Ceritasilat Novel Online

Kisah Tiga Naga Sakti 17


Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 17



Pek I Nikouw juga bertanya.

   "Sayang, ketika pinceng datang, mereka telah kabur"".."

   Kata Thian Ki Hwesio.

   "Siapakah mereka? Apa yang terjadi"

   Pek I Nikouw bertanya khawatir.

   "Begini, subo. Teecu dan suami teecu mendengar berita bahwa malam tadi terjadi penyerbuan di Kuil Ban-hok-tong itu. Teecu berdua berpendapat bahwa tentu orang-orang jahat itu akan mengulangi lagi penyerangan mereka, maka teecu berdua cepat-cepat menyusul rombongan pengawal benda suci untuk membantu subo menghadapi orang-orang jahat. Ketika teecu berdua dapat menyusul di kota ini, rombongan telah tiba di kuil dan benar saja, teecu melihat pertempuran di depan kuil. Teecu hendak membantu, akan tetapi teecu lalu melihat gerakan dua orang nenek yang. mencurigakan di belakang kuil. Teecu berdua lalu mengejar mereka dan ternyata mereka itu hendak memasuki kuil dari belakang dan mereka telah merobohkan beberapa orang perajurit penjaga. Kami berdua lalu menyerang dan terjadilah pertempuran. Akan tetapi, dua orang nenek itu benar-benar amat lihai, subo."

   "Hemm, kalian kalah dan terluka oleh mereka?"

   Tanya Pek I Nikouw dengan hati khawatir. Dia tahu bahwa muridnya ini telah mencapai tingkat tinggi dan hampir semua ilmunya telah diturunkan kepada Beng Lian, dan suami muridnya ini, Yap Yu Tek juga bukan seorang lemah dan bahkan sedikit lebih lihai dari muridnya karena pemuda ini adalah murid terkasih dari Tiong-san Lo-kai, kakek pengemis sakti yang dikenalnya dengan baik. Akan tetapi mereka telah dikalahkan dan terluka oleh dua orang nenek itu.

   "Mereka hebat sekali, locianpwe,"

   Kata Yap Yu Tek.

   "Kami menggunakan pedang dan mereka menghadapi kami dengan tangan kosong saja! Namun, dalam belasan jurus saja kami telah terluka oleh tamparan tangan mereka yang mengandung hawa tajam, seperti serangan senjata tajam saja. Kalau tidak cepat datang lo-suhu ini, mungkin kami berdua akan celaka."

   Thian Ki Hwesio berkata.

   "Omitohud""..Thian masih melindungi ji-wi enghiong yang membela kebenaran. Agaknya pinceng sendiri bukan lawan mereka, akan tetapi mereka merasa gentar ketika datang banyak orang dan mereka melarikan diri. Suci, mereka sungguh hebat dan melihat gerakan mereka, agaknya mereka tidak kalah lihai dibandingkan dengan dua orang saikong tadi."

   Pek I Nikouw mengangguk-angguk lalu menghampiri Beng Lian, merobek sedikit baju di pundak muridnya dan memeriksa luka itu. Luka itu memang hebat, seperti luka bacokan golok saja, untung tidak melukai tulang dan juga agaknya tidak beracun. Demikian pula luka di pangkal lengan kanan yang diderita Yu Tek tidak berbahaya.

   "Bibi, engkau harus menolong suheng"

   Tiba-tiba Ling Ling yang memandang ke kanan kiri dan ke atas mencari-cari, berkata sambil menarik tangan bibinya.

   "Suhengmu? Siapa? Mengapa dia?"

   "Suheng Tan Sian Lun, tadi dia datang bersamaku, akan tetapi dia""..dia ditangkap oleh seorang kakek iblis yang berada di atas genteng. Tolonglah dia, bibi!"

   "Dia telah pergi,"

   Kata Pek I Nikouw.

   "Kakek itu lihai bukan main, jarum-jarumku tidak mampu mendekatinya dan dia pergi bersama anak itu. Akan tetapi, pinni masih sangsi apakah dia itu kawan dari gerombolan penjahat. Betapapun, harus kita cari dia, siapa tahu masih berada di atas wuwungan"

   Setelah berkata demikian, Pek I Nikouw lalu meloncat naik ke atas genteng diikuti oleh Thian Ki Hwesio.

   "Kau jaga Ling Ling. Aku akan ikut mencari!"

   Kata Yu Tek kepada isterinya dan diapun meloncat ke atas genteng.

   Beng Lian tinggal di bawah dan mendengarkan penuturan Ling Ling tentang hilangnya murid ayah ibunya yang bernama Coa Gin San di waktu terjadi keributan di kelenteng malam tadi, dan betapa ayah bundanya pergi menyusul ke sarang Im-yang-pai yang berada di Pegunungan Thai-hang-san. Kemudian bercerita tentang dia dan Sian Lun yang tadi melibat Pek I Nikouw terdesak sehingga mereka berdua mencoba untuk membantu nenek itu yang mengakibatkan terculiknya Sian Lun. Mendengar penuturan itu, Beng Lian mengerutkan alisnya. Keparat, pikirnya. Orang-orang Im-yang-pai itu benar-benar jahat dan harus dibasmi, bukan saja memusuhi pemerintah dan Agama Buddha, akan tetapi juga menyusahkan keluarga kakaknya dan telah melukai dia dan suaminya!

   Sementara itu, Pek I Nikouw yang dibantu oleh Thian Ki Hwesio, Yap Yu Tek, juga beberapa orang perwira pengawal yang berloncatan naik ke atas genteng, tidak berhasil menemukan kakek aneh yang tadi melarikan Sian Lun. Bahkan bayangan atau jejaknya saja tidak nampak. Setelah mencari-cari di atas genteng rumah-rumah dan tidak melihat apa-apa terpaksa mereka turun dengan hati khawatir.

   "Peristiwa keributan yang terjadi berbareng dengan usaha pengacauan terhadap penyambutan benda suci ini jelas merugikan keluarga kakakku. Jangan-jangan mereka itu adalah musuh-musuh kakak Beng Han,"

   Kara Beng Lian

   "Pinni kira tidak demikian,"

   Kata Pek I Nikouw menjawab kata-kata muridnya.

   "Yang jelas, mereka itu memang menentang pawai untuk menghormati benda suci, dengan kata lain, mereka itu menentang dan memusuhi Agama Buddha. Adapun kedua orang anak murid dan keponakan, Gan sicu terjadi karena kebetulan saja, karena anak-anak itu berani melawan mereka dan mencoba menggagalkan usaha mereka."

   Luka-luka di pundak Beng Lian dan pangkal lengan Yu Tek tidak berbahaya. Setelah diobati, Beng Lian lalu mengantarkan Ling Ling pulang. Anak itu tidak menangis, akan tetapi-wajahnya pucat dan dia selalu merasa gelisah kalau mengingat akan dua orang suhengnya yang lenyap.

   Karena Ling Ling tidak ada temannya, maka Beng Lian dan suaminya bermalam di rumah kakaknya yang ditinggal pergi oleh penghuninya itu. Juga Pek I Nikouw setelah menyelesaikan urusannya di Kuil Ban-hok-tong, lalu menyusul ke rumah Gan Beng Han di mana mereka bertiga mengadakan perundingan sendiri.

   "Fihak musuh itu amat lihai,"

   Antara lain Pek I Nikouw berkata.

   "Dua orang saikong tadi saja sudah memiliki kepandaian amat tinggi dan pinni sendiri bersama sute Thian Ki Hhwesio hanya mampu mengimbangi mereka. Dua orang wanita tua yang menghadapi kalian itu, melihat betapa dengan tangan kosong saja mereka menghadapi pedang kalian dan membuat kalian terluka, kiranya memiliki kepandaian yang tidak kalah lihainya dari dua orang saikong itu. Menurut sute Thian Ki Hwesio pembesar setempat yang telah melaporkan hal itu ke kota raja, bermaksud mengirim pasukan untuk menyerbu Im-yang pai. Pinni dan sute akan memperkuat pasukan itu, juga mewakili agama untuk minta pertanggungan jawab fihak Im-yang-pai, kalau memang benar mereka yang melakukan penyerangan itu. Akan tetapi pinni masih sangsi apakah kami akan berhasil, apakah cukup kuat"".."

   "Locianpwe, bagaimana kalau teecu mohon bantuan suhu?" "Si tua Tiong-san Lo-kai?"

   Nikouw itu berseru dengan wajah terang.

   "Ah, benar! Sebaiknya begitu, dan kalau dia mau membantu pinni, tentu kedudukan kami akan jauh lebih kuat. Akan tetapi suhumu itu adalah seorang yang wataknya aneh, pinni meragukan apakah dia akan suka membantu. Biasanya, dia itu hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri belaka, biar melihat muridnya terluka dan isteri muridnya juga terluka, kalau dia sendiri tidak tersangkut langsung, mana dia mau"" ".

   "Ha-ha-ha, nikouw tua! Engkau sudah tahu aku berada di sini dan sengaja membakar hatiku! Benar-benar sudah menjadi nikouw masih saja cerdik!"

   "Suhu"".!"

   Yu Tek berseru kaget dan girang ketika melihat seorang kakek berpakaian tambal-tambalan tiba tiba muncul di ruangan rumah itu.

   "Locianpwe""..!"

   Beng Lian juga cepat maju berlutut di samping suaminya.

   Pek I Nikouw tersenyum memandang kakek Itu.

   "Pinni tidak membakar hati siapapnn, akan tetapi tidak benarkah demikian pendapat pinni? Kalau tidak benar, biarlah pinni minta maaf kepadamu, Lo-kai, dan sebelumnya pinni mengucapkan terima kasih atas bantuanmu menjernihkan persoalan dengan Im-yang-pai ini."

   Tiong-san Lo-kai dipersilakan duduk. Kakek ini menarik napas panjang. Tiong-san Lo-kai adalah seorang kakek sakti yang suka berkelana, dan akhirnya dia bertapa di Pegunungan Tiong-san sehingga dia memperoleh julukan Tiong-san Lo-kai (Pengemis Tua dari Tiong-san). Dia adalah guru dari Yap Yu Tek dan ketika dia mendengar tentang pawai yang mengawal benda suci, seperti orang-orang kang-ouw lainnya yang tertarik akan peristiwa ini, dia lalu turun gunung dan menonton. Ketika mendengar bahwa arak-arakan itu telah tiba di kota Cin-an, dia cepat menyusul dan pada hari itu dia mendengar akan keributan yang baru saja terjadi di Kuil Ban-hok-tong.

   Dia cepat pula mengunjungi kuil itu dan melihat muridnya, isteri muridnya, dan Pek I Nikouw memasuki sebuah rumah. Dia cepat membayangi mereka dan mendengarkan percakapan mereka, lalu muncul setelah muridnya dan Pek I Nikouw menyinggung-nyinggung dan menyebut namanya. Tentu saja Pek I Nikouw yang bermata tajam dan berpendengaran peka itu lebih dulu telah dapat melihat tempat persembunyiannya maka nikouw itu sengaja mengeluarkan kata-kata menyindir.

   "Pek I Nikouw, yang kauhadapi adalah urusan yang amat besar dan berbahaya. Siapa yang tidak mengenal Im-yang-pai di Tai-hang-san? Siapa yang tidak mengenal Kok Beng Thiancu, tokoh kawakan dari Im-yang-pai? Siapa pula tidak mendengar nama Kim-sim Nio-cu, puterinya yang kini menjadi kauwcu (ketua agama) dari Im-yang-kauw? Harap kau jangan main-main, Pek I Nikouw."

   "Lo-kai, siapa yang main-main? Adalah Im-yang-pai yang telah berani main gila! Menghina dan mencoba untuk mengacau upacara suci dari Agama Buddha! Apakah agama kami kalah besar dibandingkan dengan Im-yang-pai? Engkau tahu bahwa lm-yang-pai dibandingkan dengan Hud-kauw hanya sekuku hitamnya saja. Namun mereka berani main-main mengganggu kami! Pinni tahu bahwa Im-yang-kauw mempunyai banyak tokoh pandai akan tetapi demi agama, pinni siap untuk mempertaruhkan nyawa pinni!"

   "Ha-ha-ha, sungguh mengherankan mendengar suara keras dari seorang seperti engkau yang selalu menjadi abdi dari Dewi Welas Asih Kwan Im Pouwsat! Bukankah biasanya, untuk menolong sesama manusia, engkau bersedia mempertaruhkan nyawa pula? Kenapa sekarang berubah menjadi keras?"

   "Lo-kai, kalau ada urusan menyangkut diri pinni sendiri, pinni akan mengalah dan tidak akan menggunakan kekerasan. Akan tetapi kalau agama yang diganggu, siapapun adanya mereka yang mengganggu, akan pinni lawan!"

   Tiong-san Lo-kai menghela napas panjang.

   "Hemm, kalian orang-orang yang mengabdi agama memang selalu begitu"".."

   "Dan jangan lupa bahwa perbuatan Im-yang-pai itu bukan hanya menghina agama kami, akan tetapi juga merupakan pemberontakan terhadap pemerintah! Upacara pawai ini adalah kehendak kaisar, kehendak pemerintah, bukan urusan agama kami semata, akan. tetapi mereka itu berani datang mengacau, berarti mereka telah melakukan pemberontakan! Ini adalah urusan besar, Lo-kai, akan tetapi karena pinni tahu betapa kuatnya Im-yang-pai dan sebelum pemerintah turun tangan, sebelum golongan atas dari agama kami turun tangan, kami sendiri merupakan tenaga yang amat terbatas, maka pinni mengharapkan bantuanmu, mengingat akan persahahatan kita dan mengingat pula bahwa engkau selalu siap untuk menentang kejahatan."

   Kakek itu tersenyum lebar.

   "Menghadapi uraianmu itu, siapa yang dapat menolak, Pek I Nikouw. Baiklah, aku akan membantu, akan tetapi jangan mengira bahwa aku membantu demi pemerintah atau demi agamamu, melainkan karena aku melihat bahwa Im-yang-pai memang keterlaluan, mengandalkan kekuatan sendiri mengacaukan fihak lain."

   Mereka lalu mengadakan perundingan dan karena Beng Lian dan Yu Tek terluka, biarpun ringan, sedangkan Ling Ling juga perlu dilindungi dalam keadaan yang sedang gawat itu, maka suami isteri muda ini tidak ikut, bahkan lalu mengajak Ling Ling ke An-kian setelah meninggalkan pesan kepada para pelayan di rumah kakaknya itu. Dan pada keesokan harinya, datanglah pasukan besar yang terdiri dari tigaratus orang langsung datang dari markas di perbatasan propinsi atas perintah dari kota raja, dipimpin oleh beberapa orang panglima perang yang kuat dan disertai pula perintah yang diperkuat dengan tanda kekuasaan dari kaisar untuk menangkap para pimpinan Im-yang-pai di Tai-hang-san!

   Tentu saja hati Pek 1 Nikouw menjadi besar dan lega. Dengan pasukan besar yang kuat ini dia akan dapat menekan Im-yang-pai. Maka setelah membereskan urusan pengawalan benda suci ke kota raja, berangkatlah pasukan itu menuju ke Tai-hang-san, dipimpin oleh panglima dari kota raja dan diperkuat oleh Pek I Nikouw, Thian Ki Hwesio, dan kakek jembel sakti Tiong-san Lo Ke manakah perginya Sian Lun? Siapakah kakek aneh yang tahu-tahu berada di atas genteng itu?

   Dia seorang kakek yang usianya tentu sudah tujuhpuluh tahun lebih, tubuhnya kurus pakaiannya sederhana dan tingginya sedang saja Kalau dilihat sepintas lalu, pasti tidak ada orang yang akan menyangka bahwa dia seorang manusia luar biasa. Wajahnya seperti kakek-kakek tua renta biasa saja, rambutnya yang jarang itu sudah banyak putihnya, demikianpun alisnya, kumisnya dan jenggotnya sudah banyak ubannya. Wajahnya agak kehitaman terlalu banyak dibakar panas matahari, seperti wajah kakek-kakek petani yang banyak bekerja di ladang dan membiarkan dirinya mandi cahaya matahari sepanjang hari.

   Hanya bedanya, kalau wajah kakek kakek biasa selalu penuh dengan keriput-keriput tanda banyak mengalami ketegangan batin di waktu hidupnya, wajah kakek ini masih halus dan berseri seperti wajah orang muda, terutama sekali sinar matanya demikian tajam, hidup dan bersinar-sinar mengandung kegembiraan dan gairah hidup, seperti juga mulutnya yang selalu tersenyum penuh pengertian dan kesabaran di samping ketenangan wajah itu.

   Orang akan menyangka bahwa dia adalah seorang kakek petani atau kakek nelayan yang hidup sederhana. Pakaiannya biasa saja dan terbuat dari bahan yang kasar dan murah, hany"

   Bajunya mempunyai kantong-kantong yang besat dan lebar, seperti juga lengan bajunya yang lebar seperti baju hwesio. Rambutnya digelung sembarangan ke atas dan diikat dengan kain kuning, sedangkan warna pakaiannya juga ke kuning kuningan, entah memang berwarna kuning ataukah warna putih yang sudah menguning. Sepatunya juga sepatu tua yang masih kuat.

   Ketika Sian Lun terancam bahaya dan diserang oleh seorang di antara dua saikong itu dan agaknya tidak ada jalan keluar bagi anak itu yang terancam maut, tiba-tiba saja dia disambar oleh sinar hitam dan terangkat naik ke atas genteng. Sinar hitam itu adalah sabuk panjang berwarna biru, sabuk yang dipakai oleh kakek tua renta itu dan dipergunakan untuk menyelamatkan Sian Lun.

   Biarpun Sian Lun masih kecil dan dia terkejut setengah mati ketika tahu-tahu pinggangnya disambar oleh sinar hitam dan tubuhnya tahu-tahu meluncur ke atas genteng, namun dia adalah keponakan dan murid suami isteri pendekar dan dia tahu bahwa kakek aneh ini telah menyelamatkannya. Dia menengok dan melihat kakek yang sederhana itu tersenyum kepadanya, Karena dia duduk di atas genteng yang miring, maka dia tidak berani banyak bergerak, hanys membungkuk dan berkata,

   "Locianpwe, teecu menghaturkan terima kasih atas pertolongan locianpwe yang telah menyelamatkan teecu. dari bahaya."

   Kakek itu tertawa, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan dia memandang wajah anak itu dengan penuh selidik, penuh perhatian dan penuh kagum.

   "Kau anak baik, hemm, siapakah namamu?"

   "Nama teecu Tan Sian Lun""

   Dan harap Locianpwe suka menurunkan teecu lagi karena teecu harus menolong sumoi dan"".."

   "Anak perempuan itu sumoimu? Ah, jangan khawatir, dia telah ditolong oleh nikouw lihai itu."

   Sian Lun menengok dan melihat bahwa Ling Ling memang sudah dipondong oleh Pek I Nikouw dan kini para hwesio dan para perwira telah mulai maju hendak mengepung dan mengeroyok dua orang saikong yang mengamuk.

   "Teecu harus turun tangan untuk membantu!"

   Kembali Sian Lun berkata, akan tetapi ketika dia hendak bergerak, dia merasa betapa tubuhnya tidak mampu bergerak, padahal kakek itu hanya menaruh tangan di pundaknya secara halus.

   "Anak yang baik, mengandalkan keberanian tanpa memakai perhitungan bukanlah perbuatan gagah namanya, melainkan suatu ketololan belaka! Tenagamu sama sekali tidak dibutuhkan di bawah itu. Pula, mereka itu adalah manusia-manusia boneka yang bukan menjadi manusia lagi melainkan menjadi boneka dan alat dari agama dan kepercayaan masing-masing. Apakah engkau hendak ikut-ikut, engkau yang masih bersih dan wajar ini?"

   Sian Lun terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa tubuhnya sama sekali tidak mampu bergerak, dan kini dia heran mendengar kata-kata itu. Dia tidak mengerti, maka dia lalu memandang wajah itu. Kagetlah dia melihat dua mata yang mencorong seperti mata naga dalam dongeng, yang membuatnya silau sehingga dia cepat mengalihkan pandang matanya ke bawah, lalu dia bertanya.

   "Apa maksud locianpwe?"

   "Ha-ha-ha, engkau ingin tahu? Anak yang baik, melihat sepak terjangmu tadi, aku tahu bahwa engkaulah anak yang pantas untuk menjadi pewaris semua ilmu yang pernah kupelajari, maka aku merasa sayang melihat engkau hampir tewas oleh ancaman saikong itu. Engkau ingin tahu apa yang kumaksudkan dengan kata-kataku tadi? Marilah kau ikut bersamaku dan engkau akan tahu lebih banyak lagi."

   Sian Lun mengerutkan alisnya.

   "Akan terapi"".."

   Dia teringat bahwa dia adalah murid dari paman guru dan bibi gurunya. Akan tetapi peristiwa yang dilihatnya tadi membuat dia sadar bahwa tingkat kepandaian paman guru dan bibi gurunya itu sebenarnya belum berapa tinggi. Padahal tadinya dia menganggap bahwa kepandaian mereka yang juga menjadi guru-gurunya itu sudah tak dapat diukur lagi tingginya.

   Kini, dia melihat sendiri betapa Pek I Nikouw, yang kabarnya adalah guru dari adik kandung supeknya, yang menurut supeknya memiliki kepandaian yang tinggi sekali, ternyata terdesak oleh saikong itu! Dan juga para tosu yang menyerbu kuil malam tadipun berkepandaian tinggi sehingga supeknya menyatakan kekhawatirannya dan berkata betapa lihainya orang-orang Im-yang-pai. Dan kini, dia telah diselamatkan oleh seorang kakek yang luar biasa pula. Betapa banyaknya orang pandai di dunia ini dan ternyata jelas olehnya bahwa tingkat kepandaian suami isteri yang menjadi guru-gurunya itu belum tergolong tingkat yang tinggi. Tentu saja dia tidak bisa begitu saja meninggalkan guru-gurunya dan ikut bersama kakek yang belum dia kenal ini, akan tetapi ada pula keinginan menyelinap di dalam hatinya untuk menjadi orang yang pandai, yang kelak akan dapat menghadapi orang-orang jahat seperti para pengacau itu.

   Pada saat itu, Pek I Nikouw yang telah gagal merobohkan atau menangkap dua orang saikong yang melarikan diri, menyerang kakek di atas genteng itu dengan jarum-jarumnya yang biasanya amat lihai dan sukar untuk dihindarkan oleh lawan yang lihai sekalipun. Akan tetapi, kakek ini dengan amat mudah menggerakkan tangan dan Sian Lun merasa ada hawa pukulan dahsyat menyambar ke depan dan meruntuhkan jarum-jarum itu. Kemudian, sebelum dia tahu apa yang terjadi, tiba-tiba saja tubuhnya sudah meluncur cepat dari atas genteng itu seolah-olah dia telah diterbangkan oleh angin yang dahsyat! "Locianpwe, harap berhenti"".."

   Sian Lun berkata terengah-engah karena angin membuat dia sukar bernapas. Dia berseru demikian ketika melihat betapa dia sudah meluncur sampai keluar dari kota Cin-an, melalui dinding tembok kota yang sunyi karena semua orang agaknya pergi menonton penyambutan benda suci di Kuil Ban-hok-tong itu.

   Kakek itu berhenti dan melepaskan Sian Lun setelah dia meloncat turun ke atas tanah di luar tembok kota. Sian Lun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu yang berdiri sambil tersenyum, sedikitpun tidak kelihatan lelah padahal kakek itu tadi telah berloncatan seperti terbang saja cepatnya.

   "Locianpwe, harap locianpwe maafkan teecu, akan tetapi tidak mungkin teecu dapat ikut pergi bersama locianpwe."

   "Hemm, mengapa tidak dapat? Engkau berbakat dan engkau penuh semangat, engkau berwatak pemberani dan tidak suka melihat kejahatan. Apa engkau tidak suka mempelajar ilmu-ilmu tinggi untuk memperlengkapi dirimu menjadi seorang pendekar?"

   "Bukan demikian, locianpwe. Teecu akan berterima kasih apabila locianpwe sudi membimbing teecu. Akan tetapi, teecu tidak mungkin berani meninggalkan rumah supek dan su-pek-bo begitu saja. Mereka adalah guru-guru teecu, juga pengganti orang tua teecu, dan mereka kini sedang pergi, teecu diharuskan melindungi sumoi dan""."

   "Sumoimu sudah aman di tangan nikow itu Dan siapakah guru-gurumu itu? Apakah mereka lebih hebat dari pada nikouw itu?"

   "Tidak""

   Tidak selihai Pek I Nikouw, akan tetapi"".. mana berani teecu pergi begitu saja tanpa pamit? Hendaknya locianpwe ketahui bahwa sejak bayi teecu telah dirawat oleh mereka sehingga boleh dibilang teecu adalah anak mereka pula."

   Kakek itu mengangguk-angguk.

   "Bagus! Engkau mengenal budi dan engkau berbakti. Akan tetapi lepas dari semua itu, jawablah apakah engkau suka menjadi muridku?"

   Sian Lun memang amat kagum kepada kakek ini. Ketika menolong dia, ketika meruntuhkan jarum-jarum Pek I Nikouw, ketika membawanya lari keluar kota, semua itu membuktikan bahwa kakek ini benar-benar memiliki kesaktian hebat, tidak kalah oleh Pek I Nikouw dan tentu saja jauh lebih lihai dari paman dan bibi gurunya! Tentu saja dia akan suka sekali menjadi murid kakek ini, maka dia menjawab sejujurnya.

   "Teecu suka sekali, akan tetapi teecu harus bertanya dulu dan minta perkenan dari supek dan supek-bo."

   "Hemm, katakan siapa nama mereka dan di mana mereka tinggal?"

   "Mereka tinggal di kota Cin-an itu, locianpwe. Nama supek adalah Can Beng Han Supek-bo adalah sumoinya dan mereka adalah nurid-murid dari sukong Lui Sian Lojin""."

   "Ahhh""..?? Ha ha ha, kiranya engkau cucu murid dari Lui Sian Lojin yang bertapa di puncak Kwi-hoa-san. Ha ha-ha, sungguh aneh, sungguh kebetulan sekali. Kiranya masih segolongan sendiri. Kau tahu siapa Lui Sian Lojin? Dia adalah murid keponakanku."

   Sian Lun terkejut setengah mati mendengar ini, Dia sendiri belum pernah melihat Lui Sian Lojin kakek gurunya itu yang oleh supek dan supek-bonya dikabarkan sebagai seorang manusia setengah dewa yang tinggi sekali ilmunya. Akan tetapi, ternyata sukongnya itu malah murid keponakan dari kakek ini. Dengan demikian, kakek ini adalah kakek buyut gurunya! Maka dia cepat memberi hormat dan menyentuh tanah di depan kakek itu dengan dahinya.

   "Sucouw""..!"

   Katanya.

   "Ha-ha-ha, mulai sekarang engkau adalah muridku dan engkau menyebut suhu kepadaku. Ketahuilah, Sian Lun, bahwa selama hidupku baru sekarang ini aku menerima murid. Suhengkupun hanya mempunyai seorang murid yaitu Lui Sian Lojin itulah. Jangan khawatir, aku akan memberi tahu kepada Gan Beng Han dan isterinya bahwa engkau kuajak pergi untuk belajar ilmu.

   "

   "Bagaimana caranya? Supek dan supek-bo sedang pergi""."

   Kata Sian Lun sangsi.

   Kakek itu menoleh ke kanan kiri dan melihat sebatang pohon besar di tepi jalan.

   "Kau-nantilah aku di bawah pohon itu sebentar, jangan pergi kemanapun sebelum aku kembali. Aku akan meninggalkan pesan di rumah supekmu."

   "Baik, suhu"".."

   Kata Sian Lun dengan agak kikuk karena ia harus menyebut guru kepada kakek buyut itu.

   Setelah melihat anak itu duduk di bawah pohon, kakek itu lalu berjalan pergi kembali ke arah kota Cin-an. Dia kelihatan berjalan, akan tetapi tubuhnya berkelebat dan dalam sekejap mata saja lenyaplah bayangan kakek itu dari depan Sian Lun, membuat anak ini menjadi bengong saking heran dan kagumnya. Makin terkejut dan heranlah hati Sian Lun ketika tak lama kemudian, bayangan kakek itu sudah berkelebat datang dan tahu-tahu telah berdiri di depannya sambil tersenyum.

   "Ha-ha mereka tidak akan terkejut dan marah kepadamu kalau pulang dan melihat suratku di atas meja dalam kamar mereka."

   Hampir Sian Lun tidak dapat percaya bahwa waktu yang amat singkat itu dapat dipergunakan oleh kakek ini untuk pergi pulang pergi ke rumah supeknya dan meninggalkan surat dalam kamar supeknya itu. Agaknya kakek itu dapat melihat keraguan di hati Sian Lun. Dia tersenyum dan berkata.

   "Sian Lun, kelak engkau akan tahu bahwa apa yang telah kulakukan ini bukan apa-apa dan tidak perlu dibuat heran. Ketahuilah bahwa ada berita baik mengenai sumoimu. Sumoimu itu telah dibawa pergi oleh bibinya ke kota An-kian dalam keadaan selamat.""

   "Bibinya""..? Locianpwe"".. eh, suhu maksudkan bibi Gan Beng Lian?"

   "Benar, aku melihat mereka semua di sana, Sumoimu itu, Pek I Nikouw, bibi sumoimu yang katanya adalah murid Pek I Nikouw, suaminya, dan aku melihat wajah yang kukenal baik, searang pendekar jembel yang amat baik, yang berjuluk Tiong-san Lo-kai. Sumoimu akan dibawa pergi ke An-kian dalam perlindungan bibi dan pamannya, sedangkan Pek I Nikouw bersama Tiong-san Lo-kai akan membantu pasukan yang akan menyerbu Im-yang-pai. Ha-ha-orang-orang gila itu sungguh hanya akan membikin kacau dunia saja dengan segala dendam dan permusuhan mereka."

   Sian Lun makin terkejut.

   "Jadi suhu"..bertemu dan bicara dengan mereka tentang teecu?"

   Kakek itu menggeleng kepalanya.

   "Tidak aku tidak mengganggu mereka. Melihat mereka sedang asyik berunding, aku diam-diam memasuki kamar paman gurumu dan meninggalkan sedikit catatan bahwa engkau ikut pergi bersamaku."

   Sian Lun makin kagum. Bukan hanya kecepatan suhunya ini luar biasa, akan tetapi juga suhunya telah dapat memasuki kamar supeknya tanpa diketahui orang, padahal di rumah itu terdapat demikian banyaknya orang lihai. Hal ini saja sudah membuktikan betapa kakek ini benar-benar amat luar biasa.

   Memang kakek itu bukanlah orang sembarangan. Dia adalah seorang sakti yang tidak mau menonjolkan namanya di dunia kang-ouw. Berbeda dengan suhengnya yang berjuluk Bu eng Lo-jin (Orang Tua Tanpa Bayangan), yang membuat nama besar di dunia kang-ouw dan baru setelah tua sekali Bu-eng Lo-jin mengundurkan diri bertapa di Kwi-hoa-san dimana dia mengambil seorang murid yang kemudian mewarisi kepandaiannya dan rnenjadi pendekar terkenal pula, yang setelah berusia enampuluh tahun juga menjadi pertapa di puncak Kwi-hoa-san, yaitu Lui Sian Lojin.

   Kakek ini selalu menyembunyikan diri hidup di kalangan rakyat jelata yang miskin, kadang-kadang dia hidup sebagai seorang petani di pegunungan, hidup tenteram dan tenang penuh kedamaian, bergulat dengan tanah dan air, bergembira dengan tanam-tanaman. Ada kalanya dia hidup sebagai seorang nelayan, bergurau dengan alunan ombak lautan, mengadu nasib dengan ikan-ikan dan hidup serba sederhana lahir batin. Kakek ini adalah sute dari Bu-eng Lo-jin dan tetap memakai namanya sendiri, nama kecil yang diberikan oleh ayah bundanya kepadanya, yaitu Siangkoan Lee. Hanya setelah tua, dia dikenal orang sebagai Siangkoan Lojin (Orang tua she Siangkoan) saja, dan selama hidupnya dia tidak pernah mau menikah.

   Ilmu kepandaian Bu-eng Lo-jin amat hebat sehingga muridnya, Lui Sian Lojin juga kemudian menjadi tokoh kang-ouw yang disegani. Akan tetapi, kepandaian sutenya ini sebenarnya lebih hebat dari pada suhengnya, terutama sekali ilmu ginkangnya yang setingkat lebih tinggi dari kepandaian suhengnya itu. Akan tetapi, karena melihat betapa ilmu silat hanya menambah kekerasan, permusuhan dan perkelahian, kakek ini sebegitu jauh belum pernah mengambil murid, sungguhpun dia tidak pernah lalai melatih dirinya, bahkan dia telah menciptakan beberapa macam ilmu silat yang hebat. Dia memperdalam ilmu silatnya sama sekali bukan dengan pikiran akan mencari permusuhan. Sampai dia menjadi tua, belum pernah dia bermusuhan dengan siapapun juga, bahkan tidak ada orang kang-ouw yang mengenal namanya. Dia selalu menjauhkan diri apabila menghadapi kekerasan, dan selalu mengalah dan menjauhi fihak yang menggunakan kekerasan. Dia memperdalam ilmunya karena memang dia suka sekali akan ilmu ini.

   Akan tetapi, setelah pada suatu hari dia tertimpa penyakit dan nyaris mati oleh penyakitnya itu, mulai dia teringat bahwa semua ilmu yang dipelajarinya dengan segala ketekunan dan jerih payah selama puluhan tahun itu akan hilang begitu saja terbawa mati olehnya! Mulailah dia melihat bahwa ilmu silat, seperti juga ilmu-ilmu apapun di dunia ini, tidaklah buruk dan tidak pula baik. Ilmu adalah ilmu, dan seperti juga segala apa di dunia ini, ilmu merupakan pelengkap kehidupan manusia, diadakan untuk keperluan manusia. Baik atau buruknya ilmu apapun bukan ditentukan oleh ilmu itu sendiri yang merupakan barang mati, melainkan ditentukan oleh orangnya yang menguasainya.

   Demikian pula dengan ilmu silat. Sebagai alat menyehatkan tubuh, sebagai olah raga, sebagai kesenian, sebagai pelindung dari ancaman bahaya terhadap tubuh, ilmu silat merupakan ilmu yang amat baik untuk dipelajari. Tubuh yang sehat kuat setidaknya membawa kebaikan dan keuntungan pula bagi batin, dan demikian pula sebaliknya. Tentu saja ilmu silat akan kehilangan kebaikannya dan akan menjadi ilmu yang amat kotor dan jahat kalau dipergunakan untuk melakukan kekerasan, penindasan, dan penganiayaan terhadap sesama, dipergunakan sebagai alat untuk mencapai kekuasaan dan keuntungan bagi diri pribadi. Seperti juga dengan segala macam benda pelengkap kehidupan manusia di dunia ini.

   Setelah sadar akan hal ini, mulailah Siangkoan Lojin membuka mata dan mencari-cari calon murid. Tidaklah mudah memilih calon murid ini karena selain anak atau orang itu harus berbakat, diapun harus mempunyai rasa suka akan ilmu silat di samping batin yang bersih dan jiwa yang penuh semangat, nyali yang besar dan tulang yang baik. Secara kebetulan, dia menemukan Sian Lun di Kuil Ban-hok-tong yang sedang dilanda keributan itu. Dia menyelamatkan anak itu dan setelah dia rnemegang tubuh anak itu, melihat sikap dan watak Sian Lun, seketika dia merasa bahwa anak inilah yang patut mewarisi kepandaiannya! Dan hatinya bertambah gembira ketika dia mendengar bahwa supek dari anak ini adalah murid dari Lui Sian Lojin, murid keponakannya sendiri! Dengan demikian, anak yang telah mulai terdidik ilmu silat itu adalah "sealiran"

   
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengan dia sendiri! "Kalau boleh teecu mengetahui"".. siapakah suhu, siapakah nama suhu selain sebagai susiok (paman guru) dari sukong Lui Sian Lojin?"

   Kakek itu tersenyum lebar dan Sian Lun yang memandang wajah suhunya itu melihat betapa semua gigi dalam mulut itu telah lenyap. Mulut itu tanpa gigi, seperti mulut bayi! "Ha-ha, apakah artinya nama? Nama hanya memisah-misahkan manusia belaka, dan nama julukan hanya membuat kepala kemasukan angin dan menjadi menggembung seperti karet, mudah meledak! Akan tetapi, engkau perlu juga mengenal siapa gurumu ini, Sian Lun. Namaku Siangkoan Lee, nama yang sudah terlupa orang bahkan hampir kulupakan sendiri karena tak pernah disebut-sebut lagi. Nama usang lapuk yang sudah tidak ada gunanya lagi. Kalau orang tidak memiliki hak milik apapun, tidak memiliki keluarga, apa pula arti dan gunanya sebuah nama? Ada orang-orang dusun, para petani dan nelayan yang menyebutku Siangkoan Lojin. Heh-heh, kau kecewa bukan bahwa gurumu tidak berjuluk Seng-jin atau Sian-jin, atau Sian-su?"

   "Teecu bodoh dan ucapan suhu belum dapat teecu mengerti, maka teecu mohon petunjuk, suhu. Orang bilang bahwa harimau mati meninggalkan belulang, manusia mati meninggalkan nama. Bukankah hal itu menjadi bukti bahwa nama amatlah penting sehingga kita perlu menjaganya dengan baik sehingga kalau kita mati kelak, nama kita masih akan dipuji-puji sebagai nama yang terhormat dan berharga?"

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Kakek itu tertawa bergelak sambil memegangi perutnya. Kemudian setelah ketawanya mereda, dia berkata.

   "Betapa jelasnya nampak keserakahan manusia. Ucapanmu itu merupakan penyakit umum yang diderita oleh manusia di seluruh dunia, muridku. Manusia melihat betapa dirinya itu kosong, betapa hidup ini hampa, sehingga manusia meraba-raba mencari pegangan, mencari-cari sesuatu yang dianggapnya kekal abadi karena melihat bahwa sebagai manusia hidup mereka tidak abadi. Dan satu di antara obat yang mereka pergunakan adalah nama itulah, dalam usaha mereka agar hidup terus, biar hanya nama! Orangnya boleh mati, akan tetapi namanya harus hidup terus, hidup dengan terhormat.

   Manusia tidak lagi berusaha untuk mengerti hidup, untuk mengisi hidup, melainkan selalu berusaha untuk mementingkan diri sendiri, sejak hidup sampai mati. Bahkan setelah mati pun ingin menjadi yang terhormat! Gila hormat, mabok kesenangan, serakah, penuh dendam dan benci, penuh iri hati dan persaingan, itulah manusia! Sampai matipun telah diaturnya, tanah yang baik, kuburan yang baik untuk mayatnya, lalu tempat yang baik untuk yang dinamakan arwahnya, dan tempat terhormat untuk namanya. Wah-wah, berabe!"

   Sian Lun menjadi bingung. Tentu saja anak berusia sepuluh tahun ini masih belum dapat menangkap apa yang dimaksudkan oleh kakek itu. Semenjak kecil Sian Lun mempelajari kebudayaan dan peradaban dari kitab-kitab yang mengajarkan tata susila, sopan santun, kegagahan dan jiwa pahlawan, contoh contoh yang dianggap sebagai terhormat dan mulia dalam pergaulan masyarakat.

   Kini dia mendengar hal-hal yang dikemukakan oleh suhunya itu sebagai hal-hal yang amat berlawanan dengan apa yang selama ini dibacanya, maka tentu saja dia terkejut dan bingung. Namun, ada sesuatu di dalam hatinya yang terbuka, yang membuat dia dapat melihat kenyataan dan tidak dapat membantah kebenaran apa yang dikemukakan oleh suhunya itu dan dia terheran-heran! Demikianlah, semenjak saat itu, Sian Lun ikut gurunya merantau, ke gunung-gunung, ke hutan-hutan, ke tepi-tepi laut, hidup sebagai petani, sebagai nelayan bahkan kadang-kadang sebagai pengemis, bebas merdeka seperti burung di udara, dan setiap waktu terluang dipergunakan untuk berlatih ilmu silat.

   Dia diharuskan mulai lagi dari permulaan, diajarkan dasar-dasar ilmu silat, pasangan kuda-kuda, langkah-langkah kaki, melatih otot-tot dan pernapasan, mengumpulkan hawa murni dan melatih sinkang Semua petunjuk suhunya ditaatinya dan memang anak ini amat rajin sehingga suhunya merasa puas sekali sungguhpun hal itu tidak pernah diutarakannya, baik melalui ucapan atau melalui sikapnya yang acuh tak acuh.

   Im-yang-pai merupakan sebuah perkumpulan yang besar dan pusat mereka yang berada di lereng Pegunungan Tai-hang-san juga amat luas. Sebenarnya, perkumpulan itu didirikan oleh para pemeluk Agama Im-yang-kauw, suatu agama tua yang tidak berapa banyak pengikutnya. Akan tetapi karena agama itu erat sekali hubungannya dengan ilmu kebatinan dan ilmu silat, maka perkumpulan itu menjadi sebuah perkumpulan yang amat kuat dan di dalamnya terdapat tokoh-tokoh berilmu tinggi yang sekaligus juga menjadi tokoh-tokoh Agama Im-yang-kauw.

   (Lanjut ke Jilid 18)

   Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18

   Bangunan-bangunan besar yang dikelilingi dinding yang berwarna putih dan tinggi sudah nampak dari kaki Gunung Tai-hang-san, merupakan kompleks kuil yang amat luas, memiliki perkebunan sayur sendiri, bangunan-bangunan untuk para anggautanya, pendeknya merupakan semacam perkampungan besar di mana tinggal tidak kurang dari seratus orang anggauta Im-yang-pai. Memang banyak pula para penganut Im-yang-kauw yang tidak masuk menjadi anggauta Im-yang-pai, yaitu mereka yang tidak suka akan ilmu silat, karena Im-yang-pai adalah perkumpulan dari ahli-ahli silat di mana diajarkan Ilmu-ilmu silat yang khas dari Im-yang-pai.

   Im-yang-kauw adalah satu di antara aliran-aliran kebatinan yang banyak terdapat di Tiongkok, sebadai peninggalan jaman dahulu, di jaman Kerajaan Han (abad ke dua dan pertama sebelum Masehi). Sesungguhnya, aliran-aliran itu merupakan perpecahan-perpecahan dari agama-agama besar seperti Agama Hud-kauw (Buddhisme), Kong-hu-cu (Confucianisme), Taoisme dan agama-agama yang datang dari See-thian (negara barat, yaitu India). Perpecahan-perpecahan ini menjadi banyak, sampai belasan macam yang membentuk aliran-aliran sendiri sesuai dengan selera kepentingan mereka.

   Akan tetapi yang terbesar adalah enam macam aliran, yang merupakan perpecahan dari agama-agama besar Buddhisme, Confucianisme, dan Taoisme, yaitu; Aliran kebatinan atau Agama Ju yang sesungguhnya adalah penerus pelajaran-pelajaran dari Nabi Khong Cu. Aliran ini mendukung adanya kekuasaan feodal, menganggap kaisar sebagai Cinbeng Thian-cu (Putera Tuhan) dan segi-segi kehidupan diatur dengan lee (aturan) yang dijiwai dengan jin (perikemanusiaan) dan gi (keadilan). Inilah aliran pertama.

   Aliran ke dua menamakan dirinya aliran Mo yang menganggap Mo Ti sebagai nabinya. Aliran ini menganjurkan cinta kasih antar manusia dan menggantungkan segala kepada nasib karena mereka percaya bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh Langit atau Tuhan. Mereka menentang segala macam pesta dan upacara yang memboroskan, menentang perang kecuali kalau untuk mempertahankan diri. Mereka adalah penganjur-penganjur apa yang mereka namakan cinta semesta.

   Aliran ke tiga adalah aliran kebatinan Tao yang menganggap Lo-cu sebagai nabinya. Aliran ini menganjurkan penyatuan diri manusia dengan Tao (Jalan) yang sukar diartikan secara jelas karena memang "tidak dapat diuraikan"

   Menurut faham mereka. Tao yang menggerakkan segala-galanya, maka faham Tao ini menentang segala usaha manusia yang dianggap merusak dan menyelewengkan pengaruh dan daya kerja Tao! Aliran Tao inilah yang banyak dimasuki segala macam ilmu kebatinan dari yang klenik sampai yang dianggap setinggi-tingginya, banyak mempunyai pertapa-pertapa dan banyak pula menciptakan bermacam-macam latihan samadhi, yoga dan pernapasan Banyak ilmu silat bercampur dengan ilmu kebatinan dari aliran Tao ini sehingga melahirkan jagoan-jagoan ilmu silat yang memiliki kepandaian amat hebat dan mentakjubkan.

   Aliran ke empat adalah aliran Beng (Ming). Aliran ini pandai memainkan kata-kata, dan kadang-kadang memiliki pelajaran yang aneh-aneh, yang menjurus ke arah klenik dan sihir. Sudah terkenal sejak dahulu betapa dalam aliran Beng ini terdapit ucapun "kuda hitam bukanlah kuda".

   "anjing putih adalah hiram".

   "kura-kura lebih panjang dari pada ular", dan sebagainya lagi yang membingungkan pendengarnya. Akan tetapi, akhir-akhir ini para pengikutnya banyak yang menyeleweng dan memenuhi golongan sesat di dunia kang-ouw, sungguhpun harus diakui bahwa mereka itu banyak yang lihai sekali.

   Aliran ke lima adalah aliran Hoat, aliran yang mendasarkan kebudayaan dengan mencontoh raja-raja bijaksana di jaman dahulu. Aliran ini mementingkan Hoat (hukum) yang harus diterapkan kepada semua manusia tanpa pengecualian. Aliran ini sangat keras terhadap semua anggautanya yang harus tunduk kepada hukum-hukum yang telah ditentukan. Lebih baik kehilangan kaki tangan, atau bahkan nyawa sekalipun dari pada harus melanggar hukum yang telah ditentukan dan telah disetujui sendiri! Aliran ini banyak yang menjadi panglima-panglima perang dan mereka benar-benar amat menjunjung disiplin, taat, dan keras.

   Kemudian aliran ke enam adalah aliran Im Yang! Aliran inilah yang kemudian menjadi Im yang-kauw. Aliran Im Yang ini mulai muncul antara abad ke empat dan awal abad ke tiga sebelum Masehi, dipeluk dan diikuti oleh orang-orang vang memiliki kecerdasan tinggi karena mengandung filsafat yang pelik dan rumit. Garis besar pelajaran dari aliran Im-yang-kauw ini adalah bahwa segala isi semesta, baik yang nampak maupun yang tidak adalah hasil perpaduan dari dua unsur berlawanan yang disebut Im dan Yang. Tanpa adanya unsur Im Yang tidak akan ada bentuk apapun di dunia ini. Untuk memudahkan para pelajarnya, maka Im Yang digambarkan sebagai lingkaran bundar yang dibagi dua, yang hitam adalah Im dan yang putih adalah Yang. Seperti inilah gambar itu.

   Seluruh semesta ini terjadi karena pengaruh Im Yang. Luasnya pengaruh Im Yang sampai memenuhi angkasa dengan semua bintangnya, juga menyusup sampai ke dalam kehidupan seekor semut atau kutu yang tak nampak oleh mata. Kekuasaan Im Yang dapat pula dikenal dalam diri manusia, bahkan menurut kepercayaan mereka, tubuh manusia adalah jagad kecil yang terkenal dengan sebutan Jim Sin It Siauw Thian Te (Manusia adalah Gambar dari Bumi Langit ). Oleh karena yang rnengatur keseimbangan kehidupan adalah unsur Im Yang, maka apabila Im Yang di dalam tubuh kita tidak selaras, kita jatuh sakit. Apabila Im Yang yang menguasai alam tidak selaras, timbullah berbagai malapetaka dan bencana alam. Segala sesuatu akan binasa tanpa perputaran Im Yang. Demikian besar kekuasan Im Yang ini sehingga di dalam kitab Ya Keng yang diciptakan oleh Nabi Khong Cu terdapat pernyataan, It Im It Yang Wi Ci To (Satu Im dan satu Yang itulah yang boleh disebut To).

   Kaum penganut Im-yang-kauw mempelajari tentang ilmu alam dan mereka mendapatkan kenyataan tentang Ngo-heng (Lima Anasir-Elemen) yang mereka bagi-bagi menjadi ke lompok Swi (air), Ho (Api), Bhok (Kayu), Kim (Logam) dan Thio (Tanah). Dari penyelidikan mereka tentang Im Yang dan Ngo-heng miaka terciptalah ilmu-ilmu yang mujijat, ilmu yang hendak membuka tabir rahasia alam. Jalannya kekuasaan dan ketertiban alam, peredaran bintang-bintang, bahkan dari pengetahuan itu mereka dapat pula menciptakan ilmu pengobatan yang amat luar biasa karena berdasarkan keyakinan bahwa kesehatan manusia merupakan ketertiban yang diantar oleh perimbangan Im Yang dan dihidupkan oleh Ngo-heng, karena unsur unsur Ngo-heng itu saling membinasakan (untuk pengobatan) dan saling menghidupkan (untuk menjaga kesehatan).

   Akan terlalu panjanglah kalau mau diuraikan tentang Im Yang dan Ngo-heng, sama panjangnya kalau kita bicara tentang kekuasaan dan rahasia yang meliputi seluruh alam dan isinya. Demikianlah sekedar penjelasan tentang aliran-aliran yang ada pada waktu dahulu. Im-yang-kauw makin lama makin berkembang dan karena Im-yang-kauw merupakan aliran yang suka mempelajari ilmu alam dan ilmu pengobatan, maka di situ terdapat banyak orang pandai dan akhirnya dibentuklah suatu perkumpulan yang dinamakan Im-yang-pai dan yang berpusat di Pegunungan Tai-hang-san itu.

   Pada waktu itu, Im-yang-pai di Tai-hang-san dipimpin oleh Kok Beng Thiancu, seorang tokoh yang terkenal sekali karena kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang amal lihai. Akan tetapi tokoh besar ini tidak pernah memperlihatkan diri, tidak pernah muncul di dunia kang-ouw sehingga biarpun namanya besar, namun jarang ada orang yang pernah melihatnya. Orang ke dua di Im-yang-pai yang amat terkenal, bahkan lebih terkenal dari pada ketua Im-yang-pai itu sendiri adalah Kim-sim Niocu, puteri atau anak tunggal dari Kok Beng Thiancu. Kim-sim Niocu ini, yang kabarnya amat cantik seperti bidadari, baru-baru ini telah diangkat menjadi kauwcu (ketua agama) dari Im-yang-kauw!

   Bahkan ada kabar angin yang mengatakan bahwa Kim-sim Niocu memiliki kelihaian melebihi ayahnya, karena selain ilmu-ilmu silat yang amat lihai dari Im yang-kauw, juga Kim-sim Niocu ini pandai sekali dengan ilmu pengobatan dan juga ilmu sihir! Juga kabarnya dia ahli ilmu perbintangan, ilmu meramal dan segala macam ilmu mujijat lagi yang memang banyak dianut dan dipelajari oleh orang-orang Im-yang-kauw. Pada waktu itu, pelajaran Im-yang-kauw sudah jauh sekali menyeleweng dari pada garis asalnya. Kini agama itu, seperti juga hampir semua agama di dunia ini, lebih mengutamakan duniawi, sepentingan diri pribadi dan kepentingan golongan, dari pada kepentingan pelajaran tentang hidup dan menghayati pelajaran itu di dalam kehidupan.

   Betapa menyedihkan kenyataan tentang agama ini di dalam dunia kita, di antara manusia seperti yang dapat kita saksikan sekarang ini! Betapa manusia saling bertengkar, saling membenci, saling bermusuhan karena agama! Bahkan betapa manusia sampai tega untuk saling membunuh demi agama! Sungguh merupakan suatu kenyataan yang amat pahit. Agama apapun juga melarang kita untuk membenci, melarang kita bermusuhan, namun demi agama kita saling benci, saling bermusuhan dan saling bunuh! Sesungguhnya, semua agama di dunia ini adalah untuk manusia, akan tetapi kenyataannya sekarang ini, manusia sudah merosot sedemikian rendahnya sehingga tidak ada harganya lagi sehingga sekarang keadaannya menjadi terbalik, bukan agama untuk manusia melainkan manusia untuk agama! Demi agama, manusia saling bunuh!

   Mengapa demikian? Karena manusia tidak mau mengenal diri sendiri, karena manusia hanya memandang agama, bukan memandang manusia, karena faktor manusia dilupakan, karena bukan manusia lagi yang penting melainkan agama! Demikian pula dengan harta benda, kedudukan, politik dan sebagainya. Manusianya menjadi tidak penting. Politiklah yang penting, partailah yang penting kedudukanlah atau hartalah yang penting. Kalau sudah begitu, manusia saling bermusuhan saling bunuh untuk memperebutkan kemenangan politik, partai, kelompok, ras, bangsa, kedudukan dan harta, atau juga memperebutkan kemenangan dan "kebenaran"

   Agama masing masing

   Kok Beng Thiancu memaklumi bahwa perkumpulannya kini merupakan perkumpulan yang cukup besar dan berpengaruh, bukan untuk faham dan kepercayaan mereka, melainkan untuk tingkat ilmu kepandaian silat mereka dan juga sikap para anggautanya yang selalu menjaga diri agar berdiri di golongan putih kaum pendekar. Oleh karena itu, Kok Beng Thiancu yang menyadari akan kelemahan manusia, maklum bahwa kepandaian dapat menyeret manusia ke jurang kesesatan, apalagi mengingat bahwa Im-yang-pai lebih merupakan perkumpulan silat dari pada perkumpulan agama, lalu mengadakan peraturan yang amat keras terhadap para anggautanya.

   Setiap orang anggautanya, dari tingkat empat ke atas harus selalu membawa sebuah lencana Im-yang-pai sebagai tanda pengenal diri sehingga di manapun anggauta itu berada, kalau dia melakukan perbuatan yang melanggar hukum Im-yang-pai, tentu akan dikenal orang dan akan dapat dihukum oleh perkumpulan. Hari itu sunyi saja di lereng Tai-hang-san. Perkumpulan Im-yang-pai nampak sunyi biarpun matahari telah naik tinggi. Dan memang para anggauta Im-yang-pai yang berpakaian seperti tosu itu suka akan keadaan sunyi dan hening sehingga di tempat itu jarang terdengar kegaduhan, kecuali kalau mereka sedang berlatih ilmu silat.

   Bahkan para anak buah tingkat rendah yang bertugas jaga di sekitar tembok perkampungan mereka itu, bukan berdiri memegang tombak atau senjata lain seperti umumnya penjaga, melainkan mereka duduk bersila dan bersamadhi untuk melatih pernapasan atau melatih sinkang! Namun, mereka yang duduk bersamadhi dalam penjagaan ini sesungguhnya memusatkan perhatian kepada sekeliling tempat itu sehingga jangan mengira bahwa mereka itu tidur nyenyak dan jangan coba-coba untuk berani menyelinap masuk karena pasti akan diketahui oleh mereka.

   Memang banyak di antara anak buah dan tokoh-tokoh Im-yang-pai yang tidak berada di situ, pergi keluar daerah untuk berbagai urusan, baik urusan perkumpulan maupun urusan pribadi. Kesunyian lereng Gunung Tai-hang-san itu terasa sekali oleh suami isteri pendekar yang mempergunakan ilmu berlari cepat mereka mendaki lereng. Mereka adalah Gan Beng Han dan Kui Eng, suami isteri pendekar dari Cin an yang mendatangi Im-yang-pai untuk mencari murid mereka yang hilang terculik, yaitu Coa Gin San. Dilihat dari jauh, suami isteri ini gagah perkasa dan amat mengagumkan. Gan Beng Han yang sudah berusia tigapuluh tahun itu masih nampak muda perkasa dan gagah, tahi lalat kecil di tengah dahinya menambah kegagahan, pakaiannya sederhana ringkas.

   Pedangnya tergantung di punggung sebagaimana biasa pendekar melakukan perjalanan jauh, sepasang matanya yang bersinar tajam itu kini penuh pengertian dan jelas mengandung kesabaran dan ketenangan, juga dalam langkahnya yang panjang-panjang dan cepat itu membayangkan ketenangan seorang pendekar yang matang. Kui Eng, isterinya yang dua tahun lebih muda dari suaminya itu, masih nampak cantik jelila seperti seorang gadis saja, dengan pakaian yang rapi. Gelang di lengan kiri dan hiasan rambut merupakan satu-satunya perhiasan yang menempel di tubuh. Pedangnya juga tergantung di punggung dan pandang matanya tajam bersinar-sinar membayangkan kelincahan, langkahnya pendek-pendek namun cepat sekali sehingga kedua kakinya sukar diikuti pandangan mata saking cepatnya.

   "Isteriku, harap kau berhati-hati dan jangan memperlihatkan permusuhan sebelum kita tahu betul apakah benar Gin San mereka culik,"

   Kata Beng Han.

   "Baiklah, biar engkau saja yang membuka percakapan dengan mereka,"

   Isterinya menjawab.

   Gerakan mereka cepat sekali dan akhirnya mereka tiba di pintu gerbang tembok perkampungan Im-yang-pai. Di atas pintu itu tergantung sebuah papan putih yang ditulisi dengan huruf-huruf berwarna hitam dan di tengah-tengahnya terdapat gambaran lingkaran bundar simbul Im Yang, dan tiga huruf besar hitam itu berbunyi; IM YANG PAI. Biarpun sederhana saja gambar dan tulisan itu, persis seperti gambar yang terlukis dan tertulis pada lencana yang pernah dilihat oleh Beng Han di Kuil Ban-hok-tong, namun papan nama itu menimbulkan wibawa yang menyeramkan.

   Ketika Beng Han dan Kui Eng melihat seorang laki-laki berusia limapuluh tahun lebih, duduk bersila di tengah-tengah pintu gerbang, di atas batu datar, bersila sambil meletakkan kedua tangan di depan dada, yang kanan di atas dan yang kiri di bawah, dengan sikap seperti kedua tangan itu sedang membawa sesuatu, yang di atas menelungkup dan yang di bawah terlentang, suami isteri itu berhenti dan memandang. Kakek itu sedang Samadhi dan kedudukankedua tangan itu melambangkan kedudukan Im Yang. Kedua matanya terpejam dan napasnya teratur rapi, Beng Han memberi isyarat kepada isterinya lalu dia melangkah maju, menjura dan berkata dengan sikap hormat.

   "Saya Gan Beng Han bersama isteri, datang dari kota Cin-an mohon bertemu dengan pangcu dari Im-yang-pai!"

   Karena penjaga itu bersamadhi hanya untuk melewatkan waktu sedangkan perhatiannya tidak pernah terlepas dari penjagaan, dia segera membuka mata. Sebelum tamu itu tadi membuka suarapun dia sudah tahu akan kedatangan pria dan wanita gagah ini. Cepat dia merobah kedudukan kedua tangan. Dengan tubuh masih duduk bersila, kini kedua tangannya dirangkap di depan dada sebagai tanda menghormat, lalu dia berkata.

   "Siancai, harap ji-wi tidak terlalu sungkan karena saya hanyalah seorang penjaga biasa, seorang anggauta tingkat enam yang rendah."

   "Lo-enghiong adalah seorang tua, sudah sepatutnya menerima penghormatan kami yang muda. Tentang tingkat, kami kira itu tidak menjadi ukuran untuk penghormatan seseorang. Tiba-tiba penjaga itu tertawa bergelak dan suami isteri itu terkejut. Dari suara ketawa ini saja mereka tahu bahwa yang bersila di situ bukanlah orang sembarangan, suara ketawanya nyaring dan mengandung getaran yang amat kuat, tanda bahwa orang ini telah memiliki, khikang yang kuat. Dan orang ini mengaku, tingkat enam? Kalau yang tingkat enam selihai ini, apa lagi yang tingkat tiga, dua atau satu!

   "Ha-ha-ha, manusia haruslah bersikap sesuai dengan tingkat masing-masing, kalau tidak demikian, mana mungkin ada ketertiban? Taihiap dan lihiap, ji-wi adalah orang-orang gagah sejati, silakan masuk saja, jangan sungkan-sungkan. Nanti akan ada saudara yang mengantar ji-wi sampai ke tempat pangcu. Silakan!"

   Dengan kedua tangan, orang itu mempersilakan dengan hormat dan sambil membungkuk. Beng Han dan isterinya lalu memasuki pintu gerbang, agak membungkuk ketika melewati kakek itu.

   Ketika mereka memasuki pintu gerbang, ternyata di sebelah dalam pintu gerbang itu terdapat sebuah perkampungan yang luas, dengan jalan-jalan yang lebar dan bangunan bangunan besar kecil di sana-sini. Banyak terdapat orang-orang yang hilir mudik, berpakaian sederhana seperti tosu, akan tetapi mereka semua berjalan dengan tenang dan agaknya tidak ada seorangpun yang memperhatikan suami isteri ini. Gan Beng Han dan Kui Eng merasa terasing. Baik sikap dan pakaian mereka jelas berbeda dengan semua orang yang hilir mudik dan lalu-lalang di dalam perkampungan itu. Mereka itu terdiri dari laki-laki dan perempuan, ada yang tua dan ada yang muda, akan tetapi pakaian mereka rata-rata sederhana seperti pakaian tosu, ada yang putih-putih, ada yang kuning-kuning akan tetapi kesemuanya amat sederhnna.

   Benar-benar perkampungan yang merupakan biara besar di mana orang-orang hidup sebagai pertapa-pertapa. Akan tetapi jelas bahwa mereka itu juga bekerja, karena ada yang memikul alat pertanian, alat tukang kayu, bahkan ada yang memikul rabuk dan hasil-hasil sawah ladang, ada pula yang menggembala kerbau, agaknya hendak digiring keluar dari perkampungan. Wajah mereka serius dan pendiam, dan kalaupun ada yang bercakap-cakap, maka percakapan itu dilakukan dengan lirih. Sebuah perkampungan yang benar-benar penuh rahasia dan juga menyeramkan bagi suami isteri itu. Beng Han dan Kui Eng merasa bingung karena tidak melihat adanya penyambut. Untuk bertanya kepada orang, mereka juga merasa segan karena mereka itu demikian pendiam nampaknya, dan tidak perdulian.

   Tiba-tiba mereka mendengar suara ketawa merdu seorang wanita dari sebelah kiri. Mereka cepat menengok dan di sebelah kiri itu terdapat sebuah rumah besar dan nampak searang gadis sedang berada di pekarangan rumah itu. Entah apa yang sedang dikerjakan, oleh gadis itu, akan tetapi gadis itu berlutut dan memandang ke depannya, di mana terdapat sebuah kotak. Kelihatannya riang sekali dan kadang-kadang dia bertepuk tangan dan tertawa. Melihat sikap wajar seorang manusia biasa, bukan manusia-manusia dengan wajah seperti arca yang lalu-lalang itu, seketika hati Beng Han dan Kui Eng tertarik. Gadis itu jelas merupakan orang lumrah, orang awam biasa saja seperti mereka, dapat tertawa dan dapat bergembira.

   

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini