Ceritasilat Novel Online

Naga Merah Bangau Putih 7


Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



Melihat keadaan orang-orang yang berkunjung ke situ agaknya tidak memperdulikan Tosu buntung itu. Swan Hong dan Suhengnya dapat menduga bahwa Tosu buntung itu tentu sudah biasa terlihat di tempat ini. Dugaan mereka memang betul karena Tosu buntung itu bersama Hwesio gemuk pengumpul sumbangan, lalu terus saja masuk ke dalam pintu yang terlarang bagi Swan Hong dan Seng Tee Hwesio tadi! Pembaca yang sudah tahu akan Ban Sek Hosiang yang ternyata menjadi ketua Kelenteng sebagaimana yang dituturkan oleh pelayan restoran tadi kepada Swan Hong, tentu dapat menduga siapa adanya Tosu buntung ini. memang, dia ini bukan lain adalah Lui Kok, pengemis tua pandai melukis yang kini telah mengubah pula pakaiannya dan menyamar sebagai seorang Tosu! Tangan kirinya buntung karena terbabat putus oleh Sim Tiong Han, pemuda gagah perkasa murid Kun-Lun-Pai itu.

   Semenjak mereka gagal dalam penyerbuan mereka terhadap orang-orang gagah di rumah pendekar tua Yap Ma Ek, mereka mendapat teguran keras sekali dari pemerintah Mancu dan untuk menghibur hatinya dan mengobati tangannya yang buntung, Lui Kok beristirahat di Kelenteng Ban Sek Hosiang yang menjadi sahabat baiknya. Akan tetapi sesungguhnya tak tepat kalau dikatakan ia beristirahat, karena ia diam-diam menjadi pembantu utama dari Ban Sek Hosiang dalam menjalankan dan membuktikan kutukannya terhadap orang-orang yang tidak mau menyumbangkan uang untuk Kelenteng Thian-Hok-Si. Lui Kok inilah yang keluar di waktu malam gelap, mendatangi orang-orang yang keras kepala itu untuk memberi peringatan atau bahkan membunuh sesuai dengan perintah Ban Sek Hosiang!

   "Suheng tentu mendengar ucapan si gemuk tadi dan maklum akan maksudnya?"

   Tanya Swan Hong kepada Suhengnya. Seng Tee Hwesio mengangguk dan wajah Hwesio ini agak pucat karena marah dan penasaran sekali melihat orang-orang yang menyebut diri sebagai seorang suci ternyata merupakan segerombolan orang jahat, atau perampok-perampok yang berkedok agama!

   "Aku tahu dan malam hari ini kita harus menjaga keselamatan pemilik rumah makan itu!"

   Malam hari itu gelap dan sunyi. Melihat bahwa udara diliputi mendung tebal dan agaknya akan turun hujan, toko-toko sudah menutup pintu lebih siang daripada biasanya dan keadaan di jalan-jalan sunyi-senyap.

   Di dalam kegelapan itu, nampak berkelebat bayangan yang gesit sekali di atas genteng-genteng rumah penduduk kota Icang. Dengan enaknya, bayangan ini melompat-lompat bagaikan katak dari rumah satu ke rumah yang lain, dan ia menuju ke restoran Kouw-Lok yang terkenal masakan udangnya itu. Bagaikan seekor kucing, ia melompat ke atas genteng restoran itu, lalu setelah menengok ke sekitar tempat itu yang sunyi-senyap, ia melompat ke atas tanah bagaikan seekor burung walet menyambar. Tanpa mengeluarkan suara kakinya menginjak tanah dan tangan kanannya lalu mencabut sebatang golok yang tergantung di pinggang. Orang ini adalah Lui Kok si tangan buntung yang hendak melakukan pekerjaannya memberi "Hajaran"

   Kepada pemilik restoran yang berani ragu-ragu dan menolak uang sumbangan sepuluh tail sepekan!

   Golok itu dicabut hanya untuk dipergunakan sebagai pembongkar jendela atau pintu, karena seperti biasa, ia tidak mau turun tangan mempergunakan senjata tajam. Cukup dengan sekali totok pada belakang kepala atau ulu hati korbannya, maka pada keesokan harinya si korban itu akan dinyatakan mati karena kutukan Dewa di Kelenteng Thian-Hok-Si. Dengan mudah, biarpun tangannya hanya tinggal satu. Lui Kok membuka jendela dan setelah menyimpan goloknya kembali, ia melompat masuk melalui jendela yang sudah terbuka itu. Ia mencari-cari dan akhirnya masuk ke dalam kamar terbesar di rumah itu, terus memasuki pintu dengan amat beraninya. Kamar itu besar dan hanya remang-remang saja karena hanya diterangi oleh sebuah lilin kecil di atas meja. Dengan langkah tetap, Lui Kok lalu menghampiri tempat tidur dan merasa pasti bahwa calon korbannya tentu telah tidur nyenyak.

   Ia melihat dua buah pasang sepatu di depan ranjang, sepasang sepatu laki-laki dan sepasang sepatu perempuan. Ha, tentu dia sudah tidur dengan isterinya, pikir Lui Kok sambil tersenyum-senyum. Alangkah akan terkejutnya nyonya itu apabila besok pagi-pagi ia melihat suaminya telah tewas tanpa terluka sedikitpun juga! Tentu rumah makan itu akan berkabung penuh suara tangisan dan kemudian memberi sedekah yang besar untuk Kelenteng Thian-Hok-Si agar supaya kemarahan Dewa dapat berkurang! Akan tetapi, ketika ia membuka kelambu, ia hanya melihat seorang laki-laki saja tidur berselimut, tidak kelihatan ada orang perempuan tidur di situ. Karena keadaan amat gelap dan iapun tidak mau banyak pusing lagi, ia lalu menggerakkan tangan kanannya, mengirimkan pukulan yang berupa totokan ke arah ubun-ubun kepala orang laki-laki yang sedang tidur itu!

   Tiba-tiba laki-laki itu tertawa menghina dan tubuhnya bergerak cepat mengirim tendangan ke arah dada Lui Kok! Hal ini sama sekali tak pernah diduga oleh Tosu palsu ini, dan biarpun tendangan itu cepat sekali datangnya sehingga terpaksa ia harus menarik kembali tangannya dan menGurungkan niatnya menyerang, namun berkat ketangkasannya ia masih dapat melangkah mundur untuk mengelak. Akan tetapi, tiba-tiba dari kolong ranjang itu, sepasang tangan yang kuat sekali bergerak maju dan menangkap kedua kaki Lui Kok. Sekali kedua tangan itu membetot, tak ampun lagi tubuh Lui Kok terguling di atas lantai! Ternyata bahwa yang membetot itu adalah Seng Tee Hwesio yang segera menunggangi tubuh Lui Kok dan mengirimkan tempelengan beberapa kali.

   Lui Kok berkuik-kuik bagaikan seekor anjing digebuk karena tangan itu terasa antep sekali. Ia maklum bahwa Hwesio ini bukan orang sembarangan. Dalam kenekatannya ia mengirimkan pukulan dengan tangan kanannya, akan tetapi Seng Tee Hwesio mendahului dengan menotok pundak kanannya. Lumpuhlah tangan kanan Lui Kok karena jalan darahnya bagian Thian-Hu-Hiat telah kena ditotok. Orang laki-laki yang tidur di atas pembaringan tadi sebetulnya adalah Swan Hong sendiri. Sore hari tadi ia dan Suhengnya telah menjumpai si pemilik restoran dan menceritakan tentang kehendak Hwesio kepala memberi hajaran kepadanya. Pemilik restoran itu menjadi ketakutan setengah mati dan ketika Swan Hong menghiburnya, ia lalu menjatuhkan diri berlutut.

   "Mohon pertolongan jiwi Enghiong yang mulia?"

   "Sudahlah, jangan banyak ribut dan berlaku tenang. Memang sudah menjadi kewajiban Pinceng (aku) dan Suteku ini untuk membasmi Hwesio-Hwesio yang jahat itu."

   Maka mereka lalu berunding dan mengadakan rencana. Para pedagang lainnya yang seringkali mendapat gangguan pula, diberi tahu oleh pemilik restoran itu sehingga pada sore hari itu banyak sekali orang-orang berkumpul di rumah itu. Bahkan atas usul Seng Tee Hwesio, kepala daerah juga diberi tahu akan rencana mereka menangkap penjahat yang menyamar sebagai Hwesio-Hwesio di Thian-Hok-Si. Kepala daerah itu terkejut sekali, akan tetapi karena ia seorang yang penakut, ia hanya mengirim seorang wakilnya untuk datang di restoran itu. Lebih dari dua puluh orang berkumpul dan Seng Tee Hwesio lalu minta agar supaya malam hari itu mereka berkumpul di toko sebelah restoran dan kalau sudah tertangkap penjahat itu, mereka baru boleh keluar untuk menjadi saksi.

   Demikianlah, dengan amat mudah Lui Kok dapat terjebak dan tertangkap oleh kedua jago muda dari Thai-Liang-San itu dan biarpun ia tidak diikat kaki tangannya, namun ia sudah tidak berdaya lagi terkena totokan Seng Tee Hwesio. Swan Hong lalu memberi tanda kepada semua orang yang berkumpul di toko sebelah dengan hati berdebar, dan kini mereka datanglah beramai-ramai untuk melihat wajah penjahat. Ketika mereka melihat bahwa penjahat yang dimaksudkan itu adalah Tosu buntung yang seringkali terlihat di Kelenteng Thian-Hok-Si, mereka tercengang dan marah sekali. Ingin mereka memukul Lui Kok sampai mampus untuk menyatakan kemarahan mereka, akan tetapi Seng Tee Hwesio melarangnya lalu berkata,

   "Cuwi sekalian jangan turun tangan sendiri. Lebih baik kita bawa bangsat ini sekarang juga ke pada Tikwan (Jaksa) dan minta perkenan Tikwan untuk membasmi penjahat yang bersarang di Kelenteng Thian-Hok-Si."

   Semua orang menyatakan setuju dan demikianlah pada malam itu juga, Lui Kok di seret di hadapan Tikwan yang terpaksa bangun dari tidurnya.

   "Siapakah ini yang menjadi kepala dari semua kejahatan ini?"

   Bentak Tikwan, akan tetapai dengan keras kepala Lui Kok tidak mau memberi jawaban.

   "Hayo jawab!"

   Kata Swan Hong sambil menekan pundak Lui Kok. Karena yang ditekan adalah jalan darah yang terbesar dan yang langsung berhubungan dekat dengan jantungnya, maka Lui Kok merasa nyeri yang hebat sekali. Ia malu untuk menjerit dan digigitnya Bibirnya sampai berdarah sedangkan jidatnya penuh dengan peluh sebesar kacang.

   "Aku menjawab"

   Aku menjawab..."

   Katanya terengah-engah dan ketika Swan Hong melepaskan tangannya, lenyaplah rasa nyeri itu.

   "Aku hanya disuruh oleh sahabatku, Ban Sek Hosiang."

   "Hwesio kepala dari Thian-Hok-Si?"

   Tanya Tikwan terkejut.

   "Hayo ceritakan keadaan Kelenteng itu sejelasnya."

   Terpaksa Lui Kok lalu menceritakan bahwa sesungguhnya Ban Sek Hosiang yang merencanakan semua pemerasan terhadap toko-toko dikota itu, dan bahwa semua korban yang tadinya disangka kena kutukan Kelenteng, sesungguhnya adalah terbunuh oleh dia atau oleh Ban Sek Hosiang sendiri. Tikwan itu menjadi marah sekali, akan tetapi ia merasa gelisah juga karena mendengar dari Lui Kok bahwa Ban Sek Hosiang memiliki kepandaian tinggi dan mempunyai pembantu-pembantu yang pandai silat pula.

   "Taijin tak perlu gelisah."

   Kata Seng Tee Hwesio dengan tenang.

   "Pinceng dan Suteku ini siap siaga untuk membongkar kejahatan ini dan menawan Ban Sek Hosiang!"

   Tikwan merasa girang sekali, dan karena pemeriksaan itu berlangsung sampai fajar, ia lau memberi perintah kepada sepasukan penjaga untuk mengikuti Swan Hong dan Suhengnya, sedangkan Lui Kok dimasukkan kedalam tahanan. Swan Hong dan Seng Tee Hwesio, dengan diikuti oleh pasukan penjaga sebanyak lima puluh orang, dan diikut pula oleh banyak penduduk kota Icang yang merasa penasaran dan marah, lalu cepat menuju ke Kelenteng Thian-Hok-Si. Kedua orang gagah ini lalu menyuruh para pengikut untuk berhenti di tempat yang agak jauh karena mereka berdua hendak melakukan pemeriksaan dan hendak mengintai keadaan di dalam Kelenteng itu terlebih dahulu.

   Dengan kepandaian mereka yang tinggi, Swan Hong dan Suhengnya mudah sekali melompat ke atas genteng Kelenteng itu dan setelah mereka mengintai keadaan di sebelah dalam, mereka saling pandang dengan penuh keheranan. Keadaan di sebelah dalam, terutama sekali di beberapa buah kamar besar didalam Kelenteng, nampak amat indah dan mewah, melebihi kamar seorang bangsawan! Di situ tidak terlihat perabot-perabot yang biasanya digunakan didalam Kelenteng, melainkan perabot rumah tangga yang mahal dan indah. Pada dinding nampak lukisan-lukisan indah, bahkan ada beberapa gambar cabul. Ketika mereka mengintai di atas sebuah kamar yang terindah dan terbesar, tiba-tiba dari dalam ranjang yang berkelambu Sutera tipis, terdengar bentakan keras.

   "Bangsat kurang ajar. Siapa itu yang berani mengintai dari genteng?"

   Berbareng dengan ucapan ini, dari balik kelambu itu melompat keluar seorang Hwesio gemuk yang gerakannya gesit sekali. Hwesio ini adalah Ban Sek Hosiang sendiri yang segera menjemput senjatanya yakni joan-pian yang berat dan besar, lalu ia melompat melalui genteng dan langsung ke atas! Seng Tee Hwesio tertawa menyindir sambil melompat kembali ke bawah dan berdiri di pekarangan depan Kelenteng itu. Ban Sek Hosiang mengejar diikut oleh beberapa orang Hwesio lain yang menjadi pembantu-pembantunya dan yang telah dikagetkan oleh suara gaduh itu. Setelah Ban Sek Hosiang dan lima orang kawannya berdiri berhadapan dengan Seng Tee Hweio dan Swan Hong, kemudia Seng Tee Hwesio menjawab.

   "Omitohud, inikah macamnya penjahat yang menyamar sebagai Hwesio? Benarkah Pinceng berhadapan dengan Ban Sek Hosiang?"

   "Betul, Pinceng adalah Ban Sek Hosiang, ketua dari Kelenteng ini. Kau siapakah? Mengapa kau mengeluarkan kata-kata menghina yang tak pernah keluar dari mulut seorang Pendeta?"

   Kembali Seng Tee Hwesio tersenyum.

   "Pandai betul kau berlagak! Tak perlu kau berpura-pura lagi karena kami telah mengetahui siapa sebetulnya kau ini! kau telah mengotori Kelenteng yang suci ini dan telah melakukan kejahatan. Tidak saja kau mengotori Kelenteng, bahkan kaupun telah mencemarkan sama seluruh umat Buddha! Ban Sek Hosiang, kau menyerahlah untuk kami bawa ke pengadilan, dan ketahuilah bahwa sahabat baikmu yang bernama Lui Kok juga telah tertangkap!"

   Bukan main terkejutnya Ban Sek Hosiang dan kawan-kawannya mendengar ini. mengetahui bahwa rahasia mereka telah pecah, maka seorang diantara para Hwesio itu lalu bersuit keras memberi tanda kepada anak buahnya dan sebentar saja puluhan orang Hwesio dengan pedang atau golok di tangan muncul dari semua jurusan, mengepung kedua orang tamu itu?

   "Ban Sek Hosiang,"

   Kata pula Seng Tee Hwe-sio.

   "Ketahuilah bawah Pinceng adalah Seng Tee Hwesio, seorang Pendeta pengembara yang kebetulan sekali lewat di kota ini. percuma aja kau melawan, karena semua rahasiamu telah terbongkar dan diketahui oleh semua orang. Dengarlah nasihatku, sebagai sesama Hwesio, Pinceng masih bersedia untuk berlaku murah hati kepadamu. Kau menyerahlah, bubarkan orang-orangmu yang jahat dan kalau mereka itu juga bertobat, masih banyak harapan mereka akan menjadi manusia baik. Kau sendiripun asal saja mau bertobat dan mau bersumpah takkan tersesat lagi, Pinceng bersedia memberi ampun dan melepaskanmu pergi dari sini."

   "Keparat sombong! Kau kira aku Ban Sek Hosiang takut kepadamu?"

   Sambil berkata demikian, joan-pian di tangan Pendeta ini bergerak cepat menyerang Seng Tee Hweso. Ia ingin merobohkan Hwesio ini dengan cepat, sama sekali tidak memperdulikan Swan Hong yang masih muda dan yang dianggapnya tentu tak memiliki kepandaian yang perlu ditakuti. Akan tetapi, ketika Seng Tee Hwesio melompat mundur untuk mengelak, ia menjadi terkejut sekali mendengar pemuda itu berseru.

   "Suheng, biarkan aku yang memukul anjing budukan ini!"

   Ban Sek Hosiang marah sekali. Joan-pian di tangannya diputar cepat dan kuat sehingga senjata itu menyambar ke arah dada Swan Hong dengan gerak tipu Kapak Dewa Membelah Batu. Swan Hong dengan tenang merendahkan tubuhnya dan berbareng mencabut keluar goloknya. Ketika Ban Sek Hosiang menyerangnya lagi dengan gerakan Raja Ular Menerkam Harimau, sebuah serangan joan-pian yang amat berbahaya dan cepat datangnya, pemuda ini lalu menangkis dengan goloknya.

   "Trang!"

   Bunga api berpijar ketika sepasang senjata ini beradu. Golok di tangan Swan Hong hanya sebuah golok biasa saja, maka ketika senjatanya beradu dengan joan-pian yang keras dan kuat itu, Swan Hong cepat mementalkan goloknya agar jangan sampai menjadi rusak. Kemudian ia mulai mainkan ilmu golok Pek-Ho To-Hwat dan menyerang dengan hebat. Ban Sek Hosiang terkejut sekali ketika tiba-tiba melihat betapa golok lawannya itu berobah menjadi segulung sinar putih yang besar dan yang bergerak cepat serta bergulung-gulung bagaikan angin taufan yang menyerang dirinya. Ia kerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya karena maklum bahwa setelah pertemuannya dengan kedua orang muda yang amat lihai di rumah Yap Ma Ek,

   Kembali sekarang ia bertemu pula dengan seorang pemuda yang amat tinggi kepandaiannya. Sementara itu, lima orang Hwesio yang memiliki kepandaian lumayan juga, melihat kepala mereka sudah mulai bertempur, segera maju pula membantu, akan tetapi mereka disambut oleh bentakan Seng Tee Hwesio yang memutar tongkatnya. Sebentar saja Seng Tee Hwesio sudah terkurung oleh lima orang Hwesio tadi, akan tetapi murid kedua dari Lam Hwat Hwesio ini dengan tenang dapat menangkis setiap serangan, bahkan dapat membuat tongkatnya merupakan dinding batu karang yang tak memungkinkan senjata lawan dapat mengenai tubuhnya. Adapun Ban Sek Hosiang yang telah terdesak hebat oleh golok di tangan Swan Hong, ternyata hanya sanggup mempertahankan diri selama dua puluh jurus saja.

   Pada saat ia mulai merasa pening karena sinar golok yang luar biasa itu, tiba-tiba ia menjerit keras dan joan-piannya terlepas dari tangannya karena dengan tangannya tergurat ujung golok. Ia terhuyung-huyung dan sebuah tendangan pada lambungnya membuat ia terguling roboh dan merintih-rintih kesakitan. Para Hwesio yang puluhan banyaknya dan yang telah siap dengan senjata di tangan, ketika mendengar jerit kesakitan tadi, sesungguhnya sebagian besar adalah Hwesio-Hwesio lama yang telah berada disitu ketika Ban Sek Hosiang datang. Mereka ini bukan orang-orang jahat, hanya saja mereka terpengaruh oleh Ban Sek Hosiang, sehingga mau atau tidak, mereka harus menurut segala perintah Ban Sek Hosiang yang kosen dan yang mereka takuti itu. Kini, mereka melihat bahwa yang datang menyerang Kelenteng adalah seorang Hwesio pula, bersama seorang pemuda.

   Melihat kelihaian kedua orang itu, mereka merasa ragu-ragu dan hanya menonton agak jauh. Kini melihat betapa Ban Sek Hosiang telah roboh, mereka menjadi takut dan merasa telah berdosa karena mengikuti jejak kepala itu. Larilah mereka keluar dari Kelenteng untuk melarikan diri dari para penyerbu. Akan tetapi alangkah kaget mereka ketika melihat bahwa Kelenteng itu kini telah terkepung oleh para penjaga keamanan dan beberapa orang penduduk. Terpaksa mereka kembali ke pekarangan Kelenteng dan kini lima orang Hwesio pembantu Ban Sek Hosiang juga sudah roboh oleh Seng Tee Hwesio yang dibantu oleh Swan Hong! Para petugas setelah melihat bahwa Hwesio kepala dan para pembantunya telah roboh, lalu serentak maju hendak menangkapi semua Hwesio yang berjumlah empat puluh orang itu, akan tetapi tiba-tiba Seng Tee Hwesio mengangkat tangannya dan mencegah.

   "Jangan tangkap mereka!"

   Suaranya nyaring dan berpengaruh sekali.

   "Yang menjadi biang keladi adalah Ban Sek Hosiang dan para pembantunya ini. saudara-saudara yang lain tidak bersalah, dan hanya terpengaruh belaka. Buktinya, apakah mereka tadi melakukan perlawanan? Tidak, mereka tidak boleh diganggu dan Pinceng yang berani bertanggung jawab bahwa mereka sejak saat ini tentu akan menjalankan tugas sebagai Pendeta-Pendeta yang baik. Kalau hendak menangkap tangkaplah Ban Sek Hosiang yang jahat ini bersama kelima orang pembantunya!"

   Pada saat itu, kepala daerah yang telah mendengar tentang penyerbuan terhadap Kelenteng itu datang sendiri diikut oleh para pamong praja lainnya. Ia masih sempat mendengar ucapan Seng Tee Hwesio, maka sambil melangkah maju kepala daerah ini memberi perintah.

   "Tangkap Hwesio kepala yang jahat dan palsu itu!"

   Akan tetapi, sebelum para petugas melakukan perintah ini, Ben Sek Hosiang yang sudah dapat berdiri kembali, lalu menghampiri kepala daerah itu dan menjura sambil berkata.

   "Taijin harap jangan tergesa-gesa menangkap Pinceng. Sukalah taijin memeriksa surat ini lebih dahulu."

   Sambil berkata demikian, Ban Sek Hosiang lalu mengeluarkan segulung surat dari saku jubahnya dan memberikannya kepada kepala daerah. Pembesar itu mengerutkan alis dan dibacanya surat itu. Tiba-tiba wajahnya berobah dan ia menganggukkan kepala.

   "Pergilah Lo-Suhu dengan kawan-kawanmu, aku akan membebaskan pula Lui Kok dari tahanan, akan tetapi harap jangan bergerak di dalam kota ini, karena kalau sampai terjadi keributan, aku pulalah yang bertanggung jawab dan pusing!"

   Ia menyerahkan kembali surat itu kepada Ban Sek Hosiang dengan sikap menghormat. Ban Sek Hosiang memandang kepada Seng Tee Hwesio dengan mulut tersenyum menyeringai akan tetapi matanya mengandung kebencian, kemudian ia lalu mengisyaratkan kepada lima orang pembantunya, untuk pergi dari situ. Keenam Hwesio itu lalu peri dengan cepat! Semua orang bengong melihat peristiwa ini. Swan Hong sendiri juga merasa penasaran dan cepat melangkah maju,

   "Taijin...!"

   Ia menegur.

   "Mengapa...?"

   Akan tetapi kepala daerah itu memberi isyarat dengan tangan agar supaya pemuda gagah itu tidak melanjutkan kata-katanya, kemudian sambil menghadap para Hwesio yang berdiri sambil menundukkan kepala mereka yang gundul, ia berkata,

   "Suhu sekalian! Hendaknya peristiwa hari ini dijadikan contoh oleh Suhu sekalian. Alangkah malunya mendapat nama buruk sebagai pejabat dan pengacau, sedangkan sebetulnya seorang Pendeta bahkan harus menjaga keamanan lahir batin dari sesama manusia. Sekarang, berkat pertolongan kedua orang gagah ini, keadaan telah menjadi beres. Harap Suhu sekalian suka mengangkat seorang kepala baru untuk menjadi ketua Kelenteng ini."

   "Kami mengangkat Suhu yang gagah perkasa dan budiman ini!"

   Tiba-tiba terdengar beberapa orang Hwesio berkata sambil menunjuk ke arah Seng Tee Hwesio! Juga para penduduk kota, terutama para pedagang yang seringkali diganggu oleh Ban Sek Hosiang, menyatakan persetujuannya.

   "Setuju sekali! Kepala Kelenteng ini haruslah seorang Hwesio jujur, budiman, dan pandai menjaga keamanan Kelenteng!"

   Maka serentak semua orang memilih Seng Tee Hwesio menjadi ketua Kelenteng! Pembesar itu lalu tersenyum dan mengangguk-angguk kepala sambil berkata kepada Seng Tee Hwesio.

   "Siauw-Suhu, kau telah mendengar sendiri pilihan orang-orang yang berada di sini, bahkan semua Hwesio Kelenteng inipun memilihmu! Maka harap kau suka menerimanya, sehingga tidak sia-sialah usahamu hari ini!"

   Di dalam hatinya, Seng Tee Hwesio merasa suka sekali untuk memberi pimpinan kepada para Hwesio. Memang inilah cita-citanya, mencari tempat yang cocok baginya dan bagi Kakaknya, yakni Seng Thian Hwesio. Akan tetapi ia merasa ragu-ragu melihat kelakuan pembesar itu tadi yang melepaskan begitu saja Ban Sek Hosiang. Ia menjura kepada orang banyak dan menjawab.

   "Terima kasih, saudara-saudara sekalian, yang telah memilih Pinceng yang masih muda dan bodoh. Pinceng suka menerima tugas ini, akan tetapi bukan untuk Pinceng sendiri, melainkan untuk seorang Pendeta yang lebih baik, jauh lebih pandai, lebih bijaksana dan lebih faham tentang agama kita daripada Pinceng sendiri. Adapun tentang ilmu silat, jangan khawatir karena orang itu adalah Suhengku sendiri. Ia bernama Seng Thian Hwesio dan sekarang masih berada di puncak bukit Thai-Liang-San di Secuan!"

   Semua orang menyatakan setuju karena mereka telah percaya penuh kepada Seng Tee Hwesio. Kalau adiknya saja sudah sepandai ini, tentu Suhengnya lebih pandai lagi, pikir mereka. Pada keekokan harinya, Seng Tee Hwesio berkata kepada Sutenya,

   "Sute, seperti kau lihat sendiri, agaknya aku dan Suheng sesuai untuk tinggal di sini, memimpin Kelenteng ini. kedudukan ini cocok sekali untuk Suheng, dan tentu diapun akan suka sekali melakukan tugas di sini. Adapun aku, aku lebih suka merantau dan bertugas di dunia ramai. Akan tetapi, untuk sementara ini, sebelum Suheng datang, lebih baik aku memimpin Kelenteng ini lebih dulu, membersihkan segala kekotoran yang masih menempel di Thian-Hok-Si. Kau harap suka kembali dulu ke Thai-Liang-San untuk mengundang Suheng. Siapa tahu kalau-kalau Kongkongmu sudah naik ke gunung itu pula."

   Swan Hong tidak membantah dan berangkatlah ia menuju Thai-Liang-San untuk menemui Twa-Suhengnya, yakni Seng Thian Hwesio.

   Adapun Seng Tee Hwesio mulai hari itu segera mengadakan peraturan baru untuk para anggauta Kelenteng itu. Ia mengeluarkan segala kemewahan yang memenuhi Kelenteng, membagi-bagikan harta benda kepada fakir miskin, sebagian pula uang yang banyak terdapat di situ ia kembalikan kepada penyumbang-penyumbang paksaan. Akan tetapi, para pedagang tidak mau menerimanya dan mengusulkan agar supaya uang itu dipergunakan untuk memperbaiki bangunan Kelenteng pada bagian-bagian yang telah rusak. Kelenteng Thian-Hok-Si menjadi bersih kembali, yakni bersih dari pengaruh jahat dan para Hwesionya mulai tekun mempelajari agama dan melakukan penghidupan yang beribadat. Penduduk kota Icang amat girang dan berterima kasih sekali kepada Seng Tee Hwesio dan Sutenya. Nama Hwesio ini terutama nama Swan Hog yang gagah perkasa amat dihormat dan dijunjung tinggi

   Dalam perjalanannya ke Gunung Thai-Liang-San, Swan Hong menggunakan jalan darat. Setiap hari ia melakukan perjalanan sambil menikmati keindahan alam yang sesungguhnya amat berbeda dengan tamasya alam di lembah Sungai Yang-Ce. Ia melalui gunung-gunung dan hutan-hutan. Apabila ia tiba di tempat-tempat yang indah atau di kota-kota, ia berjalan perlahan, dan baru mempergunakan ilmu berlari cepat apabila ia tiba di dalam hutan atau di pegunungan yang sunyi.

   Pada suatu hari ia tiba di perbatasan Propinsi Hopak dan Secuan, yakni di Pegunungan Tapa-San. Pegunungan ini cukup luas dan mempunyai beberapa puncak yang menjulang tinggi di angkasa. Banyak pula terdapat hutan-hutan liar yang amat gelap. Karena Swan Hong belum pernah melakukan perjalanan di daerah ini, yang menjadi pedomannya hanyalah matahari di waktu siang dan bulan di waktu malam. Ia maklum bahwa untuk sampai di Propinsi Secuan, ia harus terus menuju ke barat. Ketika ia tiba di lereng pegunungan yang tanahnya subur, ia melihat sebuah dusun dari jauh dan mampirlah ia ke dusun itu untuk membeli makanan. Warung nasi satu-satunya yang berada di dusun itu dilayani oleh seorang Kakek yang keriputan dan doyan mengobrol. Kebetulan sekali di situ tidak ada lain tamu, maka Kakek itu mengajak Swan Hong mengobrol.

   "Kongcu (Tuan muda),"

   Katanya dan sudah menjadi kebiasaannya untuk menyebut Kongcu kepada setiap orang muda yang agaknya datang dari kota.

   "Mendengar tekanan suaramu, agaknya kau bukan orang daerah ini, dan melihat sepatu dan pakaianmu yang penuh debu dan lumpur, tentu Kongcu telah melakukan perjalanan jauh. Hendak kemanakah kau Kongcu?"

   Diam-diam Swan Hong memuji ketajaman otak Kakek dusun ini. Ia tersenyum dan setelah minum air tehnya, ia menjawab,

   "Benar dugaanmu, Lopek. Aku hendak menuju ke Propinsi Secuan."

   "Apa?? Menuju ke barat melalui pegunungan ini dan keluar masuk hutan yang liar itu?"

   "Mengapa?"

   "Ah..."

   Ia menghela napas.

   "memang anak muda jaman sekarang amat tabah dan gagah perkasa. Di jamanku dulu, orang muda yang halus seperti kau ini, jangan kata memasuki hutan liar, baru melihat kucing saja sudah terkencing-kencing karena ketakutan. Jangankan menempuh hujan dan badai, baru tertiup angin kecil saja sudah roboh telentang! Pandainya hanya menggerakkan pit dan membaca kitab."

   "Bukan kepandaian yang buruk, Lopek."

   "Memang, bukan kepandaian yang buruk, akan tetapi apa gunanya? Paling-paling hanya untuk menulis surat yang bagus untuk mendatangkan fitnah kepada orang lain! Kau sungguh tabah dan berani Kongcu. Terus terang saja aku sendiri yang sudah bertahun-tahun tinggal di sini, kalau harus melakukan perjalanan seorang diri melalui pegunungan di barat itu, aku tidak berani!"

   "Kenapakah, Lopek? Apakah di situ terdapat banyak binatang buas?"

   "Binatang buas tidak sangat menakutkan, Kongcu. Betapapun liarnya, binatang buas meyerang dari depan dan tak pandai bermanis mulut. Tidak ada binatang yang lebih jahat daripada seorang manusia jahat yang pandai meggoyang lidah dan bermanis mulut."

   "Apakah kau hendak mengatakan bahwa di sana banyak perampoknya, Lopek?"

   Kata Swan Hong sambil memandang ke arah gundukan-gundukan tanah bukit di barat itu.

   "Perampok-perampok mungkin ada, Kongcu."

   "Aku tidak takut, biarlah mereka mencegatku kalau mereka kehendaki!"

   Kata Swan Hong dengan gagah sambil meraba gagang goloknya.

   "Hm, agaknya kau pandai bersilat, Kongcu. Aneh, aneh!"

   "Lho, apakah yang aneh, Lopek? Orang bijaksana berkata sebagai nasihat bahwa jangan melakukan perjalanan jauh apabila kau tak pandai main golok."

   "Aneh, sudah dua kali hari ini aku mendengar ucapan itu! Jangan melakukan perjalanan jauh apabila kau tak pandai main golok! Ya, demikian pula yang ia katakan tadi, sambil meraba-raba dua buah gagang pedang yang tergantung di pundaknya. Aneh!"

   "Dia siapa, Lopek?"

   "Itulah yang aneh. Seorang pemuda pula, lebih halus, lebih tampan, dan mungkin lebih muda daripada kau sendiri. Bicaranya lebih halus daripada kata-katamu, sikapnya lemah lembut, akan tetapi keberaniannya mungkin lebih besar daripada keberanianmu?"

   "Dan dia juga menuju ke barat?"

   Kakek itu mengangguk-angguk.

   "Ya, pergi ke barat, memasuki hutan seorang diri saja. Ah, pemuda yang halus kulitnya dan lemah lembut gerakannya itu..."

   Swan Hong merasa tertarik. Ia memang sudah bosan untuk melakukan perjalanan di tempat-tempat yang sunyi itu seorang diri saja. Dulu ketika pergi meninggalkan gunung, ia berdua dengan Suhengnya, maka sekarang setelah melakukan perjalanan seorang diri, ia merasa sunyi sekali.

   "Lopek, aku harus berangkat sekarang!"

   Kata Swan Hong sambil membayar harga makanan dan minuman.

   "Eh, eh, mengapa begitu terburu-buru?"

   "Aku hendak menyusul orang muda yang halus itu!"

   "Sudah kenalkah kau kepadanya?"

   "Belum, akan tetapi apa susahnya berkenalan di tempat sunyi ini? Agaknya"

   Akupun takkan merasa sedap hati masuk keluar hutan liar tanpa kawan."

   Ketika Swan Hong sudah melangkah keluar, tiba-tiba Kakek itu memanggilnya kembali,

   "Kongcu "

   Swan Hong memutar tubuhnya dan berkata,

   "Ada apa lagi, Lopek?"

   "Karena kau baik dan menyenangkan hatiku, baiklah aku membuka rahasia orang muda itu. Aku berani melakukan hal ini karena aku yakin kau bukan orang jahat."

   "Rahasia? Rahasia apakah itu?"

   Kakek itu tertawa.

   "Ha, ha, pemuda itu tak dapat menipu mataku, yang biarpun tua akan tetapi mempunyai pengalaman banyak sekali. Tak seorangpun wanita di dunia ini yang akan dapat menipuku, betapapun pandaipun ia menyamar!"

   "Jadi... dia adalah wanita, Lopek?"

   
Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tentu ia takkan mau mengaku, buktinya ia berpakaian seperti laki-laki, akan tetapi aku tahu pasti bahwa ia seorang gadis yang cantik! Jadi jika kau ingin menyusulnya, kau harus mengambil jalan ke kiri setelah tiba di jalan perempatan di luar hutan Siong. Ia menanyakan jalan tadi kepadaku dan aku menujukkan jalan itu yang terdekat."

   "Terima kasih, Lopek!"

   Entah mengapa ia sendiri tidak tahu. Swan Hong cepat-cepat pergi dan berlari sambil mengerahkan ilmunya berlari cepat. Timbul keinginannya untuk segera dapat menyusul gadis yang menyamar sebagai pemuda itu! Swan Hong yang berlari cepat mendaki lereng bukit setelah tiba di jalan perempatan di luar sebuah hutan pohon Siong, lalu membelok ke kiri sesuai dengan petunjuk Kakek penjaga warung nasi itu. Ia ingin sekali cepat menyusul gadis yang menyamar sebagai pemuda, seperti yang diceritakan oleh pelayan tadi.

   Akan tetapi, karena orang yang dikejarnya itu telah lebih dulu setengah hari daripadanya, ia tidak melihat bayangan seorangpun di sepanjang jalan. Ketika ia meliwati sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon Pek dan banyak pula terdapat tanaman-tanaman bunga yang sedang mekar, ia lalu masuk ke dalam hutan itu. Entah mengapa ia masuk ke situ, mungkin karena ia menghubungkan gadis dan kembang. Di mana banyak kembang di situ tentu terdapat seorang gadis cantik, pikirnya! Sungguhpun pikiran ini hanya mengawur saja, akan tetapi kebetulan sekali memang tepat. Orang yang dicarinya memang berada di dalam hutan itu! Baru kira-kira satu li ia memasuki hutan ini, tiba-tiba ia mendengar suara senjata beradu seakan-akan di dekat situ terdapat orang yang sedang bertempur. Ia segera mempercepat tindakan kakinya dan di sebuah lapangan terbuka,

   Ia melihat lima orang yang berpakaian sebagai perwira-perwira Kerajaan sedang berdiri sambil bertolak pinggang dan tersenyum-senyum menonton pertempuran yang sedang berlangsung. Seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah cantik dan berpakaian mewah. Wanita inipun berdiri sambil menonton pertempuran antara seorang laki-laki muda berpakaian indah dengan seorang pemuda yang tampan sekali. pemuda ini memakai pakaian baju putih dan celana biru, kepalanya diikat dengan saputangan lebar. Mukanya benar-benar elok sekali, matanya jernih dengan bulu mata yang panjang, alisnya berbentuk indah dan Bibirnya merah bagaikan berdarah. Karena sudah mendapat keterangan dari penjaga warung nasi, Swan Hong dengan mudah dapat menduga bahwa gadis yang menyamar sebagai laki-laki tentulah pemuda yang elok ini!

   Maka ia memperhatikan dengan sungguh-sungguh. Laki-laki yang bertempur dengan pemuda itu, berusia kira-kira dua puluh delapan tahun, bersenjata pedang dan gerakannya hebat dan ganas sekali. Dia ini bukan lain adalah Lui-Kong-Ciang Lee Kun, sedangkan wanita cantik yang berdiri menonton adalah Encinya, yakni Lee Kim Bwe yang berjuluk Jian-Jiu Koan-Im! Bagaimana Sin-Kiam Siang-Hiap Sepasang Pendekar Pedang Sakti ini bisa berada di situ dan siapakah lima orang perwira itu? Seperti yang telah dituturkan di bagian depan, kedua saudara Lee ini menderita kekalahan dan pukulan hebat di dalam rumah Yap Ma Ek, dikalahkan oleh dua orang muda yang baru muncul di dunia kang-ouw, yakni Liok Siang Hwa dan Sim Tiong Han.

   Dengan hati terluka dan sakit hati, kedua saudara ini lalu berangkat ke Kotaraja sambil membawa surat dari Ban Sek Hosiang yang menjadi kaki tangan Kaisar, lalu menghadap kepada para pembesar di Kotaraja yang bertugas "membersihkan para pemberontak"

   Dan "memperalat orang-orang gagah."

   Setelah menghadap untuk memperkenalkan diri, kedua saudara Lee ini diterima dengan penuh penghormatan, dijamu dan diberi hadiah sehingga mereka makin tunduk dan setia terhadap pemerintah Mancu yang baru dan yang dianggapnya baik dan murah hati. Mereka lalu menyanggupi untuk mengadakan pembasmian kepada orang-orang kang-ouw yang dianggapnya masih mempunyai maksud memberontak atau tidak suka kepada pemerintah yang baru.

   Tentu saja para pembesar itu maklum bahwa kedua saudara Lee yang sudah lama malang-melintang di dunia kang-ouw ini tahu dengan baik siapakah orang-orang kang-ouw yang dapat dibujuk dan siapa pula yang kiranya berbahaya. Demikianlah, sambil membawa sepasukan tentara pilihan dan beberapa orang perwira yang terpandai ilmu silatnya, Lee Kim Bwe dan Lee Kun lalu mulai melakukan perjalanan untuk menyebar maut kepada para orang kang-ouw yang tidak mau tunduk, dan juga untuk membujuk banyak orang gagah agar supaya suka bekerja di bawah perintah Kaisar yang baru. Dalam kesempatan ini, Sin-Kiam Siang-Hiap lalu mempergunakan pengaruhnya untuk mencelakakan orang yang dianggapnya musuh,

   Dan mereka tiada hentinya mencari Siang Hwa, Tiong Han, Lie Kai dan lain-lain orang gagah yang dulu mengunjungi rumah Yap Ma Ek untuk dibasminya dan membalas sakit hatinya. Pada hari itu, ketika Lee Kim Bwe dan Lee Kun, bersama lima orang perwira yang berkepandaian tinggi melalui hutan di Pegunungan Tapa-San, tiba-tiba mereka melihat seorang pemuda yang tampan sekali berjalan seorang diri, lalu memetik bunga-bunga rumput putih yang tumbuh di bawah pohon besar di pinggir jurang. Tergerak hati Lee Kim Bwe melihat pemuda yang luar biasa eloknya itu sehingga dadanya terasa berdebar aneh. Biarpun Lee Kim Bwe tidak mata keranjang seperti adiknya, akan tetapi melihat seorang pemuda yang demikian tampannya, ia tertarik juga dan timbul hati suka dan menyinta. Ia lalu maju dan menegur sambil tersenyum manis.

   "Kongcu, kau seorang diri di hutan ini mencari bunga untuk apakah?"

   Pemuda itu terkejut dan menengok. Mukanya berobah merah ketika melihat betapa wanita cantik yang berpakaian mewah dan mukanya dibedaki tebal itu melirik dan tersenyum-senyum kepadanya dengan sikap yang genit sekali.

   "Aku mencari kembang untuk obat. Ayahku sedang menderita sakit dan kembang ini adalah obat yang mujarab untuknya,"

   Jawabnya lalu melanjutkan pekerjaannya tanpa memperdulikan mereka. Betapapun juga, Lee Kim Bwe tentu saja merasa malu untuk menyatakan perasaan hatinya di depan adiknya dan lima orang perwira itu, maka ia lalu mendapat akal. Mereka memang sudah biasa menawan orang-orang yang dicurigai, bahkan membunuh orang-orang yang dianggapnya berbahaya. Lalu katanya kepada kawan-kawannya.

   "Pemuda ini mencurigakan sekali. Jangan-jangan ia memang sengaja mencegat kita dan ingin mengetahui rahasia kita. Lebih baik kita tangkap dia untuk diperiksa lebih lanjut."

   Lee Kun diam-diam maklum akan pikiran Encinya, akan tetapi lima orang perwira itu tentu saja tidak tahu dan mengira bahwa Lee Kim Bwe bicara sewajarnya. Maka majulah mereka serentak menGurung pemuda itu yang menjadi marah dan berkata keras.

   "Kalian ini orang-orang apakah maka datang-datang hendak menggangguku? Aku tidak mengenal kalian dan janganlah kau mengganggu aku yang sedang mencarikan obat untuk Ayah."

   Lee Kun melangkah maju dan berkata sambil menyeringai.

   "Bocah sombong, jangan banyak bicara. Ketahuilah bahwa kami adalah petugas-petugas Kaisar yang berwewenang menahan dan menangkap orang yang kami curigai."

   "Aku tidak perduli akan segala macam Kaisar Mancu!"

   Tiba-tiba pemuda itu membentak.

   "Pergilah!"

   Marahlah Lee Kun mendegar ini.

   "Jahanam, kalau kau tidak mau menyerah dengan baik-baik, terpaksa aku mempergunakan kekerasan!"

   Sambil berkata demikian, ia mengulur tangan kanannya hendak menangkap pundak pemuda itu. Akan tetapi dengan sekali gerakan tubuh saja, pemuda elok itu telah dapat mengelakkan diri dari serangan lawan. Wajahnya yang tampan dan putih itu menjadi merah. Dengan cepat ia memasukkan kembang-kembang obat itu ke dalam saku bajunya yang putih, kemudia ketika tangannya bergerak ke belakang, tahu-tahu ia telah mencabut pedangnya.

   "Ha, ha, ha!"

   Lee Kun tertawa mengejek.

   "Agaknya kau dapat juga mainkan sedikit ilmu silat! Baik, lebih menyenangkan menangkap orang dengan menjatuhkan lebih dulu, daripada menagkap orang yang tak becus melawan!"

   Lee Kun juga mencabut pedangnya. Hatinya besar dan berani karena di situ terdapat Encinya dan lima orang perwira yang pandai. Sambil berseru keras ia maju menyerang dengan pedangnya. Pemuda itu lalu menangkisnya dan mereka segera bertempur dengan seru. Akan tetapi, baru bertempur sepuluh jurus saja, tahulah Lee Kun bahwa sebenarnya ilmu pedang pemuda itu belum terlalu tinggi tingkatnya. Kalau ia mau, dalam belasan jurus saja ia pasti akan dapat merobohkan atau menewaskan pemuda itu. Akan tetapi ia tidak mau berbuat demikian pertama karena memang mereka hendak menawan dan memeriksa pemuda ini yang belum diketahui kesalahannya,

   Kedua karena tak mungkin pemuda dengan kepandaian serendah itu dapat dianggap berbahaya, dan ketiga ia hendak menyenangkan hati Encinya. Ia maklum bahwa diam-diam Encinya ingin mendapatkan pemuda yang tampan ini, maka kalau ia merobohkan dan menewaskan pemuda ini, biarpun lima orang perwira itu takkan menegurnya, akan tetapi tentu Encinya akan merasa kecewa sekali dan diam-diam akan marah kepadanya. Oleh karena itu, Lee Kun lalu mengeluarkan ilmu pedang Leng-San Kiam-Sut yang lihai dan sebentar saja pemuda itu menjadi bingung sekali karena lawannya lenyap dari pandangan matanya dan berputar-putar mengelilinginya dengan gerakan pedang yang menyilaukan mata! Pada saat yang tepat, Lee Kun menggerakkan pedangnya berputaran dan "Trang!"

   Pedang pemuda tampan itu terpental ke atas dan terlepas dari pegangan.

   "Ha, ha, ha, bocah hijau! Apakah kau masih belum mau menyerah?"

   Lee Kun mengejek sambil menyimpan pedangnya di dalam sarung pedang.

   "Baru kau tahu kelihaian Lui-Kong-Ciang Lee Kun, ya?"

   Dengan sombong Lee Kun mengangkat dada dan memandang pemuda yang menjadi maah dan penasaran itu. Akan tetapi, pemuda ini ternyata tabah sekali. Bukannya menyerah karena pedangnya telah terlempar, bahkan ia berlaku nekad dan menyerang dengan pukulan Pek-Hong Koan-Jit (Bianglala Putih Menutup Matahari) ke arah dada lawannya.

   Sungguhpun serangan ini kalau ditujukan kepada seorang ahli silat yang umum saja akan merupakan serangan amat berbahaya dan mematikan, akan tetapi terhadap Lee Kun yang memiliki ilmu silat tinggi, tidak ada gunanya sama sekali. Lee Kun tertawa mengejek, dan sekali menggerakkan kedua tangannya dengan jurus yang disebut Raja Naga Menyambar Hujan, ia telah menangkap kedua tangan lawannya itu! Pemuda elok itu terkejut sekali dan segera mengangkat kedua kakinya menendang pusar lawan! Lee Kun menyumpah dan terpaksa melepaskan kedua tangan pemuda itu. Akan tetapi saking gemasnya ia lalu menyabet kaki lawan yang menendang sehingga tak dapat dicegah lagi tubuh pemuda itu terbanting di atas tanah.

   "Kau hendak apa lagi sekarang?"

   Lee Kun mentertawakan dan ia lalu menubruk untuk meringkus pemuda yang masih rebah di atas tanah itu. Melihat gerakan Lee Kun yang menubruknya, tiba-tiba pemuda itu berseru ketakutan! Selagi Lee Kun merasa terheran, tiba-tiba dari sebelah kiri menyambar benda hitam kecil dan,

   "Tak"! kepala Lee Kun telah dihantam oleh benda kecil itu sehingga ia berseru kaget dan kesakitan. Ternyata bahwa benda itu hanyalah sebutir buah angco yang sudah busuk! Semua orang menengok ke arah datangnya "senjata rahasia"

   Ini dan dari belakang sebatang pohon besar muncullah seorang pemuda lain yang gagah dan cakap. Pemuda ini adalah Lie Swan Hong yang dalam saat yang tepat telah menolong "pemuda"

   Itu dari terkaman Lee Kun! Pemuda yang tertolong oleh Swan Hong itu segera melompat bangun dan memungut pedangnya yang tadi terlempar, lalu berdiri memandang ke arah Swan Hong dengan bingung dan juga gelisah. Ia tidak tahu mengapa Lee Kun memekik kesakitan dan tidak jadi menubruknya, satu hal yang amat ditakutinya! Sementara itu, Lee Kun dan keenam orang kawannya lalu maju menghampiri Swan Hong dengan marah.

   "Bangsat kecil!"

   Lee Kun membentak marah.

   "Siapakah kau yang berani menyerang Lui-Kong-Ciang Lee Kun secara menggelap?"

   "Bangsat besar!"

   Swan Hong balas memaki.

   "Secara menggelap atau berterang, aku selalu tentu berani menyerangmu kalau kau berlaku sewenang-wenang menghina orang yang lemah!"

   Setelah berkata demikian, Swan Hong memandang ke arah pemuda elok itu dan berkata menghibur.

   "Adik yang baik, jangan khawatir, tujuh ekor babi hutan ini serahkan saja kepadaku untuk mengusirnya."

   Hampir terlompat kelima orang perwira Kerajaan itu mendengar mereka disebut babi hutan.

   "Manusia bermata buta! Tidak tahukah kau sedang berhadapan dengan siapa? Kedua orang ini adalah Sin-Kiam Siang-Hiap yang namanya telah terkenal dikalangan kang-ouw! Kalau kau yang masih muda ini belum banyak mengenal orang-orang kang-ouw yang gagah, sedikitnya kau tentu mengenal kami sebagai perwira-perwira Kerajaan yang tak boleh kau hina sesuka hatimu. Apakah kau telah bosan hidup?"

   "Agaknya orang ini termasuk golongan pemberontak!"

   Kata pula Lee Kim Bwe yang juga menjadi panas hatinya, terutama karena merasa khawatir kalau-kalau pemuda elok itu akan terlepas dari jeratnya. Swan Hong di dalam perantauannya pernah mendengar nama Sin-Kiam Siang-Hiap ini, dan maklum pula bahwa kedua orang itu adalah orang-orang yang amat dibenci oleh orang-orang kang-ouw yang berjiwa patriot karena kedua orang ini telah menjual dirinya kepada Kaisar. Maka ia tersenyum sinis dan menjawab.

   "Dengarlah kalian semua! Aku Lie Swan Hong tidak perduli siapa adanya kalian, akan tetapi kalian menghina orang, aku takkan tinggal diam saja. Jangan kira bahwa di dunia ini tidak ada orang lain yang berani melawan kalian!"

   "Jahanam hina!"

   Seru Lee Kun yang merasa panas dan marah karena kepalanya disambit tadi. Lalu secepat kilat ia telah mencabut pedangnya, langsung menyerang dengan tikaman pedang dalam gerak tipu Maling Sakti Mencuri Hati. Tikaman ini mengarah dada kiri Swan Hong, agaknya benar-benar hendak mencuri jantung pemuda itu yang hendak disate dengan pedangnya yang tajam. Akan tetapi ia kecele kalau mengira bahwa pemuda yang baru datang ini sama lemahnya seperti pemuda yang elok itu, karena dengan sedikit miringkan tubuh saja, Swan Hong telah berhasil mengelakkan diri sambil mencabut golok di punggungnya.

   "Kau mencari penyakit!"

   Seru Swan Hong sambil memutar goloknya. Baru saja ia memutar goloknya, terkejutlah Lee Kun karena gerakan golok ini benar-benar amat lihai sekali dan hampir saja pundaknya kena dibacok! Hal inipun terlihat dengan baik oleh Lee Kim Bwe dan kelima orang perwira itu, maka mereka tanpa banyak cakap lagi lalu maju mengeroyok Swan Hong. Swan Hong tersenyum menghina dan cepat memainkan ilmu goloknya Pek-Ho To-Hwat (Ilmu Golok Bangau Putih) yang luar biasa. Sinar putih yang tebal dan lebar bergulung-gulung tidak saja melindungi tubuh pemuda yang berpakaian putih ini, akan tetapi juga gulungan sinar putih itu bercabang dan menyambar ke sana sini menyerang tujuh orang lawannya dengan hebat! Pemuda elok pencari bunga tadi ketika melihat Swan Hong dikeroyok, segera menggerakkan pedangnya untuk membantu, akan tetapi Swan Hong segera mencegah.

   "Adik yang baik, jangan kau ikut campur. Biarlah aku membereskan mereka dengan tanganku sendiri. Lihat, perwira gemuk ini kurobohkan dulu!"

   Sambil berkata demikian, goloknya bergerak makin cepat dan menjeritlah perwira gemuk itu karena pundaknya hampir putus terbabat golok! Ruyung di tangannya terlempar dan tubuhnya yang gemuk dan berat itu jatuh berdebuk di atas tanah.

   Terdengar Swan Hong tertawa perlahan dan berkata lagi.

   "Nah, adik yang baik, sekarang lihatlah betapa babi hutan yang tadi mengganggumu akan kurobohkan!"

   Ia memutar goloknya makin cepat lagi sehingga biarpun Lee Kun sudah mempertahankan diri sekuatnya, masih saja ujung golok menowel lengan kanannya sehingga ia berteriak kesakitan, pedangnya terlempar dan ia segera melompat mundur sambil memegangi lengan kanannya yang robek kulit serta dagingnya dan mengeluarkan banyak darah itu! Bukan main terkejutnya Lee Kim Bwe dan perwira-perwira lain melihat kelihaian pemuda baju putih ini. Terutama sekali Lee Kim Bwe yang paling tinggi kepandaiannya diantara mereka. Wanita ini mengertak gigi dan mainkan ilmu pedang Leng-San Kiam-Sut dengan mengerahkan tenaganya sehingga pedangnya mengeluarkan angin dan berbunyi berdesing-desing menyambar bayangan putih yang gesit itu. Akan tetapi, semua serangan ini disambut oleh Swan Hong dengan tenang dan tersenyum-senyum.

   "Twako (kakak), kau robohkanlah perempuan hina itu!"

   Tiba-tiba pemuda elok itu berseru gembira melihat betapa penolongnya benar-benar gagah dan berhasil merobohkan dua oran pengeroyok.

   "Apa? Perempuan ini?"

   Jawab Swan Hong sambil menangkis pedang Lee Kim Bwe yang menusuk tenggorokannya.

   "Ah... aku agak sungkan untuk merobohkan seorang wanita, biarlah kurampas saja pedangnya!"

   Setelah berkata demikian, goloknya mendesak hebat kepada Lee Kim Bwe sehingga wanita ini sibuk sekali menangkis. Akan tetapi, tangan kiri Swan Hong lalu bergerak dan dengan gerak tipu ilmu silat tangan kosong yang disebut Sian-Jin Siu-Kiam (Dewa Mencabut Pedang) yang luar biasa cepatnya,

   Ia berhasil merampas pedang Lee Kim Bwe! Sesungguhnya Lee Kim Bwe telah memiliki kepandaian tinggi dan tenaga lweekangnya juga sudah mencapai tingkat tinggi, akan tetapi jari-jari tangan kiri Swan Hong yang mencengkeram tangannya yang memegang pedang membuat tangannya menjadi gemetar dan kehilangan tenaga sehingga gagang pedang yang dipegangnya dengan mudah telah berpindah tangan! Berbareng dengan terampasnya pedang, seorang perwira lain telah kena dilukai pahanya oleh pedang rampasan itu. Melihat sepak-terjang Swan Hong yang hebat ini, gentarlah hati semua pengeroyok dan mereka tidak berani menyerang lagi, hanya menangkis serangan untuk menjaga diri. Sementara itu, pemuda elok tadi tiba-tiba teringat akan keadaan Ayahnya yang sedang sakit dan membutuhkan obat, maka ia lalu berseru.

   "Twako yang gagah, terima kasih atas pertolonganmu. Aku harus pulang membawa obat untuk Ayahku yang sakit!"

   Setelah berkata demikian pemuda itu lalu berlari keluar dari hutan itu.

   "He, tunggu dulu!"

   Seru Swan Hong yang segera meninggalkan semua lawannya dan berlari menyusul pemuda itu. Lee Kim Bwe dan para perwira tidak berani mengejar, karena mereka telah merasa jerih menghadapi pemuda baju putih yang lihai itu. Sambil membanting-banting kaki Lee Kim Bwe menyumpah-nyumpah, karena kembali ia telah dikalahkan dan dibikin malu oleh pendekar yang begitu muda, bahkan pedang mustikanya juga terampas dan terbawa pergi oleh Swan Hong yang agaknya lupa mengembalikan pedang itu! Terpaksa ia dan kawan-kawannya lalu menolong mereka yang terluka dalam pertempuran itu.

   "He, adik yang baik, tunggu dulu...!"

   Swan Hong berteriak-teriak sambil mengejar dan tak lama kemudian ia dapat menyusul pemuda elok itu yang berdiri memandangnya dengan tersenyum manis.

   "Twako, ada apakah kau mengejarku? Apakah ucapan terima kasihku tadi masih kurang cukup? Kalau perlu, aku mau berlutut untuk menyatakan terima kasih itu."

   Ditanya secara tiba-tiba ini, Swan Hong menjadi gugup.

   "Aku"

   Aku"

   Tidak bermaksud apa-apa..."

   "Kalau begitu, mengapa kau mengejar seperti hendak menagih hutang padaku?"

   Sepasang mata yang tajam dan bening itu memandang seakan-akan hendak menembus hatinya, sedangkan mulut yang manis itu tersenyum mengejek. Swan Hong makin bingung. Sesungguhnya ia memang tidak mempunyai keperluan apa-apa terhadap pemuda elok ini. Setelah beberapa kali menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, pemuda ini lalu berkata.

   "Sebetulnya aku... aku sejak tadi telah mencarimu, aku mendengar dari tukang warung bahwa ada seorang pemuda lewat di sini dan menuju ke hutan. Karena tempat ini amat sepi, aku menjadi tertarik dan ingin mempunyai kawan dalam perjalanan. Tidak tahunya aku bertemu dengan kau yang sedang dihina orang, maka... Maka setelah kita bertemu, mengapa kau pergi begitu saja? Aku... aku ingin berkenalan dengan kau, adik yang baik. Kau siapakah dan mengapa kau dikeroyok oleh penjahat-penjahat yang menjadi penjilat Kaisar tadi?"

   "Ah, aku memang seorang yang kurang penerima,"

   Jawab pemuda elok itu.

   "sehingga lupa memperkenalkan diriku yang rendah dan bodoh. Baiklah, in-kong (tuan penolong), aku adalah seorang she Bun, dan aku tinggal di sebelah timur pegunungan ini, di sebelah dusun yang disebut Keng-Sin-Chung. Ayahku sedang sakit berat dan obatnya hanya kembang rumput putih yang harus kucari di hutan ini. Nah, sudah jelakah sekarang?"

   Swan Hong mengangguk-angguk.

   "Sudah, sudah jelas, akan tetapi harap kau jangan menyebutkan tuan penolong. Aku lebih senang disebut Twako saja. Aku adalah Swan Hong, she Lie"

   "Aku sudah tahu dan sudah mendengar ketika kau tadi memperkenalkan diri kepada mereka."

   Memotong pemuda elok itu yang segera disambungnya.

   "Akan tetapi aku belum mendengar murid siapakah kau yang berilmu tinggi ini."

   "Suhuku adalah Lam Hwat Hwesio di Thai-Liang-San yang sudah meninggal dunia."

   Pemuda elok itu agaknya terkejut mendengar nama ini. Ia berpikir sebentar, lalu berkata,

   

Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini