Pendekar Gila Dari Shantung 1
Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 01
Kurang lebih sepuluh li jauhnya di sebelah barat daya dari So-Cou, terdapat sebuah telaga Tai-Hu yang amat indah pemandangannya. Airnya bening dan tak pernah surut, demikian beningnya sehingga segala warna yang berada di pinggir dan di atasnya tercermin ke dalamnya menimbulkan tata warna yang indah mengagumkan. Langit biru terhias awan-awan putih, daun-daun pohon berwarna hijau dihias bunga-bunga merah kuning dan kebiruan membayang dalam air, agaknya lebih hidup dari pada warna aslinya.
Apabila tidak ada angin bertiup, air telaga Tai-Hu demikian tenang, licin mengkilap bagaikan lukisan besar tertutup kaca. Sewaktu terdapat angin bertiup, air menjadi hidup bergoyang-goyang mendatangkan keriput dan membuat seluruh pemandangan yang terbayang di dalamnya berubah aneh dan lucu. Sukar untuk melukiskan keindahan telaga ini. Di sebelah kiri terdapat tetumbuhan kecil terdiri dari bermacam-macam bunga liar yang seakan-akan sengaja mendekati telaga agar bunga-bunga itu dapat bercermin setiap waktu, mengagumi kecantikan sendiri di dalam bayangan air. Di sebelah kanan penuh dengan pohon-pohon besar yang berbatang bengkak-bengkok seperti tubuh orang-orang sedang menari, dengan cabang dan rantingnya penuh daun itu bergerak-gerak tertiup angin,
Mendatangkan suara berkerisik seakan-akan banyak daun itu saling bercakap-cakap memuji keindahan telaga dan cabang-cabang merupakan tangan dan jari-jari para penari ulung yang sedang menari menurutkan irama yang didatangkan dari desau angin lalu. Di sebelah kanan, yakni di seberang sana, terdapat beberapa buah bangunan kecil berbentuk menara-menara mungil yang dicat merah, hijau, biru dan kuning, nampak indah merupakan perpaduan yang harmonis antara keahlian tangan dan otak manusia dan keaslian alam di sekelilingnya. Di sebelah sini, terdapat tanah pasir yang bersih dan banyak sekali perahu-perahu tambangan diikat pada patok-patok yang ditancapkan di atas pasir. Inilah perahu-perahu sewaan yang dapat disewa setiap saat oleh para pelancong yang ingin menghibur hatinya di telaga itu.
Di dekat menara-menara yang kecil mungil itu banyak terdapat orang berdagang, di antaranya dapat dibeli arak, makanan dan juga di situ banyak orang menjual alat tulis seperti pit, tinta, kertas atau kain putih yang biasa ditulisi, bahkan ada pula yang kosong dan belum dilukis. Semua ini disediakan bagi para pelancong yang sebagian besar tergerak hatinya melihat keindahan alam ini dan yang menimbulkan hasrat untuk menulis sajak atau melukis keindahan itu di atas kertas, kain ataupun di atas kipas. Pada hari itu, telaga Tai-Hu istimewa ramainya. Tidak heran oleh karena musim bunga telah tiba. Bunga-bunga beraneka ragam mekar semua dan membuat pemandangan di sebelah kiri telaga nampak luar biasa indahnya. Angin bertiup perlahan, membawa sari kembang yang harum semerbak ke sekeliling telaga. Berbagai macam orang datang mencari hiburan di telaga Ti-hu pada waktu itu.
Akan tetapi yang terbanyak di antara mereka adalah para pelajar dan sasterawan, yang dapat dikenal dari keadaan pakaian mereka. Juga ada beberapa orang bangsawan yang menghibur hati di telaga itu, ternyata dari perahu mereka yang dihias bendera dan para penjaga yang berdiri di kepala perahu atau yang mengawal dengan perahu kecil terpisah. Di atas beberapa buah perahu yang besar dan yang berbau bangsawan, terdengar nyanyian-nyanyian indah diiringi musik yang menawan hati. Memang, kalau orang ingin berpelesir di atas perahu sambil mendengarkan nyanyian indah, asal orang mempunyai uang, mudah saja maksudnya ini tercapai. Di situ telah siap sedia "Calo-calo"
Atau makelar yang dapat mencarikan penyanyi-penyanyi yang dapat disewa untuk menghibur hati mereka yang suka mendengar suara merdu.
Setiap datang musim semi, alang-alang yang hijau segar tumbuh di pinggir telaga, menari-nari tertiup angin di atas air menambah indah pemandangan. Dan pada hari itu, di dekat rumput alang-alang ini, nampak sebuah perahu kecil yang diduduki oleh tiga orang pemuda berpakaian pelajar. Mereka masih muda sekali, rata-rata berusia tak lebih dari lima belas tahun, berwajah tampan dan bersikap halus bagaikan gadis-gadis simpanan. Seorang di antaranya yang paling cakap dan tampan mengenakan pakaian serba hijau dengan garis-garis kuning. Topinya juga berwarna kuning. Mukanya lebar dan tampan, dengan alisnya yang berbentuk golok dan hitam sekali membuat wajahnya makin nampak putih. Biarpun sikapnya lemah lembut, namun sepasang matanya yang bersinar cerdik dan mulutnya yang berbentuk keras itu menunjukkan bahwa ia adalah seorang pemuda yang berkemauan keras.
Dua orang kawannya juga berwajah cakap dan sikap mereka gembira, berbeda dengan pemuda baju hijau yang agak pendiam. Seorang mengenakan pakaian biru dan yang kedua berpakaian kuning. Menilik dari bahan pakaian yang mereka pakai, dapat diduga bahwa ketiganya adalah pelajar-pelajar yang tidak kaya, karena sungguhpun pakaian mereka rapi dan bersih, namun terbuat dari bahan yang tidak mahal. Mereka bertiga duduk di papan perahu menghadapi sebuah meja persegi kecil. Seguci kecil arak dengan tiga cawan terletak di atas meja itu, dan sebungkus kue kering menemani arak. Mereka bercakap-cakap sambil makan kue dan minum arak. Selain arak dan kue, juga nampak tiga buah kipas yang masih kosong, yang mereka beli di dekat menara tadi. Alat-alat tulis lengkap berada pula di situ, berikut sebuah buku syair kuno yang tebal dan sudah kuning kertasnya karena terlalu tua.
Pemuda baju hijau itu adalah putera seorang bangsawan yang telah meninggal dunia. Karena semasa hidupnya, ayahnya memegang jabatan dengan jujur dan adil sehingga tidak seperti pembesar lain, hidupnya miskin, hanya mengandalkan gajinya yang tidak seberapa besar. Bangsawan she Lie itu tidak mau menjalankan pemerasan kepada rakyat sebagaimana yang lazim dilakukan oleh setiap orang berpangkat pada masa itu, hingga pada suatu waktu ia menderita sakit sampai meninggal dunia, ia tidak meninggalkan warisan harta besar selain kepandaian yang dimiliki oleh putera tunggalnya ini yang bernama Tiong San. Memang semenjak kecil, bangsawan Lie telah banyak mempergunakan uangnya untuk memberi pelajaran ilmu kesusasteraan kepada puteranya dengan pengharapan agar kelak dapat menduduki pangkat tinggi.
Akan tetapi, biarpun Tiong San dalam usia lima belas tahun telah lulus dengan baik dalam ujian pemerintah, namun pada masa itu sukarlah bagi seorang pelajar untuk merebut kedudukan tinggi dalam kalangan pemerintah. Oleh karena mereka yang berwenang menetapkan pembagian pangkat adalah seorang yang hanya memandang uang sogokan. Siapa saja yang memiliki uang dan berani memberi suapan besar, biarpun belum pernah lulus ujian, akan dapat memiliki pangkat kecil dengan amat mudah. Sebaliknya Tiong San yang telah ditinggal mati ayahnya hidup dengan ibunya yang mengandalkan hasil kerajinan tangan, biarpun hasil ujiannya baik, namun tak mungkin bisa memperoleh pangkat yang bagaimana kecilpun! Hal ini amat menyedihkan hatinya dan ia menjadi sebal melihat keadaan petugas-petugas pemerintah yang hanya memandang harta itu.
Hatinya menjadi tawar, bahkan ia tidak mempunyai keinginan sama sekali untuk memegang pangkat. Sehingga andaikata ia mendapat tawaran untuk menduduki sebuah pangkat, ia tentu akan menolaknya. Pada hari itu, ia meninggalkan rumahnya dan diberi ijin oleh ibunya untuk bermain-main di telaga Tai-Hu yang agak jauh letaknya dari kampung tempat tinggalnya, oleh karena ibunya merasa kasihan melihat kesedihan puteranya dan ingin melihat puteranya itu bergembira dengan kawan-kawannya. Maka pergilah Tiong San dengan dua orang kawannya itu menghibur diri di telaga Tai-Hu. Kedua orang kawannya itu adalah kawan-kawan sekolahnya yang melanjutkan pelajarannya di kota raja, dan kini sedang berlibur kembali ke kampung masing-masing. Mereka adalah kawan sekampung dan telah menjadi sahabat karib semenjak kecil.
Si baju biru bernama Khu Sin, putera kepala kampung mereka yang juga terkenal jujur dan bijaksana. Khu Sin dikirim oleh ayahnya ke kota raja untuk melanjutkan pelajarannya dan tinggal di rumah pamannya yang menjadi pemilik rumah makan. Pemuda berbaju kuning bernama Thio Swie, putera seorang guru sastra di kampung mereka yang juga telah meninggal dunia dan kini hidup berdua dengan ibunya yang telah menjanda. Seperti Khu Sin, Thio Swie inipun melanjutkan pelajarannya di kota raja dan tinggal di rumah bibinya yang kawin dengan seorang pemilik toko obat. Kini kedua kawan sekampung itu pulang dalam waktu libur dan berpelesir dengan Tiong San di telaga Tai-Hu, karena mereka berdua memang suka sekali kepada Tiong San yang terkenal paling pandai di antara mereka. Dalam kegembiraan mereka, Thio Swie si baju kuning berkata sambil tertawa kepada Tiong San,
"Sekarang lebih baik kita mencoba ingatan masing-masing tentang sajak jaman dahulu. Kau terkenal ahli sajak yang banyak hafal akan sajak-sajak jaman dahulu, bahkan kitab sajak ini ke manapun kau bawa."
Tiong San tersenyum.
"Boleh, dan tentu saja kau dan Khu Sin telah banyak mempelajari sajak-sajak baru di kota raja. Asal kau tidak menyebut sajak yang baru dan yang belum pernah ku dengar tentu aku masih ingat."
"Biar aku dulu yang mengajukan sebuah sajak untuk diterka oleh Tiong San!"
Kata Khu Sin yang segera mendongakkan mukanya yang cakap itu ke atas memandang awan-awan yang terbang lalu dengan perlahan. Ia mengingat-ingat sebentar, kemudian ia mendeklamasikan sebuah sajak dengan gaya yang menarik.
Berkawan arak setiap hari di perahuku,
Mendengarkan nyanyi sunyi, dari bawah alang-alang merayu-rayu,
Angin bertiup lalu, angkasa terang tiada awan,
Air dan langit bersih bagai kaca kehijau-hijauan.
Tiong San tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Kau memilih syair yang tepat, Khu Sin!"
Ia memuji.
"Itulah sajak yang ditulis oleh Yang Pei pada masa dinasti Sung ketika ia berkunjung ke sini dan menikmati keindahan pemandangan telaga Tai-Hu."
"Bagus, ternyata ingatanmu masih amat tajam!"
Thio Swie memuji Tiong San.
"Dan sajak yang baru saja diucapkan oleh Khu Sin amat baiknya, kalian harus diberi selamat dengan secawan arak!"
Sambil berkata demikian Thio Swie yang berwatak gembira lalu menuangkan arak dari guci, memenuhi cawan masing-masing dan mereka lalu mengangkat cawan dan minum dengan gembira.
"Sekarang giliranku,"
Kata Thio Swie sambil pasang aksi memikir-mikir dengan mengerutkan jidat bagaikan seorang ahli sastra beraksi.
"Dengarkan baik-baik, Tiong San, karena kau tentu takkan bisa menerka siapakah pengarang sajak ini."
Thio Swie mengucapkan sajak pilihannya dengan mimik (gerak) muka yang lucu seakan-akan ia sedang beraksi di depan ribuan penonton di atas panggung.
Tiap hari cawanku penuh arak wangi,
Duduk di taman bunga kecil indah sunyi,
Tiap hari aku bernyanyi dan menari gembira ria.
Lempar jauh-jauh segala susah dan duka,
Yang lalu hanya mimpi kosong belaka.
Lihatlah! Orang-orang besar mati menjadi tanah hampa,
Tidak sibuk lagi memperebutkan kedudukan dan nama!
Karenanya, bersenang-senanglah selagi kau bisa!
"Aah, siapa lagi orangnya kalau bukan Cu Si Cen yang tak kenal susah dan duka? Sudah semenjak kecil aku mengagumi orang itu!"
Kata Tiong San dan Thio Swie bertepuk-tepuk tangan dengan gembira lalu memperlihatkan ibu jarinya.
"Kau memang jempol, Tiong San! Sepintas saja kau sudah dapat menerka siapa penyairnya,"
Ia memuji dan menuangkan arak kembali ke dalam cawan masing-masing.
"Memang Cu Si Cen orangnya berwatak suci dan tidak mau memusingkan otaknya dengan segala keruwetan dunia. Sebagai seorang terpelajar yang gagal memperoleh kedudukannya menjadi tak acuh lagi dan menyerahkan diri kepada nasib,"
Kata Khu Sin sambil menarik napas. Kemudian ia memandang tajam kepada Tiong San dan tiba-tiba menepuk pundak kawannya itu.
"Ah, Tiong San, aku menjadi ingat akan sesuatu. Kau mempunyai persamaan yang besar sekali dengan perenung itu!"
Tiong San hanya tersenyum pahit dan berkata,
"Betapapun juga aku tidak suka kepada orang yang hanya menyerahkan diri kepada nasib tanpa mau berusaha dan berdaya upaya. Nasib adalah kurnia dari Thian Yang Maha Agung. Akan tetapi bukanlah kehendak Thian bahwa orang hanya menanti dan menyerahkan diri kepada nasib belaka, seakan-akan menyerahkan segala pekerjaan kepada Thian yang sudah cukup memberi berkah berlimpah-limpah! Orang-orang yang tidak mau berikhtiar dan hanya menyerahkan diri kepada nasib adalah orang-orang malas yang tiada guna!"
Tiong San nampak bersungguh-sungguh ketika mengucapkan kata-kata ini sehingga kedua orang kawannya mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Coba saja kalian pikir!"
Kata pemuda itu pula yang biarpun masih muda sekali akan tetapi telah pandai menerawang dan mempergunakan otaknya secara luas.
"Thian telah memberi kurnia kepada kita selengkapnya. Ada sepasang tangan untuk bekerja, sepasang kaki untuk berjalan, lengkap dengan otak dan perasaan ditambah pertimbangan dan kecerdikan. Akan tetapi kalau kita tidak berikhtiar, tidak berusaha dan bekerja, tidak mencangkul tanah dan mempergunakan kecerdikan sendiri untuk menanam gandum dan mengerjakan segala kebutuhan kita, tak mungkin segala macam makanan, pakaian dan keperluan lain datang sendiri! Thian cukup adil, dan murah hati, akan tetapi tidak seharusnya diperas habis-habisan!"
Tiba-tiba Thio Swie tertawa bergelak.
"Tiong San, kata-katamu ini biarpun tak dapat kubantah kebenarannya, akan tetapi kenyataannya pada dewasa ini sama sekali menyangkal kebenaranmu! Lihat saja, orang-orang besar tanpa berusaha, tanpa berikhtiar, hanya dengan duduk ongkang-ongkang dan goyang-goyang kaki dan mengipas-ngipas tubuh di atas kursi, semua keperluannya datang berlebih-lebihan! Bukankah itu karena nasib mereka yang amat baik? Seperti Wu Yen Kau pernah menulis,
Nasib, kau makhluk penuh senda-gurau
Tak perduli kutuk tangis, tak hiraukan puji syukur!
Kadang-kadang di sini, kadang kala di sana, naik turun,
Mendatangkan senyum menimbulkan air mata!
"Itu bukan karena nasib, kawanku,"
Kata Tiong San sambil menarik napas.
"Akan tetapi karena salahnya keadaan dan keadaan hidup manusia bukanlah datang dari Thian. Akan tetapi timbul oleh karena perbuatan manusia sendiri. Kalau pengemudinya tidak pandai memegang kendali, kuda-kudanya akan berlari liar dan kereta yang ditariknya akan lari pontang panting kacau-balau dan banyak kemungkinan masuk ke dalam jurang. Demikian pula, kalau pemegang kendali pemerintah kurang bijaksana, maka para petugas akan dimabok kecurangan dan rakyat akan mengalami hidup sengsara..."
"Sst! Tiong San, jangan keras-keras! Kita bukan berada di dalam sebuah kamar tertutup di rumah sendiri,"
Kata Khu Sin dengan muka khawatir.
"Dindingpun pada waktu ini bertelinga, kau harus bicara dengan hati-hati, kawan!"
Kata pula Thio Swie memperingatkan.
"Lebih baik kita lanjutkan dengan sajak-sajak kuno yang mengandung banyak filsafat hidup dari pada membicarakan hal yang bukan menjadi tugas kita untuk memusingkannya. Ingatkah kau kepada ahli filsafat Cu Si yang pernah berkata,
Siapakah tak ingin biliknya penuh emas?
Siapakah tak ingin gudangnya penuh gandum?
Namun cita-cita akan tetap tinggal cita-cita
Kalau sang nasib tidak membantu pelaksanaannya!
Nasib anak-anak pun tak dapat kau tentukan di muka!
"Ah, Thio Swie, kau harus menjadi seorang pemeluk agama Tao, pergi ke puncak gunung mengasingkan diri, duduk melamun sepanjang hari dan mengucapkan syair yang dibuat oleh Su Tung Po,
Mengapa mengejar-ngejar nama besar tak berharga,
yang hanya terletak di atas tanduk seekor siput?
Mengapa mencari-cari keuntungan,
yang pada hakekatnya amat kecil hingga dapat ditimbang di atas kepala lalat?
Semua itu tiada gunanya!
Segala sesuatu sudah ditentukan oleh sang nasib
Siapa beruntung, siapa sengsara!
Ditegur sedemikian oleh Tiong San, Thio Swie hanya tersenyum gembira.
"Kalau aku menjadi pertapa, hanya satu tempat yang akan kupilih menjadi tempat pertapaanku." "Di mana?"
Tanya Khu Sin.
"Di atas tempat tidur yang empuk dengan tilam yang putih bersih dan bantal kepala yang empuk dan harum!"
"Ah, kau pemalas, itu bukan pertapa namanya, akan tetapi tukang tidur dan mimpi!"
Ketiganya tertawa dan demikianlah ketiga orang muda itu tertawa-tawa gembira, mendeklamasikan sajak-sajak kuno dan bercakap-cakap tentang sastra yang menjadi kesukaan mereka. Keadaan di atas telaga makin ramai, perahu-perahu bertambah dan suara suling merayu-rayu yang diikuti suara yang-khim untuk mengiringi suara nyanyian merdu seorang penyanyi wanita, menambah gembira suasana. Tiba-tiba di tempat perahu-perahu berkumpul terdengar seruan orang-orang sambil tertawa,
"Orang gila! Orang gila!"
Tiong San dan dua orang kawannya memandang dan mereka melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus yang hampir telanjang karena tubuhnya hanya tertutup oleh sebuah celana yang pendek sampai di atas lutut sedangkan bajunya hanya menyerupai kutang yang menutup dada dan perut saja. Laki-laki itu usianya paling sedikit lima puluh tahun, akan tetapi rambutnya yang panjang terurai ke atas kedua pundaknya, masih nampak hitam. Ia berjalan-jalan di antara perahu-perahu kosong yang belum mendapat penyewa dan menggunakan sebatang pecut panjang yang dipegang di tangan kirinya untuk memecuti perahu-perahu itu sambil mulutnya tiada hentinya berkemak-kemik. Orang-orang yang dekat dengan dia mendengar ia berkata perlahan.
"Ayo berkumpul... pulang ke kandang..."
Seakan-akan perahu-perahu itu adalah sekumpulan kerbau yang sedang digembala olehnya. Orang gila yang suka mengamuk amat ditakuti orang. Akan tetapi orang gila yang tidak berbahaya selalu menjadi ejekan dan bahan godaan orang. Maka melihat betapa orang gila ini tidak berbahaya dan sama sekali tidak memperdulikan sekian banyak orang yang berada di pantai telaga, ada beberapa orang yang hendak menggodanya,
"Eh, orang tua, agaknya kau gila kerbau!"
Kata seorang sambil tertawa-tawa.
"Siapa bilang dia gila!"
Kata seorang lain.
"Dia adalah seorang hartawan yang sedang menggiringkan seratus ekor kerbau ke kandangnya!"
Seorang nelayan lain yang merasa kurang puas kalau hanya menggoda dengan kata-kata saja, lalu melangkah maju hendak menarik rambut orang gila yang bergantungan di atas pundak itu.
Akan tetapi sebelum ia tiba dekat, kakinya tergelincir di atas batu dan ia roboh terguling. Celaka baginya, ia terjatuh di tempat yang basah dengan muka lebih dulu sehingga ketika ia bangun kembali, mukanya penuh lumpur dan kedua matanya tak dapat melihat. Ia mengangkat kedua tangan meraba-raba ke sana ke mari sambil mengumpat caci hingga semua orang tertawa terpingkal-pingkal dan kini orang itulah yang menjadi tontonan. Si gila dengan diam-diam terus melangkah maju menjauhi tempat ramai, lalu duduk di bawah pohon di bagian kanan telaga, memukul-mukulkan pecutnya pada air telaga seperti orang sedang memancing ikan. Orang-orang tidak memperhatikan lagi padanya karena tempatnya agak jauh dari tempat ramai.
"Ada-ada saja,"
Kata Thio Swie yang tadi ikut tertawa bergelak melihat nelayan yang jatuh.
"Kawan-kawan, kipas kita masih kosong, mari kita isi dengan syair yang baik untuk kenang-kenangan!"
Kedua orang kawannya setuju dan mereka mulai sibuk menulis syair di atas kipas yang putih bersih itu.
"Kalian telah belajar di kota raja, tentu saja aku tak dapat melawan kalian. Baik dalam susunan syairnya maupun tulisannya,"
Kata Tiong San.
Akan tetapi Thio Swie dan Khu Sin maklum bahwa tulisan Tiong San bukan main indahnya sehingga guru mereka sendiri dulu amat kagum memujinya. Sedangkan dalam hal pembuatan syair, pemuda itupun amat pandai. Ketika Thio Swie dan Khu Sin sudah selesai membuat syair mereka, Tiong San masih saja duduk melamun dengan pit yang masih kering di tangan kanan dan kipas terbuka dihadapannya. Ia tak dapat menulis sesuatu oleh karena pikirannya masih penuh terisi peritiwa orang gila yang barusan terjadi. Entah mengapa, keadaan orang gila itu menarik perhatiannya. Seluruh keadaan orang gila itu membayangkan kebebasan yang mutlak baginya. Kalau lain orang bersopan-sopan, memakai pakaian yang mahal-mahal dan berpantas-pantasan, adalah orang gila itu seakan-akan terlepas dari pada segala ikatan dunia, bebas lepas seperti burung di udara.
Lihat betapa ia tadi berjalan seorang diri, bagaikan tak melihat sekian banyak orang di sekelilingnya. Kemudian sekarang duduk dengan enaknya di bawah pohon, bermain-main dengan pecut sendiri. Entah apa yang sedang dipikirkannya! Tiong San teringat akan keadaan orang-orang yang menganggap diri sendiri "Waras"
Dan nampak olehnya betapa banyak sekali kepalsuan dan keburukan terdapat pada orang-orang yang tidak gila ini. Seperti dia sendiri, ia bersenang selagi hatinya murung, selagi banyak sekali hal mengganggu ketentraman jiwanya, tentang kegagalan mendapat pangkat, tentang keadaan ibunya yang telah menjadi janda, tentang orang-orang berpangkat yang melakukan korupsi besar-besaran, tentang kesengsaraan rakyat jelata... ah, semua ini tentu tidak terpikir atau mengganggu pikiran orang gila itu. Siapakah yang lebih gila, dia sendiri atau orang gila itu?
"Tiong San, lihat, syairku telah selesai!"
Kata Thio Swie dengan bangga. Tiong San sadar dari lamunannya dan terpaksa ia berkata sambil tersenyum,
"Cepat sekali, Thio Swie dan bagus sekali tulisanmu. Coba kau bacakan syairmu itu!"
Juga Khu Sin yang telah selesai menulis syairnya itu minta kepada Thio Swie untuk membacakan syairnya lebih dulu. Thio Swie lalu membaca syairnya setelah batuk-batuk untuk membuat suaranya terdengar lebih nyaring dan merdu.
Awan putih berkejaran di angkasa biru,
Bagaikan sekelompok angsa berenang di telaga Tai-Hu!
Air telaga bersih bening penuh bayang-bayang nyata
Menarik semua keindahan di atas pada dasarnya
Kita minum arak ditengah-tengah, antara air dan angkasa
Menjadi bingung tak kuasa menerka
Mana langit dan mana telaga?
"Bagus, bagus!"
Tiong San dan Khu Sin memuji-muji keindahan sajak itu.
"Coba saja kalian dengarkan syairku.
"
Kata Khu Sin yang lalu membaca syairnya di atas kipasnya.
Perahu kecil diayun air telaga Tai-Hu
Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bagaikan bayi dalam timangan ibu,
Menghadapi cawan penuh, dengan kawan-kawan bercengkerama
Menikmati keindahan Tai-Hu, raja telaga
Angin berkesiur lembut membawa nyanyian merdu
Kalau surga bukan di sini, di mana adanya aku tak tahu!
"Waah, syairmu itu lebih indah lagi!"
Kata Thio Swie sambil bertepuk tangan memuji, sedangkan Tiong San juga mengangguk-angguk memuji.
"Eh, mana syairmu?"
Tanya Thio Swie sambil melihat kipas Tiong San yang masih kosong. Juga Khu Sin merasa heran dan menegur sahabatnya itu. Tiong San menjadi merah mukanya karena memang ia belum menuliskan sehurufpun di atas kipasnya.
"Tunggu sebentar, kawan-kawan. Aku mendapatkan bahan baik untuk menuliskan syairku,"
Kata Tiong San dan kembali ia teringat akan orang gila yang ketika ia lirik ternyata masih saja duduk melenggut di bawah pohon sambil memegang gagang cambuknya seperti orang memancing ikan. Ia lalu mulai mencelupkan pitnya pada tinta hitam dan menulis dengan cepat seakan-akan tanpa dipikir lagi,
Memancing ikan dengan pecut tanpa kaitan
Bersikap seperti Kiang Cu Ce sang budiman
Orang menyebutnya gila, memang dunia penuh orang gila!
Yang waras dianggap gila, yang gila meraja lela
Aku....
Belum habis Tiong San menuliskan syairnya, tiba-tiba Thio Swie berteriak keras,
"Hai, apa kamu gila...??"
Dan baru saja ia berseru demikian untuk menegur sebuah perahu besar yang datang menubruk perahu kecil mereka. Tubrukan itu sudah terjadi dan hampir saja perahu mereka terguling! Baiknya perahu mereka yang kecil itu berdasar lebar hingga tidak terguling, hanya terombang-ambing dan terdorong sampai jauh.
"Kurang ajar!"
Seru Khu Sin
"Gila benar!"
Thio Swie memaki. Akan tetapi perahu besar itu melewat tanpa memperdulikan mereka dan anak perahu hanya memandang sebentar sambil tertawa-tawa. Dari atas perahu besar itu terdengar nyanyian merdu dan melihat bendera yang berkibar di atas perahu, maklumlah ketiga orang muda bahwa itu adalah perahu seorang pembesar tinggi. Tubrukan itu terjadi di tempat dekat pantai sebelah kanan di mana orang gila tadi duduk, dan perahu kecil Tiong San dan kawan-kawannya terdorong ke dekat pantai.
Orang gila itu sedang memukul-mukul pecutnya ke air dan ketika Tiong San memandang, ia terkejut sekali karena ternyata bahwa di atas air depan orang gila itu, nampak beberapa ekor ikan besar yang mati mengambang. Orang gila itu menggunakan pecutnya untuk mencambuk ikan-ikan besar yang berenang lewat dan dengan mudahnya menangkap ikan itu yang dikumpulkan di dekat tempat duduknya. Pada saat tubrukan terjadi, orang gila itu sedang mencambuk seekor ikan besar. Akan tetapi karena air menjadi bergelombang sebagai akibat tubrukan kedua perahu, maka ikan itu menjadi terkejut dan dapat menyelam ke bawah sebelum tubuhnya terpukul cambuk. Melihat kegagalannya ini, si gila lalu mengangkat mukanya dan melihat betapa Thio Swie dan Khu Sin mengacung-acungkan tinju sambil marah-marah ke arah perahu besar. Ia tertawa bergelak-gelak.
"Ikan besar selalu mengganggu ikan kecil, juga perahu besar mengganggu perahu kecil,"
Katanya dengan suara parau dan yang hanya terdengar oleh Tiong San yang sedang memperhatikannya karena kedua orang kawannya sedang sibuk memaki-maki perahu besar itu.
"Aku lebih suka menangkap ikan besar!"
Kata orang gila itu dan dan sekali ia menggenjot tubuhnya, ia telah melompat dengan luar biasa cepatnya ke atas perahu besar yang jaraknya tidak kurang dari tujuh tombak dari tempat duduknya. Tiong San terkejut sekali dan kalau ia tidak sedang memperhatikan orang gila itu, tentu ia tidak melihat gerakan itu karena gerakan si gila memang cepat sekali dan tubuhnya yang melompat hanya nampak bayangan berkelebat saja. Tahu-tahu di atas perahu besar terdengar suara ribut-ribut dan orang berteriak-teriak.
"Orang gila! Orang gila!!"
Lalu terdengar suara cambuk berdetak-detak seperti orang lagi mencambuki kerbau yang dihalaunya pulang. Thio Swie dan Khu Sin yang tidak melihat hal ini mengira bahwa orang-orang di atas perahu besar sedang memaki mereka, maka Thio Swie menjadi makin marah dan balas memaki.
"Kalian yang gila! Mengapa menabrak perahu kami?"
Akan tetapi biarpun ia memaki berulang-ulang, tidak ada orang yang meladeninya, dan suara di atas perahu besar makin gaduh saja. Mereka bertiga yang berada di perahu kecil tidak dapat melihat apa yang sedang terjadi di atas perahu besar yang tinggi itu. Akan tetapi dengan hati yang berdebar-debar, Tiong San dapat menduga bahwa si gila itulah yang mendatangkan keributan. Memang benar, karena orang-orang di perahu besar tiba-tiba melihat seorang tua yang berpakaian tidak keruan sedang mengayun-ayunkan cambuknya memberi hadiah kepada para anak buah perahu dengan satu sabetan. Sabetannya membuat kulit menjadi biru dan terasa sakit sekali. Lagak si gila ini seperti seorang ayah yang sedang memberi ajaran kepada anak-anaknya, karena sambil tersenyum-senyum dan mata terputar-putar ia berkata berkali-kali,
"Nah, rasakan! Kalau tidak dicambuk kalian tidak akan kapok!"
Setelah semua orang merasai cambukannya, si gila lalu melompat lagi ke darat. Akan tetapi tubuhnya menukik ke arah perahu Tiong San dan kawan-kawannya. Tiga orang anak muda itu hanya melihat bayangan hitam seperti burung garuda menyambar ke arah mereka dan ketika melihat lagi, bayangan itu telah lenyap dan bersama bayangan itu, ketiga buah kipas mereka juga turut lenyap! Thio Swie dan Khu Sin saling pandang dengan muka pucat.
"Apakah yang menyambar tadi dan... dan kipas kita telah digondol pergi!"
Kata Thio Swie dengan bengong.
"Jangan-jangan setan telaga Tai-Hu!"
Kata Khu Sin dengan bulu tengkuk meremang.
"Tiong San, mengapa kau diam saja?"
Tiong San memang sedang memandang ke arah tempat orang gila tadi duduk memancing ikan dan kini ia tidak melihat lagi orang itu yang telah pergi entah ke mana dan dengan cara entah bagaimana. Ia memandang kepada kedua kawannya dan mengangkat pundak.
"Aku sendiri tidak mengerti, bagaimana kipas kita bisa lenyap!"
Katanya.
"Sayang sekali karena syairku tadi belum selesai!"
"Heran sekali, jangan-jangan benar seperti kata Khu Sin bahwa yang mengganggu kita adalah setan telaga Tai-Hu,"
Kata Thio Swie.
"Sudahlah, hal ini baiknya jangan kita bicarakan lagi dan jangan memberitahukan kepada siapa pun juga,"
Kata Tiong San yang tidak mau menceritakan apa yang telah dilihatnya tadi.
"Kalau benar-benar yang mengambilnya malaikat telaga, siapa tahu syair kalian yang amat bagus itu akan menyenangkan hati Hai-liong-ong (Raja Naga) yang menguasai semua air dan kau berdua diangkat menjadi pembesar!"
"Hush, jangan begitu, Tiong San!"
Kata Khu Sin dengan wajah pucat karena pemuda ini memang agak takhyul dan percaya kepada dongeng-dongeng tentang raja naga itu. Juga Thio Swie yang biasanya suka berkelakar, kini menjadi pucat.
"Aku... aku tidak mau menjadi pembesar di dasar laut atau telaga! Mari... mari kita pulang saja. Lebih baik aku pergi tidur di kamarku dan kalau sudah bangun menganggap semua ini sebagai mimpi."
Pada saat itu, perahu besar tadi di dayung menuju ke arah mereka dan dari atas perahu kelihatan kepala orang menjenguk ke bawah memandang kepada mereka.
"Eh, eh... apakah mereka hendak menubruk kita lagi? Jangan-jangan perahu kita akan terbalik nanti, kata Khu Sin dengan muka marah.
"Kalau kita tenggelam, barangkali kita memang sudah akan diterima menjadi pembesar air!"
Thio Swie mulai berkelakar lagi setelah rasa kagetnya mereda.
"Hush, diam. Mereka rupanya hendak bicara dengan kita,"
Kata Tiong San. Benar saja, perahu itu berhenti dekat perahu mereka dan orang yang menjenguk itu berpakaian seperti seorang pelayan pembesar, yang segera berkata,
"Apakah sam-wi kongcu yang perahunya tertubruk tadi?"
Tanyanya.
"Benar, akan tetapi kami tidak pusingkan hal kecil itu,"
Kata Tiong San yang tidak mau berurusan dengan pembesar.
"Sam-wi, kalian dipersilahkan naik karena Ong-Taijin (pembesar Ong) hendak bertemu dengan kalian."
Tanpa menanti jawaban ketiga orang muda yang diundang itu, orang-orang di atas perahu besar segera menurunkan anak tangga terbuat dari kain yang menggantung turun sampai ke perahu kecil.
"Bagaimana ini?"
Thio Swie berkata kepada kedua orang kawannya.
"Apalagi yang akan terjadi dengan kita?"
"Naiklah saja, untuk apa ragu-ragu? Kita tidak mempunyai kesalahan sesuatu,"
Kata Khu Sin dan mereka lalu naik ke perahu besar melalui anak tangga itu. Akan tetapi, Thio Swie dan Khu Sin tidak mau naik lebih dulu dan memaksa Tiong San menjadi pelopor.
Mereka disambut oleh pelayan tadi yang dengan sikap hormat mengantar mereka masuk ke dalam ruang kamar perahu yang cukup luas dan yang berbentuk rumah indah di atas perahu itu, melalui sebuah pintu cat biru. Ketika mereka melangkahi ambang pintu, mereka tercengang melihat betapa keadaan dalam perahu itu amat mewah dan indah, tidak kalah dengan ruang dalam sebuah gedung besar. Terdapat tiga buah meja besar di situ yang penuh dengan dengan hidangan serba mewah dan lezat. Meja terbesar mempunyai beberapa bangku terukir dan di atas sebuah bangku duduk seorang laki-laki berpakaian mewah. Pada meja yang berada di ujung, duduk tiga orang wanita, sedangkan pada meja terkecil duduk pula beberapa orang wanita yang ternyata adalah penyanyi-penyanyi yang bermuka sebagai kedok karena kulit muka mereka tebal tertutup bedak dan yanci (bedak untuk memerahi muka).
Laki-laki yang duduk menghadapi meja besar itu bertubuh tinggi besar dan dari pakaiannya ternyata bahwa ia tentu seorang berpangkat tinggi. Wajahnya angker dan nampak galak sedangkan sikapnya angkuh sekali. Ketika para pemuda itu masuk, ia tidak menyambutnya dengan berdiri, hanya tetap duduk sambil mengangkat tangan memberi tanda agar supaya pelayan yang menyambut tadi keluar lagi. Tiong San dan kawan-kawannya melirik ke arah meja kedua. Di situ duduk menghadapi meja tiga orang wanita. Seorang di antara mereka sudah tua, agaknya isteri pembesar ini, yang seorang lagi masih muda dan cantik, sedangkan orang ketiga adalah seorang gadis yang mempunyai kecantikan seperti seorang bidadari dari kahyangan.
Sukar melukiskan gadis ini yang berpakaian mewah, akan tetapi memakai bedak yang tipis sekali. Kalau Thio Swie di suruh membuat syair memuji kecantikan gadis itu, tentu ia akan menyamakan gadis itu dengan burung hong, raja segala burung, dan kalau kembang ia adalah kembang seruni, kalau pohon tentu pohon liu (cemara) yang tidak saja indah, akan tetapi juga mempunyai batang yang lemas hingga dapat menari-nari kalau tertiup angin. Pembesar itu memandang kepada ketiga pemuda itu dengan matanya yang lebar dan ia nampak senang melihat tiga orang muda yang sopan santun dan tampan itu. Melihat bahwa orang yang mengundang mereka adalah seorang pembesar tinggi, Thio Swie yang telah sering bertemu dengan pembesar-pembesar di kota raja lalu menjura dengan amat hormatnya, di turut oleh Khu Sin dan Tiong San. Pembesar itu tertawa senang dan berkata,
"Ah, anak-anak muda, duduklah di sini, di mejaku ini. Aku girang melihat bahwa yang ditubruk perahunya adalah kalian orang-orang muda terpelajar. Harap kalian bertiga suka memaafkan orang-orangku yang menubruk perahumu tanpa sengaja dan mendatangkan banyak kekagetan."
"Tidak apa, Taijin. Kami bertiga tidak mendapat kecelakaan sesuatu,"
Jawab Tiong San dan mereka bertiga lalu duduk di depan pembesar itu setelah sekali lagi dipersilakan. Thio Swie menjadi girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa dengan duduk menghadapi pembesar itu, maka mereka bertiga secara langsung dapat melihat meja di mana duduk gadis cantik itu yang kebetulan duduknya menghadap ke arah mereka pula. Thio Swie dan Khu Sin hampir tak dapat menahan keinginan hati mereka untuk sering-sering melirik ke arah gadis cantik itu. Hanya Tiong San yang selalu tunduk karena ia memang sama sekali tak pernah merasa tertarik kepada keindahan wajah dan bentuk tubuh seorang wanita.
"Untuk menghilangkan kaget, kalian harus minum arak wangi yang sengaja kudatangkan dari Hok-ciu,"
Kata pembesar itu dan ia lalu berseru ke arah pintu ruangan itu.
"Hei, tambahkan arak dan daging!"
Kemudian ia lalu menoleh kepada gadis cantik tadi dan berkata,
"Siu Eng, suruh mereka menyanyi lagi!"
Terdengar suara gadis itu memberi perintah kepada rombongan penyanyi dengan suara yang amat merdu dan tak lama kemudian terdengar suara nyanyian diiringi suara yang-khim. Biarpun muka para penyanyi itu menyebalkan pemandangan mata Thio Swie dan kawan-kawannya, akan tetapi mereka harus mengakui bahwa suara para penyanyi itu cukup merdu. Setelah seorang pelayan membawa masuk seguci arak wangi dan menuang isinya ke dalam cawan-cawan yang telah disediakan, pembesar itu lalu berkata,
"Ayo, kita minum untuk menghilangkan kekagetan tadi sambil mendengar nyanyian merdu!"
Biarpun merasa sungkan-sungkan, akan tetapi ketiga orang muda itu lalu minum arak yang ternyata amat wangi dan enak.
"Anak-anak muda, kalian siapakah, siapa namamu dan di mana kalian tinggal? Setelah bertemu, ada baiknya aku mengetahui nama kalian. Siapa tahu kelak dapat bertemu lagi,"
Kata pembesar itu.
"Saya adalah she Lie, bernama Tiong San, dan kedua kawanku ini bernama Khu Sin dan Thio Swie. Kami bertiga dari dusun Kui-ma-chung tidak jauh dari telaga Tai-Hu. Kawan-kawanku ini yang mendapat hari libur dan baru kembali dari kota raja bersama saya sendiri sengaja datang menghibur diri di tempat ini. Sungguh beruntung dapat bertemu dengan Taijin yang ramah tamah dan mulia."
Pembesar itu amat senang mendengar sucapan Tiong San yang sopan santun.
"Bagus, bagus, kalian orang-orang muda memang harus belajar dengan rajin agar kelak dapat membantu pemerintah menghatur negara."
Kemudian suaranya berubah ketika ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan dengan tiba-tiba,
"Apakah kalian kenal dengan orang gila yang mengacau tadi? Siapakah dia dan di mana tempat tinggalnya?"
Sambil berkata demikian, ia memandang tajam dan matanya menatap wajah ketiga orang pemuda itu berganti-ganti dengan sinar mata menyelidik.
"Orang gila yang manakah, Taijin?"
Thio Swie balas bertanya dengan heran sehingga ia membuka matanya lebar-lebar.
"Sudah sering benar saya mendengar adanya orang-orang gila pada hari ini! Pertama-tama orang gila yang mencambuki perahu-perahu di pantai tadi, dan juga dalam syairnya..."
"Itulah yang kumaksudkan!"
Pembesar itu memotong ucapan Thio Swie yang tadinya hendak menceritakan bahwa di dalam syair Tiong San juga disebut-sebut adanya orang gila! "Pengemis gila yang membawa cambuk itu! Siapakah dia dan di mana tinggalnya?"
"Saya tidak tahu, Taijin. Selama hidup baru tadi saja kami melihat dia di pantai telaga."
Pembesar itu nampak kecewa dan ia berkata kepada Tiong San dan kawan-kawan,
"Coba ceritakan apa yang kalian lihat setelah perahu kalian tertumbuk oleh perahuku tadi!"
Biarpun hatinya merasa heran, akan tetapi Tiong San dapat menduga bahwa pembesar ini tentu sedang menyelidiki orang gila tadi dan menyangka bahwa mereka bertiga mengetahui hal ihwalnya, maka ia cepat menginjak kaki kedua kawannya dan jawabnya,
"Sesungguhnya, Taijin, tadi kami hanya melihat seorang gila berkeliaran di pantai dan digoda oleh para nelayan. Kemudian kami melihat ia duduk melenggut di bawah pohon sana dan sesudah itu kami tidak melihatnya lagi. Setelah perahu kami tertumbuk oleh perahu ini kami tidak melihat sesuatu, hanya mendengar teriakan-teriakan di atas perahu ini. Akan tetapi tidak terlihat apa yang terjadi dari perahu kami yang kecil. Hanya itulah sesungguhnya yang kami ketahui, Taijin."
"Sudahlah, sudahlah!"
Kata pembesar itu dengan muka berubah merah.
"Apapun juga yang akan terjadi, aku harus dapat menangkap si gila kurang ajar itu! Kalian boleh turun lagi dan aku mengucapkan terima kasih atas segala keteranganmu. Kalau kalian perlu sesuatu di kota raja, mungkin aku dapat membantumu asal saja kau suka mencari rumahku."
Tiba-tiba Thio Swie mendapat pikiran bagus. Siapa tahu kalau-kalau pembesar ini dapat menolongnya mendapatkan pangkat? Ia lalu menjura dan bertanya,
"Maaf, Taijin, akan tetapi di kota raja terdapat banyak sekali gedung-gedung besar. Yang manakah milik Taijin?"
Pembesar itu tertawa.
"Asal kau tanya di mana tempat tinggal pangeran Lu Goan Ong, siapakah yang takkan kenal namaku?"
Thio Swie membuka mata lebar-lebar dan ia segera menjatuhkan diri berlutut di depan pangeran itu, diturut oleh Khu Sin yang juga amat terkejut. Akan tetapi, Tiong San hanya menjura saja dan ia tidak melihat alasan yang cukup kuat untuk ikut-ikutan berlutut.
"Maafkan hamba yang kurang hormat kepada Taijin karena tidak tahu,"
Kata Thio Swie dan Khu Sin.
"Bangunlah, bangunlah!"
Kata pangeran itu sambil mengerling tajam ke arah Tiong San yang masih berdiri. Setelah kedua orang pemuda itu bangun, pangeran Lu Goan Ong lalu bertanya kepada Tiong San,
"Anak muda, siapakah ayahmu?"
"Ayahku telah meninggal dunia, Taijin,"
Jawab Tiong San sederhana. Akan tetapi Thio Swie yang merasa girang bertemu dengan pangeran itu, segera menyambung.
"Taijin, kawan hamba Tiong San ini adalah putera tunggal mendiang Lie-tihu yang menjabat pangkat tihu di kota Liong-shia, sedangkan kawan hamba Khu Sin ini adalah anak kepala kampung hamba, dan hamba sendiri adalah anak seorang guru sastra di kampung hamba pula. Hamba bertiga berasal sekampung, Taijin, yaitu kampung Kui-ma-chung."
Tentu saja segala keterangan ini hanya seperti angin lalu saja terhadap telinga pangeran Lu Goan Ong, maka ia hanya menjawab,
"Hm...hmm..."
Dan memberi tanda kepada pelayan untuk mengantar mereka keluar. Setelah tiba di perahu sendiri dan mendayung perahu itu ke tepi telaga, Tiong San mengomel,
"Kalian berlaku seolah-olah dia itu raja sendiri. Apakah sikap menjilat itu kalian pelajari pula di kota raja?"
Dengan muka sungguh-sungguh Thio Swie berkata,
"Tiong San, kau tidak tahu, pangeran Lu Goan Ong adalah seorang yang amat tinggi kedudukannya. Kalau tidak salah ia adalah keluarga kaisar sendiri dan menjadi seorang di antara para penasehat kaisar! Ia kaya raya dan amat berpengaruh sehingga semua pembesar di kota raja tunduk kepadanya! Tentu saja kita harus menghormatinya sebagai seorang pembesar tinggi."
Kini tahulah Tiong San, maka ia berkata,
"Hm, kalau begitu soalnya, pantas saja kalian demikian menghormatinya, sungguhpun bagiku yang tidak membutuhkan pertolongannya tak perlu aku harus melakukan penghormatan sedemikian rupa."
Ketiga orang pemuda itu kembali ke kampung mereka dan di sepanjang perjalanan, Thio Swie dan Khu Sin tiada hentinya membicarakan pangeran besar itu, dan menyatakan pengharapannya mereka untuk bisa mendapat pertolongan kelak di kota raja.
Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gadis tadi amat cantik jelita seperti bidadari,"
Kata Khu Sin setelah mereka habis membicarakan pangeran itu sendiri.
"Cocok!"
Kata Thio Swie dengan hati puas.
"Memang ia bidadari dan namanya juga manis, Siu Eng... ah, siapa tahu kalau-kalau kelak aku dapat bertemu pula padanya! Ia cantik sekali, dan biarpun mukanya tidak dibedaki, akan tetapi sepasang pipinya seperti bunga bouwtan!"
"Berbeda sekali dengan para penyanyi yang berbedak tebal!"
Kata Khu Sin.
"Hih! Muak dan geli aku melihat para penyanyi itu!"
Kata Thio Swie sambil meludah.
"Bedak mereka itu mungkin tebalnya ada setengah dim! Seperti topeng setan!"
Kedua pemuda itu tertawa geli, akan tetapi Tiong San tidak ikut membicarakan keadaan pangeran dan gadis itu karena pikirannya penuh dengan bayangan orang gila yang aneh tadi. Siapakah dia? Dan mengapa kepandaiannya demikian hebat? Manusiakah dia atau dewa telaga Tai-Hu? Dan yang paling mengherankan hatinya dan membuatnya penasaran adalah perampasan kipas-kipas yang ia yakin dilakukan pula oleh orang gila! Apakah kehendaknya maka sampai mengambil kipas-kipas bersyair yang tidak berharga itu?
Setibanya di rumah, ketiga orang pemuda itu tenggelam dalam lamunan dan masing-masing terserang penyakit rindu yang berbeda-beda. Tiong San ingin sekali bertemu kembali dengan orang gila yang amat menarik hatinya itu. Khu Sin ingin sekali dapat menghadap pangeran Lu Goan Ong karena rindu akan pangkat dan kedudukan tinggi. Sedangkan Thio Swie biarpun juga mengharapkan pangkat, namun lebih condong hatinya untuk bertemu dengan Siu Eng, gadis yang telah menawan hatinya itu! Ternyata bahwa pengalaman yang mereka alami di telaga Tai-Hu itu berkesan hebat dalam hati mereka dan mendatangkan perubahan yang hebat sekali kepada hidup mereka selanjutnya. Tiga hari kemudian, Khu Sin dan Thio Swie datang ke rumah Tiong San untuk berpamit karena mereka berdua hendak kembali ke kota raja dan melanjutkan pelajaran mereka.
Kebetulan sekali terdapat serombongan piauwsu (pengawal dan pengantar barang-barang dari satu ke lain tempat, semacam usaha ekspedisi) yang datang dari So-Cou dan hendak mengantarkan barang-barang dua gerobak banyaknya ke kota raja. Pada masa itu, melakukan perjalan jauh tidaklah semudah sekarang oleh karena selain tidak ada kendaraan-kendaraan baik dan juga tidak terdapat jalan-jalan raya yang cukup sempurna. Juga perjalanan itu melalui hutan-hutan liar yang banyak terdapat binatang-binatang buas dan perampok-perampok yang lebih buas lagi dari pada binatang hutan! Oleh karena itu, Khu Sin dan Thio Swie merasa girang sekali melihat adanya rombongan piauwsu dari Pek-eng-piauwkiok (Perusahaan ekspedisi Garuda Putih) lewat di dusun Kui-ma-chung, dan mereka lalu mempergunakan kesempatan itu untuk "Membonceng"
Atau ikut minta perlindungan dengan membayar sedikit biaya.
Memang, piauwkiok-piauwkiok ini dibuka oleh orang-orang gagah yang memiliki kepandaian tinggi untuk mengantar barang-barang berharga dan mengawalnya serta melindunginya dari gangguan perampok-perampok di jalan. Dan Pek-eng-piauwkiok telah mempunyai pengaruh besar sekali oleh karena yang menjadi kepala atau pemimpinnya adalah seorang gagah perkasa bernama Souw Cit yang berjuluk Pek-eng atau Garuda Putih. Souw Cit mempergunakan pengaruh namanya untuk memberi nama kepada perusahaannya. Dan tiap kali orang-orang atau murid-muridnya mengantar barang berharga, asal pada gerobak-gerobak itu ditancapi bendera yang dilukis dengan gambar seekor garuda putih sedang terbang mengembangkan sayap dan mengulur kedua cakarnya, kaum rimba hijau (perampok) takkan berani mengganggunya.
"Tiong San,"
Kata Thio Swie.
"Alangkah senangnya kalau kau bisa ikut dengan kami dan tinggal bersama di kota raja!"
"Benar,"
Menyambung Khu Sin.
"Tanpa adanya kau di sana, seakan-akan kami merasa kurang lengkap!"
Tiong San tersenyum dan menarik napas panjang.
"Terima kasih atas kebaikan hati kalian. Percayalah, tak ada keinginan yang lebih besar dalam hatiku selain dapat bersama dengan kalian, kawan-kawanku yang baik. Akan tetapi, selain aku tidak punya biaya untuk melanjutkan pelajaran, juga aku tidak ada nafsu lagi. Entah mengapa, kawan-kawanku, akan tetapi aku mempunyai perasaan seakan-akan percuma saja aku mempelajari semua kepandaian menulis dan membaca selama ini! Harap kalian jangan meniru sikapku yang tak baik ini, karena kalian mempunyai harapan besar di kemudian hari. Belajarlah rajin-rajin, agar kalian dapat mencapai cita-cita, menjadi pembesar-pembesar yang baik dan bijaksana karena dengan demikian kalian akan berjasa bagi rakyat banyak."
Thio Swie merasa terharu dan memegang pundak kawannya itu.
"Akan tetapi, kau sendiri, Tiong San? Apakah yang hendak kau lakukan?"
Kembali Tiong San tersenyum dan matanya bersinar-sinar ganjil.
"Aku? Entahlah, aku hanya seorang kutu buku kecil yang tidak ada gunanya. Mungkin aku akan menukar pitku dengan sebatang pacul, siapa tahu?"
"Apa?"
Seru Khu Sin sambil membelalakkan mata.
"Kau hendak menjadi petani? Kau yang pandai bersyair dan amat indah tulisanmu ini hendak menjadi petani dan bekerja di ladang berlumpur-lumpur kotor?"
"Picik sekali pandanganmu ini, Khu Sin,"
Tiong San mencela kawannya sambil memegang pundaknya.
"Siapa bilang petani kotor? Kalau kau mempunyai pendirian begitu, baiknya mulai sekarang, tiap kali kau makan, kau boleh mengingat bahwa barang yang kau masukkan ke mulut dan perut dan yang menjaga sehingga hidupmu dapat berlangsung terus, tak lain adalah hasil tetesan keringat para petani! Bagiku, lebih baik menjadi seorang pekerja kasar dengan perut kenyang dari pada menjadi seorang kutu buku yang kempis perutnya. Dan pula, aku harus membantu pekerjaan ibuku!"
Ketiga orang kawan karib semenjak kanak-anak itu bercakap-cakap tiada habisnya dan agaknya akan makin panjang dan hangat percakapan mereka kalau tidak datang rombongan piauwsu yang memberi tahu kepada Khu Sin dan Thio Swie bahwa saat untuk berangkat sudah tiba.
Mereka berdua lalu memeluk Tiong San dan mengucapkan selamat berpisah dengan hangat. Juga mereka masuk ke dalam rumah dan menjura di depan ibu Tiong San, memberi hormat dan minta diri. Nyonya janda Lie memberi doa restu kepada dua orang pemuda kawan baik puteranya itu. Setelah rombongan itu berangkat, Tiong San berdiri termenung memandang sampai rombongan itu lenyap dalam sebuah tikungan jalan, Masih terdengar suara kaki kuda yang menarik tiga buah gerobak itu dan suara para piauwsu yang bersenda gurau sepanjang jalan. Untuk sesaat timbul rasa iri dan keinginan untuk ikut ke kota raja dalam hati Tiong San sehingga ia merasa betapa sedu sedan naik dari dada menuju kerongkongannya. Akan tetapi ia menindas perasaan itu dan mulutnya bergerak-gerak.
"Semoga kalian bisa menjadi pembesar-pembesar yang baik dan bijaksana...."
Kemudian ia lalu masuk ke dalam rumah. Ibunya yang sedang menyulam lalu menunda pekerjaannya dan memandang kepada puteranya dengan penuh kasih sayang.
"Tiong San, kalau kau dapat ikut pergi dengan kawan-kawanmu itu, untuk belajar dan menempuh ujian di kota raja, biarpun hatiku merasa berat berpisah dengan kau, akan tetapi perasaan itu tidak ada artinya apabila dibandingkan dengan kegiranganku karena harapan melihat kau pulang dengan menggondol sebuah pangkat!"
Nyonya ini lalu menarik nafas panjang dan matanya membayangkan rasa kasihan yang besar terhadap puteranya yang tercinta.
"Ah ibu, kalau aku pergi, bukankah kau menjadi sendirian di rumah ini dan merasa kesunyian!"
Kata Tiong San yang lalu duduk di dekat kaki ibunya. Nyonya itu meraba kepala puteranya dan membelai rambutnya.
"Anakku, seorang ibu di manapun juga akan mendapatkan kebahagiaan dalam penderitaan dan pengorbanan perasaan demi keberuntungan anaknya! Kalau saja kau dapat melanjutkan pelajaranmu, ah... alangkah akan senangnya hatiku..."
Dan nyonya ini cepat-cepat menundukkan mukanya dan melanjutkan sulamannya agar air mata yang telah memenuhi pelupuk matanya itu tidak menetes turun. Akan tetapi, keharuan hatinya mendorong airmata itu keluar hingga dua titik air bening jatuh ke atas kain yang sedang disulamnya, kain sulaman yang menjadi pekerjaannya sehari-hari di samping pekerjaan menenun untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Tiong San memeluk ibunya.
"Ibu, jangan kau bersedih karena anakmu tidak dapat melanjutkan pelajaran. Terus terang saja, ibu. Akupun tidak ingin untuk melanjutkan pelajaran hanya untuk memperebutkan pangkat. Aku tidak ingin menjadi pembesar!"
Ibunya cepat menengok. Inilah kata-kata baru baginya. Cita-citanya sejak dulu, juga cita-cita mendiang suaminya, adalah melihat putera tunggal ini menjadi seorang pembesar yang terhormat dan bijaksana seperti ayahnya. Akan tetapi pengakuan tidak suka menjadi pembesar ini benar-benar mengagetkan hatinya.
"Apa katamu, nak? Kau tidak suka menjadi pembesar? Mengapa?"
"Aku tidak suka menjadi pembesar, terutama pada dewasa ini, ibu. Hal ini disebabkan oleh rasa sebal dan benciku melihat betapa sebagian banyak pembesar negeri menjalankan kejahatan di balik kedok kedudukan mereka! Tentu ibu masih teringat betapa aku yang telah lulus ujian tak dapat menerima pangkat oleh karena aku tidak punya uang untuk menyogok! Keadaan di kota raja kotor sekali. Hampir semua pembesar hanya mementingkan kesenangan diri dan menumpuk harta tanpa memperdulikan halal atau tidaknya harta yang mereka tumpuk untuk keperluan diri sendiri itu! Aku tidak sudi menjadi pembesar macam itu, ibu!"
Ibunya menarik napas panjang.
"Hatimu sama benar dengan ayahmu. Mendiang ayahmu biarpun menjadi seorang pembesar akan tetapi hidup secara jujur, tidak memeras rakyat bahkan membuang-buang uang untuk orang miskin. Akan tetapi, anakku, selain kedudukan tinggi dan pangkat, pekerjaan apalagi yang dapat mengangkat derajat dan nama kita dan dapat mendatangkan penghasilan yang cukup untuk kita makan dan pakai?"
"Aku tidak inginkan derajat dan nama besar itu, karena sebagaimana ucapan orang-orang cerdik pandai di jaman dahulu, nama besar dan derajat hanya akan membuat kita berada di tempat yang amat tinggi hingga kalau sekali jatuh, akan terasa sekali sakitnya! Lebih baik aku menjadi seorang petani saja, ibu!"
"Petani?"
Tiong San memandang muka ibunya dengan sedih.
"Ah, ibu, apakah ibu juga memandang rendah pekerjaan petani dan tidak dapat menghargai jasa-jasa mereka?"
Nyonya Lie menaruh kain sulamannya di atas meja dan memeluk puteranya.
"Bukan demikian anakku. Pekerjaan itu sendiri tidak apa-apa, karena tidak ada pekerjaan yang rendah. Akan tetapi, ada dua hal yang amat kusesalkan apabila kau hanya menerima menjadi seorang petani biasa. Pertama, kau semenjak kecil telah mempelajari ilmu kepandaian, membuang-buang waktu penuh ketekunan, dan membuang-buang uang yang tidak sedikit jumlahnya, sehingga tidak seharusnya apabila segala pengorbanan itu sekarang tidak menghasilkan sesuatu dan kau hanya ingin menjadi petani biasa! Kedua, dengan menjadi petani, maka kau berarti tidak dapat mempergunakan segala kepandaianmu yang telah kau pelajari bertahun-tahun itu untuk bekerja guna kepentingan umum! Dua hal inilah yang akan membuat aku menyesal selama hidupku!"
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo