Dendam Si Anak Haram 15
Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
"Makian yang dilontarkan kepada Kwan Bu bahwa dia seorang anak haram yang hina hanya akan dikeluarkan oleh mulut orang yang lebih hina lagi! Saya sendiri telah mengucapkan makian itu Locianpwe, Bahkan sebagai anak haram, dan saya menyesal sekali, kini terbuka mata saya bahwa manusia boleh menyebutnya anak haram, namun tidak haram di mata Tuhan! Dia anak yang tidak berdosa, yang tidak tahu apa-apa. Ibunya pun seorang wanita yang bersih, yang melahirkan dia karena kekejian seorang pria yang memperkosanya. Dapatkah kita menyalahkan Ibunya atau si anak sendiri yang terlahir karena kehendak Thian pula, melalui perbuatan keji orang lain? Tidak Locianpwe, kalau Lauw-Supek menganggap dia sebagai seorang anak haram yang terlalu rendah untuk berunding dengan Locianpwe, maka Supek keliru dan pandangannya dangkal sekali!"
Debar pada jantung Kwan Bu makin cepat dan diam-dia ia merasa terharu, juga girang sekali-Sungguh tidak pernah disangkanya bahwa ucapan seperti ini akan keluar dari mulut gadis yang biasanya sombong dan angkuh ini, yang lain-lain juga diam saja, diam mempertimbangkan ucapan gadis itu dan karena mereka semua terdiri dari orang-orang gagah yang memiliki sifat adil, maka diam-diam mereka pun dapat membenarkan pendapat itu. Loan Khi Tosu mengangguk-angguk.
"Hemm, omonganmu bukan semata membela pemuda itu, akan tetapi mengandung kebenaran, lanjutkanlah."
"Hal itu tadi saya kemukakan kepada Locianpwe hanya untuk menebus kesalahan saya yang dahulu mempelopori makian anak haram kepada diri Kwan Bu, agar didengar oleh semua orang kalau saya menarik kembali segala makian itu dengan penyesalan yang mendalam dan bahwa saya sebagai pemakinya malah jauh lebih rendah dari pada orang yang saya maki.."
"Bu-Siocia..."
Kwan Bu berseru perlahan, keluhan hatinya yang amat terharu. Akan tetapi Siang Hwi seolah-olah tidak mendengarnya, padahal sebenarnya gadis ini tidak berani memandang kepada pemuda itu, khawatir kalau-kalau keharuan akan mengurangi kekerasan hatinya yang sudah bulat untuk membela Kwan Bu di depan para tokoh Bu-Tong-Pai ini.
"Locianpwe, tadi Lauw-Supek mengatakan bahwa Kwan Bu adalah orang yang telah mengakibatkan tewasnya banyak pejuang, termasuk Ayah saya. Anggapan seperti ini pernah pula saya miliki, karena itu saya tidak menyalahkan Lauw-Supek yang mempunyai anggapan seperti itu karena tidak tahu akan duduknya hal yang sebenarnya. Kwan Bu sama sekali bukan seorang kaki tangan pengawal Kaisar, bukan pula pembantu pejuang. Dia seorang yang bebas tidak terlibat dan tidak mau melibatkan diri dengan permusuhan antara mereka yang pro dan kontra Kaisar. Pendiriannya merupakan ketaatan terhadap mendiang Ayah. Dahulu Ayah sayapun seorang yang tidak sudi melibatkan diri dengan pertempuran antara bangsa sendiri, tidak membantu mereka yang anti maupun yang pro Kaisar. Sayang muncul peristiwa terbunuhnya orang tua Liu Kong sehingga Ayah terseret dan terlibat sehingga mengalami kematian dalam pertempuran, Kwan Bu sama sekali tidak pernah membantu pengawal dan kalau beberapa kali dia secara kebetulan datang dengan waktu yang sama dengan pengawal-pengawal Istana, hal itu di luar kehendaknya dan di luar pengetahuannya. Dan karena kebebasannya itulah Kwan Bu dimusuhi dua pihak, baik para pengawal maupun para pejuang menganggapnya musuh."
Dengan panjang lebar Siang Hwi menuturkan tentang diri Kwan Bu. semenjak masih kanak-kanak tinggal di rumah keluarga Bu sebagai kacung atau anak seorang pelayan, sampai menjadi dewasa menjadi murid Pat-Jiu Lo-Koai. Diceritakan betapa Kwan Bu membela keluarga Bu yang diserang oleh para pejuang. Diberitakan pula pembelaannya ketika keluarga Bu yang diserang oleh para Panglima pengawal, kemudian betapa dalam usahanya mencari musuh besar Ibunya, Kwan Bu menyerbu ke Hek-Kwi-San karena mengira bahwa Sin-To Hek-Kwi adalah musuh besarnya sehingga ketika secara kebetulan para pengawal Istana juga menyerbu Hek-Kwi-San dibantu oleh dua orang murid lain dari Pat-Jiu Lo-Koai, Kwan Bu dengan sendirinya disangka membantu para pengawal membasmi para pejuang.
"Demikianlah, Locianpwe. Sudah jelas bahwa Kwan Bu bukanlah seorang hina, bukan pula seorang jahat, melainkan seorang yang bernasib malang sejak dilahirkan. Dia benar Sute dari Phoa Siok Lun yang jahat, akan tetapi tahukah Locianpwe di mana Siok Lun itu sekarang? Telah mati, dan siapa pembunuhnya? Bukan lain Kwan Bu sendiri yang terpaksa membunuhnya karena Suhengnya amat jahat. Masihkah Locianpwe dan para tokoh Bu-Tong-Pai yang gagah perkasa dan adil menganggap dia seorang pemuda jahat?"
Selagi semua orang yang mendengar penuturan panjang lebar dari Siang Hwi itu termangu dan Kwan Bu sendiri menjadi terharu tiba-tiba terdengar suara yang parau dan keras menyakitkan anak telinga.
"Ha-ha-ha-ha, apa saja yang tidak dilakukan wanita yang sedang dimabok Cinta. Bocah ini telah membunuh Suhengnya sendiri, membunuh Ayahnya sendiri, masih tidak dikatakan jahat! Ha-ha-ha!"
Semua orang menengok dan terkejut karena ternyata tempat itu telah terkurung oleh sedikitnya lima puluh barisan pengawal yang agaknya tadi mengurung secara diam-diam dan baru sekarang muncul setelah terdengar suara itu. Yang tertawa adalah seorang kakek tua sekali, rambutnya panjang terurai berwarna hijau, tubuhnya yang kecil kurus tampaknya lemah sekali, pakaiannya adalah pakaian pengawal bersulam benang emas yang indah, Di kanan kiri kakek ini muncul pula Gin-San-Kwi Lu Mo Kok, pengawal nomor satu dari Istana Kaisar, sedangkan yang seorang lagi adalah Kim I Lohan, Hwesio yang menjadi pengawal, seorang tokoh yang meninggalkan Siauw-lim-si. Para anak buah Bu-Tong-Pai yang jumlahnya sepuluh orang itu bersiap-siap, meraba gagang senjata masing-masing,
Akan tetapi Loan Khi Tosu mengangkat tangan memberi isarat agar anak buahnya bersabar, Adapun Kwan Bu yang melihat Gin-San-Kwi Lu Mo Kok dan Kim I Lohan, dua orang musuh lama, maklum bahwa keadaan para anak murid Bu-Tong-Pai dan dia sendiri terancam bahaya, melihat dari banyaknya tentara pengawal yang mengurung, Dia tidak mengenal Panglima baru yang amat tua itu. Yang ia khawatirkan adalah keselamatan Siang Hwi! Baru ia memikirkan pula keselamatan Giok Lan dan Kwee Cin, dia bersikap tenang dan hanya memandang penuh kewaspadaan. Loan Khi Tosu, wakil ketua Bu-Tong-Pai yang bersikap tenang itu, kini menjadi terkejut dan mukanya berubah merah ketika ia mengenal kakek berpakaian Panglima pengawal yang berambut panjang putih, Sinar mata wakil ketua Bu-Tong-Pai ini mengeluarkan pancaran kemarahan,
"Ha-ha-ha. sungguh kebetulan sekali, para pemberontak Bu-Tong-Pai dan seorang pentolannya, Sekali ini kita mendapat kakap!"
Kakek berambut panjang itu tertawa lagi, Ucapan ini disusul suara ketawa Gin-San-Kwi Lu Mo Kok dan Kim I Lohan. Loan Khi Tosu melangkah maju, berdiri tegak dan menudingkan telunjuknya ke arah kakek rambut putih itu,
"Ho-Sim Pek-Mo, jangan berkecil hati kalau Pinto menghapus penghormatan kepada orang yang lebih tua seperti engkau, Dahulu engkau adalah sahabat baik kami pimpinan Bu-Tong-Pai, yang kuhormati, akan tetapi sekarang ternyata bahwa engkau hanyalah seorang penjilat Kaisar yang hina!"
Mendengar disebutnya nama Ho-Sim Pek-Mo, semua orang terkejut, Semua murid Bu-Tong-Pai pasti mengenal nama besar ini yang selalu dipuji-puji dan dikagumi tokoh-tokoh Bu-Tong-Pai,
Kwee Cin, Giok Lan, Siang Hwi dan Kwan Bu sebagai tokoh-tokoh muda yang belum pernah mendengar nama besar tokoh tua ini, hanya memandang dan menduga bahwa kakek kurus kecil ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, Julukannya saja sudah menyeramkan dan aneh, Ho-Sim Pek-Mo (Iblis Putih Baik Hati), sudah disebut iblis akan tetap baik hati! Hal ini sebetulnya adalah karena sepak terjang kakek ini yang puluhan tahun lamanya menggemparkan dunia kang-ouw, Sepak terjangnya aneh. Dia ganas sekali menghadapi penjahat-penjahat, ganas seperti iblis sendiri, akan tetapi dia bersikap seperti seorang pendekar budiman terhadap mereka yang lemah tertindas, karena semenjak muda rambutnya sudah putih, maka dia dijuluki Pek-Mo (Iblis Putih] oleh para penjahat akan tetapi mendapat sebutan Ho-Sim (Hati Baik) oleh dunia kang-ouw,
"Eh, Loan Khi Tosu, tak perlu kau putuskan persahabatan, memang sudah putus dengan sendirinya dalam jaman yang kacau ini! Bukan salahmu... bukan salahku, Dahulu, di waktu jaman aman, setiap kali aku datang berkunjung ke Bu-Tong-Pai, engkau dan Thian Khi Tosu menyambutku sebagai sahabat, kita bermain thioki (catur) sampai tiga hari tiga malam penuh kegembiraan! Kemudian muncul pemberontakan-pemberontakan yang mengakibatkan perpecahan, Bu-Tong-Pai memilih pihak pemberontak, itu adalah haknya, akan tetapi aku memilih pihak pemerintah, ini pun hakku. Tidak perlu disebut siapa benar siapa salah karena memang manusia memiliki pendapat masing-masing, Dan kini kita bertemu bukan sebagai sahabat, melainkan sebagai musuh, ini pun kehendak nasib! Betapapun juga, kedatanganku ke sini sama sekali bukan untuk menangkap pemberontak-pemberontak Bu-Tong-Pai namun semula hanya untuk mengejar dan menangkap dia itu!"
Kakek itu menuding kearah Kwan Bu,
"Siapa kira, kami di sini bertemu dengan para pemberontak-pemberontak Bu-Tong-Pai, hal ini sekaligus kami dapat menangkap sekawanan pemberontak Ha-ha-ha!"
Kwan Bu mengerutkan keningnya, dan bertanya, suaranya tenang,
"Locianpwe, biarpun keadaan memaksaku beberapa kali bentrok dengan pihak pengawal, akan tetapi saya pribadi tidak mempunyai permusuhan dengan pihak pengawal, Mengapa pula sekarang Locianpwe mengejar dan hendak menangkap aku?"
"Wah, bocah engkau murid Pat-Jiu Lo-Koai, bukan? Dan bukankah engkau telah membunuh Phoa Siok Lun dan Liem Bi Hwa dua orang pembantu kami yang setia? Mereka itu adalah Suheng dan Sumoimu, dan mereka itu adalah orang-orang muda yang telah membela pemerintah bangsanya, orang-orang gagah yang patut dipuji, akan tetapi engkau telah membunuhnya!"
"Tidak benar sama sekali, Locianpwe, Mereka memang Sumoi dan Suhengku, akan tetapi hanya Sumoi yang benar seorang murid Suhu yang baik, akan tetapi sayang sekali, saya tidak dapat mengatakan bahwa Suheng adalah seorang murid yang baik. Dan pula, tidak benar kalau dikatakan saya yang membunuh mereka karena mereka berdua itu saling bunuh sendiri,"
"Engkau yang menjadi gara-garanya, aku sudah mendengar akan apa yang terjadi! Sama saja, engkau yang membunuh mereka, karena itu, engkau harus menyerahkan diri menjadi tawanan kami."
Kwan Bu tersenyum pahit.
"Urusanku dengan dia adalah urusan pribadi, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kerajaan, tidak ada sangkut pautnya dengan kedudukan pengawal, Saya tidak merasa bersalah terhadap kerajaan, tentu saja saya keberatan kalau dijadikan tawanan,"
"Berani engkau melawan aku, orang muda?"
"Keberanian hanya dipakai berlandaskan kebenaran, karena saya merasa benar dalam hal ini, tentu saja saya berani membela diri terhadap siapapun juga."
"Bocah sombong!"
Gin-San-Kwi Lu Mo Kok membentak marah dan sudah menerjang maju, menyerang Kwan Bu dengan senjatanya yang luar biasa, yaitu kipas perak yang lihai sekali dan yang sudah mengangkat namanya tinggi-tinggi sehingga julukannya pun Gin-San-Kwi (Si Kipas Setan Perak),
"Wirrrr... siuuuuuttt...!"
Angin besar datang dari kipas itu disusul luncuran gagang kipas yang runcing menotok kearah leher, pusar, mata, dan dada!
Hebat bukan main gerakan ini dan amat cepat susul menyusul sehingga tak dapat diikuti oleh pandangan mata, Mula-mula ujung gagang kipas meluncur ke arah leher, sedetik kemudian disusul dengan serangan kepusar, kemudian mata dan selanjutnya menyerang dada, Kwan Bu yang sudah siap dan waspada menggunakan kelincahan tubuhnya mengelak, akan tetapi keringat dingin mengucur di lehernya ketika ia melihat betapa ujung gagang kipas itu melakukan serangan-serangan berikutnya secara cepat sekali, Hampir saja ia tidak dapat mengelak dari tusukan terakhir ke ulu hatinya kalau ia tidak cepat menekan ke tanah dengan ujung kaki sehingga tubuhnya mencelat ke belakang dan berjungkir balik, Ketika pemuda ini sudah turun lagi ke atas tanah tangannya sudah memegang pedang Toat-Beng-Kiam yang merah darah!
"Omitohud...! Pedang Toat-Beng-Kiam yang jahat!"
Bentak Kim I Lohan dan angin pukulan yang amat kuat menyambar dari samping ketika Kim-coa-pang (Tongkat Ular Emas) menyambar dari kanan kearah kepala Kwan Bu. Pemuda ini cepat mengelak dengan merendahkan diri dan meliuk ke kiri, kemudian sinar merah darah berkelebat ketika ia menggerakkan pedang Toat-Beng-Kiam dari bawah membabat pergelangan tangan kanan Hwesio itu.
"Singggg... tranggg,!"
Karena babatan pedang itu amat cepat dan tidak terduga oleh Hwesio pengawal itu, yang dilakukan sebagai balasan sambaran tongkatnya tadi, terpaksa Kim I Lohan memutar tongkat dan menangkis dari samping, Hwesio ini sudah mengenal keampuhan Toat-Beng-Kiam, maka ia tidak menggunakan seluruh tenaga dan membiarkan tongkatnya terpental sehingga tidak terancam bahaya terpotong oleh pedang pusaka yang tajamnya luar biasa itu,
"Hiaaattttt...!"
Kembali kipas perak di tangan Lu Mo Kok menyambar, kini mengancam pelipis, Ketika Kwan Bu mengelebatkan pedang untuk menangkis sambil merendahkan tubuhnya, tiba-tiba tongkat yang berubah menjadi sinar kuning emas bergulung itu telah membabat kedua kakinya. Keadaan ini benar-benar amat berbahaya karena ia terancam dari atas dan bawah,
"Haiiiiiiittttt"
Tubuh Kwan Bu mencelat ke atas seperti seekor burung terbang sehingga mereka yang menonton menjadi kagum dan otomatis mundur ke belakang untuk dapat menyaksikan pertandingan hebat itu, Dua orang lawannya juga kaget dan cepat menengok Kwan Bu yang mencelat ke atas itu kini sudah menukik ke bawah didahului sinar pedangnya yang merah sekali itu bergerak membuat lingkaran-lingkaran lebar yang menyilaukan mata, lingkaran-lingkaran yang mengeluarkan kilat-kilat menyambar kearah Kim I Lohan dan Gin-San-Kwi.
"Hayaaa...!"
Gin-San-Kwi tidak berani menangkis kilatan sinar pedang yang seperti pijaran api itu, khawatir kalau-kalau kipasnya rusak, maka terpaksa ia melempar tubuh ke belakang, terjengkang dan bergulingan jauh, Tidak demikian dengan Kim I Lohan yang biarpun tahu akan kemampuan pada lawan, namun ia pun percaya akan kehebatan tongkat ular emasnya, maka sekali ini mengerahkan tenaga menangkis, dengan harapan akan menang tenaga karena mengira bahwa pemuda itu tentu membagi tenaga ketika menyerang mereka berdua,
"Cringggg...!"
Ujung pedang bertemu dengan ujung tongkat dan Hwesio itu meloncat ke belakang sambil berseru kaget karena selain tangannya menjadi panas tergetar, juga ternyata ujung tongkatnya terbabat potong sedikit!
"Serbu... Tangkap para pemberontak itu!"
Tiba-tiba Gin-San-Kwi Lu Mo Kok yang merasa penasaran dan khawatir kalau-kalau para pemberontak itu akan meloloskan diri, memberi aba-aba, Lima puluh orang pengawal bergerak maju. Adapun Ho-Sim Pek-Mo yang melihat betapa pemuda murid Pat-Jiu Lo-Koai itu benar-benar hebat sekali ilmu pedangnya dan agaknya dua orang Panglima pengawal itu belum tentu akan dapat mengalahkannya, segera berseru keras dan tubuhnya sudah bergerak maju, Ketika kakek ini maju, tampak sinar hitam dan putih menyambar dari kedua tangannya dan ternyata sinar itu adalah gerakan sepasang senjata yang aneh, berbentuk gelang bergaris tengah kurang lebih setengah meter, yang di tangan kiri berwarna putih yang kanan hitam,
"Pek-mo, Pintolah lawanmu!"
Loan Khi Tosu berteriak dan tongkat bambunya bergerak ke depan, mengirim tusukan kearah lambung kiri Ho-Sim Pek-Mo. Gerakannya perlahan akan tetapi tahu-tahu ujung tongkatnya sudah mengancam lambung. Gerakan kakek Bu-Tong-Pai ini adalah jurus ilmu pedang Bu-tong Kiam-sut yang amat hebat sehingga Ho-Sim Pek-Mo, tokoh besar itu tidak berani memandang ringan, cepat menarik kembali sepasang gelangnya yang tadinya hendak menyerang Kwan Bu,
Lalu gelang putih membalik cepat menangkis bambu sedangkan gelang kitam meluncur ke atas menghantam ke arah kepala Loan Khi Tosu, akan tetapi, wakil ketua Bu-Tong-Pai ini bukan orang sembarangan, ilmu silatnya sudah amat tinggi tingkatnya dan sedikit saja tubuhnya miring, serangan gelang itu telah luput. Sepuluh orang anak murid Bu-Tong-Pai, dipimpin oleh Hek I Kim Hiap Lauw Tik Hiong yang memegang pedang dengan tangan kirinya karena lengan kanannya dibalut dan tak dapat digerakkan, segera menghampiri serbuan lima puluh orang pengawal itu sehingga terjadilah pertempuran yang amat seru dan hebat di tempat itu, Melihat bahwa keadaan telah menjadi kacau. Giok Lan cepat melompat mendekati Kwee Cin dengan pedang di tangan, Tanpa mengeluarkan kata-kata sesuatu, gadis ini lalu memutuskan belenggu leher dan tangan Kwee Cin dengan pedangnya,
"Terima kasih, nona... akan tetapi sesungguhnya aku... tidak berani melepaskan diri dari tawanan Bu-Tong-Pai..."
"Ah. setelah persoalan menjadi begini, mengapa masih banyak rewel tentang aturan lagi?"
Giok Lan mencela.
"Kalau kita tidak turun tangan membantu menghadapi para pengawal, apakah kita tidak akan mati semua? kita usir dulu para pengawal, urusan kemudian bagaimana nanti sajalah!"
"Betul, Kwee-Suheng. Mari kita basmi pengawal menjemukan ini!"
Kata Siang Hwi yang menyerahkan sebuah diantara pedangnya kepada Kwee Cin.
Gadis ini biasanya bersenjata siangkiam (pedang pasangan) akan tetapi ia pun ahli dalam mempergunakan pedang tunggal. Setelah Kwee Cin menerima pedang itu mereka bertiga lalu menyerbu ke depan dan sebentar saja mereka itu dikeroyok oleh banyak sekali pengawal yang bertempur sambil berteriak-teriak. Diantara murid Bu-Tong-Pai, hanyalah Hek I Kim Hiap Lauw Tik Hiong yang paling lihai namun pendekar pedang ini sudah patah lengan kanannya sehingga hal ini tentu saja mengurangi kelihaiannya. Adapun anak murid lainnya adalah murid-murid tingkat rendah, maka biarpun kini mereka itu dibantu oleh Kwee Cin, Siang Hwi dan Giok Lan serentak juga menahan serbuan para pengawal, tetap saja mereka terdesak hebat oleh pihak pengawal yang jumlahnya lima kali lebih banyak daripada jumlah mereka itu.
Pertandingan itu tidak seimbang dan makin lama pihak Bu-Tong-Pai terdesak makin hebat dan setiap saat tentu akan dapat terbasmi habis dalam pengeroyokan para pengawal, yang amat hebat adalah pertandingan antara Loan Khi Tosu dan Ho-Sim Pek-Mo. Ternyata kedua orang kakek ini setingkat dan memiliki kehebatan masing-masing, Loan Khi Tosu yang bersenjata tongkat bambu itu agaknya lebih kuat ginkangnya sehingga biarpun senjatanya hanya tongkat bambu, namun gerakannya mantap dan dari tongkat bambu itu tergelar tenaga ginkang yang amat kuat sehingga wakil ketua Bu-Tong-Pai ini dapat menahan serbuan sepasang gelang hitam putih dari Ho-Sim Pek-Mo yang hebat sekali. adapun keunggulan Ho-Sim Pek-Mo adalah senjatanya itulah. Benar-benar sepasang senjata aneh dan ampuh sekali.
Sepasang gelang atau roda itu berputar-putar membentuk lingkaran-lingkaran yang sukar sekali dijaga, seolah-olah sepasang roda itu hidup dan seolah-olah terbang tanpa dipegang di udara. Dua senjata yang berlawanan warna itu berputaran, mengeluarkan suara mengaung dan berubah menjadi dua gulungan sinar hitam putih yang saling melibat, dan mempunyai daya serang bertubi-tubi sehingga Loan Khi Tosu benar-benar terdesak dan hanya mampu memutar tongkat melindungi tubuhnya, Hanya kadang-kadang saja dia menyerang hebat, namun perbandingan penyerangannya adalah satu lawan tiga, Kwan Bu pemuda perkasa kembali memperlihatkan kelihaianya, Biarpun dikeroyok oleh dua orang Panglima yang berilmu tinggi, namun pemuda dengan pedang pusakanya ini selalu berada di pihak unggul, selalu menekan dan membagi-bagi serangan.
Tubuhnya lenyap, yang tampak hanyalah gulungan sinar merah darah yang seperti naga bermain di angkasa menyambar-nyambar kearah Gin-San-Kwi Lu Mo Kok dan Kim I Lohan, Pemuda ini biarpun tidak mudah mengalahkan dua orang lawannya, namun dia masih mendesak terus, tinggal mencari kesempatan baik merobohkan dua orang kakek pengawal itu, Sayang bahwa Kwan Bu tak dapat mencurahkan seluruh perhatiannya kepada pertandingan itu, kadang matanya mengerling ke arah Siang Hwi yang bersama Giok Lan dan Kwee Cin sedang terdesak hebat oleh pengeroyokan pengawal. Hal ini mengurangi daya serang Kwan Bu, dan pemuda itu tidak tahu pula betapa Ho-Sim Pek-Mo juga seringkali mengerling ke arah dia dan agaknya kakek itu merasa tidak puas menyaksikan betapa dua orang sahabatnya terdesak oleh murid Pat-Jiu Lo-Koai itu.
Tiba-tiba sinar merah darah yang bergulung-gulung itu melesat ke kiri dibarengi bentakan-bentakan Kwan Bu yang marah sekali ketika dengan lirikan sudut matanya ia melihat betapa Siang Hwi yang untuk kesekian kalinya merobohkan seorang pengeroyok dengan tusukan pedangnya, menjadi gugup ketika pedangnya itu terjepit diantara tulang iga lawan yang ditusuknya dan pada saat itu, empat orang pengawal telah menerjangnya dengan senjata mereka. Siang Hwi yang belum berhasil mencabut pedangnya dari dada lawan yang dirobohkan, mengelak, akan tetapi pundaknya masih terserempet golok sehingga pangkal lengannya terluka dan mengucurkan darah, padahal empat orang pengawal yang mengeroyoknya sudah menerjang lagi. Saat itulah Kwan Bu melupakan keadaanya sendiri dan tubuhnya melesat meninggalkan dua orang Panglima pengawal yang sudah didesaknya,
Sinar merah darah menyambar seperti sebuah bintang terbang dan terdengar jerit mengerikan ketika ujung Tot-beng-kiam sekaligus membabat robek perut empat pengawal yang mengancam Siang Hwi itu! akan tetapi pada saat itu, Lu Mo Kok dan Kim I Lohan meloncat mengejar dan mereka ini pun marah sekali melihat banyaknya para pengawal anak buah mereka roboh binasa, Sungguh tidak mereka duga sama sekali bahwa Kwan Bu yang baru saja menolong Siang Hwi merobohkan empat orang pengawal, diam-diam memperhatikan gerakan mereka dan sebelum dua orang pengawal tingkat tinggi itu sempat menyerang, tiba-tiba pemuda itu langsung membalik dan meloncat ke depan, tubuhnya meluncur seperti terbang dan pedangnya bergerak secara luar biasa sekali membabat ke depan membabat leher Lu Mo kok dan Kim I Lohan!
"Hayaa...!"
Gin-San-Kwi Lu Mo Kok tak sempat menangkis dan cepat menjatuhkan diri, akan tetapi pedang itu sudah meluncur ke bawah dan ujungnya amblas ke dalam ulu hatinya, dan cepat menyambar sudah tercabut pula dan menyambar ke arah leher Kim I Lohan,
"Celaka...!"
Kim I Lohan yang melihat betapa darah muncrat dari dada temannya, cepat menangkis,
"Trangggg... auggghhh...!"
Tongkat itu terbabat buntung dan pedang Toat-Beng-Kiam dan terus meluncur dan menyabet pinggir leher Kim I Lohan, tepat mengenai urat besar sehingga tubuh Hwesio Panglima pengawal itu terpelanting, darah seperti muncrat-muncrat dari lehernya!
"Keji...!"
Terdengar bentakan keras dan angin yang amat kuat menyambar dari sebelah kiri ke belakang Kwan Bu, Pemuda ini maklum bahwa ada serangan yang amat berbahaya, Cepat ia menggerakkan pedang menangkis,
"Traakkkkl"
Pedangnya itu melekat pada gelang putih di tangan Ho-Sim Pek-Mo yang ternyata telah datang membantu dua orang kawannya, karena Kwan Bu baru saja mengeluarkan tenaga besar untuk merobohkan dua orang lawan tangguh, sedangkan serangan Ho-Sim Pek-Mo amat tiba-tiba dan dari belakang datangnya, maka ketika pedangnya melekat pada roda putih Kwan Bu menjadi gugup dan berusaha menarik kembali pedangnya, Pemuda ini lupa bahwa kakek tua itu memiliki dua buah roda, maka pada detik berikutnya gelang atau roda hitam telah menyambar dadanya tanpa dapat dielakkan lagi oleh Kwan Bu.
"Bukkkk...!"
Kwan Bu sudah mengerahkan ginkang untuk bertahan, namun tetap saja tubuhnya terbanting keras sampai bergulingan di atas tanah dalam keadaan pingsan!
"Kwan Bu...!"
Siang Hwi menjerit dan menubruk ke depan dengan nekad ketika melihat kakek berambut putih itu sudah kembali meloncat dan agaknya hendak memukul Kwan Bu yang sudah pingsan itu dengan rodanya, Loan Khi Tosu yang tadi ditinggalkan lawannya, hanya menonton saja karena dia menganggap tidak perlu menolong Kwan Bu karena dia tahu bahwa pemuda ini melawan para pengawal sekali-kali bukan karena membantu pihaknya! Kenekadan Siang Hwi tentu akan ditebus dengan nyawanya ketika ia menubruk maju, tidak peduli akan keampuhan roda di tangan kakek itu untuk menolong Kwan Bu, kalau saja pada saat itu tidak bertiup angin yang kuat sekali, didahului oleh suara menbela,
"Tua Bangka tak tahu malu!"
Dan tiba-tiba tubuh Ho-Sim Pek-Mo terhuyung ke belakang! Ketika Siang Hwi menengok ternyata yang muncul itu adalah seorang Hwesio tua yang tidak memakai baju, celananya yang lebar dan besar itupun terbuat dari kain yang tebal dan murah, badannya gemuk dan perutnya gendut sekali, persis seperti arca Jilaihud akan tetapi hanya sebentar saja Siang Hwi memandang Hwesio itu karena ia segera teringat akan Kwan Bu dan cepat la berlutut di dekat tubuh pemuda ini.
"Kwan Bu... ah, Kwan Bu...!"
Ia mengguncang-guncang tubuh pemuda yang pingsan itu, dan menangis! la melihat wajah pemuda itu pucat seperti mayat, napasnya sesak dan matanya meram.
"Pat-Jiu Lo-Koai...!"
Seruan ini hampir berbareng keluar dari mulut Loan Khi Tosu dan Ho-Sim Pek-Mo, dan mendengar disebutnya nama ini, otomatis pertandingan yang masih berjalan itu terhenti, Sepuluh orang anak murid Bu-Tong-Pai tinggal lima orang lagi yang lima orang telah roboh dan tewas, Adapun pihak pengawal, selain kehilangan dua orang Panglima mereka yang tewas di ujung pedang Kwan Bu, juga lebih dari dua puluh orang anak buah pengawal roboh, Pat-Jiu Lo-Koai memandang ke arah tumpukan mayat-mayat dan orang-orang terluka itu, dengan lirih menyebut,
"Omitohud..."
Dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Darah mengalir keluar... nyawa melayang... apa sih yang diperebutkan manusia-manusia tolol ini...? sungguh mengenaskan dan menyedihkan!"
Ketika mendengar disebutnya nama itu, Siang Hwi terkejut dan menoleh. Ah, kiranya kakek gundul yang aneh itu adalah guru Kwan Bu! Timbullah harapan di hatinya yang penuh kekhawatiran melihat keadaan Kwan Bu, Cepat ia melompat dan berlutut di depan kakek itu sambil berkata,
"Lcianpwe... tolonglah... Kwan Bu..."
Pada saat itu Giok Lan juga telah menggandeng tangan Kwee Cin, setengah dipaksanya pemuda itu berlari menghampiri si kakek gundul dan diajak berlutut di depan kakek itu sambiil berkata,
"Locianpwe, saya adalah adik tiri kakak Kwan Bu. Saya mohon perlindungan Locianpwe harap bebaskan Kwan Bu, Siang Hwi, saya dan saudara Kwee Cin ini yang pernah menolong Kwan Bu-koko dan saya. Kami hendak dibunuh oleh orang-orang Bu-Tong-Pai dan pengawal-pengawal kerajaan"
"Omitohud... orang-orang tua... seharusnya menyenangkan hati dan membimbing orang-orang muda, malah mengganggu mereka, Bangunlah dan jangan khawatir, pinceng memang pelindung orang-orang muda!"
Tiba-tiba Siang Hwi mengeluh dan terguling, roboh pingsan. Kiranya gadis ini sejak tadi telah amat menderita karena luka di pangkal lengannya mengeluarkan terlalu banyak darah,
Hanya karena kekhawatiran hatinya melihat keadaan Kwan Bu saja yang masih membuat ia masih kuat bertahan, Sekarang, setelah hatinya lega mendengar betapa guru Kwan Bu yang ia yakin amat sakti menyatakan hendak melindungi mereka, rasa lemas menyelimutinya dan membuat dia jatuh pingsan, Giok Lan cepat memeluk dan memondongnya, Adapun Kwee Cin tanpa disuruh juga sudah memondong tubuh Kwan Bu yang pingsan, kemudian mereka itu digiring dan dikawal oleh Pat-Jiu Lo-Koai yang tersenyum-senyum tenang seolah-olah di situ tidak ada siapa-siapa, Tidak ada seorang pun berani bergerak menghadang, karena baik di pihak Loan Khi Tosu maupun dipihak para pengawal masing-masing saling berhadapan sebagai musuh dan mereka itu merasa ragu-ragu untuk menambah lawan dengan seorang seperti Pat-Jiu Lo-Koai!
"Baringkan dia di sini, pinceng hendak memeriksa lukanya,"
Kata Pat-Jiu Lo-Koai ketika mereka tiba di dalam sebuah hutan dan telah jauh meninggalkan tempat pertempuran antara anak murid Bu-Tong-Pai dan para pengawal tadi, Kwee Cin menurunkan tubuh Kwan Bu di atas tanah bertilam rumput di bawah sebatang pohon besar.
kemudian dia sendiri duduk tak jauh dari situ memandang penuh perhatian pada bersama Giok Lan dan juga Siang Hwi yang sudah siuman. Biarpun wajahnya masih pucat, Siang Hwi tidak pening lagi karena diberi minuman obat penambah darah dan lukanya telah diobati pula oleh Pat-Jiu Lo-Koai dalam perjalanan tadi, Kwan Bu yang kini rebah terlentang masih pingsan, Napasnya masih terengah, bahkan sebagian mukanya kelihatan menghitam sehingga Siang Hwi yang melihatnya menjadi khawatir sekali, Demikian pula Kwee Cin dan Giok Lan memandang dengan hati gelisah sehingga mereka bertiga tidak berani membuka mulut, hanya memandang kakek gundul yang kini mulai memeriksa tubuh Kwan Bu. Setelah membuka baju pemuda itu dan meraba dadanya, Pat-Jiu Lo-Koai menggeleng kepala dan berkata perlahan.
"Pukulan keji...!"
Mendengar ucapan itu, tiga orang muda yang memandang dan mendengar, menjadi makin gelisah, bahkan Siang Hwi mengeluarkan isak tertahan sehingga kakek itu menoleh kepadanya. Baru sekali ini kakek itu memandang kepada Siang Hwi, dan sepasang mata kakek aneh itu memandang penuh perhatian.
"Nona siapakah dan ada hubungan apa dengan Kwan Bu?"
Siang Hwi cepat berlutut dan menundukkan mukanya, agaknya ia merasa malu harus menceritakan keadaan dirinya, karena ia teringat betapa dahulu ia seringkali melakukan hal-hal yang menyakitkan hati Kwan Bu,
"Teecu... Bu Siang Hwi... dan dahulu,... Kwan Bu bekerja di rumah mendiang Ayah..."
"Hemm. puteri Bu Keng Liong kah? Dan tadi engkau membela Kwan Bu mati-matian, mengapa?"
Ditanya begitu, Siang Hwi tak dapat menjawab hanya sesenggukan,
"Jangan khawatir, biarpun berat lukanya. Kwan Bu takkan mati,"
Setelah berkata demikian, Hwesio tua itu menotok beberapa jalan darah di leher dan punggung Kwan Bu, mengurut dadanya dan terdengar Kwan Bu mengeluh, membuka mata dan hendak bangkit duduk, Akan tetapi tangan Pat-Jiu Lo-Koai mendorongnya rebah kembali dan Hwesio berilmu tinggi ini berkata.
"Jangan banyak bergerak. Engkau terluka karena kebodohanmu sendiri, kurang waspada menghadapi sepasang roda Pek-mo! Pinceng akan menyembuhkan Iukamu, akan tetapi sedikitnya engkau akan harus beristirahat selama sebulan, baru akan sembuh betul, kau diam saja, kumpulkan tenaga di pusar dan jangan menggerakkan tenagamu agar racun di tubuh tidak menjalar makin luas, Pinceng akan berusaha mengusir hawa beracun akan pukulan roda hitam Pek-mo, Untung roda kitam yang memukul dadamu, roda hitam yang mengandung hawa beracun panas, Kalau roda putih yang mengandng hawa beracun dingin, agaknya sekarang engkau sudah tidak bernyawa lagi, Nah, rebah saja dan jangan bergerak!"
Kwan Bu merasa terharu sekali, nyawanya tertolong oleh Suhunya sendiri, dan dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk memberi hormat dan menghaturkan terima kasih,
Namun ia tidak berani membantah, maka ia lalu rebah terlentang dan tidak bergerak, juga menarik tenaga dalamnya di pusar agar tidak melakukan perlawanan terhadap usaha gurunya. Pat-Jiu Lo-Koai duduk bersila di dekat muridnya yang terluka. tangan kanan di atas dada Kwan Bu. kemudian meramkan kedua matanya dan mulailah mengerahkan sinkangnya untuk mengobati muridnya, diam-diam Kwan Bu terkejut sekali ketika merasa betapa Suhunya menggunakan sinkang untuk menyedot hawa beracun dengan kekuatan sinkang melalui telapak tangannya! Hal itu amatlah berbahaya karena dengan demikian, hawa beracun itu akan berpindah ke dalam tubuh Suhunya! Akan tetapi ia maklum akan watak Suhunya yang tak boleh dibantah, maka ia diam saja. Teringat ia di waktu dahulu masih kanak-kanak,
Ia hanya berhasil menjadi murid Suhunya karena kekerasan hatinya, Kini, melihat Suhunya yang keras hati itu mengobatinya dengan resiko yang berbahaya. ia menjadi terharu dan tak terasa lagi dua titik air mata turun ke bawah matanya. Kwee Cin, Giok Lan, dan Siang Hwi memandang dengan mata terbelalak dan penuh kekaguman. Cara mengobati seperti ini hanya pernah mereka dengar saja dalam cerita di dunia kang-ouw, dan baru sekali ini mereka menyaksikannya sendiri, Makin lama, tenaga menyedot yang keluar dari telapak tangan Hwesio tua itu makin kuat sehingga Kwan Bu merasa seolah-olah seluruh hawa di tubuhnya terhisap! sinkangnya sendiri otomatis hendak bergerak melawan. Akan tetapi cepat-cepat ia mengerahkan perhatiannya dan tetap menahan semua tenaga dalamnya di pusar dengan penuh kepasrahan dan kepercayaan kepada Suhunya,
Kini tubuh Hwesio gendut itu gemetar dan uap menghitam mengepul keluar dari kepalanya yang gundul, Perlahan-lahan, warna hitam di wajah Kwan Bu bergerak turun, berkumpul di dagu, terus turun ke leher dan ke dada sehingga wajahnya kembali kelihatan pucat, Akan tetapi sebaliknya, warna hitam menjalar ke lengan Pat-Jiu Lo-Koai, makin lama makin hitam dan wajah serta kepala kakek itu kini penuh dengan peluh napasnya agak berat tanda bahwa kakek ini mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya. Selama tiga jam Hwesio sakti itu mengobati muridnya dan akhirnya semua hawa beracun di dada Kwan Bu telah tersedot habis dan bersih, Ketika Hwesio itu melepaskan tangannya dari dada Kwan Bu, pemuda ini mengeluh dan bangkit duduk dengan lemah.
"Suhu, Suhu terkena racun""
Bisiknya perlahan penuh keharuan memandang Suhunya yang masih duduk bersila dan kini mulai mengerahkan sinkang lagi utuk mendesak keluar hawa beracun dari lengan kanannya. Pat-Jiu Lo-Koai membuka matanya dan tersenyum.
"Pinceng dapat membersihkannya..!"
Kwan Bu maklum bahwa untuk mendesak keluar hawa beracun dari lengan gurunya itu membutuhkan pengerahan sinkang yang kuat. sedangkan gurunya tadi telah menghabiskan tenaganya untuk menolongnya,
"Suhu, biarlah teecu membantu Suhu..."
"Ah, susah payah pinceng menolongmu, apakah sekarang hendak kau rusak dengan bunuh diri? Engkau terluka sebelah dalam, lemah sekali dan tidak boleh mengerahkan sinkang, harus beristirahat selama
(Lanjut ke Jilid 15 "
Tamat)
Dendam Si Anak Haram (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 15 (Tamat)
satu bulan. Sudahlah, pinceng masih kuat membersihkan lengan dari hawa beracun ini,"
Pat-Jiu Lo-Koai kembali duduk diam, meramkan mata dan mengerahkan sinkangnya untuk mengusir hawa beracun dari lengannya, Jelas tampak bahwa kakek tua itu hampir kehabisan tenaga. peluh makin banyak membasahi muka dan kepala, wajahnya makin pucat dan napasnya makin berat. Kwan Bu memandang dengan hati terharu dan tidak tega akan tetapi dia tidak berani membantah perintah Suhunya, ia merasa betapa ada orang memandangnya, ketika ia menoleh ke kiri, ternyata sepasang mata Siang Hwi yang memandangnya dengan penuh keharuan dan kebahagiaan, sepasang mata yang berembun air mata,
"Sukurlah... engkau telah sembuh..."
Bisik gadis itu,
Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Berkat pertolongan Suhu... jawab Kwan Bu, juga berbisik. Mereka berdua tidak kuasa mengeluarkan banyak kata-kata setelah apa yang mereka alami bersama semenjak peristiwa di dalam rumah gedung keluarga Phoa sampai peristiwa dengan murid-murid Bu-Tong-Pai tadi.
"Bagaimana dengan pundakmu, nona Bu...?"
Kembali Kwan Bu berbisik, Siang Hwi mengerutkan alisnya dan menundukkan mukanya yang masih agak pucat, Hatinya seperti ditusuk mendengar sebutan "Nona Bu"
Itu, sebutan yang amat dibencinya semenjak dahulu karena sebutan ini mengingatkan dia akan perbedaan kedudukan mereka, mengingatkan dia bahwa Kwan Bu adalah bekas kacungnya! Ingin ia menjerit bahwa ia tidak mau disebut nona lagi, tidak mau melihat Kwan Bu bersikap merendahkan diri terhadapnya, ingin dia diperlakukan seperti orang sederajat, Akan tetapi hatinya yang menjerit, sedangkan mulutnya tidak mungkin dapat menyampaika suara hatinya, la hanya menundukkan muka dan menjawab lirih,
"Tidak apa-apa, sudah sembuh..!"
Sementara itu semenjak tadi Kwee Cin dan Giok Lan juga memandang ketika Kwan Bu diobati, memandang penuh kecemasan dan mereka menjadi gembira ketika mendapat kenyataan bahwa Kwan Bu dapat disembuhkan, sungguh pun ia masih membutuhkan istarahat yang lama, Melihat betapa Kwan Bu berbisik-bisik dengan Siang Hwi, Giok Lan tersenyum, menbalikan tubuh membelakangi kakaknya itu dan menghadapi Kwee Cin, langsung bertanya,
"Saudara Kwee Cin, apakah engkau ini seorang pria yang tidak suka berbohong?"
Kwee Cin memandang kaget dan heran, Sejak tadi ia memandang gadis itu makin menarik hatinya, Kini secara tba-tiba gadis itu mengajukan pertanyaan seperti itu! Siapa orangnya yang tidak akan menjadi bingung? Pertanyaan yang datangnya lebih membingungkan daripada jurus penyerangan yang lihai itu membuat Kwee Cin gagap gugup menjawab,
"Aku... tidak suka... eh, tidak mau membohongimu... eh, apakah maksudmu dengan pertanyaan ini, nona?"
Giok Lan tersenyum dan terpaksa Kwee Cin meramkan kedua matanya karena tidak tahan menyaksikan wajah yang sedemikian manisnya! Ketika ia membuka matanya lagi dan melihat deretan gigi seperti mutiara, sepasang mata seperti bintang pagi, pandang matanya seperti melekat pada wajah itu sehingga sukar baginya untuk berkedip,
"Kwee-koko... kenapa engkau memandangku seperti itu...??"
Lembut sekali pertanyaan ini, akan tetapi bagi Kwee Cin sekaligus merupakan kalimat-kalimat yang membawa bahagia dan juga mengandung ancaman! la berbahagia sekali mendengar gadis itu tidak lagi menyebut "saudara"
Melainkan berubah menjadi koko (kanda), akan tetapi pertanyaan itu sendiri merupakan ancaman yang sukar dijawab.
"Aku... eh, aku... maafkanlah, Lan-moi (dinda Lan)..!"
Giok Lan menggeleng kepalanya,
"Tidak perlu minta maaf, aku suka kepadamu, Kwee-koko. Akan tetapi... ketahuilah bahwa aku... mencinta Bu-koko...!"
"Tentu saja! Kwan Bu adalah kakakmu, tentu saja engkau mencintainya sebagai seorang kakak, moi-moi, Akupun mencinta Kwan Bu, mencintainya sebagai seorang sahabat baik. Akan tetapi engkau dan aku... eh, aku dan engkau""
Melihat pemuda itu demikian gugup dan bingung, Giok Lan tak dapat menahan lagi kegelisahan hatinya dan ia tersenyum lebar, menahan suara ketawanya karena tidak ingin mengganggu Pat-Jiu Lo-Koai yang sedang bersamadhi menyembuhkan dirinya sendiri, Ketika ia mengerti bahwa gadis itu tertawa karena geli menyaksikan kegugupannya, Kwee Cin hanya tersenyum-senyum malu. Kwan Bu dapat melihat keadaan adik tirinya dan Kwee Cin,
Diam-diam ia merasa bahgia dan mudah-mudahan dua orang muda itu dapat berjodoh, Dia mengerling kepada Siang Hwi yang masih menunduk dan diam-diam ia menghela napas, Kwee Cin dan Giok Lan merupakan pasangan yang setimpal dan cocok. Akan tetapi dia dan Siang Hwi? Mungkinkah gadis bekas majikannya ini dapat menghargai dia sebagai seorang pria yang patut dijadikan suami? Mungkinkah bagi seorang gadis seperti Siang Hwi untuk membalas cinta kasihnya? Dia mencinta Siang Hwi, hal ini tak dapat ia pungkiri lagi, Semenjak dahulu ia mencinta Siang Hwi, dan betapapun gadis ini telah menyakiti hatinya berkali-kali. ia tetap mencintainya dan tidak merasa sakit hati, Inilah cinta! Cinta mengguncang segala sendi batin, cinta antara pria dan wanita mempengaruhi ketenangan, mempengaruhi pertimbangan sehingga pertimbangan batin menjadi miring,
Kwan Bu termenung dan teringat akan pelajaran Nabi Khongou yang terdapat dalam kitab Tiong-yong, Cinta kasih antara pria dan wanita itu termasuk sebuah diantara empat perasaan manusia yang pokok, yaitu Kesenangan, Tiga yang lain adalah Kemarahan, Kedukaan, Dan Kegembiraan. Kesemuanya disebut perasaan Hinouw-ai-lok, Sebelum sebuah diantara perasaan ini timbul, keadaan manusia disebut dalam keadaan Jejek (tidak condong ke kanan kiri atau Tiong (tengah-tengah) yang tercipta dalam tidur atau bersamadhi, Apabila sebuah diantara perasaan-perasaan timbul, hal ini adalah manusiawi dan tak dapat dielakkan, kita harus dapat mengendalikannya dan mengenal batas-batasnya sehingga terciptalah keadaan Hoo (Hormon) MENGUASAI dan MENGENDALIKAN perasaan atau ada yang menyebutnya nafsu inilah yang merupakan pokok daripada pelajaran itu,
Kwan Bu termenung dan memikirkan keadaan dirinya sendiri, Dia mencinta Siang Hwi sehingga rasa cinta yang mendalam itupun membuat segala pertimbangannya patah, Nafsu perasaan menimbulkan hal-hal yang lucu dan aneh di dunia ini, diantara penghidupan manusia, orang yang mencinta akan menganggap segala sesuatu akan diri orang yang dicinta itu baik dan benar belaka, Bahkan kotorannya pun berbau sedap bagi orang yang sedang tergila-gila, Sebaliknya, orang yang membenci akan menganggap segala sesuatu akan diri orang yang dibencinya itu buruk dan salah belaka, Bahkan kebaikan yang dilakukan orang yang dibencinya itu akan memuakkan dan dianggapnya sesuatu yang palsu dan pura-pura! Kwan Bu menghela napas panjang dan berbisik,
"Bu-Siocia... terima kasih saya ucapkan atas segala pembelaanmu"?"
Siang Hwi mengangkat muka memandang wajah pemuda itu, lalu menunduk lagi,
"Aku hanya bicara sebenarnya... bahkan... akulah yang menimbulkan semua penghinaan dan penderitaan bagimu. Aku... aku harus memohon maaf darimu..."
Tiba-tiba wajah Kwan Bu menjadi pucat, matanya terbelalak, sehingga Siang Hwi menjadi terkejut sekali, menyangka bahwa omongannya tadilah yang membuat Kwan Bu seperti itu. Akan tetapi ketika melihat bahwa pandang mata Kwan Bu ditujukan ke arah belakangnya, Siang Hwi cepat membalikkan tubuhnya menengok dan ia pun terkejut sekali, Bersama Kwan Bu ia lalu bangkit berdiri dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan, Melihat keadaan dua orang ini, Kwee Cin dan Giok Lan menengok dan merekapun sudah meloncat bangun, menggabungkan diri mendekati Kwan Bu dan Siang Hwi,
Mereka berempat tanpa mengeluarkan kata-kata sudah sepakat untuk maju bersama, saling melindungi, menghadapi ancaman yang datang ini, yang merupakan dua orang kakek, yaitu Loan Khi Tosu wakil ketua Bu-Tong-Pai dan Ho-Sim Pek-Mo, tokoh Panglima pengawal Istana Kaisar! Sementara itu Pat-Jiu Lo-Koai masih duduk bersamadhi mengusir hawa beracun dari lengannya. Sungguhpun racun itu sudah turun dan hanya sampai pergelangan tangannya, namun belum habis semua dan keadaan kakek itu nampak lelah sekali, Akan tetapi wajah Hwesio gendut ini tetap tenang-tenang saja, bahkan ia membuka matanya dan tersenyum lebar ketika ia mendengar bentakan suara Loan Khi Tosu,
"Pat-Jiu Lo-Koai! Engkau sungguh menghina Bu-Tong-Pai!"
Pat-Jiu Lo-Koai yang sudah membuka mata itu dan masih duduk bersila, memandang bergantian ke arah Loan Khi Tosu dan Ho-Sim Pek-Mo, kemudian menjawab sambil tertawa.
"Ha-ha-ha, sungguh lucu sekali! karena ambisi, kalian datang bertentangan. yang seorang pro, yang seorang anti Kaisar! Sekarang karena pribadi, untuk menghadapi pinceng kalian bersatu! Wah, palsu... palsu...!"
Loan Khi Tosu menudingkan tongkatnya ke arah muka Pat-Jiu Lo-Koai dan berkata dengan suara tegas dan berwibawa,
"Pat-Jiu Lo-Koai engkau adalah seorang tokoh besar di dunia kang-ouw, apakah tidak mengenal aturan dunia kang-ouw? Kami pihak Bu-Tong-Pai hendak menangkap murid-murid kami sendiri, apakah engkau begitu tak tahu malu untuk mencampuri urusan dalam dari Bu-Tong-Pai?"
"Hah-hah, sungguh menjemukan!"
Kata pula Ho-Sim Pek-Mo.
"Seorang tokoh besar tingkat tinggi semestinya dapat menjaga nama besar dan dapat menjaga sepak terjang sendiri. Pat-Jiu Lo-Koai sebagai seorang tua yang sudah berpengalaman tentu engkau maklum apa artinya kemurnian tugas, Aku adalah seorang yang bertugas untuk Kaisar, dan aku mendapat tugas untuk menangkap orang-orang yang telah merugikan barisan pengawal, Mengapa engkau sebagai seorang pertapa tua, tidak malu-malu untuk muncul dan mencampuri urusan kami, membela orang-orang bersalah tanpa alasan sama sekali?"
Pat-Jiu Lo-Koai masih duduk bersila dan pandang matanya berubah, seolah-olah ia berduka mendengar ucapan dua orang tokoh besar itu. Kwan Bu yang melihat ini dapat mengerti keadaan Suhunya yang terdesak oleh omongan-omongan yang menekan, dan maklum betapa sukarnya bagi Suhunya untuk menjawab,
Suhunya selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, yang membela siapa saja yang benar, menentang siapa saja yang salah, kini berada dalam keadaan tersudut oleh omongan kedua orang itu yang mengemukakan aturan-aturan. Tiba-tiba terbayang dalam ingatan Kwan Bu ketika ia berhadapan dengan Koai-Kiam Tojin Ya Keng Cu, yang ketika ia masih kecil dan sengaja menghadapi Tosu ini yang mengancam keluarga Bu Keng Liong, Untuk mengusir Tosu itu, secara mengawur ia mengaku murid seorang Hwesio berlengan delapan dan ketika Pat-Jiu Lo-Koai muncul dia benar-benar diaku murid karena memang bagi seorang Hwesio, semua orang adalah muridnya! Teringat akan ini, cepat Kwan Bu menggunakannya sebagai aksi dan ia berkata lantang.
"Hendaknya jiwi Locianpwe (kedua orang tua perkasa) tidak salah menduga dan mengira bahwa Suhu membela kami tanpa alasan, Hendaknya diketahui bahwa kami adalah murid-murid Suhu, sebagai seorang guru yang mencinta murid-muridnya, tentu saja Suhu tidak akan membiarkan murid-muridnya yang tak bersalah dihina dan dicelakai orang,"
"Sejak kapan Kwee Cin dan Bu Siang Hwi dua orang kecil murid Bu-Tong-Pai, menjadi murid Pat-Jiu Lo-Koai?"
Bentak Loan Khi Tosu dengan marah dan tidak percaya akan ucapan Kwan Bu.
"Sejak sekarang!"
Kata Kwan Bu dan Kwee Cin yang mengerti akan maksud Kwan Bu segera menyambar tangan Siang Hwi dan ditariknya berlutut di depan Pat-Jiu Lo-Koai sambil berkata,
"Mohon Suhu tidak membiarkan teecu berdua terhina orang..."
Kwan Bu juga sudah menyambar tangan Giok Lan dan ditariknya berlutut di depan Hwesio itu sambil berkata.
"Adik teecu Giok Lan juga mohon perlindungan Suhu sebagai gurunya yang baru,"
La lalu menambahkan perlahan, Harap Suhu ingat bahwa semua manusia adalah murid-murid Suhu, maka Suhu tidak dapat mengingkari bahwa mereka ini adalah murid-murid Suhu pula,"
Pat-Jiu Lo-Koai tertawa lalu bangkit berdiri.
"Ha-ha-ha, Loan Khi Tosu dan engkau Ho-Sim Pek-Mo, Kalian sudah melihat sendiri dan pinceng harus mengakui bahwa mereka ini semua adalah murid-murid pinceng yang harus pinceng lindungi. Kalian berdua boleh juga menjadi murid-murid pinceng yang memang bertugas mengajarkan pelajaran Budha kepada setiap insan! karena itu sebagai nasihatku yang pertama, lebih baik kalian dua orang tua pergi saja dan biarlah perkara ini habis sampai di sini agar dunia tidak ditambah lagi dengan pertentangan-pertentangan baru yang hanya akan menimbulkan kerusakan dan kebinasaan,"
Muka wakil ketua Bu-Tong-Pai menjadi merah sekali,
"Pat-Jiu Lo-Koai. tak perlu lagi Pinto sembunyikan, Memang kami berdua, Pinto dan sahabat Ho-Sim Pek-Mo telah bersepakat untuk menghadapimu yang menghina kami, kami berdua untuk sementara menunda pertentangan kami karena politik, dan bersama menghadapimu, Namun, jika engkau masih suka memandang persahabatan di dunia kang-ouw, kamipun tidak akan terlalu mendesakmu dan hanya menuntut agar engkau suka menyerahkan orang-orang muda ini kepada kami, dua orang murid Bu-Tong-Pai harus diberikan kepada Pinto, adapun dua orang muda yang sudah membunuh pembantu-pembantu Kaisar, yaitu dua orang muridmu sendiri yang terbunuh oleh pemuda itu, harus diserahkan keapda Ho-Sim Pek-Mo."
"Setan gundul! Apapun yang kau katakan, kami menghendaki orang-orang muda itu!"
Bentak Ho-Sim Pek-Mo.
"Dan pinceng tetap akan melindungi mereka, tidak takut akan pengeroyokan kalian."
Kata Pat-Jiu Lo-Koai. Melihat sikap Hwesio tua yang sakti ini, Kwee Cin, Giok Lan, dan Siang Hwi diam-diam menjadi girang dan kagum. Akan tetapi Kwan Bu memandang penuh kekhawatiran. la maklum bahwa selain amat lelah, Suhunya masih dicengkeram oleh hawa beracun yang berkumpul di tangan kanannya dan jika Suhunya dipaksa mengerahkan sinkangnya yang sudah banyak berkurang, tentu akan berbahaya sekali,
"Pat-Jiu Lo-Koai, kematianmu sudah di depan mata, Lihat senjatakul"
Ho-Sim Pek-Mo berseru keras sekali dan berkelebatlah dua sinar hitam dan putih ketika kakek ini menerjang maju dengan sepasang rodanya yang amat lihai, juga Loan Khi Tosu sudah menerjang maju dengan gerakan tongkat bambunya yang biarpun hanya sepasang tongkat butut akan tetapi keampuhan dan bahayanya tidak kalah oleh sepasang roda di tangan Ho-Sim Pek-Mo itu. Terjangan mereka berdua itu hebat bukan main sehingga gerakan kaki tangannya sambil mencelat mundur,
Dengan dorongan kedua lengannya, angin pukulan sinkang yang hebat membuat Loan Khi Tosu dan Ho-Sim Pek-Mo terkejut dan terdorong mundur, Bukan main hebatnya pukulan jarak jauh dari Pat-Jiu Lo-Koai ini sehingga dalam jarak dua meter ia mampu mendorong mundur dua orang lawan seperti wakil ketua Bu-Tong-Pai itu dan Panglima paling lihai dari para pengawal Kaisar! Namun, dua orang kakek itu bukanlah orang sembarangan, Ilmu silat mereka tinggi sekali dan mereka sudah menerjang maju lagi dengan hebat. Sepasang roda di tangan Ho-Sim Pek-Mo seolah-olah telah berubah menjadi sepasang burung garuda yang menyambar-nyambar ganas mengancam tubuh bagian atas dari Hwesio itu, sedangkan tongkat bambu di tangan Loan Khi Tosu seperti sebatang pedang yang mengancam tubuh bagian bawah,
Pat-Jiu Lo-Koai menjadi repot juga dan terpaksa Hwesio yang gendut ini menggunakan kedua kakinya mengelak sambil mencelat ke sana ke mari, dan kadang-kadang menggunakan kedua lengannya yang mengeluarkan angin pukualan sakti itu menangkis senjata lawan. Namun, kedua orang pengeroyoknya terus melancarkan serangan bertubi-tubi, membuat Hwesio ini sama sekali tidak mampu untuk balas menyerang. Apalagi karena Hwesio tua itu sudah kehilangan banyak sekali tenaga sinkang ketika ia mengobati Kwan Bu, kemudian mengobati dirinya sendiri, kini, melawan dua orang pengeroyok yang sakti dan memaksa dia harus mengerahkan sinkang, benar-benar amat melelahkan tubuhnya yang sudah tua dan mulailah ia terdesak dan mundur-mundur terus,
"Sungguh kalian merupakan dua orang tua yang tak patut dihormati! Suhu sedang terluka dan kalian mengeroyoknya secara tidak tahu malu!"
Kwan Bu berteriak dengan marah dan tubuhnya sudah meloncat ke depan, didahului sinar merah pedangnya ketika ia menyerbu untuk membantu Suhunya.
"Trakkkkk...!"
Tubuh Kwan Bu terlempar dan bergulingan. Ketika ia bangkit duduk kembali, wajahnya pucat sekali dan dari ujung Bibirnya mengalir darah! Ternyata ketika pedangnya tertangkis tongkat Loan Khi Tosu dan tenaga dalam mereka bertemu melalui dua senjata itu. Kwan Bu merasa betapa tenaganya amat lemah dan ia terpukul tenaga dalam yang hebat sehingga napasnya menjadi sesak dan wajahnya pucat, Tahulah dia bahwa dia terluka di bagian daiam dadanya, akan tetapi untuk membela Suhunya, pemuda ini sudah bangkit kembali dan menerjang maju.
"Kwan Bu, jangan maju! Pinceng paling tidak suka mengeroyok lawan! Ha-ha, kau lihat, mereka berdua ini belum tentu dapat merobohkan Pat-Jiu Lo-Koai. Tangan mereka hanya empat buah, sedangkan tangan pinceng ada delapan buah, mana mungkin mereka bisa menang?"
Hwesio yang terdesak masih mampu mempermainkan dua orang lawannya, Memang julukannya adalah Pat-Jiu Lo-Koai (Setan Tua Elertangan Delapan) dan kini mulaiiah ia bersilat secara aneh sehingga kedua tangannya itu seolah-olah telah berubah menjadi delapan saking cepatnya kedua gerakan tangannya. Akan tetapi, Hwesio itu sudah amat lelah dan senjata kedua orang lawannya itu benar-benar tak boleh dipandang ringan sehingga sebentar saja ia sudah mulai mundur-mundur pula.
"Suhu, teecu mengembalikan pedang Suhu!"
Tiba-tiba Kwan Bu berseru sambil melontarkan Toat-Beng-Kiam ke arah Suhunya yang baru saja membebaskan diri dengan bergulingan sampai jauh. Pat-Jiu Lo-Koai menerima pedang itu, mengangkatnya tinggi-tinggi lalu tertawa bergelak dan berkata,
Kisah Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo