merendah serta membujuk pengemis itu.
Si pengemis menghela napas panjang.
"Ahh andaikata kakekmu sendiri yang lewat, tentu beliau tidak akan menolak permintaanku dan memberikan seluruh harta benda yang dibawanya. Percuma saja engkau mengaku murid dan cucu Thian-te Sin-kiam kalau begini pelit......"
"Apa kau bilang? Jembel busuk bermulut lancang! Kau sendiri yang tidak tahu malu! Mana di dunia ini ada orang mengemis secara paksa? Kau ini pengemis atau perampok?"
Siok Lan makin marah, sepasang pipinya sampai merah sekali dan matanya bercahaya seperti kilat.
"Sudah menjadi peraturan perkumpulan kami jika seorang budiman memberi sedekah secara sukarela dan tulus ikhlas, biarpun hanya sekepal beras dan sesuap nasi akan kami terima dengan rasa syukur serta berterima kasih. Sebaliknya, jika berhadapan dengan orang pelit tidak berpribudi kami akan memilih sendiri sedekahnya. Maka saya sekarang memilih sendiri kuda serta pedang nona!"
"Ngaco belo! Perkumpulanmu itu apakah? Berani mengeluarkan peraturan-peraturan seenak perutnya sendiri!"
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pengemis itu tiba-tiba lenyap sifatnya yang merendah, kini berdiri tegak lalu menunjuk sabuk sutera merahnya itu yang melilit di perut.
"Kami adalah anggauta Ang-kin Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Sabuk Merah) dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan pangcu (ketua) kami, biar kaisar sendiripun tidak boleh melanggarnya!"
Siok Lan merasa betapa ujung bajunya dibetot orang dari belakang. Ia menoleh dan melihat A-liok kembali berkedip kepadanya seperti orang memberi isyarat, memang Yu Lee yang sudah mendengar tentang Ang-kin Kai-pang dan tadipun sudah mengenal pengemis ini tidak menghendaki si nona bertengkar dan mengharapkan Siok Lan mengalah saja. Akan tetapi cegahan-cegahannya dengan kedipan mata itu dianggap oleh Siok Lan bahwa dia takut terhadap si pengemis, bahkan menambah kemarahan gadis itu.
"Boleh jadi kaisar akan takut menghadapi Ang-kin Kai-pang, akan tetapi aku Sian-li Eng-cu tidak gentar menghadapinya! Aku tidak mau memberikan pedang dan kudaku kepadamu, dan hendak kulihat kau mau dan bisa apa!"
Gadis itu berdiri tegak, kedua tangan bertolak pinggang, sikapnya gagah dan memandang rendah.
Wah, berabe! Demikian pikir Yu Lee yang tahu bahwa pertandingan takkan bisa dielakkan lagi. Ia sudah mendengar perihal Ang-kin Kai-pang yang merupakan sebuah perkumpulan pengemis terbesar dan berpengaruh di waktu itu. Ang-kin Kai-pang merupakan perkumpulan tokoh-tokoh berjiwa patriot yang mementang kekuasaan kerajaan Goan serta sudah banyak melakukan kekacauan-kekacauan dan membunuhi pembesar-pembesar Mongol.
Juga perkumpulan ini bergerak membantu para pekerja paksa, diam-diam menjamin ransum kepada mereka, menyogok para petugas agar meringankan beban mereka, atau membunuh para petugas yang terlalu kejam. Mengumpulkan dana-dana buat menanggung beban hidup para keluarga yang ditinggalkan suami atau ayah mereka dalam melakukan kerja paksa menggali terusan.
Ang-kin Kai-pang selain besar juga dipimpin oleh orang-orang yang berilmu tinggi! Menurut kabar yang ia dapat, ketuanya adalah seorang tokoh kang-ouw yang bernama Ang Kwi Han dan terkenal dengan sebutan Ang-pangcu (ketua Ang) atau juga terkenal sebagai kai-ong (raja pengemis).
Ilmunya amat tinggi dan dalam urutan tingkat ilmu yang diatur rapi dalam perkumpulan, dia adalah seorang yang tingkatnya tertinggi. Yang tingkatnya nomor dua adalah pengemis-pengemis yang membawa pedang beronce merah besar sebanyak dua buah, tingkat nomor tiga yang ronce di pedangnya ada tiga pula, tetapi kecil sedikit. Begitu seterusnya makin menurun tingkatnya, makin banyak roncenya yang menghias gagang pedang akan tetapi makin kecil pula bentuknya.
Yu Lee tidak melihat pengemis yang menghadapi Siok Lan ini berpedang, maka ia tidak tahu pengemis ini termasuk tokoh tingkat berapa dalam Ang-kin Kai-pang, tetapi melihat gerak geriknya membayangkan bahwa pengemis ini bukan orang sembarangan.
"Nona, perjalanan kita masih amat jauh, perlu apa mencari keributan di sini? Lebih baik berikan kuda ini kepadanya dan kita melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Betapapun juga kuda ini sesampainya di Kai-feng toh akan kita tinggalkan."
"Diam kau! Jangan turut campur! Kalau jembel ini minta dengan baik-baik, tentu aku tidak begini pelit. Akan tetapi dia punya peraturan, akupun punya peraturan. Kalau orang minta-minta kepadaku dengan baik, akan kuberi hadiah sebanyaknya. Tapi kalau minta dengan paksa, jangankan kudaku, buntut kuda sehelaipun dia tidak boleh ambil!"
"Bagus! Jalan ke Kai-feng kelihatan dekat tetapi tidak mudah kau capai dengan sikapmu itu, nona. Karena kau melanggar peraturan kami, maka kau baru boleh melanjutkan perjalananmu ke Kai-feng kalau kau sudah dapat mengalahkan aku si pengemis bodoh!"
Setelah berkata demikian, pengemis itu menggerakkan tangan kanannya dan terdengar bunyi berdesing dan tercabutlah sebatang pedang dari dalam tongkatnya yang butut tadi. Kiranya tongkat itu merupakan sebuah sarung pedang sehingga pedangnya sendiri tersembunyi. Kiranya gagang tongkat itu adalah gagang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya dan tampak kini hiasan ronce merah sebanyak lima buah! Wah, pikir Yu Lee, kiranya adalah seorang tokoh Ang-kin Kai-pang yang bertingkat lima.
Di samping kekhawatirannya karena Siok Lan mencari keributan dengan anggauta perkumpulan pengemis yang besar dan berpengaruh itu, juga di hati Yu Lee timbul keinginan menyaksikan kelihaian pengemis itu, juga kelihaian "nona majikannya"
Dalam melawan.
Ia lalu menarik kuda diajak minggir, mengikatkan kendali kuda pada sebatang pohon kemudian dia sendiri berdiri untuk menonton pertandingan itu, siap-siap untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah yang membawa maut.
Sementara itu, melihat si pengemis mencabut sebatang pedang dari tongkatnya, Siok Lan makin marah.
"Singg......!"
Tangannya mencabut pedang dan telunjuk kirinya menuding.
"Si keparat, maka tampaklah belangmu! Engkau berkedok pengemis padahal pada dasarnya memang seorang penjahat. Perampok berpedang yang menyamar sebagai pengemis bertongkat! Hari ini bertemu Sian-li Eng-cu, berarti akan berakhir praktek kejahatanmu."
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban pengemis itu Siok Lan sudah menerjang maju dengan pedangnya. Gerakan nona ini memang amat cekatan dan pedangnya yang menyambar itupun cepat laksana kilat, tahu-tahu sudah meluncur ke arah dada pengemis tua itu.
"Bagus!"
Teriak si pengemis yang juga sudah menggerakkan pedang, menangkis dari kiri dengan ujung pedang digetarkan.
"Cringgg......!!"
Pedang yang bertemu di udara itu mengeluarkan bunyi nyaring, terutama sekali pedang perak di tangan Siok Lan, sehingga menimbulkan nyeri pada telinga, Siok Lan terkejut karena ada getaran yang kuat menyelinap dari pedangnya memasuki lengan, membuat lengannya tergetar dan kesemutan.
Jelas bahwa hal ini membuktikan betapa kuat tenaga sinkang pihak lawannya. Namun ia tidak gentar dan mempercepat gerakannya, tahu-tahu tubuhnya sudah menyambar lagi, pedangnya membabat kaki disusul tendangan kaki kiri ke arah lambung lawan
"Aiihhh......!"
Pengemis itu berseru kaget. Begitu cepatnya gerakan nona muda itu sehingga sukar diikuti pandangan mata. Tahu-tahu ujung pedang gadis itu sudah dekat dengan kaki. Cepat ia meloncat ke atas dan ketika kaki Siok Lan menyambar lambung dengan tendangan kuat, ia membacok ke arah kaki gadis itu dari atas.
Siok Lan maklum akan bahayanya hal ini cepat ia menarik kembali kaki kirinya dan kembali pedangnya membabat dengan bacokan ke arah leher begitu tubuh lawan sudah turun kembali.
Hal ini dapat pula dielakkan oleh si pengemis yang berjongkok dan berbareng dari bawah menusukkan pedangnya ke arah perut Siok Lan. Dara perkasa ini cepat menekuk siku menangkis tutukan lawan dengan pedang.
Kembali kedua pedang beradu menimbulkan suara nyaring. Selanjutnya dalam waktu singkat dua orang itu telah terlibat dalam pertandingan yang seru dan mati-matian. Dua batang pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi dua gulung sinar pedang. Akan tetapi biarpun kedua pedang itu sama-sama menjadi sinar putih pedang perak di tangan Siok Lan lebih cemerlang sinarnya, merupakan gulungan sinar perak yang memanjang dan lincah menyambar ke sana sini sehingga gulungan sinar lawan terkurung, terdesak dan terhimpit.
Yu Lee yang berdiri menonton, setelah pertandingan lewat tigapuluh jurus, maklum bahwa ilmu pedang Siok Lan jauh lebih menang dalam hal variasi dan gerak tipu, terutama sekali menang dalam kecepatan. Hal ini tak dapat ditutup oleh kemenangan pengemis itu dalam kekuatan sinkang dan ia tahu bahwa kalau dilanjutkan, tidak sampai sepuluh jurus lagi kakek pengemis itu tentu akan menjadi korban gin-kiam yang berada di tangan nona ganas itu. Ia bingung dan hendak mencari akal untuk mencegah hal ini. Tiba-tiba ia terkejut.
Kakek itu dengan tangan kirinya telah mengeluarkan mangkok bubur dari saku bajunya.
Saat itu Siok Lan sedang menerjang dengan pedangnya ke tubuh bagian bawah si pengemis yang sudah terdesak. Pengemis itu hendak mengadu jiwa karena ia sama sekali tidak mengelak, sebaliknya membarengi dengan tutukan pula ke dada Siok Lan dan tangan kirinya yang memegang mangkok retak dihantamkan ke arah pelipis gadis itu! Gerakan pengemis itu jelas merupakan gerakan orang nekad yang hendak mengadu jiwa tidak memperdulikan sambaran pedang Siok Lan ke arah lambungnya itu.
Pedang gadis itu pasti akan memasuki lambungnya, akan tetapi kedua serangannya pun, salah satu dan agaknya mangkok itu, akan mengenai sasarannya pula.
Melihat ini, Yu Lee yang sudah memegang beberapa butir kerikil cepat mengayunkan tangan. Sebuah kerikil mengenai pergelangan tangan Siok Lan yang memegang pedang, dan dua buah kerikil mengenai kedua pergelangan tangan pengemis itu!
Siok Lan berseru kaget, pedangnya menyeleweng dan cuma berhasil melukai paha si pengemis. Sambaran kerikil ke arah kedua pergelangan tangan pengemis itu mengandung tenaga lebih kuat dan...... pedang serta mangkok pengemis itu terlepas dari pegangan, mangkoknya pecah-pecah dan pedangnya jatuh ke tanah.
Siok Lan yang kaget sudah lompat mundur memegangi pedangnya, tangannya masih kesemutan karena sambaran kerikil tadi. Ia terheran-heran dan terkejut, sama sekali tidak tahu bahwa yang membuat tangannya lumpuh adalah sebutir kerikil yang dilemparkan A-liok, menyangka bahwa si pengemis itulah yang melakukan hal ini.
Di lain pihak, pengemis itu terguling dan jatuh berlutut. Paha kirinya terluka mengeluarkan darah. Yu Lee yang mau mencegah supaya Siok Lan tidak menerjang lagi lawannya yang sudah terluka itu cepat lari menghampiri pengemis itu dan sebelum Siok Lan dapat mencegah, ia sudah memegang pundak pengemis itu, berusaha membangunkan sambil berkata.
"Lopek, nona majikanku sedang melakukan perjalanan jauh, harap lopek sudahi saja pertengkaran ini......"
Pengemis itu berusaha bangkit, namun tak sanggup. Bahkan ketika ia mengerahkan tenaga untuk bergerak, sama sekali tubuhnya tak dapat digerakkan. Ia merasa betapa kedua tangan pelayan itu menindih pundaknya seperti dua buah gunung raksasa! Ia merasa penasaran sekali, mengumpulkan tenaga dari pusar lalu mengerahkan sinkang.
Namun makin kagetlah ia dan terpaksa meringis kesakitan ketika tenaga sinkangnya itu sampai ke pundak bertemu dengan telapak tangan si pemuda pelayan, tenaganya itu membalik dengan cepat. Tentu ia akan celaka dan terluka kalau saja ia tidak cepat-cepat membuyarkan tenaganya sendiri. Ia menengadah dan memandang wajah pelayan itu. Terkejut ia melihat betapa sinar mata pemuda itu sangat tajam berpengaruh, sampai sampai ia bergidik.
Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo