Ceritasilat Novel Online

Pedang Asmara 7


Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



"Hemmm, engkau hendak menipuku, ya? Kau pura-pura membantuku, membawakan barang ini, dan kalau sudah kuberikan dan kaupanggul, lalu engkau melarikannya. Bukankah begitu? Tak tahu malu! Menipu dan membohongi seorang tua seperti aku!"

   San Hong masih bersikap tenang dan sabar.

   "Apakah semua orang yang sudah sangat tua begini penuh prasangka buruk terhadap orang lain, Kek? Aku bersungguh-sungguh, kasihan dan ingin membantumu, malah kausangka yang tidak-tidak. Kalau engkau tidak mau dibantu, akupun tidak memaksamu. Akan tetapi harap jangan menuduh aku hendak melarikan barangmu."

   Sikap kakek itu kini berubah.

   "Hemm, jadi engkau benar-benar hendak membantu aku membawa barang ini? Kau tahu? Aku hendak naik ke puncak bukit yang sebelah kiri. Amat jauh perjalan itu, dan membawa barang ini amat berat. Engkau mau membantuku membawakannya sampai ke sana?"

   San Hong terkejut. Mendaki puncak itu bukan pekerjaan ringan, apalagi kalau membawa beban berat. Akan tetapi, dia sudah terlanjur menawarkan bantuan dan kalau dia mundur, tentu akan menimbulkan pula dugaan yang buruk-buruk. Lebih lagi, kalau dia membiarkan kakek ini membawa dua buntalan berat itu mendaki puncak, tentu kakek itu akan roboh dan tewas jauh sebelum mencapai puncak.

   "Baiklah, Kek, akan kubantu engkau membawa barangmu itu sampai ke puncak sana."

   Tiba-tiba kakek itu tertawa, suara ketawanya terkekeh kekeh sehingga San Hong memandang dengan alis berkerut karena jelas kakek itu mentertawakan dia.

   "Apakah yang kau tertawakan itu Kek?"

   "Tentu saja mentertawakan engkau, Tolol! Apakah engkau kuat membawa buntalan ini ke puncak sana? Kukira, baru memanggulnya saja sudah tidak kuat kau!"

   Sekali ini, San Hong menjadi penasaran.

   "Kek, engkaulah yang bicara terlalu keras dan besar. Engkau saja menanggul dua buntalan ini kuat, apa lagi aku! Nah, berikan padaku yang lebih besar itu, akan kupauggul dan kubantu engkau membawanya ke puncak sana."

   "Bagus. Yang lebih besar ini yang ringan. Nah, kau terimalah dari pundakku!"

   Kata kakek itu.

   Diam-diam San Hong mendongkol juga. Tentu saja yang lebih besar itu lebih berat, pikirnya. Dia pun merendahkan dirinya agar kakek itu dapat menurunkan dan memindahkan buntalan yang lebih besar di pundaknya itu ke atas pundaknya sendiri.

   "Nah, terimalah buntalan ini, hati-hati, ya? Kerahkan seluruh tenagamu!"

   Kata kakek itu.

   Diam-diam San Hong merasa geli hatinya. Masa dia harus mengerahkan seluruh tenaganya? Biarpun buntalan itu kelihatan besar dan berat, namun kalau kakek itu mampu memanggulnya, tentu hanya ringan saja baginya, teramat ringan. Akan tetapi begitu buntalan itu menimpa pundaknya, semua perasaan geli tadi lenyap, matanya terbelalak, mukanya menjadi merah dan dia benar-benar harus mengerahkan seluruh tenaganya kalau tidak ingin roboh tergencet! Buntalan itu benar-benar amat berat!

   Orang biasa yang bertenaga besar pun belum tentu sanggup memanggulnya. Kedua kakinya sampai tergetar saking beratnya muatan itu! Dan kakek tadi mampu memanggulnya, bukan hanya mampu, bahk tangan kirinya masih menjinjing sebuah buntalan lain dan dengan dua beban itu kakek ini malah tadi mampu berjalan amat cepatnya! Kakek kecil itu sendiri nampak terheran dan kagum melihat San Hong mampu memanggul buntalan itu dan wajahnya berseri gembira.

   "Wah, engkau ternyata memiliki tenaga yang kuat, orang muda.

   "Jalanlah, Kek, aku akan membantumu membawa buntalan ini sampai ke puncak....."

   Kata San Hong dan cepat dia berhenti bicara karena begitu bicara, tenaganya berkurang dan dia agak terengah.

   Kakek itu lalu mengangguk-angguk, berjalan mendaki gunung itu. San Hong terpaksa mengikutinya dan dia memang bertenaga gajah. Biarpun terasa berat, dia mampu berjalan dengan cukup cepat, dan daya tahannya juga kuat. Untuk nenunjukkan kepada kakek ttu bahwa dia tidak berkeberatan membantunya, dia berkata sambil menahan napas.

   "Biarlah yang sebuah itu pun kubawakan juga, Kek!"

   Kakek itu berhenti dan tertawa. Suara ketawanya tinggi dan terkekeh.

   "Heh-heh-heh, agaknya karena terlalu berat, engkau ingin membawa buntalan yang lebih kecil ini? Nah, kalau begitu mari kita tukar saja buntalan ini, engkau membawa kecil, aku membawa yang besar."

   "Bukan begitu maksudku, Kek....."

   San Hong membantah, akan tetapi tiba-tiba kakek itu mengulur tangannya dan buntalan di atas pundak San Hong itu telah diambilnya. San Hong terkejut dan tentu saja merasa heran bukan main bagaimana kakek itu demikian mudahnya mengambil buntalan seberat itu dari pundaknya dan ketika dia memandang, ternyata buntalan besar itu telah pindah ke atas pundak kakek kecil itu.

   "Nah, terimalah buntalan ini!"

   Kata kakek itu menyerahkan buntalan yang lebih kecil. San Hong menerimanya akan tetapi betapa kaget rasa hatinya ketika dia merasakan beratnya buntalan yang lebih kecil itu. Lebih berat daripada buntalan yang lebih besar! Tentu saja mukanya berubah kemerahan. Tadi dia minta buntalan itu agar dia bawa pula. Padahal membawa buntalan kecil ini saja dia sudah setengah mati mempertahankan diri dan mengerahkan seluruh tenaga. Kalau membawa dua buntalan itu, jelas dia tidak kuat! Dan kakek itu mampu, membawa keduanya dan masih berjalan cepat pula! Manusia ataukah setankah kakek ini? Tubuhnya begitu kurus kecil usianya tua renta, akan tetapi bagaimana mungkin memiliki tenaga yang demikian kuatnya?

   "Heh-heh-heh, engkau memang kuat."

   Kata pula kakek itu.

   "Apakah engkau masih nekat hendak membantuku membawa buntalan itu ke puncak?"

   San Hong mengangguk dan melangkah maju, biarpun tertatih-tatih.

   "Tentu saja, Kek!"

   Katanya. Kakek itu kini memandang kagum dan wajahnya berseri. Dia juga melangkah maju dan membiarkan pemuda tinggi besar itu kepayahan membawa barangnya sampai puluhan langkah. Kemudian, tiba-tiba dia mengulur tangan dan buntalan itu pun sudah diambilnya dari pundak San Hong.

   Tentu saja pemuda ini terkejut dan ketika dia membalik, kakek itu sudah tersenyum kepadanya, buntalan besar di atas pundak kanan dan buntalan yang lebih kecil dijinjing tangan kirinya seperti tadi. Betapa kuatnya! Dia pun tahu bahwa kakek ini mungkin seorang sakti seperti pernah diceritakan ayahnya tentang adanya orang-orang sakti berilmu tinggi di dunia ini. Maka dia pun lalu menjura dan mengangkat kedua tangan ke dada memberi hormat. Kakek kecil itu terbelalak, dan memandang wajah yang jujur dan polos itu dengan penuh kagum. Dia bukanlah orang biasa, melainkan seorang di antara Thian-san Ngo-sian (Lima Dewa dari Gunung Thian-san), yaitu lima orang tokoh besar di dunia persilatan.

   Sebagai seorang tokoh besar sudah banyak Thay Lek Siansi demikian julukan kakek kecil itu, menemui banyak macam orang, akan tetapi belum pernah dia menjumpai seorang pemuda dengan watak seperti pemuda tinggi besar itu. Dia merasa kagum sekali Pemuda ini nampaknya belum dewasa benar, sudah memiliki tenaga yang demikian kuat, akan tetapi juga memiliki watak yang demikian polos dan jujur Dan dari gerakannya, pemuda ini agaknya belum pernah mempelajari ilmu silat Tenaganya besar, daya tahannya juga kuat, semangatnya besar dan tahan uji di samping watak yang amat jujur walaupun agaknya kurang cerdik.

   "Namamu Kwee Sun Hong? Eh, Sun Hong, berapakah usiamu sekarang?"

   "Hampir enam belas tahun, Kek."

   "Enam belas tahun? Masih kanak-kanak.....!"

   Kata Thay Lek Siansu semakin kagum.

   "San Hong, engkau telah memperlihatkan kemauan baik untuk membantu seorang tua seperti aku. Nah, sekarang aku pun ingin membalas kebaikan hatimu itu. Katakan, engkau menginginkan apa dariku? Kalau aku mampu, tentu permintaanmu itu akan kupenuhi."

   Tentu saja kakek itu mengharapkan pemuda istimewa ini akan minta menjadi muridnya dan dia sudah siap untuk menerimanya.

   "Tidak, Kek. Aku tidak membutuhkan apa-apa dan tidak minta apa-apa darimu. Terima kasih, Kek, aku hendak melanjutkan perjalananku berburu, hari sudah mulai siang."

   Setelah berkata demikian, San Hong memberi hormat lagi lalu membalikkan tubuhnya pergi meninggalkan kakek kecil itu yang berdiri bengong. Thay Lek Siansu menggeleng-geleng kepalanya dengan penuh kagum dan heran.

   "Sayang..... sayang....., sungguh anak yang baik sekali dia....."

   San Hong sudah menyusup ke dalam hutan dan mulai mencari-cari binatang yang dapat dibunuhnya. Dia sudah melupakan lagi kakek kecil yang bertenaga besar tadi. Tiba-tiba dia terkejut, memutar tubuhnya dan cepat mengambil gendewa dan anak panah. Seekor kijang melompat dengan amat cepatnya sehingga dia tidak sempat lagi menggunakan anak panahnya. Dan di belakang kijang itu, dia melihat seorang kakek yang agaknya mengejar kijang itu dengan lari terpincang pincang. Ketika meliha San Hong, kakek itu berhenti berlari dan mengomel.

   "Kijang sialan, larinya begitu cepat!"

   San Hong melihat betapa kakek itu sudah tua, usianya tentu juga mendekati tujuh puluh tahun, sedikitnya enam puluh .lima tahun. Tubuhnya sedang saja, wajahnya juga seperti wajah seorang kakek petani biasa, dan kaki kanannya pincang sehingga untuk membantu jalannya, kakek itu memegang sebatang tongkat butut Hampir saja San Hong tertawa karena geli hatinya. Akan tetapi rasa kasihan menahan ketawanya dan dia memandang penuh perhatian lalu menarik napas panjang.

   "Kakek yang baik, bagaimana mungkin engkau akan mampu menangkap kijang yang larinya amat cepat itu? Untuk apakah engkau mengejar-ngejar seekor kijang?"

   "Hemmm, kau tidak melihat tanduknya tadi? Aku membutuhkan tanduknya, orang muda."

   Jawab kakek itu dan diapun mengamati San Hong dari kepala sampai ke kaki. Betapa gagahnya pemburu ini, pikirnya.

   "Membutuhkan tanduknya? Engkau orang aneh, Kek. Orang lain kalau berburu kijang tentu membutuhkan daging dan kulitnya, akan tetapi yang Kau butuhlan adalah tanduknya. Akan tetapi, bagaimana mungkin engkau dapat menangkap kijang yang muda dan kuat berlari cepat itu?"

   "Heh-heh heh, apakah engkau mampu mengejarnya, orang muda?"

   "Belum tentu. Akan tetapi setidaknya aku dapat berlari lebih cepat darimu Kek. Maka, kau tunggulah saja di sini! Biar aku mencoba untuk mengejar dan menangkapnya. Kalau aku berhasil, maka daging kijang itu untukku, dan tanduknya akan kuberikan kepadamu."

   Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban lagi San Hong lalu meloncat dan berlari secepatnya, mengejar ke arah larinya kijang tadi. Kijang itu berlari ke selatan dan dia tahu bahwa selatan terdapat sebatang sungai. Tentu ke sungai itulah kijang tadi pergi dan di sana akan terhalang sungai. Karena tepi sungai merupakan padang rumput, maka akan mudahlan baginya untuk dapat menemukan kijang yang tadi dikejar oleh kakek pincang. San Hong berlari secepatnya, mengerahkan seluruh tenaga kaki dan kekuatan napasnya.

   Betapapun juga, karena jalannya naik turun, setelah tiba di padang rumput di tepi sungai, napasnya terengah-engah dan peluhnya bercucuran Tiba-tiba dia menahan kakinya, memandang terbelalak ke depan. Apa yang dilihatnya? Kakek pincang itu sudah duduk di sana, di atas rumput, memegangi tongkat bututnya. Tentu saja dia menjadi heran bukan main. Akan tetapi, kakek pincang itu agaknya bersikap biasa saja, dan mengnela napas ketika San Hong muncul, lalu berkata.

   "Wah, kijang itu memang cepat sekali larinya!"

   San Hong masih terbelalak saking herannya. Kakek itu bukan saja telah lebih dulu tiba di situ, akan tetapi sedikitpun tidak berkeringat atau terengah-engah seperti dia, dan sama sekali tidak kelihatan lelah.

   "Mungkin dia di sana!"

   Kakek itu bangkit berdiri dan terpincang-pincang lari menuju ke kiri. San Hong yang merasa penasaran, kini cepat mengejar karena dia merasa penasaran dan selagi kakek itu masih nampak, dia mengejar dan ingin menyusul, seolah-olah hendak berlumba lari dengan kakek itu. Dan San Hong melihat kenyataan yang lebih aneh lagi! Biarpun dia melihat kakek itu lari terpincang-pincang dibantu tongkatnya di depannya, dan dia sendiri sudah mengerahkan seluruh tenaga dan berlari secepatnya, namun tetap saja dia tidak dapat menyusul, bahkan makin lama jarak antara mereka menjadi semakin jauh! Kini tidak dapat diragukan lagi bahwa memang kakek itu dapat berlari jauh lebih cepat darinya. Muka San Hong menjadi merah sekali.

   Tadi dia menganggap kakek itu cacat dan tidak mungkin dapat mengejar kijang yang larinya amat cepat, bankan dia menawarkan diri membantu kakek itu mengejar kijang. Dan sekarang, jelaslah bahwa dia kalan jauh dalam hal kecepatan lari. Ini tidak mungkin, pikirnya penuh penasaran dan rasa malu. Masa dia kalah cepat larinya dibandingkan seorang kakek tua yang pincang? Sungguh aneh. Dia masih beberapa lamanya mencoba untuk mengejar sambil mengerahkan tenaga, dan hasilnya hanya keringat bercucuran dan napasnya terengan-engah nampir putus Maka, dia pun berteriak memanggil.

   "Kek.....! Kakek..... tunggu dulu.....!"

   Kakek itu berhenti dan membalikkan tubuh, terkekeh. San Hong tiba di depannya dan napas pemuda itu sudah senin kemis hampir putus. Dia memandang kakek itu dengan mata terbelalak, melihat betapa kakek itu masih terkekeh dan napasnya sama sekali tidak memburu, tidak ada keringat, setetes pun membasahi mukanya. San Hong cepat menjura dan mengangkat kedua tangannya ke depan dada, memberi hormat.

   "Aduh, Kek. Maafkan aku yang memandang rendah padamu. Aku mengaku kalah! Larimu cepat sekali, lebih cepat dari kijang, pantas tadi engkau mengejar-ngejar kijang!"

   "Heh-heh-heh, ada yang cepat tentu ada yang lebih cepat lagi. Kijang itu larinya jauh lebih cepat sehingga buktinya aku tidak mampu menangkapnya. Engkau memiliki sifat yang lebih baik lagi daripada sekedar lari cepat, orang muda, engkau memiliki keterbukaan, budi yang luhur dan hati yang rendah. Siapakah namamu?"

   "Namaku Kwee San Hong, Kek. Tentang kijang itu, kalau aku berhasil mendapatkannya, tentu tanduknya akan kuberikan kepadamu. Akan tetapi kemana aku harus mengantarnya?" "Heh-heh-heh, engkau baik sekali. Aku akan ke puncak sana. Engkau tadi ingin membantuku menangkap kijang, kini akan memberikan tanduk kijang. Hemm, kalau aku dapat memberikan sesuatu, tentu akan kuberikan. Akan tetapi, apakah yang kau harapkan dariku? Mintalah dan aku akan berikan kalau memang dapat, orang muda yang baik."

   Tanpa berpikir panjang lagi San Hong, sesuai dengan wataknya, menjawab.

   "Terima kasih, Kek. Aku tadi ingin membantumu karena aku kasihan melihat seorang tua mengejar kijang, bukan membantu untuk mendapatkan imbalan. Aku tidak butuh apa-apa dan tidak minta apa-apa. selamat jalan, Kek dan maafkan kebodohanku yang memandang rendah kepadamu."

   Berkata demikian, San Hong lalu meninggalkan kakek itu untuk mencari kijang tadi atau binatang lain. Sampai lama kakek itu berdiri memandang padanya sampai pemuda itu lenyap di dalam hutan dan kakek itu menarik napas panjang.

   "Siancai....., belum pernan aku melihat seorang pemuda sebaik itu.....!"

   Diapun lalu membalikkan tubuh dan sekali berkelebat dia pun lenyap dari situ. Kukek ini pun bukan orang sembarangan Dia adalah seorang di antara Thian-san Ngo-sian dan julukannya adalah Bu Eng-Sianjin (Dewa Tanpa Bayangan). Dari julukannya saja mudah diduga bahwa dia adalah seorang sakti ahli gin-kang (ilmu meringankan tubuh) maka tidak mengherankan kalau San Hong tidak mampu menandinginya dalam hal berlari cepat!

   San Hong melanjutkan perburuannya akan tetapi kini pikirannya sering melamun. Dua peristiwa berturut-turut itu mau tidak mau mengganggu pikirannya Dua peristiwa yang aneh, pikirnya. Pertama, ada kakek tua bertubuh kecil yang bertenaga raksasa sehingga dia sendiri yang terkenal memiliki tenaga gajah dan masih muda, tidak mampu menandingi tenaga kakek itu. Dan kemudian, seorang kakek tua pula yang memiliki kemampuan berlari cepat melebihi cepatnya kijang! Dua peristiwa itu membuat San Hong merasa betapa dirinya sesungguhnya lemah sekali.

   Dalam hal tenaga, kalah oleh seorang kakek tua yang bertubuh kecil! Dan berlari? Belum ada seperempatnya seorang kakek tua renta yang kakinya pincang pula! Kebetulan sekali ketika dia sedang menyusup-nyusup di antara semak belukar, dari jauh dia melihat seekor kijang yang berdiri terengah-engah. Dia segera mengenal kijang itu sebagai kijang yang tadi dikejar-kejar oleh kakek pincang! Agaknya kijang yang tadinya sudah berlari cepat dan jauh itu, bertemu dengan binatang buas seperti harimau dan dikejar kejar pula, maka kini kijang itu seperti kehabisan napas dan bersembunyi di balik semak-semak. San Hong berindap menghampiri dan setelah cukup dekat, dia mementang gendewanya dan melepaskan anak panah.

   Dari jarak yang cukup dekat itu, anak panahnya tepat menembus dada kijang itu dan binatang itu pun roboh tak berkutik lagi kareina anak panah itu menembus dada kijang itu dan binatang itu pun roboh tak berkutik lagi karena anak panah itu menembus jantungnya. Dengan girang Sun Hong meloncat keluar dan mengambil bangkai kijang, lalu memanggulnya dan membawanya pulang. Akan tetapi pikirannya masih selalu teringat kepada dua orang kakek aneh dan begitu menyerahkan kijang kepada ayah ibunya, mengambil tanduknya, dia pun berpamit.

   "Ayah dan ibu, aku akan pergi mencari kakek pincang di atas puncak itu dan menyerahkan tanduk ini seperti yang telah kujanjikan kepadanya. Karena perjalanan itu jauh, mungkin besok aku baru

   (Lanjut ke Jilid 07)

   Pedang Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07

   pulang."

   Tentu saja ayah ibunya merasa khawatir. Puncak itu tidak mudah didaki selain tinggi dan sukar jalannya, juga melalui hutan yang banyak dihuni binatang buas, belum lugi perampok dan setan. Akan tetapi San Hong menghibur hati mereka dan mengatakan bahwa dia mampu menjaga dirinya, dan dengan singkat menceritakan pertemuannya dengan dua orang kakek aneh tadi. Mendengar ini, ayahnya berseru.

   "Ahhh.....! jangan-jangan engkau bertemu dengan dua orang manusia sakti anakku. Aku pernah mendengar bahwa dipuncak Pegunungan Thian-san ini terdapat orang orang sakti yang memiliki ilmu seperti dewa."

   "Kukira juga begitu. Ayah. Manusia sakti atau bukan, aku hanya ingin menyerahkan tanduk yang sudah kujanjikan pada kakek pincang itu. Tidak enak rasanya kalau terus melanggar janji, Ayah."

   "Memang seharusnya demikian. Baiklah, pergilah, San Hong, akan tetapi berhati-hatilah engkau."

   San Hong segera berangkat. Dia berlari-lari mendaki gunung dan menuju ke puncak. Lembah di puncak itu dinamai orang Pek-ciok-san (Puncak Batu Putih) karena dari jauh sudah nampak sebongkah batu besar di puncak itu yang kalau di timpa sinar matahari siang berwarna putih. Pernah setahun yang lalu dia iseng iseng mendaki puncak yang tidak pernah dikunjungi manusia itu dan dia pernah terpesona oleh keindahan pemandangan alam di sana. Tempat yang indah dan sunyi sekali. Di puncak itu terdapat sebidang tanah datar yang hanya ditumbuhi rumput hijau segar dan di tengah-tengahnya terdapat batu putih itulah, Dia merasa heran mengapa kakek pincang itu mengatakan hendak ke puncak itu. Apakah dia seorang pertapa? Matahari mulai condong ke barat ketika dia tiba di dekat puncak. Karena khawatir kemalaman di jalan, biarpun dia sudah lelah sekali, San Hong mengerahkan tenaganya dan mempercepat pendakiannya.

   Tempat di puncak itu memang indah. Bukan saja dari tempat itu orang dapat menyaksikan keindahan tamasya alam di sekelilingnya, juga di waktu matahari terbit atau tenggelam, orang dapat menikmati pemandangan yang menakjubkan sekali. Di bagian tertinggi dari pegununan itu terdapat sebidang tanah yang merupakan petak rumput yang segar, dan di tengah-tengah lapangan rumput itu terdapat sebongkah batu yang besarnya melebihi sebuah rumah yang cukup besar. Putih bersih dan halus permukaannya seperti sebuah batu mata cincin raksasa. Orang-orang mengatakan bahwa itu adalah batu bulan. Di bagian pinggir petak rumput itu terdapat sebatang pohon yang besar dengan daun yang rindang, seperti sebuah payung raksasa yang mendatangkan keteduhan nyaman di waktu matahari sedang panas-panasnya.

   Pada waktu itu, di bawah pohon tampak ada lima orang kakek sedang duduk dalam lingkaran. Mereka bersila dan di tengah-tengah antara mereka terdapat sebuah meja besi kecil di mana ada guci arak dan cawan-cawannya. Agaknya mereka bercakap-cakap sambil minum arak. Lima orang inilah yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai datuk-datuk persilatan, terkenal dengan sebutan Thian-san Ngo-sian (Lima Dewa Gunung Thian-san)! Dua di antara mereka adalah Thay Lek Siansu, kakek kecil yang bertenaga raksasa dan pernah bertemu dengan San Hong tadi, dan yang ke dua adalah kakek pincang yang berjuluk Bu Eng Sianjin, ahli gin-kang yang juga pernah berjumpa dengan San Hong. Orang ke tiga dari Thian-san Ngo-sian adalah seorang hweslo berusia kurang lebih enam puluh lima tahun.

   Tubuhnya gendut, mukanya cerah dan selalu tersenyum lebar, bajunya selalu terbuka di bagian dada, agaknya dia selalu merasa gerah, dan dia terkenal dengan sebutan Pek Sim Siansu. Orang ke empat disebut Lui-kong Kiam-sian (Dewa Pedang Guntur) yang terkenal sekali dengan ilmu pedangnya. Dia seorang kakek berusia enam puluhan lebih, bertubuh tinggi kurus sikapnya pendiam dan berwibawa. Adapun orang ke lima dari Thian-san Ngo-sian adalah seorang kakek hampir tujuh puluh tahun yang pekaiannya seperti sastrawan, bersih dan rapi, sikapnya lemah lembut dan wajahnya tampan. Dia disebut Pek-ciang Yok-sian (Dewa Tabib Tangan Putih), terkenal sekali karena ilmu silatnya dan ilmu pengobatannya.

   Lima orang berilmu ini tidak mempunyai hubungan perguruan, namun mereka pernah bersumpah mengangkat saudara sejak muda dan mereka merupakan pendekar-pendekar budiman. Kini mereka sudah tua dan tinggal berpencar, akan tetapi sedikitnya sekali setahun mereka pasti mengadakan pertemuan di puncak Pek-ciok-san ini. Karena mereka mem pergunakan Thian-san sebagai tempat pertemuan, bahkan sebagai pusat, maka mereka dikenal sebagai Lima Dewa Thian-san. Pada hari itu mereka mengadakan pertemuan darurat, pertemuan penting sekali karena mereka berlima mendengar ukan adanya gerakan di luar Tembok Besar, jauh di utara, gerakan orang-orang Mongol yang kabarnya mempersiapkan diri menjadi suatu bangsa besar yang "mat kuat dan merupakan ancaman bagi negara dan bangsa.

   "Keadaan ini sungguh seperti datangnya mendung tebal dari utara yang akan mendatangkan banjir di negara kita. Akan tetapi bukan banjir air yang mengandung berkah, melainkan banjir darah. Apa yang akan mampu kita lakukan untuk membuyarkan mendung itu?"

   Demikian Thay Lek Siansu berkata.

   "Hemmm, urusan itu adalah urusan pemerintahan, bukan tugas kita. Biarlah para cerdik pandai dan para bijaksana yang menghambakan diri di Istana memikirkan hal itu. Dari pada pusing-pusing mari kita minum saja. Pek Sim Samheng, mengapa engkau tidak pernah mengisi cawanmu? Apakah engkau masih belum juga makan daging dan minum arak? Heran aku, apa saja isinya perutmu yang gendut itu!"

   Demikian Pek-ciang Yok-sin berseru. Dia menyebut Sam-heng (kakak ke tiga) kepada hwesio itu.

   Pek Sim Siansu yang sejak tadi tersenyum lebar, menjadi semakin cerah wajahnya dan dia tertawa bergelak mendengar ucapan itu. Dia memandang kepada saudara termuda itu.

   "Ha-ha-ha Ngo-te (Adik ke Lima), engkau berjuluk Yok-sian (Dewa Obat), apakah perlu kujawab pertanyaanmu itu? Dan selain tukang obat, engkau pun seorang hwesio, seorang pendeta, hal itu lebih lagi meyakinkan hatiku bahwa tentu engkau sudah tahu benar mengapa semua hwesio, kecuali engkau tentu saja, pantang minum arak dan makan daging! Dipandang dari segi batiniah maupun lahiriah makan daging dan minum arak merusak kesehatan. Tentang perutku yang gendut? Omitohud..... inilah perut orang yang tidak dipusingkan banyak persoalan dunia, Ngo-te? Ha-ha-ha-ha-ha!"

   Orang ke empat yang berjuluk Lui-kong Kiam-san, yang bertubuh tinggi kurus dan sejak tadi diam saja, kini memandang kepada empat orang saudaranya sebelum dia mengeluarkan suara.

   "Saudara-saudara sekalian, kita berkumpul hari ini karena menghadapi persoalan yang amat gawat. Kita semua telah mendengar akan ancaman yang datang dari utara itu. Memang amat mengerikan kalau sampai kekuatan yang amat besar dari utara itu menyerbu ke selatan dan terjadi perang. Siapapun yang menang atau kalah, yang jelas rakyat jelata yang menjadi korban dalam setiap peperangan. Banjir darah terjadi, kekejaman yang mengerikan terjadi. Lalu, apa yang dapat kita lakukan? Apa yang harus kita lakukan?

   Hal inilah yang terpenting bagi kita untuk merenungkan dan merundingkannya dalam pertemuan ini."

   "Siancai....., ucapan Si-te (Adik ke empat) memang tepat sekali. Kita harus memikirkan hal itu baik-baik. Bahaya mengancam di depan mata. Akan tetapi kita semua mengetahui bahwa peristiwa peristiwa besar yang terjadi di dunia ini sudah digariskan oleh kekuasaan Thian. Siapa yang mampu membelokkan garis itu? Siapa yang mampu menentang kekuasaan Tuhan? Betapapun pandainya manusia, akhirnya dia harus mengakui bahwa di luar kemampuannya terdapat suatu Kekuasaan yang Maha Kuasa, kekuasaan yang mengatur matahari, bumi dan bintang-bintang, kekuasaan yang menggerakkan awan-awan di angkasa, gelombang-gelombang lautan, kekuasan yang menumbuhkan rambut kita, menggerakkan jantung kita, kekuasaan yang menghidupkan dan mematikan. Kalau Thian menghendaki suatu saat hujan turun dengan derasnya sehingga terjadi banjir, kita manusia mampu berbuat apakah? Tak mungkin kita mampu menahan atau membatalkan turunnya hujan yang sudah diatur dan direncanakan oleh Yang Maha Kuasa!"

   Kata Bu Eng Siansu penuh semangat.

   "Omitohud.....!"

   Pek Sim Siansu berkata lagi sambil tersenyum lebar.

   "Itu baru ucapan yang benar dan patut kita renungkan. Ancaman bahaya besar dari utara itu merupakan suatu kenyataan, dan menurut ilmu perbintangan, agaknya sudah digariskan bahwa suatu waktu kekuatan dari utara itu akan menerjang dan menguasai seluruh tanah air di empat penjuru. Tidak ada akibat terjadi tanpa sebab. Thian Maha Adil, maka segala yang diputuskan Nya sudah pasti adil pula. Kalau memang penyerbuan dari utara itu terjadi, maka hal itu sudah dikehendaki oleh Tuhan dan itu sudah benar dan adil pula, walaupun kita tidak mengerti mengapa demikian dan di mana letak keadilannya. Kita hanya dapat memperkuat iman kita, mohon diampuni dosa dan mohon berkah dan kemurahan hati Nya."

   "Bagus sekali! Enak didengarnya, memang, akan tetapi pahit sekali hasilnya. Sam-te, apa manfaatnya kalau kita hanya berdoa saja? Rakyat tetap akan dilanda malapetaka, pembunuhan besar besaran, kejahatan merajalela. Kalau kita mendiamkannya saja, apa artinya selain ini kita mempelajari ilmu-ilmu dan bertapa? Akan sia-sia belaka semua kepandaian yang kita miliki. Kita ini manusia ingat? Seekor hewan pun akan berusaha untuk menghalau bencana yang mengancam dirinya, apalagi manusia seperti kita. Kalau kita hanya berdiam diri saja kita menjadi lebih rendah daripada binatang!"

   kata Thay Lek Siansu yang sejak tadi diam saja.

   "Kita harus berdaya upaya, kita harus bertindak, sesuai dengan kemampuan kita masing-masing."

   Semua orang memandang kepada orang pertama dari Thian-san Ngo-sian itu memandang penuh harapan.

   "Omitohud kalau Toa-heng (Kakak Tertua) yang bicara, selalu tepat dan menarik. Toa-heng kita tidak mungkin mampu menentang kekuasaan Tuhan yang terjadi di permukaan bumi ini, tidak mungkin berhasil membelokkan garis yang sudah ditentukan oleh Tuhan!"

   Kata Pek Sim Siansu.

   "Akan tetapi, tidak mungkin pula kalau kita hanya memandang semua kehancuran terjadi dan hanya berpangku tangan sambil berdoa saja!"

   Kata pula Pek-ciang Yok-sian. Thay Lek Siansu mengangkat tangan ke atas menyuruh mereka itu diam-diam dan dia lalu berkata suaranya tenang dan lirih namun jelas terdengar di sekitar tempat itu,

   "Saudaraku sekalian, dengarlah baik-baik. Semua yang kalian ucapkan tadi memang benar. Segala peristiwa yang terjadi di dunia ini sudah diatur dan digariskan oleh kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, dan kiranya segala yang dikehendakinya tidak akan mungkin dapat digagalkan oleh kekuasaan apapun juga di dunia ini. Juga benar bahwa semua peristiwa yang sudah dikehendaki oleh Tuhan, mempunyai sebab-sebab yang sudah terjadi, dan bahwa semua itu benar dan baik dan adil belaka. Sungguh tidak benar dan tidak mungkin berhasil kalau kita manusia berniat menentang kekuasaan Tuhan. Akan tetapi, hendaknya diingat bahwa Tuhan menciptakan kita sebagai manusia disertai akal budi dan pikiran, yang harus kita pergunakan dan manfaatkan untuk perbuatan yang benar, baik dan tepat."

   Dia berhenti sebentar dan terdengar Pek-ciang Yok-sian dengan suaranya yang lemah lembut.

   "Nah, itu benar! Kita harus turun tangan, berdiam saja sambil berdoa tidak ada manfaatnya!"

   "Omitohud,"

   Kata Pek Sim siansu.

   "Apa yang mampu dilakukan oleh pikiran akal budi dan kedua tangan kaki kita ini terhadap kekuasaan Tuhan? Tidak ada ilmu untuk mencegah tenggelamnya matahari yang menimbulkan kegelapan!"

   "Ji-wi (Kalian Berdua) benar semua. Memang tidak mungkin kita melawan kekuasaan Tuhan, akan tetapi juga tidak mungkin kita berdiam diri saja,"

   Kata Thay Lek Siansu dengan suaranya yang lantang dan jelas.

   "Kalau hujan. deras jatuh dan terjadi banjir, kita memang tidak dapat mencegah turunnya hujan akan tetapi setidaknya kita dapat melakukan sesuatu, berteduh misalnya, atau memakai payung dan melihat orang menjadi korban banjir, kita dapat menolong mereka semampu kita. Andaikata matahari tenggelam ke batas di senjakala, kita tidak mungkin menahan tenggelamnya matahari, akan tetapi setidaknya kita dapat menghadapi kegelapan malam dengan membuat api unggun atau penerangan lain. Demikian pula dengan ancaman penyerbuan, dari utara. Tentu saja urusan peperangan ditanggulangi oleh pemerintah dan pasukannya, akan tetapi, kita sendiri pun mampu melakukan sesuatu dalam hal. itu. Kalau terjadi perang, tentu terjadi banyak kekacauan dan tentu kejahatan muncul di mana-mana. Nah, di sinilah kita dapat berperan, yaitu mempergunakan kepandaian kita untuk menentang kejahatan yang timbul, melindungi mereka yang lemah tertindas, mencegah terjadinya kekejaman-kekejaman dengan segala tenaga yang ada pada kita."

   Empat orang saudaranya yang lebih muda mengangguk-angguk, tidak seorang pun membantah karena mereka tidak dapat melihat suatu pun alasan untuk tidak membenarkan pendapat saudara tertua itu. Memang, kalau mereka ber diam diri saja, menyerahkan segalanya kepada kekuasaan Tuhan, berarti mereka itu tidak mempergunakan anugerah Tuhan yang ada pada mereka, dan tidak mau membantu kekuasaan Tuhan. Andaikata orang terkena penyakit, walaupun sembuh tidaknya berada di tangan Tuhan, namun orang itu wajib untuk berikhtiar mencari obatnya dan menyembuhkan penyakitnya! Hidup merupakan ikhtiar, perjuangan untuk mempertahankan hidup, walaupun kehidupan itu sendiri ditentukan olehi Tuhan.

   "Semua itu benar belaka, Toa-heng akan tetapi, usia kita sudah lanjut, Giam-lo-ong (El-maut) sewakt waktu datang menjemput nyawa kita, dan dalam usia yang tua tenaga kita pun semakin lemah. Apa artinya tenaga orang-orang tua yang mulai lemah seperti kita?"

   Ucapan Lui-kong Kiam sian ini membuat empat orang tua yang lain termenung. Ucapan itu menyadarkan mereka bahwa betapapun lihainya mereka, betapapun besar semangat mereka, namun mereka harus melihat kenyataan bahwa mereka sudan berusia lanjut.

   "Omitohud.....! Kata-katamu seperti air dingin menyiram kepala pinceng yang gundul, Si-te. Pinceng sadar bahwa pinceng ini sudah tua renta dan sebentar lagi tidak ada gunanya. Engkau benar sekali!"

   
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ha-ha-ha, baru sekarangkah Sam-heng mengaku tua? Kalau aku, sudah sejak bertahun-tahun merasa diri sudah tua. Biarlah kita pergunakan segala ketuaan ini, segala sisa umur ini untuk melakukan kebaikan dan menentang kejahatan yang timbul karena adanya perang."

   Kata Pek-ciang Yo-sian.

   "Hernmm, ucapan Sam-te tadi memang ada betulnya, biarpun apa yang dikatakan Ngo-te juga benar. Mari kita pergunakan sisa usia kita untuk menentang kejahatan, akan tetapi dengan cara yang tepat. Kalau kita turun tangan sendiri, tenaga kita yang sudah tua ini tentu tidak akan banyak hasilnya.

   Satu-satunya cara bagi kita adalah mencari seorang murid yang tepat dan baik."

   Kata Bu Eng Sianjin."Omitohud, tepat sekali! Seorang murid yang baik, yang dapat kita warisi semua ilmu kita, kemudian dia mewakili kita yang sudah loyo dan tua ini untuk menghadapi semua bentuk kejahatan sehingga ilmu-ilmu yang selama ini kita pelajari tidak akan sia-sia!"

   Kata Pek Sim Siansu.

   "Hemmm, sungguh baik sekali! Akan tetapi, murid yang dapat menerima warisan ilmu kita haruslah yang benar-benar tepat dan cocok, dan dibutuhkan seoang calon murid yang selain bertulang juga berbakat dan berbatin mulia, manakan kita dapat memperoleh seorang murid seperti itu?"

   Kata Pek-ciang Yok-sian.

   "Hemmm, sungguh tepat. Siapakah diantara kita yang dapat mencari murid seperti itu? Siapa yang telah mempunyai calon?"

   Tanya Lui-kong Kiam-sian.

   "Aku mempunyai calon!"

   Tiba-tiba Thay Lek Siansu berseru.

   "Aku pun punya calon murid yang baik sekali!"

   Kata pula Bu Eng Sianjin.

   Selagi tiga orang saudara mereka memandang heran, tiba-tiba seorang pemuda tinggi besar muncul dari balik semak-semak dan berlari menghampiri mereka. Pemuda itu adalah Kwee San Hong yang membawa sepasang tanduk menjangan yang tadi dibawanya dari rumah. Dia sudah berjanji kepada Bu Eng Sianjin, kakek pincang yang dapat berlari seperti terbang bahwa kalau dia berhasil menangkap kijang atau menjangan itu, dia akan menyerahkan sepasang tanduknya kepada kakek pincang itu. Dan kebetulan sekali dia berhasil menangkapnya, membawa kijang itu pulang, lalu membawa sepasang tanduknya ke puncak bukit.

   Ketika dia melihat lima orang kakek itu, di antaranya dua orang kakek sakti yang pernah dijumpainya, dia lalu bersembunyi di balik semak-semak untuk mengintai mereka. Karena dia mengintai dari jauh, dia tidak dapat mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Kemudian, setelah mengintai cukup lama, dia pun muncul dan bermaksud menyerahkan tanduk kepada kakek pincang, apalagi melihat bahwa senja telah mendatang dan cuaca mulai gelap.

   "Nah, itu dia calonku!"

   Kata Thay Lek Siansu ketika melihat San Hong berjalan ke arah mereka.

   "Eh, dia itu calon muridku pula!"

   Kata Bu Eng Sianjin dengan heran.

   Tentu saja tiga orang saudara mereka itu memandang penuh perhatian kepada pemuda yang diaku sebagai calon murid yang memenuhi syarat oleh orang pertama dan orang ke dua dari Thian Ngo-sian. San Hong yang tidak tahu apa yang mereka bicarakan, segera menghadap Bu Eng Sianjin, melihat mereka semua duduk bersila di atas tanah, dia pun berlutut sambil menghadap Bu Sianjin dan berkata,

   "Locianpwe, saya datang untuk menyerahkan sepasang tanduk menjangan yang kebetulan saya tangkap. Inilah tanduk-tanduk itu". Diambilnya sepasang tanduk itu dari ikat pinggangnya dan diserahkannya kepada kakek pincang yang menerimanya dengan gembira.

   "Bagus sekali! Engkau seorang pemuda yang dapat memenuhi janji! Sukar jaman ini menemukan orang yang memenuhi janjinya!"

   Katanya sambil menerima tanduk itu tanpa mengucapkan terima kasih. Sementara itu, melihat Thay Lek Siansu, kakek kecil kurus yang bertenaga raksasa itu memandang kepadanya, dia pun memberi hormat.

   "Kiranya Lo-cian-pwe juga berada di sini. Terimalah hormat saya, Lo-cian-pwe."

   Thay Lek Siansu tertawa dan mengelus jenggotnya.

   "Ha-ha-ha, bagus sekali. Engkau seorang yang mengenal aturan! Bagus! Saudara-saudaraku, inilah pemuda yang kucalonkan tadi, dia pernah menawarkan bantuannya untuk meringankan beban bawaanku, karena dia kasihan melihat aku si tua renta membawa beban berat!"

   Mendengar ini, semua orang tertawa.

   "Ha-ha-ha, membantu Thay Lek Siansu membawa beban berat?"

   Mereka tertawa lagi.

   Bu Eng Sianjin juga berkata.

   "Dan dialah pemuda yang kucalonkan. Dia Juga menawarkan bantuannya untuk mengejar seekor menjangan yang sedang kukejar!"

   Kembali semua orang tertawa. Sim Siansu tertawa paling keras.

   "Ha ha-ha, orang muda yang baik! Engkau hendak membantu Bu Eng Siansu yang larinya seperti angin?"

   Wajah San Hong menjadi kemerahan. Dia tahu bahwa dirinya ditertawakan oleh lima orang kakek yang dia dapat menduga tentulah orang-orang sakti ini. Akan tetapi dia tidak marah karena tahu bahwa dibandingkan mereka, hanyalah seorang yang lemah dan bodoh Dia tahu betapa kakek kurus pendek yang tua renta itu memiliki tenaga yang entah berapa kali lipat lebih besar dari pada tenaganya sendiri yang bagi penduduk dusunnya sudah dikenal luar biasa dan juga dia menyadari betapa kakek pincang itu dapat berlari jauh lebih cepat darinya. Dia pun dapat menduga bahwa tentu tiga orang kakek yang lain itu memiliki kesaktian yang hebat pula maka dia pun merendahkan diri dan memberi hormat kepada mereka.

   "Saya Kwee San Hong memang telah bersikap lancang dan telah memperlihatkan kebodohan sendiri, harap Ngo-wi Lo cian-pwe (Lima Orang Kakek Pandai) memaafkan saya dan tidak mentertawakan saya. Sekarang, saya mohon diri untuk pulang ke bawah gunung."

   "Orang muda, tunggu dulu!"

   Tiba-tiba terdengar seruan Pek Sim Siansu dengan suara lantang. Mendengar ucapan ini San Hong menahan langkahnya, lalu membalik dan menghadapi mereka dalam jarak lima meter lebih.

   "Ada apakah, Lo-cian-pwe?"

   "Kwee San Hong, kesinilah dulu, kami ingin bicara denganmu."

   Kata Thay lek Siansu.

   "Maafkan saya, Lo-cian-pwe. Malam telah hampir tiba, saya harus pulang agar orang tua di rumah tidak mengkhawatirkan diri saya."

   "Hai, orang muda"

   Kata Pek-ciang Yok-sian.

   "Kami ingin bicara denganmu karena kami tertarik dan senang melihat engkau begini jujur, polos dan bodoh. Ha-ha-ha, belum pernah aku melihat seorang pemuda setolol engkau!"

   Lima orang kakek itu memandang penuh perhatian untuk melihat bagaimana tanggapan pemuda itu yang sengaja direndahkan oleh Si Dewa Obat yang tentu saja sengaja, hendak menguji bagaimana kalau pemuda itu menerima penghinaan orang.

   Sejenak sepasang mata San Hong yang lebar itu mengamati wajah kakek yang merendahkan dirinya, akan tetapi pandang matanya sama sekali tidak mengandung kemarahan, melainkan keheranan! mengapa orang tua yang tidak dikenalnya itu begitu kasar dan membodoh-bodohkan dia tanpa sebab. Lalu dia teringat betapa mereka tadi mentertawakan dia karena dia tidak dapat melihat bahwa dia berhadapan dengan dua orang sakti sehingga dia lancang menawarkan bantuannya. Dia pun mengerti betapa bodohnya dia dalam pandang mata lima orang kakek yang sakti ini. Dia lalu menundukkan pandang matanya dan dengan sejujurnya dia pun menjawab, suaranya masih tenang dan sama sekali tidak mengandung kemarahan,

   "Lo-cian-pwe berlima memang benar saya seorang yang tolol dan lancang karena itu maafkan saya. Saya tidak tepat berada di sini terlalu lama karena hanya akan mengganggu Ngo-wi Lo-cian pwe. Selamat tinggal."

   Dia membalikkan tubuhnya lagi dan hendak pergi.

   "Nanti dulu, San Hong."

   Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Bu Eng Sianjin, kakek pincang telah berdiri di depannya.

   "Engkau tidak boleh pergi begitu saja!"

   San Hong memandang heran.

   "Mengapa saya tidak boleh pergi, Lo-cian-pwe? Saya tidak mempunyai keperluan lain lagi di sini."

   "Tidak, engkau tidak boleh pergi!"

   Kata pula kakek pincang itu.

   "Aku yang melarangmu untuk pergi dan kau harus tinggal di sini bersama kami!"

   Dengan sengaja Bu Eng Sianjin meninggikan suaranya seperti orang yang memaksakan kehendaknya. Seperti juga Pek-ciang Yok-sian tadi yang menguji kesabaran dan kerendahan hati San Hong dengan mencelanya tolol, kini Bu Eng Sianjin juga hendak mengujinya bagaimana kalau pemuda itu menghadapi kekerasan dan ancaman.

   Kini San Hong mengerutkan alisnya ketika mendengar ucapan kakek pincang itu.

   "Lo-cian-pwe, mengapa hendak memaksa saya tinggal di sini?"

   "Tidak perlu banyak cakap, pendeknya aku melarang engkau pergi dan harus tinggal di sini."

   "Hemmm, tak kusangka bahwa, seorang yang sakti seperti Lo-cian-pwe ternyata tidak berbudi baik dan bahkan tidak mengenal budi orang.

   "Pemuda itu mencela.

   "Eh? Kaumaksudkan bahwa karena engkau tadi memberi sepasang tanduk menjangan itu kepadaku, lalu aku harus membalas budimu, begitu?"

   "Sama sekali tidak, Lo-cian-pwe Ayahku mengajarkan bahwa kalau memberikan sesuatu kepada siapapun, harus dengan hati ikhlas dan tidak mengharapkan balasan. Saya hanya memperingatkan Lo-cian-pwe bahwa tidak bijaksana membalas niat baik orang dengan kekerasan dan ancaman."

   "Ha-ha-ha, pendeknya aku melarang engkau pergi, habis kau mau apa?"

   Kata pula Bu Eng Sianjin dengan suara yang tinggi dan memandang rendah.

   Sepasang mata yang lebar itu terbelalak, lebih merasa heran daripada marah.

   "Tidak akan ada yang dapat melarang saya, Lo-cian pwe. Dilarang dan dihalangi pun, tetap saya akan pergi dari sini, pulang ke rumah."

   "Ha-ha-ha, engkau tahu bahwa engkau tidak akan mampu melawan aku, San Hong. Apalagi menghadapi kami berlima. Kau berani menentang kami?"

   "Saya tidak berani menentang Ngo-wi Lo-cian-pwe, orang-orang tua yang sakti dan saya hormati, akan tetapi saya berani menentang perbuatan yang tidak benar dari siapapun juga. Sudahlah, saya akan pergi!"

   San Hong mengangkat kaki hendak melangkah pergi, akan tetapi Bu Eng Sianjin menghalangi jalannya. Melihat ini, San Hong lalu menggunakan kedua tangannya untuk mendorong kakek itu ke samping. Akan tetapi, dia merasa seperti mendorong sebatang pilar saja yang tertanam ke dalam lantai batu. Sedikitpun tidak bergerak tubuh kecil itu oleh dorongannya.

   "Ha-ha-ha, engkau tidak berdaya, engkau kalah. Berlututlah dan minta ampun, baru nyawamu akan kuampuni, dan engkau harus berjanji untuk mentaati semua perintah kami!"

   Kata pula Bu Eng Sianjin yang merasa puas melihat keberanian dan ketabahan hati pemuda itu, dan ingin menguji terus.

   San Hong yang tidak menyadari bahwa dia diuji, kini memandang dengan, mata terbelalak mengandung kemarahan.

   "Wah, sungguh benar kata ayah bahwa saya harus berhati-hati berhadapan dengan orang. Saya telah salah sangka. Kiranya Lo-cian-pwe, yang saya sangka orang sakti yang bijaksana, hanyalah orang jahat yang menggunakan kepandaian untuk bertindak sewenang wenang!"

   "Sudah, jangan banyak cakap. Berlututlah dan minta ampun, atau aku akan membunuhmu sekarang juga!"

   Bentak Bu Eng Sianjin sambil mengamangkan tongkat bututnya ke atas.

   "Tidak! Lebih baik saya mati dibunuh daripada harus berlutut minta ampun karena saya tidak bersalah!"

   "Apa? Kau berani melawan?"

   Bentak Bu Eng Sianjin dan tongkatnya bergerak cepat. San Hong hendak merampas tongkat yang menyambar ke arah dadanya itu, akan tetapi terkamannya luput dan tahu-tahu ujung tongkat telah menotok pundaknya dan dia pun roboh lemas. Lalu tongkat itu beberapa kali menotok bagian tubuhnya yang berada di depan dan San Hong merasa betapa tubuhnya nyeri-nyeri seperti ditusuk-tusuk oleh ratusan batang senjata runcing.

   "Hayo kau minta ampun, kalau tidak akan kusiksa lebih hebat lagi sebelum kubunuh!"

   Bu Eng Sianjin berseru. Pemuda itu menggeliat-geliat menahan kenyerian yang menyiksanya.Wajahnya pucat dan peluh membasahi seluruh tubuhnya bukan karena takut melainkan karena menahan nyeri, akan tetapi sedikitpun tidak keluar keluhan dari mulutnya Tidak, dia harus menahan diri dan tidak memberi kepuasan kepada kakek iblis ini melihat dia mengeluh, apalagi minta ampun!

   "Orang tua jahat, biar kau siksa dan kau bunuh, aku tidak sudi minta ampun"

   Teriaknya. Kini dia melihat keanehan. Empat orang kakek lainnya sudah berada di situ, mengelilinginya dan kakek yang menyiksanya itu menggerakkan tangan kiri menepuk dan menotok tubuhnya beberapa kali dan dia pun dapat bergerak kembali. Rasa nyeri itu lenyap sama sekali dan kini kakek pincang itu merangkulnya dan membantunya bangkit berdiri.

   "Bagus sekali, San Hong. Engkau lulus ujian !"

   San Hong memandang bingung, apalagi ketika empat orang kakek yang lain juga memegang lengannya, merangkul pundaknya dan merekapun memuji-muji dengan wajah girang.

   "Apa..... apa artinya semua ini? Apakah Ngo-wi Lo-cianpwe hendak mempermainkan saya?"

   Kini Thay Lek Siansu yang menghadapinya.

   "Sama sekali tidak, San Hong. Kami tadi hanya mengujimu dan ternyata engkau lulus ujian. Engkau dihina akan tetapi tidak mudah tersinggung. Dikatakan bodoh, engkau melihat kenyataan bahwa engkau memang bodoh dan mengakuinya dengan jujur. Diancam dan disiksa, akan tetapi engkau tetap tabah dan tidak mau menyerah. Ini tandanya bahwa engkau jujur, lembut, penyabar, adil, tidak lemah, gagah perkasa dan pemberani, tabah menghadapi ancaman maut sekalipun. Dan yang lebih pada itu semua, engkau bodoh dan ini yang amat baik sekali!"

   Semua kakek itu mengangguk-angguk dan semua tersenyum ramah kepada San Hong.

   San Hong mengerutkan kening karena dia masih belum mengerti apa artinya semua ini dan mengapa pula orangorang aneh ini mengujinya. Dan lebih tidak mengerti dia mengapa kebodohannya membuat mereka menjadi demikian girang dan kebodohannya dipuji oleh mereka.

   "Saya harap Ngo-wi Lo-clan-pwe tidak terlalu memuji saya. Akan tetapi sungguh saya merasa heran sekali, mengapa kebodohan saya menerima pujian? Ataukah Locian-pwe hanya hendak mengejek saja?"

   "Sama sekali tidak, San Hong. Memang kebodohan dan merasa dirinya bodoh merupakan syarat utama yang paling penting bagi seseorang yang akan mempelajari sesuatu. Kertas yang terbaik untuk dilukis atau ditulisi adalah kertas yang bersih dan kosong. Gelas yang akan mampu menerima aliran air adalah gelas yang kosong. Seorang murid seperti engkau inilah yang paling tepat untuk menerima ilmu-ilmu dari kami, karena engkau bagaikan kertas masih putih bersih, bagaikan gelas masih kosong!"

   "Murid? Menerima ilmu.....? Apa yang Lo-cian-pwe maksudkan?"

   "San Hong, ketika aku dan juga Ji-te bertemu denganmu, kami sudah tertarik sekali dan ingin mengambil engkau sebagai murid. Kemudian kami berlima bertemu di sini dan kami membutuhkan murid, maka ketika engkau datang, kami sengaja hendak mengujimu. Ternyata engkau lulus ujian dan kami berlima bersepakat untuk mengambil engkau sebagai murid kami! Ketahuilah, kami berlima yang di dunia kang-ouw disebut Thian-san Ngo-sian dan aku sendiri disebut Thay Lek Siansu, Ji-te ini Bu Eng-Sianjin, Sam-te Pek Sim Siansu, Si-te Lui-kong Kiam-sian dan ini Ngo-te Pek ciang Yok-sian. Bagaimana, orang muda maukah engkau menjadi murid kami?."

   San Hong terbelalak. Sedikitpun dia tidak pernah menduga bahwa dia, seorang pemuda dusun yang bodoh, akan diambil murid oleh lima orang sakti yang memiliki kepandaian amat tinggi. Dan sekaligus lima orang sakti menjadi gurunya Tentu saja dia merasa girang bukan main dan seketika dia menjatuhkan diri berlutut.

   "Tentu saja saya mau dan menghaturkan terima kasih atas budi kemuliaan Ngo-wi. Saya merasa seperti mendapatkan bulan dan bintang! Akan tetapi, saya harus mendapatkan perkenan dulu dari ayah bunda saya. Oleh karena itu, ijinkanlah saya untuk pulang dan mengabarkan hal ini kepada orang tua saya agar mereka pun berkesempatan menghaturkan terima kasih kepada Ngo-wi Lo-cian-pwe."

   Lima orang itu saling pandang. Ada satu segi lagi dari kebaikan pemuda ini yang menyenangkan hati mereka. Pemuda ini ternyata juga seorang anak yang berbakti! Thay Lek Siansu memberi isyarat kepada empat orang adiknya dan dia pun berkata, suaranya tegas.

   "San Hong, kami telah menerima engkau sebagai murid, hal ini bukan main-main. Di antara seratus ribu orang pemuda, belum tentu ada satu yang dapat kami ambil sebagai murid. Engkau boleh mengabarkan kepada orang tuamu, akan tetapi kami pun ingin melihat kesungguhan hatimu. Kami akan menanti di sini sampai besok pagi, menantimu. Begitu matahari bersinar, kami akan meninggalkan tempat ini. Kalau engkau sudah datang kembali, kami akan membawamu sebagai murid, kalau sampai saat itu engkau belum kembali, kami akan meninggalkanmu dan kami tidak jadi menjadi guru-gurumu."

   Diam-diam San Hong terkejut. Diam-diam dia menghitung-hitung dan dia harus melakukan perjalanan semalam suntuk, dengan cepat pula kalau dia ingin agar tidak ditinggalkan mereka! Akan tetapi, dia seorang pemuda yang berkemauan keras, maka dia pun menjawab tanpa ragu-ragu lagi.

   "Baik, Lo-cian pwe. Saya akan pulang sekarang juga dan secepatnya kembali lagi ke sini!"

   Berkata demikian, dia lalu memberi hormat dan cepat pergi dari situ selagi cuaca belum gelap benar. Lima orang kakek itu tersenyum-senyum dan Thay Lek Siansu berbisik.

   "Ujian terakhir kalinya untuk melihat keteguhan hatinya. Akan tetapi tanpa bantuan, mana mungkin dia mampu kembali ke sini sebelum fajar menyingsing"

   Mereka lalu berkelebat lenyap dari situ. Lima orang kakek ini disebut Thian san Ngo-sian, Lima Dewa Gunung Thian-san dan ilmu kepandaian mereka memang hebat bukan main. Di waktu itu, nama besar Thian-san Ngo-sian terkenal di seluruh, dunia kang-ouw dan tidak ada yang tidak merasa segan mendengar nama mereka, bahkan para datuk sesat sekalipun merasa gentar mendengar nama ini dan tidak ada yang berani sembarangan mencari perkara dengan mereka. Sebaliknya, sudah puluhan tahun mereka ini mengundurkan diri dari dunia kang-ouw, hidup sebagai pertapa-pertapa tanpa keluarga di dalam goa-goa di puncak puncak Pegunungan Thian-san, tempat mereka tersembunyi di dalam goa-goa dan tidak ada orang lain yang mengetahuinya.

   Ayah San Hong, yaitu Kwee Cun, seorang petani yang hidup berbahagia di dusun Po-lim-cun, malam itu merasa agak khawatir kalau mereka mengingat putera mereka. Biarpun San Hong tadi telah berpamit dan mengatakan bahwa putera mereka itu mungkin harus bermalam, namun Kwee Cun dan isterinya tidak urung merasa gelisah juga. Puncak Thian-san merupakan puncak yang jarang dikunjungi orang, penuh dengan hutan belukar dan binatang buas.

   Kwee Cun yang berusia lima puluh tahun itu hidup sederhana namun cukup untuk makan, pakaian, bersama isterinya yang rajin membantunya, dan mereka berdua merasa cukup berbahagia. Putera mereka San Hong yang merupakan anak tunggal tidak mengecewakan, rajin pula bekerja di sawah ladang dan amat berbakti sehingga kini Kwee Cun dan isterinya hanya mengerjakan tugas yang ringan ringan saja. Pekerjaan yang berat semua dilakukan oleh putera mereka yang bertenaga gajah itu.

   Malam itu, sampai larut malam mereka belum tidur, masih rebah agak gelisah di atas pembaringan dalam kamar, mereka. Tidak adanya San Hong di kamar sebelah membuat mereka merasa kehilangan, apalagi mereka membayangkan putera mereka itu seorang diri di puncak gunung yang menyeramkan itu.

   "Ah, anak kita San Hong itu sungguh keras hati. Mengapa dia begitu bersusah-payah untuk mengantarkan tanduk menjangan itu kepada seorang kakek yang berada di puncak gunung?"

   Isteri Kwee Cun berkata dengan nada menyesal.

   "Seharusnya begitu"

   Jawab suaminya.

   "Seorang anak yang baik, harus dapat memenuhi janjinya. Apalagi dia berjanji kepada seorang kakek yang menurut dia memiliki kesaktian! Sudah lama aku mendengar bahwa di puncak terdapat banyak orang sakti yang bertapa. Agaknya San Hong berjumpa dengan orang-orang sakti. Siapa tahu hal itu akan memberi hikmah dan menambah pengetahuannya."

   "Pengetahuan apa lagi?"

   Bantah isterinya.

   "Dia sudah pandai membaca menulis, pandai bekerja. Mau apa lagi? Kita hidup di dusun dan seorang dengan pengetahuan seperti anak kita itu sudah jarang terdapat di dusun sini....."

   Tiba-tiba dua orang suami isteri itu terkejut dan serentak bangkit duduk di atas pembaringan mereka, mata mereka terbelalak dan mulut ternganga ketika melihat betapa di dalam kamar mereka itu berdiri lima orang kakek! Mereka itu muncul begitu saja seperti setan, dan tahu-tahu pintu kamar mereka telah terbuka. Mereka muncul seperti bayangan saja, tanpa mengeluarkan suara.

   "Kwee Cun, kami adalah Thian-san Ngo-sian, sengaja datang untuk bertemu dengan kalian berdua,"

   Terdengar suara seorang di antara mereka yang bertubuh kecil kurus dan pendek.

   Kwee Cun adalah seorang petani yang banyak membaca kitab dan pengetahuannya lebih daripada para petani biasa Melihat munculnya lima orang kakek secara aneh itu saja sudah timbul dugaan dalam hatinya bahwa mereka ini tentulah orang-orang sakti, berbeda dengan ketahyulan para petani lain yang tentu akan menganggap mereka itu siluman siluman. Maka dia pun cepat berlutut di atas pembaringan, diturut oleh isterinya yang gemetar ketakutan.

   "Harap Ngo-wi Lo-cian-pwe maafkan kami, karena tidak mengerti lebih dulu akan kunjungan Ngo-wi, maka kami tidak menyambut dengan sepatutnya."

   Melihat sikap dan mendengar ucapan itu, lima orang kakek itu saling pandang dengan sinar mata gembira dan Thay Lek Siansu lalu tertawa dan berkata,

   "Ha-ha-ha, kiranya ayah San Hong adalah orang yang mengenal sopan santun, bagus, bagus! Kwee Cun, kami datang untuk memberitahu bahwa kami berlima ingin sekali mendidik anak kalian San Hong menjadi murid kami dan mewariskan ilmu-ilmu kepadanya agar kelak dia menjadi seorang yang berguna bagi masyarakat. Kami harap kalian tidak berkeberatan. Sebentar lagi putera kalian itu akan pulang dan memberitahukan hal ini kepada kalian. Kami harap kalian meluluskan permintaannya dan membiarkan dia pergi belajar ilmu kepada kami."

   Mendengar ini, bukan main rasa girang dan bangga dalam hati Kwaa Cun. Puteranya menjadi murid lima orang sakti yang memperkenalkan diri sebagai Lima Dewa Gunung Thian-san!

   "Kami..... kami bersyukur sekali dan berterima kasih kepada Ngo-wi Lo-cian-pwe....."

   Kata Kwee Cun.

   Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bagus! Sudah kami duga! Seorang pemuda seperti San Hong pasti mempunyai ayah dan ibu yang bijaksana. Kwee Cun, sepergi putera kalian, tentu kalian kehilangan tenaga pembantu kehidupan kalian, oleh karena itu sedikit bantuan kami ini dapat kalian pergunakan untuk hidup yang layak!"

   

Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini