Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemabuk 20


Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Bagian 20



MELIHAT ketua mereka, tentu saja kedua pihak terkejut dan semua orang lalu berlutut.

   "Murid Go-bi-pai semua yang hadir di sini!"

   Terdengar Thay Yang Losu berkata dengan suaranya yang sabar, akan tetapi berpengaruh.

   "Pinceng sudah maklum akan maksud kalian mengadakan pertemuan dengan kawan-kawan dari Hoa-san-pai. Semua ini adalah gara-gara murid Seng Le Hosiang yang biarpun sudah tua akan tetapi masih saja tidak dapat mengendalikan nafsu hatinya! Dengan perbuatan ini, mengadakan permusuhan dan pibu dengan golongan lain tanpa memberitahu kepada pinceng, kalian telah melakukan pelanggaran besar. Mulai sekarang, segala permusuhan pihak manapun juga harus dibikin habis! Segala peristiwa yang terjadi, yang timbul karena urusan pribadi antara anak murid Go-bi-pai dan anak murid Hoa-san-pai, harus diselesaikan dengan cara damai, atau kalau tidak mungkin, akan diadili oleh ketua Go-bi-pai dan Hoa-san-pai sendiri. Siapa di antara kalian yang berani melanggar, pinceng akan turun tangan melakukan hukuman dan pelanggarannya takkan diaku sebagai anak murid Go-bi-pai lagi. Pinceng selesai bicara, supaya menjadi perhatian!"

   Kini Pek Tho Sianjin yang maju dan berkata dengan suaranya yang tinggi.

   "Juga kepada semua anak murid kami dari Hoa-san-pai hendaknya diperhatikan baik-baik apa yang pinceng akan ucapkan ini. Sesungguhnya kalian semua hanya terbawa-bawa oleh nafsu dan kekerasan hati Sin Seng Cu, kakek yang sudah berobah menjadi anak kecil ini. Maka, sebagaimana yang kalian dengar diucapkan oleh Thay Yang Losu, mulai saat ini segala permusuhan dihabiskan dan dibubarkan. Pinto mengharap kepada kedua pihak, apabila melihat perbuatan-perbuatan yang melanggar perikemanusiaan atau melanggar watak seorang gagah, baik pelanggar itu anak murid Go-bi-pai, janganlah hendaknya turun tangan sendiri sehingga menimbulkan permusuhan, akan tetapi laporkanlah kepada kami yang wajib menghukum anak murid yang murtad dan menyeleweng! Untungnya ada Bok Kwi Sianjin yang memberitahukan kepada pinto dan kepada Thay Yang Losu. Kalau tidak, bukankah hari ini akan terjadi banjir darah di tempat suci ini?"

   Semua anak murid Go-bi-pai dan Hoa-san-pai tentu saja tidak berani membantah atau membuka mulut mendengar ucapan-ucapan ketua mereka. Bahkan yang mereka tadinya sudah panas hati dan gatal tangan, kini bungkam dan menundukkan muka tak berani berkutik! Hanya mereka yang hanya terbawa-bawa dan pada lubuk hatinya tidak menyetujui permusuhan ini, menjadi lega dan girang.

   Bok Kwi Sianjin lalu berkata sambil tertawa bergelak.

   "Bagus, bagus! Memang Go-bi-pai dan Hoa-san-pai adalah dua cabang persilatan yang besar dan anak-anak muridnya terkenal gagah perkasa dan menjunjung tinggi pribadi dan kebajikan. Mereka ini masih dapat dimaafkan dengan adanya permusuhan ini karena masing-masing tidak dapat menahan nafsu hati! Akan tetapi yang paling menyebalkan adalah orang-orang yang ikut membonceng dalam pertikaian ini, pihak-pihak ketiga yang memancing ikan di air keruh yang mempergunakan kerusuhan ini untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri. Orang-orang macam itu, kalau ada di sini sungguh-sungguh patut disesalkan!"

   Bong Bi Sianjin yang berada di situ menjadi marah sekali karena ia merasa disindir hebat. Mukanya sudah menjadi merah dan ia telah bergerak hendak menyerang Bok Kwi Sianjin. Akan tetapi Seng Le Hosiang selain maklum akan kelihaian Bok Kwi Sianjin juga Bong Bi Sianjin adalah sahabat dan pembantunya. Maka kalau orang tua ini sampai bergerak turun tangan menimbulkan kekacauan, tentu dia sendiri juga akan terbawa-bawa dan mendapat hukuman dari supeknya, yakni Thay Yang Losu.

   Demikianlah maka segala pertempuran dapat dicegah dan masing-masing lalu turun kembali dari bukit itu untuk kembali ke tempat masing-masing. Pada kesempatan itu, Tin Eng yang melihat Kui Hwa hadir pula di situ bersama Pui Kiat dan Pui Hok, lalu menghampiri gadis itu dan mereka berpelukan dengan girang.

   "Enci Kui Hwa, biarpun permusuhan ini telah dapat didamaikan dengan baik, akan tetapi masih ada satu hal yang amat mengganggu hati dan pikiranku. Ketahuilah bahwa ayah memaksaku untuk menikah dengan Gan Bu Gi!"

   Kui Hwa menjadi pucat mendengar hal ini.

   "Jangan takut adikku. Biar aku yang bicara dengan ayahmu!"

   Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar, Kui Hwa lalu menghampiri Liok-taijin. Tin Eng hanya melihat betapa Kui Hwa bicara dengan muka merah kepada ayahnya dan melihat ayahnya nampak terkejut sekali dan pucat.

   Kui Hwa menghampiri Tin Eng dan memeluknya.

   "Adikku, jangan kau khawatir. Kalau terjadi kau dipaksa menikah dengan Gan Bu Gi, aku yang akan datang menggagalkan pernikahan itu. Akan kubongkar rahasia pemuda keparat itu. Akan tetapi mudah-mudahan ayahmu dapat melihat kenyataan yang telah kuceritakan kepadanya."

   Setelah itu, Kui Hwa bersama kawan-kawannya, anak murid-murid Hoa-san-pai yang lain, lalu meninggalkan tempat itu.

   Demikianlah rombongan Liok-taijin kembali ke Kiang-sui. Bong Bi Sianjin pergi bersama Seng Le Hosiang dan Gan Bu Gi yang termasuk anggota rombongan Liok-taijin, melarikan kudanya sejajar dengan Tin Eng. Tin Eng melihat betapa ayahnya melarikan kudanya dengan cepat mendahului rombongannya. Agaknya amat tergesa-gesa untuk sampai di rumah. Wajah orang tua ini nampak suram sehingga Tin Eng dapat menduga bahwa tentu ada apa-apa yang dipikirkan oleh ayahnya, maka heranlah ia apa gerangan yang telah diucapkan oleh Kui Hwa kepada ayahnya.

   Ketika Tin Eng hendak mempercepat jalan kudanya menyusul ayahnya, tiba-tiba Gan Bu Gi yang melarikan kuda di sisinya itu berkata,

   "Tin Eng, nona ..... perlahan dulu, aku hendak bicara denganmu."

   Terpaksa gadis itu menahan kudanya.

   "Ada apakah?"

   Tanyanya kaku.

   "Nona,"

   Kata Gan Bu Gi sambil menghentikan kudanya sehingga Tin Eng terpaksa menghentikan kudanya pula.

   "Permusuhan telah habis, keadaan sudah damai, sungguh menyenangkan hatiku. Kita telah melakukan perjalanan bersama, maka kesempatan ini jangan kita sia-siakan. Marilah kita mengambil jalan memutar untuk melihat-lihat pemandangan dan bercakap-cakap.

   "Apa maksudmu? Aku tidak ingin bersama kau? Aku hendak menyusul ayahku."

   "Nona Tin Eng, mengapa kau begitu kasar dan galak terhadap aku? Bukankah kita sudah bertunangan dan sebentar lagi akan menikah?"

   "Cih! Siapa sudi menikah dengan kau?"

   "Ha, kau ternyata masih menyinta seorang yang sudah mampus!"

   Gan Bu Gi menyindir.

   "Tutup mulutmu! Kau tidak berhak menyebut-nyebut nama Gwat Kong!"

   Tin Eng memandang marah.

   "Memang, aku menyinta Gwat Kong! Tak perduli ia sudah mati atau belum. Aku menyinta dia. Dia seribu kali lebih berharga dari pada kau!"

   "Ha ha ha! Beberapa bulan lagi, kalau kau sudah menjadi isteriku, kau akan lupa sama sekali kepada Gwat Kong! Ha ha!"

   Akan tetapi Tin Eng tidak menjawab, hanya segera melarikan kudanya dengan cepat menyusul ayahnya dan rombongan itu. Sambil tertawa-tawa Gan Bu Gi juga melarikan kudanya menyusul rombongan.

   Tin Eng dan Gan Bu Gi sama sekali tak pernah mimpi bahwa percakapan mereka tadi dilihat dan didengarkan orang. Seorang pemuda dengan pakaian compang-camping dan wajah kusut mengintai dari balik pohon besar. Orang ini bukan lain adalah Gwat Kong.

   Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Gwat Kong setelah dapat "mendarat"

   Dengan selamat dari penerbangannya dengan burung rajawali, segera mencari isterinya, Cui Giok. Ia terus menuju ke utara dan dalam usahanya mencari Cui Giok ini, tiba-tiba di dalam hutan itu ia melihat rombongan Liok-taijin yang baru pulang dari Thay-san. Ia segera menyembunyikan diri dan ketika ia melihat Tin Eng berada dalam rombongan itu, wajahnya menjadi pucat dan dadanya berdebar-debar.

   Alangkah kurusnya Tin Eng, pikirnya dengan hati tidak karuan rasa. Terharu, girang, sedih, semua perasaan tercampur aduk di dalam hatinya, akan tetapi yang terbesar adalah perasaan cinta kasih dan kasihan. Melihat dara pujaannya itu, timbul kembali cinta kasihnya yang sudah terpendam. Melihat mata yang jeli itu, bibir yang masih merah biarpun mukanya sedang marah dan kurus.

   Ia mengaku bahwa sesungguhnya rasa cinta kasihnya terhadap Tin Eng tak pernah padam! Cinta kasihnya dahulu terpendam karena ketika berada di dalam guha itu merasa putus harapan untuk dapat bertemu kembali. Hal ini menggelisahkan hatinya. Akan tetapi ketika melihat Tin Eng naik kuda disampingnya Gan Bu Gi, ia menghibur diri sendiri dengan dugaan bahwa Tin Eng tentu telah menjadi nyonya Gan Bu Gi.

   Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tanpa disengaja, kebetulan sekali, ia mendengar percakapan antara Tin Eng dan Gan Bu Gi. Celaka, pikirnya, Tin Eng masih menyintainya, mati atau hidup. Ia amat terharu, dan ingin sekali ia melompat keluar untuk menampar mulut Gan Bu Gi yang berani mempermainkan gadis yang dicintainya itu. Akan tetapi ia teringat kepada isterinya. Ia sudah menjadi suami lain orang dan Cui Giok demikian mulia, demikian berbudi, setia dan merupakan seorang isteri setia.

   Ketika Tin Eng dan Gan Bu Gi sudah lama pergi, Gwat Kong masih saja berdiri diam bagaikan patung. Ia merasa menyesal dan malu kepada diri sendiri. Bagaimana ia masih dapat mempunyai perasaan cinta kepada Tin Eng, sedangkan ia telah menjadi suami Cui Giok. Bahkan hampir menjadi ayah? Ingin ia pukul kepalanya sendiri.

   "Aku harus mendapatkan kembali Cui Giok!"

   Bisiknya.

   "Aku harus bertemu dengan dia dan melupakan Tin Eng, tidak boleh bertemu kembali dengan Tin Eng, biar dia menganggap aku sudah tewas. Ah, hanya Cui Giok yang dapat menghibur dan menghilangkan pikiran gila di dalam otakku ini!"

   Maka larilah ia kembali mencari isterinya yang hilang.

   Pada suatu hari ia tiba di kaki bukit Kam-hong-san, di mana terdapat sebuah dusun yang ramai. Karena perutnya amat lapar, maka Gwat Kong lalu masuk ke dalam warung itu. Di situ hanya terdapat dua orang tamu yang menghadapi mangkok mi dan arak. Pelayan yang melihat seorang laki-laki berpakaian compang-camping dan kotor, memandang dengan curiga, lalu menegur,

   "Kau ada keperluan apakah?"

   Gwat Kong yang sedang kesal hatinya, maka jawabnya marah,

   "Bukankah kau menjual nasi dan mi di sini? Tentu saja keperluanku masuk ke sini untuk beli nasi dan makan! Kalau tidak untuk itu, tidak sudi aku memasuki warungmu!"

   Mendengar jawaban ketus dari seorang yang disangkanya pengemis ini, pelayan itu menjadi marah.

   "Kau mau makan? Apakah kau punya uang?"

   Baru teringat oleh Gwat Kong bahwa ia tidak mempunyai uang sepeserpun. Akan tetapi ia teringat akan batu-batu permata yang disimpan di dalam saku bajunya. Karena mendongkol sekali, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebutir batu permata.

   "Lihat, apakah ini tidak cukup untuk membeli nasi berikut warung dan kepalamu sekalipun? Hayo sediakan nasi dan jangan banyak cerewet!"

   Pelayan itu adalah seorang kampung yang tidak tahu akan nilai batu permata, maka melihat batu itu ia tersenyum menghina.

   "Untuk apakah batu sungai itu? Aku ingin melihat uang, bukan batu!"

   Marahlah Gwat Kong. Ia bangun berdiri dan hendak menampar mulut pelayan itu. Akan tetapi tiba-tiba dua orang yang tadi duduk di situ lalu menghampiri dan berkata kepada pelayan itu,

   "Jangan kurang ajar! Hayo, lekas keluarkan nasi dan arak untuk saudara ini!"

   Pelayan itu memandang heran, lalu pergi melakukan perintah itu sambil bersungut-sungut.

   Sementara itu, kedua orang itu lalu mengundang Gwat Kong untuk duduk di meja mereka.

   (Lanjut ke Jilid 22 - Tamat)

   Pendekar Pemabuk/Kanglam Tjiu Hiap (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 22 (Tamat)

   Gwat Kong memperhatikan dua orang itu. Ternyata mereka adalah orang-orang yang mengerti ilmu silat, karena dari gerak gerik mereka dan dari golok yang tergantung di pinggang. Gwat Kong sendiri menyembunyikan pedangnya di balik bajunya. Dua orang itu bertubuh tinggi besar, yang seorang bermuka pucat dan seorang bermuka merah.

   "Saudara siapakah dan hendak pergi ke mana?"

   Tanya si muka merah dengan senyum ramah.

   "Aku seorang pengembara yang sudah lupa akan nama sendiri,"

   Jawab Gwat Kong acuh tak acuh dan ketika pelayan itu datang membawakan arak, dengan sekali tegak saja lenyaplah arak secawan penuh ke dalam perut Gwat Kong. Sudah lama sekali ia tidak minum arak dan kini setelah mulutnya merasa hangat dan harumnya arak, ia lalu menenggak sampai tiga cawan arak sekali gus. Bahkan lalu minta tambah kepada pelayan yang memandang dengan bengong!

   Mendapat jawaban yang tidak perdulikan itu, kedua orang tadi tidak menjadi marah bahkan si muka pucat lalu berkata,

   "Saudara, batu permata yang kau keluarkan tadi sungguh indah. Bolehkah kami melihatnya sebentar?"

   Diam-diam Gwat Kong merasa geli hatinya. Ia menyangka bahwa kedua orang ini tentulah bukan orang baik-baik dan mungkin hendak merampas batunya. Akan tetapi ia tidak takut, bahkan hendak mencoba mereka, kalau mereka berani betul-betul hendak merampas batunya. Ia akan memberi hajaran kepada mereka. Ia lalu keluarkan sebutir batu permata dan memberikan itu kepada mereka dengan sikap yang masih tidak mengacuhkan sama sekali.

   "Luar biasa!"

   Kata si muka merah sambil melirik dan bertukar pandang dengan si muka pucat.

   "Sama benar dengan batu milik kami!"

   Si muka merah lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebutir batu yang serupa benar bentuk dan warnanya dengan batu yang dikeluarkan Gwat Kong.

   Ketika itu Gwat Kong sedang menenggak araknya. Melihat batu yang dikeluarkan oleh si muka merah itu, tiba-tiba ia membanting cawan itu dan araknya ke atas lantai dan bangun berdiri memandang kedua orang itu dengan mata terbelalak dan terengah-engah. Hanya ada dua orang di atas dunia ini yang mempunyai permata seperti itu. Dua orang itu adalah isterinya dan dia sendiri. Bagaimana orang ini bisa mendapatkan batu permata itu?

   "Hayo, kau bilang dari siapa kau mendapatkan batu permata ini!"

   Sambil berkata demikian, sekali ia mengulur tangan menyambar, kedua batu permata itu telah berada di tangannya!

   "Eh, eh ... kau gila!"

   Kata si muka pucat ketika melihat batu permata itu terampas oleh Gwat Kong. Sambil berkata demikian, ia memukul dengan tangan kanan ke arah dada Gwat Kong dan tangan kirinya menyambar ke arah batu-batu permata yang dipegang Gwat Kong. Akan tetapi, sebelum serangannya ini mengenai sasaran, tubuhnya telah terlempar sampai setombak lebih dan menimpa meja ketika Gwat Kong dengan sembarangan saja mengebutkan tangannya.

   Si muka merah menjadi marah sekali. Ia mencabut goloknya dan membentak,

   "Bangsat rendah, tak tahunya kau adalah seorang perampok!"

   Lalu ia maju menusuk dengan goloknya.

   Akan tetapi Gwat Kong sudah tak sabar lagi. Sekali saja ia melayangkan tangannya, senjata golok itu telah terampas dan kemudian ditekuk sehingga patah menjadi dua. Bukan main terkejutnya si muka merah itu yang memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi, tahu-tahu belakang lehernya sudah terjepit oleh jari-jari tangan Gwat Kong sehingga ia merasa seakan-akan lehernya itu terjepit oleh jepitan baja yang kuat sekali dan yang membuatnya sukar untuk bernapas. Kawannya yang roboh tadi masih juga pingsan dengan muka makin pucat.

   Mendengar ribut-ribut itu, pelayan tadi datang diikuti orang-orang yang ingin melihat apa yang telah terjadi. Ketika melihat si muka pucat menggeletak dan si muka merah dijepit lehernya, pelayan yang tidak mengenal gelagat itu memburu dengan tangan terkepal dan memaki,

   "Sudah kuduga, kau bukan orang baik-baik ......!"

   Akan tetapi kata-katanya ini tiba-tiba terhenti dan tubuhnya melayang ke arah dinding membentur dinding dan ia jatuh ketanah bagaikan lapuk!

   Gwat Kong melihat banyak orang datang, lalu mengempit tubuh si muka merah dan sekali ia berkelebat, ia telah berada jauh sekali dari tempat itu, lenyap dari pandangan mata orang-orang yang berdiri bagaikan patung menyaksikan kehebatan orang muda yang pakaiannya compang camping ini!"

   Jauh dari dusun itu, di dalam sebuah hutan di kaki bukit Kam-hong-san, si muka merah itu berlutut di depan Gwat Kong minta-minta agar supaya diampuni jangan dibunuh!

   "Hayo lekas katakan, dari mana kau mendapatkan batu permata ini?"

   "Ampun, hohan (orang gagah)! Siauwte mendapatkannya dari dalam kepala seorang kawan yang mati."

   "Apa katamu? Jangan membohong, aku akan hancurkan kepalamu!"

   "Benar, hohan."

   "Ceritakan yang jelas!"

   "Tiga hari yang lalu, siauwte bersama dua orang kawan, seorang yang berada di warung tadi dan yang seorang pula sudah mati, pergi ke puncak Kam-hong-san. Dipuncak terdapat sebuah kuil kuno yang sudah rusak. Kami masuk dan ...... di situ kami melihat seorang wanita muda yang nampaknya sedang sakit, akan tetapi ia cantik sekali. Kawan kami yang sekarang telah mati itu hendak mengganggunya karena tertarik oleh kecantikannya. Akan tetapi wanita yang kelihatan lemah tak berdaya itu lalu menyambitkan sebuah benda yang mengenai kepala kawan kami itu. Kawan kami roboh dan binasa disaat itu juga. Aku dan kawanku yang tadi lalu mengangkat mayatnya dan lari dari situ. Aku tertarik melihat cahaya yang bersinar dari luka di kepalanya dan ketika kuambil benda itu ......"

   Tiba-tiba Gwat Kong mencekik lehernya.

   "Cepat ceritakan di mana adanya wanita itu!"

   Teriaknya bagaikan orang kalap.

   "Di ..... kuil itu ..... di atas bukit ini ......"

   Gwat Kong segera menotok pundak si muka merah yang roboh dengan tubuh lumpuh.

   "Kau takkan dapat bergerak selama dua puluh empat jam. Kalau kau ternyata membohong, aku akan datang lagi untuk mengambil nyawamu!"

   Setelah berkata demikian bagaikan terbang cepatnya, Gwat Kong lalu mendaki bukit Kam-hong-san.

   Benar saja, di puncak bukit yang sunyi itu ia melihat sebuah kuil bobrok.

   "Cui Giok ....! Ia memanggil lalu berlari cepat menghampiri kuil.

   "Gwat Kong ......!"

   Terdengar jawaban lemah. Bukan main girangnya hati Gwat Kong. Hanya seorang saja di dunia ini yang dapat memanggil namanya dengan nada semanis dan semerdu itu, Cui Gioklah orangnya. Dengan airmata bercucuran, Gwat Kong mempercepat larinya, memasuki kuil dan ...... ia melihat isterinya berbaring di atas lantai dengan wajah pucat!

   "Cui Giok, isteriku .....!"

   Ia menubruk dan memeluk isterinya yang membalas dengan pelukan mesra dan tangis terisak-isak.

   "Gwat Kong ...... suamiku yang baik ...... akhirnya kau datang juga ....... akhirnya kita bertemu juga .....!"

   Gwat Kong tak dapat menjawab, hanya merangkul kepala isterinya dan didekap pada dadanya dengan erat. Sampai lama mereka merangkul itu dengan hati yang hanya Thian saja yang tahu betapa bahagianya. Sudah tiga bulan mereka berpisah semenjak diterbangkan oleh burung rajawali itu.

   Memang Cui Giok dibawa terbang jauh sekali oleh burung rajawali yang membawanya dan akhirnya burung itu tak kuat lagi dan jatuh mati di bukit itu. Cui Giok yang ikut jatuh menderita pada kakinya. Dengan amat lemah dan susah payah, nyonya muda yang sedang mengandung ini dapat menuju ke kuil itu dan tinggal di situ sampai tiga bulan lamanya. Ia memaksa diri untuk bergerak mencari makan pada saat ia sudah tak dapat menahan laparnya lagi. Akan tetapi akhirnya ia tidak tahan dan jatuh sakit di lantai kuil!

   Ketika ketiga orang penjahat itu datang mengganggu ia tidak kuasa mempertahankan diri, maka terpaksa ia menyerang mereka dengan batu permata yang dibawanya dari guha neraka itu.

   Dengan amat gelisah, Gwat Kong merawat isterinya. Biarpun tidak banyak, Gwat Kong pernah mempelajari ilmu pengobatan dari Bok Kwi Sianjin, maka lambat laun sembuhlah penyakit isterinya, sungguhpun tubuhnya masih amat lemah. Gwat Kong mengajak isterinya berpindah tempat ke sebuah kampung kecil di lereng bukit Kam-hong-san. Berbulan-bulan mereka tinggal di situ dan datanglah saatnya Cui Giok melahirkan seorang anak perempuan yang mungil dan sehat.

   Akan tetapi kesehatan Cui Giok yang memang sudah amat terganggu itu, makin menjadi buruk setelah ia melahirkan anaknya. Mukanya selalu pucat dan tubuhnya lemah. Sungguhpun ia selalu tersenyum dan matanya bersinar-sinar gembira melihat anaknya.

   "Gwat Kong ....!"

   Katanya pada suatu malam, beberapa hari setelah ia melahirkan.

   "Kasihan kau, suamiku ...."

   "Eh, aneh sekali kau ini, Cui Giok,"

   Jawab Gwat sambil mengelus-elus rambut isterinya yang kusut.

   "Mengapa kau berkasihan kepadaku? Kaulah yang harus dikasihani."

   Cui Giok tersenyum pahit.

   "Kau, memang seorang suami yang baik! Kau telah mengorbankan cita-cita dan kebahagiaanmu untukku. Ah, Gwat Kong sungguh aku orang yang paling berbahagia di muka buni ini!"

   "Aku ........ apa maksudmu, isteriku?"

   
Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Gwat Kong, aku tahu kau masih menyinta Tin Eng, bukan?"

   Bukan main terkejutnya hati Gwat Kong mendengar ini dan melompat berdiri.

   "Cui Giok.....! Apa maksudmu berkata demikian?"

   Cui Giok tersenyum dan memegang tangan suaminya.

   "Tidak apa-apa, jangan kaget. Aku tahu bahwa kau telah menyinta dia sebelum bertemu dengan aku. Malahan tadi kau mengigau dalam tidurmu, menyebut-nyebut namanya, seperti juga yang seringkali kau lakukan ketika kita berada di guha neraka itu."

   "Cui Giok .......!"

   Akan tetapi ia melihat isterinya tersenyum tenang.

   "Aku tidak cemburu, suamiku. Juga tidak iri hati. Dengarlah, aku minta kau suka bawa Tin Eng ke sini, aku ..... aku perlu bicara kepadanya, perlu meninggalkan pesanan ......"

   "Meninggalkan pesanan ....? Apa maksudmu?"

   Wajah Gwat Kong menjadi pucat.

   "Suamiku, aku tak perlu menyembunyikan lebih lama lagi. Aku mendapat luka di dada yang amat parah. Ketika aku jatuh dengan burung itu ... ah, kasihan kau, suamiku .... jangan kaget ....., aku .... aku sering muntah darah ....."

   "Cui Giok ...........!"

   Gwat Kong memeluk sambil mengalirkan air mata dari kedua matanya.

   "Tenanglah, suamiku. Hadapilah kehendak Thian dengan gagah. Sekarang setelah kau mengetahui keadaanku, lekaslah kau pergi ke Kiang-sui bawa Tin Eng ke sini. Kecuali ...... kecuali kalau ia sudah menikah dengan lain orang ......."

   "Ia belum menikah ......."

   Jawab Gwat Kong tak sadar.

   "Akan tetapi ..... aku tidak mau meninggalkan kau dalam keadaan begini!"

   "Suamiku, juga kau tidak mau kalau kutekankan bahwa ini merupakan permintaanku .....? Permintaan terakhir?"

   "Cui Giok .........!"

   Mereka saling rangkul dan terdengarlah isak dari tenggorokan Gwat Kong.

   Setelah tiba di rumah, Liok-taijin memanggil Tin Eng. Setelah anaknya datang menghadap, ia lalu berkata.

   "Tin Eng, betul seperti dugaanmu dulu. Gan Bu Gi bukanlah manusia baik-baik. Ia seorang penjahat besar. Nona Tan Kui Hwa telah menceritakan kepadaku betapa jahatnya dia. Pertunanganan dengan dia kuputuskan hari ini juga!"

   "Ayah!"

   Tin Eng memeluk ayahnya.

   "Terima kasih, ayah ....."

   Dengan perantaraan pembantunya dan penasehatnya, yakni Lauw Liu Tek, Liok-taijin memberitahukan hal ini kepada Gan Bu Gi, bahkan ia mengusir dan memberhentikan pekerjaan pemuda itu.

   Bukan main marahnya Gan Bu Gi, akan tetapi karena alasan yang dipergunakan oleh Liok-taijin adalah bahwa hal ini ada hubungannya dengan nona Tan Kui Hwa, pemuda ini tak dapat berkata sesuatu. Bahkan ia merasa malu untuk menghadap kepada calon mertuanya itu. Ia pergi tanpa meninggalkan sepatah pun kata.

   Akan tetapi, lima hari kemudian pada siang hari datanglah Seng Le Hosiang. Kedatangan hwesio ini amat aneh, karena ia tidak terus masuk ke gedung itu, melainkan datang dari atas genteng! Dari atas genteng, ia memaki-maki Liok Ong Gun.

   "Liok Ong Gun, manusia tak berbudi! Kau membikin malu susiok-couwmu! Lekas menghadap kesini untuk menerima hukumanmu sebagai murid Go-bi-pai yang menyeleweng!"

   Bukan main takut dan terkejutnya Liok Ong Gun. Bersama beberapa orang pembantunya dan perwira sayap garuda, ia naik ke atas genteng, juga Tin Eng ikut melompat naik.

   "Kau menyalahi janji, bahkan membatalkan pertunanganan anakmu dengan Gan-ciangkun. Kau mengusirnya dan memberhentikan jabatannya. Apa maksudmu? Apakah sengaja hendak membikin pinceng mendapat malu besar?"

   Liok Ong Gun terkejut sekali ketika melihat susiok-couwnya itu memegang tongkat kekuasaan sebagai tokoh Go-bi-pai yang berhak menghukum murid-murid yang murtad. Cepat ia berlutut dan memberi penjelasan. Menceritakan bahwa Gan Bu Gi telah berlaku keji terhadap Tan Kui Hwa, murid Hoa-san-pai itu.

   "Ah, kau lebih percaya omongan seorang murid Hoa-san-pai dari pada pinceng? Bagus! Pendeknya, pernikahan itu harus dilanjutkan, ... harus dilangsungkan! Kalau tidak, terpaksa pinceng akan menghukummu dengan pukulan tongkat ini, demikian juga seluruh keluargamu!"

   Seorang perwira sayap garuda yang belum lama bekerja pada Liok-taijin, amat tidak senang dengan sikap hwesio ini, maka ia melangkah maju dan berkata.

   "Losuhu sebagai seorang suci, losuhu tidak seharusnya bersikap seperti ini!"

   Seng Le Hosiang memandang dengan marah. Sekali ia ulurkan tangannya dan mendorong, tubuh perwira itu terlempar tinggi dan jatuh ke atas genteng.

   "Pergilah kau, anjing!"

   Maki Seng Le Hosiang dengan marah, lalu katanya kepada Liok Ong Gun,

   "Dengarlah, Liok Ong Gun! Biarpun kau seorang pembesar, namun kau tetap murid Go-bi-pai dan pinceng berhak menghukummu!"

   Setelah berkata demikian, hwesio itu berkelebat dan lenyap dari situ!

   Bukan main bingungnya hati Liok Ong Gun menghadapi peristiwa ini. Untuk membantah ia tidak berani dan untuk menerima Gan Bu Gi sebagai mantu iapun tidak suka.

   "Ayah, kita tidak berdaya menghadapi Seng Le Hosiang yang kejam itu. Baik, ayah terima saja permintaannya dan pernikahan dilangsungkan pada hari itu."

   "Apa? Kau rela melakukan pengorbanan ini?"

   Tin Eng tersenyum.

   "Tentu saja tidak, ayah. Akan tetapi aku mempunyai akal. Dahulu, enci Kui Hwa sudah berjanji bahwa apabila aku terpaksa kawin dengan pemuda itu, enci Kui Hwa akan datang dan membuka rahasia Gan Bu Gi di depan umum! Dengan demikian, maka pernikahan tentu akan bubar dan tidak jadi. Hari kelimabelas masih dua pekan lagi, maka sekarang aku hendak menulis surat kepada enci Kui Hwa."

   Maka kedua ayah dan anak itu lalu mengadakan perundingan dan sehelai surat lalu ditulis. Seorang pesuruh yang tangkas diutus mengantarkan surat itu kepada Tan Kui Hwa di Kang-lam. Pesuruh itu kembali membawa jawaban Tan Kui Hwa yang menyanggupi permintaan tolong Tin Eng, maka keluarga Liok menarik napas lega.

   Pesta kawin dilakukan dengan amat meriah dan tamu-tamu dari seluruh penjuruh memerlukan datang, juga banyak orang-orang dari kalangan kang-ouw datang menghadiri pesta itu. Penduduk Kiang-sui tentu saja tidak membuang kesempatan ini dan datang menyaksikan dari luar pekarangan gedung.

   Ketika pengantin laki yang nampak gagah dan tampan sudah tiba dan baru saja sepasang pengantin hendak melakukan upacara sembahyang, tiba-tiba Kui Hwa yang semenjak tadi sudah berada di situ berdiri dan berseru keras.

   "Cuwi sekalian, dengarlah keteranganku. Perkawinan ini tak dapat dilanjutkan! Pengantin laki-laki sebenarnya telah mempunyai isteri!"

   Tentu saja semua orang menjadi gempar mendengar suara ini dan semua mata ditujukan kepada Kui Hwa yang berdiri dengan gagahnya.

   "Kau mau tahu siapa isteri pengantin laki-laki. Akulah orangnya! Aku telah menjadi isterinya karena kekejian, bukan karena upacara perkawinan yang syah. Ketika cabang persilatan Hoa-san-pai masih dimusuhi oleh Kim-san-pai, aku pernah tertawan oleh pemuda busuk ini. Dan dalam keadaan tak berdaya, ditambah bujukan-bujukan yang menyatakan hendak mengawiniku, pemuda berhati binatang ini telah melakukan kekejian terhadapku. Akan tetapi semua itu hanya merupakan tipuan belaka, dan setelah ia melakukan perbuatan terkutuk, ia tidak mengawiniku, bahkan menghina dan meninggalkanku! Adik Tin Eng kawin padanya karena paksaan. Karena pemuda busuk itu dapat membujuk Seng Le Hosiang, sehingga tokoh Go-bi-pai yang tua tapi bodoh itu memaksa Liok-taijin sebagai murid Go-bi-pai untuk mengawinkan puterinya kepada pemuda she Gan yang jahanam ini!"

   Mendengar ini, Seng Le Hosiang melompat maju dan hendak menyerang Kui Hwa dengan bentakan.

   "Perempuan busuk pergi kau dari sini!"

   Akan tetapi pada saat itu, bayangan yang amat cepat berkelebat keluar dari kelompok penonton dan bayangan ini menangkis pukulan Seng Le Hosiang yang ditujukan kepada Kui Hwa. Orang ini adalah Gwat Kong yang mempergunakan kesempatan itu untuk menolong Kui Hwa.

   "Gwat Kong .....!"

   Seruan ini terdengar dari beberapa buah mulut, dan yang paling keras terdengar dari Tin Eng yang memandang dengan mata terbelalak heran, seakan-akan tidak percaya kepada sepasang matanya sendiri.

   Akan tetapi Seng Le Hosiang yang marah sekali telah menyerang kembali. Kini bahkan mempergunakan tongkatnya yang selalu dibawa, namun Gwat Kong berlaku waspada dan telah mencabut pedang Sin-eng-kiam dan sulingnya. Keadaan menjadi kacau balau dan saat itu digunakan oleh Kui Hwa untuk menyerang Gan Bu Gi.

   Gadis ini selama berbulan-bulan telah melatih diri dan siap untuk melakukan pembalasan. Kepandaiannya telah banyak maju. Pertempuran hebat terjadi. Di antara para penonton yang menjadi panik, tak seorangpun maju membantu, hanya menonton sambil mundur dari tempat agak jauh.

   Hampir berbareng dengan robohnya tubuh Kui Hwa dan Gan Bu Gi, tubuh Seng Le Hosiang terhuyung-huyung dengan muka pucat, karena dadanya telah kena totokan sulit Gwat Kong yang mendatangkan luka parah di bagian dalam. Kui Hwa tertusuk dadanya oleh pedang Gan Bu Gi, akan tetapi sebaliknya, Gan Bu Gi lehernya hampir putus terbabat oleh pedang Kui Hwa.

   Dalam keadaan yang makin panik dan ribut itu, Gwat Kong cepat melompat ke arah Tin Eng dan berkata.

   "Tin Eng, hayo kau ikut denganku!"

   Tangannya menangkap lengan Tin Eng dan sekali melompat ia telah berada di luar gedung. Bukan main ributnya keadaan pesta itu dan beberapa orang perwira yang mengejar Gwat Kong terpaksa kembali dengan tangan kosong, oleh karena kepandaian mereka masih jauh untuk dapat menyusul Gwat Kong!

   Ketika Gwat Kong dan Tin Eng tiba di rumah Gwat Kong di lereng gunung Kam-hong-san itu, keadaan Cui Giok makin payah. Tin Eng sudah mendengar penuturan Gwat Kong dalam perjalanan menuju ke tempat itu dan dengan suka hati Tin Eng memenuhi undangan Cui Giok itu. Ia amat terharu melihat keadaan nyonya muda itu dan menubruknya sambil menangis.

   "Ah, girang sekali hatiku kau datang, adikku yang manis!"

   Kata Cui Giok yang bangkit dari tidurnya. Anaknya yang masih kecil dipondong oleh pengasuh dari kampung itu.

   "Enci Cui Giok, aku telah mendengar semua pengalamanmu bersama Gwat Kong di guha neraka itu. Kau ..... sungguh patut dikasihani enci ....."

   Cui Giok tersenyum.

   "Kau baik sekali, Tin Eng. Dengarlah, kau juga suamiku. Aku tahu bahwa kalian masih saling cinta dan aku akan rela melihat kalian terangkap menjadi suami isteri ....."

   "Enci Cui Giok ........!"

   Tin Eng berseru dengan muka merah, akan tetapi air matanya mengucur.

   "Tentu kau sudah mendengar dari Gwat Kong bahwa keadaanku amat payah. Kematian akan datang menjemputku tak lama lagi. Tin Eng dan kau juga Gwat Kong, aku hanya akan menitip Lan-lan kepada kalian. Jagalah baik-baik anak itu. Juga batu-batu permata yang kami ambil dari guha itu boleh kau berikan kepada kedua orang she Pang atau tidak! Itu bukan urusanku, dan ...."

   Sampai di sini ia terisak menangis.

   "Dan .... sampaikan hormat dan permintaan ampunku kepada ibu ..... ibuku yang tercinta ..... yang telah lama kutinggalkan!"

   "Enci Cui Giok .....!"

   Tin Eng merangkul dan mencium kening dengan hati amat berat dan terharu.

   "Jangan berkata demikian, enci. Kau seorang wanita yang berhati mulia, karenanya kau akan panjang usia. Kau akan sembuh kembali dan percayalah, aku rela melihat Gwat Kong menjadi suamimu. Kau ..... kau seribu kali lebih baik dari pada aku ....."

   Sementara itu, Gwat Kong hanya dapat duduk dengan kepala tunduk. Hatinya terasa hancur dan saking terharunya, ia tidak dapat berkata sesuatu.

   Pada saat itu, dari luar terdengar teriakan orang.

   "Hai, Kang-lam Ciu-hiap! Keluarlah kau! Sekarang tiba saatnya untuk menetapkan siapa yang lebih lihai antara Barat, Timur, Selatan dan Utara!"

   Gwat Kong terkejut. Itulah suara Ang Sun Tek, ahli Pat-kwa To-hoat yang dulu dicari-cari oleh Cui Giok. Cepat ia melompat keluar dan benar saja, di situ telah berdiri delapan orang yang dikepalai oleh Ang Sun Tek.

   "Bun Gwat Kong!"

   Kata Ang Sun Tek sambil tersenyum mengejek.

   "Kau telah berjanji untuk mengadu kepandaian, akan tetapi kami tunggu-tunggu tak juga kau datang. Ketika kami mendengar tentang kematianmu, kami penasaran sekali. Akan tetapi, tiba-tiba kau muncul lagi dan membawa lari puteri Liok-taijin. Kami sengaja tidak menghalangimu dan diam-diam mengikuti jejakmu sampai di tempat ini. Nah, sekarang cobalah kau melepaskan diri dari Pat-kwa-tin! Apakah ahli Im-yang Kiam-hoat itu masih ada? Suruh dia keluar sekalian!"

   "Dia sudah menjadi isteriku dan kini sedang menderita sakit. Jangan kau mengganggu kami, Ang Sun Tek!"

   Akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan gembira.

   "Ah, telah lama aku menanti datangnya saat ini."

   Dan tahu-tahu Cui Giok telah berdiri di belakang suaminya dengan sepasang pedangnya di kedua tangannya.

   "Liok-te Pat-mo, lekas kalian perlihatkan Pat-kwa-tin itu kepada kami!"

   "Cui Giok, kau ......."

   Kata Gwat Kong.

   "Biarlah, suamiku. Saat ini merupakan kegembiraan terakhir bagiku!"

   Cui Giok yang gagah perkasa itu memotong kata-kata suaminya.

   Sementara itu, Ang Sun Tek dan kawan-kawannya sudah mencabut golok masing-masing, lalu mereka mengurung Gwat Kong dan Cui Giok, merupakan bentuk segi delapan dengan kedudukan yang kuat sekali.

   "Bersiaplah, kami menyerang!"

   Tiba-tiba Ang Sun Tek berseru. Gwat Kong cepat mencabut keluar Sin-eng-kiam dan sulingnya, sedangkan Cui Giok mainkan sepasang pedangnya dengan cepat. Sungguh amat mengherankan dan mengagumkan nyonya muda itu. Dalam keadaan lemah dan sakit tiba-tiba seperti mendapat tenaga dan semangat baru. Gerakannya bahkan lebih cepat dari biasanya.

   Kedua suami isteri ini ketika berada di guha neraka telah melatih diri dengan rajinnya sehingga kepandaian mereka sudah meningkat banyak. Tadinya Gwat Kong amat cemas memikirkan isterinya. Akan tetapi ketika melihat betapa gagah Cui Giok menggerakkan sepasang pedangnya, timbul kegembiraannya. Dan iapun lalu mainkan Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong-tung-hoat dengan pedang dan sulingnya.

   Pertempuran berjalan dengan amat seru dan hebatnya sehingga sepuluh orang itu seakan-akan lenyap dalam gulungan banyak sinar senjata yang indah sekali, kelihatannya. Betapapun lihai Pat-kwa-tin itu, namun akhirnya Ang Sun Tek dan kawan-kawannya harus mengakui keunggulan ilmu pedang Im-yang Siang-kiam-hoat dan ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat itu.

   Setelah bertempur kira-kira lima puluh jurus, tiga orang anggota Pat-kwa-tin roboh. Seorang tertotok oleh suling Gwat Kong. Orang kedua terbacok lengan kanannya oleh pedang Gwat Kong pula dan orang ketiga roboh karena kena disambar pahanya oleh pedang di tangan Cui Giok."

   Ang Sun Tek marah dan penasaran sekali melihat tiga orang kawannya dirobohkan. Sambil berseru nyaring, ia lalu mendesak Cui Giok karena ia tahu bahwa nyonya muda ini sedang menderita sakit. Goloknya menyambar ke arah leher Cui Giok dan ketika Cui Giok menangkis dengan pedang kirinya, kakinya menendang dengan hebatnya ke arah perut nyonya muda itu.

   Hal ini mengejutkan Cui Giok, maka tangkisan pedang kirinya menjadi lemah ketika ia menggerakkan pedang di tangan kanannya untuk membacok kaki yang menyambar perutnya itu. Dua hal terjadi dengan hampir berbareng yang mengakibatkan Ang Sun Tek menjerit dan roboh dengan paha terbacok putus dan Cui Giok terhuyung-huyung dengan pundak kiri berlumuran darah karena bacokan golok, karena tangkisannya kurang kuat.

   Tin Eng yang menonton di depan pintu karena ketika hendak membantu dilarang oleh Gwat Kong dan Cui Giok, segera berlari maju dan memeluk nyonya muda itu. Sedangkan Gwat Kong dengan suara mengguntur membentak empat orang anggauta Pat-kwa-tin,

   "Tahan! Setelah Ang Sun Tek roboh, apakah kalian masih mau mencari mampus? Sudahlah, isteriku terluka dan empat orang kawanmu juga terluka. Ang Sun Tek mendapat luka parah karena salahnya sendiri. Pergilah kalian dari sini dan jangan mengganggu kami lagi!"

   Empat orang itu maklum bahwa mereka takkan dapat mengalahkan orang muda yang lihai itu, maka lalu menggotong tubuh kawan-kawannya dan pergi dari tempat itu.

   Cui Giok dibaringkan di dekat pembaringan anaknya, dijaga oleh Tin Eng dan Gwat Kong. Keadaannya makin payah.

   "Cui Giok, mengapa kau memaksa diri keluar membantuku ....?"

   Gwat Kong menyatakan penyesalannya.

   Cui Giok tersenyum.

   "Apakah artinya luka sedikit di pundak ini? Lukaku di dalam dada sudah tak dapat diobati lagi, dan ..... aku girang dapat membuktikan bahwa Im-yang Kiam-hoat tak kalah hebatnya oleh Pat-kwa To-hoat!"

   Dengan penuh perhatian, Tin Eng merawat Cui Giok. Akan tetapi nyonya muda ini ketika jatuh dengan burung rajawali yang membawanya dulu, telah menderita luka di dalam tubuh yang hebat. Darah tubuhnya telah terganggu oleh luka ini dan hanya berkat latihan bertahun-tahun maka ia masih tahan hidup selama ini.

   Tiga hari kemudian, pada suatu pagi yang cerah, ia nampak gembira sekali dan menyuruh Tin Eng membawa Lan-lan, anak kecil itu untuk diletakkan di sebelahnya. Ia menciumi anak itu dengan penuh kasih sayang, lalu berkata kepada Tin Eng,

   "Tin Eng, jadilah seorang isteri yang setia untuk Gwat Kong dan ibu yang bijaksana untuk Lan-lan ......"

   Tin Eng hanya dapat menahan runtuhnya air mata dan menganggukkan kepalanya. Gwat Kong tidak kuat melihat keadaan ini dan keluar dari kamar, duduk di ruang depan sambil melamun.

   Tiba-tiba terdengar jerit Tin Eng dan ketika Gwat Kong memburu masuk, ternyata Cui Giok sudah menarik napas terakhir sambil memeluk anaknya. Jerit tangis terdengar memenuhi rumah kecil di lereng itu dan tetangga-tetangga datang melayat.

   Setelah jenazah Cui Giok dirawat dan dikubur, maka Gwat Kong dan Tin Eng yang menggendong anak kecil itu, pergi dari Kam-hong-san, menuju hidup baru yang penuh dengan kebahagiaan namun penuh pula dengan kenangan mengharukan.

   Beberapa bulan kemudian, Pang Gun dan Pang Sin Lan di kotaraja didatangi Tin Eng yang membawa batu-batu permata itu. Akan tetapi kedua putera pangeran itu menolak dan memberikan benda-benda itu kepada Tin Eng, karena mereka telah kawin dengan orang-orang hartawan di kota raja dan tidak membutuhkan benda-benda berharga itu. Maka pergilah Tin Eng kembali ke tempat suami dan anak tirinya dan hiduplah ia penuh kebahagiaan sampai di hari tua.

   TAMAT

   andu, http://indozone.net/literatures/literature/240

   27 November 2007 jam 12:17am

   


Pembakaran Kuil Thian Loksi Karya Kho Ping Hoo Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Pembakaran Kuil Thian Loksi Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini