Ceritasilat Novel Online

Pendekar Gila Dari Shantung 4


Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



"Jangan pukul dia, jangan pukul dia!"

   Akan tetapi, Ban Kong tentu saja tidak mau memperdulikan seruan itu dan tetap maju menyerang, menggerakkan ruyungnya dengan sikap galak dan kedua matanya memancarkan cahaya membunuh. Liong Ki Lok dan Bwee Ji merasa terkejut sekali karena mereka merasa bahwa kali ini si gila tentu akan pecah kepalanya. Akan tetapi, sambil ketawa ha ha, hi hi, dengan muka menunjukkan kegembiraan hatinya, Tiong San mengambil cambuknya. Ia mengayundan memutar-mutar cambuknya di atas kepala, berlagak seperti seorang penggembala menggiring kerbau, sehingga cambuknya berbunyi "Tar-tar!"

   Berkali-kali, dan mulutnya tiada hentinya berkata.

   "Monyet gila... ayoh menari-nari!"

   Setelah berkata demikian, Tiong San memainkan cambuknya menyabet ke arah kedua kaki perwira itu. Melihat datangnya ujung cambuk yang kecil ke arah kakinya, Ban Kong memandang rendah dan tidak memperdulikan cambuk itu, bahkan langsung melangkah maju mengejar. Akan tetapi kesombongannya hampir membuat ia mendapat malu besar. Ketika ujung cambuk menyabet kakinya, ia merasa betapa kulit kaki yang terbungkus celana dan kaos itu perih dan pedas sekali. Dan sebelum ia dapat bergerak, ujung cambuk itu telah melibat kedua kakinya sehingga hampir saja ia jatuh! Ia berseru keras dan menggunakan lweekangnya lalu melompat ke atas sehingga libatan itu terlepas. Akan tetapi kembali Tiong San sudah menyabet-nyabet lagi ke arah kakinya sambil tertawa-tawa dan berseru,

   "Monyet gila, ayoh menari-nari!"

   Karena tahu akan kelihaian pecut itu, terpaksa Ban Kong mengelak dan berloncat-loncatan sehingga ia benar-benar seperti seekor monyet sedang menari-nari. Sambil menyabet-nyabet dengan pecutnya ke arah kaki, mulut Tiong San menirukan suara tambur mengiringi tarian lawannya itu sehingga semua penonton tak dapat menahan gelak tawanya lagi.

   Riuh rendah suara ketawa mereka dibarengi sorakan-sorakan karena girang. Sementara itu, Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji, ayah dan anak ini saling pandang sambil membelalakkan matanya. Tak pernah mereka sangka bahwa pemuda gila itu demikian lihai sehingga cambuknya dapat mempermainkan Te-Sam Tai Ciangkun Ban Kong yang memiliki ilmu silat tinggi sekali! Sebetulnya adalah salah Ban Kong sendiri sehingga ia dapat dipermainkan oleh Tiong San. Kalau tadi ia tidak memandang rendah, belum tentu ia akan mendapat malu besar. Kini ia telah mendapat serangan lebih dulu dan karena cambuk itu panjang serta digunakan secara istimewa, terpaksa ia menurut perintah pemuda itu untuk berloncat-loncatan seperti menari. Akan tetapi, dengan gemas ia lalu berseru keras dan tubuhnya melayang ke depan, melancarkan serangan hebat.

   Biarpun mulutnya masih tersenyum-senyum hingga wajahnya yang cakap nampak lucu. Akan tetapi Tiong San tidak berani main-main menghadapi lawan yang tangguh ini. Semenjak turun gunung, belum pernah ia menghadapi pertempuran dengan lawan dan pertama kali yang dihadapinya adalah jago nomor tiga dari perwira kerajaan. Tentu saja ia maklum akan kelihaian lawan ini dan biarpun ia seringkali menghadapi serangan-serangan hebat dari suhunya ketika mereka sedang berlatih, akan tetapi belum pernah menghadapi lawan sesungguhnya. Maka ia segera mengerahkan tenaga dan kepandaiannya bermain cambuk untuk melawan Te-Sam Tai Ciangkun Ban Kong. Baiknya ketika berlatih dengan suhunya, Thian-Te Lo-Mo tidak pernah berlaku sungkan atau kasihan dan menyerangnya benar-benar dan sungguh-sungguh, sehingga bagi Tiong San sudah biasa menghadapi serangan senjata.

   Maka kini menghadapi serbuan ruyung dari Ban Kong, ia tidak merasa gentar dan memainkan cambuknya cepat sekali. Ketika Ban Kong menerkamnya dengan serangan Macan lapar menubruk kambing, ia cepat mengelak ke kiri dan segera menghayunkan cambuknya ke arah muka lawan. Ban kong menurunkan kakinya dan sambil mengelak ia mencoba untuk menangkap ujung cambuk dengan tangan kirinya. Akan tetapi tiba-tiba cambuk itu melengkung ke atas seakan-akan ia merupakan seekor ular hidup yang tidak mau ditangkap dan ujungnya yang panjang dan kecil itu melalui atas kepalanya, sambil mengeluarkan bunyi nyaring. Ujung cambuk itu memecut punggungnya sehingga bajunya di bagian punggung menjadi pecah!

   Para penonton yang tadinya tertawa-tawa geli melihat tingkah laku pemuda gila itu, lalu disusul oleh suasana tegang dan khawatir karena perwira itu menyerang dengan ruyungnya. Kini menjadi bengong terlongong-longong karena tak disangka-sangkanya pemuda gila itu ternyata pandai sekali, sehingga tidak saja dapat menghadapi Ban Kong, bahkan sekali gus dapat merobek baju lawan di bagian punggung. Mereka berdiri memandang sambil menahan napas dengan mulut ternganga dan mata terbuka lebar-lebar, tanpa berani mengejapkan mata seakan-akan takut kalau-kalau tidak dapat menonton pertandingan yang hebat itu! Sementara itu, makin lama Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji makin merasa heran, sehingga gadis itu tak terasa lalu mendekati ayahnya dan memegang tangan ayahnya yang lalu diremas-remasnya dengan hati tegang.

   Ayahnya maklum akan perasaan hati gadisnya dan diam-diam ia berbisik dalam hatinya.

   "Pemuda inilah yang akan dapat membantu kita!"

   Pertempuran berjalan makin seru dan kini Ban Kong sama sekali tak mau memandang rendah lawannya karena ternyata bahwa benar-benar lawan cilik ini hebat sekali. Bertubi-tubi ia mengirim serangan dengan ruyungnya yang mengerikan itu, akan tetapi selalu ia memukul angin. Tiong San cepat sekali gerakannya dan selalu berusaha menjauhinya agar dapat mengirim serangan dengan ujung cambuknya yang panjang itu dari jarak jauh. Akan tetapi Ban Kong yang telah menerima cambukan pada punggungnya, maklum akan kelihaian senjata itu sehingga kini ia menjaga diri baik-baik agar jangan sampai dapat ditipu seperti pada jurus pertama tadi.

   Ia mengerahkan lweekangnya dan selain ruyungnya di tangan kanan melakukan serangan-serangan dahsyat, juga tangan kirinya bergerak-gerak melancarkan pukulan-pukulan dari jauh dan berusaha merampas ujung cambuk untuk dibetotnya. Gerakan mereka berdua makin cepat saja sehingga tak lama kemudian mereka telah lenyap dari pandangan mata penonton yang makin heran dan kagum. Akan tetapi, di dalam pandangan mata Liong Ki Lok yang sudah terlatih, nampaklah betapa pemuda ini benar-benar hebat ilmu cambuknya dan dengan senjatanya yang luar biasa itu ia dapat mempermainkan Ban Kong. Pernah satu kali ujung cambuknya melilit ruyung lawan dan perwira itu mengerahkan tenaga untuk menarik kembali.

   Akan tetapi sambil tersenyum-senyum Tiong San menahan. Dalam gerakan-gerakan mereka yang cepat, terjadilah saling betot dan mengadu tenaga lweekang. Dan tiba-tiba Tiong San melepaskan gagang cambuknya, sehingga ruyung itu dapat terbetot dan tersendal hampir memukul hidung Ban Kong yang besar. Ban Kong marah sekali, apalagi ketika kembali ujung cambuk Tiong San yang mengeluarkan angin keras menyambar-nyambar kepalanya, tiba-tiba melejit ke bawah dan tahu-tahu telah melibat sepatu kirinya! Ia berseru keras dan menendangkan kakinya ke samping dan tahu-tahu sepatunya telah terlepas. Sepatu itu masih terlibat oleh ujung cambuk dan kini Tiong San mengayun-ayunkan cambuknya ke atas dengan sepatu itu masih terikat pada ujungnya, lalu berseru-seru kegirangan.

   "Aku dapat ikan besar... ha ha, ikan besar...!"

   Ia membuat gerakan seolah-olah seorang pemancing berhasil mendapat seekor ikan besar dan dengan menggerak-gerakkan tangan ia membuat cambuknya terayun-ayun dan sepatu itu bergerak-gerak seperti seekor ikan yang meronta-ronta di ujung pancing! Ban Kong marah sekali dan tanpa memperdulikan kaki kirinya yang kini hanya memakai kaos saja itu, ia lalu menerkam maju sambil membentak.

   "Bangsat gila! Rasakan pembalasanku!"

   Akan tetapi dengan tersenyum mengejek Tiong San melompat jauh ke kiri dan menurunkan sepatu itu.

   "Ah, ikan bau... ikan busuk...!"

   Tiba-tiba ia melemparkan sepatu itu ke arah penonton dan karena memang sepatu dari kulit itu telah dipakai dan berjalan jauh dan kini terkena peluh pula menyiarkan bau yang tidak sedap, sehingga para penonton yang kejatuhan sepatu itu dengan hati geli dan girang juga berseru-seru,

   "Memang bau... sepatu bau!"

   Bukan main mendongkolnya hati Ban Kong diganggu secara demikian oleh Tiong San. Sekali ini hancurlah nama besarnya. Ia berpikir dan pikiran ini membuat ia nekat sekali untuk mengadu jiwa. Ia melompat lagi untuk melakukan serangan-serangan maut yang paling berbahaya, akan tetapi pada saat itu terdengar seruan dari jauh.

   "Ikan sudah matang...! Murid gila, mari kita makan...!"

   Tiong San mengenal suara suhunya, maka ia lalu melompat dan sekali tubuhnya berkelebat ia telah melompati kepala para penonton dan berlari menuju ke tempat di mana tadi suhunya tidur. Ban Kong merasa penasaran dan marah.

   "Bangsat gila, kau hendak lari ke mana?"

   Ia mengejar secepatnya, dan Liong Ki Lok beserta puterinya juga mengejar karena mereka ingin kenal dengan pemuda yang lihai itu. Para penonton yang ingin tahu kelanjutan peristiwa yang menggemparkan itu juga berlari-lari menyusul. Ban Kong telah tiba di tempat itu terlebih dulu dari yang lain dan ia melihat betapa pemuda gila yang mempermainkannya tadi kini telah duduk di atas rumput, berhadapan dengan seorang tua yang lebih gila lagi karena makan tulang-tulang dan kepala ikan dengan enaknya. Keduanya sedang makan ikan panggang dengan enak dan tidak memperdulikannya sama sekali. Ban Kong hendak menyerang dan memaki, akan tetapi tiba-tiba wajahnya menjadi pucat ketika ia melihat cambuk panjang yang tergantung di pinggang Thian-Te Lo-Mo.

   "Thian-Te Lo-Mo...!"

   Bisiknya dengan terkejut.

   "Tak salah lagi..."

   Sementara itu, biarpun si perwira hanya (Lanjut ke Jilid 04)

   Pendekar Gila Dari Shantung (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04

   mengeluarkan seruan perlahan, agaknya si kakek gila itu telah mendengarnya, maka ia mengangkat kepala dan berkata,

   "Eh, perwira gila, kau hendak makan? Ini, terimalah sepotong daging ikan panggang!"

   Sambil berkata demikian, ia melemparkan sepotong daging ke arah perwira itu yang menyambutnya dengan tangan kanan. Ia terkejut sekali karena tangannya menjadi gemetar dan seakan-akan menjadi setengah lumpuh ketika daging itu tiba di telapak tangannya. Ia menjadi jerih karena maklum bahwa kakek gila itu tak boleh dibuat permainan. Iapun tidak mau menghinanya, maka sambil berkata,

   "Terima kasih!"

   Ia lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ. Ketika ia bertemu dengan Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji yang mengejar ke situ, ia berkata,

   "Liong Ki Lok, kalau dalam tiga hari kau tidak datang ke kota raja bersama puterimu, aku akan mendatangi dusun Bi-lu-siang dan membunuh semua keluargamu!"

   Setelah berkata demikian, Te-Sam Tai Ciangkun Ban Kong lalu lari secepatnya meninggalkan tempat di mana untuk pertama kalinya selama ia hidup ia menderita kekalahan yang amat memalukan dan menjatuhkan namanya yang terkenal! Liong Ki Lok menjadi pucat mendengar ucapan itu dan ia lalu memegang lengan puterinya.

   "Celaka, ia telah tahu tempat sembunyi ibumu dan adik-adikmu!"

   Gadis itu tak menjawab, hanya menjadi amat berduka dan air mata memenuhi kedua matanya dan datang di tempat di mana Thian-Te Lo-Mo dan muridnya sedang makan daging ikan panggang. Orang-orang yang tadi menonton juga sudah tiba di tempat itu dan memandang kepada kedua orang aneh itu dengan penuh kekaguman. Sementara itu, Liong Ki Lok setelah tiba di dekat mereka lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

   "Ji-wi inkong (tuan-tuan penolong), siauwte Liong Ki Lok berdua anak menghaturkan hormat."

   Juga Liong Bwee Ji ikut berlutut di dekat ayahnya. Thian-Te Lo-Mo tertawa terpingkal-pingkal karena geli hatinya melihat hal ini.

   "Eh, anak gendeng, dari mana kau membawa badut-badut lucu ini? Ha ha ha!"

   Kemudian ia berkata kepada Liong Ki Lok.

   "Orang gila, apakah aku dan muridku ini telah menjadi kaisar dan pangerannya, maka kau dan anakmu berlutut, menyembah kami?"

   Liong Ki Lok tidak memperdulikan suara ketawa geli dari para penonton melihat lagak orang tua ini yang ternyata lebih gila lagi. Bahkan ia lalu mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata,

   "Siauwte ayah dan anak telah menerima pertolongan siauw-enghiong (orang gagah muda), maka sengaja datang hendak menyatakan terima kasih!"

   Tiong San telah ketularan adat suhunya dan ia tidak memperdulikan segala macam upacara, dan juga membenci sekali kalau ada orang bersopan-sopan terhadap dirinya. Sungguhpun melihat penghormatan orang ini ia segera membalasnya. Ia menggeser tempat duduknya dan kini iapun tiba-tiba berlutut di depan Liong Ki Lok sehingga menimbulkan pemandangan yang amat ganjil. Dua orang saling berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kembali para penonton tertawa, sedangkan Liong Ki Lok dan puterinya makin merasa heran karena kini merekapun merasa ragu-ragu dan menyangka bahwa dua orang itu benar-benar adalah orang-orang gila!

   "Orang she Liong,"

   Kata Tiong San yang teringat akan kata-kata Ban Kong.

   "Apakah kau sudah menjadi gila? Guruku bukan kaisar dan akupun bukan pangeran. Maka pergilah kau dan anakmu kepada Ongya yang patut kau sembah-sembah! Pergilah!"

   Sambil berkata demikian ia melemparkan tulang ikan di depan Liong Ki Lok yang menjadi terkejut sekali karena tulang-tulang ikan itu ketika dilempar telah menancap pada batu karang di depannya! Ia mengangguk-anggukkan kepala lagi,

   "Sedikitnya, kalau inkong tidak mau diganggu, beritahukanlah nama inkong kepada kami agar kami takkan dapat melupakannya,"

   Katanya dengan amat kecewa.

   "Namanya?"

   Tiba-tiba kakek gila itu berkata sambil tertawa terkekeh-kekeh.

   "Namanya adalah orang waras dan kalian adalah orang-orang gila. Ha ha ha!"

   Akan tetapi Tiong San yang merasa bahwa kalau tidak diberi jawaban orang ini akan berkeras dan tidak mau pergi, lalu berkata,

   "Aku berada di tempat ini, maka namaku adalah Orang gila dari Shan-Tung."

   Mendapat jawaban yang berbelit-belit ini, Liong Ki Lok menarik napas panjang.

   "Sudahlah, inkong tidak mau menolong kami. Apa boleh buat, biarlah kami mati di depan Ongya di kota raja! Memang di dunia ini banyak sekali orang-orang aneh yang berhati batu. Inkong mengaku orang Shan-Tung, baik kami sebut Shan-Tung Tai-hiap saja."

   Tiong San tidak menjawab, hanya melanjutkan makan daging ikan panggang. Sedangkan suhunya tertawa gelak-gelak.

   "Shan-Tung tai-hiap? Ha ha ha, apakah kau hendak membikin muridku menjadi gila seperti kalian? Ha ha ha!"

   Juga Tiong San tertawa seperti suhunya. Kemudian mereka berdua berdiri dan meninggalkan tempat itu sambil tertawa-tawa geli melihat penghormatan tadi. Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji saling pandang dan menjadi kecewa dan berduka sekali. Terpaksa mereka harus kembali ke kota raja karena kalau tidak, bahaya besar mengancam keselamatan keluarga mereka. Sementara itu, para penonton yang melihat peristiwa itu dan yang tiada habisnya mengagumi kegagahan Tiong San, lalu menyebut pemuda itu sebagai Shan-Tung Koay-Hiap atau pendekar ajaib dari Shan-Tung, mengingat akan wataknya yang gila-gilaan dan aneh dari pemuda itu. Liong Ki Lok adalah seorang guru silat di kota raja yang ternama juga, oleh karena ilmu silatnya memang cukup tinggi. Ia menerima murid-murid dengan pembayaran sekedarnya dan nafkah hidupnya tergantung dari pembayaran para muridnya itu.

   Biarpun ia tidak dapat hidup dengan mewah dan kaya dari penghasilan ini, akan tetapi ia sudah hidup berbahagia dengan isteri dan ketiga orang anaknya. Anaknya yang sulung perempuan, yaitu Liong Bwee Ji, dan anak kedua dan ketiga masih kecil-kecil, pada waktu itu baru berusia empat dan enam tahun. Bwee Ji sudah berusia enam belas tahun dan semenjak kecil Bwee Ji mendapat latihan silat dari ayahnya sehingga iapun memiliki ilmu silat yang cukup lumayan. Di dalam kota raja tinggal banyak pembesar-pembesar yang masih terhitung keluarga kaisar dan mereka ini disebut pangeran-pangeran. Sebagian besar dari para pangeran ini berlagak lebih tinggi dari pada kaisar sendiri dan mereka mempergunakan pengaruh, kedudukan, dan kekayaan untuk melakukan segala macam perbuatan yang kalau dilakukan oleh penduduk biasa, maka pelakunya akan dicap penjahat.

   Akan tetapi siapakah yang berani menyebut penjahat kepada pangeran dan pembesar tinggi itu? Di antara para pangeran yang berpengaruh ini terdapat seorang pangeran bernama Ong Tai Kun atau biasa disebut oleh para penjilatnya sebagai Ong-ya. Pangeran Ong ini belum tua benar, usianya masih kurang dari empat puluh dua tahun. Akan tetapi pengaruhnya amat besar, oleh karena selain berpengaruh di dalam istana kaisar sebagai keluarga dekat, iapun amat kaya raya dan memelihara banyak perwira-perwira yang kosen dan berkepandaian tinggi. PARA perwiranya bukanlah ahli-ahli silat biasa. Akan tetapi telah menduduki tingkat ketiga dari semua perwira-perwira yang kosen dari kerajaan! Di antara para perwiranya ini ialah Te-Sam Tai Ciangkun Ban Kong dan masih banyak lagi perwira-perwira lain.

   Terutama sekali, ia amat terkenal dan ditakuti oleh karena selain dikawal oleh banyak perwira lihai, Ong Tai Kun sendiri juga seorang ahli silat yang tidak rendah ilmu kepandaiannya. Ia pernah belajar silat sampai enam tahun lamanya di puncak bukit Kun-lun, sehingga ia boleh disebut sebagai anak murid Kun-lun-pai yang lihai dan ilmu pedangnya yang asli dari Kun-lun-pai merupakan kepandaiannya yang istimewa. Tentu saja para tokoh Kun-lun-pai yang tadinya tidak tahu bahwa pemuda bernama Ong Tai Kun itu adalah seorang pangeran, merasa menyesal sekali ketika mendengar akan sepak terjang pangeran itu yang jahat. Akan tetapi apakah yang dapat mereka perbuat? Kedudukan Ong Tai Kun amat tinggi dan mengganggu dia berarti akan berhadapan dengan para perwira kerajaan, bahkan mungkin sekali akan berhadapan dengan tentara negeri.

   Dan para tokoh Kun-lun-pai tidak begitu bodoh untuk membentur karang yang demikian kuatnya. Selain ditakuti orang, juga diam-diam Ong Tai Kun amat dibenci oleh karena di samping kejahatan lain dan pemerasan untuk memperkaya diri sendiri, pangeran ini terkenal sebagai seorang hidung belang atau mata keranjang. Banyak sudah gadis-gadis manis di kota dan di dusun-dusun sekitar kota raja menjadi korban kecabulannya. Ia telah memelihara banyak selir, dan berkali-kali mengganti selir lama dengan yang baru. Yang paling menjemukan, setelah ia merasa bosan kepada seorang selir, maka wanita yang malang nasibnya itu lalu dijual dengan paksa kepada seorang pengurus rumah pelacuran dan selanjutnya nasib wanita itu terjerumus ke dalam jurang kehinaan yang akan membawa mereka kepada kesengsaraan sampai hayat meninggalkan badan!

   Tidak heran apabila semua orang yang mempunyai gadis cantik merasa amat takut kepada pangeran keparat ini, dan di mana saja pangeran itu berada, para orang tua lalu cepat-cepat menyembunyikan anak perempuannya agar jangan sampai mata pangeran itu melihatnya. Karena sekali saja mata pangeran itu memandang dan hatinya tertarik, dengan jalan apapun juga, pasti ia akan dapat merampas gadis itu, baik dengan jalan halus menggunakan uang atau dengan jalan kasar menggunakan pengaruh dan tenaga para pengawalnya. Akan tetapi pangeran Ong tidak kurang akal, karena ia maklum bahwa sukar baginya untuk dapat melihat sendiri gadis-gadis cantik yang bersembunyi di dalam kamar rumahnya, maka ia mempunyai banyak mata-mata yang memang sengaja mencari kesempatan untuk mempergunakan kelemahan hati pangeran Ong terhadap paras cantik untuk mengeduk keuntungan sebesar-besarnya.

   Mereka inilah yang selalu mempersiapkan persediaan calon-calon korban baru untuk pangeran itu. Dan diam-diam mereka mencari-cari dan menyelidiki di mana adanya seorang perawan yang cukup cantik dan yang kiranya dapat dijadikan calon korban pangeran itu! Di antara para penyelidik ini terdapat seorang yang bernama Ma Cin yang menjadi sombong karena merasa menjadi orang kepercayaan pangeran Ong, sehingga di dalam kampungnya ia disegani oleh para tetangga karena mereka kenal bahwa orang ini adalah orang kepercayaan Ongya! Pada suatu hari Ma Cin membawa seorang puteranya yang telah berusia sebelas tahun ke rumah perguruan Liong Ki Lok. Dengan lagak yang sombong, ia memberitahukan kepada penjaga pintu bahwa ia hendak bertemu dengan Liong-Kauwsu. Liong Ki Lok menerima kedatangan tamu ini dengan ramah-tamah sebagaimana telah menjadi adatnya.

   "Liong-Kauwsu,"

   Kata Ma Cin setelah tuan rumah mempersilakan ia duduk dan menanyakan maksud kedatangannya.

   "Kedatanganku ke sini ialah hendak minta kau mengajar silat kepada puteraku ini. Berapa saja bayarannya takkan kutolak."

   Liong Ki Lok tidak memperdulikan sikap yang sombong ini, akan tetapi dengan mata tajam memandang anak laki-laki itu. Anak itu bertubuh tinggi besar, bermulut lebar dan sepasang mata yang sipit memperlihatkan sinar yang tak menyenangkan hatinya. Dalam hal memilih murid, Liong Ki Lok memang amat teliti dan tak sembarangan anak dapat diterima menjadi muridnya tanpa diuji dulu. Maka ia lalu berkata,

   "Saudara Ma, tentang pembayaran adalah urusan belakang. Akan tetapi yang paling perlu hendak kulihat dulu apakah anakmu ini mempunyai bakat untuk menjadi ahli silat."

   "Tentu saja ia berbakat!"

   Seru Ma Cin.

   "Di kampung kami, tak ada anak lain yang berani kepadanya dan tiap kali ia berkelahi, ia tentu memukul lawannya sampai matang biru!"

   Ma Cin tidak menceritakan bahwa di kampungnya memang tidak ada yang berani mengganggu anaknya karena takut kepadanya. Liong Ki Lok tersenyum, lalu berkata,

   "Hendak kulihat buktinya. Marilah kita pergi ke Lian-bu-thia (tempat berlatih silat)."

   Ketika mereka pergi ke Lian-bu-thia di sebelah belakang rumah, di situ terdapat Bwee Ji sedang berlatih silat dengan dua orang murid Liong Ki Lok yang masih kecil. Memang seringkali Bwee Ji yang kepandaiannya sudah tinggi itu membantu pekerjaan ayahnya dan melatih murid-murid ayahnya itu. Ma Cin tercengang melihat kecantikan Bwee Ji.

   Tak pernah disangkanya bahwa guru silat ini mempunyai seorang puteri demikian cantiknya dan diam-diam ia memuji dalam hatinya. Sementara itu, melihat betapa mata tamu itu ditujukan kepadanya dengan kagum, Bwee Ji lalu menghentikan latihan murid ayahnya dan masuk ke dalam. Sedangkan dua orang murid itu agaknya tahu bahwa anak Ma Cin adalah murid baru, maka mereka memandangnya dengan tersenyum-senyum. Liong Ki Lok lalu membawa anak Ma Cin ke dalam "Ruang ujian ketabahan."

   Setiap anak yang hendak menjadi muridnya, lebih dulu diuji di ruang ini. Anak Ma Cin disuruh masuk ke dalam ruang kecil itu dan tiba-tiba Liong Ki Lok berseru.

   "Awas!"

   Sambil menarik tali yang digantung Koay-Hiapan pada sebuah paku besar. Ketika tali itu dilepasnya dari gantungan, tiba-tiba dari atas turun sebuah karung besar yang agaknya berisi benda berat, hendak jatuh menimpa kepala anak itu.

   "Celaka... anakku...!"

   Ma Cin berseru keras dan anak itu menjadi pucat sekali lalu berlari keluar dengan tubuh menggigil lalu menangis! Kedua orang murid Liong Ki Lok tertawa cekikikan melihat hal ini dan ketika Ma Cin memandang ke arah karung berat itu, ternyata bahwa karung itu tidak terus jatuh. Melainkan tergantung dan tertahan oleh tali yang kuat hingga kini bergoyang-goyang. Memang karung yang dijatuhkan dari atas seakan-akan hendak menimpa kepala anak itu hanya untuk menguji sampai di mana ketabahan hati anak yang hendak belajar silat.

   Menurut pandangan Liong Ki Lok, seorang yang mempelajari ilmu menjaga diri yang terutama harus memiliki ketenangan dan ketabahan hati. Betapa pun tinggi ilmu silatnya, akan tetapi kalau hatinya tidak tabah dan tenang, maka dalam sebuah pertempuran yang sungguh-sungguh, ilmu silatnya takkan banyak berguna dan akan menjadi kacau-balau karena kegugupan dan ketakutannya. Ia tidak mau menerima anak-anak penakut menjadi muridnya. Karena tidak mau kalau kelak namanya dirusak oleh murid yang penakut atau pengecut. Melihat betapa anak ini ketakutan, lari dan menangis dengan tubuh gemetar, Liong Ki Lok menggeleng-gelengkan kepala dan berkata kepada Ma Cin yang masih memandang pucat dan kini mengelus-elus kepala puteranya untuk menghiburnya.

   "Saudara Ma, kau lihat sendiri, anakmu tidak berbakat dan lebih baik jangan memberi pelajaran silat kepadanya. Ia lebih tepat diberi pelajaran bun (kesusasteraan) dari pada bu (kegagahan)."

   Ma Cin menjadi penasaran sekali.

   "Akan tetapi dia tidak maju dalam pelajaran ilmu surat, dan karenanya maka aku bawa dia ke sini untuk belajar silat kepadamu!"

   Liong Ki Lok tersenyum.

   "Kalau dalam ilmu kesusasteraan dia juga tidak berbakat, maka sulitlah untuk mencari kemajuan baginya."

   Ucapan ini dikeluarkan dengan sejujurnya. Akan tetapi bagi Ma Cin dianggapnya sebagai penghinaan.

   "Kau kira anakku benar-benar penakut? Kurasa ia takkan kalah oleh anak-anak seperti..."

   Ia menengok kepada dua orang anak laki-laki yang masih berdiri sambil tertawa-tawa di pinggir.

   "Seperti... dua tikus kecil itu!"

   Kemudian dengan muka merah karena marah Ma Cin berkata kepada anaknya,

   "Kau tentu berani melawan anak-anak itu? Pukul mereka!"

   Anaknya memandang dan melihat bahwa dua orang anak kecil itu lebih kecil darinya dan paling banyak usianya baru delapan atau sembilan tahun. Di kampungnya, anak-anak yang lebih besarpun tidak berani mengganggunya. Ia tidak tahu bahwa orang-orang tua anak-anak di kampungnya memang melarang anak-anak mereka untuk bermusuhan atau berkelahi dengan anak Ma Cin. Maka kini dengan sombongnya ia lalu melangkah maju ke arah dua orang anak kecil yang masih tertawa-tawa itu. Liong Ki Lok yang melihat hyal ini tidak mencegahnya, hanya tersenyum memandang sambil berdiri bertolak pinggang. Orang ini dan anaknya memang perlu diberi sedikit ajaran agar kesombongan mereka berkurang, pikirnya. Anak Ma Cin menghampiri dua orang anak kecil itu dan melihat sikapnya, kedua orang anak kecil itu maklum bahwa anak ini hendak memukul mereka.

   "Biar aku menghadapinya,"

   Kata yang seorang, yang lebih kecil. Akan tetapi yang mempunyai sepasang mata tajam dan bersinar tabah. Kawannya lalu menjauhkan diri dan duduk menonton dengan muka berseri.

   "Kau mau apa?"

   Tanya anak kecil itu pada anak Ma Cin sambil berdiri.

   "Mau pukul kepalamu!"

   Kata anak Ma Cin yang biasa mengucapkan kata-kata ini di kampungnya. Anak kecil itu tertawa.

   "Kau yang tadi menangis ketakutan ini berani pukul orang? Ha ha, hi hi!"

   Anak Ma Cin marah sekali. Akan tetapi ayahnya lebih marah lagi.

   "A Kin, pukul dia!"

   Katanya. Anaknya lalu mengangkat tangan memukul kepala anak kecil itu. Akan tetapi dengan sigapnya anak itu miringkan tubuhnya, mengulurkan tangan menangkap pergelangan tangan yang memukulnya dan sekali ia menarik ke depan, anak Ma Cin terjerumus ke depan dan hidungnya menumbuk lantai hingga berdarah.

   Ia berdiri marah dan memukul lagi, belum tahu kalau hidungnya berdarah. Akan tetapi sekali ini ia didahului dengan tendangan pada dadanya yang membuat ia jatuh terjengkang dan belakang kepalanya terbentur lantai yang keras, sehingga menjadi bengkak sebesar telur ayam dan terasa sakit sekali. Anak itu merayap bangun dan meringis kesakitan dan ketika darah dari hidungnya menetes turun mengenai bajunya, ia merasa kaget sekali lalu menangis keras! Anak kedua yang menonton tertawa gelak-gelak dan bersorak-sorak girang karena kemenangan kawannya. Dan pada saat itu Bwee Ji yang mendengar sorakan ini muncul keluar. Ma Cin marah sekali dan maju hendak memukul anak kecil yang telah menjatuhkan anaknya. Akan tetapi Bwee Ji menghadapinya dan menjura,

   "Anak kecil berkelahi dengan anak kecil sudah selazimnya dan tak perlu orang-orang tua ikut campur,"

   Katanya. Ma Cin mundur kemalu-maluan, sedangkan Bwee Ji lalu berkata kepada Liong Ki Lok,

   "Ayah, mengapa ayah diamkan saja anak-anak ini berkelahi?"

   "Anak saudara Ma ini hendak berlagak jagoan dan biarlah ia memperlihatkan sendiri bahwa ia tidak berbakat untuk belajar silat."

   Sambil menahan marahnya karena tidak berdaya melampiaskan kegemasannya, Ma Cin berkata kepada Liong Ki Lok.

   "Liong-Kauwsu. Kau telah menghina aku dan anakku. Baik, kau tunggulah saja dan kau akan tahu bahwa aku orang she Ma adalah orang yang tidak boleh dibuat permainan!"

   Kemudian dengan bersungut-sungut ia lalu pegang tangan anaknya dan menariknya pergi dari situ, diikuti oleh gelak tawa kedua orang anak kecil murid Liong Ki Lok itu. Liong Ki Lok dan puterinya sama sekali tak pernah menyangka bahwa peristiwa ini akan berbuntut panjang dan akan mendatangkan malapetaka bagi keluarganya. Ia telah mulai melupakan peristiwa dengan orang she Ma itu ketika pada suatu hari datang utusan dari pangeran Ong Tai Kun yang mengajukan lamaran kepada Bwee Ji untuk dijadikan bini muda pangeran itu!

   Liong Ki Lok sudah tahu akan pengaruh pangeran Ong. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau mengorbankan puterinya menjadi bini muda pangeran itu. Karena maklum bahwa hal itu akan menjerumuskan puterinya ke dalam lembah kesengsaraan. Juga Bwee Ji tidak sudi menerima pinangan ini. Dengan halus ia menolak pinangan itu dan minta kepada utusan pangeran Ong agar supaya pangeran itu suka memberi maaf, oleh karena puterinya telah dipertunangkan dengan pemuda lain. Hal ini sebenarnya hanyalah alasan penolakan belaka oleh karena sesungguhnya Bwee Ji belum mempunyai tunangan. Utusan itu pulang setelah menyatakan kekhawatirannya atas penolakan ini. Dan pada keesokan harinya, datanglah Te-Sam Tai Ciangkun Ban Kong di rumah Liong Ki Lok.

   "Orang she Liong,"

   Kata perwira itu dengan lagak sombong.

   "Kau berani sekali menolak pinangan Ongya. Boleh jadi kau adalah seorang guru silat yang ditakuti orang, akan tetapi apakah kau hendak mengandalkan kepandaianmu untuk menentang kehendak Ongya?"

   
Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bukan demikian, Tai-Ciangkun,"

   Kata Liong Ki Lok menahan sabar.

   "Akan tetapi seperti telah kuberitahukan kepada utusan Ongya, anakku Bwee Ji telah dipertunangkan dengan pemuda lain, sehingga terpaksa kami tak dapat menerima kebaikan budi Ongya."

   Ban Kong tersenyum sindir.

   "Biasanya hal itu hanyalah digunakan sebagai alasan kosong belaka. Akan tetapi baiknya Ongya sedang sabar, sehingga ia mau percaya kepada omonganmu ini. Akan tetapi, dalam dua pekan, kau harus sudah mengundang Ongya untuk menghadiri pernikahan puterimu. Kalau tidak, maka hal itu membuktikan bahwa alasanmu hanya alasan palsu belaka dan Ongya tidak senang sekali kalau ada orang mempermainkannya!"

   "Akan tetapi, Ciangkun..."

   "Tidak ada tapi lagi, kau harus dapat mengundang Ongya dan aku datang minum arak pengantin. Kalau tidak..."

   Pada saat itu, Bwe Ji yang telah sejak tadi mendengarkan dari balik tirai, tak dapat menahan sabarnya lagi dan melompat keluar dengan pedang di tangan.

   "Biarpun kau seorang perwira, siapakah yang takut kepadamu? Kau ikut-ikut mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Apakah kau sudah bosan hidup?"

   Akan tetapi, ketika melihat munculnya gadis jelita itu, Ban Kong memandang dengan tercengang, lalu tersenyum senang dan berkata,

   "Ha ha ha! Benar saja cantik jelita! Ma Cin memang mempunyai mata yang tajam. Kau memang pantas sekali duduk di samping Ongya sebagai seorang tercinta, nona..."

   "Bangsat bermulut kotor!"

   Bwee Ji membentak marah dan melompat maju, menyerang dengan pedangnya. Ayahnya hendak mencegah tidak keburu lagi. Akan tetapi Ban Kong ternyata luar biasa lihainya. Diserang secara hebat itu, ia menahan tertawa geli dan sekali kedua tangannya bergerak, ia telah merampas pedang Bwee Ji! Ia lalu menggerakkan tangannya dan pedang yang terampas itu meluncur cepat sekali bagaikan sebatang anak panah dan menancap di tiang penglari sampai setengahnya lebih. Gagang pedang bergoyang-goyang dan kembali terdengar suara ketawa ha ha hi hi dari Ban Kong.

   "Liong Ki Lok, pedang itu akan menancap pada dadamu kalau dalam dua pekan kau tidak melakukan satu di antara dua hal ini, yaitu mengirim undangan minum arak untuk menyaksikan pernikahan puterimu. Atau kalau tidak, mengirimkan puterimu kepada Ongya agar dapat hidup mewah dan berbahagia di samping Ongya!"

   Setelah berkata demikian, dengan langkah sombong perwira kosen itu meninggalkan Liong Ki Lok dan puterinya yang berdiri pucat. Melihat gerakan Te-Sam Tai Ciangkun Ban Kong ketika merampas pedang anaknya, Liong Ki Lok maklum bahwa ia bukan yandingan perwira kosen itu. Dan iapun maklum bahwa selain Ban Kong, masih banyak orang-orang tangguh yang bekerja di bawah perintah pangeran Ong Tai Kun, sedangkan pangeran Ong sendiri memiliki kepandaian yang tinggi. Maka ia menjadi sedih sekali dan berdiri bengong dengan wajah pucat tanpa dapat berkata sesuatu. Bwee Ji melihat keadaan ayahnya, tanpa berkata sesuatu dapat maklum akan bencana yang mengancam mereka, maka dengan perlahan ia mulai menangis.

   "Ayah... bagaimana baiknya... ayah...?"

   Liong Ki Lok menarik napas panjang dan mengajak puterinya masuk kedalam rumah untuk merundingkan perkara itu dengan isterinya. Setelah berunding panjang lebar dan secara mendalam akhirnya Liong Ki Lok mengambil keputusan dan berkata kepada isteri dan puterinya,

   "Hanya ada dua jalan untuk menyelamatkan diri,"

   Katanya dengan suara berat. Pertama aku harus mencarikan jodoh yang cocok untuk Bwee Ji, seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi hingga dapat membantu kita menghadapi gangguan pangeran Ong. Atau mengajak Bwee Ji merantau dan mencarikan menantu dengan jalan mempertunjukkan kepandaian silat. Mudah-mudahan sebelum dua pekan, Thian akan menunjukkan seorang calon jodoh yang sesuai dengan anakku."

   "Akan tetapi, bagaimana kalau dalam waktu itu tidak bertemu dengan seorang calon menantu yang sesuai?"

   Tanya isterinya, sedangkan Bwee Ji hanya terdengar menangis terisak-isak.

   "Kalau demikian halnya, terpaksa kita harus melarikan diri dan bersembunyi!"

   "Akan tetapi, ayah,"

   Kata Bwee Ji.

   "Kalau aku dan ayah lari, bagaimana dengan nasib ibu dan adik-adikku?"

   "Oleh karena itu, maka sebelum kau dan aku berangkat, ibumu serta kedua adikmu harus disembunyikan lebih dulu!"

   Selanjutnya, Liong Ki Lok lalu mengatur dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia mengantar isteri dan kedua orang anaknya yang masih kecil pergi dan bersembunyi di dusun Bi-lu-siang dan tinggal untuk sementara waktu di rumah seorang pamannya yang menjadi petani di dusun itu.

   Kemudian ia mengajak Bwee Ji merantau ke selatan untuk mencarikan jodoh bagi puterinya itu, sehingga ia dan anak gadisnya tiba di Shan-Tung dan membuka pertunjukan silat di dekat danau Taming dan bertemu dengan Tiong San yang berhasil mengusir Te-Sam Tai Ciangkun Ban Kong. Liong Ki Lok sama sekali tidak pernah menyangka bahwa ia telah diikuti selalu oleh mata-mata pangeran Ong. Bahkan dari ancaman yang dikeluarkan oleh Ban Kong, ia maklum bahwa tempat sembunyi isteri dan dua orang anaknya telah diketahui pula oleh perwira itu! Liong Ki Lok merasa sedih dan putus harapan. Tadinya ia hendak berlaku nekat mendatangi gedung pangeran Ong untuk mengamuk. Akan tetapi sambil menangis tersedu-sedu Bwee Ji menahannya dan berkata,

   "Ayah, jangan, ayah! Ingatlah bahwa di sana masih ada ibu dan dua orang adikku. Bagaimana nasib mereka kalau kau berlaku nekat?"

   "Akan tetapi aku tidak bisa mengorbankan dirimu!"

   "Akupun lebih baik mati dari pada menjadi bini muda pangeran keparat itu. Akan tetapi lebih baik mengorbankan jiwa seorang untuk menolong empat orang, ayah. Aku bersedia mati di gedung pangeran Ong asalkan kau, ibu dan kedua adikku selamat."

   "Apa maksudmu?"

   Liong Ki Lok memandang dengan mata terbelalak kepada anaknya.

   "Bawalah aku ke gedung pangeran keparat itu agar ayah dan adik-adikku tidak diganggu. Kemudian bawalah ibu dan adik-adik pergi ke tempat jauh sekali agar tidak dapat disusul oleh mereka. Adapun aku... ah, ada banyak jalan untuk menghabiskan nyawa di tempat itu dari pada menjadi permainan pangeran jahanam itu..."

   "Bwee Ji..."

   Liong Ki Lok memeluk kepala anaknya dengan hati hancur. Akan tetapi ia berpikir bahwa selain jalan yang diusulkan oleh puterinya itu, agaknya tidak ada jalan keluar yang lebih baik lagi. Kalau ia berkeras menentang kehendak pangeran Ong, akhirnya ia akan kalah juga dan Bwee Ji dengan kekerasan akan dirampasnya juga, bahkan keselamatan dia sekeluarga akan terancam. Kalau mereka semua mati, siapa yang akan membalaskan sakit hati Bwee Ji kelak? Biarlah ia mengorbankan anak perempuannya yang akhirnya akan membunuh diri di dalam gedung sebagai seorang gadis suci yang dapat mempertahankan nama baik, dan kelak ia akan pimpin dua orang anaknya untuk menjadi orang pandai dan membalas dendam cici mereka!

   "Kalau saja Shan-Tung Koay-Hiap tidak gila dan mau membantu kita..."

   Kata Liong-Kauwsu sambil menarik napas panjang.

   "Dia seorang aneh berilmu tinggi, mana mau memperdulikan kita, ayah..."

   Kata Bwee Ji dengan suara memilukan.

   "Ah, kalau saja ia suka menjadi suamimu, ah... hidup kita akan terjamin keselamatannya. Kalau saja ia tidak gila, tentu ia akan suka melihat kau, anakku..."

   "Ayah..."

   Kata Bwee Ji dengan hati sedih sekali dan menyesali nasib dirinya yang amat malang. Mereka lalu menuju ke dusun Bi-lu-siang dan ketika Liong Ki Lok menceritakan peristiwa yang terjadi kepada isterinya, wanita itu menubruk Bwee Ji dan menangis dengan sedih. Mereka bertangis-tangisan dan menyebut nama Thian. Akan tetapi, apakah yang dapat mereka lakukan?

   "Jangan, anakku!"

   Nyonya itu mengeluh sambil menangis.

   "Jangan kau pergi kepada iblis itu. Suamiku, mengapa tidak mengambil jalan lain? Lebih baik sekarang juga kita pergi bersama melarikan diri dan bersembunyi di tempat jauh!"

   Liong Ki Lok menggelengkan kepalanya dengan hati kusut.

   "Tidak ada gunanya. Kita telah diikuti selalu, bahkan tempat inipun telah diketahui. Apa artinya melarikan diri? Akibatnya, kita semua akan binasa!"

   "Aku tidak takut mati!"

   Teriak isterinya.

   "Dari pada Bwee Ji celaka, lebih baik aku mati lebih dulu!"

   "Apakah kau hanya mengingat diri sendiri dan tidak memperhatikan nasib dua orang puteramu?"

   Suaminya menegur dan nyonya itu memeluk dua orang anaknya yang masih kecil sambil menangis semakin sedih.

   "Ini semua gara-gara binatang she Ma yang dulu mengantar anaknya itu!"

   Kata Liong Ki Lok sambil mengepal tinju.

   "Kelak, dalam pembalasan sakit hati, sebelum melenyapkan pangeran Ong dan kaki tangannya, lebih dulu akan kupecahkan kepala binatang she Ma itu!"

   Dan pada keesokan harinya, Liong Ki Lok bersama puterinya berangkat ke kota raja setelah memesan kepada isterinya supaya menunggu di situ. Karena setelah mengantar puterinya ke gedung pangeran Ong, ia akan segera datang kembali dan mengajak mereka pergi ke tempat jauh.

   Keberangkatan Bwee Ji di antar dengan tangis dan ratap sedih dari ibunya sehingga ketika akhirnya gadis itu berangkat, nyonya itu roboh pingsan membuat sibuk pamannya yang segera menolongnya. Bwee Ji mengenakan pakaian serba putih seperti orang berkabung. Rambutnya awut-awutan tidak terurus. Akan tetapi ia bahkan nampak makin manis dalam pakaian yang sederhana sekali itu Baik kita tinggalkan dulu perjalanan ayah dan anak yang dilakukan dengan hati berat dan hancur itu, karena Liong Ki Lok merasa betapa ia mengantar puterinya menuju jurang kematian, dan marilah kita menengok sebentar ke belakang, ke tempat Tiong San dan Thian-Te Lo-Mo yang meninggalkan tepi danau Taming setelah menghabiskan ikan panggang dan membikin kecewa hati Liong Ki Lok dan puterinya.

   "Suhu, pernahkah kau pergi ke kota raja?"

   Tiba-tiba Tiong San bertanya sambil menahan kakinya. Suhunya juga berhenti dan tertawa.

   "Tentu saja pernah, aku pernah tinggal sehari semalam di dalam dapur istana kaisar dan menikmati semua hidangan yang lezat-lezat. Ha ha ha! Semua hidangan sebelum diantarkan kepada kaisar, lebih dulu kucicipi rasanya!"

   Ia nampak gembira sekali teringat akan hal ini sehingga tiada hentinya tertawa terkekeh-kekeh.

   "Apa kau tidak ingin mencicipi hidangan-hidangan lezat itu lagi, suhu?"

   Tiba-tiba Thian-Te Lo-Mo menghentikan suara ketawanya dan memandang kepada muridnya dengan mata berputar-putar.

   "Anak gendeng, kau ingin pergi ke kota raja! Ha ha, benar, kau ingin pergi ke kota raja!"

   Biarpun suhunya dapat menduga dengan tepat sekali, namun Tiong San tidak memperdulikan, bahkan bertanya lagi.

   "Suhu, kenalkah kau kepada seorang pangeran she Ong yang tinggal di kota raja?"

   "Banyak pangeran-pangeran gila di kota raja telah kudatangi rumahnya, entah ia she apa aku tidak tahu!"

   "Suhu, kabarnya pangeran she Ong itu mempunyai hidangan-hidangan yang paling enak di kota raja! Bahkan, masakan-masakan yang biasanya dimakan oleh kaisar, kabarnya tidak melawan kelezatan masakan-masakan yang biasa dimakan oleh pangeran Ong!"

   "Mana mungkin? Masakan-masakan untuk kaisar yang paling enak!"

   Kakek itu mengangguk-angguk.

   "Apakah kau pernah mencicipi masakan di dapur pangeran Ong, suhu?"

   Sambil membelalakkan matanya, Thian-Te Lo-Mo menggelengkan kepalanya.

   "Kalau begitu, bagaimana suhu dapat menentukan bahwa masakan di istana kaisar yang paling enak? Ha ha, suhu benar-benar tidak pandai!"

   Kakek itu nampal melenggong.

   "Kau benar, aku harus mencicipi dulu sebelum memberi kepastian..."

   Kemudian ia tertawa lagi terbahak-bahak.

   "Ha ha ha! anak gendeng, kau hendak mengajak aku ke kotaraja. Ha ha!"

   Diam-diam Tiong San merasa kagum akan kecerdikan suhunya yang walaupun pikirannya tak keruan kerjanya, akan tetapi mempunyai kecerdikan yang melebihi orang waras.

   "Benar, suhu. Teecu ingin sekali pergi ke kota raja."

   "Kau gila! Di kotaraja penuh dengan orang-orang gila yang berbahaya."

   "Tidak apa, suhu. Gila bertemu gila, bukankah sudah cocok?"

   "Ha ha ha, boleh, boleh! Akan tetapi..."

   Ia memandang kepada muridnya dengan tajam dan melihat pakaian yang melekat ditubuh Tiong San, pakaian yang hanya patut disebut setengah pakaian karena tinggal pendek saja.

   "Pakaianmu itu... buruk sekali!"

   "Tak lebih buruk dari pada pakaian yang dipakai suhu."

   Thian-Te Lo-Mo memandang kepada pakaiannya sendiri, lalu ia berkata,

   "Orang-orang kota raja pakaiannya indah-indah!"

   Ia mengangguk-angguk.

   "Kau seorang sastrawan, mengapa pakaianmu begitu? Ayo, kau cari pengganti pakaian yang indah, kalau tidak aku tidak mau membawamu ke kota raja!"

   Sambil berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangannya seakan-akan mengusir perginya muridnya. Dengan tertawa terkekeh-kekeh Tiong San lalu pergi meninggalkan suhunya sambil berkata,

   "Suhu tunggu saja, teecu akan mencari pengganti pakaian yang indah-indah."

   Ia berlari ke sebuah rumah di dekat danau Taming. Rumah ini adalah sebuah rumah tempat beristirahat seorang berpangkat yang kaya raya. Dengan mempergunakan kepandaiannya, ia dapat memasuki rumah itu dari atas genteng tanpa dilihat seorangpun. Ia mengintai dan melihat dua orang pelayan sedang membungkus pakaian dan barang-barang lain oleh karena majikan mereka hendak kembali ke kota setelah puas berperahu di atas danau.

   "Kau lihat, alangkah halus dan indahnya pakaian kongcu ini! Katanya terbuat dari pada sutera dari selatan yang amat mahal!"

   Kata seorang di antara mereka yang lalu mengeluarkan satu stel pakaian warna hijau muda.

   "Coba kau lihat, pantas tidak aku memakai pakaian ini!"

   Ia lalu mengenakan pakaian itu sehingga nampak gagah karena pakaian itu adalah pakaian seorang pemuda kaya raya yang indah.

   "Bukankah aku pantas menjadi seorang siucai (pelajar) yang pandai dan hartawan?"

   Tanyanya kepada kawannya, sambil memutar-mutar tubuhnya.

   "Kau seperti orang gila!"

   Kata kawannya.

   "Mukamu yang buruk itu sama sekali tak pantas memakai pakaian ini! Ayo lekas kau buka lagi, kalau ketahuan oleh kongcu, kau akan dipukul!"

   Sementara itu, Tiong San suka sekali melihat pakaian pelajar yang dipakai oleh pelayan tadi. Memang semenjak dulu, Tiong San suka kepada pakaian warna hijau. Ia melihat betapa pakaian itu dilipat baik-baik kemudian dimasukkan ke dalam sebuah bungkusan. Lalu kedua pelayan itu membereskan barang-barang lain. Ketika seorang di antara mereka menengok, ia menjadi terkejut dan bertanya,

   "Eh eh, mana bungkusan pakaian tadi?"

   Kawannya juga terheran-heran.

   "Bukankah tadi di sini?"

   Ia menuding ke arah tempat bungkusan tadi terletak.

   "Atau kau telah memindahkannya tanpa kau sadari?"

   Mereka mencari-cari di sekeliling kamar itu, akan tetapi tidak mendapatkan bungkusan itu. Tiba-tiba, orang yang tadi mencoba pakaian hijau, memandang dengan mata terbelalak dan berseru,

   "Itu dia!"

   Kawannya berpaling dan melihat bungkusan yang hilang tadi telah berada di tempatnya kembali!

   "Lho! Kenapa tadi tidak ada di situ?"

   "Entah, tadi memang tidak ada di situ?"

   Keduanya memandang heran tanpa berani mendekati bungkusan itu dan saling pandang dengan muka pucat. Akhirnya mereka memberanikan hati dan mengambil bungkusan itu lalu membukanya untuk memeriksa, dan dengan kaget mereka mendapat kenyataan bahwa pakaian warna hijau yang dibicarakan tadi beserta sestel pakaian merah telah lenyap!

   "Pakaian kongcu hilang!"

   Teriak yang mencobanya tadi.

   "Juga pakaian merah Taijin lenyap!"

   Seru kawannya.

   "Siapa yang ambil?"

   "Tak mungkin orang bisa ambil. Bukankah semenjak tadi kita berada di sini?"

   "Kalau begitu...?"

   "Kalau begitu... tentu... setan yang... yang..."

   Belum habis kata-kata diucapkan, mereka sudah lari keluar dari kamar dengan bulu tengkuk berdiri, untuk melaporkan hal yang aneh itu kepada majikan mereka. Sementara itu, sambil tertawa-tawa gembira, Tiong San kembali mencari suhunya sambil membawa dua stel pakaian warna hijau dan merah. Tadi ia telah mempergunakan kepandaiannya dan dengan ujung cambuk ia dapat mengambil bungkusan itu melalui jendela tanpa terlihat oleh dua pelayan dan setelah mengambil pakaian hijau itu. Ia melihat satu stel pakaian merah. Ia teringat bahwa suhunya suka akan warna merah. Buktinya tiap kali melihat ikan merah, selalu diusahakannya agar tertangkap. Maka ia lalu mengembalikan bungkusan dengan cara yang sama, tanpa diketahui oleh dua pelayan itu.

   "Suhu, suhu!"

   Serunya dengan suara girang ketika melihat suhunya telah menyandarkan tubuh pada sebatang pohon sambil mendengkur. Biasanya ia tidak mau mengganggu suhunya. Akan tetapi kali ini ia terlampau girang hingga ia tidak dapat menahan kegembiraan hatinya dan memanggil-manggil suhunya yang sedang tidur. Ketika Thian-Te Lo-Mo membuka matanya, Tiong San memperlihatkan dua stel pakaian itu sambil berkata,

   "Suhu, lihat, bukankah indah sekali pakaian ini? Satu untuk teecu dan satu untuk suhu!"

   Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Apa? Kau mau suruh aku memakai pakaian seperti orang-orang gila?"

   "Kalau suhu tidak mau memakai pakaian ini, teecu pun tidak mau memakainya."

   "Kenapa begitu?"

   "Karena seorang murid hanya mencontoh suhunya saja. Apa yang suhu lakukan, harus murid lakukan pula. Juga, sudah menjadi kebiasaan bahwa untuk makan hidangan lezat-lezat, orang harus mengenakan pakaian baru, baru kelezatan itu terasa benar!"

   Kata-kata yang terakhir ini hanyalah merupakan akal bujukan Tiong San saja agar suhunya suka memakai pakaian itu. Thian-Te Lo-Mo tertawa gembira dan ia lalu mengambil pakaian warna merah berkembang itu.

   "Aku mau pakai yang ini biar kelihatan seperti ikan emas!"

   Guru dan murid lalu mengenakan pakaian indah itu. Thian-Te Lo-Mo kelihatan lucu dan lebih gila dari pada biasanya ketika ia mengenakan pakaian warna merah berkembang itu! Ia senang sekali dan memandangi pakaian yang dipakainya seperti seorang anak kecil memakai pakaian baru. Adapun Tiong San setelah mengenakan pakaian indah itu, tiba-tiba teringatlah ia akan masa dulu dan timbul pula sifat pesolek yang terdapat dalam dada tiap orang muda. Pakaian itu memang pantas sekali dan kebetulan ukurannya cocok benar.

   "Suhu, teecu hendak mencari sepatu dulu!"

   "Boleh, boleh, pergilah! Akan tetapi jangan kau harap akan dapat memaksaku memakai sepatu. Kakiku akan menjadi sakit-sakit rasanya kalau terkurung dan disiksa dalam sepatu!"

   Kembali terjadi keanehan di antara para pelancong di telaga Taming.

   Seorang pelancong sedang enak-enak duduk di atas bangku di pinggir danau dan menikmati pemandangan indah. Tiba-tiba merasa betapa kedua kakinya yang tergantung dari bangku dibetot orang sehingga ia hampir jatuh dan ketika ia melihat ke arah kedua kakinya, wajahnya menjadi pucat dan matanya terbelalak karena sepasang sepatunya yang tadi dipakainya kini telah lenyap tanpa diketahui siapa yang telah mencabut dari kakinya. Tak lama kemudian, nampaklah seorang pemuda yang tampan sekali dengan pakaian warna hijau muda, sepatu biru dan rambutnya diikat dengan pita merah, berjalan cepat bersama seorang kakek yang berpakaian merah berkembang berkaki telanjang dan rambutnya yang panjang awut-awutan di atas pundak! Mereka ini adalah Tiong San dan Thian-Te Lo-Mo yang berjalan cepat menuju ke kota raja.

   Tiong San benar-benar merupakan seorang pelajar yang cakap dan aneh, karena biarpun pakaiannya seperti seorang pelajar tulen, akan tetapi pada pinggangnya tergantung sebatang cambuk panjang yang digulung dan gerak-geriknya cepat dan gagah, tidak seperti pelajar yang biasanya lemah dan halus. Sebaliknya, Thian-Te Lo-Mo yang biasanya lebih menyerupai seorang pengemis gila, kini seperti seorang pembesar yang kaya raya dan yang tiba-tiba menjadi gila. Pakaiannya yang merah indah itu sama sekali tidak sesuai dengan rambutnya yang awut-awutan dan kakinya yang telanjang. Liong Ki Lok dang Liong Bwee Ji tiba di kota raja. Dengan perasaan berat guru silat itu mengantar anak perempuannya ke gedung pangeran Ong Tai Kun yang besar dan luas pekarangannya. Kedatangannya disambut oleh Te-Sam Tai Ciangkun Ban Kong sendiri dan lima orang perwira-perwira lain.

   "Aha! Akhirnya kau menyerah juga, Liong-Kauwsu!"

   Kata Ban Kong sambil tersenyum simpul.

   "Kau berlaku pintar kalau mau menurut dengan baik-baik, karena orang yang menentang kehendak Ongya adalah sebodoh-bodohnya orang!"

   Karena merasa segan untuk bicara dengan perwira ini, Liong Ki Lok dan Bwee Ji tidak menjawab, hanya memandang dengan mata mengandung kebencian besar.

   "Atau salahkah terkaanku?"

   Kata Ban Kong pula melihat sikap mereka. Apakah kalian datang hendak memberi kartu undangan? Apakah kau benar-benar telah mendapatkan calon menantumu, orang she Liong?"

   Pada saat Liong Ki Lok hendak menjawab, tiba-tiba Bwee Ji yang membuang muka ke belakang, melihat datangnya dua orang yang berlari-lari masuk ke pekarangan itu. Ia lalu memegang tangan ayahnya erat-erat, dan berbisik,

   "Ayah... dia datang...!"

   "Dia siapa...?"

   Ayahnya bertanya dan menunda maksudnya untuk menjawab pertanyaan Ban Kong.

   "Shan-Tung Koay-Hiap! Dia datang!"

   Suara Bwee Ji setengah bersorak, biarpun dikeluarkan dengan perlahan, membuat ayahnya juga menengok ke belakang. Benar saja, ia melihat seorang pemuda tampan berpakaian hijau dan seorang kakek berpakaian merah. Biarpun tadinya ia merasa ragu-ragu dan pangling melihat mereka berdua ini, akan tetapi setelah memperhatikan, ia mengenal wajah Tiong San yang cakap. Dalam keadaannya yang terdesak, Liong Ki Lok lalu mengambil keputusan nekat.

   "Tai-Ciangkun,"

   Katanya kepada Ban Kong.

   "Memang aku telah mendapat menantu, dan menantuku adalah Shan-Tung Koay-Hiap yang sekarang telah datang kesini!"

   Ia menunjuk ke arah dua orang yang kini telah memasuki pekarangan dan berjalan menuju ke pintu di mana mereka berdiri. Ban Kong memandang dan mukanya menjadi pucat.

   "Dia... mereka... datang...!"

   Kemudian ia berpaling kepada kawan-kawannya dan berkata.

   "Awas, yang datang adalah Thian-Te Lo-Mo dan muridnya. Panggil kawan-kawan!"

   Ia sendiri lalu mengeluarkan ruyungnya, diikuti oleh kawan-kawannya yang segera mencabut pedang. Seorang di antara mereka lari ke dalam untuk memanggil kawan-kawan untuk mengepung dan mengeroyok kakek gila yang mereka takuti itu. Ketika Tiong San dan suhunya tiba di kota raja, pemuda itu memang segera mengajak suhunya menuju ke gedung pangeran Ong. Karena maksudnya yang terutama pergi ke kota raja adalah ingin menolong Liong Ki Lok dan yang kebetulan sekali mereka jumpai pada saat yang tepat di pekarangan gedung itu. Maka mereka lalu berhenti di dekat mereka dan Thian-Te Lo-Mo memandang gedung besar itu sambil tersenyum-senyum karena ia teringat akan pengalaman-pengalamannya dahulu ketika ia main-main di kota raja dan mencuri cap-cap pangkat para pembesar dan pangeran!

   

Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini