Ceritasilat Novel Online

Pedang Asmara 25


Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 25



"Kalau dia ini murid Tung Kiam bagaimana kalian dapat datang bersama-sama?"

   Pak Ong melontarkan kecurigaannya yang terakhir.

   Siang Bwee tersenyum.

   "Paman Ji yang baik, semua ini kebetulan saja Ketika aku tiba di Yen-king, kebetulan aku bertemu dengan Kwee San Hong ini dan berkenalan. Karena kami mempunya niat yang sama, maka kami pun melakukan perjalanan bersama ke sini untuk menghadap Paman."

   "Huh! Puteri Nam Tok yang patriot bersahabat dengan murid Tung Kiam yang pengkhianat bangsa? Sungguh tidak patut, akan tetapi aku tidak peduli. Nah bocah she Kwee murid Tung Kiam, mau apa engkau berkeliaran ke sini mencariku?"

   Pak Ong memandang kepada San Hong dengan sinar mata mencorong karena dia masih penasaran kalau mengingat betapa tamparannya tadi dapat dielakkan dengan mudah oleh pemuda ini. Menghadapi pertanyaan yang tiba-tiba itu dan melihat sepasang mata mencorong seperti kilat menyambar, San Hong terkejut dan dia tidak tahu harus menjawab apa karena sebelumnya dia tidak menduga bahwa dia kini tiba-tiba menjadi murid Tung Kiam!

   "Saya..... oh, saya....."

   "Paman Ji, dia pun diutus oleh gurunya....."

   Siang Bwee membantu.

   "Aku tidak bicara denganmu, Siang Bwee! Biarkan dia menjawab sendiri!"

   Pak Ong membentak.

   "Akan tetapi, Paman Ji. Kwee San Hong ini orangnya sukar sekali bicara, kalau bicara gagap, apalagi kalau dia gugup, makin sukar kata-kata keluar dari mulutnya. Dia pernah bercerita kepadaku banwa dia memang diutus gurunya, akan tetapi berbeda dengan tugasku. Kalau aku disuruh menyampaikan salam dan peringatan ayahku bahwa sebaiknya Paman tidak ikut perlumbaan adu kepandaian, Kwee San Hong ini disuruh oleh Tung Kiam dengan maksud lain. Tung Kiam berpendapat bahwa dengan adanya perang, maka pertemuan di Thay-san itu sebaiknya diundur saja....."

   "Tidak mungkin diundur! itu hanya, akal bulus Tung Kiam yang merasa takut! Apalagi punya murid tolol ini!"

   "Tung Kiam sudah menduga bahwa tentu Paman mengira dia takut. Maka dia menyuruh muridnya ini untuk membuktikan bahwa Tung Kiam telah memperoleh kemajuan pesat dan dia yakin bahwa Paman tidak akan mampu memecahkan dan mengatasi ilmu-ilmu barunya yang telah diwariskan kepada Kwee San Hong ini."

   "Omong kosong! Heiii, tolol bocah she Kwee. Benarkah demikian itu pesan gurumu?"

   "Be... benar..... Lo-cian-pwe.....

   "

   Kata San Hong gagap, sekali ini memang sengaja menggagap karena Siang Bwee sudah terlanjur membuat pengakuan begitu. Dia tidak mau gadis kekasihnya itu dianggap pembohong! Cinta San Hong terhadap gadis itu terlampau besar sehingga dia tidak tega untuk menyinggung perasaan gadis itu atau merugikannya.

   "Huh! Biar seluruh ilmu milik Tung Kiam diwariskan kepada pemuda tolol ini, satu demi satu akan dapat kupecahkan. Hei, Kwee San Hong, ilmu-ilmu baru macam apa yang begitu diragukan oleh Tung Kiam? Hayo jawab, jangan ditanya bengong seperti orang tolol!" "Kwee San Hong, jawablah dan jangan gagap gugup.

   Engkau bilang ada dua macam ilmu baru yang telah kaupelajari dari gurumu itu!"

   Siang Bwee diam-diam membantu San Hong.

   "Oh..... benar..... ilmu..... oh, itu..... Tung-hai Liong-kiam... dan... dan... silat tangan kosong..."

   "Tung-hai Mo-kun tentu saja!"

   Siang Bwee menyambung.

   "Paman Ji, aku yakin engkau tentu sudah tahu, seperti juga engkau sudah tahu akan ilmu baru ayahku. Kenapa bertanya lagi? Kau membikin dia semakin gugup saja, kalau dipaksa terus, sebentar lagi dia menjadi gagu sama sekali!"

   Siang Bwee berkata.

   "Sudah kukatakan tadi, ayah berpesan agar ilmu-ilmu barunya yang sudah kukuasai, tidak kuperlihatkan kepada orang lain, apalagi kepadamu, Paman. Akan tetapi, ilmu-ilmu Tung Kiam itu boleh saja Paman lihat karena memang Tung Kiam sengaja mengirim muridnya untuk menantangmu apakah engkau akan mampu memecahkannya.?"

   "Bagus! Hei, orang muda tolol! Hayo kita pergi ke lian-bu-thia (ruang latihan silat) dan hendak kulihat apakah ilmu-ilmu dari Tung Kiam itu setolol engkau!"

   Tanpa menanti jawaban, Pak Ong bangkit dan memasuki pintu bagian dalam itu. San Hong tetap bengong karena dia tidak ingin mencoba kepandaiannya melawan kakek yang mengerikan itu, akan tetapi Siang Bwee bangkit dan memberi isyarat kepadanya untuk ikut. San Hong menggerakkan pundak, menarik napas panjang dan terpaksa bangkit dan mengikuti gadis itu memasuki rumah. Pak Ong tanpa menoleh terus melangkah dan masuk ke dalam sebuah ruangan yang luas dan kosong dan di sudut terdapat rak senjata. Itulah lian-bu-thia.

   "Kwee San Hong, hayo maju ke sini dan coba kauserang aku dengan ilmu simpanan Tung Kiam itu!"

   Tantangnya sambil berdiri di tengah ruangan itu.

   "Aku..... aku..... tidak berani....."

   San Hong berkata sejujurnya karena memang sesungguhnya dia tidak ingin berkelahi dan tidak berani bersikap lancang terhadap seorang lo-cian-pwe yang sepatutnya dihormati, dan dia tetap berdiri di pinggir, dekat Siang Bwee.

   "Kwee San Hong, kenapa sih engkau ini? Awas, kelak kalau bertemu dengan Tung Kiam, akan kulaporkan engkau bahwa engkau telah menjadi muridnya yang amat memalukan! Tak kusangka engkau begini penakut!"

   San Hong mengerutkan keningnya. Tak enak sekali rasa perutnya disebut penakut. Dia tidak takut, melainkan segan.

   "Aku tidak ingin..... eh..... menentang..... eh..... seorang...... lo-cian-pwe....."

   Katanya, hampir lupa bersandiwara menjadi orang gagap! Hampir Siang Bwee terkekeh geli melihat sikap kekasihnya itu.

   "Paman Ji, engkau tentu tidak akan membunuh atau melukainya, bukan? Ingat, dia selain murid Tung Kiam, juga kelak menjadi wakilnya!"

   "Tentu saja tidak! Kau kira aku Pak Ong ini orang macam apa? Aku hanya akan memecahkan dan mengalahkan ilmu-ilmu kosong dari Tung Kiam itu! Hayo orang muda tolol. Jangan membikin aku hilang kesabaran dan lupa bahwa engkau murid Tung Kiam sehingga kupecahkan kepalamu!"

   Siang Bwee mendorong punggung San Hong dan pemuda ini terpaksa melangkah maju menghadapi kakek itu. Kini dia mulai mengerti akan siasat yang terkandung dalam sikap Siang Bwee yang aneh itu. Gadis itu tentu hendak "mencuri"

   Lihat ilmu apa yang akan dipergunakan Pak Ong untuk menandingi kedua ilmu dari Tung Kiam! Kiranya gadis yang cerdik luar biasa itu hendak menggunakan dua ilmu yang "dicurinya"

   Dari Tung Kiam dengan siasat halus itu untuk "memancing keluar"

   Ilmu simpanan Pak Ong yang akan dipergunakan dalam pertandingan mendatang! Maka, bangkitlah gairah dan semangatnya. Dia harus membantu sampai usaha kekasihnya itu berhasil. Dia ingin melihat kekasihnya itu tersenyum gembira, dan berterima kasih kepadanya!

   "Orang muda tolol, cepat keluarkan Ilmu Tung-hai Mo-kun itu untuk menyerangku! Jangan setengah-setengah, keluarkan semua dan kerahkan seluruh tenagamu!"

   Perintah Pak Ong yang diam-diam merasa gembira sekali bahwa dia mendapat kesempatan untuk dapat menyaksikan ilmu-ilmu baru dari calon saingan atau calon lawannya.

   San Hong sekarang pun tidak ragu-ragu lagi setelah dia dapat menduga apa yang dikehendaki Siang Bwee sesungguhnya. Dia mengerahkan tenaganya, lalu dia menggerakkan tubuh sesuai dengan ilmu silat tangan kosong yang pernah dipelajarinya dari Tung Kiam, yaitu Tung-hai Mo-kun! Biarpun dia hanya mempelajari dua ilmu dari Tung Kiam selama.seminggu saja, namun berkat desakan Siang Bwee agar dia terus berlatih, bahkan ditemani Siang Bwee yang menyerangnya dengan ilmu ayahnya, maka kini dia dapat memainkan kedua ilmu itu dengan baik.

   "Haiiiiittt.....!"

   Mulailah dia menyerang dan karena dia mengerahkan tenaga sin-kangnya, maka pukulan itu mengandung hawa pukulan yang amat hebat. Pak Ong sendiri terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa pemuda tolol ini memiliki sin-kang yang demikian dahsyatnya. Dia mengelak sambil menangkis dengan ujung lengan bajunya. Ujung lengan baju itu menangkis sambil menotok ke arah jalan darah di pergelangan tangan pemuda itu. Akan tetapi ketika ujung lengan baju bertemu pergelangan tangan, ujung lengan baju itu hanya mampu menangkis saja dan membalik, tidak, berhasil menotok seolah-olah lengan pemuda itu terbuat dari baja!

   "Bagus!"

   Serunya dan semakin gembiralah hatinya. Kalau pemuda ini ternyata tolol, tentu tidak ada artinya baginya. Akan tetapi di dalam ketololan rupa dan dalam kegagapan bicaranya, ternyata pemuda ini memiliki gerakan yang mantap dan bertenaga besar. Dia pun mempergunakan kelincahan tubuhnya dan memainkan ilmu silat Hek-ma Sin-kun untuk menandingi ilmu silat Tung-hai Mo-kun yang dimainkan pemuda itu, sambil mempelajari gerakan ilmu lawan, mencari kelemahan dan mengingat bagian yang berbahaya. Sama sekali kakek ini tidak menyadari bahwa Siang Bwee menonton dengan sepasang mata yang hampir tidak pernah berkedip. Gadis ini memang memiliki otak yang luar biasa jernihnya. Ia termasuk seorang yang "sekali lihat tidak akan lupa selamanya,"

   Dan kini ia mengerahkan seluruh tenaga ingatannya untuk mencatat semua gerakan penting dari ilmu silat yang dimainkan kakek itu. Terutama sekali yang diperhatikan dan dicatat dalam ingatannya adalah ilmu Toat-beng Tiam-hoat itulah. Ilmu totok kakek inilah yang merupakan ilmu baru yang harus dipelajari. Ia melihat cara kakek itu melakukan serangan menotok.

   Yang diperhatikan hanyalah bagian menyerang saja, cara kakek itu mempergunakan jari-jari kedua tangannya, kadang-kadang menggunakan sebuah jari telunjuk, kadang dua buah telunjuk dan jari tengah, ada pula kalanya dengan tiga buah jari tengah. Kemudian, setia kali San Hong mengeluarkan jurus ilmu silat Tung hai Mo-kun yang ia anggap paling hebat sehingga ia sendiri kadang kadang sukar untuk menghindarkan diri, ia memperhatikan dan diam-diam mencatat bagaimana Pak Ong mengatasi jurus berbahaya itu. Setelah Tung-hai Mo-kun habis di mainkan dan mereka berdua itu bertanding dengan cepat dan kuat, seru dan ramai, Pak Ong tertawa girang, lalu melompat jauh ke belakang.

   "Ha ha begitu saja, Tung-hai Mo-kun dari Tung Kiam? Kalian lihat, aku dapat menghadapinya tanpa sekalipun terkena serangannya!"

   "Kalau Tung Kiam yang memainkan jurus-jurus itu,tentu lain lagi urusannya, Paman."

   Kata Siang Bwee memanaskan hati kakek itu.

   "Hei, Kwee San Hong, cepat keluarkan pedangmu. Ingin aku menghadapi Tung-hai Liong-kiam itu, hayo cepat!"

   "Tapi saya..... saya..... tidak punya senjata....."

   "Paman Ji, dia sudah bilang kepadaku bahwa dia lupa membawa pedang ketika meninggalkan rumahnya."

   Kata Siang Bwee sambil tertawa.

   "Apa? Murid Tung Kiam sampai lupa membawa pedang, dan yang diandalkan adalah pedangnya sampai dia berjuluk Tung Kiam (Pedang Timur)? Ha-ha-ha, murid tolol macam apa ini!"

   Pak Ong berseru, kemudian menuding ke arah rak senjata.

   "Nah, bocah tolol, kau boleh ambil sebatang pedang di sana untuk menyerangku!"

   San Hong pergi ke sudut dan ternyata di sana terdapat beberapa batang pedang. Pedang-pedang itu cukup baik walaupun bukan pedang pusaka seperti Pek-lui-kiam miliknya yang ditinggalkan di dalam kamar hotel. Dia memilih sebatang yang cocok beratnya dan yang enak pegangannya, kemudian menghampiri kakek itu. Kini dia sudah dapat menyesuaikan dirinya dengan suasana itu, bahkan bertekad untuk membuat dan membantu siasat Siang Bwee sampai mendatangkan hasil baik seperti yang dikehendaki gadis itu.

   "Lo-cian-pwe..... hati-hati..... Tung-hai Liong-kiam..... amat ganas....."

   Katanya menggagap.

   "Ha-ha-ha, bagus sekali! Cepat mainkan ilmu pedang itu, orang muda!"

   Katanya sambil melolos golok saljunya. Golok itu tipis saja, akan tetapi lebar dan mengkilap saking tajamnya.

   "Awas pedang!"

   San Hong berseru dan dia pun sudah menggerakkan pedangnya, menyerang dengan jurus dari ilmu pedang Tung-hai Liong-kiam yang pernah dipelajarinya dari Tung Kiam.

   San Hong hanya mempelajari beberapa jurus saja dari ilmu pedang ini, hanya di bagian yang oleh Tung Kiam dianggap penting untuk menandingi ilmu tongkat dari Nam Tok. Akan tetapi, berkat kerja sama dengan Siang Bwee, pemuda itu dapat menciptakan ilmu pedang campuran antara ilmu pedang Tung-hai Liong-kiam dengan Pek-lui-kiamsut yang dia pelajari dari seorang di antara Thian-san Ngo-sian, yaitu Lui-kong Kiam-sian. Maka terciptalah ilmu pedang yang dahsyat dan aneh. Justeru karena dicampur-campur inilah maka ilmu pedang itu membingungkan karena sumbernya dua dan gaya gerakannya juga dari dua sumber. Seperti juga tadi Siang Bwee menonton dan mengerjakan ingatannya dengan penuh pemusatan sehingga ingatannya dapat mencatat setiap gerakan yang berbahaya dari Swat-sin-to atau Golok Salju itu.

   Mencatat bagaimana Pak Ong menghindarkan diri dari serangan Tung-hai Liong-kiam yang sudah tidak aseli lagi itu, dan mencatat pula serangan paling berbahaya dari Golok Salju. Setelah merasa cukup, kembali Pak Ong mengeluarkan suara tertawa bergelak dan goloknya membuat gerakan istimewa, membabat ke arah pedang di tangan San Hong.

   "Trakkkkk.....I"

   Pedang itu bunting menjadi dua potong dan San Hong terhuyung. Sejak tadi memang kakek itu tidak pernah mau mengadu goloknya secara langsung dengan pedang, maklum bahwa pedang biasa itu tentu akan patah. Baru sekarang dia mematahkan pedang untuk menghentikan ujian ilmu itu.

   "Ha-ha-ha, kalau hanya dua ilmu semacam itu saja, jangan harap Tung Kiam akan dapat menandingi aku, ha-ha-ha!"

   Kata Pak Ong dengan gembira dan bangga sekali.

   "Hemmm, semua ini karena murid Tung Kiam ini masih belum matang ilmunya. Coba kalau aku yang menjadi muridnya, tentu tidak semudah itu engkau akan dapat mengatasiku, Paman."

   Kata Siang Bwee memanaskan hati datuk besar itu.

   Kini Pak Ong teringat. Dia sudah dapat mengalahkan ilmu-ilmu Tung Kiam, walaupun melalui murid Tung Kiam yang tolol, akan tetapi dia masih penasaran karena belum dapat mengalahkan ilmu dari Nam Tok! Dan dia sudah mengenal Slang Bwee ini yang sejak kecil sudah memperlihatkan kecerdikan dan bakat yang baik sekali.

   "Akan tetapi engkau telah mewarisi ilmu-ilmu ayahmu, Siang Bwee. Coba perlihatkan dan kita lihat apakah aku tidak akan mampu memecahkan dan mengalahkannya."

   Siang Bwee tertawa.

   "Aih, tidak mungkin engkau akan mampu menandingi ilmu ayahku, Paman. Walaupun mungkin engkau dapat mengalahkan aku karena aku kalah tenaga dan pengalaman, akan tetapi untuk dapat menandingi kedua ilmu dari ayahku, Jangan engkau terlalu, mengharapkan. Sayang bahwa aku tidak boleh memperlihatkan ilmu-ilmu itu oleh ayah, maka aku tidak dapat memenuhi keinginanmu."

   Pak Ong mengerutkan alisnya dan sejenak dia berdiri dan saling tatap dengan gadis itu. Pak Ong juga bukan orang bodoh. Dia cerdik sekall dan kini dia memutar otaknya, mencari akal bagaimana untuk memaksa gadis ini mengeluarkan ilmu-ilmu simpanan Nam Tok. Dia sama sekali tidak tahu bahwa gadis itu jauh lebih cerdik daripada dia, lebih banyak memiliki tipu muslihat halus. Gadis itu bahkan sudah memperhitungkan bahwa dia amat ingin sekali melihat ilmu-ilmu simpanan itu dan sengaja "menjual mahal!"

   "Kalau begitu, engkau tidak boleh meninggalkan tempat ini sebelum engkau menyerangku dengan ilmu-ilmu ayahmu itu!"

   Tiba-tiba Pak Ong berkata. Slang Bwee girang sekali, akan tetapi pura-pura kaget. Pancingannya mengena.

   "ikan"

   Besar itu telah terkait dan tidak mau melepaskannya lagi.

   "Paman Ji! Engkau hendak mencelakai aku sebelum saat bertandingan? Itu namanya melanggar janji! Uh, namamu akan dijadikan bahan ejekan dan buah tertawaan orang seluruh dunia kang-ouw kalau kau berani mencelakai aku!"

   "Ha-ha-ha, siapa bilang hendak mencelakai engkau? Sama sekali tidak. Kalau engkau tidak mau menyerangku dengan ilmu-ilmu ayahmu itu, aku tidak memperkenankan engkau pergi dari sini, akan menahanmu di sini sampai saat pertandingan tiba!"

   Siang Bwee mengambil sikap seperti orang yang bingung.

   "Dan bagaimana dengan murid Tung Kiam ini?"

   "Kalau engkau tidak mau menyerangku dengan ilmu ayahmu, dia pun tidak boleh pergi dari sini, takut membocorkan hal itu. Siapa suruh kalian datang ke sini? Aku tidak mengundang kalian! Nah, tinggal kau pilih saja, menyerangku dengan ilmu-ilmu ayahmu, atau engkau ooleh tinggal di sini sampai bulan ke sepuluh nanti!"

   Wajah kakek itu berseri penuh kemenangan.

   Siang Bwee mengangguk-angguk.

   "Hemmm, aku tahu sekarang. Paman hendak menggunakan haknya sebagai seorang datuk besar yang adil. Seorang pemimpin besar akan selalu menghukum siapa yang tidak taat, bukankah begitu?"

   Ia teringat akan peraturan yang juga dipergunakan ayahnya.

   "Ha-ha-ha, engkau memang keponakanku yang cerdik.

   Memang benar sekali. Engkau tidak mentaati perintahku, maka sudah sewajarnya kalau engkau kuberi hukuman, yaitu tidak boleh pergi dari sini sampai bulan ke sepuluh."

   "Saya mengerti, Paman. Memang seorang pemimpin yang adil harus selalu menghukum orang yang tidak taat, akan tetapi sebaliknya, pemimpin besar yang adil akan memberi ganjaran

   kepada orang yang taat. Bukankah begitu, Paman?"

   "Ha-ha-ha, engkau benar, engkau benar! Dan aku selalu bertindak adil sesuai dengan kedudukanku sebagai datuk besar yang menguasai seluruh dunia kang-ouw bagian utara."

   "Aku percaya, Paman. Ayah sendiri kadang suka memujimu, mengatakan bahwa engkau adalah seorang datuk besar yang patut dipuji, berjiwa pahlawan dan adil. Jadi, kalau aku tidak memenuhi permintaanmu, sudah sepatutnya kalau engkau memberi hukuman kepadaku. Akan tetapi sebaliknya, kalau aku memenuhi permintaanmu, berarti aku berjasa dan engkau tentu akan memberi ganjaran. Bukankah begitu, Paman Ji yang baik?"

   "Ehhh? O ya, ya, ya, aku tentu memberi ganjaran. Kalau engkau memenuhi permintaanku tadi, aku akan memberi ganjaran kepadamu. Ganjaran apa yang kauminta, Siang Bwee?"

   "Paman, menurut ayahku, di antara tiga orang datuk besar lainnya, yang mengenal benar akan kelihaian See Mo dan dapat mengatasinya hanyalah engkau. Nah, aku mendengar bahwa See Mo menciptakan dua macam ilmu yang hebat, yaitu permainan huncwe maut dan ilmu pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah). Tentu Paman telah dapat memecahkan dua macam ilmu dari See-mo itu, bukan?"

   Pak Ong berwatak sombong, maka dipuji seperti itu dia tertawa menang.

   "Huh, boleh jadi bagi orang lain See Mo si pengkhianat bangsa itu menakutkan, akan tetapi bagi aku. Huh, huncwe mautnya itu hanya merupakan ilmu pedang yang dikombinasikan dengan ilmu tiam-hoat (ilmu menotok), dapat kupecahkan dengan ilmu golokku. Dan Ang-see-ciang? Rahasianya terletak di telapak tangan. Kalau kusambut dengan ilmu totokanku It-sin-ci (Satu Jari Sakti), menyambut dengan totokan pada telapak tangan Ang-see-ciang akan tak berguna lagi. Ha-ha-ha!"

   "Nah, itulah, Paman. Kalau aku menuruti permintaanmu, aku minta ganjaran kedua ilmu itu. Ilmu menotok untuk memecahkan Ang-see-ciang itu Paman ajarkan kepadaku dan ilmu golok untuk mengalahkan huncwe maut Paman ajarkan kepada murid Tung Kiam ini."

   Pak Ong terkejut.

   "Wah, mana bisa begitu?"

   "Paman Ji, kalau engkau menolak memberi ganjaran, berarti engkau bukan seorang pemimpin yang adil. Aku pun tidak akan memenuhi permintaanmu. Kalau engkau hendak menahanku di sini sampai bulan ke sepuluh silakan. Akan tetapi kelak dalam pertemuan, aku akan menceritakan kepada setiap telinga orang bahwa Pak Ong hanyalah seorang tua yang suka menghina seorang gadis muda! Nah aku bicara dan terserah kepadamu! Kwee San Hong, mari kita pergi dari sini!"

   Ia bangkit berdiri dan hendak melangkah pergi sambil memberi isyarat kepada San Hong untuk pergi.

   "Nanti dulu, anak bengal!"

   Pak Ong berseru dan sekali berkelebat, dia telah mendahului dan menghadang di pintu keluar. Siang Bwee cemberut dan memandang kakek itu.

   "Paman Ji, engkau hendak menahanku dan kelak namamu menjadi tercemar, ataukah hendak menyanggupi ganjaran itu kepada kami?"

   Bukan main anak ini, pikir Pak Ong. Bukan dia yang kini mengancam, bahkan gadis itu yang mempersilakan dia melakukan pilihan!

   "Siang Bwee, kenapa kalian hendak mempelajari ilmu untuk mengalahkan ilmu-ilmu simpanan dari See Mo?"

   Tanyanya dan sinar matanya mencorong penuh selidik.

   "Mudah saja, Paman. Aku adalah wakil ayah, dan Kwee San Hong ini murid Tung Kiam. Biarpun kelak kami tidak mampu mengalahkan murid yang mewakili Paman, setidaknya kami akan mampu mengalahkan wakil See Mo sehingga andaikata tidak dapat menjadi nomor satu, nomor dua atau tiga pun jadilah. Asal jangan nomor satu dari bawah!"

   Mendengar ini, Pak Ong tertawa tergelak. Dia tidak peduli kalau pihak See Mo kalah. Yang penting harus dia yang paling hebat dan nomor satu. Dia tadi sudah mengetahui ilmu-ilmu simpanan Tung Kiam, dan kalau dia dapat mengetahui Ilmu-ilmu simpanan Nam Tok, berarti dia pasti akan menjadi nomor satu! Dia tidak khawatir terhadap See Mo karena selama ini dia sudah berhasil mengetahui ilmu-ilmu baru dari datuk besar di barat itu.

   "Baiklah, aku akan mengajarkan lt-sin-ci kepadamu, dan Ilmu golok penaluk huncwe maut itu kepada bocah tolol ini."

   Hampir saja Siang Bwee bersorak karena semua siasatnya berjalan lancar dan berhasil baik sekali.

   "Terima kasih, Paman. Nah, bersiaplah, aku akan segera mempergunakan ilmu-ilmu ayah. Kalau tidak berhati-hati, engkau akan dapat kukalahkan sekarang!"

   "Heh-heh-heh, anak baik. Engkau masih belum terlahir ketika aku sudah menjadi jagoan yang tak terkalahkan. Majulah!"

   Siang Bwee memasang kuda-kuda dan menggerakkan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga saktinya dan nampaklah uap hitam mengepul dari kedua telapak tangannya! Melihat Ini, Pak Ong memandang dengan wajah gembira karena dia tahu bahwa puteri Nam Tok itu benar-benar mengeluarkan ilmunya, tidak membohongi atau menipunya.

   "Itukah yang dinamakan Hek-in Pay-san (Awan Hitam Mendorong Bukit)? Bagus, mulailah menyerangku, Siang Bwee!"

   Gadis itu pun segera menyerang kalang kabut, bertubi-tubi. Gerakannya cepat sekali dan juga semua pukulannya didahului uap hitam sehingga nampak dahsyat sekali. Akan tetapi, San Hong yang melihatnya menjadi heran. Sudah beberapa kali dia melihat Siang Bwee berlatih ilmu pukulan Hek-in Pay-san secara aneh, yaitu gerakan-gerakannya berbeda dari biasanya. Berbeda dari ilmu itu yang pernah diajarkan Siang Bwee kepadanya.

   Kini baru dia tahu kegunaannya. Kiranya gadis yang cerdik itu telah mengacaukan ilmu Hek in Pay-san itu sehingga yang kini dihadapi dan diingat oleh Pak Ong bukanlah ilmu yang aseli, tidak murni lagi karena dicampur dengan gerakan-gerakan karangan Siang Bwee sendiri! Pak Ong yang menghadapi serangan itu, mengelak dan kadang-kadang menangkis. Dia memperhatikan gerakan gadis itu dan setelah semua jurus ilmu itu dikeluarkan, dia tertawa bergelak. Ilmu pukulan yang mengandung uap hitam beracun itu memang hebat, akan tetapi dia melinat gerakan yang kacau dan tidak sempurna dalam ilmu silat tangan kosong itu.

   
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hanya begini sajakah ilmu dari Nam Tok yang dikatakan hebat itu? Ha-ha-ha-ha-ha, tidak ada artinya bagiku!"

   Katanya dan begitu dia mendorongkan kedua tangannya, tubuh Siang Bwee terdorong ke belakang seperti ditolak angin badai yang amat kuat. Wajan Siang Bwee menjadi merah dan ia berlagak marah dan tersinggung, sikapnya demikian wajar sehingga San Hong sendiri percaya bahwa gadis itu memang marah dan malu.

   "Paman Ji, jangan engkau tertawa-tawa dulu. Mungkin latihanku belum sempurna dalam ilmu Hek-in Pay-san. Akan tetapi aku yakin engkau tidak akan mampu memecahkan ilmu tongkatku!"

   "Yang disebut Hwe liong jio-cu (Naga Terbang Merebut Mustika) itu? Anak baik, cepat keluarkan tongkatmu dan serang aku dengan ilmu tongkat ayahmu itu!"

   Katanya dan dia pun sudah mengeluarkan goloknya untuk menghadapi tongkat gadis itu. Siang Bwee menghampiri rak senjata dan mengambil sebatang tongkat atau toya pendek.

   "Awas, Paman Ji, kalau sampai terkena satu dua gebukan dariku, jangan marah!"

   Katanya.

   "Ha-ha-ha, hayo majulah dan seranglah sedahsyat mungkin!"

   Tantangnya sambil melintangkan golok tipisnya di depan dada. Siang Bwee lalu menyerang dengan teriakan melengking nyaring.

   "Hyaaaaattt.....!"

   Dan tongkatnya bergerak dengan hebat dan dahsyat memang. Sebelum mengenal benar ilmu tongkat ini, berulang kali San Hong pernah dihajar. Pinggulnya pernah memar-memar dihantami tongkat itu ketika Siang Bwee mengajaknya berlatih. Akan tetapi akhirnya dia dapat pula mempelajari ilmu tongkat itu dan mengenal kehebatannya.! Akan tetapi sekali ini kembali dia meresa geli dan kagum sekali akan kecerdikan Siang Bwee. Dengan gerakan wajar, tanpa menimbulkan kecurigaan, dara ini telah mengacaukan jurus-jurus dari ilmu tongkatnya.

   Banyak gerakan yang dihilangkan, dan banyak pula gerakan lain ia masukkan sehingga ilmu tongkat itu tidak aseli lagi. Namun, cara "merusak"

   Ilmu tongkat itu sedemikian rapi dan halusnya sehingga mereka yang sudah menguasai ilmu itu saja yang akan dapat mengetahuinya. Betapapun juga, karena ilmu tongkat ciptaan Nam Tok ini memang hebat, maka biarpun sudah dirusak, tetap saja ilmu tongkat itu berbahaya dan tangguh. Berulang kali Pak Ong mengeluarkan seruan kagum dan dia harus melindungi dirinya dengan sinar goloknya, sambil memperhatikan gerakan tongkat itu dan mengenal ciri-cirinya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa dengan mengenal ilmu tongkat itu, dia malah mengalami kerugian besar karena kelak, kalau dia menghadapi Nam Tok dengan ilmu tongkat itu, tentu banyak sekali dugaannya yang sama sekali keliru dan hal ini amat membahayakan dirinya sendiri!

   Setelah semua jurus dimainkan Siang Bwee untuk menyerang, akhirnya Pak Ong merasa cukup dan seperti tadi ketika menghadapi San Hong, dia mengerahkan tenaga menggerakkan goloknya dan tongkat di tangan Siang Bwee patah menjadi dua! Gadis itu meloncat ke belakang dan muka serta lehernya basah dengan keringat. Memang ia sengaja mengerahkan semua tenaga tadi, bukan saja untuk menutupi kerusakan pada ilmu tongkatnya, akan tetapi juga untuk menimbulkan kesan bahwa ia bersungguh-sungguh dalam penyerangannya itu. Dan kembali Pak Ong terkelabui! "Paman Ji,"

   Katanya dengan nada suara gemas.

   "Jelas bahwa latihanku yang kurang matang. Kalau ayah yang memainkan tongkat itu, tentu engkau tidak akan dapat menang!"

   Pak Ong merasa gembira sekali. Tanpa disangka-sangkanya, hari ini dia telah melihat ilmu-ilmu simpanan dari Tung Kiam dan Nam Tok, dan hal ini sama dengan memberi kepastian bahwa dia kelak akan menang! "Ha-ha-ha, Siang Bwee. Biarpun ilmu tongkat tadi memang hebat, akan tetapi ayahmu takkan mungkin dapat menandingi golokku."

   "Paman, sekarang aku menagih janjimu. Engkau harus mengajarkan ilmu to-tok kepadaku dan ilmu golok kepada Kwee San Hong."

   "Baik. Aku akan memberi waktu seminggu kepada kalian. Akan kumainkan kedua ilmu itu dan kalian harus mengingatnya benar-benar. Hafal atau belum, sudah bisa atau belum, kalau sudah lewat seminggu, kalian harus pergi secepatnya. Nah, itulah ganjaran yang kujanjikan."

   Dua orang muda itu maklum bahwa mempelajari ilmu silat tinggi tentu saja membutuhkan waktu, sedikitnya berbulan-bulan bagi mereka yang sudah memiliki dasar ilmu silat tinggi. Dalam seminggu mana mungkin? Akan tetapi, bagi Siang Bwee yang terpenting adalah teorinya dulu. Kalau sudah hafal akan gerakan-gerakannya, maka mudah saja berlatih sendiri.

   "Baik, Paman. Kuterima syarat itu. Seminggu kami akan belajar dan setiap saat kalau ada kesulitan, engkau harus mau menerangkan tentang ilmu yang kami pelajari."

   Pak Ong terkekeh. Tentu saja dia pun tahu bahwa tidak ada artinya mempelajari ilmu selama seminggu itu, biar setiap hari minta penjelasan darinya.

   "Baik, mari kita mulai."

   Katanya dan kesanggupan ini membuat dia kemudian merasa menyesal bukan main karena kerap kali sewaktu dia tidur pun, Siang Bwee berani menggedor pintu kamar tidurnya, menggugahnya untuk bertanya tentang ilmu itu. Bahkan di tengah malam, selagi dia enak mendengkur, dia harus bangun dan melayani gadis yang bengal itu. Selama seminggu, Pak Ong merasa lelah bukan main, juga amat terganggu tanpa dia mampu menolak atau marah karena memang dia sudah berjanji!

   Dengan tekun Siang Bwee mempelajari ilmu totok yang amat ampuh itu. It-sin-ci (Satu Jari Sakti) merupakan ilmu tiam-hiat-to (totok jalan darah) yang ampuh sekali dan memang sengaja diciptakan Pak Ong untuk menghadapi pukulan-pukulan beracun seperti Ang-see-ciang dari See Mo. Sedangkan San Hong diberi pelajaran ilmu golok yang sengaja diciptakan untuk menundukkan gerakan huncwe maut dari See Mo pula. Dengan cara ini, maka Siang Bwee sekaligus dapat membongkar rahasia ilmu-ilmu simpanan baik dari Pak Ong maupun dari See Mo! Setelah seminggu Pak Ong mengusir mereka.

   "Nah, sudah seminggu. Pergilah kalian. Kelak, kalian boleh jadi menang melawan wakil See Mo, akan tetapi jangan harap akan dapat menang melawan wakilku."

   Kata Pak Ong.

   "Siang Bwee, sampaikan salamku kepada ayahmu. Katakan kepadanya bahwa sampai saat terakhir, Pak Ong tidak akan sudi menghambakan diri kepada orang Mongol! Dan engkau, Kwee San Hong, katakan kepada gurumu si Tung Kiam itu bahwa pertemuan pada bulan ke sepuluh di puncak Thay-san tidak mungkin diundur. Siapa yang tidak datang berarti mengaku kalah dan tidak lagi dianggap sebagai datuk. Kalau menentang, maka akan menghadapi tiga datuk besar lain untuk menghancurkannya karena dia telah melanggar janji!"

   Siang Bwee memberi hormat, diikuti oleh San Hong.

   "Terima kasih atas segala kebaikanmu, Paman Ji. Aku doakan mudah-mudahan kelak, dalam pertandingan itu, biarpun tidak menjadi nomor satu, engkau akan menjadi nomor dua, di bawah ayah tentu saja!"

   Pak Ong tertawa lagi bergelak.

   "Ha-ha-ha, aku suka sekali padamu, Siang Bwee. Engkau cerdik, berani dan pandai membawa diri. Sayang aku tidak mempunyai seorang anak laki-laki, kalau ada, tentu engkau ini yang kupilih menjadi mantuku!"

   Wajah Siang Bwee berubah kemerahan.

   "Ihhh, Paman Ji sekarang bertambah satu macam ilmu, yaitu ilmu merayu!"

   Sambil tertawa-tawa Pak Ong mengikuti kepergian dua orang muda itu dengan pandang matanya.

   Gadis itu duduk di bawah pohon, bersila dan menumpangkan kedua tangan di atas paha, sama sekali tidak bergerak, dengan mata terpejam. San Hong memandang dengan kagum, bahkan terpesona. Alangkah cantiknya Siang Bwee. Seperti sebuah arca yang amat indah, arca seorang dewi dari langit! Dia begitu terpesona sehingga dia berdiri saja mengamati wajah dan tubuh itu, lupa bahwa Siang Bwee menyuruh dia untuk mengingat semua pelajaran yang mereka terima dari Pak Ong selama satu minggu itu. Kalau orang melihat bibirnya, baru tahu bahwa yang bersila di bawah pohon itu seorang manusia, bukan arca yang indah. Bibir itu bergerak-gerak, berkemak-kemik seperti membaca doa. Padahal Siang Bwee sama sekali tidak berdoa melainkan sedang menghafal.

   "Mengambil kedudukan Gu-seng (bintang kerbau), bagian belakang bergerak dan mengubah menjadi kedudukan Liu-seng (bintang cemara), lengan kanan memutar dua lingkaran ke atas dada, lengan kiri meluncur ke depan menotok dan dilunjutkan cengkeraman, itulah inti gerakan jurus Bulan Purnama Memetik Bunga....., heiii, engkau sedang mengapa itu?"

   Dibentak begitu, San Hong terkejut dan sadar dari lamunannya, akan tetapi karena pikirannya masih penuh dengan gambaran indah wajah dan tubuh Siang Bwee, mulutnya mengeluarkan ucapan kacau.

   "Eh, arca..... eh, patung dewi..... eh cantik nian....."

   "Hushhh! Hong-koko, engkau ini kenapa sih? Jangan-jangan engkau kesurupan!"

   Siang Bwee berseru gemas melihat pemuda yang diajaknya berlatih itu bersikap seperti itu.

   Melihat pandang mata pemuda itu kepadanya saja, ia sudah menduga bahwa tentu pemuda yang dikasihinya itu telah "kumat"

   Pula penyakit lamanya, yaitu tergila-gila kepadanya dan menjadi romantis! Ih, kalau ia menuruti hatinya, tentu ia pun akan menyambut sikap itu dengan penuh kebahagiaan. Kalau ia sudah berada dalam rangkulan San Hong, ia rela dalam keadaan seperti itu sampai mati! Akan tetapi ia tahu bahwa mereka masih harus menempuh banyak tantangan sebelum tercapai apa yang mereka idam-idamkan, yaitu hidup bersama sebagai suami isteri.

   Waktu untuk bersenang-senang, untuk bermesraan dan bermanjaan, masih banyak dan kelak, kalau mereka sudah dapat melampaui semua ujian dengan berhasil baik, dan mereka telah menjadi suami isteri maka semua itu akan dapat mereka nikmati tanpa ada halangan apa pun lagi. Akan tetapi untuk mencapai keadaan itu, mereka masih harus menempuh banyak kesukaran dan tanpa persiapan yang baik, akan sukarlah cita cita itu tercapai!

   "Ehhhh...... ohhh..... maafkan aku, Bwee-moi. Aku sampai lupa. Apa sih yang harus kulakukan? Engkau begitu cantik ketika tadi duduk bersila dan memejamkan mata, seperti sebuah arca dewi yang amat jelita dan aku....."

   "Hemmm, kau anggap aku ini sebuah arca batu saja, ya? Dan kalau tadi cantik, maka sekarang tidak lagi?"

   "Eh, tidak..... tidak. Engkau bahkan lebih cantik lagi karena kini engkau hidup, engkau seorang dewi kahyangan....."

   "Stop! Cukup semua rayuan itu, Koko. Ingat, kita mempunyai banyak sekali pekerjaan. Hayo cepat kaulatih semua ilmu yang kita dapat dari Pak Ong atau kita akan lupa lagi dan semua jerih payahku selama ini akan sia-sia belaka. Hayo, kau yang bergerak dan melatih diri, aku yang mengingat-ingat semua jurus yang terbaik. Selagi semua itu masih teringat olehku dan dapat kubayangkan ketika Pak Ong memainkannya. Nah, kau mulailah dengan jurus Bulan Purnama Memetik Bunga. Awas, kakimu itu keliru, Koko, kuda-kuda kakimu kurang lebar. Nah, begitu baru benar! Sekarang mengambil kedudukan Gu-seng, engkau masih ingat, bukan? Dan kau harus menggerak-gerakkan pinggulmu itu. Ih, kenapa begitu kaku? Pinggulmu besar, bukan digoyang-goyang ke depan belakang seperti itu! Ke kanan kiri, seperti pinggul kuda, nah begitu, dan sekarang mengubah kedudukan menjadi Liu-seng. Lengan kananmu sudah benar, dua kali lingkaran ke atas dada untuk kemudian siap menotok ubun-ubun kepala lawan, sementara itu tangan kiri menyerang dengan totokan dilanjutkan cengkeraman. Nah, begitu!. Itu untuk menghadapi jurus ampuh Ang-see-ciang dari See Mo. Hayo latih lagi sampai sempurna, Koko!"

   Mereka lalu berlatih, atau lebih tepat, San Hong berlatih sedangkan Siang Bwee hanya mengingatkan teori semua jurus itu. Biarpun Pak Ong mengajarkan dua ilmu yang berlainan kepada mereka secara terpisah, yaitu kepada Siang Bwee diajarkan ilmu menotok sedangkan kepada San Hong ilmu golok, namun kini Siang Bwee mendesak agar San Hong melatih diri dengan kedua macam ilmu itu.

   Sedangkan ia sendiri hanya membantu pemuda itu dengan teori kedua ilmu itu, berdasarkan ingatannya yang kuat dan tajam. Gadis itu masih mampu mengingat semua jurus yang pernah dilihatnya, baik ketika Pak Ong mengajar mereka maupun ketika ia sendiri dan juga San Hong menandingi Pak Ong dalam ujian sebelumnya. Dan kini ia menggambarkan semua gerakan itu kepada San Hong dan memaksa pemuda itu agar berlatih dengan tekun. Dan San Hong memang memiliki bakat yang amat baik, maka dengan bantuan Siang Bwee, dia dapat menguasai jurus-jurus pilihan yang pernah diajarkan Pak Ong.

   Karena pemuda ini jauh lebih berbakat dari padanya dalam hal gerakan silat, juga karena pemuda ini memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, terutama sekali karena ia mengharapkan pemuda pujaan hatinya ini kelak mewakili ayahnya dalam pertandingan antara para datuk besar, maka Siang Bwee menghendaki agar San Hong menguasai ilmu-ilmu simpanan dari keempat datuk besar dan kelak memperoleh kemenangan dalam pertandingan! Dengan tak mengenal lelah sehingga kadang amat mengagumkan hati San Hong akan tetapi juga amat melelahkan dirinya, Siang Bwee terus membujuk dan memaksa San Hong untuk berlatih setiap hari. Ketika mereka menemukan sebuah kuil tua kosong di lereng bukit di antara pohon-pohon hutan lebat, Siang Bwee mengajak San Hong tinggal di situ sampai sebulan lamanya dan setiap hari mereka berlatih!

   San Hong memang berbakat sekali. Kini dia sudah menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Tung Kiam, ilmu-ilmu yang diajarkan Pak Ong dan karena ilmu Pak Ong diperuntukkan mengatasi ilmu See Mo, dengan sendirinya San Hong juga sudah siap untuk menghadapi ilmu-ilmu dari See Mo. Semua ini ditambah lagi dengan ilmu dari Nam Tok yang dia pelajari dari Siang Bwee. Maka lengkaplah sudah. San Hong sudah dapat menguasai jurus-jurus pilihan, bahkan sudah memahami inti dari ilmu-ilmu ke empat orang datuk besar itu! Hutan di lereng itu menyediakan semua kebutuhan mereka. Butuh mandi, mencuci pakaian atau masak dan minum? Di situ, tak jauh dari kuil terdapat mata air yang cukup besar sehingga menjadi sebuah saluran air yang amat jernih.

   Butuh makanan? Banyak pula binatang buruan dan ayam hutan, juga burung, bahkan terdapat pula daun-daunan yang dapat disulap oleh Siang Bwee yang pandai menjadi sayur-mayur. Mereka tinggal kurang lebih sebulan di kuil tua itu, dan tak pernah terganggu orang lain. Kalau malam tiba, mereka tidur di lantai kuil yang sudah mereka bersihkan, dengan tilam daun-daun kering yang dikumpulkan oleh San Hong.

   Api unggun menghangatkan mereka. Dalam keadaan seperti itu, alangkah kuatnya daya tarik masing-masing, dan kalau saja kesadaran mereka tidak kuat, kiranya dua orang muda yang saling mencinta itu tidak akan mampu bertahan lagi. Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis yang bertubun sehat dan kuat, dan saling mencinta pula. Mereka berada di tempat yang sunyi, bahkan kalau malam suasananya amat romantis. Betapa akan mudahnya bagi mereka untuk tergelincir dalam genangan nafsu berahi. Namun, sungguh patut dikagumi. Mereka saling menjaga, saling mengingatkan sehingga tidak sampai terjadi pelanggaran susila!

   Suatu malam, ketika itu bulan purnama, hampir saja San Hong tidak dapat menguasai dirinya lagi. Dongeng kuno mengatakan bahwa di dalam sinar bulan purnama terdapat kekuatan yang membangkitkan dan menggelorakan berahi.

   Mungkin karena terlalu lama begadang di luar kuil menikmati keindahan sinar bulan purnama, maka ketika keduanya memasuki kuil dan melihat Siang Bwee merebahkan diri di atas daun-daun kering, San Hong berlutut di dekatnya dan tak dapat ditahannya lagi, dia lalu merangku dan menciumi pipi kekasihnya itu. Dan bagaikan terkena pesona pula, Siang Bwee menyambut kekasih yang amat dicintanya itu dengan kedua lengan terbuka, merangkul lehernya dan membalas ciumannya. Ketika kedua mulut itu berciuman, gairah berahi mereka sudah berkobar. Akan tetapi ketika Siang Bwee melihat bayangan mereka yang dipantulkan ke dinding oleh sinar api unggun, melihat bayangan mereka berdekapan itu, Siang Bwee tersentak dan kesadarannya pulih kembali. Dengan lembut ia lalu mendorong dada kekasihnya sambil bangkit duduk.

   "Hong-koko, awas, kita berada di tepi jurang....."

   Bisiknya, masih menerima ciuman terakhir kekasihnya yang jatuh pada tepi mulutnya. Mendengar bisikan ini, San Hong merasa seperti disiram air dingin pada kepalanya. Dia pun bangkit berdiri dan meloncat ke belakang, lalu membelakangi gadis itu, berulang kali menarik napas panjang untuk mengatasi gelojak berahinya.

   "Uhhhhh....., betapa amat berbahayanya.....! "

   Akhirnya dia dapat tenang kembali, lalu membalik dan duduk bersila. Mereka berhadapan dan saling berpandangan dengan penuh kemesraan,akan tetapi tidak lagi dibakar api berahi.

   Siang Bwee tersenyum, semakin kagum dan semakin mencinta kekasihnya. Pemuda itu demikian kokoh kuat, demikian penuh pengertian, demikian penuh rasa sayang dan hormat kepadanya! "Memang mengasyikkan dan menyenangkan, akan tetapi juga berbahaya kalau tidak mengenal batasnya, Koko. Kita saling mencinta, karena itu harus pula saling menghargai dan saling menghormati, bukan? Cinta bukan sekedar melampiaskan nafsu berahi, bukan begitu?"

   "Engkau benar, Moi-moi. Engkau selalu benar!"

   "Hi-hi-hik, apa engkau sudah lupa beberapa hari yang lalu di dekat sumber air? Aku yang hampir terbakar, dan engkau yang menyiramkan air dingin kepadaku! Ingat?"

   San Hong tertawa. Tentu saja dia ingat. Kenangan itu sungguh manis. Bagaikan kesurupan setan, gadis itu membelai dan merayunya, seperti mabuk, merintih-rintih dan lupa diri. Dia lalu menyiramkan air sumber kepada kepala Siang Bwee yang menjadi gelagapan dan marah, akan tetapi lalu sadar dan untuk menghilangkan rasa canggung dan salah tingkahnya, ia lalu membalas dengan siraman air dan seperti dua orang anak kecil, mereka bersiram-siraman air, tidak lagi dibakar nafsu berahi.

   Nafsu berahi memang sudah ada pada diri setiap manusia, seperti juga nafsu kesenangan apa pun juga. Setiap anggauta badan, setiap panca indera memang sudah digelimangi nafsu. Ini merupakan bukti kasih sayang Tuhan kepada kita. Sejak lahir kita sudah disertai alat-alat yang lengkap, bukan saja anggauta badan yang sempurna, hati dan akal pikiran, akan tetapi juga daya-daya rendah yang menjadi alat-alat atau pelayan-pelayan kita, dan tanpa adanya daya-daya rendah yang kemudian disebut nafsu itu, kita tidak mungkin dapat hidup sebagai manusia.

   Bagaimana mungkin kita dapat bebas sama sekali dari pengaruh daya benda? Kita baru layak menjadi manusia kalau kita terpenuhi kebutuhan kita akan sandang pangan papan (pakaian makanan dan perumahan) yang bukan lain adalah benda. Segala yang nampak meramaikan dunia ini, buatan atau ciptaan Tuhan melalui akal pikiran manusia, mengandung daya rendah benda. Nampaknya saja benda mati bahkan dibuat oleh tangan manusia, namun sesungguhnya, benda-benda itu yang tercakup dalam kehidupan modern, dalam bentuk UANG, mempunyai daya atau pengaruh yang luar biasa besarnya!

   Tidak ada syaitan yang lebih berbahaya daripada syaitan daya benda ini! Daya rendah benda inilah yang terutama sekali menimbulkan permusuhan, kebencian, pertentangan bahkan perang! Biarpun daya rendah benda ini diciptakan Tuhan dan disertakan kepada manusia sebagai alat atau pelayan dalam kehidupan manusia, untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, namun kalau sampai

   (Lanjut ke Jilid 25)

   Pedang Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 25

   pelayan ini menjadi majikan, maka kita akan diseretnya dan diperhambanya sehingga kita melakukan segala hal yang bertentangan dengan kemanusiaan!

   Banyak kaum bijaksana menyadari bahaya yang mengancam dari pengaruh kebendaan ini, maka diusahakan oleh kesadaran mereka untuk meninggalkan duniawi, untuk mengasingkan diri menjauhi pengaruh kebendaan, bertapa di puncak gunung, di dalam gua atau di tepi laut. Namun sia-sia. Mungkin hanya mengurangi pengaruh daya benda itu, namun tidak mungkin melenyapkannya. Di tempat sunyi pun dia masih membutuhkan benda. Selama kedua kakinya masih menginjak bumi, dia akan membutuhkan daya benda ini yang memang disertakan kepadanya untuk menjadi alat atau pelayan agar dia dapat hidup sebagai seorang manusia.

   Selain daya rendah benda, ada daya rendah lain yang disertakan kepada kita oleh kemurahan Tuhan. Yaitu daya rendah tumbuh-tumbuhan atau nabati. Daya rendah ini memasuki kita melalui makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Orang berusaha mengurangi pengaruh daya rendah nabati ini dengan cara bertapa, berpuasa. Mungkin dapat mengurangi, namun tidak mungkin menghilangkannya. Tanpa nabati yang kita makan, kita tidak akan dapat hidup dalam badan jasmani yang terdiri dari darah daging yang membutuhkan sari makanan nabati itu. Maka, daya rendah nabati merupakan satu di antara sekian daya rendah yang ada pada diri kita. Memang menjadi alat atau pelayan, namun kalau kita menibiarkan daya rendah ini menjadi majikan, kita akan diperbudak pula.

   Masih ada pula daya rendah hewani, yang memasuki tubuh kita melalui makanan daging, juga melalui air yang kita minum, melalui udara yang kita hisap. Entah berapa banyaknya mahluk bernyawa termasuk binatang yang tak nampak pada mata memasuki diri kita melalui makanan, minuman dan pernapasan, bahkan juga melalui tumbuh-tumbuhan yang kita makan di mana terkandung hewan kecil-kecil dan telur-telurnya. Semua ini menjadi daya rendah hewani yang juga menjadi alat atau pelayan dalam kehidupan kita. Amat dibutuhkan badan untuk hidup, akan tetapi, juga amat berbahaya karena daya rendah ini pun berlumba dengan daya-daya rendah lainnya untuk menjadi majikan, menguasai kita.

   Kita ini bukanlah badan! Kita ini bukanlah daya-daya rendah. Kita ini bukan hati dan akal pikiran. Semua itu hanyalah alat, semua itu hanyalah perlengkapan atau juga pelayan-pelayan. Yang bersemayam di dalam semua alat itu adalah JIWA! Namun, kalau kita membiarkan daya-daya rendah itu menjadi majikan, menguasai diri kita, maka hidup kita diseret oleh daya-daya rendah itu untuk mencari kesenangan demi kekuasaan daya-daya rendah itu. Seluruh hati dan akal pikiran kita sudah bergelimang daya-daya rendah itu, bergelimang nafsu. Oleh karena itu, apa pun yang kita pikirkan, apa pun yang kita lakukan sebagai pelaksana pikiran, selalu bergelimang nafsu, selalu ditujukan untuk kesenangan pribadi, kesenangan jasmani.

   Betapapun kadang diselubungi penyamaran yang muluk-muluk, diberi jubah yang bersih dan suci, namun sesungguhnya di balik semua penyamaran itu, yang bercokol adalah daya-daya rendah, syaitan-syaitan itulah yang pandai menyamar! Jiwa akan tertutup, seperti tidur dan tidak bergerak karena seluruh diri telah dikuasai daya-daya rendah. Kesadaran jiwa kadang-kadang memperingatkan kita akan hal ini, akan bahaya ini, hati dan akal pikiran bergerak agar kita memberontak dari pengaruh daya-daya rendah ini. Namun, karena hati dan akal pikiran kita pun sudah bergelimang nafsu, maka semua gerakannya pun masih dalam gelembung nafsu rendah. Hati dan akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu tidak mungkin dapat berhasil membuka jiwa yang tertutup, menggugah jiwa yang tidur.

   Lalu siapa yang dapat? Hanya kekuasaan Tuhan jualah yang mampu! Hanya Tuhan sajalah, dengan kekuasaannya yang tidak terbatas, yang meliputi seluruh alam mayapada, di dalam maupun di luarnya, segala isinya, yang terkecil sampai yang terbesar. Hanya Tuhan yang akan dapat membersihkan jiwa dari kabut tebal nafsu daya rendah.

   Caranya? Itu adalah pekerjaan Tuhan! Tak terukur oleh akal pikiran kita. Kalau kita membuka mata, akan nampaklah seluruh kehidupan manusia ini, seluruh ciptaan Tuhan melalui manusia. Manusia mengisi dunia dengan begini banyaknya hasil rekaan akal pikirannya. Padahal, kekuatan dan kekuasaan yang ada pada hati dan akal pikiran manusia itu hanya sekelumit terkecil saja dari kekuatan dan kekuasaan Tuhan. Bandingkan besar dan luasnya samudera dengan setetes air!

   Kekuasaan Tuhan jauh lebih besar daripada samudera itu sedangkan kekuasaan manusia lebih kecil daripada setetes air itu!Hanya Tuhan yang akan dapat mengubah keadaan kita, yang akan dapat membebaskan kita dari perbudakan di bawah majikan daya-daya rendah nafsu itu. Dan kita hanya dapat menyerah! Menyerah kepada kekuasaan Tuhan dengan penuh kesabaran, penuh kepasrahan dan ketawakalan, penuh keikhlasan. Kekuasaan Tuhan akan bekerja kalau kita pasrah sepenuhnya, kalau hati dan akal pikiran kita tidak berubah lagi. Kita harus "mati"

   Kalau ingin kekuasaan itu "hidup"

   Di dalam kita, kalau ingin merasakan kebangkitan jiwa kita. Setelah tinggal di dalam kuil itu kurang lebih sebulan lamanya, dan setelah Siang Bwee merasa puas dengan kemajuan yang dilihatnya pada diri San Hong yang siang malam berlatih ilmu-ilmu dari Pak Ong, juga dari Tung Kiam, pada suatu pagi Siang Bwee mengajaknya melanjutkan perjalanan mereka.

   "Ehhh? Kita hendak ke mana lagikah? Bwee-moi, kalau mungkin, aku ingin tinggal di sini selamanya, hidup seperti ini selamanya!"

   Kata San Hong sambil mengerutkan alisnya. Dia merasakan kebahagiaan setiap harinya hidup di tempat sunyi itu, berdua saja dengan Siang Bwee.

   Gadis itu bertolak pinggang, menghadapi San Hong dan mulutnya cemberut.

   "Kau ingin tinggal di sini selamanya? Hemmm, tentu saja mungkin. Nah, kalau begitu selamat tinggal, Koko, aku akan melanjutkan perjalanan seorang diri saja."

   "Heeeee! Nanti dulu! Aku ingin tinggal di sini selamanya bukan sendirian, akan tetapi bersama engkau, Bwee-moi!"

   "Apa? Dan kita hidup sampai tua di sini? Engkau menjadi monyet jantan tua dan aku menjadi monyet betina tua? Tidak, aku tidak mau! Aku ingin hidup di sampingmu selamanya, Koko, akan tetapi tidak sebagai dua orang manusia hutan, melainkan sebagai suami isteri dan hidup di dunia ramai. Kita harus mempersiapkan diri untuk hadir dalam pertemuan puncak antara para datuk yang tinggal kurang dari setahun lagi. Engkau telah beruntung dapat mempelajari ilmu-ilmu dari Tung Kiam, Pak Ong, juga mengetahui rahasia kekuatan ilmu dan See Mo, juga telah mempelajari ilmu dari ayahku. Akan tetapi semua itu masih mentah dan perlu dimatangkan melalui pengalaman. Hayo, Koko, kita tinggalkan tempat ini. Di sini tidak mungkin engkau dapat memperoleh pengalaman untuk mematangkan ilmu-ilmu itu. Hayolah!"

   San Hong menarik napas panjang. Dia tidak begitu bersemangat untuk menghadapi pertandingan antara para datuk besar itu. Akan tetapi dia teringat bahwa kalau dia ingin menjadi suami Siang Bwee, dia harus dapat bertahan terhadap ujian Nam Tok, bahkan harus mampu mengalahkan tiga orang wakil atau murid dari Tung Kiam, See Mo dan Pak Ong! Dua orang muda itu lalu meninggalkan kuil tua, melanjutkan perjalanan keluar dari dalam hutan di lereng bukit itu. Akan tetapi, ketika mereka keluar dari dalam hutan, tiba-tiba Siang Bwee menarik tangan San Hong dan mereka menyelinap di balik semak belukar. Sesosok bayangan mendaki bukit itu dengan kecepatan seperti terbang. Setelah bayangan itu agak dekat, Siang Bwee berbisik di dekat telinga San Hong.

   "Tung Kiam....."

   San Hong mengangguk. Dia pun sudah mengenal datuk besar itu dan jantungnya berdebar tegang. Untung bahwa kakek itu agaknya tidak tahu bahwa mereka berdua berada di situ. Kakek itu berkelebat melewati mereka dan terus mendaki puncak bukit.

   "Mari kita naik....."

   Bisik Siang Bwee.

   "Ehhh?? Mau apa? Berbahaya sekali....."

   Kata San Hong, bergidik kalau membayangkan kelihaian Tung Kiam.

   "Kita harus tahu apa yang hendak dia lakukan di sini. Mungkin penting bagi kita, atau setidaknya bagi ayah. Hayo lah."

   Siang Bwee tidak sabar lagi, memegangi tangan San Hong dan menariknya keluar dari semak belukar dan berindap-indap mereka mendaki bukit itu menuju puncak melalui hutan agar tidak ketahuan oleh orang yang mereka bayangi.

   Biarpun dia sendiri merasa jerih, namun San Hong sungguh mengagumi kekasihnya. Gadis ini memang tabah dan pemberani bukan main, juga amat cerdik. Kalau tidak bersama Siang Bwee, diberi upah berapa pun San Hong tidak akan mau mendaki puncak membayangi seorang datuk besar seperti Tung Kiam. Bukan karena dia takut atau pengecut, melainkan karena dia tidak ingin mencari perkara dengan datuk besar yang selain amat kejam, juga luar biasa lihainya itu.

   Akhirnya, dengan berindap-indap, menyelinap di balik batang-batang pohon dan semak-semak belukar, akhirnya mereka tiba di puncak bukit yang sunyi itu. Dan mereka mendapatkan Tung Kiam sudah duduk bersila di bawah sebatang pohon besar dan di depannya duduk pula bersila seorang kakek lain. San Hong memperhatikan kakek yang duduk bersila berhadapan dengan Tung Kiam itu. Dia dan Siang Bwee kini mendekam berlutut di balik semak belukar, hanya dalam jarak dua puluh meter dari Tung Kiam dan kakek itu dan mereka berdua mengerahkan sin-kang untuk mempertajam pendengaran mereka, untuk dapat menangkap percakapan antara dua orang kakek itu.

   San Hong memperhatikan dan melihat bahwa kakek yang ke dua itu bertubuh pendek gendut. Perutnya besar sekali! Berbeda dengan Tung Kiam yang bertubuh sedang dan tampan, juga yang berpakaian bersih, kakek gendut yang usianya sekitar enam puluh tahun itu mengenakan pakaian yang awut-awutan dan agak kotor. Akan tetapi dia mengenakan hiasan rambut gemerlapan dari emas dan intan! Dan pakaiannya juga terbuat dari sutera mahal. Hanya amat jorok dan kotor. San Hong memandang kepada Siang Bwee dan melihat gadis itu menggunakan jari tangannya menuliskan dua buah huruf di atas telapak tangan sendiri.

   See Mo! San Hong terkejut dan kini dia memandang dengan hati tertarik kepada si perut gendut itu. Kiranya itu-lah tokoh ke empat itu. See-thian Mo-ong (Raja Iblis Dunia Barat) atau disingkat See Mo, seorang di antara empat datuk besar itu! Jadi itulah tokoh yang memiliki dua macam ilmu yang amat hebat itu, yaitu senjata Huncwe Maut dan pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah), yang menurut Pak Ong telah dipecahkan rahasianya dengan dua macam ilmu silat yang diajarkan Raja Utara itu kepada dia dan Siang Bwee.

   Melihat betapa pemuda itu terkejut dan amat tertarik, Siang Bwee menaruh telunjuk kiri di depan mulut sebagal tanda agar pemuda itu tidak mengeluarkan suara, dan tangan kanannya menempel telinga sebagai tanda bahwa mereka harus mendengarkan percakapan kedua orang kakek itu. Tung Kiam datuk timur bercakap-cakap dengan See Mo datuk dari barat! "Memang saat itu merupakan saat yang menentukan,"

   Terdengar See Mo berkata dengan suaranya yang parau dan berat seperti suara katak buduk yang besar.

   "Aku sudah bertemu sendiri dengan Jenghis Khan! Beliau sendiri yang memberikan Jaminan bahwa kalau aku dan engkau mau membantu sampai penyerbuannya berhasil, maka kita berdua akan menerima balas jasa yang besar. Bukan tidak mungkin kita berdua menerima anugerah pangkat yang tinggi, menteri atau bahkan menjadi Kok-cu (Penasihat atau Guru Negara)!"

   Tung Kiam mengelus jenggotnya yang rapi, alisnya berkerut.

   "Hemmm, apakah jaminannya bahwa dia akan memegang janjinya? Bagaimana kita dapat mempercayai janji seorang Mongol?"

   "Tung Kiam, jangan engkau bicara seperti itu! Engkau tidak tahu siapa Jenghis Khan! Dia seorang Khan yang amat besar kekuasaannya. Tak dapat engkau membayangkan betapa besar kekuasaannya. Dengan sekali bertepuk tangan dia mampu mengumpulkan ratusan orang yang bersedia mati mentaati perintahnya! Dia seperti bintang baru yang cemerlang, membikin bintang-bintang lain nampak suram. Jelas bahwa dialah calon kaisar di seluruh dunia, seorang yang akan mampu menalukkan dunia! Kalau kita tidak membantu seorang seperti dia, maka kita akan tertinggal jauh."

   

Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini