Ceritasilat Novel Online

Pusaka Gua Siluman 30


Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 30



Setelah tiba di atas genteng ruangan itu dan mengintai ke bawah, Lee Ing mengertak gigi dan matanya bersinar-sinar. Lengkap semua musuh-musuhnya duduk menghadapi meja hidangan di dalam ruangan itu. Auwyang Peng yang tinggi kurus duduk di kepala meja, pakaiannya mewah dan sikapnya masih seperti seorang menteri tulen.

   Di kirinya duduk Auwyang Tek, pemuda pesolek yang masih kelihatan kesombongannya. Di sebelah kanan bekas pembesar duduk Tok-ong Kai Song Cinjin, lalu Toat-beng-pian Mo Hun dan Ma-thouw koai-tung Kui Ek dan paling akhir Yokuto, hwesio dari Jepang itu. Mereka semua menghadapi meja besar yang penuh hidangan. Enam orang pelayan muda dan cantik-cantik melayani mereka. Dari atas genteng saja Lee Ing sudah mencium bau arak wangi. Semua nampak gembira sekali.

   "Apakah perahu-perahunya sudah siap semua?"

   Terdengar Auwyang Peng mengajukan pertanyaan kepada Yokuto di antara- gelak tawa mereka.

   "Sudah, sudah siap. Sewaktu-waktu kalau taijin hendak berangkat, tinggal memasang layar saja,"

   Jawab orang Jepang itu.

   "Sebetulnya aku tidak senang harus bersembunyi di pulau kosong itu."

   Kata pula Auwyang Peng.

   "Tidak apa, ayah. Hanya untuk sementara waktu. Kalau perang sudah berakhir dan keadaan aman betul, kita bisa pindah lagi ke kota besar dan hidup tenteram. Sementara itu, dengan adanya suhu dan para locianpwe yang mengawani kita, siapa orangnya yang berani mengganggu?"

   Kata Awyang Tek sambil minum araknya.

   Kau betul.. kau betul.... hayo tambah arak lagi, kita harus makan minum sepuasnya untuk mengantar keselamatan pelayaran kita besok pagi-pagi."

   Lee Ing berdebar hatinya. Tak salah lagi, pembesar korup ini tentu merasa kurang aman di dusun ini dan bersama kaki tangannya hendak bersembunyi ke seberang laut, ke pulau kosong, tentu saja membawa serta harta benda hasil korupsinya.

   "Semua gara-gara gadis siluman itu, sampai-sampai terpaksa kita mesti menyembunyikan diri,"

   Kata pula Auwyang Peng.

   "Aaah, gadis seperti itu apa sih artinya?"

   Yokuto menyombong.

   "Kalau dia berani muncul, serahkan saja kepada pinceng, akan pinceng tangkap dan ikat seperti Orang mengikat ayam."

   "Ha-ha-ha, tapi jangan dibunuh, Yokuto suhu, berikan padaku!"

   Kata Auwyang Tek tanpa malu-malu lagi, biarpun ayahnya berada di situ.

   Lee Ing menggigit bibir, tak dapat ia menahan lagi kemarahannya.

   "Brak!"

   Genteng diinjaknya pecah dan ia melompat turun ke dalam ruangan itu, sengaja ia melompat turun di atas meja di depan mereka! Tentu saja semua orang menjadi kaget setengah mati. Auwyang Peng sampai menjadi pucat dan berteriak.

   "Ayaaaaaa..!"

   "Manusia-manusia anjing, aku Souw Lee Ing sudah datang hendak menuntut balas! Tok ong iblis gundul, kau mau maju satu-satu ataukah mukamu sudah begitu tebal untuk mengeroyokku?"

   Tok-ong tak sempat menjawab. Sebagai seorang tokoh besar tentu saja ia merasa malu mengeroyok dan untuk menghadapi Lee Ing iapun tidak takut, percaya penuh akan kepandaiannya sendiri yang selama ini terus ia latih dan tambah.

   "He, anjing gundul kate, kau tadi hendak menangkap dan mengikatku seperti ayam. Hayo lekas lakukan, hendak menunggu apa lagi?"

   Lee Ing menudingkan telunjuk ke arah hidung Yokuto.

   Dihina seperti itu, Yokuto marah sekali. Di Jepang dia terkenal sebagai seorang guru besar yang pandai ilmu silat dan ilmu tangkap (yudo). Biarpun ia maklum bahwa Negara Tiongkok jauh lebih besar dari pada negerinya dan mempunyai banyak sekali orang pandai sehingga kepandaiannya sendiri tidak ada artinya, namun menghadapi seorang gadis muda seperti Lee Ing tentu saja ia tidak gentar. Melihat gadis itu menudingkan telunjuk di depan hidungnya, secepat kilat ia lalu menyambar tangan gadis itu dan di lain saat pergelangan tangan Lee Ing telah digenggamnya erat erat!

   Auwyang Tek berseru.

   "Bagus!!"

   Dan menjadi girang sekali. Juga ayahnya, Auwyang Peng kelihatan gembira karena jagonya sudah dapat menangkap pergelangan tangan gadis musuhnya itu. Tok-ong Kai Song Cinjin tersenyum dan kawan-kawannya juga nampak gembira. Sebaliknya, enam orang pelayan itu dengan muka pucat dan tubuh gemetar cepat-cepat mengundurkan diri, berlari-lari di atas kaki-kaki mereka yang kecil itu ke sebelah belakang.

   Akan tetapi, kalau tadi Yokuto dapat menangkap pergelangan tangan Lee Ing, bukanlah karena Yokuto terlalu cepat bagi Lee Ing. Sesungguhnya adalah Lee Ing sendiri yang sengaja tidak mengelak malah menggunakan tangan yang diulur tadi sebagai umpan pancing. Ketika Yokuto menangkap tangannya, ia menganggap pancingannya berhasil. Dengan pengerahan Iweekangnya yang luar biasa, ia menyendal tangannya dengan gerakan mendadak dan... tubuh Yokuto tertarik ke atas!

   Yokuto memekik keras, akan tetapi dengan gaya indah Lee Ing sudah mengayun tubuh jago kate itu sehingga kepala yang gundul berada di bawah dan kakinya di atas. Sebelum Yokuto sempat mempertahankan diri, Lee Ing sudah membanting tubuh itu dan..."cepp.....!!"

   Kepala gundul itu tepat sekali masuk ke dalam kwali besi tempat bubur panas. Lucu sekali keadaan jago Jepang itu. Tinggal kaki dan tangannya saja bergerak-gerak, kepalanya tergodok ke dalam bubur panas.

   "Setan!"

   Auwyang Peng memukul-mukul meja dan Mo Hun sudah bangkit dari duduknya, menjura kepada Auwyang Peng sambil berkata.

   "Taijin, ijinkan hamba menghajar siluman ini!"

   Auwyang Peng mengangguk dan "tar tar-tar!"

   Cambuk kelabang di tangan Mo Hun menjetar-jetar dan menyambar-nyambar ke arah Lee Ing yang masih berdiri di atas meja. Lee Ing menendang tubuh Yokuto yang sudah berkelojotan dan.. tak dapat dicegah lagi tubuh itu menjadi korban pukulan-pukulan Toat-beng-pian (Cambuk Pencabut Nyawa) yang dipergunakan Mo Hun untuk menyerang. Tanpa dapat menjerit lagi karena kepalanya terpendam dalam bubur, Yokuto terlempar dan roboh dengan tubuh rusak, dan tewas di saat itu juga.

   "Iblis pemakan otak, kau ke sinilah kalau berani!"

   Lee Ing mengejek sambil melompat turun dari atas meja. Mo Hun memutar piannya dengan kemarahan meluap-luap, la sudah tahu akan kelihaian Lee Ing, akan tetapi ia masih mengandalkan kepandaiannya sendiri dan senjatanya yang jarang gagal, apa lagi di situ banyak teman-temannya, hatinya menjadi besar. Dengan gerengan seperti seekor singa kelaparan, Mo Hun menubruk maju dan pian di tangannya itu sekaligus melakukan tiga macam serangan. Pertama menghajar kepala disusul sabetan pada leher dan sodokan ke arah perut.

   "Tak perlu kau berlagak dengan pianmul"

   Lee Ing mengejek sambil menggerakkan tubuhnya dengan cara aneh ke kanan kiri dan semua serangan itu mengenai tempat kosong. Sementara itu diam-diam Tok-ong Kai Song Cinjin sudah memberi isyarat kepada Kui Ek untuk maju membantu Mo Hun. Kui Ek tidak berahi membantah Memang iapun merasa lebih tabah kalau mengeroyok, karena tahu bahwa kalau ia melawan seorang diri, tak mungkin ia menang. Tanpa banyak cakap lagi ia melompat ke depan dan tongkatnya yang panjang itu mengimbangi permainan cambuk Mo Hun, merupakan serangan yang ampun dan berbahaya.

   Lee Ing tidak mau membuang banyak waktu. Dengan gerakan kilat sehingga tak dapat diikuti oleh pandangan mata, ia sudah mencabut Li-lian-kiam, pedangnya yang pendek dan tipis. Tampak sinar terang berkelebatan ketika ia mainkan pedangnya itu untuk menghadapi cambuk Mo Hun dan tongkat Kui Ek. Biarpun pedangnya hanya pendek dan tipis, namun berkat kegesitannya, sinar pedangnya melebar dan memanjang, tidak saja dapat menangkis semua serangan senjata dua orang lawannya, malah masih dapat mengurung dan membuat dua orang kosen itu kewalahan.

   Yang hebat, sinar pedang itu di tangan Lee Ing sebentar mengandung hawa panas dan tiba-tiba berubah dan mengandung hawa dingin. Inilah daya tenaga Im-kang dan Yang-kang yang dimajukan secara berganti-ganti untuk membuyarkan pengerahan tenaga lawan. Hanya seorang yang sudah memiliki sin-kang (hawa sakti) dalam tubuh setinggi Lee Ing saja yang akan dapat mempergunakan dua macam hawa yang bertentangan itu sekehendak hatinya dan secara berganti-ganti.

   Mo Hun dan Kui Ek, dua orang jago yang banyak pengalamannya dalam pertempuran, yang sudah membunuh entah berapa banyak musuh, sekarang menjadi bingung sekali menghadapi amukan Lee Ing, murid Gua Siluman itu. Dalam jurus ke tiga puluh saja, ujung pedang Lee Ing sudah membabat putus ujung cambuk Mo Hun dan pundak Kui Ek sudah berdarah karena ""tercium"

   Ujung sinar pedang Li-lian-kiam. Patahlah semangat dua orang itu dan mereka mulai kacau gerakan-gerakan mereka.

   Melihat ini, kecutlah hati Auwyang Peng. Ia memberi isyarat kepada Tok-ong untuk maju. Tok-ong di dalam hatinya girang, karena melihat permainan Lee Ing, iapun akan lebih merasa aman kalau maju bersama Kui Ek dan Mo Hun. Akan tetapi untuk menutupi malunya, ia berkata keras-keras.

   "Sebetulnya tak perlu mengeroyok, akan tetapi kalau taijin menghendaki, biarlah pinceng maju. Ji-wi sicu jangan kuatir, biar pinceng bantu tangkap siluman ini!"

   Setelah berkata demikian, Tok-ong Kai Song Cinjin menerjang maju dengan kebutan di tangan kiri dan tasbeh di tangan kanan. Gerakannya hebat sekali, mendatangkan angin berputar-putar.

   "Bagus, sekarang lengkap musuh-musuhku!"

   Lee Ing berseru dan tiba-tiba tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedangnya sendiri. Gadis ini telah mengeluarkan ilmu silatnya yang paling hebat, yaitu bagian-bagian paling sukar dari ilmu silat warisan gurunya. Saking cepatnya gerakan-gerakannya, kadang-kadang ia lenyap dan kadang-kadang ia kelihatan berdiri tak bergerak seperti pa-tung! Benar-benar ilmu silat yang aneh sekali sehingga Tok-ong Kai Song Cinjin sendiri sampai menjadi bingung dan tidak dapat menduga perubahan-perubahan yang terjadi dalam gerak-gerik gadis itu.

   Karena maklum bahwa tiga orang musuhnya ini tak boleh dipandang ringan, Lee Ing mengumpulkan semangatnya dan tiba-tiba ia mengeluarkan jeritan yang demikian nyaring dan aneh, jeritan yang seperti bukan keluar dari mulut seorang manusia, lebih patut keluar dari mulut seorang iblis. Tok-ong Kai Song Cinjin cepat-cepat mengeluarkan auman seperti singa karena ia merasa kedua tangannya gemetar ketika mendengar jerit itu. Kui Ek dan Mo Hun menjadi lumpuh seketika dan saat itu dipergunakan oleh Lee Ing untuk menggerakkan pedang dan tangan kirinya.

   Dalam saat hampir bersamaan, leher Mo Hun putus oleh pedang Li-lian-kiam, kepalanya menggelinding di pojok dan dari lehernya muncrat darah segar, sedangkan Kui Ek roboh binasa dengan dada pecah terkena pukulan tangan kiri gadis itu yang menggunakan Iweekang sepenuhnya. Bukan kepalang kagetnya hati Tok-ong Kai Song Cinjin melihat kejadian ini. Tak tersangka-sangka sama sekali bahwa gadis itu dapat bergerak secepat itu. la menjadi panik dan dalam keadaan terdesak, ujung pedang Li-lian-kiam sudah mendekati lehernya. Tok-ong berseru keras dan menge-butkan lengan bajunya untuk menangkis.

   "Brett!"

   Ujung lengan bajunya terpotong oleh pedang dan masih saja ujung pedang itu menikam leher. Cepat Tok-ong melempar diri ke belakang dan bergulingan menjauhi Lee Ing. Pada waktu itu, Auwyang Peng yang melihat tewasnya Kui Ek dan Mo Hun, cepat pergi bersama puteranya hendak melarikan diri.

   "Bangsat rendah, hendak lari ke mana?"

   Lee Ing untuk sesaat tidak memperdulikan Tok-ong dan sebaliknya ia melompat cepat sekali mengejar Auwyang Peng dan Auwyang Tek yang hendak lari melalui pintu samping. Gerakan Lee Ing cepat bukan main sehingga lompatannya tadi membuat ia melewati kepala dua orang itu dan tahu-tahu ia sudah berdiri di hadapan mereka.

   Auwyang Peng menjadi pucat, sedangkan Auw-yang Tek yang melihat musuh besarnya sudah menghadang di depannya, menjadi nekat. Dengan sepenuh tenaga ia menyerang Lee Ing dengan pukulan Hek-tok-ciang.

   "Brett!"

   Ujung lengan bajunya terpotong oleh pedang dan masih saja ujung pedang itu menikam leher.

   "Plak! Plak!"

   Lee Ing menyambut pukulan dua tangan itu dengan telapak tangannya. Dua tangan bertemu dan akibatnya hebat. Auwyang Tek terjengkang mundur dan dari mulutnya menyembur darah hitam. Ia terkena pukulan Hek-tok tiang sendiri yang membalik ketika hawa pukulan itu terbentur dengan hawa pukulan Lee Ing yang jauh lebih kuat. Auwyang Tek roboh dan tewas di saat itu juga, tewas Oleh pukulan Hek-tok-ciang yang sudah membinasakan entah berapa banyak orang itu. Auwyang Peng memandang dengan mata terbelalak, kemudian tanpa malu-malu lagi pengecut ini menjatuhkan diri berlutut di depan Lee Ing.

   "Nona... am.... ampunkan....... ampunkan aku yang sudah tua...!"

   Hampir ia pingsan takutnya. Sikapnya ini tidak membuat Lee Ing menjadi kasihan, malah sebaliknya membuat gadis itu makin benci dan jijik. Sikap bekas menteri durna itu tiada ubahnya seekor cacing merayap rayap kepanasan.

   "Bluk!"

   Sebuah tendangan membuat Auwyang Peng terjengkang. Sambil menangis saking takutnya, ia merayap dan berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya seperti seorang penjilat di depan kaisar.

   "Hayo katakan di mana adanya Liem Han Sin?"

   Bentak Lee Ing dengan suara keren.

   "Oohhh.... dia.... dia...."

   Bekas pembesar itu tak dapat melanjutkan kata-katanya saking gagapnya dan pada saat itu lantai di bawahnya telah basah semua! Benar-benar kelihatan sekali sifat pengecut yang amat hina dalam diri bekas pembesar koruptor bejat ini.

   "Kauapakan dia? Hayo lekas bicara!"

   Lee Ing membentak lagi sambil menodongkan pedangnya di leher Auwyang Peng.

   "Tidak.... tidak kuapa-apakan... dia.... dia diculik orang sebulan yang lalu...... lenyap dari kamar tahanan..."

   "Awas kalau kau bohong!"

   "Ti... tidak...."

   Pada saat itu, belasan batang anak panah menyambar ke arah Lee Ing. Gadis ini melompat ke atas dan.....

   "cap-cap!"

   Sedikitnya empat batang anak panah yang tadinya ditujukan kepada Lee Ing mendapatkan sasaran di tubuh Auhryang Peng!

   Tentu saja bekas pembesar korup ini berkelojotan dan mampus tak lama kemudian. Segala macam kemuliaan dan harta benda yang ia dapat dengan jalan korupsi dan menggencet rakyat, ternyata ia tinggalkan, tidak ia bawa serta ke neraka. Ketika Lee Ing memandang, ternyata yang melepaskan anak panah adalah para tukang pukul atau penjaga keamanan yang memang dipelihara oleh Auwyang Peng untuk menjaga keamanannya di kampung itu.

   Lee Ing marah sekaii. Tubuhnya berkelebat dan tak lama kemudian terdengar pekik-pekik kesakitan dibarengi robohnya banyak orang penjaga. Yang lain-lain melarikan diri cerai-berai di malam gelap itu.

   Lee Ing celingukan, mencari-cari di mana adanya Tok-ong Kai Song Cinjin. Ketika tadi ia mengejar Auwyang Peng dan Auwyang Tek, Tok ong secara licik dan diam-diam lalu melarikan diri, setelah menyuruh penjaga-penjaga menghujankan anak panah. Lee Ing lalu menangkap seorang penjaga yang sudah terluka dan mengancamnya,

   "Hayo katakan di mana adanya si gundul Tok-ong Kai Song Cinjin?"

   "Ham..... hamba..... ti... tidak tahu....."

   Penjaga itu berkata ketakutan.

   Pikiran Lee Ing berputar. Ia teringajt akan pembicaraan mereka tadi tentang perahu-perahu yang hendak membawa mereka ke pulau kosong.

   "Hayo katakan di mana Auwyang Taijin menaruh perahu-perahunya yang hendak membawanya ke pulau!"

   "Di... di pantai sebelah selatan... kira-kira tiga puluh li dari sini."

   Lee Ing menendang penjaga itu lalu lari cepat-cepat menuju ke timur.

   Menjelang pagi ia sampai di pantai laut, lalu ia berlari ke selatan di sepanjang pantai itu. Benar saja, tak lama kemudian ia melihat ada lima buah perahu besar di pantai, siap untuk diberangkatkan. Dan alangkah girangnya ketika ia melihat seorang berkepala gundul berada di sebuah perahu. Tok-ohg Kai Song Cinjin berada di sana! Ia mempercepat larinya.

   Agaknya Kai Song Cinjin juga sudah melihat kedatangannya karena perahu yang ditumpanginya segera bergerak ke tengah. Dengan bantuan tiga orang anak buah perahu, Kai Song Cinjin melarikan diri. Kakek gundul itu tertawa bergelak ketika melihat Lee Ing marah-marah di pinggir pantai.

   Akan tetapi Lee Ing tidak putus harapan, la melompat ke atas sebuah perahu yang kosong. Biarpun belum berpengalaman benar, tetapi ia pernah menjalankan perahu bersama ayahnya ketika ia dan ayahnya dahulu merampas perahu bajak laut Sim Kang, la cepat mendayung perahu itu ketengah, lalu memasang layar. Perahunya meluncur cepat dan ia memegang kemudi, mengerahkan perahunya mengejar perahu Kai Song Cinjin!

   Akan tetapi Lee Ing kalah pengalaman. Yang mengemudikan perahu di depan itu adalah tiga orang nelayan pandai, sedangkan dia tidak mempunyai pembantu dan cara ia memasang layar juga kurang sempurna. Baiknya, perahunya itu kosong sedangkan perahu kai Song Cinjin membawa muatan berpeti-peti, muatan yang berat karena terisi barang-barang berharga seperti emas dan perak. Karena inilah maka ia tidak tertinggal terlalu jauh.

   Menjelang tengah hari, dua perahu yang berkejaran itu memasuki daerah yang berpulau. Sebentar saja Lee Ing kehilangan jejak perahu di depan, la menjadi jengkel sekali, juga penasaran. Sampai hampir senja ia berputaran di utara pulau-pulau itu, namun sia-sia saja. Tidak kelihatan perahu Kai Song Cinjin!

   Karena sudah lelah, ia lalu minggirkan perahunya mendekati sebuah pulau yang terbesar, pulau yang subur tanahnya karena di situ penuh dengan pohon-pohon hijau. Ketika perahunya sudah menempel pantai, ia mengeluarkan seruan girang karena kini terlihatlah perahu Kai Song Cinjin, sudah diseret naik ke darat dan tertutup oleh pepohonan, pantas saja tidak kelihatan dari laut.

   Cepat Lee Ing melompat dan lari cepat memasuki pulau berhutan itu.. Dan kembali ia tercengang karena dari jauh ia sudah mendengar orang bertempur. Makin dekat ia makin jelas mendengar seruan-seruan mereka dan kagetlah ia ketika terdengar pula hawa pukulan yang membuat daun-daun pohon berkerosakan seperti ada angin besar. Orang-orang pandai kiranya yang bertempur, pikirnya sambil mempercepat larinya.

   Tiba-tiba ia berhenti dan memandang dengan bengong. Ternyata Kai Song Cinjin sedang sibuk sekali melayani serangan dua orang kakek yang menyerangnya secara aneh karena kakek yang pertama buntung kedua lengannya sedangkan yang kedua buta kedua matanya! Mereka itu bukan lain adalah Tok-pi Sin-kai dan Im-kan Hek-mo, dua orang tokoh besar persilatan yang dulu karena kalah olehnya lalu Tok-pi Sin-kai membuntungi lengan sendiri yang tinggal sebelah sedangkan Im-kan Hek-mo mencokel keluar kedua biji matanya! Sekarang dua orang kakek itu menyerang Kai Song Cinjin dengan hebat sekali.

   Lee Ing kagum bukan main melihat cara Tok-pi Sin-kai bertempur. Biarpun kedua lengannya sudah buntung, hanya tinggal sebatas siku, namun dua lengan pendek ini masih dapat melakukan pukulan-pukulan hebat. Dan Im-kan Hek-mo yang kedua matanya sudah berlubang besar dan kosong itu, seperti tidak buta saja, menyerang dengan gerakan leluasa sekali. Celakalah Kai Song Cinjin karena terpaksa ia harus mengakui keunggulan dua orang kakek yang sudah menjadi penderita cacad itu! Dia, tokoh besar Tibet selama ini jarang menemui tandingan, sekarang kewalahan menghadapi serangan-serangan dua orang kakek yang buta dan buntung!

   "Sin-kai dan Hek-mo, jangan mendesak pin-ceng. Kalau kalian mau, ambillah Semua harta di perahu itu!"

   Kata Kai Song Cinjin terengah-engah kehabisan napas dan sudah lemas sekali.

   "Ha-ha-ha, Tok-ong. Tempo hari kau mengandalkan keroyokan, maka dapat mengusir kami, sekarang rasakan pembalasan dua orang kakek cacad. Ha-ha!"

   Tok-pi Sin-kai tertawa mengejek.

   "Ji-wi locianpwe, jangan biarkan dia lolos!"

   Teriak Lee Ing dari jauh sambil berlari mendekat. Mendengar suara ini. Tok-ong menjadi pucat sekali.

   "Celaka."

   Teriaknya dan saking kagetnya ia berlaku lambat sehingga tongkat ular di tangan Im-kan Hek-mo dengan keras menusuk lambungnya disusul oleh dua pukulan lengan buntung Tok-pi Sin-kai.

   "Aduhhhh....I"

   Tok-ong Kai Song Cinjin terhuyung-huyung. Pada saat itu Lee Ing sudah datang dekat. Melihat ini, Tok-ong saking takutnya lalu melompat jauh sekali menjauhi gadis itu, tanpa melihat lagi ke mana ia melompat. Di lain saat terdengar jerit yang menyayat hati ketika tubuh Kai Song Cinjin yang sudah terluka berat itu meluncur ke dalam jurang yang amat dalam, untuk menemui maut dengan tubuh hancur tak berbekas lagi karena jurang itu dasarnya penuh batu-batu karang yang tajam meruncing!

   Lee Ing menjenguk ke dalam jurang dan menarik napas panjang. Habislah semua musuh-musuhnya, terbalaslah semua sakit hati. Akan tetapi apa artinya semua itu kalau Han Sin tak dapat ia temukan? Teringat akan kekasihnya itu yang tak mungkin dapat ia jumpai kembali karena semua orang yang dulu menawannya kini sudah mati semua. Lee Ing menjatuhkan diri berlutut di atas tanah lalu menangis terisak-isak!

   "Eh, eh. musuh tewas kok malah menangis. Aturan mana ini?"

   Terdengar suara mencela di belakangnya, suara Tok-pi Sin-kai yang kecil nyaring.

   "Nona, tangismu menyedihkan hatiku. Kenapa kau menangis? Coba kau ceritakan kepada kami. Tak pantas murid pandai dari Bu-Beng Sin-kun yang gagah perkasa menangis begini menyedihkan. apalagi sebagai puteri Souw Teng Wi. pantang menangis!"

   Im-kan Hek-mo juga mencela dengan suaranya yang parau besar. Dicela begitu, makin hebat tangis Lee Ing. Ia merasa sengsara, nelangsa, dan terharu.

   "Ji-wi locianpwe tidak tahu,"

   Katanya terisak isak.

   "mereka itu, Tok-ong dan kawan-kawannya yang jahat... mereka telah menangkap Sin ko...... sekarang mereka sudah mati semua, ke mana aku harus mencari Sin-ko....??"

   "Ah, kiranya urusan yang kau tangisi hanya demikian sepele (sederhana), kalau hanya begitu saja, aku si buta masih dapat membantumu......"

   Kata Im-kan Hek-mo. Mendengar ini Lee Ing melompat bangun dan memegang tangan Iblis Hitam Akhirat itu.

   "Locianpwe, harap jangan main-main. Benarkah kau dapat memberi petunjuk di mana adanya Sin-ko?"

   "Nanti dulu,"

   Tok-pi Sin-kai mencela.

   "nona Souw, apakah kau betul-betul cinta kepada Liem Han Sin?"

   Saking tegang dan girang karena timbul harapan, Lee Ing sampai tidak memperhatikan bagaimana dua orang ini tahu bahwa yang ia panggil Sin-ko adalah Liem Han Sin. Mukanya menjadi merah sekali mendengar pertanyaan Itu, akan tetapi tanpa ragu-ragu lagi ia menjawab,

   "Dia adalah satu-satunya orang di dunia ini yang kuharapkan menjadi.... menjadi..... kawan selamanya...."

   "Jadi kau mau berkorban apa saja demi keselamatannya?"

   Tanya pula Tok-pi Sin-kai.

   
Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku bersedia! Biar berkorban nyawa sekalipun,"

   Jawab Lee Ing dengan isak ditahan.

   "Bagus! Kalau begitu, kau ajarkan kepada kami pukulan-pukulan Bu-Beng Sin-kun yang terpenting, yang kau pakai mengalahkan kami tempo dulu. Kalau- kau meluluskan permintaan ini, baru kami hendak menjamin pertemuan kembali dengan Sin-komu itu."

   Wajah Lee Ing berseri.

   "Betulkah? Locianpwe, jangan permainkan aku seorang gadis sengsara. Betulkah itu?"

   "Kami sudah tua bangka hampir mampus, perlu apa main-main? Hayo lekas kau buka rahasia ilmu Bu-Beng Sin-kun yang mengalahkan kami."

   "Baik, perhatikan sungguh-sungguh."

   Dengan jelas tanpa menyembunyikan sesuatu Lee Ing lalu bersilat, memberi petunjuk-petunjuk tentang ilmu silat peninggalan Bu-Beng Sin-kun yang ia pergunakan untuk mengalahkan dua orang tokoh itu. Tok-pi Sin-kai memandang penuh perhatian. Im-kan Hek-mo miringkan kepala untuk menangkap gerakan-gerakan itu dengan pendengarannya.

   Sampai setengah hari ia memberi petunjuk-petunjuk kepada dua orang kakek itu. Hari sudah terganti malam, akan tetapi dua orang kakek itu masih belum puas. Silih berganti mereka mengajak Lee Ing bertanding setelah mereka mempelajari gerakan-gerakan itu. Mula-mula mereka masih belum mampu mengalahkan Lee Ing, akan tetapi setelah berganti-ganti bertempur semalam suntuk, pada waktu fajar menyingsing akhirnya Lee Ing dapat mereka kalahkan!

   "Sudah puaskah ji-wi sekarang?"

   Tanya Lee Ing dengan lesu sambil merayap bangun dari tanah di mana ia tadi terjungkal. Tok-pi Sin-kai dan Im-kan Hek-mo tertawa bergelak-gelak.

   "Ha-ha-ha, Bu-Beng Sin-kun, pada saat-saat terakhir kamilah yang lebih unggul."

   "Ji-wi locianpwe, aku telah memenuhi kehendak ji-wi, sekarang harap ji-wi memenuhi janji,"

   Kata Lee Ing penuh harapan. Ia mau melakukan segala permintaan dua orang kakek aneh itu karena memang merekalah harapannya terakhir untuk bertemu kembali dengan Han Sin.

   "Boleh, boleh, akan tetapi kau harus berjanji dulu."

   "Berjanji apa lagi?"

   Tanya Lee Ing sambil memandang Im-kan Hek-mo yang berkata itu dengan tajam.

   "Berjanji bahwa kelak kalau kau mempunyai putera, anakmu itu harus menjadi murid kami. Biar andaikata kami sudah mampus sebelum anakmu terlahir, kelak kau harus memberi tahu anakmu bahwa gurunya adalah Im-kan Hek-mo dan Tok-pi Sin-kai. Mengerti?"

   Wajah I ee Ing menjadi makin merah. Aneh-aneh saja dua orang kakek ini. Sekarang ia tahu mengapa mereka memaksanya mengeluarkan ilmu silat yang mengalahkan mereka. Kiranya dua orang ini masih saja berwatak tak mau kalah dan biarpun sudah mati kelak, ingin nama mereka menduduki tempat tertinggi! Benar-benar pikiran kakek-kakek yang sudah berubah menjadi kanak-kanak lagi.

   "Baiklah, aku berjanji."

   "Nah, kalau begitu, kau masuklah ke dalam hutan ini, lurus saja sampai kau melihat sebuah bangunan kelenteng tua. Kau boleh tunggu di situ, kami pasti akan membawa Han Sin kepadamu."

   Lee Ing tidak melihat lain pilihan lagi kecuali menurut. Hatinya berdebar tidak karUan dan dengan patuh ia berjalan menerjang hutan itu. Tiba-tiba datang angin ribut dan udara yang tadinya terang, matahari pagi yang sudah muncul tadi, sekarang menghilang lagi. Udara tertutup mendung, pohon-pohon hutan doyong seperti hendak menimpa Lee Ing, akan tetapi gadis itu seperti dalam mimpi berjalan terus ke depan. Akhirnya, betul saja ia melihat sebuah kelenteng tua di tengah hutan itu.

   Debar jantungnya menghebat. Apakah dua orang kakek itu tidak menipunya? Betulkah mereka hendak datang membawa Han Sin padanya? Ia menengok ke belakang. akan tetapi belum kelihatan kakek itu mengejarnya. Lee Ing ragu-ragu dan hatinya tidak enak. Sampai berapa lama ia harus menunggu? Udara makin gelap dan dua titik air membasahi pipi Lee Ing. Air hujan? Ataukah air mata? Keduanya mungkin karena mendung sudah amat tebal dan hati Lee Ing sudah amat berduka.

   Tiba-tiba ia mendengar tindakan kaki di belakangnya, dari rumah kelenteng itu datangnya. Ia menengok dan.... seketika itu Lee lng berdiri kaku seperti patung. Matanya terbelalak penuh air, bibirnya gemetar. Tak salahkah penglihatannya? Betulkah Liem Han Sin yang berdiri di depannya itu, dalam jarak kurang lebih lima meter? Hujan-pun turun menyaingi air mata Lee Ing.

   "Ing-moi....!"

   Suara ini menerangi hati Lee Ing, lebih terang dari pada cahaya kilat yang menyambar pada saat itu.

   "lng-moi....!!"

   "Sin-ko.....! Kaukah ini.....? Sin-ko...!!"

   Hampir terjungkal Lee Ing ketika kakinya tersaruksaruk berlari ke depan dengan kedua lengan terbuka. Pemuda itupun berlari maju dan di lain saat mereka sudah saling rangkul dan dekap.

   "lng-moi.... akhirnya kita berkumpul kembali..."

   Kata Han Sin dengan isak tertahan.

   "Sin ko....."

   Hanya demikian Lee Ing dapat berbisik, harinya penuh kebahagiaan, aman dan tenteram rasanya dalam pelukan sepasang lengan yang kuat dari pemuda pujaan hatinya ini. Hujanturun dengan lebatnya dan dua orang muda yang sedang terlelap dalam kemesraan pertemuan mengharukan itu seperti tidak merasakan timpaan air hujan yang membuat mereka basah kuyup.

   Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari dalam pondok itu disusul suara Tok-pi Sin-kai.

   "Han Sin bocah totol! Apa kau mau membiarkan calon isterimu yang terguncang hatinya itu masuk angin?"

   Han Sin sadar. Ia menggandeng tangan Lee Ing dan berlarilah keduanya sambil tertawa-tawa seperti dua orang anak kecil bermain-main dalam hujan, lari ke arah pondok untuk menghadap dua orang kakek itu yang sudah menanti di dalam pondok. Setelah memasuki pondok, Han Sin dan Lee Ing menjatuhkan diri berlutut di depan Im-kan Hek-mo dan Tok-pi Sin-kai yang sudah duduk di atas kursi.

   "Terima kasih atas pertolongan suhu berdua sehingga teecu dapat bertemu kembali dengan Ing-moi..."

   Kata Han Sin terharu.

   "Bodoh, bukan kami yang mempertemukan kalian, akan tetapi cinta kasih yang murni dan hati yang baik. Lagi pula, kami bukan gurumu lagi, akan tetapi kami adalah guru-guru dari puteramu kelak. Calori isterimu sudah menjanjikan hal ini kepada kami. Bukankah begitu, nona Souw?"

   Han Sin memandang kekasihnya dengan heran akan tetapi Lee Ing hanya tersenyum malu-malu. Kemudian berceritalah mereka. Baru Lee Ing tahu

   bahwa sebetulnya Han Sin ditolong oleh dua orang kakek itu ketika mereka mengetahui bahwa pemuda murid Im-Yang- Thian-Cu itu ditahan oleh Tok-ong dan kawan-kawannya. Sebulan yang lalu mereka melakukan penculikan atau pertolongan membebaskan Han Sin dari kamar tahanannya sehingga terjadi pertempuran yang hampir saja menewaskan mereka karena dikeroyok. Mereka membawa Han Sin ke pulau kosong itu, sengaja hendak menanti datangnya Auwyang Peng yang mereka tahu hendak menyembunyikan hartanya di tempat itu.

   "Kami merasa malu kepada Pek-kong-Sin-ciang Bu Kam Ki, maka untuk menebus dosa yang dulu, kami sengaja menolong Han Sin sekalian untuk mengambilnya sebagai murid,"

   Kata Im-kan -Hek-mo.

   "Akan tetapi sekarang tidak lagi, kami lebih suka menjadi guru-guru puteranya,"

   Sambung Tok-pi Sin-kai.

   Han Sin dan Lee Ing, atas petunjuk dua orang kakek sakti itu, mengangkut harta benda Auwyang Peng itu ke utara dan diserahkan kepada Siok Beng Hui untuk biaya penyerbuan. Juga mereka, di samping Siok Bun dan Siok Ho yang girang bukan main melihat kedatangan mereka, berjuang bahu membahu dan dua pasang orang muda ini berjanji baru mau menikah setelah kekuasaan lalim di selatan sudah dapat ditumbangkan.

   Akhirnya, setelah terjadi perang selama empat tahun, robohlah kekuasaan selatan dalam tahun 1403. Raja Muda Yung Lo menjadi Kaisar Beng-tiauw dengan gelar Kaisar Ceng Tsi, naik tahta dan mengendalikan pemerintahan sampai dua puluh satu tahun lamanya. Ibu kota dipindah ke Peking dan kota Nan-king merupakan ibu kota ke dua.

   Rakyat mulai bernapas lega dan bergembira pula. Terutama sekali dua pasang mempelai yang melakukan upacara pernikahan, yaitu Liem Han Sin dengan Souw Lee Ing dan Siok Bun dengan Oei Siok Ho, kebahagiaan mereka sukar dilukiskan lagi. Dalam perayaan ini, hadir pula Haminto Losu, kakek dari Lee Ing yang sengaja datang dari utara untuk ikut bergembira minum arak wangi bagi keselamatan pernikahan cucunya yang tercinta.

   Tidak ketinggalan Tok-pi Sin-kai dan lm-kan Hek-mo guru-guru putera Han Sin dan Lee Ing yang belum terlahir, mereka minum-minum arak sampai sepuasnya, ditemani oleh Bu Kam Ki yang memerlukan hadir pula.

   Sekianlah, cerita PUSAKA GUA SILUMAN ini berakhir sampai di sini dengan catatan pengarang bahwa selama dunia masih berputar, keadilan Tuhan masih akan tetap berjalan. Siapa jahat dia akan terhukum, siapa baik dia akan berjasa.

   Masih belum terlambat selagi masih hidup bagi siapapun juga untuk menyadari akan hal ini, membuka mata menginsyafi kesesatan sendiri agar cepat mengatur langkah melalui jalan benar sebagai seorang manusia yang tahu akan kemanusiaannya, sebagai mahluk paling mulia di alam semesta ini!

   T A M A T

   Percetakan & Penerbit CV GEMA

   Pelukis : Yohanes H. & Widodo

   DJVU : Mukhdan & Dewi KZ di kangzusi.com

   Convert DJVU to text : Abdul Gawi

   


Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini