Patung Dewi Kwan Im 7
Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
"Lote, awas. Jangan-jangan ia nanti tidak bisa bayar,"
Kata seorang pelayan kepada rekannya.
"Baiknya suruh bayar di muka saja,"
Kata yang lain.
"Tapi sinar mata mereka halus dan tajam, agaknya ahli-ahli silat. Bagaimana kalau mereka mengamuk?"
"Laporkan saja kepada penjaga keamanan kota."
Macam-macamlah pendapat mereka tapi tak seorangpun bergerak untuk menjalankan usul-usul itu. Hwat Kong Tosu tak perduli semua itu dan duduk dengan tenang. Tapi Hong Cu sayup-sayup mendengar juga percakapan mereka, maka ia menghampiri beberapa orang pelayan yang berdiri di sudut. Gadis itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sepotong perak yang beratnya beberapa tail, lalu berkata kepada mereka.
"Kamu orang jangan takut bahwa kami tidak akan membayar makanan yang kami pesan. Nah, ini boleh dibuat uang tanggungan!"
Sambil berkata demikian ia tekan perak itu ke atas meja kayu yang keras sambil kerahkan tenaga lwee-kangnya. Setelah itu ia pergi ke meja suhunya lagi. Lima orang pelayan yang tadinya kagum melihat kecantikan Hong Cu yang luar biasa ketika gadis itu mendekat, kini mereka berdiri bengong dengan mata terbelalak. Semua mata mereka ditujukan untuk memandang potongan perak yang ditaruh gadis itu di atas meja tadi, karena perak itu telah melesak ke dalam kayu hingga rata dengan permukaannya. Seorang di antara mereka ulurkan tangan hendak mencabut perak itu, tapi ternyata bahwa benda itu masuk dalam dan kuat sekali hingga ketika ia mencoba mencabut, sedikitpun tak bergerak! Lain orang mencoba pula hasilnya sama. Mereka saling pandang dan leletkan lidah.
Tapi Hong Cu dan suhunya sama sekali tidak melihat ke arah mereka hingga tidak tahu betapa ke lima orang pelayan itu memandang ke arah mereka dengan heran dan kagum. Mereka buru-buru menyediakan masakan yang dipesan oleh Hwat Kong Tosu. Dengan gembira Hwat Kong Tosu bersama muridnya makan bebek tim yang sedap dan empuk dan sebelum masakan yang dihadapinya habis termakan, Hwat Kong Tosu sudah pesan lagi lain masakan! Tapi Hong Cu tidak banyak makannya, maka setelah merasa kenyang, ia tinggalkan suhunya yang masih enak-enak sikat habis semua makanan dan keluar dari rumah makan, berdiri di luar melihat-lihat. Tiba-tiba dari kiri jalan terdengar suara gembreng dan tambur dan tampak iring-iringan orang yang mengiringkan joli pengantin. Anak-anak kecil dengan gembira mengikuti iring-iringan itu sambil tertawa-tawa. Dari sana-sini terdengar orang berseru,
"Pengantin! Pengantin!"
Hong Cu sudah lama tidak melihat iring-iringan pengantin. Dulu memang pernah ia melihatnya, tapi setelah merantau dengan suhunya setahun lebih, belum pernah ia bertemu dengan rombongan orang menjemput pengantin.
Pengantin laki-laki yang menjemput pengantin wanita tampak naik kuda dan pakaiannya mewah dan indah, tersulam dan warnanya macam-macam. Dalam pakaian yang mewah itu pengantin laki-laki itu nampak tampan dan gagah juga. Dilihat dari pakaian pengantin laki-laki dan pakaian para pengawal, juga dari besarnya joli yang terukir indah, maka dapat diterka bahwa pengantin laki-lakinya tergolong orang kaya. Hong Cu memandang iring-iringan itu dengan hati senang. Tapi tiba-tiba telinganya yang terlatih dan tajamnya melebihi telinga orang biasa itu, mendengar keluhan dan tangisan yang memilukan dari dalam joli. Suara itu ditahan-tahan di belakang saputangan oleh orang yang menangis, maka tak terdengar oleh orang lain. Akan tetapi pendengaran Hong Cu memang lihai. Ia mendengar keluhan yang berbunyi,
"Oh... Thian Yang Maha Agung, lebih baik hamba mati saja..."
Hong Cu merasa heran dan hatinya tergerak. Tanpa perdulikan apa-apa ia melangkah lebar ke arah joli pengantin yang diarak dan dipikul oleh empat orang. Seorang pengawal menggunakan cambuk kudanya untuk menghalangi Hong Cu, sambil membentak,
"Eh, pengemis cilik! Kau minggirlah, jangan terlalu dekat!"
Tapi Hong Cu tak perdulikan padanya dan terus saja maju ke arah joli hingga pengawal itu menjadi marah dan membentak lebih keras.
"He, tulikah kau? Minggir!"
Ia menggunakan cambuknya menyabet ke arah leher Hong Cu.
Tanpa menengok padanya dan hanya mendengar angin sabetan itu saja, Hong Cu mengulurkan tangan dan dapat menangkap ujung cambuk. Sekali betot saja cambuk itu telah pindah tangan! Gadis cilik itu terus maju ke dekat joli sedangkan pengawal yang tadi menyerangnya menjadi bengong karena heran dan juga malu dan marah! Hong Cu menyingkap mui-li penutup joli dan di dalam ternyata duduk seorang gadis yang cantik tapi wajahnya muram dan kedua matanya merah, jelas bahwa ia sedang berduka dan menangis. Melihat mui-li jolinya disingkap orang, pengantin perempuan itu terkejut, tapi wajahnya berubah heran ketika ia melihat bahwa yang membuka jolinya adalah seorang gadis cilik. Karena herannya, maka ia hanya memandang muka Hong Cu tanpa dapat mengeluarkan kata-kata sesuatu. Sebaliknya Hong Cu segera bertanya dengan suara halus.
"Cici, kenapa kau menangis? Kenapa kau ingin mati? Bukankah menjadi pengantin itu biasanya senang?"
Tapi pada saat itu, pengawal yang direbut cambuknya itu telah turun dari kuda dan tangannya bergerak hendak menjambak kucir di belakang kepala Hong Cu dan hendak menariknya pergi. Tapi Hong Cu hanya gerakkan tangannya yang memegang cambuk dan terdengarlah suara cambuk yang nyaring, disusul suara teriakan kesakitan karena tepat sekali muka pengawal itu kena dihajar dengan ujung cambuk yang panjang dan lemas hingga tampaklah bekas cambuk yang melintang merah di muka orang itu!
"Kurang ajar! Kau sudah bosan hidup!"
Pengawal itu maju menyerang dengan kepalannya ke arah dada Hong Cu. Tapi Hong Cu dengan bibir tersenyum mengejek berkelit ke samping dan secepat kilat cambuknya bergerak lagi, kini cambuk itu membelit leher penyerangnya dan sekali menyentak, dengan cambuknya, orang sial itu terlempar dan bergulingan ke atas tanah.
Dari leher dan mukanya mengalir darah yang membuat mukanya tampak menyeramkan. Maka ributlah orang-orang di situ, baik yang sedang mengantar pengantin, maupun orang-orang yang sedang nonton. Para penonton bubar dan menjauhkan diri, sedangkan para pengawal segera mengurung Hong Cu, dikepalai oleh pengantin laki-laki. Tapi dengan tenang Hong Cu mendekati joli dan sekali menekan ke bawah, maka keempat orang pemikul joli merasa seolah-olah joli itu dimuati barang ribuan kati beratnya hingga pundak mereka terasa sakit seakan-akan tulang pundak mereka hendak patah rasanya, maka buru-buru mereka turunkan joli ke atas tanah dan mundur ketakutan. Hong Cu berkata kepada pengantin perempuan yang memandang semua itu dengan heran dan takut.
"Bagaimana, cici? Apakah aku harus hajar semua kutu busuk ini?"
Pengantin itu kagum memandang Hong Cu tapi berbareng juga takut melihat sikap orang-orang yang mengurung mereka.
"Ah, adik yang baik, jangan kau berbuat demikian! Kau... kita... akan dibunuh oleh mereka karenanya."
"Tak perlu kau takut, cici. Jangankan baru beberapa ekor kutu busuk ini, biar ditambah lima kali lipat juga aku takkan mundur dan mereka akan kuhajar satu-persatu. Kau lihat sajalah. Tapi katakan dulu, kalau aku hajar mereka, apakah kau akan senang? Apakah kau dipaksa oleh mereka?"
Pengantin perempuan itu tiba-tiba menangis sedih dan menjawab dengan suara terputus-putus.
"Aku... aku hendak dijual oleh dia itu!"
Ia menunjuk ke arah orang yang berpakaian pengantin laki-laki.
"Apa? Kau hendak dijual oleh suamimu?"
"Dia bukan suamiku! Dia penipu rendah, buaya darat yang kejam! Dia berhasil menipu orang tuaku dan mengawini aku, tapi... tadi ia telah bilang padaku... aku... aku hendak dijualnya menjadi bini ketujuh dari... dari seorang kaya raya di kota Lok-cu!"
"Jangan banyak buka mulut!"
Pengantin laki-laki itu membentak dan berkata kepada orang-orangnya.
"Pukul pengemis hina ini, lempar dia jauh-jauh!"
Sementara itu, mendengar cerita pengantin perempuan itu, Hong Cu marah sekali. Ia berjalan perlahan menghampiri pengantin laki-laki yang kini telah turun dari kudanya, sikapnya mengancam sekali. Tapi karena ia hanya seorang gadis cilik maka para pengiring pengantin itu tidak gentar dan dengan bentakan keras seorang pengawal yang tinggi besar meloncat maju sambil menyindir.
"Eh, eh, kau wanita cilik ini, apakah kau pun ingin menjadi pengantin? Kalau mau, hayo kawin dengan aku saja!"
Kawan-kawan pengawal itu tertawa geli dan seorang lain berkata keras.
"Ah tidak kusangka pengemis ini cantik juga. Lihat itu kulitnya putih bersih, matanya indah menarik. Ah, ah! Aku juga mau kawin dengan dia!"
Banyak olok-olok terdengar di sekelilingnya hingga muka Hong Cu yang putih kemerah-merahan itu menjadi makin merah saja. Sepasang matanya mengeluarkan cahaya kilat sebagai tanda bahwa ia marah sekali, dan dalam keadaan demikian ia sangat berbahaya. Namun para pengawal dan pengiring itu sama sekali tidak melihat hal ini dan terus saja menggoda.
Bahkan orang yang tinggi besar itu melangkah maju dan tangannya diulur hendak memegang tubuh Hong Cu. Gadis cilik itu marah benar. Ia tidak berkelit tapi menyambuti lengan yang besar itu. Dengan cepat sekali ia berhasil menangkap pergelangan tangan yang besar itu dalam cengkeramannya dan sekali ia mengerahkan tenaganya maka terdengar bunyi tulang patah dan orang tinggi besar itu menjerit keras sekali karena ternyata Hong Cu telah mematahkan lengannya dengan sekali puntir saja! Belum puas dengan hajarannya ini Hong Cu menarik lengan yang telah patah tulangnya itu dan sambil membentak nyaring ia mengayun tubuh tinggi besar itu hingga dengan berteriak-teriak ngeri orang itu terangkat dan diputar-putarkan di sekelilingnya untuk menghantam orang-orang yang datang mendekati!
Tiga orang segera roboh bergelimpangan kena hantam tubuh orang itu. Ketika Hong Cu melepaskan lengan yang dipegangnya dan melempar orang itu ke pinggir, ternyata orang itu telah tiga perempat mati. Juga orang-orang yang terkena pukulan tadi berguling-gulingan di tanah seperti cacing kepanasan. Maka ribut dan paniklah semua pengawal. Mereka kaget sekali dan marah melihat betapa gadis cilik itu telah menghajar kawan-kawannya. Terutama pengantin laki-laki itu. Dengan marah sekali ia berteriak-teriak, menganjurkan orang-orangnya untuk menyerbu dengan senjata tajam di tangan! Sementara itu, seorang tamu di rumah makan itu segera lari kepada Hwat Kong Tosu yang masih enak-enak makan minum, dan berkata gugup,
"Eh, lo-suhu! Keluarlah lekas, muridmu berkelahi dengan orang banyak!"
Hwat Kong menunda sumpitnya dan bertindak keluar dengan tenang. Pada saat itu, hampir delapan buah senjata golok, pedang dan tombak, menyambar ke arah Hong Cu. Tapi Hong Cu yang telah memiliki gin-kang luar biasa, dengan mudah saja dapat menerobos di antara sekian banyak senjata itu dan meluputkan diri. Tidak lupa sambil berkelit kaki tangannya bekerja hingga lagi-lagi ada dua orang yang berteriak kesakitan dan roboh tak dapat bangun lagi! Hwat Kong Tosu melihat betapa pengeroyok-pengeroyok muridnya hanya buaya-buaya kecil biasa saja, dan melihat bahwa di situ terdapat seorang pengantin perempuan duduk di dalam joli sambil menangis dan ketakutan, segera berjalan kembali ke mejanya dan melanjutkan makan minum!
Menghadapi orang-orang yang ternyata hanya mengerti ilmu silat pasaran itu, Hong Cu dapat melayani dengan seenaknya saja. Tapi karena pengeroyoknya makin banyak dan kini semua pengawal yang berjumlah belasan orang itu maju mengeroyoknya, ia terpaksa menarik keluar selendang suteranya yang berwarna merah. Dengan selendang atau sabuk suteranya ini di tangan, maka Hong Cu mengamuk. Sabuk itu bergulung-gulung dan melayang-layang, ujungnya menyambar dan membetot senjata lawan, kadang-kadang menyabet muka seorang, kadang-kadang membelit kaki dan membuat seorang lawan jatuh bangun. Karena sabuk suteranya lihai sekali, maka Hong Cu dapat berdiri di tengah dan melawan semua pengeroyoknya yang mengelilinginya, tanpa ada seorang lawanpun dapat mendekatinya.
Hong Cu melihat betapa pengantin laki-laki yang disebut penipu itu hendak naik kuda, agaknya hendak kabur, maka cepat bagai kilat Hong Cu kebutkan sabuknya ke arah pengantin laki-laki itu. Laki-laki itu ketika merasa betapa tiba-tiba ujung sabuk yang melingkar bagaikan ular itu membelit leher dan mencekiknya, menjadi kaget sekali. Hong Cu betot sabuknya dan lelaki itu terguling dari atas kuda. Malang sekali baginya, jatuhnya tepat di bawah kuda di mana terdapat kotoran kuda yang lembek dan masih hangat, dan karena tibanya tengkurap, maka tak ampun lagi mukanya masuk ke dalam kotoran kuda itu hingga ia menjadi gelagapan! Sebentar saja, delapan orang telah dapat dirobohkan oleh Hong Cu dan sisanya lalu lari tunggang langgang! Hong Cu dengan tenang kebut-kebut sabuknya yang kotor lalu menggulungnya perlahan, sementara itu dari dalam rumah makan keluarlah Hwat Kong Tosu.
"Bagus, Hong Cu. Kau telah mulai maju,"
Puji guru itu dengan bangga. Tapi pada saat itu tampak seorang penunggang kuda balapkan kudanya hingga debu mengepul di belakangnya. Para pengawal yang tadinya telah melarikan diri, kini berlari pula mendatangi sambil berseru girang,
"Coa-Kauwsu datang!"
Penunggang kuda yang disebut Coa-Kauwsu (guru silat Coa) itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun dan tubuhnya kekar. Pakaiannya ringkas dan di pinggangnya tergantung golok besar. Ia segera turun dari kuda dan suaranya terdengar bagaikan guntur ketika bertanya.
"Setan manakah yang berani menghina saudara-saudaraku?"
Seorang pengawal menghampirinya dan dengan menggerak-gerakkan tangan ia bercerita, kemudian sambil menuding ke arah Hong Cu ia berkata,
"Dia itulah siluman yang telah mengganggu kami!"
Pada wajah Kauwsu itu nyata sekali terbayang keheranan besar ketika ia menghampiri Hong Cu. Hampir ia tak dapat percaya bahwa seorang gadis cilik seperti ini dapat menghajar habis-habisan para pengawal sebanyak itu!
"Eh, kau siapakah dan mengapakah memusuhi kami?"
Bentaknya kepada Hong Cu. Gadis ini tersenyum saja memandang kepada Coa-Kauwsu, dan menjawab dengan suara merdu halus.
"Siapa adanya aku tak usah Kau ketahui, dan tentu ada sebabnya maka aku memusuhi kalian!"
"Sebabnya apa? Hayo katakan!"
"Sebabnya tak perlu kukatakan padamu. Kau dapat bertanya kepada buaya darat yang suka makan tahi kuda itu, dan kau lepaskan cici yang berada di dalam joli, habis perkara!"
Jawab Hong Cu. Sementara itu, Hwat Kong Tosu yang rupanya terlalu kenyang makan minum tadi, kini duduk di bawah sebatang pohon di tepi jalan dan matanya meram melek, agaknya ia sedang tidur ayam.
"Kurang ajar!"
Guru silat itu membentak marah.
"Kau anak kecil keliaran mengapa usil dan berani mencampuri urusan orang lain? Kau sudah mengacau di sini dan melukai orang-orangku, maka sudah sepantasnya kuhajar! Bersiaplah menerima pukulanku!"
Sebagai penutup katanya, Coa-Kauwsu maju menubruk, tapi dengan lincahnya Hong Cu meloncat ke samping. Coa-Kauwsu kaget juga melihat kelihaian gin-kang gadis itu, lebih-lebih ketika Hong Cu mengejek,
"Cabutlah golokmu itu. Untuk apa kau pakai itu? Apakah untuk aksi saja dan menakut-nakuti orang?"
Maka dengan marah sekali Coa-Kauwsu mencabut goloknya yang besar dan ia membentak.
"Siluman perempuan! Hayo keluarkan senjatamu kalau kau memang pandai!"
Hong Cu mengangkat sabuknya yang sudah tergulung itu dan menjawab lucu,
"Senjataku sejak tadi sudah kupegang."
Coa-Kauwsu segera memutar goloknya hingga menimbulkan angin, lalu dengan bentakan yang keras ia meloncat dan menerjang dengan gerak tipu Sambar Mutiara di Kepala Naga. Hong Cu siang-siang sudah mengulur sabuknya dan kini sabuk itu dipegang di tengah-tengah hingga kedua ujungnya merupakan sepasang senjata pendek. Ia meloncat berkelit dari serangan berbahaya itu dan mata golok lewat cepat di dekat kepalanya. Kemudian ia menyabet dengan sabuknya di tangan kiri. Biarpun yang menyabetnya hanya ujung sabuk yang terbuat dari pada sutera, tapi guru silat itu maklum bahwa lawannya yang masih setengah kanak-kanak itu mempunyai kepandaian tinggi dan tenaga lwee-kang yang dalam, maka ia tidak berani menerima dengan tubuhnya.
Ia cepat menggerakkan goloknya untuk menangkis. Inilah yang dikehendaki oleh Hong Cu, karena sekali tangannya bergerak, maka ujung sabuk yang tertangkis itu tiba-tiba melibat leher golok! Tapi ia keliru perhitungan, karena Coa-Kauwsu bukanlah seorang lemah seperti para pengawal pengantin tadi. Tenaga guru silat ini lebih besar dari pada tenaga Hong Cu maka dengan bentakan hebat golok itu dapat digerakkan dan terlepas dari libatan sabuk, bahkan mata golok itu dapat memutuskan sedikit ujung sabuk yang merah itu. Bukan main terkejutnya hati Hong Cu. Ia merasa bahwa ia takkan menang melawan guru silat ini, tapi karena ia memang tabah, ia tidak menjadi gentar. Tiba-tiba terdengar suhunya berkata.
"Hong Cu, kau pakailah ini!"
Dan sebatang cabang kering menyambar ke arah gadis itu dengan perlahan. Hong Cu menangkap cabang kering itu dan Hwat Kong Tosu berkata lagi.
"Coba kau gunakan jurus ke lima sampai ke sepuluh dari Ouw-coa-koai-tung-hwat kita secara beruntun!"
Sementara itu, si guru silat yang melihat betapa gadis itu memegang sebatang kayu kering, lalu maju lagi menyabet dengan goloknya. Hong Cu menggunakan gin-kangnya meloncat berkelit dan ia segera menjalankan perintah gurunya.
Ia mulai menyerang dengan jurus kelima, yakni gerak tipu Ular Hitam Keluar Gua dan kayu cabang di tangannya yang dipakai sebagai senjata tongkat itu meluncur ke arah iga dan menotok jalan darah lawan. Kauwsu itu terkejut karena ketika meluncur dalam serangannya, kayu cabang itu gerakannya memutar hingga sukar diduga hendak menyerang bagian tubuh mana. Ia kelebatkan goloknya untuk membacok putus kayu itu tapi Hong Cu rubah gerakannya, kini menyerang dengan jurus keenam, yakni gerak tipu Ular Hitam Naik Pohon, dan senjatanya yang istimewa itu kini cepat menyerang ke muka lawan, mengarah kedua matanya! Karena gerakan gadis itu sungguh cepat dan tidak terduga, maka hampir saja mata kiri Coa-Kauwsu menjadi korban.
Tapi ia masih dapat berkelit dengan gulingkan tubuh ke belakang. Baru saja ia bangun berdiri dan putar goloknya, tahu-tahu Hong Cu sudah bergeser kakinya dan loncat ke belakangnya, lalu mengeluarkan tipu pukulan ketujuh yang disebut Ular Hitam Semburkan Racun. Ini adalah gerak tipu, ketujuh dari Ilmu Silat Ouw-coa-koai-tung-hwat dan lihainya bukan main. Tongkat itu terputar ujungnya dan menyerang dengan bergantian, lima jalan darah di leher, pundak, dan lambung lawan! Totokan pertama sampai keempat dikelit oleh Coa-Kauwsu, tapi totokan kelima dengan tepat menghantam jalan darahnya bagian twi-hong-hiat hingga ia menjadi lemas dan tubuhnya terguling ke atas tanah tanpa daya lagi! Hong Cu hendak tambahkan dengan sabetan tapi Hwat Kong Tosu membentak,
"Sudah cukup, Hong Cu!"
Hwat Kong Tosu menghampiri pengantin perempuan itu dan bertanya bagaimana duduknya hal maka ia sampai dapat dibawa oleh pengantin laki-laki yang disebutnya penipu dan buaya darat itu? Maka setelah berlutut menghaturkan terima kasih gadis yang malang itu bercerita. Ia adalah anak seorang petani di sebuah kampung tak jauh dari situ. Ayahnya orang miskin dan hidupnya hanya menjadi buruh tani dan mengerjakan sawah orang lain. Karena anak banyak dan keadaan sangat miskin, maka orang tua itu banting tulang, peras keringat untuk dapat mencegah keluarganya kelaparan.
Kemudian datang musim kering yang agak lama sehingga ia tidak dapat menghasilkan banyak hasil bumi dan pendapatan yang hanya sedikit itu tentu saja menjadi bagian tuan tanah sebagai sewa tanah yang dikerjakan. Maka keluarganya terancam bahaya kelaparan. Lalu datanglah penipu itu yang menolong keluarga miskin itu dengan sedikit uang dan semenjak itu ia menjadi teman baik ayahnya dan ketika ia melamar dirinya, maka ayahnya tanpa ragu-ragu lagi menerima lamaran itu. Ia sendiri juga tidak menolak, karena orang itu memang tidak buruk dan lagaknya seperti orang yang mempunyai harta. Tapi tidak disangka sama sekali setelah mereka dikawinkan dan ia dibawa di dalam joli pergi dari rumah orang tuanya yang bobrok,
Di tengah jalan pengantin laki-laki itu dengan secara terus terang berkata bahwa ia sebenarnya hendak dijual kepada seorang hartawan yang mencari seorang gadis untuk menjadi isteri ketujuh! Laki-laki bajingan itu ternyata hanya memikat saja untuk mendapat keuntungan besar dan ia dipesan supaya berlaku manis kepada hartawan tua yang hendak membelinya nanti, kalau tidak, ia akan dibunuh! Maka pengantin itu menangis sedih dengan takut-takut dan seberapa dapat menahan tangisnya dengan menekan kain pada mulutnya. Tapi ternyata tangisnya tu terdengar oleh Hong Cu yang mengakibatkan pertempuran besar itu. Hwat Kong Tosu lalu mengeluarkan dua potong emas dari kantung bajunya dan memberikan kepada perempuan yang malang itu. Lalu ia menarik seorang penonton laki-laki tua yang berwajah jujur dan berpakaian rombeng.
"Eh lauw-ko, maukah kau menolong perempuan ini? Coba kau antarkan pulang ia ke kampungnya dan ini untuk upah lelahmu."
Ia memberi beberapa perak kepada orang tua itu yang menerimanya sambil tersenyum dan berterima kasih.
"Nah, nona kau pulanglah. Berikan itu kepada orang tuamu untuk membeli tanah agar kau sekeluarga tidak akan kelaparan lagi."
Gadis itu berlutut di depan Hwat Kong Tosu dan menganggukkan kepala berulang-ulang sebagai tanda terima kasih, kemudian merangkul dan menciumi Hong Cu dengan air mata mencucur deras. Lalu ia diantar oleh orang tua itu pulang ke kampungnya.
"Hei, kau buaya rendah!"
Hwat Kong Tosu berkata kepada bekas pengantin laki-laki itu yang kini merangkak bangun.
"Masih untung muridku mengampuni jiwa anjingmu. Lain kali kalau kami mendengar tentang kecuranganmu, biarpun berada di tempat yang jauhnya ribuan lie, kami akan datang dan kami pisahkan kepalamu dari tubuhmu!"
Kemudian Hwat Kong Tosu menghampiri Coa-Kauwsu yang masih rebah tak berkutik karena menjadi korban totokan. Sekali depak dengan ujung sepatunya, guru silat itu terbebas dari totokan.
"Kau menjadi guru silat, tapi ternyata kecewa sekali telah menjual diri kepada orang kaya untuk menindas yang miskin dan lemah. Tidak malukah kau menjadi orang gagah?"
Hwat Kong Tosu membentak. Guru silat itu merasa malu sekali, ia menjura dan berkata,
"Teecu seorang buta, tidak melihat Gunung Thai-san di depan mata. Teecu berjanji takkan berani berlaku sewenang-wenang lagi."
Maka Hwat Kong Tosu dan muridnya lalu meninggalkan Lam-hu dan terus menuju ke timur. Melihat kemajuan Hong Cu yang diperlihatkan ketika bertempur tadi, Hwat Kong Tosu makin gembira untuk melatih ilmu silat tinggi kepada muridnya itu dan Hong Cu yang baru sekali itu bertempur dan memperoleh kemenangan, merasa betapa pentingnya memiliki kepandaian, maka ia belajar makin rajin lagi. Beberapa hari kemudian mereka memasuki kota Lam-koan. Karena masih banyak waktu, Hwat Kong Tosu mampir di kota itu. Seperti biasa ia mencari tahu tentang makanan enak di kota itu! Ternyata bahwa kota itu terkenal sekali akan masakan panggang babinya. Di pinggir pasar banyak sekali orang-orang berdagang panggang babi dan asap mengepul memenuhi jalan dan udara membawa bau sedap dari bumbu terbakar.
Hwat Kong tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan ia memilih pedagang yang nampaknya paling lezat masakannya lalu membeli lima mangkok. Tapi Hong Cu sejak kecil tidak begitu suka makan daging, apa lagi daging babi, sedangkan daging-daging ternak lainnya seperti sapi, kerbau atau dombapun ia tidak doyan. Di antara segala daging hanya daging burung, ayam atau ikan saja yang biasa dimakan olehnya. Karena itu ia tidak ikut suhunya makan, hanya melihat-lihat di dekat situ. Yang menarik perhatiannya ialah serombongan pengemis yang meneduh di bawah pohon besar di dekat tempat itu. Kumpulan pengemis itu nampaknya menyedihkan sekali hingga Hong Cu memandang ke arah mereka dengan iba hati. Tiba-tiba ia melihat seorang pengemis muda yang berbaju lengan panjang sedang makan sisa makanan yang didapatnya dari seorang tamu.
Melihat cara orang makan sisa makanan itu mendatangkan rasa haru dalam hati Hong Cu. Gadis ini melihat betapa pandang mata pengemis muda itu penuh kesedihan. Tiba-tiba hati Hong Cu berdebar karena heran dan kaget melihat bahwa cara makan pengemis yang selalu mendekatkan daun isi makanan yang dipegang di tangan kiri dengan mulutnya, pada saat ia menyuap makanan dengan tangan kanan adalah karena kedua pergelangan tangannya terbelenggu! Belenggu itu terbuat dari pada besi kecil dan agak panjang hingga kedua tangannya agak bebas tapi dalam segala gerakan harus dekat pada waktu tangan kanan digunakan. Tadi Hong Cu tidak melihat belenggu itu karena tertutup oleh lengan baju pengemis yang panjang. Hong Cu dengan tertarik mendekat. Ia tak dapat menahan rasa ibanya, maka lalu bertanya,
"Eh, siapakah yang membelenggu tanganmu?"
Pengemis itu menunda makannya dengan sedih, tapi ia hanya menggelengkan kepalanya.
"Kenapa tidak Kau buka saja?"
Tanya Hong Cu lagi. Pengemis itu membuka matanya lebar-lebar lalu menjawab,
"Aku tidak bisa."
Hong Cu makin mendekat dan memandang rantai itu. Rasanya ia sanggup mematahkan belenggu itu, maka sambil berkata,
"Aku bisa!"
Ia cepat sekali mengulur tangannya dan sebelum pengemis itu dapat mencegah, sekali renggut saja Hong Cu telah mengerahkan tenaga dalamnya dan patahlah belenggu itu! Dengan kedua tangan memegang rantai yang telah putus, Hong Cu berkata sambil tertawa,
"Nah, lihatlah, rantainya telah putus! Sekarang engkau bebas. Bukankah lebih enak demikian?"
Tapi akibat dari perbuatannya ini sungguh jauh berbeda dengan apa yang disangkanya. Wajah pengemis muda itu tiba-tiba menjadi pucat seperti mayat. Kedua matanya memandang terbelalak ke arah patahan belenggu dan makanan yang berada di dalam daun jatuh terlepas dari tangannya.
"Celaka! Kau harus mampus lebih dulu!"
Dengan kata-kata ini pengemis muda itu meloncat menerkam Hong Cu dengan pukulan berbahaya. Hampir saja Hong Cu celaka karena pukulan hebat itu, karena sedikitpun ia tidak pernah menyangka bahwa akibatnya akan begitu. Untung sekali ia berlaku gesit dan secepat kilat meloncat jauh dan berdiri dengan tolak pinggang dan memandang heran.
"Eh, eh, eh! Gilakah kau ini? Ditolong orang, tidak berterima kasih malahan tanpa alasan menyerang! Benar-benar kau berotak miring!"
"Menolong apa? Perempuan celaka, kau lah yang harus mampus lebih dulu!"
Dan pengemis itu menyerang lagi dengan sengitnya. Kini Hong Cu merasa gemas dan setelah berkelit ia lalu balas menyerang: Ternyata kepandaian pengemis muda itu lihai juga karena ia menggunakan tipu-tipu pukulan dari Sin-kai-pang. Tapi biarpun Hong Cu baru saja belajar silat kurang lebih satu tahun, namun gadis cilik itu adalah murid Hwat Kong Tosu yang telah makan obat tercampur buah mujijat, maka kepandaiannya telah melebihi kepandaian seorang yang telah sepuluhan tahun belajar silat biasa!
Baiknya gadis yang jujur itu masih saja menyangka bahwa pengemis itu adalah seorang gila, maka ia tidak mau turunkan tangan kejam. Setelah bertempur puluhan jurus, Hong Cu berhasil menendang paha pengemis itu hingga terlempar dua tombak lebih jauhnya dan jatuh sambil merintih dan pegang-pegang pahanya! Pada saat itu seorang pengemis yang memegang tongkat bambu, meloncat ke dekat pengemis muda dan meraba-rabanya.
"Kau kenapa?"
Tanya pengemis yang ternyata sudah tua dan kedua natanya buta. Ketika pengemis muda tidak menjawab si buta meraba ke arah pergelangan tangannya dan kagetlah ia ketika kedua tangan itu kini tidak terbelenggu lagi. Ia meloncat mundur dan bertanya dengan suara keren.
"Belenggumu terlepas?"
Tubuh pengemis muda itu menggigil dan buru-buru ia berlutut di depan pengemis buta sambil meratap.
"Ampunkan siauw-jin yang tidak berdaya, supek. Bukan siauw-jin yang mematahkannya, tapi gadis celaka itu!"
Sambil mengeluarkan suara,
"Hmmm, kau tunggu di sini sebentar!"
Pengemis buta itu meloncat mendekat dan tahu-tahu pengemis muda itu telah tertotok jalan darahnya hingga menjadi lemas dan tak dapat bergerak pergi dari situ! Gerakan ini saja sudah cukup membuktikan betapa lihainya pengemis buta itu dan diam-diam Hong Cu memandang kagum dan heran. Bagaimana seorang buta dapat bertindak demikian cepat dan serangannya demikian tepat? Ia ingin sekali mencoba dan diam-diam mencari akal. Sementara itu, pengemis buta itu yang belum pernah mendengar di mana adanya Hong Cu, segera berdiri diam dan memasang telinga lalu membentak,
"Eh, gadis celaka, di manakah kau yang lancang tangan?"
Hong Cu telah memungut sepotong pecahan bata dan melemparkan perlahan ke depan pengemis buta untuk mencoba apakah pengemis itu benar-benar buta! Ternyata pendengaran pengemis itu luar biasa sekali dan jauh lebih tajam dari pendengaran orang biasa. Lemparan bata kecil itu tertangkap olehnya dan ia tahu pula dari mana datangnya bata itu! Dengan sekali gerakkan tangan, tongkatnya telah menghantam pecahan bata itu dan cepat sekali bata itu terpental ke arah Hong Cu!
"Bagus sekali!"
Tak terasa pula Hong Cu berseru memuji dan pengemis buta itu segera meloncat ke arah gadis tu. Gerakannya cepat tak terduga dan tongkatnya yang melayang ke arah kepala Hong Cu juga sangat berbahaya dan lihai. Tapi Hong Cu tak pantas disebut murid Hwat Kong Tosu kalau dengan mudah dapat dikalahkan oleh pengemis buta itu. Dengan gin-kangnya yang hebat ia dapat berkelit ke sana ke mari dan ketika lawannya putar tongkatnya dengan cepat dan menyerang bertubi-tubi, ia mengikuti gerakan tongkat hingga merupakan seekor kupu-kupu melayang terbang di antara cabang pohon kembang!
Akan tetapi, karena bertangan kosong, bagaimanapun juga, lama-kelamaan ia merasa sibuk juga karena pengemis buta itu memang benar-benar lihai. Permainan tongkatnya adalah pelajaran asli dari Sin-kai-pang dan ia telah memiliki lebih dari setengah pelajaran itu, sedangkan Hong Cu adalah seorang gadis cilik yang belum banyak pengalaman bertempur. Sebenarnya kalau ia mau Hong Cu dengan mudah dapat meloncat pergi mengandalkan gin-kangnya dan meninggalkan pengemis buta itu, tapi ia mempunyai watak yang keras dan pantang mundur, maka ia masih terus melakukan perlawanan yang lebih tepat disebut pembelaan diri. Dengan tangan kosong ia tak sempat untuk balas menyerang tanpa membahayakan diri sendiri. Pada saat itu terdengar orang berseru,
Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hong Cu, terima ini!"
Dan sebuah tongkat bambu meluncur ke arah Hong Cu. Gadis itu girang sekali karena yang berseru adalah suhunya dan tongkat bambu itu dengan cepat dapat dipegangnya. Kini Hong Cu merupakan seekor harimau tumbuh sayap. Dengan wajah gembira ia berkata.
"Nah, sekarang kita sama-sama bertongkat. Majulah, empek buta, kita main-main sebentar."
Pengemis buta itu memang sejak tadi sudah merasa heran sekali. Biarpun ia buta, tapi ia dapat mengetahui dari gerakan Hong Cu bahwa yang dilawannya adalah seorang gadis cilik. Tapi sebegitu lama belum juga ia dapat menjatuhkan gadis itu. Kini tiba-tiba gadis itu memegang tongkat dan ketika tongkat mereka beradu, pengemis buta itu terkejut sekali! Tongkat di tangan gadis itu demikian berat dan gerakannya lenggak-lenggok tak tertentu dan tak terduga sama sekali gerak-geriknya hingga baru beberapa jurus saja, ujung tongkat Hong Cu telah memberi gebukan perlahan di belakang pahanya!
Ia tidak tahu bahwa Hong Cu telah memainkan Ilmu Tongkat Ouw-coa-koai-tung-hwat, Ilmu Tongkat Ular Hitam, yang boleh dibilang pada masa itu merupakan ilmu tongkat nomor satu di kolong langit! Mana pengemis itu bisa tahan? Lebih-lebih terkejutnya ketika Hong Cu mencoba kepandaian barunya, yakni menggunakan tongkatnya dengan gerakan menempel dan membetot. Dengan berseru nyaring Hong Cu berhasil menempel tongkat lawannya dan sekali gentak, tongkat pengemis itu telah terbetot lepas dari tangan dan membubung ke atas! Hong Cu tertawa keras dan menangkap tongkat lawannya ketika benda itu melayang ke bawah, lalu mengajukan kepada pengemis buta.
"Empek buta, ini tongkatmu, terimalah kembali."
Pengemis buta itu menerima tongkatnya dan sekali tekuk maka tongkat itu patah tengahnya.
"Aku tua bangka goblok telah terjatuh dalam tanganmu, tak pantas lagi aku memegang tongkat."
Maka pergilah pengemis buta itu dengan maju perlahan dan menggunakan ujung ke dua kakinya meraba-raba jalan! Hong Cu mengawasi pengemis itu dengan menyesal dan kasihan. Sementara itu, Hwat Kong Tosu telah menghampiri pengemis muda yang kena totok tadi lalu membebaskannya dari totokan. Begitu terbebas dari totokan, pengemis muda itu lalu menutup muka dengan kedua tangannya dan menangis sedih. Tentu saja Hwat Kong Tosu dan Hong Cu yang kini telah mendekat pula, merasa sangat heran.
"Eh, anak muda, kenapa tingkahmu begini aneh. Muridku telah menolong kau membuka belenggumu, tapi mengapa kau tidak berterima kasih bahkan menyerang mati-matian? Dan siapakah kawanmu yang buta tadi?"
Tanya Hwat Kong Tosu. Karena maklum bahwa ia sedang berhadapan dengan orang-orang pandai, pengemis itu lalu menceritakan riwayatnya. Di daerah itu terdapat sebuah perserikatan pengemis yang disebut Sin-kai-pang atau Perkumpulan Pengemis Sakti. Organisasi ini mempunyai anggauta ribuan orang pengemis yang semuanya mengerti ilmu silat dan yang dipencar di seluruh propinsi sebelah timur. Ketua atau pang-cu dari perkumpulan ini adalah seorang tokoh persilatan terkenal dan berkepandaian tinggi.
Ia disebut Coa-kai-ong atau Raja Pengemis she Coa, karena tak seorangpun tahu siapa nama raja pengemis itu. Semenjak mendirikan perkumpulan pengemis ini, maka Coa-kai-ong mengadakan peraturan dan disiplin yang keras sekali. Pengemis muda yang terbelenggu itu adalah seorang anggauta Sin-kai-pang dan telah tertangkap basah oleh pengawas perkumpulan ketika ia sedang mencopet. Perbuatan ini dilarang keras oleh perkumpulan itu, maka ia segera ditangkap dan diseret di depan Coa-kai-ong yang segera mengadilinya. Hukumannya ialah kedua tangannya dibelenggu untuk selama dua tahun. Selama itu ia tidak boleh membuka belenggunya dan kalau hal ini terjadi, maka tanpa banyak tanya lagi, ia akan dibunuh! Setelah menuturkan keadaannya ini, pengemis muda itu menangis lagi dan wajahnya nampak sangat ketakutan.
"Mengapa kau begitu bodoh! Kalau dipersalahkan karena terbukanya belenggu bilang saja bahwa orang lain yang membukanya. Bukan salahmu!"
"Kau anggap mudah saja perkara ini, nona!"
Mencela pengemis itu.
"Aku pernah melihat dengan mata sendiri ketika seorang anggauta perkumpulan kami dibunuh oleh ketua kami yang sangat bengis dan memegang teguh peraturannya!"
"Hm, pernah pinto mendengar nama raja pengemis itu, sekarang lewat di sini, bukankah ini kebetulan sekali? Hayo, berdirilah kau dan antarkan kami menemui ketuamu. Jangan kau takut, kami membelamu."
Pengemis muda itu dengan wajah masih pucat lalu berdiri dan mengantar Hwat Kong Tosu dan Hong Cu menuju ke pusat perkumpulan pengemis yang berada di luar kota. Sebetulnya Sin-kai-pang tidak mempunyai tempat atau markas tertentu, di mana saja ketua mereka berada, maka di situlah pusat mereka dan mereka mengadakan pertemuan-pertemuan di mana saja. Ada kalanya dalam sebuah hutan, dalam kelenteng-kelenteng tua atau di gua-gua. Kali ini Coa-kai-ong tinggal dalam sebuah kelenteng tua yang sudah tidak dipakai, dan para pengemis yang berada di dekat situ semua datang memberi laporan-laporan akan keadaan para pengemis di situ. Tiap hari puluhan pengemis masuk ke dalam kelenteng untuk mendengar perintah dan pelajaran ketua mereka.
Raja Pengemis she Coa ini selain menjadi ketua, juga menjadi guru silat yang menyebar ilmu silat ciptaannya kepada para pengemis. Ia terkenal sebagai seorang ahli main silat tongkat yang disebut Sin-kai-tung-hwat atau Ilmu Tongkat Pengemis Sakti. Ketika sampai di depan kelenteng bobrok yang dijadikan markas sementara itu, pengemis muda yang mengantar Hwat Kong Tosu dan Hong Cu kelihatan takut sekali dan seluruh tubuhnya menggigil. Di luar kelenteng terdapat banyak sekali pengemis dari macam-macam usia yang berkumpul merupakan kelompok-kelompok dan sedang bercakap-cakap atau bermalas-malasan. Mata Hwat Kong Tosu yang sangat tajam itu dapat melihat beberapa orang pengemis tua yang memiliki ilmu silat tinggi berada pula di situ. Melihat betapa pengemis pengantarnya sangat ketakutan, Hwat Kong Tosu mendesaknya maju dan menghibur.
"Jangan takut, hayo antar kami masuk!"
Semua pengemis yang berada di luar kelenteng memandang kepada Hwat Kong Tosu dengan mata lebar. Tiba-tiba seorang pengemis tua yang tadinya duduk melenggut di emper kelenteng, jalan terseok-seok menghadang mereka. Sambil tertawa ha, ha, hi, hi ia berkata kepada pengemis yang mengantar Hwat Kong Tosu.
"Eh, kau setan berani mati! Belenggumu Kau buang ke mana?"
Sambil berkata demikian ia menampar dengan telapak tangannya ke arah pengemis muda itu. Tamparan ini hebat sekali karena dilakukan dengan tenaga lwee-kang sepenuhnya. Kalau kepala pengemis muda sampai terpukul, pasti akan pecah! Untung Hwat Kong Tosu segera bertindak. Ia maju selangkah dan menggunakan ujung lengan bajunya menangkis tamparan itu sambil berkata,
"Maaf, sahabat. Kami tidak ada waktu untuk bermain-main dengan kau."
Pengemis tua itu tak keburu tarik kembali tangannya dan telapak tangannya segera beradu dengan ujung lengan baju Hwat Kong Tosu. Alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa tenaganya sendiri membalik hingga ia merasa pundaknya seakan-akan hampir terlepas ketika terpental dengan keras! Buru-buru ia menjura dan mundur. Biarpun keadaan di luar kelenteng itu serba butut, tapi di sebelah dalam telah dibersihkan hingga menyenangkan. Lantai telah disapu dan digosok bersih sampai mengkilap.
Di atas meja sembahyang yang biasanya ditempati oleh patung yang dipuja, kini duduk bersila seorang pengemis tua. Pengemis ini tinggi kurus dan pakaiannya telah penuh tambalan. Tapi anehnya, pakaian yang bertambal-tambal itu dihias sulam- sulaman indah, sulaman burung hong dan naga, sebagai tanda bahwa ia adalah seorang raja! Ternyata bahwa Raja Pengemis itupun awas sekali. Melihat tindakan kaki Hwat Kong Tosu yang demikian ringan seakan-akan tidak menginjak lantai tahulah ia bahwa ia sedang berhadapan dengan orang macam apa. Raja Pengemis itu sedang makan biji kacang. Melihat kedatangan tamunya, ia segera memasukkan segenggam biji kacang yang belum termakan ke dalam kantung jubahnya dan meloncat turun ia dari atas meja.
"Selamat datang, sahabat yang gagah!"
Katanya sambil menjura kepada Hwat Kong Tosu. Hwat Kong Tosu membalas hormat itu dan untuk sejenak mereka saling pandang. Tiba-tiba Raja Pengemis itu melihat pengemis muda yang berdiri menggigil di pinggir. Matanya menyapu tubuh pengemis itu dan terlihatlah olehnya bahwa belenggu di tangan anggauta perkumpulannya itu telah lenyap. Ia marah sekali, tapi dapat di tahannya dan ia dapat menduga sedikit bahwa belenggu itu tentu dipatahkan oleh tamunya ini. Maka dengan senyum dingin ia menjura lagi sambil bertanya.
"Ada keperluan apakah maka tempatku menjadi kehormatan menerima kunjungan seorang gagah seperti tuan?"
"Kami datang hanya mengantar anak muda ini karena ia takut datang ke sini. Hendaknya diketahui bahwa belenggu di pergelangan tangannya telah patah, dan yang mematahkan adalah muridku ini. Tak lain kami mengharap kebijaksanaanmu untuk mengampuni anak muda itu yang telah ketakutan karena ia akan dibunuh!"
Mata Raja Pengemis itu berpaling ke arah Hong Cu yang berdiri dengan tenang dan sedikitpun tidak merasa gentar. Tapi ketika pandang mata Raja Pengemis itu bertemu dengan pandang matanya, terpaksa ia melangkah mundur setindak. Sepasang mata pengemis aneh itu sangat tajam dan saat itu agaknya ia marah sekali.
"Sungguh tidak menghargai kedaulatan orang di daerah sendiri."
Raja Pengemis itu berkata perlahan.
"Dia adalah anggauta perkumpulan kami, dia harus tunduk kepada peraturan-peraturan yang telah diadakan. Dia mau kami bunuh atau tidak, ada sangkut-paut apakah dengan kalian?"
Tak senang Hwat Kong Tosu mendengar kata-kata ini. Raja Pengemis itu terlalu memandang ringan padanya. Maka terdengarlah ketawa Hwat Kong Tosu yang nyaring.
"Biarpun ia anggauta perkumpulanmu, tapi ia tetap seorang manusia seperti aku. Dan aku tidak membiarkan begitu saja seorang manusia dibunuh tanpa salah. Pula, yang mematahkan belenggu bukanlah dia!"
"Yang mematahkan belenggu berarti menghina perkumpulan kami, dan dia harus mati pula!"
Hong Cu mendengar kata-kata ini menjadi marah sekali. Ia bertindak maju sedikit lalu berkata kepada suhunya.
"Suhu, orang ini sangat sombong. Siapakah orang ini sebenarnya?"
Gurunya tertawa keras.
"Ah, anak kecil, mana kau tahu! Inilah yang disebut Raja Pengemis she Coa yang merajai segala macam pengemis."
"Baru saja menjadi raja pengemis sudah sesombong ini, apa pula kalau menjadi raja tulen!"
Gadis itu menyindir, gurunya tertawa lagi.
"Orang-orang yang melanggar peraturan sendiri adalah segolongan pengkhianat, dan orang-orang yang tidak mengindahkan peraturan orang-orang lain dan sengaja melanggarnya, adalah orang-orang yang tidak tahu aturan dan harus dihajar!"
Coa-kai-ong itu berkata keras. Tiba-tiba Raja Pengemis itu merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan sebutir kacang. Tangannya diayun dan kacang kecil itu melayang cepat ke arah pengemis muda yang masih berdiri sambil menundukkan muka.
"Kau tidak lekas berlutut?"
Teriak Raja Pengemis itu dan pada saat itu juga biji kacang yang disambitkan mengenai urat lutut pengemis muda itu hingga tak dapat ditahan lagi ia jatuh berlutut.
"Sekarang terima kematianmu!"
Raja Pengemis itu ayun pula tangannya, kini ia mengarah kepala orang! Tapi Hwat Kong Tosu tak membiarkan orang dibunuh begitu saja di depannya. Ia kebutkan ujung lengan bajunya dan angin yang keluar dari kebutan itu telah meniup pergi biji kacang yang disambitkan! Diam-diam Coa-kai-ong kaget sekali, tapi ia juga marah. Sambil membanting kaki ia berkata,
"Benar-benar kau tidak pandang mata padaku! Perbuatanmu itu berarti satu tantangan! Siapakah sebenarnya kau, pendeta tua?"
Hwat Kong Tosu tersenyum.
"Kita sudah tua sama tua, jangan kau anggap dirimu masih muda! Namaku Hwat Kong, dan soal nama itu tidak ada artinya, yang penting adalah perbuatan dan watak seseorang."
Baru terbukalah mata Raja Pengemis itu setelah mendengar nama itu.
"Ahh pantas saja setan pelanggar peraturan ini berani sekali menghadap di sini, tidak tahunya adalah kau, seorang pentolan dari pada Thang-la Sam-sian yang terkenal! Bagus, bagus! Hwat Kong Tosu, jangan kita bersikap seperti kanak-kanak. Katakan saja, apakah kau tidak puas dengan peraturan-peraturan dalam perkumpulanku sendiri?"
"Coa-kai-ong! Aku bukanlah orang yang terlalu gatal tangan dan suka mencampuri uruan rumah tangga orang lain, tapi kalau terjadi sesuatu perkara pembunuhan, tentu aku akan mencegahnya, apa pula pembunuhan terhadap seorang yang tidak berdosa. Kau adakan peraturan hukuman bagi anggauta-anggautamu yang menyeleweng, itu baik-baik saja. Tapi kekejamanmu untuk turunkan tangan jahat membunuh jiwa orang dengan alasan yang begitu kecil, ini membuat aku heran sekali, dan terpaksa aku harus menghalangi."
Tiba-tiba Raja Pengemis itu tertawa.
"Bagus! Sudah lama aku mendengar kelihaian ilmu tongkat darimu. Nah, sekarang cobalah kau lindungi setan ini dengan tongkatmu!"
Setelah berkata demikian, secepat kilat Coa-kai-ong cabut sebatang tongkat berkepala tengkorak dari bawah meja sembahyang dan langsung menghantam"kan tongkat itu ke arah kepala pengemis muda yang hendak dibunuhnya itu. Hwat Kong Tosu tidak tinggal diam, sekali berkelebat saja ia sudah berhasil menangkis dengan tongkat bambunya hingga tongkat kepala tengkorak itu terpental.
"Akupun ingin sekali mencoba sampai di mana kehebatan Ilmu Tongkat Sin-kai-tung-hwat!"
Keduanya lalu bertempur ramai di ruang sembahyang itu. Tongkat di tangan Coa-kai-ong memang hebat dan gerakan-gerakannya mendatangkan hawa dingin dan tongkatnya berbunyi bersiutan. Tapi ilmu tongkat ciptaan Hwat Kong Tosu adalah rajanya sekalian ilmu tongkat. Ketika mencipta ilmu ini, Hwat Kong Tosu telah mempelajari bermacam-macam ilmu tongkat hingga segala gerakan ilmu ini telah ditimbang dari segala sudut dan boleh dibilang tidak ada celanya sedikitpun. Biarpun ilmu tongkat Coa-kai-ong juga hebat, namun menghadapi Ouw-coa-tung-hwat dari Hwat Kong Tosu, ia seakan-akan seorang murid bertemu, dengan gurunya!
Tadi ketika pengemis buta melawan Hong Cu, pengemis itu mudah saja dijatuhkan. Padahal pengemis buta itu adalah murid Coa-kai-ong yang telah mewarisi lebih dari setengahnya Ilmu Tongkat Sin-kai-tung-hwat, sedangkan Hong Cu baru saja paling banyak mewarisi sepersepuluh bagian dari Ilmu Tongkat Ouw-coa-tung-hwat! Melihat perbandingan itu saja, mudah diketahui betapa jauhnya perbedaan antara kedua ilmu tongkat itu. Maka setelah bertempur beberapa puluh jurus saja, Coa-kai-ong terpaksa harus mengakui keunggulan ilmu tongkat Hwat Kong Tosu. Beberapa kali ujung tongkat bambu yang bergerak-gerak seperti seekor ular itu telah mengancam jalan darahnya di seluruh tubuh, tapi tiap kali ujung tongkat tinggal menotok saja, tongkat segera ditarik kembali oleh Hwat Kong Tosu.
Pertapa ini masih tidak tega untuk menjatuhkan dan membikin malu kepada Coa-kai-ong di depan murid-muridnya. Coa-kai-ong adalah tergolong seorang yang memiliki kepandaian tinggi, maka tentu saja iapun tahu akan kemurahan hati Hwat Kong Tosu ini. Ia merasa bersyukur, karena pada waktu itu berpuluh pengemis yang menjadi murid"-murid dan cucu muridnya telah berkumpul menyaksikan pertandingan tongkat ini. Kalau sampai ia dijatuhkan oleh Hwat Kong Tosu, tentu kewibawaannya terhadap sekalian anggauta perkumpulannya itu akan merosot! Maka ia menggunakan kesempatan yang diberikan oleh Hwat Kong Tosu yang sengaja membuka lowongan atau jalan keluar dan cepat meloncat berjumpalitan ke belakang sejauh tiga tombak lebih!
"Benar-benar hebat! Hwat Kong Tosu, benar-benar ilmu tongkatmu tidak ada bandingannya di seluruh dunia ini. Aku takluk betul!"
Raja Pengemis itu susut keringatnya, melempar tongkatnya ke samping dan segera menghampiri Hwat Kong Tosu. Murid-muridnya yang menyaksikan pertandingan itu merasa heran karena gerakan kedua orang tadi terlampau cepat bagi mata mereka hingga mereka tidak tahu tentang perbuatan Hwat Kong Tosu yang sudah mengalah itu.
"Biarlah kali ini menjadi pelajaran bagiku dan aku akan menghapuskan hukuman-hukuman mati!"
Kata si Raja Pengemis. Hwat Kong Tosu tersenyum puas.
"Kau adalah seorang laki-laki gagah, maka sedikitpun pinto tidak khawatir karena kau pasti akan memegang teguh janjimu. Memang, dalam perkumpulan yang mempunyai demikian banyak anggauta seperti perkumpulanmu ini, kau harus berlaku keras dan memegang teguh peraturan.
"Tanpa hukuman berat, mereka yang biasanya berwatak bandel tentu takkan tunduk dan takut. Akan tetapi, hukuman mati tak boleh diobral sembarangan saja."
Coa-kai-ong menjura.
"Terima kasih atas nasihat-nasihatmu."
Kemudian Raja Pengemis itu berpaling kepada muridnya yang berada di situ dan berkata dengan suara keras.
"Hai kalian semua! Lihatlah, ini adalah seorang Locianpwe yang gagah perkasa dari Pegunungan Thang-la. Namanya sangat tersohor, dan beliau ini boleh disejajarkan dengan tokoh-tokoh besar yang lain dari Thang-la, yaitu Huo Sianli si Dewi Api dan Beng Beng Hoatsu!
"Tamu agung telah datang dan kita mendapat kehormatan besar sekali, bahkan barusan aku sendiri telah mendapat pelajaran yang sangat berarti. Maka, hayolah kalian sediakan hidangan untuk menyambut beliau!"
Kawanan pengemis itu bersorak gembira dan sebentar saja tempat itu dibersihkan oleh mereka. Sebuah meja besar dipasang di tengah ruangan dan tak lama kemudian, entah dari mana dapatnya, mereka datang membawa masakan-masakan yang lezat dan masih mengepul hingga menyiarkan bau sedap mendatangkan lapar!
"Marilah, Hwat Kong Tosu, kita makan sekedarnya. Nona, jangan sungkan-sungkan, marilah!"
Hwat Kong Tosu tanpa ragu-ragu lagi lalu melangkah maju dan duduk di atas sebuah bangku menghadapi semua hidangan itu dengan wajah berseri. Si Raja Pengemis dengan sekali tendang telah membebaskan totokan di tubuh pengemis muda tadi dan membentak.
"Nah, aku bebaskan hukumanmu tapi awas! Jangan kau melakukan pekerjaan mencopet lagi. Kau adalah anggauta pengemis dan pekerjaan pengemis hanya minta dengan rela belas kasihan orang, bukan mencuri atau mencopet!"
Kemudian si Raja Pengemis itu duduk di depan Hwat Kong Tosu dan Hong Cu yang sementara itu telah mengikuti gurunya dan duduk di samping pendeta itu. Hwat Kong Tosu yang memang penggemar makanan enak terus saja sikat habis hidangan yang dianggap paling enak. Setelah makan kenyang, Hwat Kong Tosu berpamit dan mengajak muridnya melanjutkan perjalanan. Mereka diantar sampai di pinggir hutan oleh kawanan pengemis tua yang sangat mengagumi Hwat Kong Tosu. Beberapa hari kemudian, Hwat Kong Tosu dan muridnya telah tiba di kaki Gunung Hek-coa-san sebelah barat. Pada waktu itu, waktu yang dijanjikan, yakni satu bulan, masih kurang lima hari. Hwat Kong Tosu mengajak muridnya bermalam dalam sebuah kelenteng kecil yang hanya dijaga oleh seorang hwesio tua yang baik hati dan ramah tamah.
Kelenteng itu berada dalam sebuah kampung yang melarat dan penduduknya semua kaum tani miskin. Karena Hwat Kong Tosu membawa banyak potongan perak, maka hwesio tua itu senang sekali menerima sumbangan dari Hwat Kong Tosu dan memberikan kamar terbesar dalam kelenteng itu kepada Hong Cu, sedangkan Hwat Kong Tosu cukup dengan sebuah bantal duduk saja, karena pertapa sakti ini jarang sekali tidur dengan membaringkan tubuh. Cukup baginya adalah mendapat tempat yang sunyi di mana ia dapat bersila dan duduk diam berjam-jam sebagai gantinya tidur. Malam hari itu, bulan muda telah mulai menerangi angkasa dan cuaca suram-suram, terang tidak, gelap sekali juga tidak. Hwat Kong Tosu memanggil muridnya dan berkata.
"Hong Cu, kita naik ke puncak gunung itu lima hari lagi. Si jahat dari timur itu banyak akalnya, maka keadaan di sana tentu berbahaya. Malam ini kau jangan pergi ke mana-mana, aku hendak naik menyelidik keadaan."
"Baik, suhu,"
Jawab Hong Cu, tapi karena ia tidak puas dan ingin sekali ikut, disambungnya dengan.
"Kenapa teecu tidak boleh ikut, suhu?"
"Sekarang tidak boleh, Hong Cu. Keadaan sangat berbahaya dan mungkin banyak perangkap dipasang oleh si jahat itu. Lima hari lagi kalau waktunya telah tiba, tentu kau akan kubawa. Berhati-hatilah seorang diri di sini."
Hwat Kong Tosu lalu menghilang ke dalam bayangan pohon-pohon dan tinggalkan muridnya. Hong Cu merasa agak kecewa, karena selama ini jarang sekali suhunya meninggalkan dia dan selalu dibawanya.
Kali inipun ia ingin sekali ikut, karena betapapun berbahayanya keadaan mengancam mereka, jika pergi dengan suhunya, hati Hong Cu yang memang tabah itu makin tetap dan berani. Tengah malam telah lewat, tapi Hong Cu tak dapat pulas. Ia teringat kepada kedua orang tuanya dan tiba-tiba timbul rasa rindu. Hatinya yang keras mencair dan beberapa titik air mata membasahi pipinya. Ia pegang-pegang rambutnya yang kusut dan kacau balau. Ah, dulu rambutnya selalu halus, bersih dan licin karena diminyaki. Ia lalu memandang pakaiannya yang penuh tambalan. Dulu ia selalu mengenakan pakaian indah-indah dan berkembang dengan tata warna yang bagus sekali. Dalam lamunannya itu terbayanglah di depan matanya pengalaman-pengalaman yang penuh kesenangan ketika ia masih bersama dengan orang tuanya.
Tapi Hong Cu adalah seorang gadis yang berhati jujur dan berkemauan keras. Ia telah memberi keputusan untuk menjadi murid Hwat Kong Tosu dan pertapa itu begitu baik kepadanya. Pula, ketika mengingat bahwa kini ia telah memiliki kepandaian yang lumayan juga, hatinya yang tadinya duka menjadi terhibur. Kerinduan pada orang tua agak berkurang ketika ia pikir bahwa setelah ia tamat belajar silat, tentu ia akan dapat bertemu kembali dengan mereka! Tiba-tiba Hong Cu tersentak bangun dan sadar dari lamunannya. Ia mendengar sesuatu di atas kelenteng. Telinganya yang terlatih dapat menangkap suara tindakan kaki di atas genteng, dan gerakan kaki itu demikian ringan hingga ia menjadi ragu-ragu. Ia tahu bahwa yang datang itu pasti bukan suhunya karena gin-kang suhunya sudah
(Lanjut ke Jilid 08)
Patung Dewi Kwan Im (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 08
terlampau tinggi untuk dapat didengar dari bawah jika ia berjalan di atas genteng.
Tapi orang yang datang ini memiliki gin-kang yang cukup tinggi hingga Hong Cu merasa heran. Cepat ia gunakan tiupan keras dengan bibirnya hingga api lilin di atas meja yang terletak agak jauh dari tempat tidurnya menjadi padam. Kamarnya gelap gulita dan cahaya bulan tampak mengalir masuk ke dalam kamar melalui jendela. Hong Cu menggunakan ketajam matanya memperhatikan. Agaknya orang di atas genteng itu telah berhenti bergerak dan tidak terdengar sesuatu tapi perlahan-lahan Hong Cu melihat betapa genteng di atas digeser orang. Hong Cu adalah seorang gadis pemberani. Kenyataan bahwa beberapa kali ia berhasil menang dalam pertempuran, membuat hatinya makin tabah lagi dan percayaannya terhadap diri sendiri sangat besar.
Ia maklum bahwa pengintai di atas kamarnya bukanlah sembarang maling, tapi adalah seorang yang mempunyai kepandaian tinggi, meskipun demikian, ia tidak merasa gentar. Ia tahu bahwa yang datang itu tentu tidak mempunyai maksud baik, dan lebih baik bertindak mendahului dari pada menanti datangnya bahaya sedangkan ia berada seorang diri di situ! Dengan hati-hati Hong Cu mengambil tongkat bambunya yang disandarkan di pojok kamar. Semenjak mempelajari ilmu tongkat gurunya yang lihai, ia sengaja membuat sebatang tongkat bambu yang kecil dan cocok ia gunakan. Tongkatnya itu terbuat dari pada bambu keras berwarna kuning dengan guratan-guratan hijau dan ia telah menggosok-gosoknya setiap hari hingga bambu itu mengkilap bagaikan emas.
Suling Emas Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo