Pendekar Pemabuk 9
Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
"Kiam-hoat yang bagus!"
Seru kakek itu lagi yang memuji ilmu pedang yang dimainkan oleh Gwat Kong.
Akan tetapi kembali Gwat Kong terheran-heran karena ternyata bahwa kakek itu tidak saja bertenaga kuat dan memiliki senjata yang luar biasa, akan tetapi ilmu silatnya pun amat tinggi. Baru beberapa belas jurus saja pertempuran ini berjalan, tahulah ia bahwa kakek ini benar-benar seorang yang sakti.
Tubuhnya berkelebat demikian cepat sehingga membuat pandangan matanya kabur, sedangkan tipu gerakan kakek itu mendatangkan sambaran angin yang dahsyat.
Gwat Kong telah mengeluarkan tipu-tipu serangan yang paling ampuh dan lihai dari Sin-eng Kiam-hoat. Akan tetapi dengan amat baiknya kakek itu dapat memecahkannya, bahkan membalas dengan serangan-serangan yang lebih aneh gerakannya dari pada gerakan pedangnya dan beberapa kali hampir saja ia menjadi sasaran pukulan itu kalau saja ia tidak berlaku gesit.
Pada suatu saat, Gwat Kong tak terasa mengeluarkan seruan kaget ketika pikulan itu dengan gerakan yang cepat sekali menusuk ke arah dadanya. Ia cepat memutar pedangnya melalui bawah lengan kirinya dan menyampok tusukan itu dari dalam dan menolak pikulan yang telah mengenai bajunya itu.
Pikulan terpental akan tetapi terus melayang lagi menghantam pinggangnya dengan kecepatan yang luar biasa sehingga tak mungkin dielakkan pula. Akan tetapi Sin-eng Kiam-hoat memang mempunyai bagian mempertahankan diri yang istimewa.
Tiba-tiba Gwat Kong ingat akan gerakan Garuda Sakti Mendekam Di Tanah. Tubuhnya lalu ditarik ke bawah dengan kaki di tekuk sehingga ia menjadi berjongkok dengan punggung direndahkan sehingga dadanya hampir menyentuh tanah, akan tetapi pedangnya terus diputar di atas kepalanya menjaga diri. Dengan gerakan yang cepat ini, ia terhindar dari pada serangan yang hebat tadi. Akan tetapi keringat dingin keluar dari jidatnya karena tadi hampir saja ia terkena celaka. Ia makin gelisah dan menjadi gentar menghadapi kakek yang benar-benar lihai ini.
Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak menunda serangannya.
"Ha ha ha! Anak muda yang baik, maukah kau menjadi muridku? Hanya memiliki Sin-eng Kiam-hoat saja, seakan-akan kau tahu barat tidak kenal timur!"
Gwat Kong adalah seorang pemuda yang cerdik dan memang sudah menjadi wataknya suka merendah. Maka tanpa sangsi-sangsi lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu dan berkata,
"Kalau locianpwe sudah memberi bimbingan kepada teecu yang bodoh, teecu Bun Gwat Kong akan merasa beruntung sekali."
Melihat pemuda itu berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya kepadanya, kakek itu tertawa girang, lalu mengangkat pikulan bambunya dan memukulkan pikulannya ke arah kepala Gwat Kong dengan keras.
Gwat Kong tentu saja tahu akan hal ini. Akan tetapi pemuda ini mengeraskan hatinya dan meramkan matanya. Sama sekali tidak bergerak, karena memang sesungguhnya ia memang takluk dan percaya kepada kakek yang sakti ini. Ketika pikulan itu telah dekat sekali dengan kepala Gwat Kong, tiba-tiba pikulan itu seakan-akan tertolak oleh tenaga aneh dan membalik, dibarengi suara ketawa kakek itu.
"Bagus, bagus! Kau benar percaya kepadaku. Mulai sekarang kau menjadi muridku. Namamu Bun Gwat Kong? Bagus sekali, dan aku adalah Bok Kwi Sianjin!"
Kakek itu lalu melangkah maju menghampiri gundukan-gundukan kuburan yang terdekat dan memukul-mukulkan tongkat bambunya itu kepada gundukan tanah itu sambil berkata,
"Aku tarik kembali omonganku tadi. Sekarang aku tidak ingin mati, belum bosan hidup karena aku harus menurunkan Sin-hong-tung-hoat kepada muridku ini."
Ia lalu menengok kepada Gwat Kong dan berkata,
"Gwat Kong, kau kesinilah dan bersumpah dihadapan kuburan ini bahwa kau akan mempelajari Sin-hong-tung-hoat dengan baik kemudian mewakili suhumu membasmi kejahatan dan memperebutkan sebutan ahli silat kelas satu di waktu mendatang!"
Gwat Kong maklum bahwa suhunya adalah seorang kakek yang beradat aneh, maka tanpa banyak bertanya ia lalu berlutut di depan beberapa gundukan tanah yang tidak diketahuinya kuburan siapa itu, lalu bersumpah.
"Teecu Bun Gwat Kong dengan disaksikan oleh gundukan kuburan-kuburan ini, bersumpah bahwa teecu akan mempelajari ilmu silat yang diajarkan oleh suhu Bok Kwi Sianjin sebaik-baiknya. Kemudian kepandaian itu akan teecu pergunakan untuk membela kebenaran dan keadilan, membasmi kejahatan!"
"Dan juga mewakili aku memperebutkan sebutan ahli silat kelas satu dan ilmu silat terbaik,"
Kata Bok Kwi Sianjin.
"Dan juga mewakili aku memperebutkan ahli silat kelas satu dan ilmu silat terbaik,"
Gwat Kong mengulangi.
"Juga akan membasmi musuh-musuhku,"
Kata pula Bok Kwi Sianjin.
GWAT Kong merasa terkejut dan ragu-ragu. Bagaimana ia bisa mengangkat sumpah untuk membalas musuh-musuh gurunya? Sedangkan musuh ayahnya pun ia tidak mau membalasnya karena ternyata bahwa puteri musuh ayahnya bukan orang jahat. Akan tetapi ia tidak berani membantah dan dengan cerdiknya ia mengulangi kata-kata suhunya dengan sedikit tambahan.
"Dan juga teecu akan membasmi musuh-musuh suhu yang jahat."
Ia sengaja menambah kata-katanya.
"yang jahat"
Sehingga kalau kelak ia mendapatkan bahwa musuh suhunya bukan orang jahat, ia tidak usah membalas dendam dan berarti ia tidak melanggar sumpahnya. Kalau musuh suhunya memang jahat, jangankan menjadi musuh suhunya, biarpun tidak menjadi musuh, sudah menjadi kewajibannya untuk membasmi orang jahat! Memang Gwat Kong benar-benar cerdik dan berpikiran luas.
Bok Kwi Sianjin tertawa-tawa senang dan berkata kepada muridnya yang masih duduk di atas tanah, bersila sambil memukul-mukulkan pikulannya pada tanah keras,
"Gwat Kong kau tak kusangka-sangka adalah penemu dari ilmu silat Sin-eng Kiam-hoat yang kukira telah lenyap dari permukaan bumi ini. Aku tahu bahwa dulu yang mendapatkan kitab pelajaran ilmu pedang itu adalah Leng Po In atau Bu-eng-san, si Dewa Tanpa Bayangan. Akan tetapi ia menjadi gila dan entah ke mana ia buang kitab itu. Tak tahunya, kau yang mendapat jodoh dan mewarisi kitab itu dan telah pula mempelajari ilmu pedangnya yang luar biasa. Ketahuilah bahwa Sin-eng Kiam-hoat ini pada seratus tahun yang lalu menjadi ilmu yang paling terkenal di barat. Akan tetapi masih belum dapat mengalahkan pengaruh ilmu tongkat Sin-hong-tung-hoat dari timur. Sucouwmu (nenek moyang guru) yang menciptakan Sin-hong-tung-hoat adalah saudara seperguruan dan keduanya selalu berusaha untuk menang sehingga entah berapa kali kedua ilmu itu diadu. Betapapun juga, dibandingkan dengan ilmu-ilmu keluaran berbagai cabang persilatan, kedua ilmu itu tidak akan kalah. Selain Go-bi, Kun-lun, Thai-kek dan Hoa-san, yang berkembang luas dan telah terkenal, maka para ahli persilatan maklum bahwa di empat penjuru terdapat Sin-eng Kiam-hoat dari barat, Sin-hong-tung-hoat dari Timur, Pat-kwa-to-hoat (Ilmu Golok Pat-kwa) dari utara dan Im-yang Siang-kiam-hoat (Ilmu Pedang Berpasangan Im-yang) dari selatan. Keempat ilmu silat ini tingkatnya sedemikian tinggi sehingga tak usah menyerah terhadap cabang-cabang persilatan yang manapun juga, oleh karena semua ini adalah ilmu silat khusus. Sin-eng Kiam-hoat khusus pelajaran pedang. Sin-hong-tung-hoat pelajaran tongkat. Pat-kwa-to-hoat permainan golok dan Im-yang Siang-kiam-hoat permainan pedang berpasangan. Tidak seperti cabang-cabang persilatan yang selain mempelajarkan banyak macam permainan sehingga tidak dapat mencapai tingkat tinggi. Juga mereka menerima murid secara serampangan saja sehingga terbukti sekarang terdapat kekacauan dan permusuhan antara Go-bi dan Hoa-san."
Mendengar ucapan suhunya yang panjang lebar itu, diam-diam Gwat Kong merasa girang karena ternyata bahwa sekali-kali suhunya bukanlah seorang gila seperti yang disangkanya semula. Memang suhunya mempunyai watak dan sikap yang aneh sekali akan tetapi setelah ia bicara, ternyata bahwa suhunya yang memiliki pengetahuan yang luas tentang keadaan di kalangan kang-ouw. Akan tetapi agaknya yang mendengar pembicaraan Bok Kwi Sianjin tadi bukan hanya Gwat Kong seorang, karena tiba-tiba terdengar suara orang mencela,
"Bok Kwi Sianjin, kau masih saja amat sombong dan tidak memandang kepada golongan lain."
Berbareng dengan habisnya perkataan ini, orang yang bicara ini muncul dan ternyata bahwa ia tadi bersembunyi di atas pohon yang besar, agak jauh dari situ sehingga Gwat Kong merasa kagum karena orang itu mempunyai pendengaran yang amat tajam serta mempunyai gerakan yang amat cepat. Ia memperhatikan dan orang ini adalah seorang tosu (pendeta penganut agama To) yang bertubuh tinggi kurus bagaikan pohon bambu, keningnya telah penuh keriput dan giginya telah ompong semua.
Akan tetapi anehnya, kedua pipinya kemerah-merahan dan sehat sekali. Sedangkan rambut dan kumis jenggotnya yang panjang semua masih hitam seperti dicat. Di punggungnya tergantung sebuah tongkat yang gagangnya berbentuk kepala naga.
Melihat tosu ini, Bok Kwi Sianjin tertawa terkekeh-kekeh dan bangkit dari duduknya,
"Aha! Sin Seng Cu, tidak saja kau kelihatan makin muda, akan tetapi hatimu bertambah muda saja."
Kemudian ia berkata kepada Gwat Kong yang juga sudah berdiri.
"Muridku, inilah tokoh Hoa-san-pai, orang pertama yang menimbulkan kerusuhan antara Go-bi dan Hoa-san setelah ia mengalahkan Seng Le Hosiang. Agaknya ia masih saja beradat keras. Lihat saja matanya ditujukan kepadaku dengan penuh kehendak menguji kepandaian, ha ha ha!"
Mendengar nama ini, Gwat Kong menjadi terkejut dan memandang dengan penuh perhatian. Kalau tosu itu pernah mengalahkan Seng Le Hosiang, tokoh Go-bi-pai yang pernah dijumpainya itu, dapat dibayangkan betapa hebat dan tingginya ilmu kepandaian tosu ini.
Sementara itu, Sin Seng Cu ketika mendengar ucapan Bok Kwi Sianjin tadi, tertawa bergelak lalu berkata,
"Bok Kwi Sianjin, agaknya kau masih mengandalkan ilmu tongkatmu Sin-hong-tung-hoat. Mari-mari kita boleh main-main sebentar untuk saling mengukur sampai di mana kemajuan masing-masing."
Sambil berkata demikian, kedua tangan tosu itu bergerak dan tahu-tahu tongkat kepala naga itu telah berada di tangannya.
Kembali Bok Kwi Sianjin tertawa.
"Sin Seng Cu! Sebelum kita tua sama tua bermain gila dengan pedang harap kau suka berlaku murah sedikit kepadaku dan menguji kebodohan pemuda yang menjadi muridku ini. Kalau dia bisa bertahan sampai dua puluh jurus menghadapi Liong-thouw-koai-tung (Tongkat Iblis Kepala Naga) di tanganmu, aku takkan menganggapmu bodoh lagi!"
Kemudian kakek itu tanpa menanti jawaban Sin Seng Cu, berkata kepada Gwat Kong.
"Hayo kau cabut pedangmu dan hadapi tosu ini dengan baik sampai dua puluh jurus!"
Diam-diam Sin Seng Cu merasa mendongkol karena hendak diadu dengan murid kakek itu. Akan tetapi iapun merasa heran sekali karena mengapa Bok Kwi Sianjin yang menjadi ahli ilmu silat tongkat, tiba-tiba mempunyai murid yang menggunakan pedang. Maka ia segera menjawab sambil tersenyum,
"Baik, baik! Kau majulah anak muda!"
"Harap totiang suka berlaku murah hati kepada teecu,"
Kata Gwat Kong dengan hormat karena maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang tokoh Hoa-san-pai yang tinggi ilmu silatnya.
Ia diberi waktu untuk melawan sampai dua puluh jurus, maka ia merasa penasaran, karena benarkah ia tidak kuat menghadapi tosu ini dalam dua puluh jurus saja? Dengan pikiran ini, ia lalu maju dan mulai menyerangnya dengan gerak tipu yang lihai dari Sin-eng Kiam-hoat.
Pertama-tama ia menyerang dengan tusukan pedang pada leher tosu itu dalam gerak tipu Sin-eng-chio-cu (Garuda Sakti Rebut Mestika) dan ketika tosu itu mengelak sambil gerakkan tongkatnya yang aneh itu untuk menyabet pedang, ia segera menarik kembali pedangnya dan membuka serangan kedua dengan gerakan Sin-eng-hian-bwe (Garuda Sakti Memperlihatkan Ekor). Gerakan kedua ini dilakukan dengan membalikkan tubuh lalu tiba-tiba pedang diluncurkan dari bawah lengan kiri dengan tidak terduga-duga dan cepat sekali.
"Bagus!"
Seru Sin Seng Cu memuji karena ia benar-benar tertegun melihat gerakan yang cepat dan aneh ini sehingga ia harus cepat menggerakkan tongkatnya untuk melindungi dadanya yang hendak disate. Tak pernah ia menyangka bahwa pemuda ini memiliki gerakan pedang yang demikian aneh dan cepat, maka ia segera berseru keras dan sebentar saja tongkat kepala naga di tangannya menyambar-nyambar ke atas dan ke bawah, mengurung Gwat Kong dengan sinarnya. Tongkat itu kini seakan-akan berubah menjadi belasan batang dan semua mengancam jalan darah dan bagian yang berbahaya dari tubuh Gwat Kong.
Pemuda ini terkejut sekali dan cepat mempergunakan ginkangnya dan mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melakukan perlawanan. Ia mengeluarkan gerakan Sin-eng Kiam-hoat yang paling sukar dan tinggi setelah ia putar-putar pedangnya dengan gerakan Hwee-eng-koan-jit (Garuda Terbang Menutup Matahari), barulah ia dapat pecahkan serangan tosu yang lihai itu.
Sin Seng Cu adalah seorang tosu yang terkenal mempunyai watak keras tidak mau kalah. Ketika tadi menerima permintaan Bok Kwi Sianjin untuk menghadapi pemuda itu, ia memandang rendah dan merasa pasti bahwa ia tentu akan berhasil mengalahkan pemuda itu sebelum dua puluh jurus.
Kini melihat betapa sepuluh jurus telah berlalu tanpa ia dapat merobohkan lawannya, ia menjadi penasaran sekali berbareng kaget. Ilmu pedang pemuda ini benar-benar lihai sekali dan tingkatnya tidak berada di sebelah bawah ilmu tongkatnya. Kalau pemuda ini sudah begini lihai, tentu Bok Kwi Sianjin telah memiliki ilmu silat yang tak dapat diukur tingginya. Ia heran sekali karena ia belum pernah mendengar kakek itu memiliki ilmu pedang dan ketika ia memperhatikan ilmu pedang dari Gwat Kong, ia makin menjadi heran.
Sambil berseru keras karena hatinya mulai menjadi panas, Sin Seng Cu lalu menyerang makin hebat dan kini ia mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk merobohkan pemuda itu. Biarpun untuk dapat mencapai maksudnya itu ia harus memukul hancur kepala lawannya yang muda!
Ia maklum bahwa terhadap pemuda ini ia tak bisa main-main dan berlaku murah karena tanpa penyerangan yang sungguh-sungguh dan mati-matian, agaknya tak mungkin ia akan dapat mengalahkan pemuda ini, jangankan hendak merobohkannya dalam dua puluh jurus.
Sebaliknya, sungguhpun Gwat Kong dapat mengimbangi permainan tosu itu, akan tetapi ia merasa betapa beratnya menghadapi lawan ini. Tiap kali tongkat itu menyerempet pedangnya, ia merasa seakan-akan lengannya menjadi kaku. Akan tetapi Gwat Kong memiliki ketabahan luar biasa yang membuat hatinya tenang dan matanya tajam waspada sehingga biarpun ia terdesak hebat.
Akan tetapi ia masih belum berada dalam keadaan berbahaya dan masih sanggup menangkis atau mengelak sambil melakukan serangan balasan yang tak kalah lihainya. Biarpun kedudukannya kalah kuat karena selain kalah tenaga, juga kalah pengalaman dan keuletan, akan tetapi ia dapat membalas tiap serangan sehingga boleh dibilang bahwa pertempuran itu tak terlalu berat sebelah dan cukup ramai.
Dua puluh jurus telah lewat tanpa ada yang terkena senjata. Dua puluh lima jurus, tiga puluh jurus! Tetap saja Gwat Kong dapat mempertahankan diri. Tiba-tiba Sin Seng Cu melompat mundur dan menahan tongkatnya, sedangkan Gwat Kong dengan hati lega juga berdiri dan menjura terhadap tosu itu.
"Bok Kwi Sianjin,"
Sin Seng Cu menegur dengan muka merah.
"Jangan kau main-main. Siapakah sebetulnya pemuda ini? Bukankah ilmu pedangnya itu Sin-eng Kiam-hoat?"
Bok Kwi Sianjin tertawa puas.
"Ha ha ha! Matamu tajam juga, Sin Seng Cu. Memang dia ini ahli waris Sin-eng Kiam-hoat, dan sekarang dia juga calon ahli waris Sin-hong-tung-hoat."
"Bok Kwi Sianjin, kau berlaku tolol,"
Kata Sin Seng Cu mengejek.
"Bukan aku merasa takut kepada Sin-eng Kiam-hoat digabung dengan Sin-hong-tung-hoat. Akan tetapi, dengan terpisahnya kedua ilmu itu, kalau yang satu terbawa sesat, yang lain dapat menahannya. Kalau tergabung dalam diri seorang, lalu ia bermata gelap dan menjalani lorong kesesatan, bukankah sama dengan mencari penyakit?"
"Sin Seng Cu, kau berpandangan picik. Aku tidak sembarangan menurunkan ilmu kepada orang yang lemah iman. Tidak seperti kau dan golonganmu yang mengobral kepandaian kepada siapa saja yang mau belajar sehingga banyak anak muridmu yang memancing kekacauan dan permusuhan. Bagiku seorang murid yang baik lebih berharga dari pada seribu orang murid yang tak benar."
"Bok Kwi Sianjin, masih saja kau memperlihatkan kesombonganmu! Sebetulnya sampai di mana sih, kelihaian Sin-hong-tung-hoat? Seakan-akan di kolong langit ini tak ada ilmu yang lebih tinggi dari pada ilmu tongkatmu itu."
"Kepandaian dan ilmu yang tinggi memang banyak, sayangnya orang-orang yang patut memiliki kepandaian itu sedikit sekali,"
Jawab Bok Kwi Sianjin.
Diam-diam Gwat Kong mendengarkan perdebatan yang sukar ia mengerti ini dengan penuh perhatian.
"Bok Kwi, cukup kita bermain lidah. Marilah kita main-main sebentar agar aku dapat merasai di mana kemajuan tongkatmu."
Bok Kwi Sianjin tersenyum lalu mengambil pikulannya yang tadi ditaruh di atas tanah dekat keranjang obatnya. Kedua kakek itu saling berhadapan dengan senjata masing-masing. Tongkat di tangan Sin Seng Cu lebih besar dan panjang dan nampak mengerikan dengan ujung kepala naga itu. Ia memegang tongkatnya dengan lengan kanan di depan lurus ke bawah dengan lengan di atas tongkat, sedangkan tangan kiri di belakang kepala memegang ujung tongkat yang berkepala naga, menyangga di bawah tongkat itu. Inilah sikap pembukaan dari ilmu toya Heng-cia-kun-hoat yang terkenal.
Sebaliknya Bok Kwi Sianjin juga lalu membuka permainannya dengan Sin-hong-kai-peng (Burung Hong Sakti Buka Sayap), yakni gerakan permulaan dari Sin-hong-tung-hoat. Kedua kakek ini saling pandang dengan tajam, bersikap waspada dan hati-hati karena keduanya maklum bahwa lawan yang dihadapinya bukanlah lawan yang ringan.
Gwat Kong duduk di bawah pohon dan memandang dengan penuh perhatian. Pertempuran yang akan berlangsung antara dua orang tokoh besar dunia persilatan ini amat menarik hatinya dan oleh karena ia akan mendpatkan latihan dari Bok Kwi Sianjin yang telah menjadi gurunya, maka ia pusatkan perhatiannya kepada Sin Seng Cu untuk melihat bagaimana tokoh Hoa-san-pai ini bersilat.
"Sin Seng Cu, majulah!"
Seru Bok Kwi Sianjin tanpa bergerak dari pasangan kuda-kudanya yang amat teguh.
"Bok Kwi, awas serangan!"
Sin Seng Cu membentak dan berbareng dengan bentakan ini, tongkat kepala naga di tangannya bergerak cepat membuka serangan menyambar kepala lawan. Bok Kwi Sianjin juga menggerakkan pikulannya dan terdengar suara keras sekali ketika dua batang senjata itu bertumbuk.
Ternyata dalam gebrakan pertama ini, keduanya sengaja hendak mencoba senjata dan tenaga masing-masing dan terpentalnya kedua senjata itu membuat mereka maklum bahwa tenaga mereka seimbang. Maklumlah mereka bahwa untuk dapat memperoleh kemenangan, mereka hanya harus mengandalkan kegesitan dan kesempurnaan ilmu silat masing-masing.
"Bok Kwi, jagalah baik-baik!"
Sin Seng Cu berseru keras dan ia segera melanjutkan serangannya dengan gerakan yang cepat dan berbahaya sekali datangnya.
"Bagus!"
Seru Bok Kwi Sianjin yang segera mengimbangi permainan lawannya dan pikulan di kedua tangannya lalu bergerak berputar-putar sedemikian cepatnya sehingga tubuhnya lenyap terbungkus oleh sinar senjatanya. Sin Seng Cu kagum sekali melihat ini dan iapun menyerang lebih cepat lagi.
Tongkat kepala naga ditangannya menyambar-nyambar bagaikan seekor naga tulen yang tiba-tiba menjadi hidup dan mengancam kepala dan dada Bok Kwi Sianjin. Akan tetapi kakek ini dengan tenang, cepat sekali dapat menangkis semua serangan. Bahkan lalu mengembalikan serangan lawan dengan luncuran kedua ujung pikulannya yang dapat bergerak secara lihai sekali.
Sungguhpun pikulan di tangannya itu hanya berujung dua, akan tetapi gerakan-gerakannya membuat pikulan itu seakan-akan mempunyai lima bagian yang digunakan untuk menyerang dan inilah kelihaian Sin-hong-tung-hoat (Ilmu Tongkat Burung Hong Sakti). Burung Hong atau segala burung sakti apabila berkelahi selalu menggunakan lima senjatanya untuk menyerang, yakni sepasang sayapnya untuk menampar, sepasang kaki untuk mencengkeram dan sebuah paruh untuk menusuk dan mematuk.
Berdasarkan gerakan lima senjata inilah ilmu tongkat itu diciptakan sehingga pikulan itu kedua ujungnya menyambar-nyambar dengan gerakan dan perubahan yang aneh dan tak terduga oleh lawan. Kadang-kadang merupakan paruh burung menusuk mata atau menyerang kepala. Kadang-kadang merupakan sayap burung yang menyabet pundak kanan atau kiri. Dan kadang-kadang merupakan sepasang cakar burung yang menyerang dan menusuk tubuh bagian bawah dari lambung ke bawah.
Gwat Kong tidak begitu memperhatikan permainan silat gurunya oleh karena ia pikir kelak tentu akan mempelajarinya pula dan ia mencurahkan perhatiannya kepada Sin Seng Cu. Tadi ketika ia bertempur menghadapi tosu itu, keadaannya amat terdesak sehingga tak mungkin baginya untuk memperhatikan (Lanjut ke Jilid 10)
Pendekar Pemabuk/Kanglam Tjiu Hiap (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 10
gerakan lawan. Maka kini ia memperhatikan dengan amat tertarik.
Ternyata olehnya bahwa gerakan-gerakan kaki dari tokoh Hoa-san-pai ini berdasarkan ilmu silat Sha-kak-kun-hoat (Ilmu Silat Segi Tiga). Kedua kakinya selalu membuat gerakan langkah segi tiga yang teratur sekali sehingga bagaimana tosu itu diserang oleh lawan, selalu lawannya berada tepat di depannya. Senjata lawan takkan dapat menyerangnya dari pinggir kanan maupun kiri karena setiap kali tubuh lawannya bergerak, kedua kakinya ikut pula bergerak membentuk segi tiga yang baru sehingga selalu ia menghadapi lawannya dengan hanya menggerakan sedikit kedua kakinya.
Memang dalam persilatan, menghadapi serangan dari jurusan depan yang lurus lebih mudah ditangkis atau dikelit dari pada menghadapi serangan dari samping. Perubahan serangan yang datang dari depan mudah sekali dilihat perubahannya dengan hanya memandang gerakan pundak lawan. Akan tetapi perubahan serangan dari samping lebih sukar diketahui dan sering kali seorang ahli silat dijatuhkan oleh lawannya dengan menggunakan serangan yang menyerong dari samping kiri. Oleh karena itu, maka gerakan kaki yang berdasarkan Sha-kak-kun-hoat dan yang selalu membentuk garis-garis segi tiga dengan sepasang kaki dalam pergerakkannya itu, amat praktis dan kuat kedudukannya.
Adapun gerakan ilmu tongkat yang dimainkan Sin Seng Cu, sungguhpun cukup mengagumkan dan mempunyai perkembangan yang amat banyak, namun bagi Gwat Kong tidak ada bagian-bagian yang luar biasa. Kalau saja permainan ilmu tongkat dari Sin Seng Cu itu tidak digerakkan dengan lweekang dan ginkang yang sedemikian tinggi tingkatnya, pemuda ini merasa sanggup untuk menghadapinya dan mengalahkannya.
Memang betul, ilmu tongkat yang dimainkan Sin Seng Cu, ternyata masih jauh untuk dapat melawan Sin-hong-tung-hoat yang dimainkan oleh Bok Kwi Sianjin. Tadi ketika melawan Gwat Kong, ia dapat mendesak mengatasi pemuda itu oleh karena dalam hal lweekang dan ginkang, ia masih lebih unggul.
Akan tetapi kini, menghadapi Bok Kwi Sianjin yang tingkat tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh tidak berada di sebelah bawahnya. Bahkan lebih menang sedikit, tentu saja ia menjadi sibuk dan sebentar saja, setelah mereka bertempur selama lima puluh jurus, Sin Seng Cu mulai merasa kewalahan! Beberapa kali ia kena dibingungkan oleh gerak tipu silat dari Sin-hong-tung-hoat dan sama sekali tidak dapat menduga bagaimana perubahan dari serangan selanjutnya. Dengan demikian, maka ia tidak berani membalas dengan serangan, hanya menanti datangnya serangan lawan yang membuatnya terdesak dan mulai main mundur.
Bok Kwi Sianjin tidak mau memberi kesempatan dan terus menyerang dengan pukulan-pukulan terlihai dari ilmu tongkatnya. Akan tetapi kakek ini tidak bermaksud kejam dan tiap kali ujung tongkatnya telah berhasil "memasuki"
Lowongan pertahanan Sin Seng Cu, senjata itu tidak diteruskan, melainkan ditariknya kembali secepatnya tanpa melukai Sin Seng Cu.
Tosu dari Hoa-san-pai itu adalah seorang ahli silat yang sudah tinggi tingkatnya. Maka tentu saja iapun tahu akan hal ini dan maklum pula bahwa apabila dikehendaki, Bok Kwi Sianjin pasti telah berhasil merobohkannya. Sin Seng Cu terkenal sebagai seorang tosu yang belum berhasil menundukkan "tujuh musuh di dalam tubuh"
Yakni perasaan-perasaan senang-susah, marah, malu dan sebagainya. Maka ia terkenal sebagai seorang yang tidak mau kalah oleh orang lain. Nafsunya masih besar dan kuat menguasai hati dan pikirannya. Oleh karena itu, ia tidak pernah mau mengalah terhadap siapapun juga, terutama dalam hal mengadu kepandaian silat.
Akan tetapi, ia bukanlah seorang bermuka tebal yang tak tahu diri. Maka menghadapi Bok Kwi Sianjin, ia tahu bahwa kepandaiannya masih belum dapat menandingi kesaktian Bok Kwi Sianjin. Kalau ia teruskan dan sampai ia kena dirobohkan atau terluka, ia mendapat malu yang lebih besar lagi, maka cepat ia meloncat jauh ke belakang dan berkata,
"Bok Kwi, kau benar-benar lihai! Biarlah lain kali aku minta berkenalan lagi dengan tongkatmu!"
Setelah berkata demikian tosu itu berkelebat cepat dan pergi dari tempat itu.
Bok Kwi Sianjin tertawa dan berkata kepada Gwat Kong.
"Muridku, lain kali kau lah yang wajib menghadapinya!"
Gwat Kong buru-buru berlutut dan berkata.
"Akan tetapi tosu itu lihai sekali suhu."
"Memang dia lihai, namun bukan tak dapat terkalahkan! Ingatlah Gwat Kong, makin tinggi seseorang mengangkat diri sendiri, makin banyak bahaya ia akan jatuh ke bawah secepatnya. Sin Seng Cu terlalu mengagulkan kepandaian. Menilai kepandaian sendiri terlampau tinggi dan memandang rendah kepada orang-orang lain. Oleh karena itulah maka di antara saudara-saudaranya, yakni tokoh-tokoh besar dari Hoa-san-pai, hanya dia seorang yang mempunyai banyak musuh. Kalau hari ini ia tidak mengangkat diri sendiri terlalu tinggi, tak mungkin dia mengadu tongkat dengan aku dan ia takkan menerima kekalahan pula. Ha ha ha! Percuma saja dia menjadi seorang tosu yang sudah bertapa puluhan tahun. Ternyata ia belum dapat melihat bahwa tidak ada perbedaan antara atas dan bawah maupun antara tinggi dan rendah. Jangan kira bahwa siapa yang berada di atas itu lebih tinggi dari pada yang berada di bawah! Yang berpikir demikian, ia akhirnya akan kecele dan kecewa! Gwat Kong, kau tak usah takut terhadap seorang seperti Sin Seng Cu. Lebih berhati-hatilah terhadap seorang yang nampaknya bodoh tak berkepandaian karena biasanya mereka inilah yang benar-benar memiliki ilmu yang tinggi. Tepat sekali kata-kata tua yang menyatakan bahwa gentong penuh air takkan berbunyi."
Gwat Kong menghaturkan terima kasih dan berjanji akan memperhatikan semua petunjuk dan petuah suhunya. Kemudian atas permintaan Bok Kwi Sianjin, Gwat Kong menuturkan asal mulanya ia belajar silat, yakni dari penemuan kitab ilmu silat Garuda Sakti.
Mendengar penuturan ini Bok Kwi Sianjin menjadi kagum sekali dan menarik napas panjang lalu berkata.
"Aaah, kalau demikian, benar kata suhu dulu bahwa di antara empat ilmu yang terdapat di empat penjuru, Sin-eng Kiam-hoat boleh dibilang menduduki tempat tertinggi. Kau yang tadinya tidak pernah belajar silat, dengan hanya belajar sendiri tanpa pimpinan guru yang pandai, hanya membaca kitab pelajaran itu, telah mempunyai kepandaian lumayan dan dapat bertahan menghadapi Sin Seng Cu sampai tiga puluh jurus. Benar-benar hebat sekali! Kalau saja kau mempelajari Sin-eng Kiam-hoat lebih lama dan dipimpin oleh guru pandai, sekarang juga aku takkan dapat mengalahkan kau!"
Bok Kwi Sianjin lalu mengajak Gwat Kong pergi ke tempat pertapaannya, yakni di sebuah gua di tepi sungai Huang-ho. Karena gua ini berada di dalam hutan yang amat liar, maka tak ada orang lain yang mengetahui tempat ini, kecuali tokoh-tokoh persilatan kalangan atas yang telah kenal kepada Bok Kwi Sianjin. Akan tetapi, oleh karena merekapun tahu bahwa Bok Kwi Sianjin jarang berada di tempat pertapaannya dan seringkali pergi merantau, maka jarang ada kenalan yang datang ke tempat itu.
Gwat Kong mendapat latihan Sin-hong-tung-hoat atau Ilmu Tongkat Burung Hong Sakti yang amat lihai. Juga selain ilmu silat ini, ia mendapat tambahan latihan lweekang dan ginkang dan ilmu pedangnya juga mendapat kemajuan karena diberi petunjuk-petunjuk oleh Bok Kwi Sianjin yang memiliki dasar ilmu silat yang amat tinggi dan pengalaman yang luas sekali.
Setelah tinggal bersama kakek itu, Gwat Kong mendapat tahu bahwa selain tinggi ilmu silatnya, suhunya itu juga seorang ahli ilmu pengobatan maka ia menjadi kagum sekali dan sedikit-sedikit ia mempelajari pula ilmu pengobatan yang ada hubungannya dengan persilatan, misalnya cara menyambung tulang patah, mengobati luka-luka karena senjata tajam atau luka-luka dalam karena pukulan, serta obat-obat pemunah racun-racun yang banyak dipergunakan oleh ahli-ahli silat golongan hitam, yakni para penjahat yang berilmu tinggi.
Dengan amat rajin dan penuh ketekunan, Gwat Kong mempelajari ilmu kepandaian di tepi Huang-ho di bawah pimpinan dan gemblengan Bok Kwi Sianjin. Kakek ini merasa girang sekali melihat kerajinan muridnya dan merasa kagum karena pemuda itu ternyata amat cerdik dan cepat memperoleh kemajuan.
Kita tinggalkan dulu Gwat Kong yang sedang mengejar ilmu di tepi Sungai Huang-ho, di dalam hutan yang liar itu, dan marilah kita menengok keadaan Tin Eng yang tinggal di rumah pamannya, yakni Lie Kun Cwan atau Lie-wangwe (Hartawan Lie).
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Tin Eng telah didatangi oleh Lui Siok yang menjadi suheng dari Gan Bu Gi dan gadis itu telah dikalahkan dalam sebuah pertempuran, bahkan pedangnya telah dipatahkan oleh Hoa-coa-ji Lui Siok si Ular Belang yang lihai itu. Karena kekalahan ini dan karena maklum akan kelihaian para pemimpin Hek-i-pang, maka Tin Eng makin giat mematangkan ilmu pedangnya di rumah pamannya.
Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia merasa lega karena ternyata bahwa Hek-i-pang selanjutnya tidak mengganggu kota Hun-lam lagi. Ia tidak tahu bahwa hal ini adalah karena kelicinan Song Bu Cu ketua dari Hek-i-pang yang tidak mau berlaku kasar, dan pula orang-orang Hek-i-pang itu masih merasa sungkan-sungkan untuk bermusuhan dengan Tin Eng, mengingat bahwa gadis ini adalah "calon isteri"
Gan Bu Gi dan puteri dari Liok Ong Gun, Kepala daerah Kiang-sui dan anak murid Go-bi-pai.
Di dekat kota Hun-lam terdapat sebuah danau yang cukup indah dan setiap datang musim semi, banyak sekali pelancong dari dalam dan luar kota menghibur diri di danau itu sambil berperahu atau duduk di tepi danau memancing ikan atau bercakap-cakap dengan sahabat-sahabat sambil minum arak.
Pada suatu hari, karena merasa kesepian berada di rumah seorang diri sedangkan pamannya mengurus perdagangan di luar kota, Tin Eng keluar dari rumah dan berpesiar seorang diri di danau itu. Telah dua kali Tin Eng mengunjungi danau Oei-hu itu dan ia senang sekali menyewa perahu kecil, mendayung seorang diri dan bermain-main di atas telaga yang indah.
Hari itu udara cerah dan di danau itu terdapat banyak sekali pelancong. Perahu-perahu kecil besar bergerak ke sana ke mari di atas danau yang airnya bergerak-gerak perlahan sehingga bunga-bunga teratai yang bertumbuh di pinggir telaga ikut pula bergoyang-goyang seakan-akan menari-nari gembira. Dari perahu-perahu itu terdengar suara orang bercakap-cakap dengan senang dan diselingi suara ketawa. Juga terdengar suara orang bernyanyi diiringi oleh yang-kim yang amat merdu.
Tin Eng menyewa sebuah perahu kecil yang pada saat seperti itu jumlah sewanya dinaikkan semuanya oleh tukang perahu. Saat-saat seperti itu merupakan saat yang baik dan menguntungkan bagi para tukang perahu oleh karena para pelancong itu, terutama yang datang dari luar kota, amat berani membayar mahal untuk perahu-perahu yang mereka sewa.
Perahu yang disewa oleh Tin Eng biarpun kecil, akan tetapi cukup indah dengan kepala perahu diukir seperti seekor ular besar menjulurkan lidahnya. Tin Eng mendayung perahunya ke tengah dengan gembira sekali. Banyak mata pemuda-pemuda pelancong memandang kagum kepada gadis yang mengenakan pakaian biru dengan lengan baju agak pendek itu sehingga nampak sampai di atas pergelangan tangan.
Sungguhpun mereka merasa kagum akan kecantikan Tin Eng dan merasa heran karena melihat seorang gadis muda yang cantik jelita berpesiar seorang diri bahkan mendayung perahu seorang diri pula. Akan tetapi melihat sikap dan gerak-gerik Tin Eng, mereka dapat menduga bahwa gadis itu tentulah seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian silat dan bukan seorang gadis biasa. Oleh karena itu, mereka tidak berani berlaku kurang ajar hanya memandang dengan kagum.
Tentu saja mereka ini terdiri dari laki-laki yang datang dari luar kota Hun-lam. Oleh karena orang-orang dari Hun-lam sendiri sebagian besar telah tahu dan kenal gadis ini, yang bukan lain ialah Sian-kiam Lihiap si pendekar Wanita Pedang Dewa yang telah mengobrak-abrik penjahat-penjahat yang mengganggu Hun-lam. Ketika Tin Eng tiba di tempat itu, mereka ini lalu memberi hormat dengan menjura atau menganggukkan kepala yang dibalas oleh Tin Eng dengan anggukan kepala dan senyuman manis.
Melihat betapa banyak orang agaknya kenal dan menghormati gadis muda itu, orang-orang dari luar kota segera mengajukan pertanyaan kepada orang-orang Hun-lam, dan yang ditanya dengan senang hati dan bangga menceritakan keadaan dan kelihaian Tin Eng. Tentu saja dengan bumbu dan tambahan betapa dara jelita itu seorang diri telah menghalau pergi ratusan perampok.
Bahkan di antara mereka itu ada yang secara berani mati menuturkan bahwa Tin Eng adalah sebangsa Kiam-hiap, pendekar pedang yang memiliki Hui-kiam (pedang terbang) dan yang dapat mengambil kepala penjahat dari jarak puluhan tombak dengan hanya melontarkan pedangnya yang dapat terbang, memenggal kepala lawan dan membawa kepala itu kembali kepada si gadis. Biarpun penuturan ini simpang siur dan dilebih-lebihkan, akan tetapi cukup untuk membuat para pendengarnya meleletkan lidah dan kini mereka memandang ke arah Tin Eng dengan lebih kagum lagi.
TIN ENG tidak memperdulikan itu semua dan ia pura-pura tidak melihat pandang mata orang-orang yang ditujukan kepadanya dengan kagum, akan tetapi segera mendayung pergi perahunya menuju ke tengah danau. Ia tidak tahu bahwa di antara sekian banyak pendengar yang menjadi kagum mendengar dongeng dan obrolan orang-orang Hun-lam itu terdapat dua orang muda yang cukup menarik perhatian.
Mereka ini adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Usia mereka paling banyak delapan belas tahun akan tetapi sikap mereka menyatakan bahwa mereka itu selain agung dan tampan, juga bersikap gagah seperti orang-orang yang pandai ilmu silat. Gadis ini berbaju hijau, bercelana hitam dan wajahnya cantik manis dengan rambut dikuncir yang melambai ke belakang punggung. Di atas rambutnya sebelah kanan terdapat sebuah hiasan rambut bunga emas.
Pemudanya tampan dan gagah, tidak memakai topi dan rambutnya yang panjang dan hitam juga dikuncir ke belakang seperti biasa pemuda-pemuda bangsawan-bangsawan pada waktu itu. Bajunya putih dan celana Hitam, terbuat dari pada bahan-bahan yang mahal.
Setelah mendengar penuturan orang-orang Hun-lam itu, mereka berdua memandang ke arah Tin Eng dengan penuh perhatian. Kemudian mereka menjauhkan diri dari orang banyak dan bicara bisik-bisik, lalu menyewa perahu dan mendayungnya ke tengah danau.
Setelah berada di tengah-tengah danau itu, Tin Eng melepaskan dayungnya ke dalam perahu dan membiarkan perahunya bergerak perlahan. Ia menikmati pemandangan di sekitarnya sambil duduk termenung. Pikirannya makin melayang jauh ketika sayup-sayup ia mendengar suara penyanyi wanita dari sebuah perahu besar menyanyikan lagu asmara yang mengelus hati.
Ia lalu mendayung perahunya mendekat, karena suara itu merdu benar dan ia ingin mendengar kata-katanya lebih jelas. Setelah berada dekat, lagu asmara itu diulangi lagi dengan suara merdu dari penyanyi di dalam perahu besar dan kini ia dapat mendengar dengan jelas.
Danau Oei dengan airnya yang seperti kaca,
Bagaikan hati seorang teruna yang setia!
Biarpun musim bunga datang dan pergi pula.
Biarpun teratai jelita akan lenyap sebelum lama
Danau Oei tetap menanti ......... menanti setia!
Ah, betapa inginku menjadi teratai jelita.
Mempunyai kekasih yang demikian setia .......!
Betapa inginku ......... menjadi teratai jelita ......!
Lagu asmara yang dinyanyikan dengan suara merdu merayu ini membawa Tin Eng ke alam lamunan yang lebih tinggi. Ia menatap permukaan air yang penuh bayang-bayang indah dari luar dan tiba-tiba ia melihat wajah orang di dalam bayangan air yang ketika diperhatikannya betul-betul ternyata adalah bayangan wajah Gwat Kong! Tin Eng terkejut dan sadar dari lamunannya, dan ketika ia memandang kembali ke dalam air, ternyata bayangan itu telah lenyap. Mengapa tanpa terasa wajah pemuda itu terbayang? Ia suka dan kagum sekali kepada pemuda itu, akan tetapi cinta .....?
Ah, ia tidak mengerti. Ketika Gwat Kong masih menjadi pelayan, ia telah suka kepada pemuda itu tanpa disertai kekaguman. Dan tentang kekaguman ini dulu iapun kagum kepada Gan Bu Gi. Dan ternyata bahwa kini jangankan mencinta, bahkan ia merasa benci kepada pemuda she Gan itu!
Kata-kata dalam lagu tadi membuat ia berpikir-pikir tentang cinta dan sampai saat itupun ia tidak tahu apakah ia mencinta Gwat Kong. Memang mendalam sekali isi kata-kata lagu itu dan iapun suka menjadi seperti teratai jelita kalau mempunyai kekasih yang demikian setia air danau Oei-hu. Ia tahu bahwa Gwat Kong mencintainya. Hal ini telah diutarakan oleh pemuda itu ketika mabok di rumahnya dan pengutaraan itu dulu telah membuatnya menjadi marah sehingga hampir saja ia membunuh pemuda itu!
Akan tetapi, sesungguhnya kemarahan itu bukanlah sekali-kali karena Gwat Kong karena mencurahkan cintanya dengan ucapan-ucapan penuh sindiran itu. Akan tetapi adalah karena tuduhan-tuduhan Gwat Kong yang mengatakan bahwa ia tidak berjantung tidak kenal budi dan menyindir pula menyatakan bahwa setelah bertemu dengan Gan Bu Gi, lalu lupa kepada pemuda itu yang hanya seorang pelayan. Bahwa ia tergila-gila oleh harta dan kedudukan!
Akan tetapi, ia maklum bahwa tentu Gwat Kong menduga bahwa ia marah karena tidak sudi mendengar pengakuan cinta pemuda itu yang dianggapnya rendah! Dengan demikian, dalam anggapan Gwat Kong, ketika pemuda itu masih menjadi pelayan, ia tidak menyukainya, dan sekarang setelah diketahuinya bahwa Gwat Kong ternyata pandai ilmu silat bahkan putera pembesar pula, apakah ia akan menyatakan cintanya kepada pemuda itu?
Memikirkan hal ini, tiba-tiba wajah Tin Eng menjadi merah. Tentu, tentu Gwat Kong akan berpikir demikian dan tentu pemuda itu akan memandangnya sebagai seorang gadis yang rendah budi, yang hanya memandang keadaan dan tergila-gila oleh pangkat dan kedudukan. Seorang gadis yang dulu membenci pemuda pelayan, akan tetapi berbalik pikir karena melihat bahwa pelayan itu ternyata seorang putera pembesar yang pandai! Ah, tidak! Aku tak boleh merendahkan diri semacam itu!
Demikian Tin Eng berpikir dengan marah kepada diri sendiri. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa berduka karena semenjak Gwat Kong lari dari rumah, semenjak ia menusuk dada pemuda itu, telah timbul perasaan yang aneh dalam hatinya terhadap Gwat Kong. Perasaan itulah yang membuat ia mengeluarkan air mata apabila teringat akan luka di lengan pemuda itu akibat ujung pedangnya. Dan perasaan itu pulalah yang memperkuat hatinya sehingga terpaksa ia melarikan diri dari rumah ketika ayahnya hendak memaksa dia kawin dengan Gan Bu Gi.
Dalam keadaan masih dimabok lamunan, Tin Eng tidak melihat atau mendengar ketika sebuah perahu lain dengan cepat meluncur ke arah perahunya, seakan-akan hendak menubruk perahunya!
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dari sebuah perahu yang juga meluncur cepat menuju ke tempat itu.
"Adik Tin Eng! Awas perahu di sebelah kanan!"
Terkejutlah Tin Eng yang sadar dari lamunannya. Ia cepat menoleh dan melihat sebuah perahu kecil yang ditumpangi oleh seorang pemuda dan seorang gadis, sedang meluncur cepat ke arah perahunya sendiri, hanya terpisah setombak saja lagi! Dua orang penumpangnya itu kini memegang dayung mereka untuk mendorong perahu Tin Eng yang menghadang di jalan.
Tin Eng terkejut karena maklum bahwa dorongan itu akan berbahaya sekali bagi perahunya karena kalau terlalu keras bisa membuat perahunya terguling. Maka ia lalu cepat menyambar dayungnya dan menggerakkan dayungnya itu cepat-cepat ke kanan sambil membentak,
"Minggir!"
Tin Eng menggunakan tenaga lweekangnya dan dengan cepat dayungnya digerakkan menyapu dua dayung pemuda dan gadis itu yang segera tertangkis dan terpental hampir terlepas dari pegangan! Tin Eng tidak berhenti dengan tangkisan itu saja oleh karena kepala perahu itu hampir menumbuk perahunya, sehingga keadaan masih tetap berbahaya. Ia lalu membungkukkan tubuhnya dan dayungnya cepat sekali didorongkan ke arah kepala perahu itu yang segera meluncur lewat di dekat kepala perahunya dan tubrukan hebat dapat digagalkan.
Akan tetapi, dorongannya yang keras itu membuat perahu yang ditumpangi oleh kedua anak muda itu miring dan hampir terguling. Tiba-tiba kedua anak muda itu berseru keras dan tubuh mereka telah melompat ke atas dengan gerakan yang amat ringan! Perahu yang kosong itu menjadi balik kembali kedudukannya dan barulah kedua orang muda itu melompat turun di dalam perahunya.
Tin Eng merasa kagum melihat pertunjukan ginkang dan ketabahan ini. Akan tetapi ia merasa mendongkol juga mengapa mereka seakan-akan sengaja hendak menggulingkan perahunya. Selagi ia hendak menegur, mereka telah menoleh dan tersenyum kepadanya sambil berkata,
"Lihiap, maafkan kami!"
Lalu mereka mendayung perahu mereka dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Tin Eng teringat akan seruan orang yang memperingatkannya tadi, maka ia lalu menengok ke arah belakang dan kedua matanya terbelalak girang ketika ternyata olehnya bahwa yang tadi memanggilnya adalah seorang gadis cantik dan gagah yang sedang mendayung perahunya dengan kecepatan luar biasa menuju ke arahnya. Gadis itu bukan lain adalah Dewi Tangan Maut Tan Kui Hwa, dara perkasa anak murid Hoa-san-pai yang dulu pernah bertemu dengan dia dan menolongnya ketika ia hampir menjadi korban para bajak.
"Enci Kui Hwa ....! serunya gembira dan mendayung perahu menyambut kedatangan si Dewi Tangan Maut.
Kui Hwa tersenyum manis. Gadis ini nampak cantik dan gagah sekali dengan baju hijau, ikat kepala merah, ikat leher dan sabuk hitam. Gagang pedangnya nampak tersembul dari balik punggungnya.
Pertemuan yang tak tersangka-sangka dengan Tan Kui Hwa si Dewi Tangan Maut di atas danau Oei-hu itu benar-benar mendatangkan kegembiraan luar biasa kepada Tin Eng. Setelah perahu mereka berendeng, Tin Eng lalu melompat ke dalam perahu Kui Hwa dan memeluk gadis itu dengan gembira sekali.
"Enci Kui Hwa, sekali lagi kaulah orangnya yang menolongku dari bahaya, kini bahaya terguling dari perahu."
"Tin Eng, mengapa kau tidak mengejar mereka? Dua orang kurang ajar itu terang-terangan sengaja hendak menubruk perahumu dan membuat kau terlempar ke dalam air! Mereka perlu diberi hajaran!"
Tin Eng memandang dengan senyum simpul.
"Wah, enci Kui Hwa, kau benar-benar masih galak sekali, membikin aku takut saja!"
Kui Hwa balas memandang dan melihat sinar mata kawannya. Ia tertawa geli dan lenyaplah kekerasan yang tadi membayang pada wajahnya yang cantik, ketika ia marah terhadap dua orang di dalam perahu yang menubruk perahu Tin Eng tadi.
"Ah, jangan kau menggoda adik Tin Eng. Kujiwir nanti bibirmu yang merah itu!"
Memang semenjak pertemuannya yang pertama dengan Kui Hwa, Tin Eng merasa tertarik dan suka sekali kepada pendekar wanita ini. Karena dari sikap gadis ini terbayang kekerasan hati, dan kejujuran, dan sifat-sifat yang amat baik, yakni bencinya terhadap segala macam kejahatan. Hanya harus diakui bahwa gadis ini memiliki watak yang amat ganas dan tak kenal ampun. Sebaliknya Kui Hwa yang belum pernah mempunyai kawan wanita yang amat baik kepadanya, merasa suka pula kepada Tin Eng.
"Adik Tin Eng, bukankah kau yang disebut orang Sian-kiam Lihiap di kota Hun-lam?"
"Eh, eh bagaimana kau bisa tahu akan hal itu, enci Kui Hwa?"
Kui Hwa tersenyum.
"Namamu cukup terkenal, siapa yang tidak mengetahuinya?"
Kini Tin Eng merasa gemas.
"Sekarang akulah yang ingin menjiwir bibirmu, enci!"
Kui Hwa tertawa, lalu berkata dengan sungguh-sungguh,
"Adikku yang manis, terus terang saja sudah dua hari aku berada di Hun-lam! Aku telah mendengar tentang nama Sian-kiam Lihiap dan Kang-lam Ciu-hiap yang menggemparkan kota Hun-lam, yang namanya dipuji-puji setinggi langit. Akan tetapi sungguh mati aku tidak pernah mengira bahwa Sian-kiam Lihiap adalah kau sendiri. Kau agaknya jarang keluar, maka aku tak dapat bertemu dengan kau, dan karena tadi melihat kau berada di dalam perahu seorang diri maka mudahlah bagiku untuk menduga bahwa Sian-kiam Lihiap tentulah kau! Siapa lagi ahli pedang yang patut disebut Pendekar Wanita Pedang Dewa selain kau?"
"Cici, kau terlalu memuji, padahal orang yang dipuji-puji ini baru beberapa hari yang lalu telah dikalahkan oleh orang lain secara memalukan sekali. Sebutan itu sebenarnya tak patut bagiku dan hanya membuat aku malu saja."
Tan Kui Hwa memandang tajam lalu berkata.
"Apakah yang mengalahkan kau itu Song Bu Cu dan Lui Siok, kedua pangcu (ketua) dari Hek-i-pang?"
Tin Eng memandang kagum.
"Enci, matamu benar-benar awas. Agaknya tidak ada sesuatu yang tak kau ketahui! Kau benar-benar hebat dan luas pengetahuanmu. Memang benar, aku telah dikalahkan oleh Lui Siok si Ular Belang! Bagaimana kau bisa tahu?"
"Adikku yang baik, aku tidak tahu apa-apa, hanya dugaan saja. Kalau kau tidak terlalu banyak bersembunyi di dalam kamar dan suka keluar pintu melakukan perantauan seperti aku maka bagimu juga akan mudah saja menduga-duga hal-hal itu. Aku tahu bahwa kau dan Kang-lam Ciu-hiap telah mengobarak-abrik anggauta Hek-i-pang di kota Hun-lam, sedangkan aku telah tahu pula bahwa sarang Hek-i-pang berpusat di Tong-kwan dengan diketuai oleh Song Bu Cu dan Lui Siok yang lihai! Kepandaian mereka berdua itu memang tinggi sekali, sehingga aku sendiripun tidak akan dapat melawan mereka. Maka, setelah kau mengobarak-abrik anggauta Hek-i-pang, lalu siapa lagi kalau bukan mereka berdua yang datang membalas dendam dan mengalahkan kau?"
"Ah, hal ini hanya menunjukkan kecerdikanmu, enci Kui Hwa."
"Siapa bilang aku cerdik! Saat ini ada dua hal yang membuat aku merasa menjadi sebodoh-bodohnya orang!"
Sambil tertawa Tin Eng bertanya.
"Apakah gerangan dua hal itu?"
"Pertama melihat kau masih segar bugar dan bahkan bertambah cantik setelah kau tadi bilang pernah dikalahkan oleh Lui Siok. Aku kenal Lui Siok sebagai seorang kejam dan aneh sekali kalau dia atau Song Bu Cu mau mengampunkan kau yang telah merusak pekerjaan anak buah mereka! Nah, hal itulah yang membikin aku menjadi bingung dan tak dapat menjawab. Kedua kalinya, aku heran sekali melihat mengapa kau tidak mengejar dua orang muda yang tadi sengaja menubruk perahumu. Apakah benar-benar kau telah menjadi seorang yang demikian sabarnya?"
Tin Eng menarik napas panjang dan menjawab.
"Cici, jawaban kedua pertanyaan itu memang ada hubungannya. Pertama-tama kujawab pertanyaan kedua. Aku memang tidak mau mengejar kedua orang tadi yang menubruk perahuku. Oleh karena mungkin sekali mereka itu adalah orang-orang dari Hek-i-pang yang sengaja mencari perkara dan pula akupun merasa ragu-ragu karena melihat keadaan mereka itu seperti bukan orang jahat, sehingga mungkin sekali mereka tidak sengaja hendak menubrukku. Mengapa aku harus mencari-cari permusuhan baru sedangkan baru beberapa hari saja aku telah dikalahkan orang dan masih terasa mendongkol? Dan tentang pertanyaan pertama itu agak panjanglah penjelasannya."
Tin Eng lalu menuturkan tentang pertempurannya melawan Lui Siok, dan menuturkan pula bahwa Lui Siok adalah suheng dari Gan Bu Gi, perwira muda yang telah dipilih oleh ayahnya untuk dikawinkan dengan dia, dan bahwa Lui Siok memandang muka Seng Le Hosiang maka tidak berani mengganggunya atau melukainya.
Kui Hwa mengangguk-angguk lalu berkata.
"Masih baik bahwa dia tidak berani mengganggumu, kalau tidak, sukarlah bagimu untuk melepaskan diri dari bencana. Memang Lui Siok itu memiliki kepandaian tinggi, lebih-lebih Song Bu Cu yang menjadi ketua dari Hek-i-pang. Aku pernah bertemu dengan Song Bu Cu dan kalau tidak keburu datang kedua suhengku, tentu aku tewas dalam tangannya. Kau dan aku tak dapat menandingi mereka, adik Tin Eng!"
Si Dewi Tangan Maut menarik napas panjang dan nampak menyesal dan kecewa sekali. Lalu katanya gagah.
"Akan tetapi, kalau kau tak dapat menahan sakit hatimu dan hendak membalas dendam sekarang juga, jangan takut, aku tentu akan membantumu menghadapi mereka!"
Tin Eng terharu dan memegang lengan Kui Hwa.
"Enci Kui Hwa, mereka memang jahat dan perlu dibasmi, akan tetapi setelah tahu bahwa tenaga sendiri tak kuat menghadapi mereka namun terus maju menyerbu bukankah itu amat bodoh namanya dan sama halnya dengan membunuh diri? Takut sih tidak, akan tetapi lebih baik kita menanti saat yang lebih sempurna dan mencari kawan-kawan yang sehaluan untuk menyingkirkan serigala-serigala buas itu."
Kui Hwa mengangguk-angguk.
"Kau sekarang telah banyak maju, adikku! Dari ucapanmu tadi saja sudah menyatakan bahwa kau kini telah dewasa!"
"Aah, bisa saja kau memuji! Aku malah khawatir kalau-kalau kau menganggap aku pengecut dengan ucapan tadi."
Kui Hwa memandang dengan sikap sungguh-sungguh.
"Tidak Tin Eng. Biarpun terus terang kuakui bahwa adatku keras dan mudah marah, akan tetapi akupun sependapat dengan kau. Keberanian dan ketabahan harus disertai kesadaran dan perhitungan yang masak sebagaimana layak dilakukan oleh orang berakal. Keberanian yang dilakukan dengan serampangan dan serudukan bagaikan kerbau gila secara hantam kromo tanpa perhitungan sama sekali, tidak termasuk kegagahan, akan tetapi adalah kebodohan orang yang kurang pikir. Kita tidak menyerbu dan menghalau penjahat-penjahat itu pada waktu ini bukan karena kita takut. Akan tetapi karena kita menggunakan siasat, menanti saat baik di mana kekuatan kita melebihi mereka sehingga gerakan kita akan berhasil."
"Terima kasih, cici. Sebetulnya kau hendak pergi ke manakah?"
"Aku hanya merantau saja tanpa tujuan tertentu, dan ketika aku mendengar nama besar Kang-lam Ciu-hiap dan Sian-kiam Lihiap, aku menjadi tertarik dan menuju ke kota ini. Tidak tahu siapakah sebetulnya Kang-lam Ciu-hiap yang baru saja muncul telah membuat nama besar itu? Di mana dia dan anak murid mana?"
Tin Eng tersenyum dan menjawab.
"Kang-lam Ciu-hiap telah pergi meninggalkan Hun-lam. Kalau ia masih berada di sini, tak mungkin ada orang berani menggangguku dan Hek-i-pang pasti telah rusak olehnya. Sayang ia telah pergi. Namanya adalah Bun Gwat Kong dan kalau kau ingin mengetahui dari cabang persilatan mana ia datang, aku sendiripun tidak tahu. Hanya satu hal yang boleh kau ketahui bahwa dia itu boleh juga disebut .... guruku!"
"Apa???"
Kui Hwa memandang dengan mata terbelalak.
"Menurut berita yang kudengar, Kang-lam Ciu-hiap masih amat muda. Bagaimana bisa menjadi gurumu? Jangan kau main-main Tin Eng!"
"Aku tidak main-main, memang ilmu pedangku kudapatkan dari dia! Cici, hayo kau ikut aku ke rumah pamanku. Jangan pergi dulu sebelum ada sesuatu yang memaksamu. Dari pada seorang diri saja bukankah lebih senang kita berdua?"
"Ah, aku hanya akan mengganggu kau dan pamanmu saja."
"Siapa bilang mengganggu? Paman jarang berada di rumah, selalu mengurus perdagangannya. Sedangkan aku selalu menganggur dan duduk termenung seorang diri di rumah."
Sambil tertawa-tawa mereka lalu mendayung perahu ke pinggir. Kemudian setelah membayar sewa perahu, mereka lalu berjalan sambil bergandengan tangan menuju ke rumah Lie-wangwe. Kebetulan sekali Lie-wangwe berada di rumah, maka Tin Eng lalu memperkenalkan kawannya itu yang diterima dengan ramah tamah oleh Lie Kun Cwan. Kemudian Tin Eng mengajak kawannya menuju ke taman bunga yang indah di mana mereka bercakap-cakap dengan gembira sambil menikmati hidangan yang dikeluarkan oleh pelayan.
Belum lama kedua orang gadis itu bercakap-cakap, seorang pelayan memberitahukan bahwa di luar ada dua orang muda datang minta bertemu dengan Sian-kiam Lihiap.
"Bagaimana macamnya orang-orang itu?"
Tanya Tin Eng.
"Mereka adalah seorang pemuda yang cakap dan seorang gadis yang cantik, siocia,"
Jawab si pelayan.
"Katanya mereka minta bertemu untuk menyampaikan hormatnya dan katanya tadi mereka telah bertemu dengan siocia di danau Oei-hu."
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo