Patung Dewi Kwan Im 4
Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
"Cin Hwa! Kau memang gagah, marilah keluar dari gua dan bertempur sampai seribu jurus dengan aku!"
Cin Hwa Sianli tidak takut dan menyusul keluar, di belakangnya menyusul pula Kim Hwa Sianli. Lian Eng merasa gembira melihat perkelahian itu dan diam-diam iapun keluar dari gua dan duduk di atas tanah yang tertutup salju sambil bersandar ke batu karang guanya. Begitu melihat lawannya telah datang menyusul segera Huo Mo-Li menyerang bertubi-tubi dengan Huo-Mo Kun-Hwat yang luar biasa gerakannya itu. Biarpun di tangan kanannya ada pedang mustika dan di tangan kirinya ada kebutan dan kedua senjata itu dapat dimainkan dengan lihai,
Namun menghadapi serangan-serangan Huo Mo-Li yang hebat, Cin Hwa Sianli terdesak juga! Lebih-lebih ketika setelah bertempur puluhan jurus ia berhasil menggunakan pedangnya menyabet pinggang Huo Mo-Li tapi terpental dan tidak mempan, hatinya menjadi gentar. Ia tidak sangka bahwa selain lihai ilmu silatnya, Setan Api Wanita itupun bertubuh kebal dan dapat menahan sabetan pedangnya! Padahal jelas tampak bahwa baju Huo Mo-Li di bagian pinggang telah robek karena sabetannya tadi. Ia mana tahu bahwa di sebelah dalam dari pakaian luarnya, Huo Mo-Li mengenakan baju wasiat yang terbuat dari pada serat yang diambil dari semacam rumput salju yang jarang terdapat. Huo Mo-Li sengaja memperlihatkan kesaktiannya untuk mengacaukan pikiran lawan. Benar saja, setelah melihat bahwa Huo Mo-Li tak dapat terluka oleh pedangnya,
Maka permainan silat Cin Hwa Sianli menjadi kendur dan pada suatu saat Huo Mo-Li berhasil kirim pukulan yang tepat mengenai pundak kanan pendeta wanita itu. Cin Hwa Sianli terlempar beberapa tombak jauhnya dan ia roboh tak berkutik lagi. Biarpun ia dapat menahan sakit dan sedikitpun tidak mengeluarkan keluhan, akan tetapi lukanya cukup hebat dan sambungan tulang pundaknya telah terlepas! Huo Mo-Li yang melihat bahwa lawannya biarpun terluka tapi tidak akan tewas, segera loncat maju hendak kirim pukulan kedua, tapi pada saat ia angkat tangannya, tiba-tiba ia merasa tangan itu sakit dan pada lengannya terasa panas, perih dan ngilu sekali! Ia turunkan tangannya dan melihat bahwa pada lengan bagian atas tangan itu telah mengucurkan darah. Ia tahu dirinya telah terkena serangan senjata rahasia, maka ia menghadapi Kim Hwa Sianli dengan marah.
"Bukan lakunya seorang gagah untuk menyerang dengan curang dan diam-diam!"
Teriaknya dan siap untuk menyerang. Kim Hwa Sianli menjura.
"Maaf, Toanio. Kepandaianmu sungguh hebat dan sumoiku bukan tandinganmu, juga pinni sendiri takkan dapat melawanmu. Tapi setelah kau menang, tak perlu kau turunkan tangan membunuh sumoiku. Itupun bukan lakunya seorang gagah. Aku menyerangmu dengan Kwan-Im-ciam hanya dengan maksud menolong jiwa sumoi yang hendak kau bunuh tadi."
Huo Mo-Li terkejut ketika tahu bahwa yang melukai lengannya adalah Kwan-Im-ciam, semacam jarum halus yang tentu saja karena runcing dan halusnya, dapat menembus lubang-lubang kecil di antara pakaian wasiatnya, dan ia tahu pula bahwa jarum itu dapat memasuki jalan darah dan berjalan perlahan dengan darah menuju ke jantung! Dan mendengar kata-kata Kim Hwa Sianli yang mencelanya karena hendak membunuh Cin Hwa Sianli, ia merasa bahwa kata-kata itu memang benar, maka ia hanya tundukkan muka. Kim Hwa Sianli tarik keluar
(Lanjut ke Jilid 04)
Patung Dewi Kwan Im (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
sebungkus obat dari kantung jubahnya dan berkata lagi.
"Toanio, kita tak pernah bermusuhan, maka mengapa harus saling bunuh? Adikku telah terluka olehmu, begitu pula murid kami, dan kau telah terluka oleh jarumku.
"Bukan pinni hendak katakan bahwa pinni lebih pandai darimu, Toanio. Tapi dengan kedua pihak telah terluka, maka kita telah saling bayar utang. Biarlah persoalan ini habis sampai di sini saja. Ini terimalah obat ini, jika kau campur obat ini dengan air dan tempelkan pada luka di lenganmu, pasti jarum itu akan dapat disedot keluar."
Huo Mo-Li biarpun mengaku bahwa Kim Hwa Sianli bicara benar, namun adatnya yang keras dan angkuh tak dapat ditaklukkan. Ia berkata dengan senyum pahit.
"Aku sudah salah tangan melukai muridmu dan sumoimu, kini kau melukai aku, apakah anehnya? Kalau sampai aku mati karena luka ini, apakah halangannya? Yang kusesalkan adalah kesembronoanmu dan murid-muridmu. Yang curi patungmu adalah Hwat Kong, tapi kalian kejar-kejar aku. Hm, sungguh tolol!"
Mendengar ini, Kim Hwa Sianli girang sekali.
"Oh, jadi Hwat Kong Tosu kah yang lakukan perbuatan itu? Terima kasih, terima kasih atas keteranganmu, Toanio. Nah, ini, pakailah obatku agar kau lekas sembuh dari pengaruh jarum itu!"
"Bawalah obatmu dan pergilah cepat! Kalau terlalu lama kau di sini, mungkin aku tak dapat menahan sabar lebih lama. Pergilah kau dan bawa sumoimu!"
Huo Mo-Li tidak mau terima obat itu bahkan mengusir. Kim Hwa Sian-li tidak menjawab lagi, lalu angkat sumoinya dan setelah menjura sekali lagi, ia berkelebat turun gunung sambil panggul tubuh sumoinya yang terluka. Setelah kedua pendeta wanita itu pergi, barulah Huo Mo-Li periksa luka di tangannya. Ternyata luka yang kecil sekali dan bekas tempat di mana jarum halus itu menerobos masuk ke dalam lengannya, terdapat tanda merah dan rasanya gatal dan panas. Ketika ia meraba-raba, ternyata jarum halus itu telah memasuki lengan tangannya dan berada di dekat tulang lengan! Ia tidak tahu bagaimana harus mencabut jarum itu, maka dengan nekat ia hendak membedah lengannya untuk ambil jarum yang berbahaya dari daging lengannya. Lian Eng lari menghampiri gurunya dengan khawatir. Dengan gerak tangan dan jari ia bertanya yang maksudnya begini.
"Bagaimanakah luka di lenganmu? Berbahayakah?"
Wajah gadis kecil itu tampak bingung.
"Jangan khawatir, muridku. Marilah kita masuk ke dalam gua dan aku akan coba keluarkan jarum terkutuk ini!"
Jawab gurunya. Tapi sebelum mereka memasuki gua, tiba-tiba dari lereng bukit terdengar suara kelenengan nyaring dan ketika mereka memandang, tampaklah seorang anak laki-laki berusia paling banyak tigabelas tahun mendaki puncak sambil memikul pikulan keranjang tukang obat.
Ternyata anak itu dapat panjat puncak Dewi Api dengan cepat dan kepandaiannya ringankan tubuh sudah mengagumkan. Huo Mo-Li heran melihat anak itu berani naik ke puncak, tapi ketika ia melihat seorang tua dengan kepala besar dan tubuh kecil jalan di belakang anak itu sambil memikul keranjang besar di mana dipasangi kelenengan yang berbunyi nyaring itu, tahulah ia bahwa anak kecil itu tentu pembantu atau murid tukang obat itu. Ia perhatikan tindakan kaki tukang obat itu yang walaupun tampaknya berjalan seenaknya namun cepat sekali telah bisa menaiki puncak. Maka tergeraklah hati Huo Mo-Li, lebih-lebih ketika orang tua kepala besar itu tujukan tindakannya ke arah guanya. Setelah orang tua aneh itu berada di depannya, dengan sikap sambil lalu ia berkata dengan suaranya yang besar dan dalam.
"Huo Mo-Li. mengapa berada di luar gua?"
Kaget juga hati Setan Api Wanita itu mendengar orang telah tahu julukannya. Sebelum ia menjawab, tampak wajah tukang obat itu terkejut dan memandangnya dengan tajam, lalu berkata lagi.
"Heran, heran! Huo Mo-Li sampai menderita luka!"
Makin heranlah Huo Mo-Li, maka ia segera bertanya tanpa banyak upacara lagi.
"Orang tua aneh, siapakah kau maka kenal namaku dan tahu bahwa aku menderita luka?"
"Aku tukang obat biasa dan kerjaku mengobati orang yang membutuhkan obat! Tentu saja aku kenal kau karena siapa lagi kalau bukan Huo Mo-Li yang berada di atas puncak ini? Tentang lukamu, aku bukanlah tukang obat kalau tidak mengetahui apakah orang yang kuhadapi itu sakit atau tidak!"
Huo Mo-Li teringat sesuatu. Orang ini aneh sekali dan agaknya memiliki kepandaian tinggi, tukang obat yang berilmu tinggi di dunia ini setahunya hanya seorang, yaitu Kiang Cu Liong yang disebut. Tukang Obat Dewa.
"Apakah kau setan obat she Kiang?"
Tanyanya dengan sengaja menyebut setan karena ia tidak mau mendewa-dewakan Kiang Cu Liong. Tukang obat yang berwajah aneh dan kepalanya yang besar itu tertawa bergelak mendengar pertanyaan ini.
"Aku memang Kiang Cu Liong! Huo Mo-Li kebetulan sekali aku datang pada saat kau menderita luka."
"Apa katamu? Kebetulan mengapa?"
Kiang Cu Liong tertawa lagi.
"Kebetulan sekali, karena aku dapat menolongmu dan mengeluarkan jarum itu dari lenganmu."
"Eh, bagaimana kau bisa tahu aku terluka oleh jarum?"
"Hem, Huo Mo-Li, jangan kau anggap tidak ada orang lain yang lebih pintar darimu. Aku tadi bertemu dengan ketua Kwan-Im-Kauw yang menggendong sumoinya. Siapa lagi kalau bukan dia yang sanggup lukai kau? Dan lukamu tentu karena jarumnya Kwan-Im-ciam."
Sebenarnya Kiang Cu Liong hanya melihat Kim Hwa Sianli menggendong adiknya turun dari puncak itu, dan ia tidak menemuinya, tapi karena ia memang cerdik, ia dapat menduga tepat sekali. Tapi ia tidak tahu akan watak Huo Mo-Li yang angkuh dan tidak sudi menerima pertolongan orang, maka alangkah herannya ketika Huo Mo-Li menjawab dengan wajah muram.
"Kiang Cu Liong, jangan kau anggap aku tidak bisa keluarkan jarum ini sendiri. Aku tidak pernah menerima pertolongan orang dengan cuma-cuma!"
Untuk sesaat tukang obat she Kiang itu berdiri bengong, tapi ia segera tertawa bergelak.
"Siapa ingin menolong orang dengan cuma-cuma? Dengar Huo Mo-Li, aku tadi bilang kebetulan karena kedatanganku ialah hendak minta pertolonganmu! Maka, sekarang kita bisa saling tolong hingga tidak ada di antara kita yang menerima pertolongan cuma-cuma!"
"Pertolongan apa?"
Huo Mo-Li bertanya dengan hati tertarik, karena kalau saling tolong itulah lain lagi soalnya.
"Aku membutuhkan beberapa potong mutiara salju yang hanya dapat diketemukan di atas puncak ini, yaitu cairan salju yang terpanggang oleh api kawah kemudian membeku lagi dan setelah beberapa tahun mencair dan membeku maka menjadi potongan karang putih keras yang disebut mutiara salju. Aku butuh beberapa potong untuk dipakai bahan obat semacam penyakit yang berbahaya. Berilah padaku beberapa potong mutiara salju itu dan aku akan bantu kau mengeluarkan jarum itu."
"Hm, kalau begitu, baiklah."
Huo Mo-Li lalu gulung lengan bajunya yang tadi ia turunkan kembali melihat ada orang datang. Kiang Cu Liong lalu keluarkan sepotong besi yang bentuknya melengkung seperti besi kaki kuda dan ternyata besi itu mengandung kekuatan sembrani yang kuat sekali. Ia tempelkan besi itu di atas luka di lengan Huo Mo-Li, lalu gunakan jari tangannya mengetuk-ngetuk ke arah belakang jarum yang mengeram dalam lengan itu. Tak lama kemudian, setelah jarum yang di dalam lengan itu terdorong oleh ketukannya dan disedot oleh besi sembrani, ia lepaskan besi itu dan ternyata jarum itu telah tampak keluar sedikit dari kulit Huo Mo-Li! Dengan mudah saja kakek kepala besar itu mencabut jarum Kwan-Im-ciam dan tertawa senang. Ia lalu simpan jarum itu ke dalam kotak obatnya. Kemudian ia gunakan obat untuk dipoleskan di bekas luka itu hingga Huo Mo-Li merasa lengannya dingin dan enak.
"Nah, ayoh kau kuantar mengambil mutiara salju yang kau butuhkan itu,"
Kata Huo Mo-Li kemudian, dan mereka berdua lalu tinggalkan tempat itu dan berpesan kepada murid masing-masing untuk menanti sebentar. Pemuda kecil yang tadi datang bersama Kiang Cu Liong adalah pemuda yang sangat cakap. Kulit mukanya putih bersih, bibirnya merah dan matanya sangat tajam dan jujur sinar matanya. Daun telinganya lebar hingga ia tampak tampan dan gagah. Setelah melihat gurunya pergi dengan Huo Mo-Li, ia mendekati Lian Eng yang masih berdiri di situ. Ia berdiri di depan gadis cilik itu sambil memandang tajam, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Kemudian ia menggerakkan jari telunjuknya ke arah dadanya sendiri dan membungkuk lalu menggunakan jari telunjuk menulis di atas salju yang berbunyi.
"Namaku Tiong Li."
Melihat bahwa pemuda itu tahu bahwa ia tidak bisa bicara, maka Lian Eng menjadi girang. Dulu ia pernah diajar menulis oleh kakeknya dan tahu pula arti tiap huruf yang tidak begitu sukar. Maka iapun segera menulis namanya sendiri di atas salju. Dengan menggerakkan jari-jari tangan, Tiong Li menceritakan kepada Lian Eng bahwa semenjak kecil ia ikut suhunya merantau dan ketika Lian Eng bertanya kepadanya ia belajar apa, Tiong Li menjawab bahwa ia diajar memilih daun-daun dan akar obat, diajar pula cara mengobati. Melihat gerakan yang menceritakan hal ini, Lian Eng tersenyum manis dan tiba-tiba ia menunjuk ke atas.
Beberapa ekor burung terbang rendah di atas mereka. Lian Eng segera mengumpulkan tenaganya dan dengan pukulan Huo-mo-kang is menjatuhkan seekor burung. Burung itu masih hidup tapi dadanya terpukul angin pukulan itu hingga menjadi biru dan ia pukul-pukulkan sayapnya kesakitan. Lian Eng lalu ambil burung itu dan diberikan kepada Tiong Li dan minta pemuda itu coba mengobati luka burung yang terpukul tadi! Tiong Li tadinya terkejut sekali melihat kehebatan ilmu pukulan gadis gagu itu, tapi kini ia mengerti maksudnya, ialah gadis itu hendak menguji kepandaiannya memberi obat. Dengan segera ia periksa dada burung tadi dan jidatnya yang lebar dan putih halus itu berkerut ketika ia melihat betapa dada itu matang biru oleh angin pukulan Lian Eng. Ia cepat mengambil selembar daun obat dari keranjangnya lalu meremas-remasnya dalam tangan kiri.
Setelah ia meremas sedikit salju ke dalam tangan kanannya, ia lalu mencampur hancuran daun itu dengan salju, lalu memupukkan ramuan obat itu di dada burung tadi sambil mengurut-urut tubuh burung dengan jari-jari tangannya yang cekatan dan halus. Aneh sekali, tak lama kemudian burung itu tampak segar kembali dan ketika Tiong Li melempar burung itu ke atas, maka binatang itu sambil cecowetan dapat terbang kembali! Lian Eng berjingkrak memuji, ia senang sekali melihat kepandaian Tiong Li. Tapi pemuda kecil itu dengan gerakan tangannya mencela perbuatan Lian Eng yang dianggap kejam telah melukai burung tadi. Lian Eng tidak senang melihat celaan ini dan ia menunjuk ke atas sambil menantang kepada Tiong Li untuk menangkap seekor burung yang sedang terbang. Pemuda itu tersenyum dan berkata kepada diri sendiri.
"Hm, kau kira hanya kau saja yang pandai menangkap burung?"
Ia tadinya menyangka bahwa gadis itu adalah gagu dan tuli, tapi ia tidak tahu sama sekali bahwa Lian Eng hanya gagu saja dan dapat mendengar baik, bahkan dapat mengerti kata-kata biasa. Mendengar pemuda itu berkata demikian, Lian Eng menjadi makin penasaran dan mendesak pemuda itu memperlihatkan kepandaiannya. Tiong Li menjadi heran dan bertanya,
"Kau mengerti dan dapat mendengar kata-kataku?"
Lian Eng mengangguk. Tiong Li menjadi tertarik sekali dan mendekati gadis itu.
"Coba kau buka mulutmu agar kulihat!"
Bukan main marahnya Lian Eng ketika pemuda itu menyuruhnya membuka mulut. Disangkanya pemuda itu hendak memperolok-oloknya, maka ia loncat mundur sambil memandang marah.
"Jangan kau salah sangka. Aku hendak melihat tenggorokanmu dan mengetahui apakah yang menyebabkan kau tidak bisa bicara. Aku tidak bermaksud buruk!"
Mendengar ini, lenyaplah kemarahan Lian Eng, tapi sebaliknya ia menjadi malu.
Mukanya merah dan ia tetap tidak mau membuka mulutnya untuk diperlihatkan kepada pemuda itu! Segera ia mendesak kembali kepada Tiong Li untuk menangkap burung karena ia hendak saksikan apakah selain pandai mengobati, pemuda itupun mempunyai kepandaian lain pula. Tiong Li segera pungut salju lembek dan berdongak memandang ke arah burung-burung yang sedang terbang. Ia menuding ke arah burung yang terbang paling tinggi, lalu ia ayun tangan melempar salju lembek yang dikepal itu ke atas. Benar saja, kepalan salju lembek itu tepat menempel ke sayap burung hingga burung itu tak dapat terbang lagi lalu jatuh terputar-putar ke bawah! Tiong Li pungut burung itu dan memperlihatkannya kepada Lian Eng untuk membuktikan bahwa burung itu sama sekali tidak menderita luka.
Kemudian ia lepaskan salju itu dan burung itu terbang kembali ke udara. Lian Eng girang sekali melihat kepandaian ini maka ia segera meniru-niru. Untuk dapat melempar salju lembek itu demikian keras, dibutuhkan tenaga lwee-kang yang tinggi. Tapi dalam hal ilmu lwee-kang, Lian Eng tak usah kalah oleh Tiong Li, maka sebentar saja ia pun sudah dapat menembak jatuh seekor burung. Kalau ia bisa bersuara, Lian Eng tentu bersorak karena girang dan gembira. Tapi karena ia gagu, ia hanya bisa berloncat-loncatan dengan muka berseri-seri! Tiong Li juga ikut berloncatan-loncatan girang hingga mereka sambil berpegang tangan menari-nari di atas salju. Pada saat itu dari puncak turun Huo Mo-Li dan Kiang Cu Liong. Kedua guru ini melihat murid mereka demikian gembira dan dapat bergaul baik, ikut pula gembira. Huo Mo-Li berkata,
"Muridmu tidak tercela!"
"Tapi muridmu tidak kalah hebat,"
Jawab Kiang Cu Liong. Kemudian Kiang Cu Liong bertanya mengapa Huo Mo-Li sampai dapat bertempur dengan ketua Kwan-Im-Pai. Huo Mo-Li lalu ceritakan tentang patung Dewi Kwan-Im yang lenyap dicuri orang dan bahwa ketua Kwan-Im-Pai menuduh dia yang mencurinya. Mendengar ini Kiang Cu Liong merasa kecewa sekali, tapi kemudian ia tertawa bergelak-gelak ketika Huo Mo-Li bercerita bahwa Setan Api Wanita itu bersama Beng Beng Hoatsu dan Hwat Kong Tosu membuat perlombaan, untuk mencuri atau memiliki patung yang hilang itu dalam sepuluh tahun.
"Huo Mo-Li, ketahuilah. Sebenarnya aku sendiri dari sini hendak pergi ke Kwan-Im-Bio dan hendak pinjam patung itu sebentar, baik dengan secara berterang maupun dengan jalan mencurinya sebentar untuk kemudian dikembalikan lagi."
Huo Mo-Li memandangnya heran.
"Kau juga ingin memiliki patung itu? Untuk apakah emas dan mutiara itu bagimu?"
"Jangan salah sangka. Aku tidak ingin emas maupun permata. Yang kuingin ialah sebuah benda yang tersembunyi di dalam patung itu. Dulu ketika patung itu dibuat, seorang ahli obat dari barat yang berilmu tinggi telah menyimpan beberapa jinsom yang jarang terdapat dan yang mujijat khasiatnya di dalam patung itu.
"Jinsom itu adalah simpanan dalam istana Raja Mongol dan ketika beberapa orang asing datang hendak merampas jinsom itu, maka oleh orang berilmu itu lalu disimpan di dalam patung emas Kwan-Im Pouwsat. Maka karena kalian bertiga telah berlomba, anggaplah aku sebagai orang keempat yang mengikuti perlombaan ini! Kalian hendak rebut patung itu hanya untuk main-main belaka, tapi aku lain lagi.
"Kalau tidak salah, selain jinsom yang kusebutkan tadi, di situ tersimpan pula buku ilmu obat-obatan dari orang berilmu itu. Sayang bahwa patung itu telah dicuri orang hingga agak sukarlah bagi kita untuk mencarinya."
"Menuruti ketua Kwan-Im-Kauw, yang mencuri patung itu memberi tahu bahwa jika orang hendak mendapatkan kembali patung Dewi Kwan-Im, maka harus dicari ke atas pegunungan ini. Heran, siapakah orangnya yang begitu kurang ajar?"
Huo Mo-Li berkata gemas. Kiang Cu Liong putar-putar otak dalam kepalanya yang besar itu, tapi ia juga tak dapat menerka siapa.
"Tentu orang itu seorang yang berkepandaian tinggi dan seorang yang suka main-main atau memang berwatak curang. Kalau mau mencari orang palsu dan curang dan berkepandaian tinggi, di dunia ini selain Tok-Kak-Coa si Ular Tanduk Beracun, siapa lagi!"
"Apa? Kau maksudkan si iblis dari timur itu?"
Tanya Huo Mo-Li dengan kaget karena iapun pernah mendengar Tok-Kak-Coa sebagai seorang yang sangat jahat dan sangat lihai di daerah timur.
"Mungkin dia, siapa tahu? Baiklah kita mencari jalan kita masing-masing. Kemudian tukang obat dewa itu menghampiri muridnya."
"Tiong Li,"
Katanya lalu menunjuk ke arah Lian Eng.
"Ingatlah, di kelak kemudian hari gadis cilik ini akan menjadi pendekar wanita yang jarang tandingannya."
"Tapi kasihan sekali, suhu, dia menderita sakit gagu. Bukankah suhu dapat menolongnya? Karena ia tidak tuli, suhu, dia bisa mendengar dengan baik!"
Suara Tiong Li memohon kepada gurunya itu terdengar oleh Lian Eng hingga gadis itu menundukkan kepada dengan terharu. Tapi Kiang Cu Liong berkata.
"Tak usah kau ceritakan, akupun sudah tahu bahwa ia menderita sakit tenggorokan dan membuatnya tak bisa bicara. Tapi, aku tak berdaya. Kalau ia sudah mencapai usia duapuluh tahun, barangkali baru aku dapat menolongnya, kecuali jika obat ajaib yang kucari itu dapat ditemukan. Obat itu dapat menyembuhkan segala penyakit!"
Kemudian si Tabib Dewa itu mengajak muridnya turun gunung dengan cepat setelah berkata kepada Huo Mo-Li,
"Selamat berpisah dan sampai berjumpa pula!"
Huo Mo-Li berkata kepada Lian Eng,
"Muridku, mereka itu adalah orang-orang baik, ingatlah ini! Mungkin di kemudian hari kau masih harus berurusan dengan mereka. Juga kepandaian mereka itu tidak berada di bawah kita."
Lian Eng mengerti maksud gurunya dan semenjak itu ia mempelajari ilmu silat dengan lebih rajin lagi. Hwat Kong Tosu, kakek pertapa yang tinggi kurus dan berilmu tinggi setelah membawa muridnya, Souw Cin Ok, kembali ke Hong-Lun-San, lalu ia berpesan kepada Souw Cin Ok untuk menjaga tempat pertapaannya dan ia sendiri lalu turun gunung untuk mulai dengan perantauannya mencari patung Dewi Kwan-Im yang tercuri itu, sekalian mencari seorang murid yang cocok dan yang berbakat baik. Tapi, tidak mudah baginya untuk mencari murid yang sebaik Siauw Ma atau Lian Eng, dan lebih tidak mudah lagi baginya untuk mencari patung yang hilang itu karena ia tidak tahu siapa yang mencurinya.
Dengan menubruk sana-sini seperti laku seorang buta, Hwat Kong Tosu mendatangi segala maling dan perampok yang terkenal lihai dan menggunakam kepandaiannya untuk menangkap mereka itu lalu dipaksa mengaku, kalau-kalau mereka itu yang mencuri patung. Tapi tak seorangpun di antara para maling dan perampok cabang atas itu mencuri patung Dewi Kwan-Im hingga Hwat Kong Tosu merasa bosan sendiri. Sebaliknya, sepak terjangnya itu menggegerkan kalangan liok-lim karena belum pernah para tokoh persilatan itu mendengar nama Hwat Kong Tosu dan tahu-tahu kakek pertapa yang luar biasa itu turun gunung mengaduk-aduk dan mengacaukan kalangan kang-ouw tanpa pilih bulu. Tapi apakah yang dapat mereka lakukan terhadap orang tua yang kosen dan lihai itu? Banyak jagoan-jagoan yang tadinya merasa diri lihai dan belum pernah terkalahkan, ternyata merupakan anak-anak kecil yang tak berdaya jika berhadapan dengan Hwat Kong Tosu!
Pada suatu hari, Hwat Kong Tosu ke luar dari sebuah hutan di mana tinggal seorang perampok besar yang baru saja ia datangi dan ia paksa untuk memberi keterangan perihal patung itu hingga terjadi pertempuran di situ. Tapi sebagaimana biasa, perampok itu dan semua anak buahnya dibikin jatuh bangun dan tak perdaya sama sekali menghadapi Hwat Kong Tosu hingga mereka menyerah. Tapi sekali lagi Hwat Kong Tosu kecewa karena dari situpun ia tak mendapat keterangan apa-apa. Maka dengan hati kesal ia keluar dari hutan dan menuju ke sebuah kota yang ramai, ialah kota Bun-an-kwan. Ia masuk ke dalam sebuah kedai dan pesan arak seguci besar. Melihat seorang berpakaian tosu menghadapi guci arak besar seorang diri dan minum arak dari mulut guci begitu saja, orang-orang menjadi heran, tapi karena mereka dapat menduga bahwa tosu itu tentu bukan orang sembarangan, mereka tidak berani mengganggu.
Hwat Kong Tosu sebenarnya bukan orang peminum arak, tapi karena sudah berbulan-bulan ia merantau tanpa hasil apa-apa, murid tak dapat, patungpun tak dapat, ia hendak hibur hatinya yang kesal dengan arak wangi. Tiba-tiba seorang anak perempuan muncul dari dalam. Ia adalah puteri seorang pembesar yang kebetulan lewat di kota itu dan bermalam di rumah penginapan yang menjadi satu dengan kedai arak itu. Anak perempuan ini wajahnya manis dan sikapnya gembira. Sepasang matanya yang jeli memandang bebas dan berani kepada segala apa yang tampak. Melihat seorang kakek tinggi kurus dengan jenggot putih panjang sampai ke perut duduk seorang diri dan minum arak dari mulut guci besar, ia menjadi heran dan mendekati. Jenggot yang panjang dan putih itu mengherankan anak itu, maka tak heran pula ia berkata,
"Kakek, jenggotmu bagus sekali!"
Hwat Kong Tosu tunda minumnya dan pandang anak perempuan itu lalu tertawa gembira.
"Ha, ha, ha, ha!"
Tapi kemudian ia tenggak lagi mulut gucinya.
"Kakek tua, kau mabok!"
Anak itu berkata lagi dan memandang Hwat Kong Tosu dengan tersenyum geli. Hwat Kong Tosu turunkan gucinya yang hampir kosong itu di atas lantai, lalu ia pandang anak perempuan itu dan menjawab dengan suara sungguh-sungguh,
"Betul, kau betul, nak. Aku memang mabok, mabok sekali. Aku telah terlalu kenyang akan kekotoran dunia sampai menjadi mabok!"
Anak perempuan itu memandang bingung karena ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan kata-kata orang tua aneh itu. Seorang perempuan yang berpakaian pelayan keluar dari dalam dan memanggilnya.
"Ang-Siocia, ibumu mencari-carimu."
Pemudi kecil itupun segera lari masuk ke dalam, tinggalkan Hwat Kong Tosu yang segera tenggak araknya lagi. Tiba-tiba dari luar masuk seorang pertapa lain yang usianya juga sudah sangat tua, barangkali tidak kurang dari tujuhpuluh lima tahun. Pertapa ini rambutnya diikat ke atas dan pakaiannya yang bersih itu tersulam setangkai kembang teratai di bagian dada.
"Pantas saja kau mabuk kekotoran dunia karena kau suka usilan dan ganggu orang, Toyu!"
Pertapa yang baru datang itu tegur Hwat Kong Tosu. Hwat Kong Tosu turunkan gucinya yang kini telah kosong sama sekali dan pandang pertapa itu dengan heran. Ia tahu bahwa orang tua ini adalah pemimpin Kwan-Im-Pai karena ia kenal dari sulaman teratai di dadanya, dan ia tahu pula bahwa imam Kwan-Im-Pai ini tentu berilmu tinggi, tandanya ia tadi telah mendengar ucapannya biarpun belum sampai ke situ! Maka ia lalu berdiri dari tempat duduknya dan menjura.
"Apakah sahabat dari Kwan-Im-Kauw yang mulia hendak memberi petunjuk sesuatu kepada pinto?"
"Hwat Kong Tosu, ternyata kau bermata tajam. Kalau kau tahu bahwa pinceng datang dari Kwan-Im-Kauw, kau tentu tahu pula siapakah pinceng ini."
Hwat Kong Tosu memandang sejenak, lalu dongakkan mukanya ke atas dan tertawa keras.
"Ha, ha! Tidak tahunya orang nomor tiga dari Kwan-Im-Pai, sungguh beruntung sekali aku yang tua dan pikun hari ini dapat bertemu dengan Kim Bok Sianjin!"
Pertapa itu yang memang bukan lain adalah ketua ketiga dari Kwan-Im-Kauw yaitu Kim Bok Sianjin, juga tertawa menyeramkan.
"Kalau kau sudah tahu siapa aku, tentu tahu pula mengapa hari ini aku datang mencarimu, sahabat baik!"
Katanya. Hwat Kong Tosu memandang ke atas dan dengan mata berseri ia menjawab,
"Kalau tidak salah, tentu gara-gara patung yang hilang itu, bukan?"
"Ha, ha, ha! Kau jujur dan mudah diajak urusan, Toyu. Biarlah lain kali saja pinceng menghaturkan terima kasih dan penghormatan dengan mengunjungi tempat tinggalmu.
"Sekarang karena pinceng banyak urusan yang harus diselesaikan, maka mohon kau sahabat baik berlaku murah hati. Keluarkan barang itu dan berikan pada pinceng, tentu pinceng akan segera pergi dan tidak akan mengganggu pula."
Hwat Kong Tosu mendengar ini lalu menghela napas dan jatuhkan diri di atas kursi lagi, kemudian tanpa menjawab permintaan Kim Bok Sianjin ia panggil pelayan dengan suara keras. Pelayan yang memang tidak berada jauh dari situ lalu datang berlari dengan muka takut-takut.
"Ambilkan arak seguci lagi!"
Perintah Hwat Kong Tosu kepada pelayan itu. Pelayan memandangnya dengan mata terbelalak. Selama hidupnya belum pernah ia melihat, bahkan mendengarpun belum, seorang dapat menghabiskan seguci arak seorang diri. Apa lagi kalau orang itu kini minta tambah seguci lagi! Selain heran, iapun khawatir, karena seguci saja harganya sudah puluhan tail, apa lagi kalau dua guci besar. Melihat keraguan pelayan itu, Hwat Kong Tosu rogoh saku bajunya yang lebar dan longgar, dan keluarkan sepotong emas kuning yang beratnya lima tail! Ia berikan emas itu kepada si pelayan yang menerimanya dengan tambah heran, lalu ia timang-timang dan periksa dengan teliti potongan emas itu takut kalau palsu.
"Emas tulen, jangan kau main lambat-lambatan. Hayo ambil arakku seguci!"
Hwat Kong Tosu membentak hingga pelayan itu terkejut dan lari terbirit-birit hingga pertapa tua tinggi kurus itu tertawa bergelak-gelak. Kim Bok Sianjin melihat bahwa Hwat Kong Tosu tidak memperdulikannya, menjadi tak senang lalu berkata lagi.
"Hwat Kong Toyu, bagaimanakah jawabanmu?"
Hwat Kong menghela napas lagi.
"Mengapa begitu tergesa-gesa, kawan? Mari, duduklah dahulu!"
Dan ia sahut sebuah bangku kayu dan lempar bangku itu ke depan Kim Bok Sianjin. Aneh bangku itu biarpun hanya terbuat dari pada kayu biasa, namun ketika jatuh di atas lantai yang keras ia segera tertancap sampai setengah lebih! Kim Bok Sianjin pandang bangku itu dan tertawa ha-ha-hi-hi, lalu sambil berkata,
Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terima kasih, Toyu, kau baik sekali!"
Ia gunakan telapak tangan menepuk bangku dan ketika ia angkat telapak tangannya, ternyata bangku itu telah menempel dan tercabut ke atas dan tergantung di bawah telapak tangannya seakan-akan tertempel erat! Kemudian ia turunkan bangku itu dan duduk dengan tenang. Hwat Kong Tosu melihat demonstrasi kekuatan lwee-kang yang lihai ini dengan tersenyum karena ia tahu bahwa tenaga lwee-kang Kim Bok Sianjin sungguh tidak berada di bawah tenaganya sendiri. Sementara itu datang tiga orang dari dalam dan mereka itu dengan susah payah menggotong seguci besar arak. Dua orang memikul dan seorang bantu menggotong!
"Bagus, bagus!"
Kata Hwat Kong Tosu setelah orang-orang itu turunkan guci arak di depannya, lalu dengan tangan kiri ia memegang bibir guci dan menyentak ke atas. Guci itu seperti terangkat oleh tangan yang tidak tampak, melayang ke atas dan ketika Hwat Kong Tosu lonjorkan telapak tangan yang terbuka di bawah guci, maka guci itu terletak di atas tangannya dengan tak tergoyang sedikitpun!
"Kim Bok Sianjin! Sebelum kita berurusan, marilah kau temani aku minum dulu,"
Katanya dan dengan perlahan ia lemparkan guci arak yang besar itu ke arah Kim Bok Sianjin. Tapi tokoh ketiga dari Kwan-Im-Pai ini dengan senyum sindir terima guci itu dengan tangannya, guci itu tertolak kembali dengan cepat ke arah Hwat Kong Tosu, diikuti jawabannya.
"Maaf, kami dari Kwan-Im-Kauw dilarang karma minum arak!"
Hwat Kong Tosu tertawa bergelak-gelak dan entah kapan mengambilnya, tapi tahu-tahu tongkat bututnya telah berada di tangan kanan dan kini ia gunakan tongkat itu untuk menyambut guci arak yang terlempar cepat ke arah kepalanya. Ujung tongkatnya menempel di bawah guci dan sekali ia gerakkan tangannya maka guci yang penuh arak itu terputar-putar di atas ujung tongkatnya! Para pelayan kedai arak dan para tamu yang kebetulan minum di ruang itu, memandang adu tenaga yang luar biasa ini dengan terheran-heran dan kesima. Kini melihat betapa Hwat Kong Tosu dengan tongkat dapat permainkan guci yang berat itu bagaikan seorang main-main dengan guci kecil yang ringan, maka mau tak mau mereka berteriak memuji. Hwat Kong Tosu memandang kepada mereka yang memuji itu dengan tersenyum, lalu ia turunkan tongkatnya hingga guci arak itu terletak di atas tanah dengan tidak tumpah sedikitpun araknya. Ia lalu berkata kepada orang-orang itu.
"Pinto telah bosan minum, nah, sekarang kalian minumlah arak ini karena tamuku tidak mau minum pula."
Lalu ia berkata kepada pelayan.
"Hai, pelayan! Kalau uangku lebih, maka lebihnya itu simpanlah saja untuk bayar makanan yang kau berikan kepada mereka yang datang makan tapi tak kuat membayar!"
Kemudian ia berkata kepada Kim Bok Sianjin,
"Aku memang makin tua makin sial. Kini ditambah kesialan lagi karena tahu-tahu kau datang menuduh aku mencuri patung!"
"Hwat Kong Toyu, siapa yang menuduh? Kalau tidak ada orang yang memberitahu, mana pinceng berani menuduh buta tuli padamu?"
"Eh, eh, ada pula yang memberi tahu? Siapakah dia?"
"Yang memberi tahu kami ialah Huo Mo-Li!"
Tiba-tiba Hwat Kong Tosu berdongak ke atas dan tertawa keras, hingga suara ketawanya yang bergelak-gelak itu menggema di semua ruang kedai arak itu.
"Ha, ha, ha!"
Hwat Kong Tosu tertawa terus sampai kedua matanya mengeluarkan air mata yang turun berbutir-butir dan besar-besar.
"Kau kena dibohongi setan api itu! Yang mencuri bukan aku, tapi si malas Beng Beng Hoatsu! Ha, ha, ha!"
"Beng Beng Hoatsu? Ah, pinceng tidak percaya!"
Kim Bok Sianjin ragu-ragu sambil memandang tajam.
"Kau percaya Huo Mo-Li, mengapa tidak percaya padaku."
"Huo Mo-Li ketika berkata kepada kedua suciku, tidak dalam keadaan mabok, sebaliknya kau baru saja minum seguci arak. Kalau kau tidak bohong, bersumpahlah!"
Hwat Kong Tosu tertawa lagi.
"Kau seperti anak kecil saja, orang setua aku disuruh bersumpah. Aku tidak biasa bersumpah. Bicaraku benar atau bohong adalah urusanku sendiri, orang boleh percaya atau tidak, masa bodoh!"
"Kalau kau benar-benar tidak mengambil, tentu kau berani bersumpah. Tapi kalau kau yang mengambil dan tidak mau mengaku berarti kau takut padaku!"
Mendengar kata-kata ini, Hwat Kong Tosu bangun berdiri dan memandang wajah Kim Biok Sianjin dengan sungguh-sungguh.
"Kim Bok Toyu, jangan kau bicara seenakmu saja."
"Biarlah, karena patung itu penting sekali bagi kami. Baik dengan halus maupun dengan kasar, aku harus minta kembali patung itu darimu."
"Eh, eh, agaknya kau sengaja mau menguji tongkatku yang butut ini?"
Kata Hwat Kong Tosu, lalu dengan menyeret tongkatnya ia berjalan terseok-seok ke arah luar kedai yang lega. Kim Bok Sianjin mengikutinya dengan tenang sambil berkata.
"Kalau perlu, biarlah aku merasai kelihaian Ouw-coa-koai-tung yang terkenal darimu."
Hwat Kong Tosu memalangkan tongkatnya yang lapuk dan kecil di depan dada lalu berkata,
"Baik, baik... Memang akupun ingin mencoba kelihaian Kwam-im-pai dengan kiam-sutnya yang lihai."
Kim Bok Sianjin lalu cabut pedangnya dan tanpa sungkan-sungkan lagi ia loncat menerjang. Hwat Kong Tosu gerakkan tongkatnya dan sebentar saja mereka bertempur dengan hebat sekali. Orang-orang yang semenjak tadi mendengar dan melihat mereka bercekcok, kini menjadi ketakutan. Ada juga beberapa orang yang tabah melihat pertempuran hebat itu dari tempat aman. Beberapa orang mendekat, tapi segera mundur lagi dengan kaget dan terkejut ketika mereka merasa sambaran angin pedang dan tongkat merobek pakaian mereka!
Biarpun ilmu pedang Kim Bok Sianjin sangat lihai, tapi mana ia dapat melawan gerakan Ouw-coa-koai-tung-hwat yang luar biasa dan tak terduga gerakannya itu. Mereka bertempur puluhan jurus dengan cepatnya hingga tubuh mereka tertutup sinar pedang dan tongkat, tapi perlahan-lahan Kim Bok Sianjin mulai terdesak dan terkurung sinar tongkat hingga ia hanya berada di pihak mempertahankan diri saja tanpa mampu balas menyerang lagi. Hwat Kong Tosu memang seorang tua yang berwatak jenaka, hingga ia mempermainkan Kim Bok Sianjin. Kalau ia mau, maka sejak tadi ia sudah dapat robohkan lawannya, atau sedikitnya membuat pedang lawan terpental, tapi ia sengaja permainkan lawan dengan mengurungnya makin hebat.
Pada saat itu, dari dalam keluarlah anak perempuan yang manis dan yang tadi menegur Hwat Kong Tosu. Melihat ramai-ramai itu, anak perempuan tadi segera lari keluar dan melihat. Dengan beraninya ia mendekati kedua kakek yang sedang bertempur itu. Hal ini ternyata menolong Kim Bok Sianjin karena kedua orang tua itu cukup berhati mulia untuk tidak mencelakakan seorang anak perempuan. Mereka perlambat gerakan senjata mereka dan kurangi tenaga hingga angin pukulan tidak akan mencelakakan anak perempuan itu. Kini anak itu dapat melihat tubuh kedua kakek itu yang berloncat-loncatan ke sana ke mari sambil gerak-gerakkan pedang dan tongkat. Kim Bok Sianjin yang merasa kalah segera ambil kesempatan itu untuk loncat mundur, sedangkan anak perempuan itu bersorak-sorak gembira.
"Kakek, kau pandai sekali menari!"
Katanya kepada Hwat Kong Tosu. Hwat Kong Tosu tertawa girang.
"Dia lebih pandai dariku,"
Katanya sambil menunjuk ke arah Kim Bok Sianjin hingga pertapa itu merasa tersindir lalu berkata dengan muka merah dan suara sungguh-sungguh.
"Hwat Kong Tosu! Jangan kau permainkan aku. Betul-betulkah kau tidak ambil patung kami?"
"Ah, kau sungguh menjemukan!"
Hwat Kong Tosu bersungut-sungut.
"Biarlah aku bersumpah agar kau puas. Aku tidak ambil patung itu."
"Itu bukan bersumpah namanya,"
Kim Bok Sianjin mencela.
"Kakek jenggot panjang! Apakah kau mencuri? Ah, kalau begitu kau jahat!"
Anak perempuan itu memandangnya dengan benci dan takut. Hwat Kong Tosu buru-buru menjawab,
"Tidak, anak, sungguh aku tidak pernah mencuri."
"Kalau begitu, kenapa tidak berani bersumpah?"
Anak itu bertanya. Hwat Kong Tosu memandang ke arah Kim Bok Sianjin deagan mata melotot.
"Baiklah, biar aku bersumpah, kalau aku ambil patung itu, biar aku tidak selamat! Tapi sumpahku ini tidak berlaku untuk perbuatanku yang belum kulakukan, ingat!"
Kim Bok Sianjin tampak puas.
"Dan benarkah Beng Beng Hoatsu yang mencurinya?"
"Untuk hal ini aku tak sudi bersumpah. Betul atau tidaknya kau selidikilah sendiri, itu urusanmu!"
Setelah menjura, Kim Bok Sianjin lalu tinggalkan tempat itu. Hwat Kong Tosu pandang anak perempuan itu dengan wajah berseri.
"Kakek, aku girang, kau bukan pencuri. Kau pandai sekali menari tongkat!"
"Anak baik, maukah kau belajar menari tongkat dari aku?"
Anak itu berseru girang,
"Mau...! Mau...!"
"Kalau kau mau, hayo berlutut dulu dan angkat aku menjadi suhumu."
Anak perempuan itu segera jatuhkan diri berlutut dan menyebut "Suhu!"
Dengan suaranya yang nyaring dan merdu. Hwat Kong Tosu tertawa bergelak-gelak karena girangnya. Pada saat itu dari dalam lari keluar beberapa orang, di antaranya seorang berpakaian seperti orang berpangkat yang berseru,
"Hong Cu! Ke sini kau!"
Orang berpangkat itu adalah ayah anak perempuan itu dan yang lain-lain adalah pegawai dan pelayannya. Ang Hong Cu, anak perempuan itu, mendengar panggilan ayahnya, lalu berdiri dan hendak menghampiri, tapi pada saat itu tiba-tiba ia terbetot ke atas oleh Hwat Kong Tosu, dan sekali gerakkan tangannya, pertapa tua itu telah loncat ke atas dan lenyap di atas genteng sambil pondong muridnya! Semua orang berteriak-teriak, tapi tiba-tiba dari atas genteng terdengar suara Hwat Kong Tosu.
"Tai-jin jangan kaget dan cemas, puterimu berbakat menjadi muridku. Sepuluh tahun kemudian ia pasti kembali dan menjadi seorang yang berguna!"
Kemudian sunyi senyap dan ketika beberapa pengawal yang pandai loncat tinggi mengejar ke atas genteng, pertapa itu dan muridnya telah lenyap! Kedua orang tua Ang Hong Cu dan para pelayan hanya bisa menangis sedih, tapi akhirnya ayah Hong Cu dapat menetapkan hati dan melarang orang-orang menangis.
"Pertapa itu bukanlah sembarang orang. Ia seorang berilmu tinggi. Kurasa Hong Cu memang berjodoh untuk menjadi murid seorang berilmu tinggi. Biarlah kita bersembahyang saja siang malam kepada Thian agar Hong Cu mendapat berkah keselamatan,"
Demikian katanya kepada isterinya.
Hwat Kong Tosu ajak muridnya merantau dan mulailah ia menggembleng muridnya itu dengan pelajaran-pelajaran silat tinggi. Biarpun belum pernah mempelajari ilmu silat, namun Hong Cu benar-benar berbakat dan otaknya tajam sekali, hingga suhunya menjadi sangat girang. Memang lebih baik mengajar seorang murid yang belum mengerti apa-apa dalam hal ilmu silat hingga sebagai buku masih kosong dan dapat dilukisi apa saja yang indah menurut kehendak si pelukis. Kalau murid sudah dikotori oleh pelajaran dari lain cabang, agak sukarlah untuk dapat memahami sedalamnya pelajaran ilmu silat tinggi seperti yang diajarkan oleh Hwat Kong Tosu. Tentu saja, kalau murid yang diajarnya itu tadinya telah mempelajari ilmu silat lain yang tinggi dan bersih hal itu tidak menjadikan halangan.
Bagaimanapun juga, kebersihan Hong Cu yang tadinya belum mengenal sedikitpun ilmu silat itu, membuat ia dapat lebih asli lagi menerima warisan ilmu silat yang lihai dari Hwat Kong Tosu! Marilah kita ikuti perjalanan Beng Beng Hoatsu yang pergi merantau untuk mencari patung Dewi Kwan-Im, diikuti oleh muridnya yang baru, yakni Siauw Ma. Anak muda yang tadinya beradat keras dan ingin menang selalu ini mendapat guru yang tepat karena Beng Beng Hoatsu adalah seorang kakek aneh yang adatnya juga keras sekali, tapi ia sangat jujur. Dengan sikapnya yang galak itu maka Siauw Ma menjadi tunduk dan Beng Beng Hoatsu berusaha keras untuk menggembleng muridnya menjadi orang pandai karena pertapa pendek gemuk ini tidak mau kelak muridnya sampai kalah oleh murid lain orang.
Sambil merantau ia tidak lupa untuk selidiki patung yang lenyap itu, dan ia juga mendengar tentang sepak terjang Hwat Kong Tosu yang hantam kromo dan bikin keder semua kalangan liok-lim. Ia merasa geli melihat sepak terjang kawannya itu tapi tentang patung Dewi Kwan-Im ia tidak sangat pentingkan. Yang terpenting baginya ialah mendidik Siauw Ma, karena menurut anggapannya, jika Siauw Ma menjadi pandai, maka kelak mudah saja untuk merampas patung itu dari tangan siapa juga! Berbulan-bulan kemudian Beng Beng Hoatsu merasa bosan juga merantau karena sedikitpun ia tidak mendengar tentang patung yang hilang. Sebaliknya ia mendengar berita yang menggemparkan kalangan kang-ouw, yakni bahwa Kelenteng Gak-im-tong di kota Swi-Ciang kabarnya didatangi seorang Sai-kong dan pertapa ini mengusir semua penghuni kelenteng, bahkan membunuh ketua kelenteng itu.
Hal ini membuat kalangan kang-ouw merasa marah karena kelenteng itu adalah kelenteng paderi wanita dan yang tinggal di situ semuanya ialah para Nikouw dan ketuanya juga seorang pertapa wanita. Beng Beng Hoatsu mendengar bahwa telah ada beberapa orang gagah dari kalangan kang-ouw karena merasa penasaran, lalu mendatangi kelenteng yang sekarang diduduki seorang diri oleh Sai-kong jahat itu, tapi mereka semua tak mampu jatuhkan pendeta yang sangat lihai itu, hingga di kalangan kang-ouw masih ramai orang bicarakan hal ini dengan penasaran dan secara kebetulan Beng Beng Hoatsu mendengar pula hal ini. Siauw Ma yang berhati keras dan berdarah panas, mendengar hal yang tidak adil ini lalu mendesak suhunya untuk pergi ke kota itu dan "membereskan"
Sai-kong yang demikian jahatnya.
"Suhu, menurut pikiran teecu, kalau seorang pertapa yang biasanya harus menjadi contoh dari manusia suci, sampai berlaku sekejam itu, ia harus dienyahkan dari muka bumi ini!"
Kata Siauw Ma dengan bernapsu. Beng Beng Hoatsu tertawa bergelak-gelak sambil pandang muridnya dengan sepasang matanya yang bundar itu terputar-putar.
"Kau ini seperti anak harimau yang baru keluar saja. Kau kira kau sanggup menandingi Sai-kong jahat itu?"
"Mengapa tidak sanggup, suhu? Kalau aku tidak sanggup membasmi pendeta jahat seperti itu, teecu bukan... murid Beng Beng Hoatsu yang termashur sakti dan adil!"
Memang, biarpun ia kasar, Siauw Ma sebenarnya cerdik dan dapat mengetahui watak dan hati orang. Jawabannya itu dengan tidak langsung membakar hati Beng Beng Hoatsu, hingga orang tua itu sekali lagi tertawa besar.
"Baiklah, mari kita pergi ke kota Swi-Ciang. Mari kita lihat, orang macam apa Sai-kong itu!"
Beng Beng Hoatsu sengaja berjalan cepat sekali hingga Siauw Ma harus kerahkan semua tenaga dan kepandaiannya untuk mengejar suhunya! Selama beberapa bulan itu, kepandaian ginkang dan Hwie-heng-sut yang dimilikinya telah maju pesat sekali dan jauh jika dibandingkan dengan dulu. Di samping memperdalam ginkang dan lwee-kang, iapun tekun mempelajari Ilmu Silat Naga Sakti, kepandaian yang luar biasa ciptaan Beng Beng Hoatsu. Ketika secara iseng-iseng ia mainkan ilmu silat meniru gerak-gerik semua lukisan di dinding gua Huo Mo-Li dulu, Beng Beng menegurnya marah,
"Jangan mainkan ilmu silat busuk tiada berguna itu."
Semenjak itu ia tidak berani lagi main-main dengan Ilmu Silat Huo-Mo Kun-Hwat yang ia hanya tahu sedikit karena dulu menggosok-gosok dinding gua Huo Mo-Li. Karena guru dan murid itu lari cepat, maka tidak sampai setengah hari mereka memasuki gerbang dinding kota Swi-Ciang dan masuk ke dalam kota dengan tenang. Mudah saja mereka cari kelenteng Gak-im-tong dan ternyata kelenteng berada di ujung kota dan di bagian yang sunyi karena jauh dari tetangga. Kelenteng itu dari luar tampak sunyi sekali, tapi sayup sampai terdengar suara yang parau dan besar sedang membaca liam-keng, yakni semacam doa yang diucapkan dengan keras. Siauw Ma yang tidak sabar menanti lebih lama segera membetot ujung lengan baju suhunya dan mereka berdua masuk ke dalam pekarangan kelenteng itu.
Kini suara liam-keng terdengar nyata dan ketika ia memperhatikan suara itu, Siauw Ma menjadi terkejut sekali, karena syair yang dibacakan oleh suara itu sekali-kali bukanlah syair doa, tapi syair kacau balau yang isinya menyindir mereka berdua. Ia mendengarkan dengan lebih teliti. Di antara kata-kata yang isinya makian kotor terdapat kata-kata yang menyindir bahwa ada naga gemuk pendek bersama seekor ular kecil berhati panas datang, dan bahwa mereka berdua, ular dan naga itu barangkali sudah bosan hidup dan ingin tahu betapa rasanya masuk ke neraka! Siauw Ma merasa disindir dan ia menjadi marah sekali, sama sekali ia tidak ingat bahwa tanpa melihat sudah dapat mengerti keadaan mereka dan tahu akan kedatangan mereka menyatakan betapa lihainya orang di dalam kelenteng itu.
Ia lupa segala bahaya dan hendak meloncat ke dalam. Tapi tiba-tiba lengan tangannya terpegang oleh gurunya dan tubuhnya di tarik ke belakang. Betul saja, dari sebelah kiri kelenteng menyambar sebuah batu besar yang beratnya ratusan kati, tepat menyambar di mana Siauw Ma tadi berdiri. Sebelum batu itu jatuh kembali, tiba-tiba berkelebat bayangan kecil dan seorang anak muda kira-kira berusia tigabelas tahun loncat menyambut batu itu! Kemudian ia berdiri menghadapi Beng Beng Hoatsu dan Siauw Ma sambil tertawa-tawa. Anak muda itu bertubuh tinggi besar, wajahnya tampan dan gagah, mulutnya besar dan sepasang matanya mengeluarkan sinar nakal. Setelah tertawa sekali lagi dengan suara nyaring, anak itu lalu lempar batu ke arah Siauw Ma dan berkata,
"Kau sambutlah batu ringan ini!"
Dari sambaran angin yang mendahului batu itu, Siauw Ma maklum bahwa batu itu sangat berat, tapi ia cukup waspada dan tenang. Ia tanam kakinya dengan kuda-kuda yang kuat dengan gerakan yang disebut Tanam Pilar Besi, lalu kedua tangannya menyambut batu itu. Dengan cepat ia barengi gerakan batu itu kemudian potong tenaga batu ke atas hingga sebentar saja batu itu sudah berada dalam sebelah tangannya dan diangkat tinggi di atas kepala.
"Kau terimalah kembali!"
Katanya dan ia ayun batu itu kembali kepada anak itu. Dengan ketawa lebar anak itu gunakan tangan kiri untuk tolak batu itu keluar dan batu itu jatuh berdebuk ke atas tanah, mengeluarkan debu mengepul ke atas. Kedua kaki Siauw Ma ternyata juga sudah melesak ke dalam tanah sedalam kira-kira satu dim! Dari kenyataan ini dapat diukur sampai di mana tenaga lemparan anak kecil itu!
"Siauw Liong, jangan ganggu tamu! Dia adalah sahabat baikku!"
Tiba-tiba terdengar bentakan dari dalam dan Siauw Ma melihat seorang kakek gundul yang luar biasa berjalan keluar dengan sebatang tongkat di tangan. Kakek ini sungguh luar biasa. Tubuhnya tinggi bongkok, mukanya persegi dan totol-totol hitam. Di atas kepalanya yang gundul licin itu tumbuh sebuah daging jadi yang menyerupai tanduk, tepat di tengah-tengah batok kepala, kira-kira satu dim!
Mulutnya yang lebar selalu menyeringai! Pakaiannya juga aneh, dari sutera putih dan hanya merupakan kain yang lebarnya dua kaki tapi panjang sekali, dilibat-libatkan di seluruh tubuhnya dari leher sampai ke bawah lutut. Tongkat di tangannya tak kalah ganjilnya, karena tongkat itu berwarna hitam kemerah-merahan dan bentuknya menyerupai ular yang sedang pentang mulut dan julurkan lidah! Kalau benda itu diperiksa lebih teliti, barulah orang tahu bahwa itu sebenarnya adalah seekor ular tulen yang sudah mati dan kering, dan tubuh ular itu demikian kaku dan keras hingga dapat digunakan sebagai senjata yang ampuh. Inilah Tok-Kak-Coa Si Ular Tanduk Beracun! Melihat orang ini, untuk seketika Beng Beng Hoatsu berdiri ternganga, tapi ia lalu memandang dengan wajah berseri, kemudian sambil putar-putar kedua biji matanya ia berdongak dan ketawa keras.
"Kukira setan dari mana yang mendiami kelenteng ini, tidak tahunya si jahat dari timur! Pantas saja sekalian anak-anak dari kang-ouw itu tak mampu membekukmu. Ah, ular jahat, kau makin lama makin jahat saja!"
Tok-Kak-Coa melebarkan mulutnya hingga ia menyeringai menyeramkan, dan sepasang matanya yang kecil itu merupakan dua buah garis panjang berkeriput.
"Beng Beng, sudah lama tak bertemu kau makin gemuk menjijikkan! Eh, muridmu ini boleh juga, hampir sama baiknya dengan Siauw Liong! Sayang ia agaknya bodoh."
Lalu Si Ular Tanduk Beracun itu tertawa ha, ha, hi, hi mendatangkan rasa mendongkol, gemas, dan marah campur takut di hati Siauw Ma.
"Beng Beng, sahabat baik. Mari masuk ke istanaku, mari, mari! Aku ada arak wangi untukmu dan muridmu. Masuklah!"
Siauw Ma ragu-ragu, tapi suhunya bertindak masuk tanpa ragu-ragu, bahkan dengan senyum di mulut. Setelah tiba di dalam, Beng Beng Hoatsu berkata kepada Siauw Ma.
"Siauw Ma, hayo kau memberi hormat kepada Tok-Kak-Coa si setan tua ini."
"Hi, hi, hi, hi! Bukankah benar kataku tadi bahwa muridmu memang tolol?"
Tok-Kak-Coa mengejek, dan Beng Beng Hoatsu juga tertawa.
"Sebut saja susiok padanya, karena biarpun kelihatannya seperti mayat hidup, namun aku masih lebih tua dari padanya!"
Kata Beng Beng Hoatsu. Siauw Ma mengangguk-anggukkan kepala lagi dan kini menyebut,
"Susiok!"
"Bangunlah, bangunlah!"
Tok-Kak-Coa berkata sambil memegang tangan Siauw Ma. Pegangan itu keras, maka Siauw Ma maklum bahwa orang aneh ini sedang menguji tenaganya, karena itu ia segera mengumpulkan tenaganya hingga tubuhnya menjadi keras bagaikan batu! Ketika orang tua itu mengangkat pundak yang dipegangnya, maka tubuh Siauw Ma terangkat naik dengan keadaan masih berlutut. Ia seolah-olah berubah menjadi sebuah patung batu yang sedang berlutut! Tok-Kak-Coa menurunkan lagi tubuh anak muda itu, lalu sambil mengangguk-angguk ia berkata kepada Beng Beng Hoatsu.
"Bagus, bagus! Tidak malu aku mempunyai keponakan macam ini, Ha, ha, ha!"
Kemudian orang tua bongkok kurus itu berteriak ke arah belakang.
"Hei! Siauw Liong! Kau sembunyi di mana? Ke marilah kau!"
Dari belakang muncullah anak laki-laki yang tadi menggoda Siauw Ma. Sepasang matanya memancarkan kenakalan dan tidak malu-malu. Siauw Liong terpaksa maju berlutut dan ia hanya mengangguk-anggukkan kepala karena tidak tahu harus menyebut apa.
"Teecu harus memanggil bagaimana, suhu?"
Siauw Liong berpaling dan memandang gurunya.
"Siauw Liong, aku telah menerima penghormatan murid supekmu, hayo kini kau wakili aku memberi hormat kepada supekmu."
Siauw Liong gunakan kedua matanya yang bersinar tajam untuk menatap wajah Beng Beng Hoatsu, kemudian dengan alis mata bergerak-gerak hingga menambah kecakapan dan kegagahan wajahnya ia berkata kepada suhunya.
"Suhu, apakah kau kalah pandai dari kakek ini?"
Suhunya tertawa.
"Aaaah... Beng Beng Hoatsu lihai sekali, ilmu pedangnya Naga Dewa jarang bandingannya di dunia ini..., tapi aku kalah pandai darinya? Hi-hi-hi-hi... jangan kau khawatir, muridku... gurumu lebih lihai lagi! Bukankah begitu, Beng Beng, sahabatku?"
"Memang, kau lihai sekali, Tok-Kak-Coa, lihai dan licin. Terutama tentang muslihat dan akal bulus, aku takkan menang dari kau!"
Siauw Liong lalu maju ke hadapan Beng Beng Hoatsu dan menjura dalam sambil menyebut.
"Supek..."
Ia tidak mau berlutut karena anggapannya, untuk apa berlutut kepada seorang yang kalah lihai dari suhunya?
"Dan ini adalah murid supekmu, kepandaiannya boleh juga!"
"Teecu telah berkenalan dengan kepandaiannya, suhu!"
Kata Siauw Liong, dan ketika Siauw Ma menjura ke arahnya tanda salam, ia sengaja buang muka ke samping, sama sekali tidak pandang sebelah mata! Bukan main panas hati Siauw Ma, tapi Beng Beng Hoatsu bahkan tertawa bergelak-gelak.
Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha, ha, ha! Ular jahat, kau mendapat seorang murid yang cocok dan cerdik."
Tok-Kak-Coa tahu dirinya disindir. Memang ia tidak setuju melihat sikap muridnya ini, tapi ia sangat sayang kepada Siauw Liong yang semenjak berusia tiga tahun telah dipeliharanya. Anak itu dimanja luar biasa olehnya dan boleh dibilang tiada semacam pun permintaan anak itu yang tidak dipenuhi. Apa lagi ketika ternyata bahwa Siauw Liong sangat cerdik dan bakatnya dalam ilmu silat hebat sekali, makin sayanglah guru itu kepada muridnya. Karena rasa sayangnya ini, ia tidak mau tegur muridnya ketika Siauw Liong bersikap kurang hormat kepada Beng Beng Hoatsu dan Siauw Ma.
"Duduklah, duduklah..."
Demikian ia mempersilahkan Beng Beng Hoatsu dan Siauw Ma. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja bundar yang lebar.
"Kebetulan sekali, aku dan muridku baru saja selesai memasak. Ha, ha, ha! Beng Beng, mari kita pesta besar! Memang mulutmu sedang mujur, datang-datang kau rebut sebagian dari hidangan kami yang lezat! Hi-hi-hi!"
Beng Bang Hoatsu hanya tersenyum dan berkata,
"Keluarkan semua hidanganmu!"
Memang Beng Beng Hoatsu telah lama kenal kepada Si Ular Tanduk Berbisa itu. Berpuluh tahun yang lampau ia dan Tok-Kak-Coa pernah menjagoi daerah timur Tiongkok. Tok-Kak-Coa disebut si jahat dari timur dan tak seorangpun di kalangan kang-ouw yang berani menghalangi segala sepak terjang ular berbisa yang lihai itu.
Juga tak seorangpun ditakuti oleh Tok-Kak-Coa kecuali kepada Beng Beng Hoatsu ia menaruh segan dan hormat. Ia tak pernah mengganggu Beng Beng Hoatsu setelah mereka pernah bentrok dan bertempur sampai sehari semalam lamanya. Keduanya mendapat luka, tapi keduanya tak dapat disebut kalah atau menang! Kepandaian mereka memang seimbang. Setelah pertempuran itu mereka saling menaruh segan dan kagum dan diam-diam mereka perhebat latihan dan memperdalam kepandaian. Kini berpuluh tahun telah lewat dan mereka bertemu di tempat itu, masing-masing merasa curiga karena tahu bahwa masing-masing telah mendapat kemajuan hebat dalam ilmu kepandaian mereka. Beng Beng Hoatsu tahu benar bahwa si jahat dari timur itu kini tidak dapat disamakan dengan dulu di waktu mudanya.
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo