Ceritasilat Novel Online

Pedang Asmara 34


Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 34



"Diamlah kalian semua. Hentikan tangis kalian itu!"

   Tiga orang isterinya dan dua orang anaknya menghentikan tangis mereka, yaitu suara tangis mereka, akan tetapi mereka tidak mampu membendung mengalirnya air mata.

   Setelah menarik napas panjang beberapa kali, pangeran itu berkata dengan suara yang lantang.

   "Agaknya kalian sudah tahu bahwa inilah saat terakhir bagi kita untuk saling bertemu. Dengarkan pesanku yang terakhir ini dan jangan membantah. Pertama kepada isteriku."

   Dia memandang isteri pertama yang kini maju dan menangis di atas lutut suaminya.

   "Setelah aku keluar memimpin pasukan, engkau boleh atur agar seluruh harta milik kita dibagi-bagikan kepada seluruh penghuni rumah ini termasuk para pelayan. Setelah membagi harta, mereka itu boleh dibebaskan dan boleh meninggalkan rumah ini. Engkau sendiri, bersama dua orang madumu, sebaiknya cepat lari mengungsi melalui pintu gerbang selatan yang masih aman, menggunakan kereta. Biar Tang Gun yang mencarikan pasukan pengawal untuk kalian bertiga."

   "Tidak...... tidak.....t Aku tidak mau pergi tanpa engkau, suamiku.....!"

   Isteri pangeran itu menangis dan merangkul kaki suaminya.

   "Kami juga tidak mau pergi. Ke mana kami wanita-wanita lemah akan pergi? Di mana-mana tidak aman, tentu kami hanya akan menjadi korban kejahatan saja. Lebih baik kami tinggal di sini, menanti Paduka dan kalau perlu..... kalau perlu.....kami siap untuk mati bersama....."

   Kata dua orang selir itu sambil bertangisan. Pangeran Wang-yen menarik napas panjang. Dia sudah menduga bahwa tiga orang isterinya tidak akan mau meninggalkannya. Dia lalu memandang kepada Wang-yen Lin dan Wang-yen Kong.

   "Lin Lin dan Akong, sekarang giliran kalian! Dengar baik-baik. Kalian harus pergi sekarang juga bersama paman kalian! Tang Gun ini. Dia akan menyelamatkan kalian keluar dari kota raja dan.....

   "

   "Ayah.....!"

   Wang-yen Lin maju mendekati ayahnya dan menangis.

   "Aku pun akan tinggal di sini bersama Ayah dam Ibu. Aku tidak takut mati"

   "Aku pun tidak takut mati! Aku akan melawan musuh bersama Ayah!"

   Kata pula Wang-yen Kong dengan gagah. Sejenak ada kebanggaan bersinar di mata pangeran itu. Akan tetapi dia menghardik,

   "Jangan banyak membantah. Ini perintah!"

   Dua orang anaknya itu terkejut dan menunduk.

   "Dengar baik-baik. Kalian masih muda dan tidak perlu mengorbankan nyawa. Pergilah kalian bersama Tang Gun, ke selatan dan serahkan baju Ayah ini kepada Sribaginda Kaisar! Kemudian, kalian harus membuat nama baik, belajar dengan tekun, dan menjadi orang-orang yang berguna bagi negara dan bangsa. Mengerti?"

   "Mengerti, Ayah. Akan tetapi....."

   Gadis yang cantik jelita itu hendak membantah.

   "Cukup"

   Bentak ayahnya dan dia menoleh kepada Tang Gun.

   "Tang Gun, Lin Lin harus menyamar sebagai pria kalau lari dari kota raja, dan mereka berdua harus mengenakan pakaian biasa seperti rakyat jelata agar tidak banyak mengalami gangguan. Nah, ini sepasang pedangku, untuk kalian berdua seorang satu. Kalian harus memperdalam ilmu pedang yang pernah kuajarkan kepada kalian. Sudah, hentikan tangis kalian semua. Tidak pantas keluarga kita ber-tangis-tangisan menunjukkan kelemahan. Aku rela dan kerelaan tidak boleh diantar tangis! Tang Gun, ajaklah mereka berdua pergi."

   Tang Gun melangkah maju dan memegang tangan Wang-yen Lin dan Wang yen Kong.

   "Sio-cia, Kongcu (Tuan Muda) mari kita pergi selagi keadaan masih memungkinkan."

   "Tang Gun, mulai saat ini, jangatnsebut siocia (nona) dan kongcu (tuan muda) lagi kepada mereka. Sebut nama mereka saja dan akuilah mereka sebaga keponakanmu. Nah, berangkatlah!"

   Tang Gun menarik dua orang muda itu berdiri. Mereka bangkit, memandang kepada ayah mereka dan tiba-tiba mereka berdua menubruk kaki orang tua itu.

   "Ayah.....

   "

   Keduanya menangis lagi. Sejenak hampir saja Pangeran Wang yen dilanda keharuan. Dia mengatupkan gigi, mengeraskan hati.

   "Cukup semua kecengengan ini! Bangkit dan pergilah sebelum aku marah! Dan jangan lupa bawa baju terisi tulisanku untuk Sribaginda ini, Tang Gun!"

   Dua orang anak itu bangkit, dan kini mereka menubruk ibu masing-masing sambil berlutut dan menangis.

   "Ibu.....!"

   Wang-yen Lin menubruk ibunya.

   "Ibu.....!"

   Wang-yen Kong juga merangkul ibunya.

   "Sudahlah, anakku. Tuhan agaknya menghendaki begini. Kita menerima nasib. Tabahkan hatimu dan semoga Tuhan selalu melindungi kalian."

   Kata isteri pangeran.

   Karena tidak ingin menambah beban batin ayah mereka, biarpun dengan hujan tangis, akhirnya Wang-yen Lin dan Wang-yen Kong meninggalkan ruangan itu bersama Tang Gun yang mengajak mereka untuk membawa bekal, dan menyuruh Wang-yen Lin menyamar sebagai seorang pemuda petani, juga Wang-yen Kong disuruh mengenakan pakaian pemuda petani yang sudah dia persiapkan sebelumnya. Setelah kedua orang anaknya pergi, legalah hati Pangeran Wang-yen Ki Bu. Dia berpamit dari tiga orang isterinya lalu memimpin sisa pasukan untuk menyambut penyerbuan pasukan Mongol. Biarpun pasukan kecil itu hanya berjumlah seratus orang lebih, akan tetapi mereka semua adalah perajurit-perajurlt yang berjiwa pahlawan.

   Terbakar semangat mereka oleh sepak terjang yang gagah perkasa dari Pangeran Wang-yen yang mengenakan pakaian serba putih, mereka mengamuk. Akan tetapi, apa artinya seratus orang lebih itu menghadapi pasukan Mongol yang selain lebih banyak, juga merupakan pasukan yang banyak pengalaman, buas dan liar itu? Seorang demi seorang roboh dan gugur. Mendengar betapa suami mereka tewas dalam pertempuran, tiga orang isteri pangeran itu pun melakukan bunuh diri karena sudah tidak mempunyai harapan lagi. Mereka maklum bahwa kalau sampai mereka terjatuh ke tangan orang Mongol, nasib mereka akan jauh lebih buruk dan penderitaan mereka akan lebih mengerikan lagi.

   Akhirnya, diiringi sorak-sorai yang bergemuruh, pasukan Mongol yang dipimpin oleh Muhuli, dibantu Pangeran Ming-san dan Panglim Sabotai menyerbu ke dalam kota raja Yen-king yang sedang dilanda kekacauan itu. Api berkobar di mana-mana, perampokan, pembunuhan dan perkosaan terjadi di mana-mana. Jerit tangis, keluh rintih dibarengi tawa dan sorak kemenangan. Mayat manusia berserakan dan setan iblis berpesta pora dalam diri manusia. Prikemanusiaan tidak nampak bayangannya lagi. Manusia-manusia berubah seperti binatang-binatang yang haus darah! Muhuli yang menjadi panglima pasukan Mongol, tidak mempedulikan keadaan Kerajaan Cin yang sedang runtuh itu dan dia memerintahkan anak buahnya untuk merampas dan mengumpulkan seluruh harta kekayaan di kota raja itu.

   Istana diporak-porandakan, barang-barang yang berharga diangkuti ke luar, juga senjata-njata. Wanita-wanita yang masih tinggal di istana, ditangkapi bersama para bangsawan yang tidak dapat melawan lagi. Juga setiap ada wanita muda yang cantik, tidak peduli ia bangsawan atau rakyat biasa, ditangkap untuk dijadikan tawanan perang. Semua benda berharga dan semua tawanan itu dikirim ke utara untuk dihadapkan kepada Jenghis Khan sebagal tanda berhasilnya pasukan penyerbu yang dipimpin oieh Panglima Mu-huli itu.

   Hancurlah kemegahan suatu kerajaan yang dibangun puluhan tahun lamanya. Hancur dalam sehari saja ! Bangsawan yang biasanya hidup penuh kemuliaan bersenang di dalam kemewahan dan kesenangan selama beberapa generasi, dalam satu hari saja berubah menjadi tawanan perang yang tidak mempunyai apa-apa lagi, dihina dan disiksa, bahkan nyawanya terancam setiap saat! Tidak ada yang kekal di dalam kehidupan ini! Jangankan milik kita yang berada di luar badan seperti harta benda, kekuasaan, kedudukan, keluarga, nama besar, dan sebagainya, bahkan tubuh kita sendiri ini pun tidak kekal adanya.

   Setiap saat dapat saja kematian menjemput kita dan habislah semua yang biasanya amat mengikat kita dan yang kita anggap sangat penting dan menyenangkan itu. Kita dipermainkan nafsu daya rendah yang sudah menyelubungi hati dan akal pikiran sehingga kini menjadi silau oleh kecemerlangan lahirah. Kita terpukau oleh permainan nafsu kita sendiri. Biasanya kita baru menyadari hal ini kalau sudah terhempas keras, bahkan kalau sudah terlambat! Tidak ada kekuasaan yang akan mampu melindungi kita dari ketidakkekalan ini, dari keadaan terombang-ambing nafsu ini, kecuali kekuasaan Tuhan!

   Tidak ada tempat kita berlindung dari godaan setan dan iblis yang amat licik, kecuali di bawah bimbingan Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Kasih! Berbahagialah orang yang selalu ingat kepada Tuhan, yang selalu menyerahkan diri lahir batin ke dalam bimbingan kekuasaanNya karena dia akan selalu terbimbing, dan kalau sudah begitu, dia tidak akan mabuk dalam kesenangan dan tidak akan putus asa dalam kesusahan. Orang yang selalu menyerah kepada kekuasaan Tuhan, berada dalam keadaan bagaimanapun juga, menghadapi peristiwa bagaimanapun juga, akan selalu menyerahkannya kepada Tuhan, dan selalu bersyukur karena yakin bahwa semua yang terjadi itu atas kehendak Tuhan dan kalau Tuhan menghendaki, pasti terjadi dan pasti ada hikmatnya karena Tuhan Maha Pengasih!.

   Yeliu Cutay menjadi seorang di antara para bangsawan yang menjadi tawanan perang dan dihadapkan kepada Jenghis Khan. Bangsawan yang bertubuh tinggi tegap dan gagah, dengan jenggot panjang dan sikap yang tegak dan anggun ini segera menarik perhatian Jenghis Khan. Tentu saja Yeliu Cutay masih ingat kepada Jenghis Khan yang pernah ditemuinya ketika mereka masih muda dahulu, bahkan dia pernah menjadi tamu dan sahabat baik dari Temucin, yaitu Jenghia Khan di waktu muda. Bukan itu saja, dia Juga menerima hadiah Pedang Asmara dari penguasa Mongol yang kini menjadi seorang raja besar yang berhasil menalukkan Kerajaan Cin!

   Akan tetapi Jenghis Khan sudah lupa lagi. Kini Yeliu Cutay telah berusia hampir lima puluh tujuh tahun. Kalau sekarang Jenghis Khan tertarik, hal itu adalah karena sikap yang tenang dan penuh wibawa dan. kegagahan dari bangsawan keturunan Liao-tung itu, sungguh berbeda sekali dengan sikap para tawanan lain yang ketakutan dan menangis, meratap minta ampun darinya. Orang ini sama sekali tidak menangis, sama sekali tidak meratap minta ampun, dan caranya memberi hormat kepadanya pun wajar, tidak menjilat-jilat. Orang seperti ini akan menghadapi ancaman hukuman mati dengan tak berkedip!

   "Menurut catatan, engkau adalah seorang keturunan bangsa Liao-tung, benarkah itu?"

   Tanya Jenghis Khan sambil mengamati wajah yang tampan gagah dengan jenggot panjang itu.

   "Benar sekali Khan yang mulia!"

   Jawab Yeliu Cutay dan suaranya pun lantang dan sama sekali tidak gemetar, sama sekali tidak membayangkan ketakutan, walaupun halus dan sopan. Sekarang sepasang mata Jenghis Khan memandang tajam seperti orang marah dan jarang ada yang berani menentang pandang mata ini tanpa perasaan takut.

   "Hemmm, sejak dahulu Liao-tung menjadi musuh Kerajaan Cin! Bagaimana engkau dapat menjadi ponggawa Kerajaan Cin? Engkau pengkhianat dari bangsamu sendiri?"

   Yeliu Cutay menentang pandang mata raja besar itu tanpa rasa takut sedikitpun, bahkan dia merasa penasaran dan mendongkol disebut pengkhianat.

   "Tidak ada pengkhianat apa pun di sini, Yang Mulia! Sejak ayah saya semua keluarga kami bekerja kepada Kerajaar Cin. Bukankah itu sudah sepatutnya dan seharusnya kalau saya juga mengabdi kepada Kerajaan Cin? Saya hanya melanjutkan pengabdian ayah untuk menjaga nama baik keluarga kami sebagai orang orang yang setia kepada atasan!"

   Semua orang yang melihat sikap ini dan mendengar ucapan yang berani dari Yeliu Cutay terkejut. Orang ini pasti akan dihukum mati atau bahkan disiksa dulu, pikir mereka. Akan tetapi ternyata sama sekali tidak begitu. Jenghis Kha tersenyum dan memandang kagum. Jawaban itu bahkan menyenangkan hatinya Tadi sudah banyak dia menanyai para tawanan. Beberapa orang tawanan yang meratap minta ampun segera disuruhnya bunuh, juga mereka yang pura-pura ingkar dan menyangkal, bahwa mereka pernah bekerja membantu Kerajaan Cin. Dia kagum kepada orang ini seorang yang setia kepada tugasnya dan atasannya!

   "Hemmm, aku suka kepadamu. Siapakah namamu?"

   Tanyanya.

   Yeliu Cutay membungkuk dengan si.kap hormat, lalu berkata sambil tersenyum.

   "Paduka sudah mengenal hamba. Nama hamba Yeliu Cutay."

   "Yeliu..... Yeliu Cutay.....? Aihhh, saudaraku yang baik, kenapa tidak sejak tadi engkau memperkenalkan diri?"

   Kata Jenghis Khan dan dia pun bangkit dari tempat duduknya, menghampiri tawanan itu dan memeluknya dengan hangat.

   "Tentu Paduka ingat bahwa hamba hanyalah seorang tawanan perang."

   Jenghis Khan tertawa dan membubarkan persidangan itu untuk dilanjutkan besok, lalu dia menggandeng lengan Yeliu Cutay, diajaknya ke dalam dan mengajaknya bercakap-cakap. Mulai saat itu, Yeliu Cutay diterima oleh Jenghis Khan dan diangkat menjadi seorang pembantunya, seorang penasihat.

   Dan ternyata kemudian bahwa tenaga dan pikiran Yeliu Cutay merupakan satu di antara penunjang keberhasilan tokoh Mongol ini. Bahkan pada hari pertama itu juga, Yeliu Cutay membujuk kepada Jenghis Khan agar tidak membunuhi begitu saja para tawanan itu. Mereka yang pengecut dan penjilat memang sudah sepatutnya dihukum mati. Akan tetapi di antara para tawanan itu terdapat banyak orang pandai, sarjana dan para cendekiawan yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang. Tenaga dan pikiran mereka itu amat penting dan amat menguntungkan kalau mereka diberi kesempatan membantu, Jenghis Khan menyetujui dan kelak dia berterima kasih sekali atas nasihat pertama itu.

   "Hendaknya Yang Mulia menyadari bahwa keadaan di selatan tak dapat di samakan dengan daerah Mongol. Di sana padat dengan penduduk, dan tanahnyapun subur. Kalau daerah selatan itu hendak dijadikan daerah perumputan dan kehidupan rakyatnya akan Paduka ubah menjadi kehidupan kelompok yang berpindah-pindah, Paduka akan gagal dan bahkan rugi. Tanah subur dan kepadatan penduduk itu dapat Paduka manfaatkan demi kebesaran pimpinan Paduka sehingga Paduka akan dapat membangun suatu dinasti baru yang kokoh kuat!"

   Banyak nasihat diberikan oleh Yeliu Cutay. Jenghis Khan tidak paham akan urusan pemerintahan, maka setelah dapat mempertimbangkan kebenaran semua nasihat Yeliu Cutay, dia mengubah niatnya semula.

   Biasanya, tempat yang diduduki pasukan Mongol tentu akan dijadikan padang rumput yang subur agar mereka dapat memelihara ternak mereka Kehidupan mereka tergantung dari peternakan, maka bagi mereka yang terpenting adalah kesuburan ternak mereka Kini, oleh Yeliu Cutay raja itu mulai disadarkan bahwa hasil pertanian jauh lebih penting dan lebih menjamin kehidupan manusia daripada hasil peternakan. Memenuhi harapan Yeliu Cutay, Jenghis Khan mengangkat gubernur-gubernur untuk memerintah daerah Cin yang sudah didudukinya dan dia memilih kaum bangsawan keluarga Liao-tung untuk menjadi pejabat pejabat.

   Pada saat kota raja Yen-king diserbu pasukan Mongol. di puncak Kabut Putih di Pegunungan Thai-san, terjadi pertemuan yang menegangkan. Pada malam bulan purnama itu, Empat Datuk Besar mengadakan pertemuan seperti di masa-masa lalu. Mula-mula muncul Pak Ong yang di ikuti oleh Ji Kui Lan dan Bu Tiong Sin di puncak Kabut Putih itu, muncul dari arah selatan. Puncak itu merupakan sebuah tanah datar yang cukup luas, penuh dengan rumput halus. Ketika Pak Ong bersama gadis dan pemuda itu tiba di situ, mereka disambut oleh Tung Kiam dan See Mo yang sudah lebih dulu berada tempat itu.

   "Ah, kiranya Pak Ong baru muncul!"

   See Mo menyambut dengan suara bernada mengejek.

   "Kusangka tidak akan berani muncul!"

   Sambung Tung Kiam, juga mengejek.

   Dibandingkan dua orang datuk besar itu, Pak Ong tidak kalah sombongnya. Sejak tadi dia meneliti keadaan di puncak itu dengan pandang matanya sambil menghampiri dua orang datuk besar itu, diikuti oleh puterinya dan muridnya. Dia melihat bahwa dua orang datuk besar itu telah siap pula dengan pertemuan yang akan dijadikan arena pertandingan mengadu ilmu itu. Di belakang Tung Kiam berdiri puteranya, Cu See Han yang tampan dan gagah. Dan di belakang See Mo berdiri puteranya, Kok Tay Ki atau Kok Kongcu yang lagaknya amat angkuh.Juga Koay-to Heng-te, yaitu Si Kembar Gu berdiri di belakang See Mo.

   "Hemmm, dua orang tua bangka sudah menanti di sini. Mari kita mulai saja untuk membuktikan bahwa aku sama sekali tidak takut kepada kalian!"

   Kata Pak Ong dengan lagak angkuh pula.

   "Ha-ha-ha, Pak Ong, jangan berlagak gagah. Engkau lari terbirit-birit meninggalkan utara, terlunta-lunta seperti gelandangan, seperti pengemis. Apakah belum waktunya julukan Pak Ong (Raja Utara) diubah menjadi Pak Kay (Pengemis Utara)?"

   See Mo mengejek.

   "Nanti dulu, kita menanti munculnya Nam Tok, yaitu kalau dia berani keluar! Biasanya anjing tidak berani muncul kalau majikannya telah pergi melarikan diri."

   Kata Tung Kiam.

   "Aku berada di sini!"

   Tiba-tiba Nam Tok muncul, diikuti Siang Bwee dan San Hong.

   "Kau bilang aku anjing yang ditinggalkan majikan, Tung Kiam? Engkau dan See Mo yang tidak tahu malu dan lebih pantas disebut anjing-anjing pengkhianat"

   Siang Bwee mengerutkan alisnya dan cepat ia meloncat ke depan, lalu sambil tertawa berkata.

   "Aih, kenapa Empat Datuk Besar yang sekarang mengadakan pertemuan besar hanya saling maki? Pertemuan ini untuk mengadu ilmu, untuk menentukan siapa yang paling besar di antara yang besar, ataukah pertemuan saling maki seperti empat orang nenek bawel? Waahhh, kalau didengar dunia kang-ouw, tentu akan menjadi bahan tertawaan!"

   Nam Tok dan Pak Ong adalah orang-orang yang cerdik, maka mereka segera dapat menangkap apa maksud gadis itu cela mereka. Memang Siang Bwee benar. Untuk sementara ini mereka tidak boleh membuka rahasia bahwa mereka sudah tahu akan persekongkolan yang terjadi antara Tung Kiam dan See Mo. Lebih baik pura-pura tidak tahu dulu dan melihat perkembangannya nanti. Kalau dua orang datuk yang curang itu menggunakan pasukan Mongol untuk mengepung dan mengeroyok, barulah mereka akan memberi isyarat kepada rombongan pendekar yang juga sudah siap untuk menandinginya sehingga di situ yang terjadi bukan adu kepandaian antara empat datuk besar, melainkan pertempuran mati-matian antara pasukan Mongol melawan pasukan pendekar! Akan tetapi mereka pun dapat menduga bahwa Tung Kiam dan See Mo yang berwatak angkuh itu pasti tidak puas, tentu akan memperlihatkan dulu keunggulan, ilmu mereka seperti yang sudah berkali-kali terjadi di antara mereka untuk meraih gelar datuk nomor satu di antara mereka.

   Di antara para pendekar yang dikumpulkan Pak Ong, terdapat orang-orang gagah campuran. Ada bangsa selatan yaitu bangsa Sung atau Han, ada pula bangsa Cin atau Kim yang pemerintahannya baru saja jatuh oleh kekuatan Mongol. Baik bangsa Kim maupun bangsa Sung keduanya pada waktu itu menjadi musuh bangsa Mongol yang sedang mengadakan penyerbuan ke selatan. Siasat Siang Bwee memang tepat sekali. Mendengar ucapan gadis itu yang dikeluarkan dengan suara yang nadanya mengejek sekali, baik Tung Kiam maupun See Mo menjadi marah dan muka mereka berubah merah.

   "Ha-ha-ha, puteri Nam Tok selalu ingin mencari kemenangan dengan ketajaman mulutnya! Sekali ini pertandingan antara murid harus disertai taruhan! Kalau puteraku, Kok Tay Ki, mampu mengalahkan Ang Siang Bwee, gadis itu harus menjadi mantuku, menjadi isteri Kok Tay Ki! Ha-ha-ha!"

   See-thian Mo-ong berseru.

   Siang Bwee mencibirkan bibirnya yang merah dan manis sambil melirik ke arah Kok Kongcu.

   "Itu kalau dia menang. bagaimana kalau dia kalah, olehku?"

   Kok Kongcu tertawa.

   "Kalau engkau kalah olehku, engkau menjadi isteriku. Kalau aku yang kalah olehmu, tentu saja aku bersedia menjadi suamimu."

   Siang Bwee melerok dan cemberut.

   "Enak sendiri saja kalau ngomong! Siapa sih yang kesudian menjadi isteri mu?"

   "Ha-ha-ha, See Mo, jangan tergesa-gesa dulu!"

   Kata Tung Kiam.

   "Aku sendiri sudah mencalonkan See Han menjadi mantu Pak Ong atau Nam Tok, akan tetapi aku juga lebih suka kepada puteri Nam Tok. Dara ini akan membuat rumah kami menjadi cerah karena gembira! Ha-ha-ha!"

   Mendengar ucapan dua orang yang tidak disukainya itu.

   Pak Ong mengerutkan alisnya.

   "Kalian ini dua orang tua tidak tahu diri. seenak perutnya saja menentukan pilihan mantu. Apa kalian berdua tidak tahu bahwa baik puteriku. Kui Lan maupun puteri Nam Tok, Ang Siang Bwee sudah mempunyai calon suami. Puteriku Ji Kui Lan telah bertunangan dengan Kwee San Hong murid Nam Tok sedangkan puteri Nam Tok, Ang Sian Bwee telah bertunangan dengan muridku Bu Tiong Sin! Maka kalian jangan bicara sembarangan dan bermimpi di tengah hari!"

   "Ha-ha-ha, apa yang dikatakan Pai Ong memang benar!"

   Kata Nam Tok untuk memberi pukulan kepada dua orang datuk yang bersekongkol dengan orang Mongol itu.

   "Maka jangan kalian mengandung maksud yang bukan-bukan!"

   "Aku tidak sudi!"

   Tiba-tiba Siang Bwe berseru sambil bertolak pinggang.

   "tidak mau menjadi isteri sembarang orang. Aku hanya mau menjadi isteri dari pemuda yang paling gagah di antara semua ini, yang keluar menjadi juara!"

   "Aku juga hanya mau menjadi isteri pemuda juara!"

   Kata pula Ji Kui Lan tidak mau kalah, sambil, menggoyang-goyang pinggulnya yang besar seperti seekor kuda berlagak.

   "Bagus!"

   Siang Bwee berteriak lagi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain untuk bicara.

   "Sekarang bukan saja diadakan pertandingan adu kelihaian, akan tetapi juga pemilihan calon suami! Kebetulan empat orang datuk besar masing-masing mempunyai seorang anak atau murid. Ada empat orang pemuda di sini yang dapat mewakili guru atau ayah masing-masing.

   Biarkan mereka itu mengadu kepandaian, yang keluar sebagai juara dialah yang berhak menjadi calon suami pilihan. Kalau sudah begitu, baru aku dan kuda betina ini saling memperebutkan sang juara! Bukankah ini peraturan yang adil sekali dan patut disetujui empat orang datuk besar yang terkenal karena kegagahan dan keadilannya?"

   Lalu gadis itu menyambung.

   "Yang tidak setuju berarti mempunyai pikiran curang dan jiwa pengecut!"

   Empat orang datuk itu saling pandang dengan alis berkerut. Nam Tok sendiri mengepal tinju, marah, akan tetapi tidak berdaya terhadap puterinya yang dapat melepaskan kata-kata yang demikian mengandung kebenaran yang tak dapat dibantah lagi. Harus diakuinya bahwa dalam hal kecerdikan dan kepandaian bicara, dia sendiri seringkali dipecundangi puterinya! Sekarang pun dia tidak mungkin dan tidak mempunyai alasan yang kuat untuk membantah tanpa menimbulkan kesan bahwa dia tidak adil.

   Sementara itu, empat orang pemuda yaitu Kok Tay Ki, Cu See Han, Bu Tiong Sin, dan Kwee San Hong sudah saling pandang dengan sinar mata penuh pertentangan. Tentu saja mereka semua tidak mau saling mengalah, bukan hanya untuk mewakili guru atau ayah masing-masing memperebutkan kemenangan juara, akal tetapi sekali ini terutama sekali karena ada hadiahnya, ada taruhannya, yaitu seorang gadis jelita, Ji Kui Lan atau Ang Siang Bwee! Dan mereka berempat melirik semua ke arah Ang Siang Bwee karena mereka lebih suka kalau dapat memperisteri Ang Siang Bwee daripada Ji Kui Lan yang walaupun cantik jelita dan seksi, akan tetapi jelas bukan gadis pingitan itu! Karena merasa terpukul dan juga tak berdaya oleh ucapan puterinya sendiri, terpaksa Nam Tok tertawa dan berkata lantang.

   "Bagaimana pendapat Pak Ong, Tung Kiam dan See Mo tentang usul puteriku tadi?"

   Pak Ong mengerutkan alisnya.

   "Hemm... bukankah di antara anak dan murid kita sudah ada ikatan perjodohan?"

   "Paman Ji Hiat apakah tidak malu kalau mau menang sendiri saja? Lalu apa artinya diadakan pertandingan adu kejuaraan kalau sang juara tidak memperoleh hadiah apa-apa? Sang juara pria sudah sepantasnya mendapatkan isteri terbaik, juga sang juara puteri sepantasnya mendapatkan suami pilihan! Kalau sudah ditentukan lebih dulu tentang perjodohan, lebih baik tidak diadakan pertandingan adu kepandaian saja, dan sebaiknya Paman Ji Hiat dan ayah Nam Tok mengaku kalah saja kepada Paman Tung Kiam dan Paman See Mo!"

   Kata Siang Bwee.

   "Gila! Aku tidak sudi mengalah begitu saja tanpa bertanding""

   Teriak Nam Tok marah.

   "Aku pun tidak sudi!"

   
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Teriak pula Pak Ong.

   Siang Bwee bertepuk tangan gembira "Itu baru namanya dua orang tua yang gagah perkasa dan menghargai kegagahan. Nah, sekarang semua perjanjian perjodohan dibatalkan, dan diganti dengan sayembara pertandingan untuk menentukan jodoh. Siapa setuju boleh ikut bertanding yang tidak setuju boleh pergi dan menggulung ekornya!"

   Tentu saja tak seorang di antara mereka yang sudi menggulung ekor seperti anjing ketakutan.

   "Aku mau melawan siapa saja! Hayo, boleh maju kalau ingin berkenalan dengan huncwe mautku!"

   Kok Kongcu atau Kok Tay Ki yang berwatak angkuh dan tinggi hati itu melangkah maju dan meraba huncwe yang terselip di pinggangnya. Pemuda putera See Mo ini memang lihai sekali dan boleh dibilang merupakan lawan paling berat bagi yang lain. Selain dia pandai memainkan senjata huncwe maut dan suling, juga dia kejam luar biasa. Dan di samping ilmu-ilmu aneh dari ayahnya. Penggunaan senjata-senjata yang luar biasa itu, Juga pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah) darinya merupakan pukulan maut yang dapat mudah merenggut nyawa lawan dengan sekali pukul.

   Melihat sikap Kok Kongcu, Cu See Han putera Tung Kiam yang juga tidak kalah sombongnya dan terlalu percaya kepada diri sendiri sebagai seorang ahli pedang, juga melangkah maju. Seperti Kok Kongcu, dia pun tampan dan gagah, apalagi pedangnya memiliki sarung yang terukir indah, gagangnya juga terukir kepala naga dan ronce-roncenya benang mas. Pakaiannya mewah seperti pakaian seorang sastrawan bangsawan yang kaya. Pemuda ini meraba gagang pedangnya dan sambil mengangkat dada dia pun berkata.

   "Aku pun sudah siap melawan siapa saja yang berani!"

   Jl Kui Lan mengerutkan alisnya menoleh kepada suhengnya, dan dengan pandang matanya dara ini mendorong suhengnya untuk maju. Sebetulnya biarpun dia tidak takut, akan tetapi Bu Tiong Sin tidaklah seberani mereka karena di merasa bahwa dia hanya seorang murid dan juga belum lama menjadi murid Pa Ong. Lalu dia teringat akan Pedang Asmara di punggungnya. Besarlah hatinya karena dia maklum bahwa tidak ada pedang yang akan mampu menandingi Pedang Asmara, maka dia pun maju dan menjura kepada semua orang.

   "Saya Bu Tiong Sin mewakili suhu Pak Ong Ji Hiat untuk melawan siapa saja dalam pertandingan ini!"

   Melihat tiga orang pemuda itu semua sudah maju, tinggal San Hong sendiri yang masih diam saja, Nam Tok mengerutkan alisnya. Apalagi ketika itu Kok Kongcu tertawa bergelak.

   "Kami tiga orang pemuda perkasa sudah menantang maju, akan tetapi kenapa murid Paman Nam Tok masih bersembunyi saja di balik baju adik Siang Bwee? Heiii, siapa namamu? Kwee San Hong, bukan? Apakah engkau takut? Kalau begitu, cepat kau menggulung ekormu dan menggelinding pergi dari tempat ini!"

   Ucapan itu diiringi suara ketawa See Han dan juga Tiong Sin.

   Siang Bwee terbelalak dan mukanya menjadi merah sekali, ketika ia memandang kepada Kok Tay Ki. Ia melangkah maju dan telunjuk kirinya menuding ke arah hidung Kok Kong-cu, lalu ia bicara dengan lantang.

   "Heiii, engkau budak she Kok! Kalau engkau bicara, mulutmu bau busuk sekali seperti bangkai! Agaknya sudah berbulan-bulan engkau tidak pernah membersihkan mulutmu, ya?"

   Dimaki sehebat itu, Kok Kong-cu terbelalak, mukanya pucat sekali dan dia marah, malu pula.

   "Jangan sembarang rngkau bicara menghina suhengku! Kalau Suheng diam saja itu bukan berarti dia takut, akan tetapi karena dia tidak sombong seperti kalian ini kepala-kepala udang! Kalau suhengku Kwee San Hong maju, biar kalian bertiga maju bersama, kalian semua akan roboh dan kalah!"

   Hebat memang penghinaan ini memang Siang Bwee ahli kalau harus bertengkar dan memaki!

   "Bagus! Kalau begitu, biarkan dia maju melawan kami bertiga!"

   Teriak Kok Kongcu yang memang cerdik sekali dan dia hendak menangkap omongan gadis itu demi keuntungan dirinya. Akan tetapi, Siang Bwee bukan gadis yang mudah diakali begitu saja.

   "Nah-nah nah, kelihatan belangnya semua sekarang. Kiranya hanya domba berkedok harimau! Nampaknya saja gagah berani, tidak tahunya pengecut tulen bermuka tebal! Mau mengeroyok Suheng dengan tiga orang? Heh-heh-heh, budak Kok, mau kau taruh kemana mukamu itu, nah? Kau taruh di pantat?"

   Kok Tay Ki marah sekali dan dia sudah mencabut huncwe mautnya dan siap menyerang Siang Bwee. Gadis ini pun tidak takut. Tongkatnya sudah di-palangkan depan dada.

   "Engkau lebih suka melawan aku dan jerih melawan suheng? Tidak apa, aku pun cukup untuk menggebukimu dengan tongkat sampai engkau berkuik-kuik minta ampun, hayo maju!"

   Siang Bwee menantang.

   "Siang Bwee, mundur!"

   Bentak Nam Tok.

   "Engkau sendiri yang mengatur agar diadakan sayembara, kenapa kini malah engkau hendak menandingi Kok Tay Ki?"

   "Benar,"

   Kata Pak Ong.

   "sebaiknya empat orang pemuda itu dibiarkan mewakili kita orang tua untuk menentukan siapa yang paling pandai. Aku usulkan agar putera See Mo bertanding dulu melawan putera Tung Kiam, baru nanti disusul muridku melawan murid Nam Tok dan selanjutnya ditukar lawan."

   Jelas banwa Pak Ong dan Nam Tok memang sudah sepakat untuk membiarkan dua pihak yang bersekongkol dengan orang Mongol itu untuk saling serang dulu, agar mereka lebih mudah menentukan sikap. Kalau mereka dulu yang saling serang hal ini hanya akan menguntungkan dua orang datuk yang bersekongkol dengan orang Mongol itu. Akan tetapi Tung Kiam dan See Mo juga bukan orang bodoh. Jalan pikiran mereka sama dengan dua orang tokoh datuk besar itu dan mereka pun tidak mau dirugikan kalau anak anak mereka harus bertanding lebin dulu, berarti melemahkan keadaan sendiri.

   "Kepandaian puteraku Cu See Han semua orang sudah tahu, juga kepandaian Kok Tay Ki putera See Mo semua orang sudah tahu pula. hanya kepandaian dua orang murid Nam Tok dan Pak Ong merupakan orang orang baru. Maka sudah sepantasnyalah kalau kedua orang murid yang belum kita kenal kepandaiannya itu saling bertanding lebih dulu agar kita juga dapat melihat sampai di mana tingkat mereka, apakah sudah pantas untuk dipertandingkan dengan putera putera kami!"

   Kata Tung Kiam yang cerdik. See Mo mengangguk-angguk membenarkan.Kembali Siang Bwee yang menolong, Biarpun Pak Ong merupakan sekutu ayahnya, akan tetapi ia paling benci kepada Bu Tiong Sin karena pemuda ini dijodohkan dengannya. Maka ia lalu berkata dengan lantangnya.

   "Kembali empat orang datuk besar rebutan bicara seperti empat nenek bawel. Siapa yang bertanding dulu apa sih bedanya? Nanti tidak urung semua kebagian bertanding. Paman Tung Kiam terkenal dengan ilmu pedangnya yang hebat yaitu Tung-hai Liong kiam, dan ilmu pukulan Tung-hai Mo kun yang sukar ditandingi. Akan tetapi Paman Pak Ong juga memiliki Swat in Sin-to dan lt-sin-ci di samping Kui ma Sin-tui yana sudah mengguncang dunia persilatan.! Kalau sekarang ini Cu See Han dipertandingkan dulu melawan Bu Tiong Sin tentu akan terjadi pertempuran yang amat menarik hati untuk dikagumi!"

   Akan tetapi, ayahnya segera mencegah. Nam Tok sudah melihat kehebatan ilmu dari San Hong, maka tentu saja setelah kini Kwee San Hong mewakilinya sebagai murid, dia ingin melihat muridnya itu memperoleh sebuah kemenangan dulu untuk membesarkan hatinya.

   "Tidak! Aku tantang putera See Mo Kok Tay Ki yang ahli huncwe maut itu untuk menandingi muridku, Kwee San Hong. San Hong, kuperintahkan engkau untuk menandingi Kok Tay Ki!"

   Tentu saja San Hong tidak berani membantah. Dia melangkah maju dan memberi hormat kepada gurunya.

   "Baik Suhu. Teecu siap!"

   Dia tadi sudah menitipkan Pedang Asmara kepada Siang Bwee, sedangkan yang berada di punggungnya adalah Pedang Pek lui-kiam.

   Melihat siasat rekannya ini, Pak Ong juga cepat memberi perintah kepada muridnya.

   "Tiong Sin, cepat engkau hadapi putera Tung Kiam!"

   Akan tetapi, baik Tung Kiam maupun See Mo sudah merasa khawatir melihat San Hong.

   Terutama sekali Tung Kiam yang kini baru tahu bahwa dia telah kena diakali Siang Bwee sehingga dia telah mengajarkan ilmu-ilmunya kepada San Hong dan Siang Bwee.

   "Nanti dulu,"

   Katanya cepat.

   "Pertandingan harus diadakan satu lawan satu agar kita semua dapat menjadi saksi dan juri untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Sebaiknya murid Nam Tok kini bertanding lawan putera See Mo, baru tepat."

   Kok Tay Ki atau Kok Kongcu adalah seorang pemuda yang kejam luar biasa, akan tetapi juga lihai, cerdik dan sombongnya setengah mati. Dia memandang rendah Kwee San Hong yang dianggapnya serba canggung itu. Diu merasa bahwa dua buah ilmunya, yaitu tangan kosong Ang see ciang dan huncwe mautnya merupakan ilmu pilinan yang sukar dicari lawannya, maka kini dia hendak mempergunakan keduanya.

   "Ini merupakan adu ilmu, bukan perkelahian saling bunuh. Bagaimana kalau kita menggunakan ilmu tangan kosong lebih dulu agar dapat dilihat dengan jelas siapa yang lebih lihai kaki tangannya tanpa bantuan senjata tajam?"

   Kata Kok Kongcu dengan sikap yang jumawa sekali Dia memang tampan dan halus, juga gagah, maka ketika bicara dia nampak anggun, pakaiannya indah, topi bulunya berkibar, sabuk emasnya mengkilat. Siang Bwee mendekati San Hong dan berbisik dengan suara lirih sekali sehingga hanya terdengar oleh pemuda itu.

   "Kau ingat. Ang-see-ciang dapat kaulawan dengan It-sin-ci."

   Bisikan itu di terima oleh San Hong dengan anggukan kepala. Memang dia pernah diberi pelajaran It-sin-ci (Totokan Satu Jari Sakti) oleh Pak Ong untuk memecahkan kehebatan Ang see ciang dari See Mo! Selain itu, juga San Hong telah mempelajari Ilmu pukulan tangan kosong Hek-in Pay san dari Nam Tok melalui Siang Bwee. Apalagi dia pun sudah digembleng dengan ilmu yang hebat, yaitu ilmu sin kang Perisai Diri dari Lo Koay dan tubuhnya juga amat kuat, sinkangnya menjadi luar biasa setelah dia makan jamur emas!

   Kok Kongcu yang angkuh dan selalu. memandang rendah orang lain itu telah menanggalkan jubah luarnya yang indah, dilipatnya jubah itu dengan hati-hati dan dia lemparkan kepada Koay-to Heng-te, yaitu Si Kembar Gu yang sudah hadir pula di situ. Dua orang kembar ini merupakan murid dan pembantu-pembantu setia dari See Mo dan tingkat kepandaian mereka pun sudah tinggi, tidak banyak selisihnya dibandingkan Kok Kongcu sendiri. Namun, Kok Kongcu menganggap mereka itu orang bawahan dan pembantu, bukan para suhengnya.

   "Kwee San Hong, aku mendengar engkau adalah seorang pemuda gunung, pemuda petani yang dusun dan kampungan.

   Akan tetapi sekarang mendapat bintang terang, bisa diterima sebagai murid Paman Nam Tok. Sungguh baik sekali nasibmu. Sayang, nasibmu hanya sampai di sini saja karena sekarang engkau akan habis di tanganku,ha-ha-ha!"

   Kok Kongcu tertawa sinis sambil memandang dengan sinar mata mengejek sekali.San Hong adalah seorang pemuda jujur yang polos dan karenanya nampak seperti bodoh, tidak pandai bicara dan mendengar ucapan itu dia hanya mengangguk dan berkata polos.

   "Memang aku seorang pemuda dusun, dari dusun Po lim-cun di kaki Pegunungan Thian-san Apa salahnya dengan aku?"

   Jawaban ini membuat Nam Tok menarik napas panjang. Sungguh murid yang tidak pandai mengangkat nama besar gurunya! Akan tetapi Siang Bwee menjadi merah mukanya dan ia cepat berkata dengan mata melotot memandang Kok Kongcu.

   "Benar, apa salahnya kalau Suheng Kwee San Hong berasal dari dusun? Apa engkau ini orang she Kok merasa sebagai seorang bangsawan aseli dari kota besar?. Dari mana sih asal nenek moyangmu? Dari barat, dari daerah bangsa biadab, di Bukit Pek-coa-san tempat ular (Pek-coa-san berarti Bukit Ular Putih). Karena orang tuamu kaya raya, maka engkau berlagak sebagai bangsawan kota yang hebat. Aduh, hanya gayanya saja, tapi kosong tidak ada isinya! Lihat saja mukamu itu di bayangan air, namanya saja pakai kongcu (tuan muda), akan tetapi mukamu pucat kurang darah, seperti orang berpenyakitan, pesolek seperti seorang banci, sama sekali tidak jantan, sama sekali tidak gagah. Dan engkau masih berani menghina Suheng Kwee San Hong? Sungguh tolol, kaulah yang akan bertekuk lutut di depan Suheng, tahu?"

   Semua orang terbelalak mendengar ucapan yang nadanya demikian keras menghina, bahkan Nam Tok sendiri merasa tidak enak karena dia anggap puterinya keterlaluan. Kok Kongcu sendiri sampai pucat mukanya saking marah dan wajah See Mo menjadi kemerahan dan dia menganggap puteranya mencari gara-gara saja.

   "Tay Ki, perlu apa banyak cakap lagi? Hayo hajar murid Nam Tok itu! Kalau engkau tidak becus mengalahkannya, engkau tidak pantas menjadi putera See-thian Mo-ong Kok Bong Ek!"

   Diam-diam Kok Kongcu terkejut dan dia tahu bahwa sekali ini ayahnya marah sekali. Akan tetapi dia pun tidak khawatir. Andaikata Kwee San Hong memang tangguh sekali, di situ masih ada dua orang pembantunya, Koay-to Heng-te Gu Kiat dan Gu Liat, masih ada ayahnya, masih ada sekutu ayahnya yaitu Tung Kiam dengan puteranya Cu See Han, dan terutama sekali masih ada seratus lebih pasukan Mongol yang siap dengan senjata panah mereka. Pasukan itu adalah barisan panah yang lihai! Takut apa lagi?

   Maka, dengan gagah dia pun melangkah ke depan, menghadapi San Hong dengan senyum mengejek.

   "Nah, petani busuk, bersiaplah untuk roboh di tanganku. Lihat serangan!"

   Kok Kongcu membentak untuk memamerkan bahwa dia cukup "gagah"

   Untuk memberi peringatan dulu sebelum menyerang. Serangannya memang hebat. Dia adalah putera See Mo yang sudah mewarisi ilmu kepandaian ayahnya, maka begitu menyerang, tangannya yang kanan meluncur seperti seekor ular mencengkeram ke arah muka lawan sedangkan tangan kirinya menyambar ke arah pusar. Itulah suatu jurus ilmu Pek-coa-sin-kun yang amat hebat dari See Mo.

   Namun Kwee San Hong sekarang sama sekali tidak boleh disamakan dengan Kwee San Hong beberapa tahun yang lalu. Semenjak bergaul dengan Siang Bwee, selain pemuda ini dapat dicurikan ilmu-ilmu aneh dari para datuk, juga gadis yang mencintanya itu memaksanya berlatih hampir setiap saat, bahkan yang terakhir, dengan kepandaiannya memikat hati, Siang Bwee berhasil membuat dua Orang sakti, yaitu Lo Koay dan nenek Coa Eng Cun berkenan menurunkan ilmu simpanan mereka berdua kepada San Hong dan Siang Bwee. Kini San Hong telah menjadi seorang pemuda yang sikapnya amat tenang, namun penuh kewaspadaan dan ilmu-ilmu yang telah dipelajari dan dilatihnya setiap saat itu telah mendarah daging dengan dirinya.

   Inilah keuntungannya. Kalau dia mengandalkan kecepatan otak, agaknya dia tidak akan mampu menandingi Kok Kongcu yang cerdik. Akan tetapi karena ilmu-ilmu itu sudah mendarah daging, sudah menyatu dengan semua syaraf di tubuhnya, maka gerakannya otomatis dan tidak melalui ingatan lagi sehingga tentu saja jauh lebih cepat daripada kalau dibandingkan dengan ilmu yang dilakukan melalui ingatan. Gerakannya merupakan gerakan reaksi tubuh dan refleks!

   Menghadapi serangan cengkeraman ke arah muka dan pusar, San Hong sama sekali tidak menjadi gugup. Dia sudah memiliki penglihatan yang cukup waspada dan dia tahu bahwa dua serangan itu walaupun nampaknya ganas, akan tetapi hanya merupakan gertakan atau pancingan belaka agar mengendurkan atau mengalihkan perhatiannya akan ancaman berikutnya yang lebih hebat. Oleh karena itu, dia hanya miringkan tubuh dan melangkah mundur selangkah untuk menghindarkan dua cengkeraman itu sambil menanti kelanjutan serangan itu dan dia tahu pasti datang dengan cepat.

   Dan dugaannya memang tepat sekali. Dengan bentakan melengking, kedua kaki Kok Kongcu menyambar bergantian dengan tendangan maut ke arah bawah pusar dan ke arah lambungnya! Ini pun merupakan gempuran yang mengejutkan saja dan dapat ditangkis oleh kedua lengan San Hong yang tetap waspada. Inti serangan yang dinanti-nantinya kini tiba, yaitu pukulan Ang-see-ciang dengan kedua tangan Kok Kongcu. Kedua telapak tangan itu berubah kemerahan dan ada hawa panas menyambar dahsyat ke arah leher dan dada San Hong ketika Kok Kongcu mempergunakan Ang-see-ciang sebagai serangan inti ke arah tubuh lawan.

   Menghadapi serangan inti ini, San Hong tidak mau memperlihatkan kelemahan atau rasa jerihnya. Secara otomatiskedua tangannya bergerak dan secara otomatis pula tangannya sudah dilindungi dengan sin-kang Perisai Diri yang telah dipelajarinya dari Lo Koay. Tubuh Kok Kongcu terhuyung akan tetapi dia tersenyum karena mengira bahwa tentu kedua lengan San Hong kini keracunan oleh Ang-see-clang. Akan tetapi ketika dia melihat pemuda itu berdiri tegak, dan kedua tangannya sama sekali tidak memperlihatkan keracunan dan tidak ada warna merah, barulah di terkejut bukan main. Kembali dia menerjang dan kini dia mengirim pukulan Ang see-ciang secara bertubi-tubi.

   Ang-see ciang bukan saja merupakan pukulan yang mengandung hawa racun pasir merah akan tetapi juga gerakannya seperti dua ekor ular yang amat lincah dan cepat. Sejenak San Hong seperti terdesak karena dia harus mengelak dan menangkis sambil mundur. Namun, gerakan otomatisnya ketika dia berlatih dengan Siang Bwee segera keluar dan kini tiba-tiba kedua tangannya mengeluarkan telunjuk dan kedua telunjuk itu yang menyambar telapak tangan merah dari Kok Kongcu.

   "Tuk.....! Tukkk.....!!"

   Kok Kongcu berseru kaget dan meloncat ke belakang, kedua tangan terasa nyeri.

   "It-sin-ci.....!"

   Teriak See Mo marah.

   "Heiii, tua bangka Pak Ong, kiranya engkau bersekongkol dan membantu mengajarkan ilmu kepada murid Nam Tok, ya?"

   "Ha ha ha, See Mo. Siapa yang bersekongkol dan siapa yang tidak akan dapat diketahui nanti. Aku tidak pernah terikat janji dengan siapapun, maka bagiku mengajarkan ilmu kepada siapapun tidak perlu minta ijin siapa pun. Kalau It-sin-ci sudah mampu membuyarkan Ang-see-ciang, itu bukan salahku, heh-heh-heh!"

   See-thian Mo-ong marah dan mendongkol bukan main, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berbuat sesuatu. Memang sebagai empat orang datuk besar, mereka itu tidak berada di bawah pengaruh siapapun dan apa pun yang mereka lakukan, tak seorang pun di dunia ini boleh mencampuri!Sementara itu, Kok Kongcu sudah dapat menenangkan dirinya. Walaupun tusukan jari It-sin-ci yang mengenai kedua telapak tangannya tadi membuyarkan kekuatan Ang-see-ciang dan mendatangkan rasa nyeri, namun tidak melukainya.

   Memang dapat dikata bahwa Ang-see ciang menjadi lumpuh dan hilang daya gunanya menghadapi totokan satu jari tangan itu, maka dengan marah dia pun kini sudah mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu huncwe mautnya. Huncwe itu panjang seperti sebatang pedang atau suling, terbuat dari baja pilihan yang diselaput emas sehingga nampaknya mewah dan mahal. Ada lubang-lubang rahasa di situ, bukan hanya lubang untuk menyimpan tembakau, akan tetapi juga lubang-lubang untuk menghembuskan asap dan lubang rahasia untuk menyerang lawan dengan asap beracun! Semua ini masih ditambah keampuhan huncwe (pipa tembakau) itu sendiri yang dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah atau memukul pecah kepala orang atau meremukkan tulang orang!

   "Petani busuk makan nih huncwe mautku!"

   Kini Kok Kongcu menghardik dan tidak seperti tadi, kini dengan curangnya, tanpa menanti lawan siap mengeluarkan senjata, tangannya bergerak dan huncwe itu sudah berubah menjadi sinar emas menyambar dahsyat kearah kepala San Hong.

   Terdengar suara berdesing nyaring didahului kepulan asap kehijauan yang menyambar ke arah muka San Hong sebelum huncwe itu sendiri menghantam kepala. Namun, biar dia jujur dan sama sekali tidak pernah mau menggunakan kecurangan, San Hong sudah dapat jejalan banyak peringatan dari Siang Bwee sehingga dia cukup berhati-hati untuk menjaga diri, juga dia memiliki bawaan yang amat tenang. Ketenangannya inilah yang mendatangkan ketabahan yang luar biasa, juga kewaspadaan sehingga menghadapi ancaman apa pun dia selalu dapat bersikap tenang dan tidak menjadi gugup. Melihat menyambarnya sinar emas didahului kepulan asap dibarengi suara yang mendesing itu, dia tahu bahwa lawan menggunakan senjata yang amat ampuh dan berbahaya, akan tetapi yang lebih berbahaya adalah kepulan asap itu.

   Oleh karena itu, San Hong sudah menahan napas lalu sambil melempar tubuh ke samping untuk mengelak, mulutnya meniup dengan pengerahan sin-kang ke arah asap yang mengepul itu, sedangkan tangan kanannya, dilindungi sin-kang Perisai Diri, sudah diputar ke kanan dalam usahanya menangkap atau menangkis ujung huncwe maut. Kini Kok Kongcu yang kaget karena asap beracun itu tiba-tiba membalik ke arah mukanya sendiri, tertiup angin yang kuat. Dan ketika ujung huncwenya akan ditangkis, dia sudah menarik dengan gerakan pergelangan tangannya, huncwe tidak jadi menghantam kepala melainkan menotok dengan tusukan ke arah leher San Hong. Hebat bukan main gerakan ini selain cepat juga tidak tersangka sangka.

   Namun, San Hong juga sudah melihat perubahan gerakan yang amat berbahaya ini, maka kedua kakinya membuat gerakan langkah mundur dua kali sehingga tusukan ke arah lehernya itu pun luput dan di lain saat, begitu tangan kanannya meraba bagian punggungnya, nampak sinar terang berkilat seperti ada halilintar menyambar dan tangan kanannya sudah mencabut Pek-lui-kiam (Pedang Kilat) pemberian seorang di antara lima orang gurunya, yaitu Lui-kong Kiam-sian. Pedang ini merupakan pusaka yang amat nmpuh, terbuat dari baja yang mengeluarkan sinar seperti kilat dan biarpun tidak memiliki pengaruh ajaib seperti Pedang Asmara, namun merupakan senjata ampuh yang kuat sekali.

   "Sing-trang-trang tranggg.....!"

   Nampak bunga api menyilaukan mata ketika huncwe maut itu yang dipergunakan oleh Kok Kongcu menyerang bertubi-tubi ditahan dan ditangkis oleh pedang Pek lui-kiam. Kembali Kok Kongcu terkejut karena dia merasa betapa tangan yang memegang huncwe menjadi panas, tergetar dan nyeri, tanda bahwa lawannya memiliki tenaga yang amat kuat, lebih kuat. daripada tenaganya sendiri. Dan San Hong juga tidak mau bersikap mengalah. Begitu serangkaian serangan huncwe itu dapat dia gagalkan dengan tangkisan pedangnya dia pun kini membalas serangan lawan dengan Pek lui-kiam.

   Dan karena dia maklum bahwa tingkat ilmu kepandaian lawan ini amat tinggi, maka dia pun tidak segan-segan lagi dan langsung saja dia memainkan pedangnya dengan ilmu pedang Tung hai Liong-kiam yang digabung dengan ilmu pedang Pek lui-kiam, bahkan dia pun memasukkan unsur-unsur gerakan dari Swat-sin-to (Golok Sakti Salju) yang pernah dipelajarinya dari Pak Ong. Karena ilmu pedang Pek-lui-kiam dia pelajari dari seorang gurunya, seorang di antara Thian-san Ngo-sian dan dia sudah menerima petunjuk petunjuk sakti dari Lo Koay yang menjadi supek dari mereka, maka kini ilmu pedang Pek-lui-kiam itu sendiri saja sudah tidak kalah tingkatnya dibandingkan ilmu pedang dari Tung Kiam atau ilmu golok dari Pak Ong! Melihat gerakan pedang Pek-lui-kiam yang menyambar-nyambar, lenyap bentuk pedangnya berubah menjadi gulungan sinar seperti halilintar, bukan hanya mengeluarkan desingan yang melengking akan tetapi juga bahkan kadang mengeluarkan bunyi seperti ledakan petir, tentu saja semua orang terkejut bukan main. Yang paling kaget adalah Kok Kongcu.

   Dia merasa seperti dikeroyok oleh banyak orang dengan bermacam ilmu pedang. Membuat dia bingung dan memutar huncwe mautnya sambil berloncatan terus ke sana-sini dan terdesak mundur terus! "Wah-wah-wah, apa ini.....?"

   Terdengar See Mo berseru.

   "Murid siapakah dia ini? apakah Tung Kiam dan Pak Ong juga mengajarnya ilmu senjata? Hei, Nam Tok, muridmu ini tidak aseli, engkau licik!"

   (Lanjut ke Jilid 34)

   Pedang Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 34

   Nam Tok mendengus saja, akan tetapi Siang Bwee yang merasa gembira itu mewakili ayahnya berseru.

   "Paman See Mo, engkau ini kenapa jadi nenek bawel sih? Kalau anakmu tidak becus dan tidak menang, tidak perlu kau ribut. Kalah menang sudah sepantasnya, dan giliranmu nantilah. Jangan banyak susah, nanti gendutmu hilang dan engkau menjadi kurus!"

   See Mo cemberut. Kalau bukan Siang Bwee yang bicara seperti itu, tentu sekali menggerakkan tubuh dia sudah membunuh pembicaranya. Namun, pertandingan antara puteranya dan San Hong terlalu menegangkan sehingga kembali dia mengikuti dua orang muda itu dengan seksama juga dengan hati yang merasa kecut kini puteranya sungguh terdesak hebat oleh pedang kilat itu. Pertandingan itu memang hebat bukan main. Untung bahwa San Hong bertemu dan bergaul dengan Siang Bwee sehingga dia memperoleh kemajuan yang luar biasa. Andaikata tidak demikian, andaikata dia hanya mewarisi ilmu-ilmu dari kelima orang gurunya, yaitu Thian-san Ngo-sian jangan harap dia akan mampu menandingi Kok Kongcu.

   Dia kalah pengalaman, kalah cerdik dan kalah siasat. Akan tetapi setelah San Hong dalam keadaannya yang sekarang, menerima gemblengan di bawah dorongan dan siasat Siang Bwee yang mengakali para datuk untuk mewariskan ilmu-ilmunya kepada pemuda yang dikasihinya itu, maka keadaan San Hong kini bagaikan sebongkah batu karang besar yang teramat kokoh kuat, tidak goyah oleh hantaman gelombang samudera tidak runtuh oleh tiupan badai. San Ho menjadi kuat dan sukar dikalahkan, dan sungguhpun dia masih kekurangan sifat ganas dalam penyerangannya, namun setiap kali dia membalas, maka gerakan balasannya itu mengandung kekuatan yang amat hebat. Ini berkat sinkang Perisai Diri yang telah dilatihnya dengan tekun.

   Pertandingan itu sudah berlangsung lima puluh jurus dan kini Kok Kongcu sudah nampak berubah sama sekali. Lenyaplah kecongkakannya. Lenyap sikap sombongnya dan bahkan ketampanannya berkurang banyak. Mukanya yang biasanya halus tampan itu kini berkerut-kerut penuh keringat dan agak pucat, matanya yang biasanya tabah dan mengejek. Kini nampak takut. Rambutnya yang biasanya halus licin kini awut-awutan, dan gerakannya yang biasanya tenang itu kini kacau balau. Terutama sekali sepasang matanya membayangkan bahwa dia mulai takut sekali.Betapa tidak? Setiap kali huncwenya bertemu pedang, dia merasa seolah-olah seluruh tubuhnya terguncang dan roboh.

   Semua orang tahu belaka bahwa dalam waktu singkat saja Kok Kongcu yang angkuh itu tentu akan roboh, kalau bukan roboh karena serangan pedang lawan, mungkin roboh karena kehabisan tenaga!See Mo maklum akan hal ini. Dia belum ingin melihat puteranya tewas atau celaka, maka sekali dia melompat dia telah berhasil mencengkeram baju punggung Kok Kongcu dan membawanya keluar dari arena pertandingan, lalu mendorong puteranya itu sehingga jatuh berlutut.

   "Huh, anak tidak ada gunanya!"

   Bentaknya marah dan Kok Kongcu tidak menjawab, melainkan duduk bersila dan memejamkan mata, mengatur pernapasan agar jangan sampai dia menderita luka dalam yang parah. Di ujung bibirnya nampak darah, tanda bahwa dia telah mengeluarkan tenaga lebih daripada ukuran ketika bertahan tadi.

   Sementara itu Siang Bwee dengan girang menghampiri San Hong yang masih nampak segar hanya dahinya saja berkeringat sedikit. Tanpa sungkan atau malu Siang Bwee mengeluarkan saputangan harum dari balik baju dadanya, dan menghapus sedikit keringat dari dahi San Hong secara demonstratip sekali, tanpa mempedulikan pandangan semua orang, bahkan juga tidak peduli betapa ayahnya mengerutkan alis memandang perbuatan puterinya itu. Malah ia lalu menoleh kepada ayahnya.

   "Lihat, Ayah. Bukankah Ayah bangga mempunyai murid seperti Suheng Kwee San Hong? Kalau dia mau, dalam waktu lebih pendek lagi, tadi dia sudah mampu membuat bocah she Kok itu tak mampu hidup lagi!"

   Terdengar suara keras dan kini Koay-to Heng-te, Gu Kiat dan Gu Liat si kembar yang menjadi murid dan pembantu See Mo, sudah berlompatan ke depan. Di tangan mereka telah nampak sepasang golok dan mereka itu marah ekali. Dua orang kembar yang usianya empat puluh tahun lebih itu, marah sekali karena tadi putera guru mereka telah dikalahkan, juga menerima penghinaan hebat dari puteri Nam Tok.

   "Kami Koay-to Heng-te siap mengorbankan nyawa untuk membela nama dan kehormatan guru dan majikan kami yang kami muliakan!"

   Kata Gu Kiat dengan marah sekali.

   "Kami, menantang murid Nam Tok!"

   San Hong sudah menoleh ke arah mereka akan tetapi Siang Bwee yang cerdik itu segera meloncat ke depan mereka, sejenak matanya yang jeli dan indah itu mengamati mereka seolah-olah mereka itu adalah dua ekor binatang yang menjijikkan baginya.

   "Aduh-aduh, inikah Koay-to Heng-te yang mengaku murid dan anjing penjaga dari Paman See Mo, yang menganggap diri gagah perkasa akan tetapi sebenarnya hanya merupakan pengecut-pengecut hina tak bermalu ini? Kalian berdua, menantang suhengku? Katakan saja kalian mau mengeroyok dan ingin menang dengan keroyokan? Kenapa mesti bicara memutar-mutar dan tidak terus terang saja? Katakan kalian tidak berani maju satu lawan satu, inginnya hanya main keroyokan sesuai dengan watak kalian yang licik. Bukankah begitu?"

   Dua orang itu marah bukan main.

   Kalau menurutkan hati mereka, ingin mereka sekali terjang membunuh gadis itu. Akan tetapi mereka tahu, gadis itu adalah puteri tunggal Nam Tok! Maka, Gu Liat, orang ke dua yang lebih tenang pada kakaknya berkata.

   "Nona Ang, bukan maksud kami hendak mengeroyok. Kalau ayahmu mempunyai dua orang murid atau wakil, boleh saja maju bersama agar dua lawan dua. engkau tahu bahwa kami dilahirkan kembar dan hanya dapat bertanding kalau berbareng."

   "Bagus! Katakan saja kalian menantang Suheng dan aku, tidak perlu bicara plintat-plintut! Memang kalian pikir akan mampu mengalahkan Suheng dan aku? Huh, aku sendiri saja sudah cukup untuk melelahkan kalian. Akan tetapi aku jijik kalau harus maju sendiri dan tidak akan tahan bau keringat kalian. Mari, Suheng, kita hajar pemegang golok pemotong babi itu!"

   Kata Siang Bwee dengan sikap mengejek sambil memalangkan tongkat di depan dadanya. Koay-to Heng-te bukanlah orang bodoh atau nekat.

   Mereka cukup maklum bahwa ilmu kepandaian San Hong yang telah mengalahkan kongcu mereka itu amat lihai, juga mereka tahu siapa nona Ang Siang Bwee. Akan tetapi mereka tidak mungkin diam saja melihat kekalahan Kok Kongcu dan mereka harus membuktikan kesetiaan mereka terhadap See Mo Maka, kini mereka maju berdua dan sudah mencabut golok mereka. Melihat yang maju hanyalah murid murid Nam Tok yang menandingi murid See Mo, hati Pak Ong merasa tidak enak. Dia sendiri mempunyai dua orang wakil yaitu puterinya sendiri dan muridnya Tiong Sin. Maka, dia pun segera berkata dengan suara lantang.

   

Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini