Pendekar Pemabuk 5
Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
Tin Eng merasa terkejut sekali, akan tetapi ia dapat menahan perasaan ini dan berkata.
"Hinaan apakah yang mereka lakukan terhadapmu, cici?"
"Biarlah lain kali saja kuceritakan padamu, adik Tin Eng. Sekarang telah jauh malam, lebih baik kita melanjutkan perjalanan masing-masing."
Tin Eng maklum bahwa tentu telah terjadi sesuatu antara Gan Bu Gi dan Kui Hwa dan gadis itu yang baru saja dikenalnya masih belum percaya penuh untuk menceritakan hal itu kepadanya. Mereka lalu berpisah dan Tin Eng melanjutkan perjalanannya menuju ke Ki-ciu dan setelah keluar dari hutan, lalu melalui jalan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Kui Hwa. Sementara itu Kui Hwa mengambil jalan lain ke Kang-lam.
Dua hari kemudian Tin Eng tiba di Ki-ciu. Ia mendapat kenyataan bahwa kota ini memang benar-benar indah sehingga gadis ini merasa amat gembira. Selain bangunan-bangunan yang besar dan megah memenuhi kota hingga membuat kota itu nampak indah dan toko-toko besar membuktikan kemakmuran kota itu. Juga di sepanjang pantai sungai Liang-ho yang mengalir di dekat kota itu telah dibangun tempat istirahat yang indah, penuh ditanami kembang-kembang dan didirikan menara-menara dan bangunan lain yang amat bagus. Di situ disediakan pula perahu-perahu kecil bagi para pelancong yang hendak menghibur hati dan setiap hari terdengar tetabuhan yang-kim dan suling merayu-rayu.
Tin Eng bermalam dalam sebuah hotel terbesar, memilih kamar di loteng. Hanya pada malam hari saja ia berada di dalam kamarnya, karena pada pagi dan sore hari ia selalu keluar dari hotel untuk berjalan-jalan dan mengagumi keindahan kota dan segala pemandangannya.
Pada hari kedua, ketika ia masuk ke dalam kamarnya setelah sehari penuh berpelesir di atas perahu dan mendengarkan tetabuhan yang merdu, ia menjadi terkejut sekali melihat bahwa buntalan pakaiannya telah lenyap dari kamar itu.
Ia segera berteriak memanggil pelayan dan ketika pelayan datang ia memberitahukan bahwa barang-barangnya telah lenyap. Pelayan itu menjadi pucat sekali dan berkata,
"Aneh sekali, siocia! Kami selalu menjaga di bawah dan tak seorangpun kami lihat naik ke loteng ini. Bagaimana barang-barangmu bisa tercuri? Kalau memang ada pencuri yang mengambilnya, dari mana ia bisa naik ke sini?"
Melihat betapa pelayan itu memandangnya seakan-akan tidak percaya kepadanya bahwa barang-barangnya benar telah hilang, hampir saja Tin Eng menamparnya. Akan tetapi ia menahan kemarahannya dan melakukan pemeriksaan. Ternyata buntalannya yang berisi pakaian, perhiasan, uang dan juga kitab pelajaran ilmu pedang telah lenyap tak berbekas. Ketika ia menjenguk ke luar jendela kamarnya, ia melihat sehelai sapu tangannya terletak di luar jendela, maka tahulah dia bahwa pencurinya adalah seorang pandai ilmu silat yang memasuki kamarnya dengan jalan melompat dari bawah dan masuk dari jendela.
"Celaka!"
Serunya marah sekali, sedangkan pelayan yang melihat hal inipun dapat menduga pula, bahwa yang datang mencuri barang-barang tamunya tentu seorang maling yang pandai, maka ia mulai menggigil seluruh tubuhnya.
"Bagaimana baiknya, siocia? Apakah saya harus melaporkan saja kepada penjaga kemanan?"
"Tak usah!"
Bentak Tin Eng marah sekali.
"Aku akan mencarinya sendiri dan kalau maling keparat itu sampai terjatuh ke dalam tanganku, kepalanya akan kuhadiahkan kepadamu!"
Dengan wajah makin pucat karena ngeri, pelayan itu lalu lari dari loteng, menuruni anak tangga secepatnya.
Tin Eng duduk termenung. Apa daya? Kemana ia harus mencari seorang maling yang tidak ada jejaknya? Kota Ki-ciu demikian besarnya sehingga untuk mencari seorang yang pernah dilihatnya saja sudah merupakan pekerjaan yang tidak mudah, apalagi harus mencari seorang maling yang belum dilihatnya sama sekali. Semua barang-barangnya berada dalam bungkusan itu dan yang tertinggal padanya hanya pakaian yang dipakai, sedikit uang yang dibawahnya untuk bekal siang tadi dan pedangnya. Untuk membayar sewa kamar pun ia tidak punya.
Semua ini tidak begitu menyusahkan hatinya, akan tetapi yang paling ia sedihkan ialah kitab pelajaran ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat. Ia sayang kepada kitab itu melebihi seluruh barang yang dibawanya dan kalau sampai kitab itu terjatuh ke dalam tangan seorang penjahat, ia merasa ngeri memikirkan hal ini.
Kemudian Tin Eng mengambil keputusan untuk keluar dan mencari-cari ke mana saja nasib membawa dirinya. Siapa tahu kalau-kalau barang-barang itu dijual oleh pencuri dan terlihat olehnya dipakai orang. Ia akan dapat mengenali barang-barang dan pakaiannya sendiri.
Malam hari itu, Tin Eng kembali berjalan-jalan di sekeliling kota, akan tetapi tentu saja ia tak dapat bertemu dengan yang dicarinya. Akhirnya karena sedih, kecewa dan putus harapan, ia pergi ke tepi sungai yang sunyi dan duduk seorang diri melamun, sambil mendengarkan riak air yang berdendang tiada hentinya itu.
Ia memikirkan nasibnya yang amat buruk. Dipaksa kawin, melarikan diri untuk merantau, dan kini seluruh barangnya habis tercuri orang. Ia mulai merasa menyesal mengapa ia meninggalkan rumah. Akan tetapi, kalau ia kembali, ia harus tunduk kepada kehendak ayahnya dan ia tidak mau menikah dengan Gan Bu Gi. Apalagi setelah ia mendengar dari Kui Hwa bahwa Gan Bu Gi dan suhunya membantu orang-orang Go-bi-san dan memperbesar permusuhan, bahkan pernah menghina kepada Kui Hwa, kawan baiknya itu. Ia tidak suka menikah dengan panglima muda itu.
Ia lalu teringat Gwat Kong. Kasihan sekali pelayan muda itu. Kalau teringat betapa ia pernah melukai lengan Gwat Kong dengan pedangnya bahkan pernah menodongnya dengan ujung pedang menempel pada tenggorokan pemuda itu! Kalau teringat betapa pemuda itu memandangnya dengan sayu dan sedikitpun tidak merasa takut, biarpun lehernya hendak ditusuk pedang, bahkan minta kepadanya untuk membunuhnya saja. Kalau ia ingat betapa Gwat Kong yang sedikitpun tidak merintih bahkan berkejap matapun tidak ketika menderita luka pada lengannya. Ah, kalau ia teringat akan itu semua, timbul penyesalan besar dalam hatinya.
Pemuda pelayan itu amat baik dan setia kepadanya, bahkan kitab ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat yang kini hilang itupun pemberiannya. Akan tetapi ia membalas pemuda itu dengan tusukan pedang, bahkan dengan ancaman membunuh, hanya karena pemuda itu dengan berani karena mabuknya, mencela di depan Gan Bu Gi dan Seng Le Hosiang, bahkan di dalam mabuknya berani membayangkan perasaan cinta kasihnya kepada puteri majikannya.
Hal ini bagi Tin Eng memang dulu merupakan sebagai penghinaan. Betapa seorang puteri tunggal Kepala daerah yang berdarah bangsawan, takkan merasa terhina kalau dicinta oleh seorang pelayan dan tukang kebunnya sendiri. Akan tetapi sekarang ia bukanlah Tin Eng yang dulu. Sekarang ia hanya seorang gadis perantau yang telah kehilangan semua barangnya, seorang gadis semiskin-miskinnya karena pakaian pun hanya memiliki satu stel yang melekat pada tubuhnya saja dan uang hanya tinggal sedikit, bahkan hutangnya pada hotel juga belum dapat terbayar.
Kepada siapakah ia harus minta tolong? Kalau saja ia dapat bertemu dengan Gwat Kong, pelayannya yang amat setia itu, tentu Gwat Kong akan suka menolongnya dari kesulitan ini biarpun pemuda itu pernah hendak dibunuhnya, telah dilukainya, akan tetapi pasti pemuda itu akan bersedia menolongnya. Hal ini ia yakin benar karena baru sekarang ia merasa betapa besar cinta kasih pemuda itu kepadanya. Baru sekarang ia teringat betapa pemuda itu selalu berusaha untuk menyenangkan hatinya!
Tak terasa lagi Tin Eng lalu menangis dan terisak-isak di pinggir sungai. Ia merasa berduka sekali tanpa mengetahui dengan pasti apakah yang menimbulkan rasa duka ini. Entah karena menyesal telah meninggalkan gedung orang tuanya. Entah karena menyesal akan perlakuannya terhadap Gwat Kong, atau barangkali juga karena teringat akan barang-barangnya yang hilang.
"Nona, aku hendak bicara padamu,"
Tiba-tiba terdengar suara orang laki-laki dan Tin Eng melompat dengan terkejut sambil mencabut pedangnya dan memutar tubuhnya. Di depannya berdiri seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, memakai pakaian hitam dan ikat kepala hitam pula. Laki-laki itu segera menjura ketika Tin Eng mencabut pedang.
"Sabar, nona. Aku bukan datang dengan maksud jahat, bahkan hendak menolongmu mendapatkan kembali kitabmu yang hilang."
Tin Eng merasa gembira sekali.
"Di mana kitabku itu? Siapa yang mencurinya?"
Pertanyaan ini diajukan dengan suara mengancam dan pedangnya telah menggigil dalam tangannya.
"Sabar, sabar, nona dan jangan salah sangka. Bukan aku yang melakukan pencurian itu. Biarpun aku, Lok Ban si Tangan Seribu dianggap sebagai kepala semua pencuri dan pencopet di Ki-ciu, akan tetapi aku belum pernah mengulurkan tangan panjang untuk mengambil milik orang!"
"Katakanlah siapa yang mencuri barang-barangku dan di mana kitab itu?"
Tin Eng mendesak pula tidak sabar.
"Masukkan dulu pedangmu itu di dalam sarungnya, nona. Andaikata kau dapat membunuh si Tangan Seribu sekalipun, kau takkan dapat menemukan kembali kitabmu tanpa pertolonganku."
Tin Eng sadar akan hal ini maka ia menekan perasaan marahnya dan memasukkan pedangnya, lalu berkata.
"Maaf, sahabat. Sekarang ceritakanlah apa sebenarnya maksud kedatanganmu ini."
"Seorang kawan kami secara kebetulan telah mendapat kitab itu di dalam bungkusan barang-barangmu. Tentu saja tidak ada aturannya seorang pencuri mengembalikan barang-barang berharga yang dicurinya, akan tetapi kitab itu ...."
"Aku tidak memperdulikan segala macam barang-barangku, asalkan kitab itu kembali kepadaku,"
Kata Tin Eng memotong.
Lok Ban si Tangan Seribu itu tersenyum.
"Inilah maksud kedatanganku, nona. Kami para anggauta Perkumpulan Tangan Panjang di kota Ki-ciu biarpun melakukan pekerjaan yang orang biasa menganggapnya jahat, akan tetapi kami memiliki cabang persilatan sendiri dan sama sekali menjadi pantangan besar bagi kami untuk mencuri ilmu silat orang lain. Tanpa disengaja, seorang kawan kami mendapatkan kitab pelajaran ilmu pedang dalam bungkusanmu. Sudah menjadi kewajiban kami untuk mengembalikan kitab itu asal kau suka memberi sedikit "uang lelah"
Kepada kawan kami itu."
Bukan main marahnya hati Tin Eng mendengar ini. Orang-orang telah mencuri kitabnya dan sekarang masih hendak memeras lagi. Akan tetapi ia maklum bahwa ia tidak berdaya dan seakan-akan berada dalam kekuasaan kepala maling ini. Kalau ia menjadi marah dan menyerang kepala maling itu, makin jauhlah harapannya untuk mendapatkan kembali kitab itu. Sedangkan untuk menebus dan memenuhi kehendak kepala maling ini, ia tidak mempunyai uang. Tin Eng secara cerdik menyembunyikan perasaannya dan berkata,
"Hal itu mudah sekali. Pasti aku takkan melupakan kebaikan ini dan aku rela memberikan semua harta bendaku asalkan kitab itu bisa kembali ke tanganku. Akan tetapi, apakah buktinya bahwa kitab itu betul-betul berada pada kawanmu? Bagaimana kalau kau menipuku? Kalau aku melihat sendiri kitab itu, barulah aku percaya."
"Nona, jangan kau sembarangan mengeluarkan ucapan. Aku Lok Ban biarpun menjadi kepala maling akan tetapi tak pernah membohong atau menipu orang. Kalau kau tidak percaya, mari kau lihat sendiri buktinya!"
Sambil berkata demikian kepala maling ini lalu memutar tubuh dan berlari keras, memberi tanda agar supaya Tin Eng mengikutinya.
Tin Eng pun melompat dan menyusul, akan tetapi tiba-tiba ia mendapat pikiran yang baik sekali. Bagaimana kepala maling ini mau mempercayainya dan membawanya ke tempat kitab itu berada? Kalau kepala maling ini melihat bahwa ia berkepandaian tinggi, tentu ia akan menyesatkannya dan mungkin akan menjebaknya karena merasa jerih kepadanya. Oleh karena ini ia sengaja memperlambat larinya hingga sebentar saja ia tertinggal jauh.
Beberapa kali Lok Ban menengok dan melihat betapa gadis itu tertinggal jauh sekali, ia lalu berhenti dan membalikkan diri menghampiri Tin Eng sambil tertawa.
"Mengapa kau lari secepat itu? Jangan tergesa-gesa!"
Kata Tin Eng yang sengaja bernapas tersengal-sengal. Lok Ban tertawa dan berkata dengan suara menyatakan kegirangan hatinya,
"Nona, kita telah salah jalan, seharusnya ke sana!"
Sambil berkata demikian, ia lalu berlari ke arah yang bertentangan dengan tadi dan kini ia berlari perlahan agar Tin Eng tak sampai tertinggal lagi. Diam-diam Tin Eng merasa girang karena usahanya berhasil dan ternyata bahwa tadi kepala maling ini benar-benar hendak mengujinya dan membawanya ke arah jalan yang bertentangan.
Tak lama kemudian, tibalah mereka di dalam sebuah rumah yang besar dan yang berdiri di luar sebuah hutan. Ketika mereka tiba di tempat itu, di luar terdapat belasan orang yang agaknya sedang merundingkan sesuatu. Yang sedang bercakap-cakap hanyalah tiga orang saja sedangkan yang lain hanya mendengarkan.
Ketika melihat kedatangan Lok Ban dan Tin Eng, seorang di antara ketiga orang yang bercakap-cakap tadi, yakni seorang yang bertubuh kecil pendek dan berkepala botak, segera lari menyambut dan berkata kepada Lok Ban sambil memandang ke arah Tin Eng dengan tersenyum,
"Lok-pangcu (ketua Lok), kitab itu telah dibeli oleh dua orang tuan yang baru datang itu!"
Sambil berkata demikian, ia mengangkat dan memperlihatkan sebuah kantong yang terisi uang kepada ketua maling ini.
"Jadi kaukah yang mencuri kitab dan barang-barangku?"
Tin Eng membentak marah.
"Kembalikan kitabku dan jangan menjualnya kepada orang lain kalau kau sayangi jiwamu!"
Sambil berkata demikian, Tin Eng lalu mencabut pedangnya dan melompat ke dekat si kepala botak sambil mengancam.
"Kitab sudah berada di tangan mereka,"
Kata si maling yang berkepala botak itu sambil melompat pergi dan melarikan diri, Tin Eng hendak mengejar, akan tetapi Lok Ban tertawa dan berkata,
"Nona, kau telah didahului orang, maka kalau kau hendak mengambil kembali kitabmu, kau boleh berusaha membelinya kembali dari kedua orang itu!"
Bukan main marahnya hati Tin Eng yang merasa dipermainkan, akan tetapi oleh karena mendapatkan kembali kitab itu lebih penting baginya dari pada berurusan dengan segala maling, ia lalu berlari secepatnya terbang ke arah dua orang tadi. Lok Ban terkejut sekali melihat gerakan kaki Tin Eng ini karena jauh sekali bedanya dengan kecepatan lari gadis tadi.
Otaknya yang cerdik segera dapat menduga bahwa ia tadi kena ditipu oleh gadis itu, maka ia lalu memberi tanda kepada semua anak buahnya yang segera lari pergi meninggalkan tempat itu. Maling-maling ini tidak perlu lagi dengan Tin Eng maupun dengan dua orang yang datang membeli kitab, oleh karena uang pembelian kitab sudah diterima dan mereka tidak mau mencari penyakit dan mencampuri urusan itu.
Oleh karena ini, maka yang berada di situ kini hanyalah Tin Eng dan dua orang laki-laki pembeli kitab pelajaran Sin-eng Kiam-hoat tadi. Tin Eng memperhatikan kedua orang itu dan ternyata mereka adalah orang-orang yang bertubuh tegap, membawa pedang pada pinggang masing-masing dan berusia kurang lebih empat puluh tahun dan sikapnya gagah sekali.
Tin Eng menjura kepada mereka dan berkata.
"Jiwi harap suka mengembalikan kitab itu kepadaku, karena kitab itu adalah milikku yang dicuri oleh gerombolan maling itu!"
Kedua orang laki-laki itu saling pandang kemudian tersenyum dan setelah mereka tersenyum dan memandangnya, tahulah Tin Eng bahwa kedua orang inipun bukanlah orang baik-baik karena senyum dan pandang matanya ternyata kurang ajar sekali.
"Nona, kitab ini kami beli dengan harga lima puluh tail perak!"
Tin Eng menjadi bingung. Ia tidak mempunyai uang sebanyak itu, maka terpaksa ia menjawab,
"Maaf, pada waktu ini saya tidak membawa uang sebanyak itu. Akan tetapi, kalau jiwi pergi ke Kiang-sui dengan membawa suratku kepada Kepala daerah Kiang-sui, jiwi akan menerima uang pengganti seratus tail."
Tiba-tiba berubahlah muka kedua orang itu mendengar disebutnya kota Kiang-sui.
"Jadi kau mendapatkan kitab ini di Kiang-sui, nona?"
Tanyanya.
"Tak perlu kalian tahu dari mana aku mendapatkan kitab ini, yang terpenting ialah bahwa kitab itu adalah kitabku dan kalian harus mengembalikannya kepadaku!"
Kata Tin Eng yang sudah menjadi tidak sabar lagi.
"Nona, kenalkah kau kepada Bu-eng-sian, Dewa Tanpa Bayangan?"
Baru kali ini Tin Eng mendengarkan nama itu maka ia menggelengkan kepala.
Orang kedua yang agaknya tidak percaya kepada sangkalan Tin Eng ini, bertanya lagi.
"Benar-benar kau tidak kenal pada Leng Po In, pengemis tua hina dina itu?"
Tin Eng menjadi hilang sabar.
"Sudahlah, tak perlu kita bicarakan hal-hal yang tidak perlu kumengerti. Pendeknya, betapapun juga kalian harus mengembalikan kitabku itu!"
Ia menggerak-gerakkan pedangnya.
Kedua orang itu tertawa cekakakan sambil mencabut pedang masing-masing.
"Nona manis, mudah saja kau bicara! Seandainya kitab ini tidak tercuri dari tanganmu, kalau kami mengetahui bahwa kau membawa kitab ini, pasti kami akan turun tangan merampasnya, baik dengan halus maupun dengan kasar. Ketahuilah bahwa guru-guru kami telah bertahun-tahun mencari kitab ini, dan karenanya lebih baik kau mengaku terus terang saja dari mana mendapatkan kitab ini dan ada di mana pula adanya kitab tebal yang asli. Kalau kau mau berterus terang, tentu kami takkan melupakan budimu."
"Siapa sudi mendengar ocehanmu! Kembalikan kitab itu!"
Sambil berkata demikian, Tin Eng menyerbu dengan pedang di tangan kanan digerakkan menyerbu, sedangkan tangan kiri diulur untuk merampas kitab yang dipegang oleh seorang di antara mereka. Akan tetapi dengan gesit orang itu melompat dan sebelum Tin Eng sempat mengejarnya, yang seorang lagi telah menyerbu dan menyerangnya.
"BAGUS, kalian mencari mampus!"
Teriak Tin Eng yang segera memutar pedangnya sedemikian rupa menurut gerakan-gerakan Sin-eng Kiam-hoat. Sebetulnya pelajaran pedang Sin-eng Kiam-hoat yang dipelajari oleh Tin Eng masih belum matang betul, akan tetapi ilmu pedang itu benar-benar hebat. Gerakan-gerakannya demikian cepat dan tidak tersangka sehingga seakan-akan merupakan seekor Garuda Sakti yang menyambar dan menyerang mempergunakan paruh, sepasang cakar, dan sepasang sayapnya. Biarpun kedua orang itu mengeroyoknya dengan sengit, namun Tin Eng dapat mendesak mereka dengan serangan-serangan hebat.
"Kalau tidak dikembalikan kitab itu, kalian mampus!"
Kembali Tin Eng mengancam oleh karena sesungguhnya ia tidak bermaksud membunuh orang-orang yang sama sekali tidak mempunyai permusuhan dengannya itu. Akan tetapi, kedua orang lawannya tanpa banyak cakap mengadakan perlawanan hebat, agaknya merekapun tidak mau mengalah dan hendak mempertahankan kitab itu dengan nyawa mereka.
"Twako, kau bawalah kitab itu kepada suhu! Biar aku yang menahan iblis wanita ini,"
Seru yang seorang dan orang yang membawa kitab itu lalu melompat jauh dan lari pergi. Tin Eng merasa marah sekali dan hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba orang yang lari itu berseru girang,
"Suhu telah datang!"
Dan dengan pedang di tangan ia lalu menyerbu lagi!
Tin Eng memandang dan ternyata lima orang yang usianya rata-rata empat puluh tahun berlari seperti terbang cepatnya menyerbu ke tempat itu.
"Suhu, perempuan ini hendak merampas kitab Sin-eng Kiam-hoat!"
Mendengar ini, seorang di antara mereka yang berbaju hitam panjang berseru.
"Robohkan dia, akan tetapi jangan membunuhnya!"
Sehabis berkata demikian, orang ini lalu melepaskan ikat pinggangnya, yang ternyata terbuat dari kulit yang panjang dan kuat, merupakan senjata cambuk! Juga empat orang lain mengeluarkan senjata mereka yang hebat, karena senjata mereka itu semua berlainan. Seorang memegang tongkat besar yang kepalanya melengkung berbentuk kepala naga, seorang lain memegang sebuah pedang pendek, orang ketiga memegang sebatang pedang panjang dan orang keempat memegang sebatang golok kecil. Akan tetapi gerakan mereka ternyata gesit dan bertenaga.
Tin Eng merasa terkejut sekali dan segera memutar pedangnya untuk menghadapi lima orang itu.
"Jangan turun tangan!"
Kata pemegang cambuk kepada kawan-kawannya.
"Gunakan bubuk Ang-hoa!"
Kelima orang itu lalu mengeluarkan sehelai sapu tangan dan ketika mereka mengebut, maka berhamburanlah bubuk bunga merah dan bau yang amat wangi keras menyerang hidung Tin Eng, yang tiba-tiba menjadi pening. Bumi yang dipijaknya terasa berputar-putar dan betapapun dia menguatkan tubuhnya, akhirnya ia menjadi limbung, terhuyung-huyung dan roboh pingsan.
Kelima orang itu tertawa dan si pemegang cambuk berkata.
"Nona manis, terpaksa kami tidak ingin kau menderita luka atau binasa!"
Ia menghampiri Tin Eng untuk memondongnya. Akan tetapi baru saja ia mengulurkan tangan, tiba-tiba ia menarik tangannya sambil berseru kaget. Ternyata sebutir buah le mentah telah menyambar dan tepat mengenai tangannya dan sungguhpun buah itu kecil dan tidak keras, akan tetapi tangannya terasa sakit sekali.
Ia bangun berdiri, memandang ke sekelilingnya dan berseru.
"Siapakah yang berani main-main dengan Ngo-heng-kun Ngo-hiap?"
Seruan ini keras sekali sehingga menggema sampai jauh. Akan tetapi tidak ada jawaban, hanya suara gemercik air sungai yang menjadi jawabannya.
Ketika mereka hendak mengangkat tubuh Tin Eng tanpa memperdulikan penyambit itu, tiba-tiba berhamburanlah batu-batu kecil yang tepat menghantam tubuh mereka sehingga mereka menjadi kaget dan wajah mereka jadi pucat sekali. Si pemegang cambuk tahu bahwa ada orang luar biasa yang datang menolong gadis itu, maka karena kitab telah berada di tangan mereka, ia lalu memberi tanda dan kelima orang itu bersama dua orang muridnya lalu melompat pergi dan lari dari tempat itu.
Setelah mereka pergi jauh, muncullah seorang pemuda yang tadi bersembunyi di balik sebuah pohon yang tumbuh di dekat sungai kecil dekat tempat itu. Pemuda ini dengan tenang lalu menghampiri tubuh Tin Eng sambil membawa seguci arak yang diturunkan dari gendongan. Guci arak ini besar dan pada lehernya diberi gantungan sehingga mudah dibawa ke mana-mana. Ia lalu berlutut membuka mulut Tin Eng dan menuangkan sedikit arak ke dalam mulut gadis itu kemudian ia menggunakan arak pula untuk dipercikan ke arah muka Tin Eng.
Tak lama kemudian gadis itu bergerak dan membuka mata. Bukan main herannya ketika ia melihat pemuda itu berjongkok di dekatnya. Ia melompat bangun dan berseru keras,
"Gwat Kong .....!!"
Pemuda itu tersenyum lalu berdiri dan menjura memberi hormat kepadanya.
"Liok-siocia, apakah selama ini kau baik-baik saja?"
Suaranya masih halus dan merendah, seperti sikapnya dulu ketika masih menjadi pelayan di rumah keluarga Liok.
Mendengar pertanyaan dan melihat sikap Gwat Kong ini, tiba-tiba merahlah seluruh muka Tin Eng dan tak dapat ditahannya lagi, ia segera menangis tersedu-sedu. Ia merasa malu, menyesal dan juga gemas, karena teringat akan kitabnya yang hilang.
Ketika tadi ia duduk di tepi sungai Liang-ho, termenung memikirkan keadaan dan nasibnya, ia merasa berduka dan mengharapkan kedatangan seorang seperti Gwat Kong yang tentu dapat dimintai tolong. Akan tetapi setelah sekarang benar-benar Gwat Kong yang muncul dengan tak tersangka-sangka, ia menjadi makin sedih. Bagaimana pemuda lemah ini dapat menolongnya?
Selain membutuhkan uang untuk membayar sewa kamar dan biaya melanjutkan perantauannya, juga ia membutuhkan bantuan orang pandai seperti Dewi Tangan Maut untuk merampas dan mencari kembali kitabnya yang hilang. Gwat Kong mempunyai apa yang dapat digunakan untuk membantunya dalam hal-hal itu? Namun, hatinya terharu juga melihat pelayan ini.
"Nona, janganlah kau bersedih, nona. Bagaimanakah kau bisa sampai tiba di tempat ini?"
Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tin Eng menyusut air matanya dan memandang kepada Gwat Kong dengan penuh perhatian. Pemuda ini nampak lebih tegap dan air mukanya yang lebar dan jujur itu, kini nampak berseri dan kulitnya kemerah-merahan, menandakan bahwa selain hatinya riang gembira, juga keadaannya sehat sekali. Pakaiannya masih sederhana, walaupun bukan seperti pakaian pelayan lagi dan rambutnya diikat pula oleh sehelai sapu tangan lebar.
"Gwat Kong, apakah kau tidak marah kepadaku?"
Tanya Tin Eng, sambil mengerling ke arah lengan tangan Gwat Kong, seakan-akan hendak menembus lengan baju untuk melihat bekas luka karena tusukan pedangnya dulu itu.
"Liok-siocia, mengapa kau ajukan pertanyaan ini? Mengapa aku mesti marah kepadamu?"
Gwat Kong memandang dengan mata terbuka lebar karena ia memang benar-benar merasa heran.
"Aku ... aku telah melukaimu bahkan ... hampir membunuhmu."
Gwat Kong mengerti dan ia tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Liok-siocia, harap kau jangan mengingatkan aku akan hal itu lagi. Aku masih merasa menyesal sekali kepada diri sendiri karena perbuatanku yang kurang ajar itu dan kau memang berhak untuk melukaiku, bahkan kalau kau membunuhku, akupun tidak merasa penasaran."
"Gwat Kong, kau benar-benar seorang yang baik hati dan aku ... ah, aku seorang tak tahu budi yang bernasib malang."
Kembali Tin Eng mengalirkan air mata dari kedua matanya karena terharu.
"Nona, sebenarnya mengapa kau bisa berada di tempat ini? Aku mendapatkan kau dalam keadaan pingsan dan melihat bangsat-bangsat itu berlari pergi. Kau datang dari manakah dan hendak kemana?"
"Bangsat-bangsat itu telah mencuri kitab pelajaran ilmu pedang yang dulu kauberikan kepadaku!"
Kata Tin Eng dengan gemas.
"Ketahuilah, Gwat Kong, setelah kau pergi, ayah memaksaku untuk menerima pinangan Gan Bu Gi."
Gwat Kong mengangguk-angguk dan menarik napas panjang.
"Aku telah tahu dan dapat menduga akan hal itu, siocia, dan sekali lagi aku menghaturkan selamat kepadamu."
"Tariklah kembali ucapanmu itu!"
Kata Tin Eng sambil merengut.
"Siapa yang butuh ucapan selamat dalam keadaan seperti ini?"
"Eh eh, bukankah kau memang .... suka kepada panglima muda itu, siocia?"
Gwat Kong memandang tajam.
"Kalau aku suka, mengapa aku bisa sampai di tempat ini. Dengarlah baik-baik, Gwat Kong dan jangan memotong penuturanku. Terus terang saja, aku memang tertarik kepada Gan-ciangkun yang pandai sekali ilmu silatnya. Akan tetapi itu bukan berarti aku suka kepadanya. Karena belum mempunyai keinginan untuk mengikat diri dengan perjodohan, maka aku menolak kehendak ayah itu, sehingga ia menjadi marah sekali dan ... ayah telah menamparku, satu hal yang belum pernah ia lakukan selama hidupku! Dan aku .... karena dipaksa-paksa, aku lalu melarikan diri pada malam hari. Aku merantau sehingga sampai di Ki-ciu ini. Malang sekali bagiku. Buntalan pakaian berikut semua uang bekal, perhiasan dan juga kitab pelajaran ilmu pedang itu telah dicuri orang. Dalam usahaku mencarinya aku bertemu dengan kepala maling di kota ini dan dibawa kesini untuk menerima kembali kitab yang harus ditebus. Biarpun aku tidak mempunyai uang, aku ikut padanya dengan maksud untuk merampasnya kembali. Tidak tahunya, kitab itu telah dijual kepada dua orang yang tidak mau mengembalikannya kepadaku, sehingga kami bertempur dan selagi aku berhasil mendesak dua orang itu, datanglah lima orang guru mereka yang lihai. Dan menghadapi kelima orang itu aku tidak berdaya karena mereka mempergunakan bubuk yang disebar kepadaku dan yang membuatku pening dan roboh pingsan. Aku tidak ingat apa-apa lagi sehingga tahu-tahu kau berada di sini menolongku."
"Barang-barang sudah tercuri orang, mengapa harus bersedih, siocia? Memang daerah Ki-ciu ini banyak terdapat maling-maling yang lihai sehingga seringkali pengunjung-pengunjung dari luar kota menjadi korban mereka."
"Kehilangan pakaian dan barang-barang sih tidak sangat menyusahkan hatiku, sungguhpun sekarang aku telah kehabisan uang sama sekali, hingga untuk membayar sewa kamar pun aku tidak mempunyai uang. Akan tetapi yang paling menyusahkan hatiku ialah kitab itu."
"Mengapa pula, siocia? Bukankah kitab itu telah berada lama di tanganmu? Apakah kau belum hafal dan belum mempelajari semua isi kitab itu?"
Tin Eng menarik napas panjang. Sukar baginya untuk membicarakan tentang kitab itu kepada seorang yang tidak mengerti ilmu silat sama sekali.
"Gwat Kong, biarpun aku telah hafal, akan tetapi belum matang benar dan perlu sekali aku mempelajari lebih mendalam. Terutama sekali, kitab itu adalah kitab pelajaran ilmu silat yang tinggi dan apabila pelajaran itu terjatuh dan dipelajari oleh seorang jahat, maka ia akan menjadi seorang penjahat yang amat berbahaya. Aku harus mendapatkan kembali kitab itu. Lebih baik melihat kitab itu terbakar musnah dari pada melihat ia terjatuh ke dalam tangan orang jahat."
"Kalau begitu, mengapa tidak kau kejar saja mereka?"
Tanya Gwat Kong. Dan mendengar pertanyaan yang dianggapnya bodoh ini Tin Eng berkata bersungguh-sungguh,
"Enak saja kau bicara! Mereka telah lari selagi aku pingsan dan ke mana aku harus mengejar mereka? Aku tidak mengenal mereka dan tidak tahu di mana mereka tinggal."
"Akan tetapi aku kenal mereka dan tahu tempat tinggal mereka, siocia."
Tin Eng memandang heran. Gadis ini telah merasa biasa lagi dan sebagian besar rasa sedihnya telah lenyap setelah bertemu dengan Gwat Kong. Karena bercakap-cakap dengan pemuda itu membuat ia merasa seakan-akan ia kembali berada di tempat tinggal orang tuanya, seakan-akan ia tak pernah pergi dari rumah dan Gwat Kong masih menjadi pelayan ayahnya. Pemuda itu sikapnya masih demikian polos dan menghormat. Entah bagaimana, biarpun tak ia perlihatkan akan tetapi di dalam hatinya timbul kegirangan besar sekali setelah bertemu dengan Gwat Kong, bekas pelayannya itu. Dan kini pemuda ini menyatakan bahwa ia kenal dan tahu tempat tinggal kelima orang yang membawa pergi kitab ilmu pedangnya.
"Kau, Gwat Kong? Benar-benarkah kau tahu tempat tinggal mereka? Siapakah sebenarnya mereka itu?"
Sambil ajukan pertanyaan ini Tin Eng memandang kepada pemuda itu dengan kagum oleh karena semenjak ia masih kecil dan bergaul dengan pelayan ini, sudah seringkali Gwat Kong merupakan sumber pertolongan baginya. Apalagi dalam hal mengatur taman bunga, hanya Gwat Kong saja yang dapat memuaskan hatinya.
Pemuda itu mengangguk.
"Tadi ketika aku melihat mereka pergi, aku tahu bahwa mereka itu adalah Ngo-hiap. Lima jago tua yang amat terkenal di Ki-ciu. Mereka itu bertempat tinggal di sebelah timur kota."
"Bagus sekali, Gwat Kong. Kalau begitu hayo kau antar aku ke tempat mereka!"
"Jangan sekarang, siocia. Lebih baik besok pagi, karena tidak baik malam-malam mendatangi tempat mereka. Dan pula mereka itu terkenal sebagai jagoan-jagoan yang lihai. Apakah tidak berbahaya kalau kau datang ke sana?"
"Aku tidak takut!"
Jawab Tin Eng dengan sikap gagah.
"Tadipun kalau mereka tidak berlaku curang, belum tentu aku akan kalah! Pendeknya, lihai atau tidak, aku harus datang ke sana mengadu nyawa untuk merampas kembali kitab itu!"
"Kau benar-benar hebat dan gagah sekali, Liok-siocia."
Tiba-tiba sepasang mata Gwat Kong memandang dengan penuh kekaguman dan mesra sekali. Akan tetapi oleh karena keadaan tidak begitu terang, Tin Eng tidak melihat pandang mata itu.
Mereka lalu meninggalkan tempat itu dan berjalan di bawah sinar bulan kembali ke kota Ki-ciu. Gwat Kong mengantarkan Tin Eng sampai di hotelnya dan ketika gadis itu bertanya di mana tempat pemuda itu, Gwat Kong menjawab sambil tersenyum,
"Aku juga seorang perantau seperti kau sendiri, siocia. Akan tetapi, aku tidak bisa tidur di hotel sebesar ini."
"Kalau begitu, kau minta saja sebuah kamar, biar aku yang akan membayar ...."
Tiba-tiba Tin Eng menghentikan omongannya, karena ia teringat betapa ia sendiripun belum tentu dapat membayar sewa kamarnya.
Gwat Kong mengerti akan keraguan gadis itu maka ia tersenyum dan berkata.
"Jangan kuatir, nona. Bagiku sih mudah saja, tidur di kelenteng atau di emper rumah pun cukup dan tentang uang sewa kamarmu, tak usah kau kuatir pula, kalau memang kau telah kehabisan uang dan semua uangmu telah dicuri orang biarlah besok kucarikan uang pembayaran sewa kamar itu."
Tin Eng menarik napas lega. Selalu pemuda ini dapat memecahkan kesulitannya sehingga ia merasa berterima kasih sekali.
"Nah, selamat malam, nona. Besok pagi-pagi aku akan datang ke sini untuk mengantarkan kau ke tempat mereka itu."
"Selamat malam, Gwat Kong dan ... kau maafkanlah segala kekasaranku terhadapmu dulu!"
Ucapan ini dikeluarkan dengan suara isak di tenggorokan.
"Jangan sebut lagi hal itu, siocia"
Kata Gwat Kong yang melangkahkan kaki untuk meninggalkan ruangan hotel.
"Dan ... terima kasih kepadamu, Gwat Kong, kau .. kau baik sekali."
Gwat Kong menengok dan tersenyum, wajahnya yang tersorot lampu di ruang hotel itu nampak tampan dan berseri girang.
"Tidurlah, siocia!"
Katanya, kemudian ia menghilang di dalam gelap.
Tin Eng masuk ke dalam kamarnya dan malam itu ia tidur dengan nyenyak seakan-akan berada di dalam kamarnya sendiri di gedung ayahnya. Biarpun semenjak siang tadi ia belum makan, akan tetapi ia tidak merasa lapar dan semua kedukaannya lenyap kalau ia mengingat bahwa besok pagi ia akan pergi ke tempat lima jago tua yang telah mengambil kitabnya itu bersama Gwat Kong.
Mari kita ikuti dulu perjalanan Gwat Kong semenjak ia berpisah dari Gui A Sam bekas kepala pengawal mendiang ayahnya itu. Tertarik oleh penuturan A Sam tentang diri Dewi Tangan Maut, puteri tunggal hartawan Tan, musuh besarnya yang telah meninggal dunia itu, ia lalu berangkat menuju ke Kang-lam.
Ia dapat mencari rumah hartawan Tan, akan tetapi ternyata rumah gedung itu ditutup rapat dan tidak ada penghuninya dan ketika ia mencari keterangan, ternyata bahwa pemilik rumah gedung itu, yakni yang disebut oleh orang-orang di Kang-lam sebagai Tan-lihiap sedang pergi merantau. Orang memberi keterangan kepada Gwat Kong menambahkan,
"Kalau saja Tan-lihiap berada di sini, tak mungkin dua orang penjahat itu berani mengacau!"
Gwat Kong tertarik hatinya.
"Penjahat yang manakah?"
"Kau belum tahukah, kongcu? Bukankah ada pengumuman ditempel di mana-mana? Pembesar di sini telah menjanjikan hadiah besar bagi siapa yang dapat menangkap kedua orang penjahat itu!"
"Aku baru saja datang dari luar kota, mana aku tahu akan segala peristiwa yang terjadi di sini? Sesungguhnya, apakah yang telah terjadi?"
"Kalau kongcu benar-benar tertarik dan ingin tahu, lebih baik kongcu datang kepada tihu di tempat ini untuk mendapatkan keterangan lebih jelas lagi. Aku tidak berani banyak bicara, oleh karena kedua penjahat itu lihai sekali dan pernah ada orang yang membicarakan mereka, pada malam harinya didatangi dan dibunuh."
Bukan main herannya hati Gwat Kong mendengar ini. Akan tetapi ia tidak bisa mendapat keterangan selanjutnya dari orang yang ketakutan itu, maka terpaksa ia lalu mengarahkan langkahnya ke gedung tihu.
Tihu di Kang-lam orangnya ramah tamah dan Gwat Kong disambut dengan baik sekali olehnya sehingga pemuda ini merasa suka. Karena jarang pada dewasa itu menemui seorang pembesar sedemikian baik dan ramah sikapnya.
"Telah hampir sebulan kota kami mendapat gangguan dua orang penjahat,"
Tihu itu mulai menerangkan.
"Kami telah berusaha sedapatnya untuk menangkap mereka akan tetapi selalu gagal. Banyak orang di kota ini tak sanggup menghadapi mereka yang amat lihai. Apakah kedatangan hiante ini hendak membantu kami?"
"Hendak saya coba, taijin dan mudah-mudahan saja tenagaku yang lemah dapat merupakan bantuan sekedarnya."
Melihat sikap yang sopan santun dan merendah dari Gwat Kong, berbeda dengan sikap orang-orang ahli silat lainnya, tihu itu merasa ragu-ragu akan tetapi juga girang sekali. Ia lalu memerintahkan pelayannya untuk mengeluarkan hidangan dan arak wangi, sedangkan Gwat Kong yang telah beberapa hari tidak mencium bau arak wangi tanpa sungkan-sungkan lagi lalu minum dengan lahapnya.
Tihu itu merasa heran dan gembira melihat betapa Gwat Kong kuat sekali minum arak. Berkali-kali ia memerintahkan pelayan menambah arak sehingga sebentar saja Gwat Kong telah menghabiskan hampir lima belas cawan besar arak wangi yang amat keras. Bukan main herannya tihu itu beserta para pelayan karena orang biasa saja belum tentu akan sanggup menghabiskan tiga cawan tanpa terserang mabuk. Akan tetapi pemuda yang nampak halus itu telah menghabiskan lima belas cawan besar dan tidak terlihat tanda-tanda mabuk sama sekali.
Sambil makan minum, tihu itu menceritakan kepadanya bahwa dua orang pengacau yang datang mengganggu itu adalah dua orang jahat yang selain mencuri harta-harta benda, juga mengganggu anak bini orang dan tidak segan-segan membunuh. Sudah enam orang menjadi korban senjata mereka, di antranya dua orang penjaga dan seorang gadis. Bukan main marahnya Gwat Kong ketika mendengar ini.
"Malam ini saya akan menjaga di atas rumah dan mudah-mudahan saja mereka itu akan muncul agar dapat saya serang,"
Katanya.
Malam itu keadaan sunyi dan orang-orang telah pergi tidur sebelum gelap benar. Sungguhpun mereka tidak berani meramkan mata dan selalu mendengar kalau-kalau para penjahat itu datang ke rumah mereka. Sebelum melakukan penjagaan di atas rumah-rumah para penduduk, Gwat Kong minta seguci arak wangi lagi karena memang arak wangi dari Kang-lam luar biasa enaknya.
Dengan membawa seguci arak wangi dan sulingnya yang terselip di pinggang, pemuda itu melompat naik ke atas genteng dan mulai berkeliling mengadakan penjagaan. Hawa malam itu dingin sekali, akan tetapi oleh karena ia berteman dengan araknya, ia tidak merasa dingin. Arak itu ia minum begitu saja tanpa menggunakan cawan, langsung dituang dari mulut guci ke mulutnya.
Menjelang tengah malam, ketika ia sedang meneguk guci araknya yang tinggal sedikit lagi, tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar ke arah perut dan lehernya. Ia maklum bahwa itu tentulah sambaran senjata rahasia. Akan tetapi untuk memperlihatkan kepandaiannya, Gwat Kong tidak menghentikan minumnya dan sekali tangan kirinya bergerak cepat, ia berhasil menangkap dua buah senjata piauw yang menyambarnya itu.
Barulah ia menurunkan guci araknya dan berkata.
"Penjahat-penjahat rendah yang manakah yang berani mengganggu orang minum arak?"
Sementara itu, kedua orang penjahat yang pada siang harinya telah mendengar bahwa ada seorang pemuda pemabokan hendak menangkap mereka, menjadi geli sekali. Dan semenjak tadi mereka diam-diam telah mengikuti gerak-gerik Gwat Kong yang mereka anggap tolol. Ketika pemuda itu sedang minum araknya, mereka lalu menyerang dengan piauw tadi untuk membuatnya mati selagi minum arak. Akan tetapi, tak mereka sangka sama sekali bahwa pemuda itu demikian lihai sehingga dapat menangkap piauw mereka sambil minum arak.
Gwat Kong berkata lagi.
"Ini, terimalah kembali piauw kalian!"
Ia mengayun tangannya secara sembarangan ke arah mereka, lalu menenggak araknya lagi tanpa perdulikan apakah sambitannya itu mengenai sasaran atau tidak. Piauw yang disambitkan dengan tenaga lweekangnya yang hebat itu meluncur cepat sekali dan dengan kaget kedua penjahat itu lalu mengelak agar jangan sampai terkena senjata rahasia mereka sendiri.
(Lanjut ke Jilid 06)
Pendekar Pemabuk/Kanglam Tjiu Hiap (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
Mereka menjadi marah sekali dan dengan pedang di tangan mereka lalu melompat dan menyerang Gwat Kong yang masih minum araknya. Gwat Kong tiba-tiba melompat jauh dan menghindarkan diri dari serangan itu sambil menurunkan guci araknya yang kini telah kosong. Dan ketika kedua orang itu menyerangnya lagi, tiba-tiba ia menyemburkan arak dari mulutnya yang menyerang muka kedua orang lawannya bagaikan puluhan anak panah.
Kedua orang penjahat itu sama sekali tak pernah menduga dan tentu saja mereka tidak takut terhadap semprotan arak ini. Akan tetapi ketika serangan arak yang disemburkan dengan tenaga lweekang itu mengenai muka mereka, kedua orang penjahat itu memekik ngeri dan tubuh mereka terhuyung-huyung di atas genteng dan pedang mereka terlepas karena kedua tangan digunakan untuk menutupi muka mereka yang terasa sakit sekali.
Sambil tertawa tergelak-gelak, Gwat Kong lalu menggerakkan tangan kanannya untuk mengirim totokan sehingga kedua orang penjahat itu roboh tak berkutik lagi dalam keadaan lemas. Sambil tertawa-tawa karena telah agak terlampau banyak minum arak sehingga menjadi riang gembira wataknya, Gwat Kong mengempit tubuh kedua penjahat itu di tangan kanan kiri, meninggalkan guci araknya yang telah kosong. Lalu melompat turun dan terus membawa mereka ke gedung tihu.
Tihu dari Kang-lam yang diberitahukan tentang kedatangan pemuda itu segera menyambutnya. Gwat Kong melemparkan dua tubuh penjahat itu ke depan kaki tihu, lalu menjura dalam-dalam dan berkata,
"Inilah kedua orang penjahat yang mengacau Kang-lam, taijin."
Bukan main heran dan girangnya pembesar itu dan ketika melihat bahwa Gwat Kong hendak pergi lagi, lalu menahannya dan berkata.
"Nanti dulu, taihiap! Kau belum menerima hadiahmu."
Gwat Kong tertawa bergelak.
"Sudah, sudah kuterima, taijin. Hadiahnya ialah keramah-tamahanmu dan arak wangi yang amat enak itu."
Tihu itu juga tertawa dan makin kagumlah ia terhadap pendekar muda yang aneh ini.
"Kalau begitu, biarlah kutambahkan lagi arak yang terbaik untuk kau bawa pergi. Dan kami pun harus ketahui dulu siapa namamu, taihiap. Semenjak siang tadi, kau selalu menolak untuk memberitahukan namamu kepada kami."
Kembali Gwat Kong tertawa.
"Apakah artinya nama? Disebut apapun saya tidak keberatan, tajin dan tentang arak terbaik itu ..... hmmm, kalau memang taijin hendak memberi kepadaku tentu saja kuterima dengan ucapan terima kasih."
Tihu itu lalu memerintahkan seorang di antara pelayan yang juga memenuhi ruangan itu untuk mengambil sebuah guci araknya yang terbuat dari pada perak dan memakai tali gantungan, lalu memberikan benda itu kepada Gwat Kong.
"Taihiap, jangan pandang rendah guci arak ini, karena arak yang disimpan di dalam guci ini akan dapat tahan sampai bertahun-tahun tanpa menjadi kurang kenikmatan rasanya dan segala macam minuman apabila dimasukkan ke dalam guci ini, maka akan menjadi bersih dari segala racun. Air beracun yang amat jahat akan menjadi air minum yang tidak berbahaya apabali dimasukkan ke dalam guci ini karena racunnya telah dihisap oleh dasar guci. Dan tentang namamu taihiap, kalau kau memang tidak mau memperkenalkannya, biarlah kami memberi nama kehormatan Kang-lam Ciu-hiap (Pendekar Arak dari Kang-lam) kepadamu,"
Gwat Kong menerima guci yang berisi penuh arak terpilih itu, menggantungkan talinya pada ikat pinggang dan tertawa girang.
"Nama yang bagus sekali! Dengan tihunya seperti taijin ini yang ramah tamah dan bijaksana, Kang-lam merupakan kota istimewa bagiku, maka aku suka sekali disebut Kang-lam Ciu-hiap. Nah, selamat malam, taijin!"
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, tubuh Gwat Kong telah lenyap dari depan tihu dan para pelayannya itu sehingga mereka merasa kagum sekali. Makin besar kegembiraan mereka ketika ternyata bahwa kedua orang yang tak berdaya itu benar-benar adalah dua orang penjahat yang selama ini mengacau kota mereka. Segera kedua orang itu dibelenggu dan dimasukkan ke dalam penjara.
Gwat Kong lalu pergi keluar dari kota itu dan malam itu ia tidur dengan amat nyenyaknya di sebuah kelenteng yang berada di luar kota. Hatinya merasa amat girang oleh karena selain mendapat kenyataan bahwa latihan-latihannya selama ini makin memajukan kepandaiannya, juga kebaikan hati tihu itu menyenangkan hatinya.
Hanya ia merasa agak penasaran dan kecewa karena belum dapat bertemu dengan Dewi Tangan Maut, puteri musuh besarnya yang amat disohorkan orang itu. Ia tidak berniat untuk membalas dendam orang tuanya kepada gadis itu. Hanya ia ingin melihat sampai di mana kelihaian gadis yang amat terkenal ini dan hendak melihat pula apakah benar-benar gadis itu amat jahat dan kejam sebagaimana yang dikabarkan oleh Gui A Sam kepadanya.
Kalau toh ia harus menyerang gadis itu, ia akan menyerang karena kejahatannya, bukan karena dendamnya kepada Tan-wangwe. Ucapan orang yang memberi keterangan kepadanya tentang adanya dua orang penjahat di Kang-lam, yang berkata bahwa kalau Dewi Tangan Maut berada di Kang-lam maka penjahat-penjahat itu tentu tak berani berlagak, menimbulkan kesan baik terhadap gadis itu padanya.
Pada kesokan harinya, ia melanjutkan perjalanannya. Dua hari kemudian, ketika tiba di luar sebuah hutan ia melihat serombongan orang yang terdiri dari dua belas orang-orang gagah dikepalai oleh seorang tua yang membawa tongkat bambu, berlari-lari memasuki hutan itu. Mereka ini semua membawa senjata pedang atau golok seakan-akan mereka hendak menyerbu musuh. Gwat Kong merasa tertarik dan diam-diam ia mengikuti mereka dari belakang dengan sembunyi.
Rombongan itu berhenti di depan gua besar yang berada di tengah hutan dan orang tua bertongkat itu segera berteriak ke arah gua,
"Sahabat, keluarlah! Kami hendak bicara denganmu!"
Teriakan itu bergema di seluruh hutan, akan tetapi setelah itu sunyi karena tidak terdengar jawaban. Tak lama kemudian, keluarlah seorang laki-laki tua dari dalam gua itu dan Gwat Kong yang mengintai sambil bersembunyi, merasa kaget melihat keadaan orang yang aneh itu. Orang ini telah tua sekali, tubuhnya bongkok dan tangan kanannya memegang sebuah pedang yang mengeluarkan sinar gemilang.
Kakek bongkok ini mempunyai sepasang mata yang menakutkan dan melihat betapa sepasang mata itu berputaran secara liar. Tahulah Gwat Kong bahwa orang ini tentu miring otaknya. Kakek yang aneh ini lalu tertawa terkekeh-kekeh dengan suara menyeramkan sekali. Kemudian sambil menuding dengan pedangnya ia berkata tidak keruan,
"Ha ha ha, Ngo-heng-kun Ngo-koai, lima siluman jahat, kalian datang mengantarkan nyawa? Ha ha ha!"
Kakek ini lalu berjingkrak-jingkrak di atas kedua kakinya dan menari-narikan pedangnya seperti orang atau anak kecil yang amat bergirang hati.
Orang tua bertongkat bambu yang memimpin rombongannya itu berkata dengan suara sabar.
"Lo-enghiong, jangan salah sangka. Kami adalah penduduk dusun Ma-chun yang datang hendak minta pertolongan lo-enghiong. Dusun kami terserang penyakit kuning dan telah banyak yang mati dan lebih banyak pula yang kini terancam bahaya maut. Karena lo-enghiong telah mengambil semua akar putih yang berada di hutan ini, maka tolonglah memberi kami obat itu untuk menyembuhkan kawan-kawan dan saudara-saudara kami."
KEMBALI terdengar suara ketawa yang menyeramkan.
"Kalian memang harus mampus! Ha ha ha, Ngo-heng-kun kelima-limanya harus mampus, mengapa minta tolong padaku? Aku boleh menolongmu, menolong mengantarkan kalian iblis-iblis Ngo-heng ini ke neraka, ha ha!"
Setelah berkata demikian, secepat kilat ia menubruk maju dan menyerang rombongan orang-orang itu. Ia mengamuk bagaikan seekor harimau gila dan pedangnya digerakkan dengan hebat sekali.
Orang tua pemimpin rombongan itu berseru keras memberi aba-aba kepada para kawannya untuk mengepung, sedangkan ia sendiri lalu menggerakkan tongkat bambunya yang lihai. Ketika orang gila itu menusuk dengan pedangnya, tongkat bambu kakek itu menangkis dan beradunya kedua senjata itu membuat kakek itu berseru keras karena terkejut. Ia merasa tangannya perih sekali dan tongkatnya hampir terlepas dari pegangan.
Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha ha ha!"
Iblis-iblis Ngo-heng, sekarang kalian mampus!"
Orang gila itu tertawa-tawa dan hendak menyerang lagi. Akan tetapi pada saat itu, sebelas orang pengikut kakek bertongkat tadi menyerbu dari belakang dan belasan golok dan pedang berkelebat menimpanya bagaikan air hujan.
Orang gila itu ternyata lihai sekali. Ia agaknya telah mendengar angin senjata menyambar ke arahnya, maka sambil tertawa mengerikan, ia membalikkan tubuhnya dan pedang pusaka di tangannya itu berkelebat cepat mendatangkan sinar putih yang gemilang. Teriakan-teriakan terdengar dan beberapa batang pedang terlepas ke atas, bahkan banyak pula golok dan pedang yang putus karena terbabat oleh pedang orang gila itu.
"Ha ha ha! Iblis-iblis Ngo-heng, rasakan pembalasanku! Lihatlah kelihaianku!"
Sambil berkata demikian, ia lalu memutar-mutar pedangnya dan bersilat dengan gerakan-gerakan yang aneh dan hebat sekali sehingga semua pengeroyoknya mundur takut dan jerih. Akan tetapi orang gila itu masih terus bersilat pedang seorang diri sambil tertawa-tawa. Juga kakek bertongkat yang memiliki ilmu silat cukup tinggi itu tidak berani maju karena maklum ia bukan tandingan orang gila yang amat berbahaya dan lihai itu.
Gwat Kong yang melihat ilmu silat pedang orang gila itu, tak terasa pula berseru keras sehingga semua orang menengok ke arahnya dengan heran. Ternyata bahwa orang gila itu telah bersilat pedang Sin-eng Kiam-hoat yang biarpun tidak sempurna benar, akan tetapi masih lebih tinggi dan hebat dari pada Sin-eng Kiam-hoat yang dimiliki oleh Liok Tin Eng.
Saking tertariknya Gwat Kong tidak memperdulikan pandangan mata terheran-heran dari semua orang dusun Ma-chun itu dan segera melangkah maju menghampiri orang gila yang masih saja bersilat pedang dengan cepatnya. Pemuda ini lalu mencabut keluar sulingnya dan ia segera bersilat pula, mengimbangi permainan orang gila itu. Kakek bongkok yang berotak miring itu ketika melihat gerakan suling Gwat Kong, tiba-tiba menghentikan permainan pedangnya dan memandang dengan mata terbelalak dan mulut berbusa.
"Kau mencuri ilmu pedangku!"
Teriaknya keras.
"Tidak, locianpwe, karena ilmu pedangku yang lebih asli. Ilmumu itu hanya tiruan belaka yang tidak sempurna!"
Jawab Gwat Kong dengan berani.
Orang gila itu memekik keras lalu tertawa bergelak.
"Kau ..... kau memiliki Sin-eng Kiam-hoat! Kau tentu orangnya iblis-iblis Ngo-heng!"
"Bukan, aku tidak kenal kepada iblis-iblis Ngo-heng!"
Akan tetapi orang gila itu menjadi makin marah lagi.
"Kau pencuri!"
Setelah memaki marah, ia lalu menggerakkan pedangnya dan menyerang Gwat Kong dengan ilmu gerakan Sin-eng-tian-ci atau Garuda Sakti Pentangkan Sayap. Serangan ini hebat sekali dan Gwat Kong yang sudah hafal benar akan ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat, melihat betapa gerakan ini biarpun kurang tepat, akan tetapi dilakukan dengan ginkang yang luar biasa tingginya sehingga tubuh orang gila itu lenyap terbungkus sinar pedang.
Sebagai seorang ahli ilmu pedang ini, bahkan yang memiliki kepandaian dari kitab aslinya, tentu saja Gwat Kong tahu bagaimana harus menghadapi lawannya, maka ia lalu mainkan gerak tipu Sin-eng-hian-jiauw atau Garuda Sakti Pentang Kuku. Sulingnya bergerak cepat dan mengikuti gerakan pedang lawan hingga ke mana saja ujung pedang itu selalu bertemu dengan sulingnya dan dapat disampok kembali ke arah penyerangnya.
"Maling ... pencuri ilmu ..."
Berkali-kali orang gila itu berteriak-teriak marah dan gerakannya makin nekat dan buas. Dari mulutnya keluar busa putih dan sepasang matanya terputar-putar makin cepat dan kini telah berubah merah.
"Locianpwe, jangan salah duga. Aku bukan pencuri, dan marilah kita bicarakan baik-baik,"
Kata Gwat Kong sambil membalas dengan serangannya. Akan tetapi kakek gila itu tidak mau memperdulikan ucapannya, bahkan menyerang makin hebat.
Terpaksa Gwat Kong lalu melayaninya dan kini pemuda ini tidak mau memberi kelonggaran pula. Ia keluarkan ilmu pedangnya yang paling kuat dan karena ilmu pedang itu walaupun sama dengan kepandaian si gila, akan tetapi lebih asli dan sempurna. Sebentar saja sulingnya dapat mendesak pedang lawan dan beberapa kali ia berhasil menotok jalan darah lawannya.
Namun, alangkah terkejut dan herannya ketika mendapat kenyataan betapa lawannya yang gila itu ternyata memiliki kekebalan dan tidak roboh karena totokannya yang tepat mengenai jalan darah. Dapat dibayangkan betapa tingginya ilmu lweekang kakek itu yang sambil berkelahi dapat menutup jalan darahnya sehingga menjadi kebal terhadap totokan-totokan.
Sungguhpun demikian, namun tenaga totokan Gwat Kong yang kuat dengan lweekangnya yang sudah tinggi karena dilatih secara rahasia dan luar biasa menurut petunjuk kitab pelajarannya membuat kakek gila itu tergetar tubuhnya dan makin lama permainannya makin menjadi lemah. Yang lebih merepotkannya, ialah karena tangan kirinya telah mati kaku dan tak dapat digerakkan lagi sehingga permainan pedangnya kurang mendapat imbangan tubuh yang baik. Terutama sekali ia telah menderita luka-luka di dalam tubuh yang makin menghebat karena tidak terawat dan karena makan obat secara serampangan saja.
Tiba-tiba kakek gila itu mengeluarkan teriakan menyeramkan dan roboh pingsan dengan pedang masih terpegang erat-erat di tangannya. Gwat Kong merasa heran sekali dan ketika ia memeriksa, ternyata kakek itu berada dalam keadaan yang amat payah. Pemuda itu yang tadinya merasa heran mengapa lawannya roboh tanpa kena pukulannya, kini mengerti kakek itu memang telah menderita sakit dan luka-luka di dalam tubuh. Maka timbullah rasa kasihan di dalam hatinya.
Ia menurunkan guci araknya dan setelah memberi minum seteguk, kakek itu membuka matanya. Heran sekali, sinar gila yang liar itu kini lenyap dari matanya dan ia memandang kepada Gwat Kong dengan kagum. Napasnya tinggal satu-satu dan keadaannya payah benar, tubuhnya lemas. Akan tetapi pedangnya itu tidak pernah terlepas dari pegangannya.
Memburu Iblis Karya Sriwidjono Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo