Pedang Asmara 35
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 35
"Pertandingan antara wakil Nam Tok dan wakil See Mo sudah berlangsung Yang masih belum bertanding adalah wakilku dan wakil Tung Kiam. Tiong Sin atau engkau Kui Lan, kalian wakili aku untuk melawan wakil dari Tung Kiam!"
Sengaja Pak Ong tidak menyuruh puterinya saja maupun muridnya saja. Dia tahu bahwa dalam hal mewarisi ilmu kepandaiannya, tentu saja puterinya lebih mahir karena lebih lama, akan tetapi muridnya, Tiong Sin, dapat menutup kekurangannya dari Kui Lan karena dia memiliki Pedang Asmara, sebatang pedang yang ampuh sekali. Tentu saja sebagai seorang pria, Tiong Sin juga tidak menghendaki sumoinya yang maju. Dia tidak takut melawan putera Tung Kiam yang bernama Cu See Han yang sombong itu. Dia mendengar bahwa Tung Kiam merupakan satu di antara empat datuk besar yang paling ahli bermain pedang, maka julukannya juga Tung Kiam (Pedang Timur). Akan tetapi dia sendiri adalah seorang ahli pedang.
Bukan saja dia penah mempelajari ilmu pedang Yeliu Cutay, yaitu Thai-ean Kiam-sut, akan tetapi juga dia telah memperdalam ilmunya dari gurunya, yaitu Pak Ong dengan ilmu golok istimewa yang disebut Swat-im Sin-to, yaitu semacam ilmu golok yang amat hebat. Dan menurut petunjuk gurunya, dia telah mampu mengawinkan ilmu pedangnya dengan ilmu golok itu, apalagi ada Pedang Asmara di tangannya, sebatang pedang yang amat ampuh dan yang menjadi kebanggaan dan andalannya Dia merasa girang bahwa atas usul Siangi Bwee, untuk sementara pedang yang tadinya sudah ditukar dengan tongkat naga oleh calon mertuanya, yaitu Nam Tok, kini dikembalikan kepadanya. Dan tidak tahu apakah dia akan berani menghadapi Cu See Han kalau dia harus mempergunakan tongkat naga yang berat itu sebagai senjatanya.
Kini dia meloncat ke depan mendahului sumoinya dan dia sudah menghadapi Cu See Han dengan sikap menantang.
"Aku Bu Tiong Sin siap mewakili suhu Pak Ong untuk menghadapi wakil di Tung Kiam!"
Tantangnya.
Cu See Han bangkit dan sekali tangannya bergerak, nampak sinar terang di tangannya sudah mencabut sebatang pedang yang bentuknya seperti tubuh naga. Itulah pedang pusaka milik keluarga mereka yang disebut Liong-kiam (Pedang Naga) yang agak kehitaman.
"Bocah sombong, tahukah engkau apa yang kupegang ini?"
Cu See Han berkata kepada Tiong Sin dengan suara mengejek.
"Lihat baik-baik. Inilah pedang pusaka kami, Tung hai Liong kiam! Pedang naga kami ini akan minum darahmu sampai habis! Ha-ha-ha!"
Cu See Han sengaja mengeluarkan ucapan mengancam untuk mengecilkan nyali calon lawannya.
Akan tetapi Tiong Sin tidak mau kalah gertak. Dia tertawa mengejek.
"Ha-ha-ha, apa sih artinya pedang macam itu? Sama sekali tidak ada arti dan tidak ada harganya kalau dibandingkan dengan pedang pusakaku yang tiada keduanya di seluruh dunia ini!"
Dengan bangga dia meraba gagang pedang di punggungnya.
"Sombong, mana ada pedang yang lebih baik daripada Tung-hai Liong-kiam kami? Jangan membual kau. keluarkan pedang busukmu!"
Kata Cu See Han tidak percaya.
Dengan lagak sombong Tiong Sin mencabut pedangnya perlahan-lahan sambil berkata.
"Buka matamu"
Baik-baik dan lihatlah. Pusaka mana yang lebih hebat daripada pedang pusakaku ini? Lihatlah"
Dengan mulut cemberut meruncing Siang Bwee mendekati ayahnya.
"Ayah nanti kalau aku melawan si genit Kui Lan itu, aku tidak sudi memakai Pedang Asmara di tangan Tiong Sin itu!"
Ayahnya menoleh dan memandang heran kepada puterinya.
"Aeh, apa maksudmu, Siang Bwee? Bukankah kemarin engkau sudah meminjamnya dan berlatih dengan pedang itu dan kau bilang cocok sekali?"
Siang Bwee cemberut.
"Justeru karena sudah kupakai maka aku sama sekali tidak suka, bahkan curiga, Ayah."
"Curiga?"
"Memang kemarin aku belum heran bicara kepada Ayah, takut kalau Ayah marah padahal kitamenghadapi peristiwa penting hari ini. Akan tetapi, Ayah, tak curiga bahwa Ayah telah kena diakal dan ditipu orang."
"Apa? Apa maksudmu?"
"Pedang Asmara itu, Ayah. Aku hampir yakin bahwa pedang itu bukanlah Pedang Asmara, artinya, bukan pusaka aseli."
"Pedang Batu Dewa Hijau atau Pedang Asmara!"
Kini pedang itu telah tercabut dan berada di tangan Tiong Sin.
Mendengar nama pedang itu, bahkan See Mo dan Tung Kiam terbelalak memandang dan keduanya segera berseru kagum.
"Pedang Batu Dewa Hijau.....!"
Seru See Mo.
"Pedang Asmara.....!!"
Seru pula Tung Kiam.
Nam Tok senang sekali mendengar betapa dua orang saingannya itu tertegun dan mengeluarkan seruan kagum.
"Ha-ha-ha!"
Dia tertawa.
"Memang benar itulah Pedang Asmara!"
Katanya.
"Dan ingat, pusaka itu telah menjadi milikku sebagai tanda ikatan jodoh antara murid Pak Ong dan puteriku. Ha-ha-ha!"
Jelaslah bahwa ucapan Nam Tok ini bukan untuk memamerkan calon mantunya, melainkan untuk pamer dan membanggakan bahwa Pedang Asmara yang tentu saja amat diinginkan setiap orang tokoh persilatan itu kini telah menjadi miliknya!
"Kau gila? Aku melihatnya sendiri Pedang itu aseli!"
Bantah Nam Tok.
"Hemmm, Ayah terlalu percaya. Lupakah Ayah bahwa pedang itu disebut Pedang Asmara? Mengapa disebut Pedang Asmara? Tentu Ayah pernah mendengar ceritanya, seperti aku juga pernah. Kabarnya, pedang itu disebut Pedang Asmara karena terbuat dari Batu Dewa Hijau yang mengandung daya membuat orang jatuh cinta! Nah, kalau memang pedang itu benar Pedang Asmara, kenapa ketika dekat dengan Bu Tiong Sin aku sama sekali tidak jatuh cinta kepadanya, melainkan bahkan jatuh benci? Itu saja membuktikan bahwa itu bukan Pedang Asmara"
Nam Tok nampak bingung.
"Akan tetapi... ah, biar kita lihat saja. Kalau pedang itu mampu mengalahkan Tung hai Liong-kiam, berarti pedang itu memang aseli dan engkau yang salah sangka."
"Pendapat yang baik sekali, Ayah,"
Kata Siang Bwee.
Ayahnya menengok dan memandang kepadanya penuh perhatian. Siang Bwee diam saja dan pura-pura tidak tahu. Ia tidak boleh terlalu mendesak ayahnya yang amat cerdik karena ayahnya tentu akan curiga. Sementara itu, ketika mendengar ayahnya dan See Mo terkejut menyebut pedang pusaka yang berada di tangan Bu Tiong Sin, diam-diam Cu See Han juga terkejut sekali.
Biarpun dia sendiri belum banyak mendengar tentang Pedang Asmara, namun melihat betapa ayahnya dan See Mo terkejut, maka dia pun dapat menduga bahwa pedang di tangan lawan itu benar-benar pedang ampuh bukan main, maka dia pun tidak berani memandang rendah. Pedang di tangannya, Tung-hai Liong-kiam, merupakan pedang pusaka keluarga ayahnya. Kalau dia kini meminjamkannya, maka dia harus berhati-hati dan jangan sampai membikin rusak pedang itu. Ayahnya yang kejam dan galak itu bisa saja membunuhnya kalau sampai dia merusakkannya. Oleh karena itu, ketika Bu Tiong Sin mengeluarkan suara melengking dan mulai menyerang dengan "Pedang Asmara"
Itu, dia tidak berani menangkis, takut kalau Tung-hai Liong-kiam di tangannya sampai rusak.
See Han yang diserang hebat itu hanya meloncat ke belakang, lalu tubuhnya meliuk ke kiri dan sambil mendoyongkan tubuh, dia menyerang dari bawah samping, menusuk lambung. Tiong Sin mengelak dengan goyang pinggulnya yang khas lalu menyerang lagi dengan bacokan dari belakang tubuh lawan. Goyang pinggul itu memang merupakan gerakan khas ilmu silat Pak Ong yang dapat membuat ke dudukan tubuhnya berpindah dengan cepat, terdorong oleh ayunan gerak pinggul yang diikuti langkah kaki.Terjadilah perkelahian yang seru dan mati-matian.
Untung bagi Tiong Sin bahwa agaknya kekejutan ayahnya dan See Mo ketika melihat Pedang Asmara membuat See Han benar-benar menjadi jerih untuk mengadu pedang, takut kalau pedang pusaka ayahnya rusak, maka sampai puluhan jurus, dia tidak pernah mau mengadu ketajaman pedang secara langsung hanya mengadu pinggir saja dan untuk ini, pedang yang berada di tangan Tiong Sin, biarpun hanya Pedang Asmara palsu namun Siang Bwee yang cerdik telah membuatkan pedang itu oleh ahli pedang pandai yang mempergunakan baja cukup baik sehingga diadu pinggirnya seperti itu, biar bertemu pedang pusaka pun tidak akan mudah patah. Bagaimanapun juga, diam-diam Siang Bwee selalu merasa khawatir kalau sampai pedang di tangan Tiong Sin yang palsu itu kemudian diketahui telah ia tukar, sedangkan pertandingannya bersama San Hong melawan Si Kembar Gu digagalkan karena Tiong Sin sudah saling serang dengan See Han. Maka ia pun sekali meloncat sudah berada di depan Kui Lan.
"Ji Kui Lan, engkau dan aku sama sama puteri datuk besar. Jangan kaukira dirimu terlalu bagus untuk dapat menikah dengan suhengku. Pinggulmu terlalu besar, bedakmu terlalu tebal dan mulutmu terlalu lebar. Aku tidak suka mempunyai enci ipar seperguruan seperti mu. Hayo maju, kita tentukan siapa di antara kita lebih pantas!"
Kui Lan marah sekali.
"Siang Bwee, mulutmu selalu busuk. Kubunuh kau!"
Bentak Kui Lan dan gadis ini sudah menggerakkan golok tipisnya dengan gerak ganas sekali. Namun, Siang Bwee yang sudah siap dengan tongkatnya, menangkis sambil menggeser kakinya dan tahu-tahu dari. samping tongkatnya menyodok k arah buah dada Kui Lan.
"Wuuuttt.. . ehhh?"
Kui Lan cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan tiba-tiba itu dan ia terkejut setengah mati. Ia sama sekali tidak tahu bahwa Siang Bwee telah menguasai Ilmu ajaib Langkah Berlingkar dari Nenek Coa Eng Cun sehingga ketika tadi ia mengelak sambil menangkis, ia telah menggunakan langkah melingkar itu sehingga hampir saja ujung tongkatnya menyentuh buah dada lawan!
"Keparat!"
Kui Lan marah sekali karena Siang Bwee tertawa cekikikan mentertawakannya dan kini Kui Lan memainkan Swat-sin-to (Golok Sakti Salju) yang amat hebat itu. Karena maklum betapa lihainya golok ini yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan, Siang Bwee kembali mengandalkan langkah ajaibnya, bahkan kini mengerahkan gin-kang Menunggang Angin yang dipelajarinya dari Lo Koay sehingga gerakannya selain mengandung langkah aneh, juga ringan dan cepatnya bukan main!
Kembali Kui Lan terkejut dan ia pun mengimbangi kehebatan Siang Bwee dengan tamparan tangan kirinya, yaitu pukulan beracun yang ia pelajari dari Pek-mo Kui-bo. Siang Bwee mengenal pukulan beracun, akan tetapi ia tidak khawatir. Ia adalah putera Nam Tok (Racun Selatan), rajanya datuk yang mengenal tentang racun, maka segala macam pukulan beracun dianggapnya seperti main-main saja! Dan terjadilah perkelahian yang juga mati-matian antara dua orang gadis itu. Sebetulnya, melihat betapa puteri mereka saling hantam sendiri, baik Pak Ong maupun Nam Tok merasa tak senang karena hal itu berarti melemahkan persekutuan antara mereka untuk menghadapi See Mo dan Tung Kiam.
Akan tetapi karena keduanya sudah mengenal watak puteri masing-masing yang amat keras, maka kalau mereka sudah bertanding seperti itu, sukar dilerai dan mereka hanya dapat menjaga jangan sampai puteri mereka itu terluka parah atau tewas. Di samping itu sebagai datuk-datuk besar, tentu saja masih tersisa perasaan bangga dan ingin melihat puteri masing-masing keluar sebagai pemenang. Pertandingan antara Cu See Han dan Bu Hong Sin juga berjalan amat serunya.
Melihat betapa Cu See Han nampak terdesak karena takut beradu pedang, diam diam See Mo yang ingin membantu sekutunya, memberi isyarat kepada sepasang Koay-to Heng-te untuk membantu putera Tung Kiam itu. Mengertilah Si Kembar Gu bahwa saatnya untuk turun tangan telah tiba, apalagi karena mereka melihat See Mo mengeluarkan anak panah dari pinggangnya, yaitu anak panah api yang akan menjadi tanda bagi orang-orang Mongol untuk bergerak. Tanpa banyak cakap lagi, Koay-to Heng-te, dua orang murid See Mo, sudah meloncat ke dalam kalangan pertempuran dan menyerang Bu Tiong Sin! Tentu saja Tiong Sin yang merasa menang karena lawan tidak berani mengadu pedang, terkejut ketika melihat dua orang murid See Mo tiba-tiba menyerangnya dan membantu See Han. Dia pun cepat mengelebatkan Pedang Asmara untuk menangkis dan membikin patah golok dua orang saudara kembar itu.
"Tranggg.....! Trakkkkk!!"
Bukan dua batang golok di tangan Koay-to Heng-te itu yang patah-patah, melainkan "Pedang Asmara"
Di tangan Tiong Sin yang patah menjadi tiga potong!
Tentu saja pemuda itu terkejut, matanya terbelalak dan pada saat itu, untung baginya bahwa San Hong yang tadi melihat pemuda ini dikeroyok dan tahu bahwa murid Pak Ong merupakan sekutu gurunya, sudah meloncat dekat dan pada saat pedang itu patah dan Tung hai Liong-kiam di tangan Cu See Han menyambar ke arah leher Tiong Sin, San Hong sudah menggunakan Pek-lui-kiam menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kang Perisai Diri dan menggunakan pinggulnya, dengan gaya silat Kuda Setan yang dipelajarinya dari Pak Ong, dia menendang pinggul Cu See Han dengan pinggulnya sendiri, mengakibatkan See Han terlempar seperti ditendang kuda! Tiong Sin tertolong, namun dia meloncat jauh ke belakang dengan muka pucat sambil memandang gagang pedang nya.
"Pedang Asmara"
Yang tinggal gagang dan rusak!
"Ah, Pedang Asmara itu palsu!"
Terdengar Nam Tok berseru.
Siang Bwee yang sedang berkelahi melawan Ji Kui Lan, mendengar seruan ayahnya. Memang ia sudah menanti saat yang menegangkan itu, maka ia pun cepat meninggalkan Kuil Lan dan sekali meloncat, menggunakan gin-kang Menunggang Angin, tiba-tiba tubuhnya sudah berada di dekat ayahnya! "Benar tidak kataku, Ayah! Pedang itu palsu, Ayah telah ditipu!"
Katanya sambil menuding kepada Bu Tiong Sin.
"Tidak! Tidak sama sekali! Pedang Asmaraku aseli, bagaimana sekarang bisa menjadi palsu? Pedang ini dari Jenghis Khan! Tak mungkin palsu dan....."
"Nah, kau dengar, Ayah? Pemuda bosan hidup itu malah menuduh Ayah telah memalsukan pedangnya. Cih, sungguh tak pantas dibiarkan hidup!"
Nam Tok marah sekali. Dia meloncat dan tongkat naga di tangannya bergerak ke arah Tiong Sin.
"Anak setan! Berani kau menipu aku!"
"Takkk!"
Tongkat Naga itu tertangkis oleh golok di tangan Pak Ong.
"Nam Tok, gilakan kau? Kita sekutu, lupakan?"
Tegurnya dan pada saat itu tampak cahaya terang. Kiranya See Mo sudah melepaskan anak panah berapi ke atas. Segera terdengar sorak sorai dan dari segala jurusan, datanglah anak panah menyambar-nyambar ke arah Nam Tok, Pak Ong, Tiong Sin, Kui Lan, San Hong, dan Siang Bwee.
Enam orang ini terpaksa memutar senjata mereka dengan cepat untuk melindungi tubuh mereka dari hujan anak panah yang dilepas oleh pasukan Mongol. Melihat ini, See Mo dan Tung Kiam tertawa bergelak.
"Ha ha-ha, Nam Tok. Ajalmu sudah dekat!"
Teriak See Mo.
"Pak Ong, bersiaplah untuk mampus!"
Tung Kiam juga berseru gembira.
Pak Ong mengeluarkan suara melengking nyaring, suara melengking yang mengandung khi kang yang kuat sekali, dan itulah isyarat baginya untuk para pendekar. Dan muncullah Hek I Siang mo, dua orang pembantu Nam Tok yang juga memimpin anak buah mereka. Para pendekar bermunculan dan terjadilah pertempuran hebat.
Pasukan anak panah orang Mongol diserang oleh pasukan pendekar sehingga mereka tidak sempat lagi mempergunakan anak panah. Terjadilah pertempuran di puncak Kabut Putih di Thai-san itu, antara seratus lebih orang Mongol dan hampir seratus orang pendekar. Setelah kedua pihak mengetahui bahwa keduanya memang telah siap siaga dengan pasukan masing-masing, maka tahulah mereka apa yang harus mereka lakukan.
Dengan sendirinya, Nam Tok sudah menyerang orang yang paling dibencinya yaitu See Mo. Sedangkan Pak Ong juga sudah menyerang Tung Kiam. Terjadilah pertandingan yang amat dahsyat. Tidak ada orang berani mendekati empat orang datuk besar yang sedang bertanding itu karena dari gerakan senjata mereka, hawa pukulan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, sampai membikin patah dahan pohon, merontokkan daun-daun dan membuat pasir dan tanah berhamburan! Pertandingan antara mereka itu kini sungguh sama sekali berbeda dengan pertandingan pertandingan yang pernah mereka lakukan selama belasan tahun ini di puncak Kabut Putih itu.
Dahulu, biasa-mereka itu bertanding ilmu hanya dengan satu tujuan, yaitu membuktikan siapa di antara mereka yang paling lihai dan pantas disebut juara atau yang paling pandai. Mereka tidak ingin saling melukai secara hebat, apalagi saling membunuh. Akan tetapi saat ini mereka bertanding dengan tujuan saling bunuh! Nam Tok memang amat benci kepada See Mo yang dianggapnya seorang pengkhianat bangsa, memutar-mutar tongkat naganya dengan hebat. Terdengar suara angin seperti badai yang merontokkan daun-daun pohon.
Jangankan ujung tongkatnya, baru angin pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan dan membunuh orang! Karena itu, ketika dia bertanding melawan See Mo, tidak ada seorang pun anak buah kedua pihak berani mendekat. See Mo juga mengamuk karena dia maklum bahwa sekali ini tidak ada maaf lagi bagi dia dan Nam Tok. Mereka harus saling bunuh kalau mau selamat. Se thian Mo-ong Kok Bong Ek juga seorang datuk besar yang amat lihai.
Tingkat kepandaiannya sudah mencapai puncak. Senjata ruyung di tangan kanannya menyambar-nyambar seperti halilintar, sedangkan huncwe maut di tangan kirinja tidak kalah berbahayanya. Api dari huncwe itu pun menyambar-nyambar merupakan bunga-bunga api yang menyerang ke arah mata dan bagian muka lawan untuk mengacaukan pertahanan lawan. Biarpun tubuhnya pendek dan perutnya gendut namun See Mo dapat mengimbangi kecepatan gerakan lawan dan setiap kali ruyung bertemu tongkat, terasa getaran oleh para anggauta pasukan yang saling serang.
Perkelahian antara Pak Ong dan Tung Kiam juga sama hebatnya. Memang kedua orang ini pun merupakan dua di antara empat datuk besar dan tingkat kepandaian mereka pun seimbang dengan tingkat kepandaian Nam Tok maupun See I Mo. Pak Ong Ji Hiat yang tinggi kurus itu memiliki sin-kang yang mengandung hawa dingin sekali sehingga terasa oleh mereka yang tidak begitu jauh dari tempat pertempuran itu. Gerakannya lucu dan aneh karena pinggulnya tak pernah berhenti bergerak, seperti pinggul kuda jantan dalam berahi.
Namun justeru dari gerakan pinggul inilah datangnya tenaga sin-kang yang amat hebat dari Raja Utara itu! Kekuatan yang keluar dari bawah pusar agaknya sebelum berpencar, terlebih dahulu berpusat di pinggul, membuat pinggul itu bergoyang-goyang, namun keseluruhan pinggul itu berubah amat kuat, kebal dan juga mengeluarkan tenaga yang amat dahsyat. Di samping itu, juga gerakan goloknya yang mengandung hawa amat dingin bisa berbahaya sekali bagi Tung Kiam. Namun Pedang Timur ini memang amat lihai dalam bermain pedang. Pedangnya berubah menjadi gulungan sinar yang kemilauan merupakan benteng sinar yang sukar ditembus, sedangkan dari dalam gulungsn sinar itu kadang mencuat halilintar menyambar yang amat dahsyatnya.
Sukarlah untuk mengatakan siapa antara empat orang datuk besar itu yang akan kalah atau menang. Agaknya, sebelum ada yang kalah, yang menang harus lebih dahulu menghabiskan tenaganya dan tentu akan makan waktu yang lama sekali. Dan bukan tidak mungkin kalau akibatnya mereka berempat akan roboh terluka semua, atau setidaknya kehabisan tenaga, atau terluka dalam.
Sementara itu, pertempuran antara pasukan Mongol melawan para pendekar juga terjadi dengan serunya. Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar bunyi ledakan ledakan keras dan di sekeliling puncak itu nampak asap mengepul tebal, kemudian terdengar terompet dan tambur, di susul derap kaki banyak orang. Semua orang, termasuk empat orang datuk terkejut bukan main karena mereka adalah orangorang yang berpengalaman. Mereka tahu bahwa pada saat itu, ada pasukan yang amat besar mengepung tempat itu. tentu ada ribuan orang yang telah mengepung tempat itu dan mereka itu bahkan memiliki alat-alat peledak yang tentu saja amat berbahaya!
Sebetulnya, Siang Bwee sudah mulai mendesak Kui Lan dengan kecepatan gerakannya, sedangkan San Hong yang tadi membantu Tiong Sin juga sudah menahan gerakan Koay-to Heng-te, Cu See Han dan Kok Kongcu yang ikut mengeroyoknya. Akan tetapi kini mereka semua juga berlompatan ke belakang dan terbelalak memandang ke sekeliling, seperti juga empat orang datuk besar yang otomatis menghentikan perkelahian mereka. Bahkan pasukan Mongol dan para pendekar yang tadinya bertempur kini juga berhenti dan memandang kebingungan, tidak tahu apa yang akan terjadi.
Tiba-tiba terdengar suara terompet dan muncullah pasukan pengawal berkuda yang amat gagah dan berwibawa. Pasukan itu dikawal oleh masing-masing tiga puluh orang di kanan dan tiga puluh orang di kiri, kesemuanya siap dengan busur dan anak panah, kemudian di belakang masih ada puluhan orang pengawal yang siap melemparkan alat peled Sungguh keadaan mereka itu amat berwibawa dan di sekitar tempat itu telah dikepung oleh ratusan, mungkin juga seribuan orang perajurit yang bersenjata lengkap. Perajurit Mongol! Ketika Siang Bwee dan San Hong melihat siapa panglima berkuda yang memimpin pasukan itu, mereka terkejut dan girang, dan Siang Bwee yang khawatir bahwa ayahnya akan melawan mati-matian dengan nekat kepada pasukan Mongol itu segera mendekati ayahnya.
"Ayah, panglimanya adalah Yeliu Ciangkun yang sudah kukenal baik!"
Bisiknya. Nam Tok tersenyum dingin. Dia mengenal Yeliu Cutay. Dia maklum bahwa melawan pun berarti mati konyol, hanya menyesal bahwa puterinya terkepung, akan tetapi dia sendiri tidak takut.
"Haiii, Pak Ong. Agaknya dua ekor anjing dari barat dan timur itu sekali memang berhasil menjadi anjing penjilat yang teramat baik. Kita telah terjebak?"
Pak Ong juga maklum bahwa mereka ia telah terkepung oleh pasukan Mongol yang amat kuat dan tak mungkin melawan pasukan yang ribuan jumlahnya dan bersenjata lengkap itu. Akan tetapi sejak tadi dia memperhatikan sikap See Mo dan Tung Kiam dan diam-diam dia merasa heran karena dua orang lawan itu pun agaknya tidak bergembira, bahkan terheran dan terkejut. Bahkan perwira Mongol yang memimpin pasukan Mongol juga sudah menjatuhkan diri berlutut menghadap panglima Mongol yang datang dan mereka kelihatan ketakutan dan kebingungan. Kini para panglima yang menunggang kuda sudah datang semakin dekat. Kiranya ada tiga orang panglima.
Yang tengah, berusia kurang lebih lima puluh tahun dan bersikap tenang sekali adalah Yeliu Cutay. Dua orang panglima bangsa Mongol yang bertubuh tinggi tegap berusia tiga puluhan tahun adalah jagoan-jagoan Mongol yang terkenal. Yang seorang adalah Tuli, putera Temucin sendiri, yang ke dua bernama Yebilai, seorang panglima yang berjasa besar. Seorang juru bicara yang menggunakan corong berteriak.
"Semua orang yang bertempur di puncak Kabut Putih, diperintahkan untuk menyerah dan menjadi tawanan kami untuk diadili!"
Sebelum ada yang membantah, terdengar lagi teriakan lebih lantang.
"Atas nama Jenghis Khan yang besar, diminta agar semua mentaati perintah!"
Mendengar ini, See Mo dan Tung Kiam saling pandang dan mereka berdua merasa penasaran sekali. See Mo mengenal dua orang panglima Mongol itu, maka dia pun cepat berkata dengan suara lantang.
"Ji-wi Ciangkun (Kedua Panglima) apakah lupa kepada kami? Saya adalah See-thian Mo-ong Kok Bong Ek yang bersama Tung-hai Kiam-ong Cu Sek Lam telah membantu Mongol dan kami sedang berusaha menangkap segerombolan pemberontak ini!"
Akan tetapi, dua orang panglima itu tidak menjawab melainkan memandang kepada Yeliu Cutay dan panglima bangsa Kim inilah yang menjawab dengan suara yang jelas.
"See-thlan Mo-ong dan Tung-hai Kiam-ong sama sekali tidak membantu pasukan Mongol, melainkan bahkan mempergunakan kekuatan pasukan Mongol demi kepentingan sendiri. Kami sudah tahu bahwa Empat Datuk Besar mengadu kekuatan di sini dan kalian hanya mempergunakan pasukan Mongol untuk mencari kemenangan. Khan Yang Mulia marah sekali dan memerintahkan agar kalian semua menghadap. Beliau yang akan memberi keputusan nanti!"
Suasana menjadi mencekam dan menegangkan sekali. Empat orang datuk besar itu adalah orang-orang luar biasa. Biarpun dikepung ribuan tentara Mongol, kalau mereka itu bersama para murid mereka mengamuk, tentu akan ada ratusan orang anggauta pasukan Mongol yang akan tewas! Siang Bwee yang menyadari watak ayahnya yang sama sekali tidak sudi tunduk kepada Orang : Mongol, cepat memegang tangan ayahnya.
"Ayah tentu masih ingat kepada Panglima Yeliu Cutay itu. Dia seorang yang bijaksana dan kalau sampai dia melakukan ini, sudah pasti ada sesuatu yang amat penting tersembunyi di baliknya. Kalau keadaan tidak baik untuk kita, nanti pun belum terlambat bagi kita untuk melawan, Ayah!"
Nam Tok mengangguk.
Dia pun tahu bahwa melawan secara konyol begitu amat bodoh. Dan asal Raja Mongol tidak menuntut sesuatu yang menghina, usulnya boleh juga didengarkan. Apalagi dia pun sudah mendengar bahwa Jenghis Khan sama sekali tidak boleh disamakan dengan segala macan raja kecil seperti raja Kerajaan Cin (Kim) yang pengecut itu. Sementara itu, Pak Ong yang melihai sikap Nam Tok, juga mengerutkan alisnya Dia sendiri seorang yang membenci penjajah Mongol, akan tetapi juga maklumi bahwa dia tidak mungkin dapat melawan pasukan sebesar itu.
"Kami berempat adalah Empat Datuk Besar dunia persilatan yang sesungguhnya tidak mempunyai urusan apa pun dengan Jenghis Khan!"
Katanya lantang dan berani sehingga mengagumkan hati Nam Tok.
"Kami berempat mengadakan pertemuan di sini untuk mengadu kepandaian, adalah Tung Kiam dan See Mo yang diam-diam bersekutu dengan pasukan Mongol untuk menjebak kami berdua, Nam Tok dan Pak Ong! Kami tidak mencampuri urusan perang, dan harap agar para pimpinan Mongol tidak pula mencampuri urusan para datuk besar dunia persilatan!"
"Bagus!"
Demikian Nam Tok berseru dengan girang.
"Itulah baru suara seorang gagah! Pak Ong, aku semakin kagum padamu dan tidak kecewa menjadi sahabat baikmu!"
Kini Panglima Yeliu Cutay mengajukan kudanya.
Melihat panglima ini, sejak tadi Bu Tiong Sin sudah terkejut dan ketakutan, dan dia sudah mencoba untuk menyembunyikan dirinya, akan tetapi pandang mata Yeliu Cutay amat tajam dan selain itu, memang sebelumnya para penyehdiknya sudah melaporkan siapa siapa saja yang mengadakan pertempuran dan pertandingan di puncak itu.
"Empat orang Lo-cian-pwe harap jangan. salah sangka atau salah terima. Ketahuilah bahwa Khan kami yang mulia amat menghargai orang-orang pandai. Apalagi kami mengetahui bahwa Cu wi (anda sekalian) bukan orang peperangan. Adanya kami mencampuri urusan pertemuan puncak antara empat Lo-cian pwe, adalah karena tiga hal. Harap para Lo-cian-pwe suka mempertimbangkan dan suka memenuhi undangan kami dengan damai dan baik."
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tung Kiam dan See Mo memang mengharapkan kerja sama dengan pihak Mongol, maka tentu saja mereka diam saja. Akan tetapi Pak Ong dan Nam Tok yang masih mengambil sikap "jual mahal".
"Ha-ha-ha!"
Nam Tok tertawa bergelak, suara ketawanya yang penuh dengan tenaga khi-kang itu bergema di seluruh permukaan puncak itu.
"Kami hanyalah orang-orang tua bangsa Han yang bodoh! Ada tiga urusan apakah maka Jenghis Khan yang besar dan sedang cemerlang bintangnya itu mengundang kami?"
Yeliu Cutay memberi hormat kepada Nam Tok.
"Saya sendiri mengenal Ang Locianpwe sebagai seorang tua yang sakti dan gagah perkasa. Kalau memang tidak ada kepantasan dalam undangan ini, mana saya berani menjadi utusan menyampaikannya kepada Cu-wi? Percayalah, saya, Yeliu Cutay, juga orang yang dapat menghargai kegagahan!"
"Yeliu Cutay, tidak perlu menggunakan bahasa madu yang hanya manis saja! Siapa tidak tahu bahwa engkau adalah seorang panglima besar yang amat berkuasa dan setia kepada Kerajaan Kim? Akan tetapi apa yang kulihat sekarang? Engkau menjadi panglima kepercayaan Jenghis Khan. Kesetiaan macam apa ini?"
Nam Tok yang berwatak gagah dan jujur itu menyerang secara terbuka begitu saja sehingga puterinya menggeleng kepala dan diam-diam menyalahkan ayahnya sebagai seorang yang kasar dan ceroboh! Akan tetapi Yeliu Cutay tersenyum dan menjura dari atas kudanya.
"Apa yang diucapkan Nam-san Tok-ong Ang Leng Ki memang tidak salah dan sepintas lalu memang Yeliu Cutay dapat dianggap sebagai seorang pengkhianat, pengecut atau seperti seekor ular berkepala dua. Akan tetapi dengarlah baik-baik, Locian pwe. Engkau sendiri pernah berada di Istana Kim dan menjadi pengawal besar yang dipercaya. Akan tetapi, apa yang Lo-cian-pwe lihat? Kepengecutan kaisar dan keluarganya. Mereka hanya pandai bersenang-senang, menindas rakyat, sama sekali tidak peduli akan ancaman pasukan Mongol. Bahkan akhirnya kaisar dan keluarganya melarikan diri sebelum pasukan Mongol tiba di kota raja sehingga Locian-pwe sendiri menjadi muak dan pergi meninggalkan kota raja. Dan ketika pasukan Mongol menyerbu, Lo-cian-pwe kira siapa yang mempertahankan Istana mati-matian? Tidak lain hanya perwira dan pasukan yang setia, termasuk aku. Ya, aku Yeliu Cutay ikut mempertahankan kota raja sampai akhirnya kami kalah dan menjadi tawanan!" "Dan engkau takluk, lalu menjadi anjing penjilat musuh, ya?"
Pak Ong yang juga berjiwa patriot itu mengejek.
"Pak Ong Ji Hiat lo-cian-pwe tidak tahu urusan, harap jangan menuduh yang bukan-bukan."
Kata Yeliu Cutay dengan sabar.
"Di sini terdapat panglima Jebilai kepercayaan yang mulia Jenghis Khan, dan juga Pangeran Tuli, putera beliau, maka tidak mungkin aku berbohong. Ketahuilah bahwa dahulu, ketika Jenghis Khan masih menjadi pemuda Temucin di Mongol sana, sedang mulai membina kekuatan, kami pernah berkenalan bahkan bersahabat karib. Ketika aku ditangkap, Jenghis Khan mengenalku, maka dia membebaskan aku dan mengingat akan hubungan kami yang lama, mengingat pula akan cita-citanya yang besar untuk membebaskan rakyatku dari kesengsaraan, maka aku menerima penawarannya dan membantunya.!"
"Heh-heh-heh, alasan saja itu!"
Kini Tung Kiam tidak tahan untuk tidak mengejek.
"Katakan saja engkau silau akan kedudukan dan harta kemuliaan, ha-ha-ha!"
"Tung-hal Kiam-ong Cu Sek Lam, aku tahu siapa engkau, maka tidak perlu banyak fitnah! Para Lo-cian pwe, ketahuilah bahwa Jenghis Khan adalah seorang pemimpin perang yang hebat. Pihak musuh yang dikalahkan, tentu akan dilanda malapetaka dan selain kotanya diratakan dengan bumi, juga seluruh penduduknya akan dibunuh! Ini penting untuk siasat perang dari padang pasir di Mongol! Akan tetapi, beliau telah mendengar nasihatku dan tidak membunuhi semua orang. Karena itulah maka aku suka membantunya. Mongol akan menjadi suatu kerajaan yang jaya dan besar yang belum pernah ada sepanjang sejarah !"
"Sudahlah, hanya itu alasanmu mengundang kami?"
Nam Tok berkata, diam diam dia melihat kebenaran dalam semua ucapan panglima itu.
"Begini, Lo-cian-pwe. Pertama, Yan Mulia Jenghis Khan selalu menghargai orang gagah karena itu beliau mencegah terjadinya pertentangan di puncak ini dan mengundang Locian-pwe berempat untuk berunding. Ke dua, syukur kalau para Lo-an-pwe suka membantunya, andaikata tidak pun, beliau tidak akan mengganggu kehidupan para tokoh dunia persilatan tidak pula mencampuri peperangan. Dan ke tiga adalah mengenai manusia jahanam, murid murtad dan jahat yang bernama Bu Tiong Sin ini!"
Berkata demikian Yeliu Cutay menudingkan telunjuknya ke arah Tong Sin yang menjadi pucat wajahnya.
Kui Lan meloncat ke dekat suhengnya. biarpun ia tidak mencinta suheng ini, lebih kagum kepada San Hong, namun suhengnya ini juga menjadi kekasihnya dan menjadi orang yang dekat dengan ia dan ayahnya, maka tentu saja ia marah mendengar suhengnya dimaki jahanam, murtad dan jahat oleh panglima itu.
"Dia ini adalah suhengku, murid ayahku. Bagaimana engkau berani menghinamu seperti itu tanpa alasan, Panglima? Kalau engkau hendak mengundang kami sebagai sahabat, pantaskah engkau menghina suhengku ini?"
"Apa yang dikatakan puteriku benar, Yeliu Ciangkun?
Bu Tiong Sin adalah murid kami, tidak boleh dihina begitu saja oleh siapapun juga tanpa alasan!."
Pak Ong juga membentak dan dia mengepal tinju, mukanya menjadi merah sehingga para pengawal yang menjaga keselamatan Panglima Yeliu kini bersikap waspada untuk menjaga dan melindungi keselamatan atasan mereka. Ang Siang Bwee mengeluarkan suara ketawa merdu.
"Aih, Enci Kui Lan yang genit dan Paman Pak Ong yang jujur, apakah kalian kira bahwa kalian berdua sudah terlalu cerdik sehingga tidak dapat diakali dan ditipu oleh seorang berwatak seperti srigala. Kalian ayah dan anak telah dipermainkan orang, ditipu dan disiasati, namun bukannya sadar malah membela si penipu mati-matian. Hi-hi-hik, Ini namanya lucu yang tidak lucu!"
"Siang Bwee, diam kau! Bukan urusanmu!"
Bentak ayahnya.
"Ang Lo-cian-pwe, maafkan kami. Memang urusan ini ada pula sangkut pautnya dengan pendekar Kwee San Hong dan nona Ang Siang Bwee karena saya pernah mohon pertolongan mereka untuk mencari jahanam Bu Tiong Sin itu. Sekarang para Lo-cian-pwe dengarlah. Orang yang bernama Bu Tiong Sin ini dahulunya adalah Yeliu Tiong Sin, anak angkatku yang kudidik sejak dia masih kecil sekali sampai dewasa, kusayang sebagai anak dan juga sebagai murid. Akan tetapi manusia durhaka ini akhirnya bahkan memusuhiku, mencuri Pedang Asmara dariku dan minggat!"
Mendengar ini, semua mata kini ditujukan kepada Bu Tiong Sin yang menjadi panik.
"Dia bohong! Dia menipuku! Kalian, semua tahu bahwa Pedang Asmara itu hanya pedang palsu belaka!"
Dia membela diri.
"Anak dan murid durhaka! Pedang pusaka itu kuterima dari Jenghis Khan sendiri, mana mungkin palsu!"
Bentak Panglima Yeliu Cutay marah.
"Aih, sudah pasti dia sendiri yang memalsukannya dan menyembunyikan yang aseli. Ayah, dia malah berani menipumu, memberimu pedang palsu!"
Siang Bwee berseru dan tentu saja Nam Tok memandang kepada Tiong Sin dengan mata melotot.
Pada saat itu terdengar bunyi genderang dan terompet dan para panglima Mongol itu cepat berloncatan turun dari kuda lalu memberi hormat ke arah utara, ke arah datangnya suara genderang dan suling. Kemudian Yeliu Cutay berkata dengan suara lantang.
"Yang Mulia Jenghis Khan berkenan datang dan sudah siap untuk menerima empat datuk besar bersama para murid dan puteranya!"
Empat orang datuk besar itu saling pandang.
Para pendekar yang tadi merupakan pasukan yang diundang Pak Ong, kini sudah terkepung dan mereka pun tidak mungkin dapat melawan lagi. Maka, empat orang datuk besar itu bersama murid dan putera mereka, tidak mempunyai pilihan lain kecuali melangkah maju setelah dipersilakan oleh Panglima Yeliu Cutay dan dua orang panglima Mongol lainnya. Dengan sikap gagah, empat orang datuk besar itu, diikuti murid dan anak masing-masing, melangkah maju memasuki hutan dari mana terdengar terompet dan genderang itu. Setelah tiba di tengah hutan, mereka kagum bukan main.
Dalam waktu yang amat singkat, entah bagaimana membuatnya, di situ telah dibangun perkemahan yang besar dan megah. Dan penjagaan amat ketat dan rapi seolah hutan itu dikepung oleh ribuan orang perajurit yang semua dalam keadaan siap. Melihat semua ini, bahkan Nam Tok sendiri merasa dirinya kecil. Dia boleh jadi menjadi seorang datuk besar yang ditakuti ratusan orang, bahkan dia akan mampu menggilas habis puluhan orang pengeroyok atau musuhnya. Akan tetapi apa artinya dibandingkan kebesaran seorang Jenghis Khan yang mampu mempersatukan seluruh suku bangsa Mongol yang merupakan bangsa yang keras dan kasar bahkan sebut biadab itu, menjadi kesatuan balatentara yang maha besar dan yang kini telah menundukkan Kerajaan Kim?
Tenda itu besar sekali dan luas. Nam Tok maju lebih dulu diikuti Kwee San Hong dan Ang Siang Bwee, sedangkan Hek I Siang-mo yang tahu diri itu tinggal di luar kemah bersama para pendekar yang tadi melawan pasukan Mongol. Setelah Nam Tok, masuk pula Pak Ong yang diikuti oleh Ji Kui Lan dan Bu Tiong Sin. Kemudian See Mo diikuti Kok Tay Ki yang sekali ini tidak berani berlagak sombong lagi.
Koay-to Heng-te juga tidak diperbolehkan masuk, menanti di luar perkemahan. Paling akhir Tung Kiam yang biasanya selalu bersikap tinggi hati itu, kini masih berusaha membusungkan dada, namun tetap saja langkahnya satu-satu dan jantungnya berdebar ketika dia melihat keangkeran yang terkandung di dalam perkemahan itu. Empat orang datuk besar bersama murid dan anak mereka itu berdiri berjajar, menghadap Jenghis Khan yang duduk di atas kursi besar. Raja besar itu memang hebat sekali, memiliki pribadi yang kuat, dengan wibawa yang besar memancar keluar dari sepasang matanya yang seperti mata burung rajawali, dari mulutnya selalu dihias senyum aneh yang sukar diartikan, penuh rahasia. Dengan matanya yang seperti mata rajawali itu.
Jenghis Khan memandang kepada empat orang datuk itu. Dia belum pernah jumpa dengan mereka. Walaupun See Mo dan Tung Kiam telah menyatakan diri membantunya, namun belum pernah dia menerima mereka, hanya mewakilkannya kepada para panglima atau puteranya untuk mengadakan perundingan. Akan tetapi, baik See Mo maupun Tung Kiam sungguh terlalu memandang rendah Jenghis Khan kalau mereka itu merasa akan mampu mempergunakan atau memanfaatkan seorang manusia besar macam Jenghis Khan. Tadinya dua orang datuk ini memang hanya berpura-pura saja membantu orang Mongol. Padahal, mereka adalah datuk-datuk yang tidak menginginkan kedudukan atau harta benda karena kedua hal itu akan dapat mereka peroleh dengan mudah.
Mereka mendekati orang Mongol untuk memanfaatkan pasukan itu guna kepentingan diri sendiri, yaitu untuk menjebak dan membinasakan dua orang musuh lama mereka yang menjadi saingan, yaitu Nam Tok dan Pak Ong. Siapa kira, para mata-mata Jenghis Khan sudah tahu akan hal ini. Apalagi di situ sudah ada Panglima Yeliu Cutay yang lebih mengenal sifat empat orang datuk besar itu. Maka, pertempuran di puncak Kabut Putih itu dapat dihentikan oleh pasukan besar dan semua orang digiring menghadap Jenghis Khan untuk diadili!
Setelah memandang keempat orang datuk besar itu tanpa banyak memperhatikan orang-orang muda yang mengikuti mereka. Jenghis Khan tersenyum lebar melihat mereka itu tidak berlutut, melainkan berdiri tegak dengan sikap yang agung seperti empat orang raja berhadapan dengan seorang raja lain! Dia tidak menjadi marah. Jenghis Khan memang pandai sekali menghadapi orang-orang gagah dan dia suka melihat sikap gagah, sebaliknya amat membenci sikap penjilat dan pengecut.
"Ha-ha-ha, sungguh tidak kosong nama besar Empat Datuk Besar yang. disebut Nam Tok, Pak Ong, See Mo, dan Tung Kiam. Sayang baru sekarang kami saling bertemu dengan kalian dan sempat mengagumi kegagahan kalian dan sayang pula bahwa kami tidak tahu mana yang Nam Tok mana yang Pak Ong"
Disebutnya dua nama ini agaknya sudah menunjukkan bahwa Jenghis Khan lebih tertarik kepada dua orang datuk besar yang kabarnya sama sekali tidak sudi tunduk kepadanya itu! Nam Tok segera mengangkat kedua tangan di depan dada untuk memberi hormat, mengamati tajam wajah raja besar itu lalu berkata.
"Saya adalah Nam san Tok-ong Ang Leng Ki dan sudah puluhan tahun saya dikenal dengan sebutan Nam Tok. Akan tetapi, hari ini saya berhadapan dengan Paduka, sungguh terus terang saja saya merasa betapa nama saya itu terlalu berlebihan dan betapa tidak ada artinya dibandingkan dengan kebesaran Yang Mulia Jenghis Khan!"
"Ha-ha-ha, kami mendengar bahwa Nam Tok seorang besar yang tidak suka merendah kepada siapapun juga! Apa alasannya sekarang memuji-muji kami?"
Tanya Jenghis Khan, bukan dengan suara mengejek, melainkan dengan sungguh sungguh.
"Sribagmda, terus terang saja saya bukan seorang penjilat yang suka memuji orang. Akan tetapi, melihat betapa Paduka, dari suku bangsa yang kecil di utara, miskin dan papa, hidup berkeliaran tak tentu tempat tinggalnya, lemah dan selalu ditekan oleh para suku lain, kini Paduka mampu mempersatukan semua suku bangsa liar di utara, membentuk pasukan besar yang telah mengalahkan Kerajaan Kim yang tidak becus. Sungguh itu merupakan suatu pekerjaan yang saya Nam Tok tidak sanggup mengerjakannya. Terlalu besar untuk saya! Menjadi datuk persilatan hanya bermodalkan ilmu silat yang mudah dipelajari. Akan tetapi untuk menjadi pemimpin besar, agaknya memang harus dilahirkan secara knusus dan dipilih oleh Bumi dan Langit!"
Kata Nam Tok.
Kembali Jenghis Khan tertawa bergelak.
"Ucapan Nam Tok terlalu mengangkat tinggi. Apa sih sukarnya menjadi pemimpin yang menang perang? Menangkan peperangan itu hanya pandai saja, setiap orang pun mampu kalau memang bersemangat. Akan tetapi menaklukkan hati rakyat agar mencinta rajanya, itulah baru bijaksana namanya dan aku hanya mengharapkan bantuan para penasihat ku agar dapat memperoleh kebijaksanaan itu."
"Khan Yang Besar!"
Tiba-tiba See Mo berkata.
"Hamba See-thian Mo-ong Kok Bong Ek sejak permulaan sudah siap membantu Mongol dan hari ini dengan bantuan pasukan Mongol dan rekan hamba Tung Kiam, hamba telah menyerang para pemberontak Han ini. Akan tetapi mengapa Paduka menghentikan penyerangan hamba?"
Jenghis Khan mengerutkan alisnya memandang kepada See Mo.
"Hemmm, jadi engkau yang bernama See-thian Mo-ong Kok Bong Ek? Dan mana yang bernama Tung-hai Kiam-ong Cu Sek Lam?"
"Hambalah orangnya!"
Kata Tung Kiam cepat.
"Kalau begitu, tentu engkau yang berjuluk Pak Ong!"
Kata Jenghis Khan kepada Pak Ong. Pak Ong memberi hormat seperti yang dilakukan Nam Tok tadi, dengan sikap angkuh.
"Saya Pak Ong Ji Hiat, seorang Han yang biarpun tidak ikut berperang, namun tidak akan membantu pasukan Mongol untuk menyerang ke selatan. Terserah penilaian Sribaginda!"
Kembali Jenghis Khan tersenyum dan tidak marah.
"Kalian memang mengagumkan sekali. Belum pernah selama hidupku aku bertemu dengan orang-orang tua gagah seperti kalian. Mari silakan duduk"
Dia memberi isyarat kepada para pengawalnya untuk menyediakan kursi bagi semua tamu.
Nam Tok duduk diapit San Hong dan Siang Bwee, Pak Ong duduk diapit Kui Lan dan Tiong Sin, See Mo duduk bersama Kok Tay Ki dan Tung Kiam bersama Cu See Han. Di depan mereka terdapat meja kecil panjang dan Jenghis Khan lalu memberi perintah kepada para pelayan untuk menghidangkan arak. Setelah semua orang disuguhi arak dan dipersilakan minum, Jenghis Khan lalu bertanya kepada mereka semua.
"Tentu kalian berempat sudah mendengar dari Panglima Yeliu mengapa kalian kami undang menghadap?"
"Kami sudah mendengar dari Panglima Yeliu Cutay,"
kata Nam Tok yang tidak ingin urusan yang dihadapinya diwakil bicara olen datuk lain.
"Yang pertama, saya menghaturkan terima kasih atas undangan ini dan saya pun merasa terhormat dapat bertemu dan berkenalan dengan Paduka. Yang ke dua, maafkan saya. Saya tidak dapat membantu Paduka karena saya tidak tertarik akan kedudukan. Apalagi kalau untuk itu saya harus menjadi seorang pengkhianat dan saya menolak kalau ditawari kerja sama dengan pasukan Paduka. Dan ke tiga urusan Pedang Asmara, saya masih belum mengerti duduknya perkara dan terserah kepada Panglima Yeliu Cutay!"
Jenghis Khan mengangguk-angguk. Banyak di antara para panglima Mongol yang mengerutkan alisnya dan memandang marah karena tentu saja jawaban itu saja sudah membuat Nam Tok nampak sebagai musuh dalam pandangan mata mereka. Agaknya Jenghis Khan tahu akan hal ini.
"Para panglima dan pembantuku. Hari ini kalian buka telinga dan mata baik-baik dan akan menerima banyak contoh dan pelajaran dari sikap manusia-manusia yang unggul dan benar-benar pantas disebut orang-orang gagah. Bagaimana dengan engkau, Pak Ong? Bagaimana jawabmu tentang tiga hal yang sudah kami kemukakan itu?"
Pak Ong mengerutkan alisnya. Sebetulnya, dialah yang paling membenci orang Mongol karena dia merupakan orang pertama yang melihat akibat gerakan pasukan Mongol dari utara. Akan tetapi dia harus mengakui bahwa diam-diam dia pun merasa kagum kepada pemimpin besar bangsa Mongol ini. Bukti betapa ibu kota Yen-pin dari Kerajaan Kim sudah roboh saja sudah menunjukkan bahwa pemimpin besar ini memang hebat sekali! Dan melihat keadaan Kerajaan Sung di selatan yang kabarnya juga brengsek, para pembesar hanya mementingkan kepadatan kantung sendiri, kemakmuran keluarga sendiri tanpa mempedulikan rakyat, maka bukan hal yang tidak mungkin kalau kelak pemimpin Mongol yang hebat ini akan mampu pula meruntuhkan Kerajaan! Sung"
"Saya sependapat dengan Nam Tok rnengenai hal pertama dan ke dua. Saya merasa terhormat dapat bertemu dan berkenalan dengan Paduka, dan saya pun tidak mungkin dapat membantu Paduka, tidak mungkin mengkhianati bangsa saya sendiri dengan menjadi pembesar. Adapun hal ke tiga mengenai Pedang Asmara! setahu saya, murid saya Bu Tiong Sin adalah seorang pendekar yang berjuang melawan bangsa Kim dia tidak mau tunduk kepada bangsa Kim karena dia pendekar berdarah Han, dan mengenai Pedang Asmara saya tidak tahu jelas mengapa kini tiba-tiba menjadi palsu dan patah....
"
Jenghis Khan mengangguk-angguk dan ketika dia melihat Bu Tiong Sin hendak bicara, dia mengangkat tangan mencegah, lalu menoleh pada See Mo.
"Sekarang, setelah mendengarkan pendapat yang jujur dari Nam Tok dan Pak Ong kami ingin mendengar pendapat See-thian Mo ong Kok Bong Ek."
See Mo bangkit berdiri dan memberi hormat kepada raja besar itu. Dia tidak merasa canggung atau malu, karena memang di dalam hatinya dia berpihak kepada Jenghis Khan. Dia sendiri mempunyai darah campuran dari suku Uigur/Mongol dan Han.
"Khan Yang Mulia, perlukah Paduka bertanya lagi kepada hamba. Sejak semula hamba memang siap membantu Mongol untuk menghancurkan Kim dan juga Sung. Hamba ingin menyumbangkan tenaga dan kemampuan hamba, kalau perlu melatih semua jagoan dan panglima Paduka!
Adapun mengenai Pedang Asmara, hamba sendiri tidak tahu dan terserah kepada Paduka."
Dia pun duduk kembali setelah memberi hormat. Jenghis Khan mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada Tung Kiam.
"Dan bagaimana dengan orang gagah dari timur?"
Tung Kiam juga bangkit dan memberi hormat.
"Hamba telah dihubungi See Mo dan hamba juga siap membantu Paduka dengan kepandaian hamba. Ketika See Mo dan hamba mengadakan pertandingan di puncak Kabut Putih, mempergunakan pasukan Mongol, semua itu untuk menghancurkan orang-orang Han yang tidak tunduk."
Jenghis Khan tertawa sambil mengelus jenggotnya, sepasang matanya yang mencorong tajam itu berkilat-kilat. Dia melihat keuntungan besar berjumpa dengan empat orang datuk besar yang amat lihai itu. Yang dua orang, biarpun tidak mau membantunya, namun juga menghormatinya dan kejujuran mereka mengagumkan hatinya. Adapun yang dua orang lagi, di depan semua orang, telah menyatakan hendak membantunya. Dengan pembantu pembantu selihai See Mo, dan Tung Kiam tentu akan memperkuat kedudukannya terutama sekali memperkuat pasukan penyelidik yang disebarnya ke selatan.
"Baiklah, dengan resmi kami menerima See Mo dan Tung Kiam bersama anak anak dan murid-murid mereka, untuk bekerja membantu kami. Nah, kalian boleh pergi dulu mengikuti Panglim Hassou yang akan menjelaskan tugas apa yang harus kalian lakukan,"
Kata Jenghis Khan dengan nada memerintah kepada See Mo dan Tung Kiam.
Panglima Hassou adalah seorang di antara panglima yang tadinya berasal dari pasukan Tai-jut yang memusuhi Jenghis Khan, akan tetapi kemudian menakluk, bahkan menjadi bawahan yang amat setia. Hassou ini diangkat menjadi kepala dari pasukan penyelidik dan dia memang sudah mendapat perintah untuk memberi tugas kepada See Mo dan Tung Kiam. Panglima Hassou melangkah maju, memberi hormat kepada Jenghis Khan, lalu menghampiri See Mo dan Tung Kiam.
Akan tetapi pada saat itu, Siang Bwee sudah memberi hormat kepada Jenghis Khan dan berkata.
"Mohon maaf, Sribaginda Khan yang besar? Sebelum See Mo dan Tung Kiam pergi, saya ingin bicare kepada Paduka mengenai hal yang penting, yang melibatkan semua pihak."
Nam Tok sendiri sampai terkejut melihat keberanian puterinya itu. Akan tetapi karena Siang Bwee sudah bicara, dia pun hanya memandang dan hatinya merasa lega ketika dia melihat Jenghis Khan tertawa setelah memandang kepada Siang Bwee.
"Nona ini masih muda namun sudah amat cantik dan gagah. Apakah engkau puteri Nam Tok?"
Tanya Jenghis Khan melihat betapa gadis itu tadi duduk di sebelah Nam Tok dan kini gadis itu berdiri tegak dengan sikap gagah dan tabah. Belum pernah Jenghis Khan melihat seorang gadis muda bersikap sedemikian beraninya di depannya! Bahkan pria yang gagah pun akan surut dan gemetar kalau berhadapan dengan dia. Akan tetapi gadis ini demikian berani!
"Benar, Sribaginda. Saya bernama Ang Siang Bwee, puteri dari ayah saya Nam-san Tok-ong Ang Leng Ki. Bolehkah saya bicara?"
Sambil tersenyum lebar Jenghis Khar mengangguk.
"Bicaralah, anak yang pemberani!"
"Terima kasih, Sribaginda. Sudah lama saya mendengar akan kebesaran Paduka dan setelah
(Lanjut ke Jilid 35 - Tamat)
Pedang Asmara (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 35 (Tamat)
berhadapan, saya tahu bahwa Paduka memang seorang pemimpin besar yang bijaksana. Dan bijaksana juga berarti adil, bukankah begitu?
Paduka adalah seorang pemimpin yang adil dan bijaksana, bukan?"
"Ha-ha-ha, Nona Muda. Tidak usah memuji-muji, katakan saja apa kehendakmu,"
Kata pula Jenghis Khan.
"Saya hendak bicara dengan Paduka tentang Pedang Asmara. Kalau boleh saya mengetahui, dari manakah asal pedang pusaka itu? Siapa yang menemukan untuk pertama kalinya?"
Tentu saja Siang Bwee sudah mendengar dari Yeliu Cutay tentang asal usul pedang pusaka itu maka ia berani menyatakan hal itu kepada Jenghis Khan.
"Ah, Pedang Baja Dewa Hijau atau Pedang Asmara? Akulah orang yang menemukan baja itu dan membuat pedang itu. Kenapa, nona Ang Siang Bwee?"
"Kiranya Paduka yang menemukannya. Memang tepat sekali kalau Paduka yang menemukannya karena Paduka memang pantas memiliki pedang pusaka itu. Akan tetapi, pedang itu kemudian berada di tangan Paman Yeliu Cutay, kenapa demikian, Sribaginda?"
"Kami memang telah memberikan pedang pusaka itu kepada Yeliu Cutay, sudah lama sekali ketika kami masih muda."
"Kalau begitu, Paman Yeliu Cutay yang berhak memiliki pedang pusaka itu. Akan tetapi, Paman Yeliu Cutay, kenapa pedang itu terlepas dari tanganmu dan berada di tangan si dia itu?"
Ia menuding ke arah Bu Tiong Sin yang nampak gelisah dan mencoba untuk memalingkan mukanya dan bersembunyi di sebelah gurunya. Yeliu Cutay yang ditanya, memberi hormat dulu kepada Jenghis Khan sebelum menjawab. Jenghis Khan mengangguk tanda memberi ijin dia bicara, maka Yeliu Cutay lalu berkata,
"Pemuda itu sejak kecil kudidik sebagai anak sendiri bahkan kuberikan nama margaku kepadanya, juga kuberikan semua ilmuku kepadanya. Akan tetapi, Yeliu Tiong Sin ini telah dewasa murtad membawa minggat Pedang Asmara, bahkan hendak membunuhku."
Kini Siang Bwee menghadapi ayahnya.
"Nah, Ayah mendengar sendiri semua keterangan dari Sribaginda Khan yang besar dan dari Paman Yeliu Cutay. Bagaimana seorang tokoh besar seperti Ayah sampai mau saja ditipu mentah-mentah oleh seorang pemuda ingusan dan palsu macam Bu Tiong Sin itu? Ayah diberi pedang curian, itu pun untuk menghargai diriku. Aku anak tunggal Ayah, hanya dihargai dengan sebatang pedang curian! Adakah yang lebih menghina daripada itu?"
Tiba-tiba Jenghis Khan berseru nyaring sekali, mengejutkan semua orang yang berada di situ.
"Ada yang lebih jahat lagi! Orang ini, bukan saja telah melakukan semua itu, akan tetapi dia telah berkhianat kepada kami! Dia pernah diselamatkan orang-orangku ketika dikeroyok orang-orang Hek-eng-pang, kemudian dia membantu kami. Akan tetapi dalam suatu tugas penting ke Liao-tung, dia telah berkhianat, merusak hubungan kami dengan Liao-tung karena dia memperkosa puteri kepala suku Liao-tung! Dan menurut laporan anak kami Yuci, dia dapat menyelamatkan diri karena di tolong oleh Pak Ong dan puterinya."
Wajah Pak Ong menjadi merah sekali. Dia dan Kui Lan memang menyelamatkan Tiong Sin dari pengeroyokan pasukan Mongol, akan tetapi pemuda itu mengaku bahwa dia memusuhi orang Mongol. Siapa tahu dia malah kaki tangan Mongol yang berkhianat!
"Biar kubunuh saja manusia keparat yang hina ini!"
Bentak Nam Tok. Akan tetapi Pak Ong menatap wajahnya.
"Nam Tok, dia itu muridku, ingatkah kau? Kalau ada yang membunuhnya, berarti tidak memandang mata kepadaku. Aku sendiri masih dapat menghukum muridku. Apakah engkau hendak menantangku?"
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pak Ong marah sekali karena kecewa terhadap muridnya itu.
"Sudahlah, harap kalian tidak ribut di sini! Kalian adalah tamu-tamu kami, harus mentaati peraturan kami,"
Kata Jenghis Khan yang merasa tidak senang melihat dua orang datuk itu yang hendak melampiaskan kemarahan mereka masing-masing di depannya. Wajah Nam Tok berubah kemerahan dan dia memandang ke arah Bu Tiong Sin dengan mata melotot.
"Hemmm, kalau tidak melihat muka Pak Ong dan kalau tidak dilerai Sribaginda, tentu sudah kuhancurkan kepala bocah itu!"
Katanya.
"Sudahlah, Ayah. Di sini ada Sribaginda Jenghis Khan yang besar, dan beliau tidak menghendaki keributan di antara kita. Aku bisa menemukan di mana adanya Pedang Asmara yang aseli, Ayah, sehingga penemuan itu akan dapat mencuci nama besar Ayah, dengan mengembalikan pedang itu kepada yang berhak. Jadi, Ayah tidak akan dituduh bekerja sama dengan pencuri, atau menjadi tukang tadah barang curian. Bayangkan saja, Nam-san Tok-ong yang gagah perkasa kini pekerjaannya tukang tadah barang curian! Betapa akan memalukan!"
"Hayo katakan, di mana pedang yang aseli agar aku dapat menebus dan membersihkan namaku!"
Kata Nam Tok dengan wajah berseri. Dia telah mendapat malu di depan Jenghis Khan, dan akan legalah hatinya kalau dia dapat membersihkan namanya dengan mengembalikan pedang itu kepada yang berhak.
"Nanti dulu, Ayah. Sekarang aku minta Ayah agar secara resmi membikin putus ikatan perjodohan antara aku den si curang Bu Tiong Sin itu, dan juga antara suheng Kwee San-Hong dan si kuda betina Ji Kui Lan."
Nam Tok bukan seorang yang suka melanggar janji, akan tetapi karena dia telah mendapat malu karena perbuatan Tiong Sin, maka tanpa sangsi lagi dia pun berkata lantang.
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo