Pedang Asmara 14
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
"Tidak mungkin dilakukan seketika, orang muda. Mereka itu terdiri dari dua puluh orang lebih dan beberapa orang di antara mereka sudah ada yang meninggal. Kini tinggal beberapa belas orang lagi saja dan banyak di antara mereka yang tinggal di luar asrama."
"Aku tidak tergesa-gesa, Pangcu. Mohon kebijaksanaan Pangcu untuk memberitahukan mereka dan kapan kiranya aku dapat bertemu dengan mereka semua di asrama Hek-eng-pang? Aku ingin menghaturkan terima kasih dan memberi hormat kepada mereka semua sekaligus."
Tang Cin Siok mengangguk-angguk, biarpun sikapnya kini kurang bersemangat, seolah-olah urusan itu membuat hatinya merasa tidak enak.
"Baiklah, harap kau suka datang lagi ke sini dalam tiga hari ini, dan mereka akan kusuruh berkumpul di sini. Tiga hari lagi, pada pagi hari."
"Terima kasih, Pangcu. Terima kasih! Sungguh Pangcu seorang yang bijaksana dan baik budi. Saya mohon diri dan tiga hari lagi saya akan datang berkunjung."
Setelah memberi hormat, Tiong Sin lalu cepat meninggalkan asrama Hek-eng-pang, meninggalkan ketua Hek-eng-pang duduk termenung lagi seorang diri. Terbayanglah dia akan peristiwa menyedihkan itu, peristiwa yang selalu mendatangkan kesedihan di hatinya.
Dia amat mencinta adiknya, yaitu Tang Siok Hwa. Ketika adiknya itu jatuh cinta kepada Bu Siang Hok, dan ayahnya sama sekali tidak menyetujui, dia diam-diam tidak setuju dengan sikap ayahnya, walaupun dia juga tidak suka kepada pribadi Bu Siang Hok. Maka, ketika ayahnya mengejar adiknya yang melarikan diri bersama kekasihnya itu, dalam keadaan mengandung, dia tidak mau ikut mengejar. Kemudian ayahnya dan rombongannya pulang membawa jenazah adiknya, Juga Jenazah Bu Siang Hok!
Ayahnya menyesal sekali melihat akibat puterinya tewas dan kekasih puterinya juga tewas dalam tangannya dan para murid Hek-eng-pang. Dan dia sendiri merasa berduka sekali. Kini, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang ingin menghaturkan terima kasih bahwa orang-orang Hek-eng-pang telah membunuh Bu Siang Hok! Kemudian dia teringat bahwa cerita pemuda she Yeliu itu belum lengkap. Belum diceritakannya mengapa ayahnya tewas di tangan Bu Siang Hok. Akan tetapi, itu bukan urusannya dan bagaimanapun juga, dia memang tidak begitu suka kepada Bu Siang Hok, walaupun demi cintanya terhadap adiknya, dia rela membiarkan adiknya itu menikah dengan pria yang dipilihnya sendiri.
Biarlah, pikirnya. Biarlah peristiwa yang menyedihkan itu kini agak terobati. Peristiwa yang membuat hampir semua anggauta Hek-eng-pang merasa menyesal, terutama yang dahulu pernah membantu ayahnya ikut membunuh Bu Siang Hok, kini agak terhibur karena perbuatan mereka itu ternyata dapat menyenangkan orang lain yang kini ingin menghaturkan terima kasih kepada mereka! Maka, dia pun bangkit dan mulailah dia menyuruh panggil mereka yang dahulu ikut mengeroyok Bu Siang Hok, agar tiga hari kemudian mereka datang pagi-pagi menghadapnya di asrama Hek-eng-pang.
Sementara itu, dengan hati lega Tiong Sin kembali ke rumah penginapan. Karena tidak mau pusing mengurus kudanya yang pincang, dia menjual kuda itu lalu membeli lagi seekor kuda yang baik, masih muda dan bertubuh kuat, juga sudah jinak. Dia mempunyai banyak waktu. Dia harus menanti sampai hari ke tiga. Maka dia lalu mencari keterangan tentang tanah kuburan di kota itu, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi dia sudah perrgi ke tanah kuburan untuk mencari kalau-kalau mendiang ayahnya dikubur di tempat itu. Tanah kuburan itu, seperti biasa, nampak sunyi.
Memang hanya pada hari-hari tertentu saja keluarga berkunjung ke tanah kuburan, yang pasti pada hari Ceng-beng. Pada hari itu para keluarga berkunjung ke makam nenek moyang atau kakek dan orang tua, membersihkan makam dan bersembahyang. Kemudian makam itu ditinggalkan lagi bersunyi diri sampai hari tertentu di tahun berikutnya! Semua orang, baik dia pernah menjadi orang terkenal maupun orang biasa, kaya maupun miskin, tinggi maupun rendah, akan mengalami nasib terakhir yang sama. Hanya tinggal segunduk tanah dijadikan kenangan dan dikunjungi keluarga setahun sekali atau dua kali. Akan tetapi ketika Tiong Sin memasuki tanah kuburan yang luas dan di situ terdapat banyak sekali makam dengan berbagai corak, dia tertarik sekali melihat dua orang wanita memasuki tanah kuburan.
Seorang wanita berusia kurang lebih liga puluh tahun, anggun dan jelita, bersama seorang gadis berusia delapan belas tahun yang cantik manis. Tiong Sin terpesona. Dua orang wanita itu memang cantik menarik, terutama sekali gadis itu!. Dan mereka berdua sungguh berani, sepagi itu memasuki tanah kuburan yang masih sunyi, tanpa seorang pun pengawal pria. Karena tertarik, dan dia sendiri belum tahu di mana makam ayahnya, kalau memang di makamkan di tempat itu, maka diam diam dia lalu membayangi kedua orang wanita itu dari jauh, dengan pura-pura berjalan-jalan di tanah kuburan itu. Dua orang wanita itu agaknya tidak ragu-ragu lagi ke mana harus mereka tuju. Tak lama kemudian mereka berdua sudah bersembahyang di depan sebuah makam.
Tiong Sin memperhatikan dari jauh, kemudian dia melangkah, mendekat karena dia ingin melihat makam siapa yang disembahyangi dua orang wanita itu. Dengan perlahan dia berjalan melewati makam itu, pura-pura melihat-lihat makam-makam yang berjajar di situ dan ketika melewati makam yang disembahyangi, dia melirik ke arah huruf-huruf yang diukir di tembok nisan. Jantungnya berdebar tegang ketika dia membaca bahwa makam itu adalah makam Nyonya Tang Cin Siok yang meninggal dunia dalam usia tiga puluh tahun! Ah, kalau begitu gadis itu..... ah, tentu saja! Tang Li Hwa, puteri ketua Hek-eng-pang!
Akan tetapi, cepat dia membuang muka dan pura-pura tidak melihat ketika tiba-tiba gadis itu membalikkan tubuh dan memandang kepadanya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa gadis itu dapat mendengar gerak langkah kakinya, dan hal ini hanya menunjukkan bahwa ia adalah seorang gadis yang memiliki pendengaran tajam, seperti pendengaran seorang ahli silat yang terlatih.
Tiong Sin melangkah terus dan memandang ke kanan kiri, membaca nama nama pada batu nisan makam-makam itu Tiba-tiba dia menahan langkahnya dan matanya terbelalak memandang kepada batu nisan sebuah makam yang agak besar gundukan tanahnya. Batu nisan yang hanya sebuah itu ternyata mengandung dua nama! Nama Bu Siang Hok dan Tang Siok Hwa! Dia terbelalak dan mukanya pucat. Sungguh tidak pernah disangkanya bahwa dia akan berhadapan dengan makam ayah dan ibu kandungnya! Ayah dan ibunya dikubur dalam sebuah makam! Hal ini sungguh tidak pernah disangkanya sama sekali. Bukankah ayah kandungnya amat dibenci oleh Hek-eng-pang sehingga dia keroyok dan dibunuhnya?
Bagaimana kini makamnya menjadi satu dengan ibunya puteri ketua lama Hek-eng-pang? Hal ini tidak mungkin terjadi! Pihak Hek-eng pang tentu tidak akan memperbolehkan kalau andaikata ada keluarga ayah kandungnya yang melakukan hal ini! Dia merasa bingung akan tetapi juga terharu hingga dia tidak menyadari bahwa sejak tadi dia berdiri termenung seperti patung, hanya memandang ke arah dua nama yang terukir di batu nisan itu.
"Sobat, apa hubunganmu dengan makam bibiku ini maka sejak tadi engkau memandang saja dan berdiri mematung di tempat ini?"
Teguran dengan suara halus namun mantap itu mengejutkan hati Tiong Sin dan ketika dia menoleh, wajahnya yang tadinya pucat berubah kemerahan, akan tetapi dia segera dapat menenangkan hatinya dan tersenyum ramah sekali, dengan gayanya yang biasanya memikat kaum wanita. Karena dia sudah menduga dengan siapa dia berhadapan, maka cepat dia mengangkat kedua tangan ke depan dada dengan sikap sopan, lalu menjawab dengan suara yang halus.
"Maaf, Toanio (Nyonya) dan Nona. Aku tidak tahu bahwa ini adalah makam keluargamu, akan tetapi melihat nama Bu Siang Hok, aku terkejut sekali. Nama itu amat kukenal!"
Dia tidak mau berbohong karena dia menduga bahwa mungkin sekali gadis ini sudah mendengar dari ayahnya akan niatnya bertemu dengan mereka yang telah membunuh Bu Siang Hok yang diakui sebagai musuh besarnya.
Kini dia melihat betapa sepasang mata yang indah dan jeli itu memandang tajam lalu bersinar-sinar.
"Aih, kiranya engkau yang bernama Yeliu Tiong Sin itu? Dan mendiang Bu Siang Hok ini musuh besar keluargamu?"
Tiong Sin pura-pura kaget dan memandang heran.
"Benar sekali dugaanmu Nona! Akan tetapi bagaimana..... Nona dapat mengenalku.....?"
Gadis yang sama sekali tidak pemalu ini tersenyum.
"Aku bernama Tang Li Hwa, dan ketua Hek-eng-pang adalah ayahku. Dan ini ibuku, Teng Kwi Nio."
Tiong Sin cepat memberi hormat lagi. Z"Ah, kiranya Toanio dan Nona adalah keluarga Tang Pangcu? Maaf kalau aku tadi bersikap kurang hormat. Aku mengharapkan bantuan ayahmu, Nona, karena aku ingin sekali menghaturkan terima kasih kepada para pendekar Hek-eng-pang yang telah menewaskan musuh besarku."
"Kami sudah mendengar dari ayah, dan ibuku ini..... ia adalan ibu tiriku, ibu kandungku telah meninggal dunia dan makamnya di sana itu."
"Ah, kiranya Nona sudah kehilangan ibu kandung, seperti juga aku yang sejak kecil sudah kenilangan ayah dan ibu. Akan tetapi, tadi aku sungguh terkejut dan heran melihat makam.... eh, musuh besarku ini. Kenapa di sini ditulis nama dua orang? Siapakah yang bernama Tang siok Hwa itu? Ia..... kenapa she Tang?"
"Ia adalah bibiku, adik dari ayahku!"
"Aih, mana mungkin ini.....?"
Tiong Sin pandai sekali bermain sandiwara sehingga dia kelihatan benar-benar terkejut, bahkan wajahnya berubah seperti orang yang terkejut sekali.
Gadis itu tersenyum akan tetapi senyumnya itu mengandung kegetiran, walaupun masih nampak manis sekali.
"Demikianlah kenyataannya, sobat Yeliu Tiong Sin. Dan karena hubungannya dengan bibiku itulah maka kongkong dan para paman di Hek-eng-pang membunuhnya!"
"Apa..... apa yang terjadi.....?"
Tio Sin mendesak, nampaknya ingin tahu sekali, padahal tentu saja dia sudah mendengar dari ayah angkatnya, juga gurunya tentang riwayat ayah dan ibunya. Teng Kwi Nio atau Nyonya Tang Cin Siok yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, kini berkata kepada Li Hwa.
"Li Hwa, sudahlah, mari kita pulang saja Tidak baik bercakap-cakap dengan seorang laki-laki asing di tempat ini....."
Akan tetapi ia melirik ke arah Tiong Sin dengan sinar mata yang tidak dapat menyembunyikan rasa kagumnya terhadap pemudi itu.
"Maaf, Toanio,"
Tiong Sin membantah cepat, dengan suara lembut.
"Akan tetapi, aku bukanlah seorang laki-laki asing Aku sudah menghadap suami Toanio dan diterima sebagai sahabat yang berterima kasih. Dan aku pun hanya ingin mendengar tentang kedua orang yang di makamkan menjadi satu di sini.....!"
Tang Li Hwa tersenyum.
"Tidak mengapa Ibu. Biar kujelaskan sebentar kepada saudara Yeliu ini agar dia tidak merasa nasaran. Begini, saudara Yeliu. Mendiang bibiku, Tang Siok Hwa, saling mencinta dengan mendiang Bu Siang Hok ini. Mendiang kakekku tidak menyetujui, dan akibatnya, mereka berdua lalu melarikan diri, padahal mendiang bibi sedang dalam keadaan mengandung tua.
Sebetulnya, menurut pengakuan ayahku kepadaku, ayah sendiri tidak setuju dengan kekerasan sikap kakekku. Akan tetapi kakek memang keras hati dan sekali tidak setuju, dia tetap tidak setuju. Kakek lalu membawa dua puluh orang paman yang menjadi muridnya melakukan pengejaran. Dia berhasil menyusul bibi dan Bu Siang Hok yang melarikan diri. Akan tetapi ternyata bibi telah meninggal dunia ketika melahirkan. Dalam kedukaan dan kemarahannya, kakek lalu menyerang Bu Siang Hok, dibantu para paman dan akhirnya Bu Siang Hok tewas pula."
Gadis itu berhenti berbicara dan kelihatan betapa ia merasa ikut berduka dengan nasibnya.
"Akan tetapi, bagaimana lalu mereka dapat dimakamkan bersama dalam satu makam di sini?"
Tanya Tiong Sin, kini tidak berpura-pura lagi karena dia memang merasa heran melihat betapa ayah dan ibu kandungnya dapat dikubur dalam satu makam.
"Setelah melihat keduanya meninggal dunia, kakek lalu timbul perasaan menyesal dan baru dia menyadari betapa dia telah bersikap terlalu keras sehingga mengakibatkan kematian puterinya sendiri. Maka, untuk menebus perasaan menyesal itu, kakek lalu memerintahkan agar kedua jenazah itu dimakamkan dalam satu lubang."
Hening sejenak. Biarpun di dalam hatinya Tiong Sin merasa terharu, namun dia tidak memperlihatkan perubahan. wajahnya. Bahkan dia masih dapat memancing,
"Lalu, apa yang terjadi dengan anak yang dilahirkan bibimu itu, Nona?"
"Entahlah. Ketika masih hidupnya kong-kong sudah berusaha mencari, bahkan ayahku juga berusaha mencari, namun gagal. Anak bibi itu lenyap tanpa meninggalkan bekas."
"Li Hwa, sudahlah, mari kita pulang. Nanti kita dinanti-nanti ayahmu.....!"
Kata pula ibu tirinya, melihat betapa sudah ada beberapa orang datang berkunjung ke pemakaman itu dan tentu saja ada yang melihat mereka berdua di situ, bercakap-cakap dengan seorang pemuda asing! Li Hwa lalu mengangguk dan mereka pun berpamit.
Tiong Sin cepat memberi hormat.
"Ah, sebetulnya aku masih ingin sekali bercakap-cakap dengan Toanio dan nona. Sungguh menyenangkan sekali dapat berkenalan dan bercakap-cakap dengan Ji-wi (kalian). Sayang bahwa Ji-wi hendak pulang. Kalau saja aku boleh datang berkunjung untuk melanjutkan percakapan kita, alangkah akan senangnya hatiku. Bolehkah kalau aku datang berkunjung malam ini?"
Sungguh sebuah pertanyaan yang amat berani. Akan tetapi Tiong Sin sudah mengucapkannya dengan penuh perhitungan sambil menyingkap mantelnya sehingga pedangnya nampak. Dia tahu benar akan khasiat pedang itu dan pengaruhnya terhadap wanita, maka dia berani mengeluarkan pertanyaan yang berbahaya itu.
Benar saja. Kedua orang wanita itu nampak terkejut sekali mendengar pertanyaan yang mengandung kekurangajaran ini, akan tetapi sungguh aneh, keduanya tidak jadi marah, bahkan tersenyum senyum dengan muka berubah kemerahan, lalu keduanya membalikkan tubuh dan pergi tersipu-sipu. Mereka itu sama sekali tidak marah, bahkan kelihatan malu malu kucing! Setelah mereka pergi, Tiong Sin tersenyum seorang diri. Boleh jadi Tang Cin Siok tidak ikut mengeroyok ayah kandungnya.
Akan tetapi yang jelas dia adalah putera ketua lama Hek-eng pang, dan justeru ayahnya itulah yang telah membunuh ayah kandungnya. Karena ayahnya sudah meninggal dunia maka kewajiban puteranya untuk membayar! Dan dia tahu bagaimana dia akan membalas kepada ayah Li Hwa! Malam itu hawa amat dinginnya sehingga sore-sore orang sudah memasuki rumah, Jarang yang tinggal di luar kalau tidak ada keperluan penting. Lebih enak tinggal di dalam rumah yang terlindung dari hawa udara yang, amat dinginnya. Apalagi kalau berada di dekat perapian, yang hangat. Banyak pula yang segera memasuki kamar dan berlindung di bawah selimut atau mencari kehangatan dengan pasangan masing-masing.
Di rumah keluarga Tang juga sudah sunyi. Tang Pangcu sendiri baru saja pulang dari sebuah pesta pernikahan keluarga seorang pembesar daerah, dan dia pulang dalam keadaan mabuk. Begitu tiba di rumah, dia langsung tidur di dalam kamarnya, sebentar saja sudah mendengkur dengan pulasnya. Lima orang murid wanita yang juga bertugas sebagai pembantu rumah tangga dan penjaga, juga sudah memasuki kamar mereka di belakang.
Hanya ada seorang saja yang masih belum tidur, bahkan ia berada di taman bunga di belakang rumah, berlatih ilmu silat. Karena hawa udara dingin sekali, ia berlatih silat golok untuk memanaskan tubuhnya dari sengatan hawa dingin. Orang itu bukan lain adalah Tang Li Hwa. Li Hwa bukan hanya karena kedinginan maka ia sengaja berlatih golok. untuk memanaskan badan, juga ia merasa gelisah bukan main. Hatinya gelisah tak menentu semenjak ia pulang dari tanah kuburan, semenjak ia bertemu dan bercakap cakap dengan Yeliu Tiong Sin!
Tak pernah ia dapat melupakan wajah pemuda itu, dan selalu terngiang-ngiang di telinganya ucapan pemuda itu ketika mereka hendak berpisah.
"Bolehkah kalau aku datang berkunjung malam ini?"
Kata-kata itulah yang membuat ia merasa gelisah. Terjadi perang di dalam hatinya. Ia dihantui harapan bahwa pemuda itu akan benar-benar datang berkunjung! Akan tetapi harapan ini diserang oleh pendapat bahwa hal itu sungguh tidak semestinya, tidak sopan dan bahwa pemuda itu kurang ajar sekali. Akan tetapi, hati yang sudah condong tertarik kepada pemuda itu selalu membantah dan bahkan membela Tiong Sin. Dia hanya datang untuk bercakap-cakap, mengapa tidak sopan?
Karena perang batin ini, ia meresa gelisah, lalu ia keluar dari dalam kamar, menuju ke taman sambil membawa goloknya, yaitu senjata keluarga ketua Hek-eng-pang dan ia pun berlatih silat golok, untuk mendatangkan kehangatan tubuh dan juga untuk mengusir kegelisahan hatinya. Anehnya, terselip pula harapan bahwa pemuda itu akan datang berkunjung sehingga ia seolah-olah "menanti"
Kunjungannya itu di dalam taman bunga, dengan dalih berlatih silat! Sesungguhnya, malam itu amat indah, teramat indah!
Bulan purnama telah muncul sejak sore, menciptakan suatu keindahan yang sukar diceritakan. Bukan hanya keindahan yang dapat dinikmati mata dan telinga, bahkan suatu keindahan yang menembus ke dalam batin. Dunia seolah-olah telah berubah dari biasanya. Semua yang nampak bermandikan cahaya bulan yang keemasan, kadang-kadang kalau ada awan tipis melayang lewat dan menyaring cahaya bulan, maka terciptalah sinar yang kehijauan. Pohon-pohon besar nampak hidup dan penuh gairah, daun-daunnya melambai tertiup semilir angin, ranting-rantingnya seperti menggapai dan gemersiknya daun seperti suara tawa halus mulut-mulut manis yang tidak nampak.
Namun semua itu tidak nampak oleh Li Hwa. Juga hampir tidak disadarinya pula betapa begitu ia memasuki taman hidungnya disambut semerbak harum bunga-bunga di taman. Keharuman bunga bunga itu makin kuat ketika tertimpa cahaya bulan purnama. Li Hwa yang sudah sepenuhnya dicengkeram kesibukan pikiran yang gelisah itu sudah kehilangan segala kewaspadaan, kehilangan kesadaran untuk dapat melihat, mendengar atau mencium keadaan yang sebenarnya. Tuhan Maha Kasih! Alam semesta telah diciptakanNya sedemikian sempurna demikian indahnya dan segala sesuatu yang nampak dan tidak nampak ini seolah-olah sengaja diciptakan untuk kepentingan manusia! Namun sungguh sayang sekali, kepribadian kita, Jiwa kita sudah dicengkeram oleh kesibukan pikiran. Pikiran yang bergelimang dengan daya-daya rendah, membangkitkan nafsu-nafsu, selalu menguasai diri kita sehingga kita seolah-olah telah menjadi buta akan segala nikmat itu, segala berkah itu, segala keindahan itu. Sekali-sekali, kalau keadaan pikiran-pikiran kita tenang, baru kita dapat sedikit merasakan kenikmatan dalam kehidupan ini, sedikit saja.
Seolah-olah kita hanya kadang-kadang melihat ujung dari kebahagiaan, tanpa pernah mampu bertemu dan bersatu dengan kebahagiaan itu sendiri. Semua ini adalah karena hati dan pikiran kita yang tadinya memang disertakan kepada kita sebagal alat untuk dapat menikmati dan mensyukuri ciptaan dan berkah dari Tuhan, telah berubah menjadi penyeret kita ke dalam pengejaran kesenangan nafsu belaka. Mungkinkah bagi kita untuk dapat berbahagia, untuk dapat membebaskan diri dari cengkeraman nafsu-nafsu yang di timbulkan oleh daya-daya rendah yang sudan melekat pada hati dan pikiran? Jelas tidak mungkin, karena "kita"
Yang hendak melepaskan diri ini pun timbul dari pikiran! "Kita"
Yang ingin bebas itu pun sudah bergelimang dengan nafsu sudah berada dalam cengkeraman nafsu daya rendah, maka segala usana kita untuk bebas pun masih dalam lingkungi nafsu!
Namun, ada yang lebih berkuasa dari segala nafsu daya rendah. Ialah Sang Pencipta! Pencipta dari segala yang ada. Tuhan Sang Maha Pencipta! Hanya Tuhanlah, hanya kekuasaan Tuhanlah yang akan mampu memulihkan keadaan kita, mampu membebaskan kita dari belenggu nafsu. Ingat dan waspada, itulah obatnya. Ingat selalu kepada Tuhan, setiap saat dan menyerahkan segalanya kepada kekuasaan Tuhan! Waspada terhadap setiap gerak gerik badan dan batin, yaitu hati dan akal pikiran, tanpa ingin mengubahnya Mengapa tanpa ingin mengubah?
Karena KEINGINAN MENGUBAH ini pun masih merupakan kesibukan dari pikiran yang mendorong, maka sudah pasti bahwa di balik keinginan mengubah itu terdapat pamrih! Pamrih untuk memperoleh kesenangan dari perubahan itu! Akibatnya bukan berubah melainkan bertambah sarat dengan keinginan nafsu. Hanya Tuhan yang mampu mengubah dan membersihkan! Kekuasaan Tuhan meliputi segala, yang paling atas dan paling bawah, yang paling dalam dan paling luar.
Dan kita tinggal menyerah, penuh kepasrahan, penuh keikhlasan, penuh kesabaran dan ketawakalan. Ingat dan waspada selalu. Ingat kepada Tuhan setiap saat, menyerah total. Dan waspada terhadap gerak-gerik badan, hati dan akal pikiran seperti kalau dalam perjuangan kita waspada terhadap gerak-gerik musuh yang amat berbahaya.
Li Hwa tidak melihat semua keindahan malam yang dingin itu. Ia berlatih silat golok dan memang dalam latihan yang sungguh sungguh ini, tubuhnya menjadi hangat, darah mengalir cepat dan pencurahan perhatian kepada latihannya membuat ia melupakan kegelisahan, hatinya. Tiba-tiba terdengar suara orang memuji.
"Hebat, to-hoat (ilmu golok) yang indah dan hebat sekali!"
Li Hwa terkejut, menghentikan gerakan goloknya, membalik dan seketika ia merasa jantungnya berdebar dan mukanya menjadi merah. Pemuda yang tadi selalu menggoda pikirannya itu telah berada di depannya! Tiong Sin kini mencabut Pedang Asmara, perlahan-lahan, lalu membungkuk sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
"Nona, malam dingin sekali, memari enak untuk berlatih. Bolehkah aku menemanimu berlatih? Sedikit-sedikit aku pernah belajar ilmu pedang, dan kumohon petunjuk darimu, Nona!"
Li Hwa yang tadinya merasa sungkan dan malu-malu, kini tersenyum. Ia adalah murid terpandai dari Hek-eng-pang bahkan telah mewarisi seluruh kepandaian ayahnya. Tentu saja ia tidak gentar menghadapi siapapun juga, apalagi pemuda yang asing ini, dan hanya untuk berlatih. Bahkan ia berkesempatan untuk menguji kepandaian orang, dan untuk memamerkan ilmu sitatnya kepada pemuda itu dengan mengalahkannya.
"Akulah yang mohon petunjuk dan pelajaran darimu, saudara Yeliu!"
Jawabnya sambil balas memberi hormat dan melintangkan goloknya depan dada. Tiong Sin tersenyum.
"Baiklah, mari kita sama-sama saling belajar dan bersiaplah, Nona, aku mulai menyerang!"
Pedangnya membuat gerakan menusuk dan gadis itu cepat mengelak ke kiri sambil membalas dengan babatan goloknya dari samping ke arah pinggang lawan.
Keduanya bergerak perlahan seolah-olah merasa khawatir kalau-kalau gerakan senjata mereka benar-benar mengenai tubuh lawan yang disayangnya. Akan tetapi, setelah masing-masing merasa yakin akan kelincahan lawan, gerakan mereka makin lama semakin cepat dan belasan jurus kemudian, bukan main rasa kagum dalam hati Li Hwa karena ia mendapatkan kenyataan bahwa pemuda lawannya itu selain memiliki ilmu pedang yang hebat, juga amat lincah dan memiliki tenaga yang kuat! Lebih-lebih pedang di tangannya itu, sinarnya membuat ia seringkali silau dan membuat jantungnya berdebar kencang penuh gairah!
"Haiiiittt.....!"
Tiba-tiba golok itu membacok dari atas ke bawah, menyerang kepala Tiong Sin. Pemuda ini miringkan tubuh, menjauh dan pedangnya menyambar ketika menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.
"Tranggggg..... aihhh.....!"
Golok itu terlepas dari tangan Li Hwa dan menancap ke atas tanah,
(Lanjut ke Jilid 14)
Pedang Asmara (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 14
sedangkan gadis itu menjerit lirih karena tubuhnya terpelanting. Akan tetapi, lengan kiri Tiong Sin sudah merangkulnya sehingga ia tidak terbanting jatuh ke atas tanah, melainkan terjatuh ke dalam rangkulan pemuda itu!
"Ahhhhh.....!"
Li Hwa yang hendak meronta dan marah itu tiba-tiba saja merasa tubuhnya lemah lunglai dan ia memejamkan matanya tanpa melawan ketika merasa betapa bibir pemuda itu membelai pipi dan lehernya dan ia mendengar bisiknya.
"Siauw-moi..... di luar begini dingin.... aku ingin bicara denganmu di dalam..., marilah kita masuk ke rumah....."
Bagaikan orang dalam mimpi, atau yang sudah ling-lung kehilangan semua perlawanannya, Li Hwa mengangguk lalu melangkah meninggalkan taman, menuju ke bangunan rumah keluarganya. Tiong Sin masih sempat mengambil golok gadis itu, kemudian sambil menggandeng tangan gadis yang seperti kehilangan semangat itu, dia mengikutinya berjalan ke arah rumah besar yang nampak sunyi.
"Di mana kamarmu....., kita masuk dari jendela saja agar tidak kelihatan orang lain....."
Tiong Sin berbisik dan dengan tangan kanan dia memegang Pedang Asmara yang terhunus. Gadis itu hanya mengangguk. Samar-samar ia masih teringat betapa janggal keadaan ini dan bahwa ia seharusnya menolak, Namun, ada kekuasaan dan kekuatan lain yang melumpuhkan seluruh kesadarannya. Ia merasa demikian gembira, merasa betapa cinta kasih pemuda itu terhadapnya demikian besarnya, dan ia merasa pula bahwa ia telah jatuh cinta sepenuhnya kepada Yeliu Tiong Sin!
Mereka tiba di depan daun jendela itu. Bagaikan dalam mimpi saja, Li Hwa membuka daun jendela itu lalu meloncat masuk ke dalam diikuti oleh Tiong Sin. Setibanya di dalam kamar, Tiong Sin menutupkan daun jendela, meletakkan pedang dan golok di atas meja, lalu dia merangkul dan mendekap Li Hwa yang hanya pasrah dengan tubuh lemas sambil memejamkan mata.
Selanjutnya, Li Hwa hanya pasrah dan tidak pernah melawan sedikit pun, menuruti segala yang diinginkan Tiong Sin! Sungguh tidak disangka sama sekali bahwa seorang gadis seperti Li Hwa, yang memiliki kegagahan, memiliki kekerasan hati, memiliki harga diri yang tinggi, pada malam hari itu berubah menjadi seperti malam lunak yang mandah saja diperlakukan sesukanya oleh seorang pemuda yang baru saja dijumpainya, la menyerahkan diri tanpa menolak, tanpa membantah, bahkan dengan suka rela dan dengan hati penuh rasa gembira.
Sama sekali tidak sadar bahwa aib dan noda telah mengotori diri dan namanya sebagai seorang gadis terhormat! Sama sekali ia tidak menyadari hal ini, bahkan ia terlena, terseret oleh arus nufsu berahi dan pada saat itu hanya tahu bahwa apa yang dilakukanny adalah menyenangkan dan benar! Dua orang muda itu membiarkan dirinya hanyut dan setelah keduanya terkulai, masih saja Li Hwa terbuai dala kemesraan. Dalam keadaan setengah pulas itu, tiba-tiba daun pintu kamar Li Hwa diketuk orang. Perlahan saja ketuan itu, disusul suara wanita yang memanggil nama Li Hwa.
"Li Hwa, bukakan pintunya.....!"
Tentu saja Li Hwa dan Tiong Sin yang sudah hampir pulas itu, terkejut bukan main mendengar suara ini.
"Ibu tiriku......"
Kata Li Hwa, berbisik.
"Cepat, engkau pergilah dari sini.."
"Li Hwa....."
Kembali terdengar suar Kwi Nio, ibu tiri Li Hwa, di luar.
"bukalah, aku tadi telah melihat kalian.....
"
"Celaka.....!"
Li Hwa berbisik lagi.
"Ia telah melihat kita!"
Tiong Sin merangkulnya.
"Tenanglah Li Hwa. Kalau ia sudah melihat kita satu-satunya jalan adalah melibatkan ia dengan hubungan ini. Nah, engkau pura-pura tidur saja, biar aku yang menghadapinya."
Berkata demikian, Tiong Sin meloncat turun dari pembaringan, meniup padam lilin di atas, meja, lalu menuju ke plntu kamar itu.
Daun pintu kamar dibuka. Kwi Nio melangkah masuk kamar yang gelap itu memanggil.
"Li Hwa....."
"Ia sudah tidur, Toanio. Yang ada aku, marilah kita bicara di dalam."
Tiba-tiba ada dua lengan yang merangkulnya lalu menariknya ke dalam kamar itu, dan daun pintunya ditutup kembali. Kwi Nio segera maklum bahwa pemuda itu yang merangkulnya. Ia hendak meronta, hendak menjerit, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas dan ia tidak mampu mengeluarkan suara karena tubuhnya sudah tertotok.
Akan tetapi tidak lama kemudian, belaian dan rayuan pemuda itu, terutama sekali didorong oleh kekuatan dan pengaruh Pedang Asmara yang menggeletak telanjang di atas meja, membuat nyonya itu sama sekali tidak ingin meronta dan menjerit lagi. Ketika totokannya itu dibebaskan, ia pun menyerah, bahkan menyambut belaian pemuda itu dengan penuh gairah. Demikianlah, dua orang wanita itu seperti telah kehilangan kesadaran mereka, telah dikuasai iblis dan nafsu berahi yang berkobar-kobar, membuat mereka sama sekali tidak sadar bahwa mereka berdua telah melakukan hal yang amat kotor dan yang dapat menghancurkan nama dan kehormatan mereka.
Menjelang pugi, Tiong Sin berpamit dengan mesra dan meninggalkan dua orang wanita itu. Setelah pemuda itu membawa pedangnya meloncat keluar dari jendela, barulah dua orang wanita itu seperti tersentak kaget, saling pandang dan berulang kali mulut mereka berbisik,
"Apa yang telah kulakukan ini.....?"
Akhirnya, mereka saling rangkul dan menangis tersedu-sedu, penuh penyesalan. Namun, segalanya telah terlambat, terutama sekali bagi Li Hwa, dunia seperti hancur lebur. Namun, apa yang akan dapat ia lakukan? Mereka berdua bahkan berjanji untuk saling memegang teguh rahasia yang memalukan itu, karena keduanya terlibat langsung!
Tiga hari kemudian, sejak pagi di lian-bu-thia yang luas dari Hek eng-pang telan berkumpul belasan orang anggauta Hek eng pang. Mereka adalah para murid yang dahulu ikut ketua lama untuk mengeroyok dan membunuh Bu Siang Hok Mereka mentaati perinlah Tang Pangcu untuk berkumpul di situ pada hari itu karena menurut perintah sang ketua, ada seorang tamu yang ingin bertemu dengan mereka, menghaturkan terima kasih dan juga berkenalan. Diam-diam mereka itu saling bertanya-tanya, siapa gerangan tamu itu dan apa perlunya dengan mereka.
Urusan dengan Bu Siang Hok yang sudah lewat dua puluh tahun itu hampir terlupa oleh mereka, dan urusan itu merupakan peristiwa yang paling tidak enak bagi mereka. Ketika Tang Cin Siok memasuki lian bu-thia, para anggauta tua Hek-eng-pang itu segera bertanya kepada sang ketua apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh tamu itu dan mana pula tamunya.
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Harap kalian tenang dan bersabar Tentu sebentar lagi dia datang dan kalian boleh mendengar sendiri darinya Akan tetapi, dia amat berterima kasih dan melihat sikap dan kata-katanya mungkin dia akan memberi hadiah kepada kalian."
Lima belas orang murid Hek-eng-pang itu tersenyum. Tak mereka sangka bahwa urusan dua puluh tahun yang lalu itu kini dihidupkan kembali, bahkan ada orang yang hendak berterima kasih dan memberi hadiah kepada mereka, karena orang itu musuh besar Bu Siang Hok dan dia menganggap mereka telah berjasa! Tak lama kemudian, muncullah Tiong Sin yang segera memberi hormat kepada Tang Pangcu. Kemudian mereka semua memasuki lian bu-thia dan Tiong Sin diperkenalkan kepada lima belas orang murid itu."
Yang ada tinggal mereka ini, yang lain ada yang sudah meninggal, ada pula yang sudah berpindah ke kota lain, yang jauh."
Kata Tang Cin Siok. Tiong Sin memandang mereka. Mereka semua adalah laki-laki yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, bersikap gagah. Dia tersenyum ramah.
"Pangcu, apakah mereka ini dahulu itu ikut menyerang Bu Siang Hok? Aku hanya ingin bicara dengan mereka yang dulu ikut membinasakan musuh besarku itu, maka sebaiknya kalau yang dahulu tidak ikut, agar jangan masuk ke dalam lian-bu-thia ini."
Tang Cin Siok mengangguk dan tersenyum.
"Mereka lima belas orang itu memang dulu mengikuti ayah ketika melakukan pengejaran Aku sendiri mulai tidak ikut. Nah, silakan engkau bicara dengan mereka, orang muda, aku akan menanti di luar."
Berkata demikian, ketua itu lalu keluar dari lian-bu-thia.
Tiong Sin lalu menutupkan daun pintu ruangan berlatih silat itu, dan menghadapi lima belas orang itu sambil tersenyum ramah.
"Cu-wi telah berjasa besar dan selain ucapan terima kasih yang sedalamnya, aku ingin memberi sekedar hadiah atau tanda mata kepadi Cu-wi (anda sekalian). Kuharap Cu-wi suka berdiri berjajar agar memudahkan aku membagi hadiah."
Lima belas orang itu tersenyum-senyum dan mereka pun bangkit, lalu berdiri berjajar di depan pemuda tampan yang tersenyum-senyum itu. Tiong Sin lalu berkata dengan lantang,
"Cu-wi, sesungguhnya aku ingin sekali dapat berhadapan sendiri dengan musuh besarku, Bu Siang Hok itu. Ingin sekali aku mencoba sampai di mana hebatnya ilmu kepandaiannyn. Namun sayang, dia telah mati dan karena yang membunuhnya ialah Cu-wi, maka kiranya melalui Cuwi,aku akan dapat menduga sampai di mana tingkat kepandaian Bu Siang Hok. Nah, harap Cu-wi suka bermurah hati dan mengeroyok aku seperti ketika Cuwi mengeroyok Bu Siang Hok dahulu, sehingga Cu-wi akan dapat mengatakan kepadaku, siapa di antara dia dan aku yang lebih lihai. Selelah mendengar pendapat Cu-wi, barulah hatiku akan merasa puas. Nah, harap Cuwi bersiap-siap dengan senjata Cu-wi, dan keroyoklah aku seperti ketika Cu wi mengeroyok Bu Siang Hok!"
Lima belas orang nuggauta Hek eng pang itu saling pandang. Mereka terkejut mendengar permintaan yang aneh dan tidak mereka sangka-sangka itu. Akan tetapi, kalau hanya menguji kepandaian saja, tidak ada salahnya, pikir mereka. Biarlah pemuda yang agaknya amat mendendam kepada Bu Siang Hok ini merasa puas. Sambil tertawa-tawa mereka pun lalu mencabut golok mereka dan mengepung Tiong Sin.
"Nah, mulailah, Cu-wi. Jangan ragu ragu, keroyok aku seperti dulu kalian mengeroyok Bu Siang Hok!"
Kata Tiong Sin sambil melintangkan pedangnya depan dada, sikapnya waspada. Dia sama sekali tidak merasa gentar. Dia sudah mendapat keterangan bahwa yang paling lihai antara para murid Hek eng pang adalah Li Hwa, dan dia sudah mengukur sampai di mana kepandaian gadis itu. Kini, menghadapi lima belas orang itu, dia sama sekali tidak merasa gentar. Dengan sikap main-main, seorang di antara para murid Hek eng pang yang berada di belakangnya membentak,
"Awas aku mulai menyerang"
Dan dia pun menggerakkan goloknya membacok dari belakang. Tentu saja dia tidak mempergunakan seluruh tenaganya dan andaikata dia melihat pemuda itu kurang cepat menghindarkan diri atau menangkis, dia akan menahan serangannya karena memang sama sekali tidak ada niat hatinya mencelakai pemuda itu.
"Singgg..., tranggg.....!"
Nampak sinar terang berkelebat ketika Tiong Sin membalikkan tubuhnya, pedangnya menyambar dan sekali tangkis, golok di tangan murid Hek-eng-pang itu patah menjadi dua, dan sinar pedang masih terus meluncur dan pundak kanan orang itu tertusuk ujung pedang.
"Aduhhh.....!"
Dia terhuyung ke belakang memegangi pundaknya yang terluka. Terkejutlah semua murid Hek-eng-pang.
"Heiiiii! Apa artinya ini?"
"Kenapa kau melukai saudara kami?"
Namun, Tiong Sin tidak mempedulikan teriakan-teriakan dan teguran mereka itu, dia sudah memutar pedangnya, sinar Pedang Asmara bergulung-gulung, menyambar-nyambar dan kembali dua orang sudah roboh terluka! Tentu saja para murid lain menjadi terkejut, heran akan tetapi juga marah sekali. Kini mereka mengepung dan menyerang dengan sungguh sungguh karena jelas bahwa pemuda ini mempunyai niat yang buruk. Dan terjadilah pengeroyokan seperti dahulu ketika Bu Siang Hok dikeroyok tepat seperti diinginkan Tiong Sin. Dan dia pun mengamuk.
Tingkat kepandaian Tiong Sin memang jauh lebih tinggi daripada tingkat para murid Hek-eng-peng. Apalagi dia memegang Pedang Asmara, sebatang pedang yang memiliki daya melumpuhkan wanita akan tetapi kalau bertemu dengan senjata lain merupakan senjata yang amat ampuh, mampu mematahkan senjata yang keras! Baru belasan jurus saja, lebih dari setengah jumlah pengeroyok telah kehilangan golok mereka yang patah-patah disusul robohnya tubuh mereka, ada yang tertusuk, ada yang terbacok pedang yang ampuh itu. Tiong Sin mengamuk sambil tertawa-tawa seperti orang gila! Hatinya gembira bukan main melihat para pengeroyoknya, para pembunuh ayahnya roboh satu demi satu!
Sementara itu, Tang Cin Siok yang tadinya berada di luar lian-bu thia, berjalan-jalan di taman tak jauh dari ruangan berlatih silat itu, menjadi heran bukan main ketika dia mendengar suara beradunya senjata di dalam ruangan itu. lebih kaget lagi ketika suara benturan senjata tajam itu disusul tenakan-teriakan kesakitan. Dia pun cepat lari menghampiri dan sekali dorong, daun pintu ruangan itu pun terbuka. Dia terbelalak, terkejut bukan main melihat pemuda itu mengamuk dan melihat betapa dengan cepat, semua anggauta Hek-eng-peng yang berjumlah lima belas orang itu, satu demi satu dalam keadaan terluka parah!
"Heiii, apa yang kau lakukan ini?"
Bentaknya dan dia pun sudah mencabut goloknya dan langsung saja melompat masuk dan menyerang! Dengan pengerahan tenaga, dia membacokkan goloknya dari samping, dan gerakannya selain amat cepat, juga kuat sekali karena ketua ini sudah marah melihat betapa lima belas orang anggautanya roboh terluka. Melihat dirinya diserang, Hong Sin tersenyum, pedangnya berkelebat menangkis dan dia mengerahkan tenaganya.!
"Tranggg.... !"
Golok di tangan Tang Pangcu itu patah menjadi dua. Tiong Sin tidak ingin melukai ketua itu. Kalau di mau, tentu mudah baginya untuk membacokkan atau menusukkan pedangnya Akan tetapi dia tidak mau melukai ketua itu. Bagi Tang Cin Siok, dia memilih pembalasan yang lain lagi caranya. Ketika golok itu patah, Tang Cin Siok menjadi pucat dan dia memandang terbelalak ketika pemuda itu sambil tertawa melompat pergi dari situ.
"Heiii! Jelaskan dulu apa artinya perbuatanmu ini!"
Bentak Tang Cin Siok yang merasa tidak berdaya untuk melakukan pengejaran, maklum bahwa pemuda itu lihai sekali dan pedang di tangannya itu amat ampuhnya. Tiong Sin menoleh sambil tersenyum mengejek.
"Pangcu, kalau engkau ingin penjelasan, malam nanti aku akan menjelaskan!"
Setelah berkata demikian, sekali melompat, pemuda itu telah lenyap dari Situ. Dia mencoba untuk mengejar keluar, akan tetapi pemuda itu tidak tampak lagi dan dari dalam rumah muncul puterinya, Tang Li Hwa yang memandang kepadanya dengan muka pucat.
"Ayah, apa yang telah terjadi?"
"Celaka, pemuda itu mendatangkan bencana!"
Kata Tang Cin Siok dan dia segera lari lagi ke lian-bu-thia. Dengan muka menjadi semakin pucat. Li Hwa mengikuti ayahnya.
Ketika mereka tiba di lian-bu-thia, Li Hwa terbelalak melihat betapa lima belas orang murid Hek-eng-pang yang katanya akan menerima ucapan terima kasih dan tanda mata dari pemuda bernama Yeliu Tiong Sin itu kini sudah rebah malang melintang, ada yang luka ringan, ada yang luka berat bahkan ada pula yang tewas. Lian-bu-thia itu berubah menjadi seperti ruangan pembantaian dan lantainya berlepotan darah!
"Cepat, panggil para anggauta lain untuk menolong!"
Kata ayahnya. Dengan muka pucat sekali dan hati tidak karuan rasanya, Li Hwa meloncat dan tak lama kemudian, para murid dan anggauta Hek-eng-pang berdatangan dan mereka segera menolong yang luka, dan mengurus yang tewas.
Malam itu, asrama Hek-eng-pang berkabung. Lima buah peti mati berjajar di ruangan depan. Di antara lima belas orang murid itu, lima orang tewas, tiga orang luka berat dan tujuh orang luka tidak begitu berat. Li Hwa sendiri tidak keluar, melainkan mengeram diri dalam kamar dan terus-terusan menangis, ibu tirinya menemaninya dan ibu tiri ini pun menangis.
"Akan kubunuh dia! Ah, akan kubunuh dia.....!"
Berulang kali Li Hwa berkata seperti orang gila dan Kwi Nio juga hanya dapat menangis. Wanita ini maklum bahwa ada sesuatu yang tidak wajar yang membuat ia dan anak tirinya begitu mudah menyerahkan diri kepada pemuda itu. Dan kini pemuda itu bahkan telah merobohkan lima belas orang murid Hek eng-pang tanpa alasan apa pun. Betapa kejamnya! Tentu saja ia menyesal sekali telah menyerahkan diri dinodai pemuda itu. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Hal itu terjadi begitu saja malam tadi, seperti juga Li Hwa yang demikian mudahnya menyerahkan kehormatan dirinya yang masih gadis.
Tan Cin Siok sendiri duduk di ruangan depan, bersila di atas lantai, wajahnya murung dan keruh. Sekali ini, nama Hek-eng-pang menjadi rusak oleh ulah seorang pemuda saja yang tidak diketahui benar asal-usulnya. Karena Hek-eng-pang berhubungan baik dengan pasukan keamanan kota Wang-cun bahkan dia mengenal baik komandan perbatasan, maka beberapa orang perwira datang melayat dan mereka menjanjikan bantuan untuk menyelidiki dan kalau dapat menangkap pemuda yang mengaku bernama Yeliu Tiong Sin itu. Para isteri dan keluarga yang mati, berkumpul pula di situ dan hujan tangis membuat suasana berkabung itu semakin menyedihkan.
Semua anggauta Hek-eng-pang berkumpul di situ dan pada wajah mereka jelas nampak kemarahan dan dendam terhadap pemuda yang mendatangkan bencana ini. Siang tadi, mereka semua telah mencoba untuk mencari pemuda itu, semua penginapan diperiksa. Akan tetapi pemuda itu telah meninggalkan kamar di rumah penginapan yang disewanya, dan menurut keterangan orang yang melihatnya, dia telah pergi meninggalkan kota Wang-cun dengan naik seekor kuda.
Biarpun demikian, malam itu mereka menanti dengan hati tegang, siap untuk mengeroyok dan menangkap hidup atau mati pemuda itu. Apalagi mereka mendengar bahwa pemuda itu telah berjanji kepada ketua mereka, bahwa malam ini dia akan datang memberi penjelasan. Kalau benar dia datang, mungkin pemuda itu telah gila! Bukan hanya puluhan orang anggauta Hek-eng-pang yang menanti dan siap mengepung, bahkan Tang Pangcu sudah mendatangkan belabantuan yaitu para jagoan dari benteng pasukan pemerintah. Sedikitnya ada lima belas orang jagoan dari benteng yang menyamar sebagai sahabat-sahabat yang datang melayat dan mereka ini sudah siap untuk membantu Hek-eng-pang kalau pemuda itu benar-benar berani muncul ke tempat itu.
Malam itu bulan masih purnama dan hawa udara masih tetap dingin seperti malam kemarin. Akan tetapi, seorang penunggang kuda membalapkan kudanya, menuruni bukit kecil menuju ke kota Wang-cun. Di luar kota, dia menghentikan kudanya dan melompat turun, menambatkan kudanya pada sebatang pohon dan membiarkan kudanya makan rumput di bawah pohon, lalu dia melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki. Akan tetapi dia bukan berjalan, melainkan berlari, bahkan lebih mirip terbang karena kedua kakinya itu dengan kecepatan luar biasa bergerak dan tubuhnya meluncur ke depan, seolah-olah kedua kaki itu tidak menginjak bumi. Itulah ilmu berlari cepat yang hebat.
Di luar tembok kota Wang-cun, dia berhenti di tempat gelap dan dia tersenyum melihat betapa berbeda dengan hari-hari biasa, kini bukan hanya pintu gerbang terjaga ketat, akan tetapi bahkan ada yang mondar-mandir di sepanjang tembok melakukan perondaan! Seperti sudah diduganya, malam ini tentu pihak Hek-eng-pang melakukan penjagaan ketat, bahkan dibantu oleh pasukan pemerinlah.
Orang itu adalah Tiong Sin. Dia memang sudah menduga bahwa dirinya tentu dicari dan kota itu tentu dijaga ketat apalagi karena dia sudah berjanji kepad Tang Cin Siok untuk datang memberi penjelasan. Dan biarpun dia sudah membalas dendam kematian ayahnya kepada mereka yang dahulu mengeroyok ayahnya sampai mati, namun dia masih belum memberi pukulan terakhir kepada keluarga Tang, keluarga ibunya yang telah menghancurkan kebahagiaan ibunya, yang"
Menyebabkan ibunya sengsara, melarikan diri dalam keadaan mengandung tua sehingga ibunya tewas ketika melahirkan.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar bagi Tiong Sin untuk memilih tembok kota yang lepas dari penjagaan para peronda, melompati pagar tembok itu dan menyusup masuk ke dalam kota. Malam itu dingin dan karenanya, seperti kemarin malam, keadaan kota menjadi sunyi biarpun malam belum begitu larut. Dengan mudah Tiong Sin menyelinap dan melompat pagar tembok yang mengurung rumah dan asrama Hek eng-pang, masuk ke dalam taman dari mana dia dapat menghampiri kamar tidur Li Hwa! Pukulan terakhir terhadap keluarga Tang akan dilakukannya dari kamar tidur gadis putih mulus yang cantik manis itu!
Tentu saja para murid Hek-eng-pang yang melakukan penjagaan di pintu gerbang dan di keempat sudut rumah dan markas Hek-eng-pang, tidak ada yang berani menjaga dekat kamar Li Hwa. bukankah Li Hwa memiliki kepandaiannya yang lebih tinggi daripada mereka semua? Gadis itu akan tersinggung hatinya kalau melihat kamarnya dijaga anggauta Hek-eng pang. Dan justeru hal ini yang memudahkan Tiong Sin untuk menghampiri kamar itu dan sekali renggut, daun endela kamar itu terbuka dan dia lalu meloncat ke dalam kamar yang terang karena dipasangi banyak lilin untuk menambah terangnya lampu gantung.
Akan tetapi, begitu kakinya menyentuh lantai kamar, tiba-tiba saja terdengar bentakan.
"Jananam, mampuslah engkau!"
Dan sebatang golok sudah menyambar ke arah lehernya! Tiong Sin cepat mengelak sambil mencabut Pedang Asmara. Golok itu menyambar lagi. Dengan kecepatan luar biasa. Tiong Sin merendahkan tubuhnya dan ketika golok menyambar lewat ke atas kepalanya, dia menangkap pergelangan tangan kanan yang memegang golok, lalu menekan lengan itu dan di lain saat tubuh gadis itu telah berada dalam rangkulannya dan Pedang Asmara telah ditempelkannya di dada gadis itu, bukan ditodongkan ujungnya, melainkan ditempelkan.
"Aih, Li Hwa. Bukankah engkau cinta padaku?"
Dan dia pun mencium pipi gadis itu. Li Hwa seketika merasa lutut nya lemas dan ia tidak melawan ketika pemuda itu mengambil goloknya dan memondong tubuhnya ke pembaringan. Ketika Tiong Sin melihat Kwi Nio, ibu tiri gadis itu ternyata berada pula di situ dia tersenyum dan menyambar lengan nyonya muda itu dan ditariknya pula bersama-sama duduk di atas pembaringan. Nyonya yang tadinya juga sudah siap untuk menjerit, kini keadaannya tidak berbeda seperti Li Hwa. Ia menjadi lemas dan hanya memejamkan mata ketika pemuda itu membelainya, bergantian dengan Li Hwa.
Dua orang wanita itu sama sekali tidak dapat melawan ketika pemuda itu memadamkan semua penerangan dalam kamar dan terulanglah kembali peristiwa malam kemarin, di mana kedua wanita itu menyerah tanpa membantah sedikit pun juga karena mereka sendiri telah dibakar nafsu berahi yang berkobar tanpa mereka ketahui apa yang menyebabkannya! Mereka samar-samar masih ingat bahwa pemuda ini telah mendatangkan bencana, dan hal ini amat menyedihkan hati mereka karena mereka kini menyerahkan diri seperti itu kepada pemuda yang mestinya mereka benci.
Mereka sama sekali tidak tahu bahwa Pedang Asmara telah memperlihatkan pengaruhnya yang mujijat! Ibu tiri dan anak tiri itu merintih dan menangis lirih, namun mereka tidak pernah menolak dan menyerahkan diri dengan suka rela menurut semua kehendak pemuda itu atas mereka. Setelah Tiong Sin merasa puas mempermainkan mereka, dia membiarkan dua orang wanita itu menangis sambil memeluki bantal. Sambil tersenyum kejam dia mengenakan lagi pakaiannya. Pada saat itu, terdengar suara dari luar.
"Siocia (Nona).....! Toanio.....?"
Suara seorang wanita tua, yaitu murid atau anggauta Hek-eng-pang wanita yang juga bekerja sebagai pembantu dan penjaga. Daun pintu diketuk dan agaknya wanita itu mendengar isak tangis mereka, maka didorongnya daun pintu itu terbuka, dan dengan tangan kanan memegang sebuah tempat lilin dengan tiga batang lilin bernyala, dengan hati-hati ia memasuki kamar.
Murid Hek-eng-pang itu tertegun. Matanya terbelalak memandang ke dalam kamar, melihat nonanya dan nyonyanya menangis di atas pembaringan dalam keadaan tanpa pakaian, dan di dekat pembaringan berdiri seorang pemuda yang membereskan pakaiannya dan tersenyum kepadanya! Pemuda yang pagi tadi telah merobohkan lima belas murid tingkat pertama dari Hek-eng-pang! Tentu saja murid wanita itu terkejut dan menjerit, lalu berlari keluar.
Tak lama kemudian, muncullah Tang Cin Siok sendiri diikuti lima orang murid wanita dan beberapa orang murid lain. Ketua itu memegang sebatang golok, dan semua murid Hek-eng-pang juga memegang golok. Ketika Tang Pangcu melihat keadaan di dalam kamar, keadaan isterinya dan puterinya, mukanya berubah pucat sekali, lalu berubah merah padam dan matanya mencorong seolah-olah dia hendak membunuh Tiong Sin dengan sinar matanya.
Pemuda itu tersenyum. Dia sudah selesai berpakaian dan kini pedang pusaka itu berada di tangannya.
"Pangcu, aku memenuhi janji. Engkau ingin penjelasan mengapa aku merobohkan lima belas orang murid Hek-eng-pang pagi tadi? Dan mengapa pula aku sekarang mempermainkan isterimu dan puterimu? Bukalah mata dan telingamu Pandang aku baik-baik dan dengarkan kata-kataku. Nama keturunanku bukan Yeliu melainkan Bu.
Aku bernama Bu Tiong Sin! Mendiang Bu Siang Hok dan Tang Siok Hwa adalah ayah dan ibu kandungku! Hek-eng-pang telah mencelakakan ayah dan ibuku, maka hari ini aku datang membalas dendam!"
Kini mata Tang Cin Siok terbelalak "Kau..... kau..... anak yang dilahirkan Siok Hwa.... yang hilang itu?"
Tiong Sin tertawa.
"Tang Pangcu engkau adalah pamanku, kakak dari ibuku. Akan tetapi, ayahmu telah menghancurkan kebahagiaan ibuku, oleh karena itu hari ini aku datang untuk membalas dendam. Aku tidak bisa membalas kepada kakekku yang sudah mati, akan tetapi engkau sebagai keturunannya dapat mewakilinya menerima pembalasanku, ha-ha-ha!"
Setelah berkata demikian, dengan hati yang puas sekali, Tiong Sin melompat keluar melalui jendela. Tang Cin Siok tentu saja sudah dapat menduga apa yang dilakukan oleh pemuda itu. Tentu pemuda itu telah memperkosa isterinya dan puterinya. Melihat betapa isterinya dan puterinya kini bersembunyi di dalam gulungan selimut sambil menangis, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya.
"Kejar! Bunuh jahanam keparat itu!"
Teriaknya dan keadaan menjadi kacau dan geger. Para jagoan dari benteng yang menyamar sebagai tamu pelayat, sudah cepat mendengar dan mereka pun ikut mengejar pemuda yang melarikan diri melalui taman itu. Sebagian pula cepat mengatur penjagaan dan kini kota Wang-cun seolah-olah dikepung dan tidak diberi kesempatan kepada siapapun juga untuk keluar kota tanpa diketahui para penjaga. Tiong Sin yang memandang rendah Hek-eng-pang, ketika melarikan diri dan meloncat keluar dari pagar tembok asrama perkumpulan itu, terkejut juga ketika tiba-tiba muncul lima orang setengah tua yang tanpa banyak cakap sudah mengurungnya dengan pedang mereka.
"Hemmm, kalian sudah bosan hidup!"
Bentaknya dan dia pun memutar Pedang Asmara untuk membikin patah senjata di tangan para pengeroyoknya. Akan tetapi lima orang itu menarik pedang masing masing dan menyerang lagi dengan cepat jelas bahwa mereka tidak mau mengadu senjata mereka dengan pedang di tangan pemuda itu. Hal ini adalah karena para jagoan benteng ini sudah mendengar dari Tang Pangcu betapa ampuhnya pedang pemuda itu yang mampu mematahki semua senjata lain. Melihat ini, Tiong Sin terkejut dan cepat dia pun memutar pedang melindungi tubuhnya, lalu membalas dengan serangan maut. Bagaimanapun juga, tingkat kepandaian para jagoan itu masih belum mampu menandingi Tiong Sin sehingga mereka terdesak hebat apalagi karena pemuda yang lihai itu menggunakan pedang yang demikian ampuhnya.
Akan tetapi, Tang Pangcu bersama para anggauta Hek-eng-pang segera bermunculan dan ikut mengepung dan mengeroyok. Juga lebih banyak lagi jagoan datang mengeroyok. Tiong Sin terkejut mulai knawatir. Biarpun pedangnya dapat mematahkan beberapa batang senjata para pengeroyok, namun jumlah mereka banyak sekali. Dia pun melompat ke samping lalu melarikan diri. Tang Pangcu yang marah sekali cepat mengejar bersama para jagoan, diikuti. pula oleh banyak murid Hek-eng-pang. Ketika Tiong Sin melarikan diri, setibanya di jalan perempatan, dia sudah dihadang oleh banyak lawan.
Terpaksa dia mengamuk lagi, akan tetapi dari belakang, para pengejarnya sudah tiba! Kalau dia lanjutkan perkelahian yang berat sebelah itu, akhirnya dia tentu akan celaka! Dia melawan mati-matian dan berhasil merobohkan beberapa orang. Namun dia dihimpit dan didesak, sehingga terpaksa harus melarikan diri lagi. Dia tidak tahu bahwa kota itu sudah dipenuhi orang-orang yang hendak menangkapnya, maka tak lama kemudian, dia sudah dihadang lagi dan terpaksa dia mengamuk lagi. Karena Tang Pangcu dan para pendekar juga memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, dikeroyok oleh orang sedemikian banyaknya, mulailah Tiong Sin tercium ujung senjata para pengeroyok dan sudah menderita beberapa luka yang biarpun tidak terlalu parah, namun cukup membuat darah banyak keluar dan perlawanannya mulai lemah. Dia merasa lelah sekali harus berlari-lari lalu dikepung dan dikeroyok lagi sampai beberapa jam lamanya.
Tiong Sin sudah berputar-putar di sebagian besar kota Wang-cun, namun tidak berhasil berlari keluar karena setiap kali tiba di tembok kota, di sana sudah menunggu pasukan keamanan. Dia dikeroyok dihujani anak panah dan biarpun dia lihai, menghadapi pengeroyokan seperti itu, mulailah dia merasa cemas. Tak disangkanya bahwa Hek-eng-pang memiliki pengaruh yang demikian besarnya, sehingga pemerintah setempat dan pasukan keamanan perbatasan mau membantu Hek-eng-pang seperti itu.
Tiong Sin menjadi semakin bingung dan akhirnya panik ketika melihat betapa sinar matahari pagi mulai membakar ufuk timur, siap untuk mengusir kegelapan malam. Kalau sampai keburu terang, celakalah dia! Akan lenyap, semua harapan untuk dapat lolos dan terpaksa dia harus mengamuk terus sampai mati!
Dan dia masih belum ingin mati! Dia masih muda, dia tidak mau mati sekarang. Tiong Sin menangkis sebatang tombak dan tombak itu patah, akan tetapi mata tombak itu meluncur dan mengenai paha kanannya, menancap di paha. Biarpun tidak berapa dalam, namun menambah luka-lukanya. Dia mencabut mata tombak itu dan melihat sebuah rumah yang tidak berapa tinggi di sebelah kiri, dia lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan meloncat ke atas genteng rumah itu. Karena kakinya sudah terluka. maka dia tidak dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dengan baik.
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo