Kisah Tiga Naga Sakti 2
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
"Toanio, tidak baik bagi seorang wanita muda engkau melakukan perjalanan seorang diri dalam waktu sekacau ini. Kalau engkau suka, lebih baik untuk sementara waktu engkau tinggal bersama pinni di Kuil Kwan-im-bio. Orang yang baik tentu akan mendapatkan perlindungan Tuhan dan mendapatkan berkah dari Pouwsat (Dewi Kwan lm)."
Siok Nio berlutut dan menghaturkan teri-ma kasihnya dengan bercucuran air mata. Memang dia sudah meragukan apakah pelariannya ke tempat tinggal pamannya itu akan berhasil baik, karena dia sendiri belum tahu bagaimana nasib pamannya karena bukan tidak boleh jadi kalau dusun di mana pamannya tinggal itu juga mengalami nasib yang sama dengan dusunnya.
Maka dia tidak merasa ragu-ragu lagi. Untuk menyelamatkan puterinya sendiri, tidak ada tempat yang lebih aman dari pada di sam-ping nikouw tua yang sakti ini. Siok Nio lalu pergi mengikuti nikouw itu menuju ke sebuah kuil yang berada di Juar tembok kota An-kian. Pandai sekali nikouw tua itu menghibur hati Siok Nio dan sering menceritakan tentang kebahagiaan hidup seorang beribadat, maka akhirnya Siok Nio mengambil keputusan untuk menggunduli kepalanya dan masuk menjadi seorang nikouw di Kuil Kwan-im-bio!
Nikouw tua itu bernama Pek I Nikouw (Pendeta Wanita Berjubah Putih) dan dia mengepalai sejumlah besar nikouw yang berdiam di Kuil Kwan-im-bio yang besar itu. Pek I Nikouw adalah murid Thai-san pai yang telab mencapai tingkat ke dua, maka dia amat lihai. Tentu saja hampir tidak pernah nikouw ini memperlihatkan kepandaian silatnya, karena orang mengenalnya sebagai seorang pendeta wanita yang beribadat, saleh dan halus gerak-geriknya, lemah lembut tutur sapanya dan sabar dalam mengajarkan Agama Buddha.
Setelah menjadi nikouw, Ong Siok Nio memperoleh nama baru, yaitu Siok Thian Nikouw. Janda muda ini menjalani penghidupan suci sambil merawat puterinya yang segera menjadi kesayangan semua nikouw di dalam kuil itu. Pek I Nikouw sendiri merasa amat suka kepada Beng Lian dan mulailah dia memberi latihan-latihan ilmu silat kepada anak perempuan itu, sedangkan para nikouw lain yang pandai dalam ilmu sastera, memberikan pelajaran membaca dan menulis kepadanya.
Sungguh beruntung sekali Beng Lian. Dahulu dia hanya puteri seorang petani dan andaikata tidak terjadi malapetaka itu, tentu dia akan tumbuh dewasa sebagai seorang gadis petani. Akan tetapi kini, semenjak berusia empat tahun dia hidup di dalam Kwan-im-bio, bergaul dengan orang-orang yang menuntut penghidupan suci Tentu saja keadaan sekeliling dan suasana dalam bio itu membentuk wataknya sehinggi Beng Lian menjadi besar dengan perangai yang halus dan sopan, lemah lembut sikapnya, pandai bergaul dan pandai merendahkan diri, sehingga siapa saja yang melihatnya akan merasa suka. Sedikitpun tidak akan ada orang menyangka bahwa anak ini "berisi", karena dia telah mewarisi ilmu silat tinggi yang diajarkan oleh Pek I Nikouw kepadanya.
Demikianlah perjalanan ibu dari Gan Beng Han. Seperti juga bagi Kui Eng, Beng Han tentu saja sudah merasa putus harapan untuk dapat bertemu dengan ibunya, karena anak inipun menganggap bahwa tentu ibunya telah tewas dalam keributan itu.
Kakek tua yang menemukan tiga orang anak yang hampir mati kelaparan di dusun yang telah menjadi puing itu bukanlah orang sembarangan saja, melainkan seorang tokoh yang amat terkenal di dunia kang-ouw sebagai Lui Sian Lojin, seorang pertapa yang mengasingkan diri di puncak Pegunungan Kwi-hoa-san. Di masa mudanya, Lui Sian Lojin adalah seorang hiap-kek (pendekar) yang hidup bertualang di dunia kang-ouw dengan berkawan sebatang pedang. Tak terhitung jasa kakek ini dalam menolong sesama manusia dan menentang kejahatan-kejahatan, sehingga selain ribuan orang mengenangkan namanya sebagai seorang penolong yang budiman, juga banyak pula orang-orang jahat yang mengingat namanya dengan gigi gemetar karena dendam dan sakit hati.
Di waktu mudanya, Lui Sian Lojin pernah jatuh cinta kepada seorang gadis. Akan tetapi, gadis pujaan hatinya itu tidak membalas cinta kasihnya, bahkan menikah dengan orang Iain. Hal ini membuat dia patah semangat dan bersumpah tidak mau menikah, hanya hidup ber-dua dengan pedangnya yang dalam banyak pcrtempuran telah menjadi kawan baik dan pembelanya. Akan tetapi, akhirnya dia merasa bosan merantau dan menetap di satu di antara puncak-puncak Pegunungan Kwi-hoa-san. Puncak ini amat indah pemandangannya, amat sejuk dan nyaman hawanya, memiliki tanah subur. Maka dipilihlah puncak ini sebagai tempat pertapaannya. Selama belasan tahun dia bertapa sambil dengan tekun memperdalam ilmu batin dan ilmu silatnya. Bahkan dalam kesempatan ini dia menciptakan serangkaian ilmu pedang yang dia namakan Kwi-hoa Kiam hoat (Ilmu Pedang dari Kwi-hoa-san).
Di waktu dia masih bertualang dan merantau, tentu saja dia tidak mau memberatkan dirinya dengan seorang murid. Sekarang, setelah dia bertapa, mulailah dia teringat bahwa dia telah makin tua dan akhirnya dia tidak akan mampu melawan usia dan kematian. Apa artinya semua kepandaian silatnya, apa artinya ilmu pedang yang diciptakannya kalau hanya akan dibawa mati? Selama ini dia belum pernah mempunyai murid, karena tidak ada anak yang dianggapnya cocok dan cukup berbakat untuk menerima warisan ilmu-ilmunya. Hatinya mulai merasa gundah dan mulailah dia berpikir untuk mencari murid yang berbakat.
Ketika didengarnya tentang pemberontakan yang dipimpin oleh An Lu San, dia lalu turun gunung untuk melihat-lihat keadaan. Bukan main sedih dan marah hatinya melihat bekas kekejaman anak buah pemberontak itu. Hampir semua dusun di kaki Pegunungan Kwi-hoa san yang kebetulan dilewati pemberontak itu, rusak binasa. Dan di dalam perantauannya inilah akhirnya secara kebetulan dia bertcmu dengan Kui Eng, Tan Bun Hong, dan Gan Beng Han Keadaan yang amat menyedihkan dari tiga orang anak inilah yang menarik hatinya untuk membawa mereka keatas puncak gunung dan mengangkat mereka menjadi murid-muridnya.
Lui Sian Lojin sengaja tidak mcmperguna-kan ilmu kepandaiannya yang tinggi untuk mcnggendong tiga orang anak itu. Dia meng-ajak mereka berlari-larian menuju ke puncak gunung karena dia hendak menguji keuletan tiga orang calon muridnya ini.
Tiga orang anak itu telah menjadi lelah sekali. Tubuh mereka terasa lemah karena mereka telah berbulan-bulan menderita kurang makan. Perjalanan yang jauh dan sukar itu amat melelahkan tubuh mereka, terutama sekali setelah jalan itu mulai menanjak bukit. Namun, tiada seorangpun di antara mereka pernah mengeluarkan suara keluhan.
Lui Sian Lojin berjalan di depan sebagai pcnunjuk jalan dan kakek ini tidak pernah menengok ke belakang seakan-akan dia tidak memperdulikan keadaan tiga orang anak ituT akan tetapi sesungguhnya diam-diam dia mem-buka telinga dan pendengarannya yang amat tajam dan dapat menangkap setiap gerak-gerik tiga orang anak-anak itu tanpa dia melihat mereka.
Tiga orang anak itu mcrasa sangat lelah, terutama sekali Kui Eng dan Bun Hong. Kui Eng sebagai seorang anak perempuin pmeri kepala kampung pula, dan Bun Hong sebigai putera hartawan yang jarang melakukan pe-kerjaan berat, tentu saja merasa tersiksa dan perjalanan itu amat melelahkan kedua kaki mereka. Apa lagi karena perut mereka telah menjadi kosong lain dan mulai lagi terasa perih. Tidak demikian halnya dengan Gan Beng Han. Sebagai seorang putera petani, Beng Han sudah biasa dengan pekerjaan berat, memban-tu ayahnya bekerja di sawah ladang, ntencangkui, membajak dan mencari kavu di hutan-hu-tan sehingga seringkali dia berjalan jauh dan makan terlambat. Maka, biarpun sekarang dia juga merasa lelah, namun keadaannya tidak sedemikian tersiksa seperti dua orang kawannya.
Biarpun tubuhnya merasa lelah sekali sehingga jalannya terhuyung-huyung, namun Kui Eng yang memiliki kekerasan hati itu tidak mau menunjukkan kelemahannya. Dia tidak mau kalah oleh dua orang kawannya dan te-rus maju dengan langkah lunglai. Dia merasa betapa kedua kakinya telah pegal dan sakit-sakit, sedangkan rasa perih di dalam perutnya membuat matanya berlinang-linang. Akan tetapi, sungguh kuat dan keras hatinya karena tidak pernah mendengar keluh-kesah atau isak tangis keluar dari mulutnya.
Sebenarnya keadaan Bun Hong tidaklah lebih baik dari pada Kui Eng, kalau tidak hendak dikatakan lebih payah. Kedua kakinya telanjang dan selain tubuhnya terasa amat lelah, juga telapak kedua kakinya menjadi pecah-pecah karena menginjak batu tajam. Nyeri dan perih rasanya, juga perutnya menggeliat-geliat saking laparnya. Namun pemuda cilik ini tetap melangkah lebar dan tegap, dengan kedua tangan terkepal, kepala ditegakkan, sepasang bibir dirapatkan seperti sikap seorang jenderal perang! Dia telah mengambil keputusan untuk bertahan dan berjalan sampai mati. Beng Han lebih mending keadaannya. Biar-pun dia juga merasa lelah, namun masih dapat bertahan dengan baik. Telapak kakinya berkulit tebal dan dia sudah biasa berjalan sehingga langkahnya masih tetap, hanya peluhnya saja membasahi bajunya yang compang-camping itu. Ketika dia melihat keadaan Kui Eng yang terhuyung-huyung, dia lalu mendekati dan mengulur tangan hendak menggandeng tangan anak perempuan itu. Akan tetapi dengan sikap angkuh Kui Eng mengibaskan tangannya. Beng Han merasa kagum sekali melihat kekerasan hati Kui Eng, maka ketika tawarannya untuk menggandengnya ditolak, dia berjalan di belakang anak perempuan itu untuk men-jaganya kalau kalau Kui Eng ter jatuh. Ternyata dugaannya itu tepat karena tak lama kemudian, tiba-tiba kaki Kui Eng yang lemas itu tersandung batu dan tubuhnya terhuyung ke dcpan hendak jatuh.
Beng Han cepat memburu dan menangkap lengannya sehingga Kui Eng tidak sampai terjatuh. Ketika Beng Han melihat betapa tubuh anak perempuan itu menjadi lemas dan matanya dipejamkan, tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menggendongnya di belakang punggungnya. Kini Kui Eng tidak menolak lagi dan dia menarik napas lega ketika merasa betapa tubuhnya dapat beristirahat di atas punggung Beng. Han tanpa menunda perjalanan itu.
Melihat ini, Bun Hong berkata.
"Han, biarlah nanti kalau kau sudah lelah, aku menggantikanmu menggendongnya. Akan tetapi kalau sudah berkurang lelahmu, kau jangan minta digendong terus, Eng. Dalam waktu seperti ini, kau tidak boleh menjadi anak manja!"
Beng Han hanya tersenyum saja sedangkan Kui Eng membuka matanya lalu mencibirkan bibirnya kepada Bun Hong.
"Engkau tidak mau. menggendong sudahlah, jangan mengatakan orang lain manja segala. Kalau aku kuat berjalan, untuk apa aku minta digendong?"
Sementara itu, biarpun dengan pendengaran-nya Lui Sian Lojin dapat mengetahui semua hal itu, dia pura-pura tidak tahu dan terus berjalan sambil diam-diam tersenyum. Hatinya merasa puas sekali karena segala peristiwa itu, yang kelihatannya menyiksa murid-muridnya, merupakan ujian di mana dia dapat menyaksikan kekerasan hati tiga orang bocah yang dibawa, ke pertapaannya. Mereka ini ternyata bukanlah bocah-bocah yang cengeng melainkan calon-calon pendekar yang tabah dan tahan uji. Mereka bergerak maju lagi, mendaki bukit yang makin terjal dan telah terdengar oleh kakek itu bunyi napas dua orang anak laki-Jaki yang terengah engah.
Akhirnya, dua orang anak laki-laki itu merasa kehabisan tenaga dan tidak kuat maju melangkah lagi. Langkah mereka makin berat dan berkatalah Beng Han.
"Kakek yang baik, harap engkau orang tua sudi menaruh kasihan kepada kami dan membiarkun kami beristirahat sebentar!"
Lui Sian Lojin berhenti dan membalikkan tubuhnya dengan pandang mata kagum. Dia melihat betapa kedua kaki Beng Han meng-gigil, namun anak itu tetap masih nuenggendong tubuh Kui Eng sedangkan Bun Hong menggandeng tangan kawannya yang menggendong itu.
"Bagus, bagus! Kau bertiga tidak mengecewakan hatiku. Jangan khawatir, hatiku tidak sekejam dugaanmu, Beng Han,"
Katanya sambil tertawa dan Beng Han merasa terkejut karena memang tadi dia memandang dengan hati mengandung rasa penasaran dan kemarahan kepada kakek yang dianggapnya terlampau kejam membiarkan mereka bertiga menjadi kelelahan dan tersiksa seperti itu.
"Maaf, maaf, aku tidak sengaja""
Katanya dan kakek itu tersenyum lagi. Dia ti-dak berkata-kata lagi dan membiarkan tiga orang muridnya melepaskan lelah. Mereka bertiga menjatuhkan diri di atas rumput tebal dan barulah sekarang terasa oleh Kui Eng betapa kedua kakinya berdenyut-denyut sakit sekali sehingga dia mengurut-urut kedua kakinya Akan tetapi tetap saja dia tidak mengeluarkan keluhan. Bun Hong sudah merebahkan dirinya terlentang di atas permadani rumput, matanya dipejamkan karena dia hendak mengusir ingatan yang membayang di depan matanya ketika dia masih menjadi putera seorang hartawan dan rebah di dalam kamarnya, di atas kasur yang lunak dan segala macam masakan lezat telah siap menantinya.
Tak lama kemudian, kakek itu mematahkan sebatang cabang kayu yang cukup besar dan pan jang.
"Beng Han, dapatkah engkau membuat keranjang?"
Tiba-tiba dia bertanya kepada anak itu.
"Tentu saja dapat, aku sering membuat keranjang untuk memikul kayu atau rumput."
"Bagus! Nah, hayo kaubantu aku membuat keranjang dari ranting-ranting kayu. Kita membuat dua buah keranjang dan aku akan memikul kalian dalam keranjang."
Bun Hong dan Kui Eng tidak tahu caranya membuat keranjang, maka mereka lalu membantu dengan mengumpulkan ranting-ranting kayu yang cukup kuat. Beng Han membantu Lui Sian Lojin menganyam ranting-ranting itu menjadi dua buah keranjang yang cukup kuat. Kedua keranjang itu lalu diikatkan di kedua ujung cabang yang panjang itu, maka jadilah pikiilan yang sederhana bentuknya namun kuat.
Tiga orang anak itu menurut, sungguhpun hati mereka merasa heran dan tidak percaya. Benarkah kakek yang tua dan kelihatan lemah ini akan memikul dan menggendong mereka sekaligus? Dan jalan itu kelihatan demikian menanjak, penuh dengan batu-batu tajam yang amat sukar dilewati secara mudah. Betapapun juga, mereka tidak membantah. Kui Eng dan Bun Hong memasuki dua buah keranjang itu, duduk di dalamnya dan berpegang pada tali keranjang baik-baik. Kemudian Beng Han naik ke punggung kakek itu dan memeluk lehernya dengan kuat.
"Hati-hati, kalian berpeganglah erat-erat jangan sampai terlepas dan jatuh,"
Kata Lui Sian Lojin dan dia lalu memikul cabang kayu itu di atas pundaknya Setelah melihat betapa tiga orang bocah itu berpegang kuat-kuat, kakek ini lalu mengerahkan ilmu kepandaiannya ber-lari cepat dan larilah dia menanjak bukit de-ngan kecepatan yang membuat tiga orang bocah itu hampir menjerit saking kagetnyai! Makin lama makin cepat juga tubuh mereka melayang ke depan, angin menyambar-nyambar muka mereka dari depan dan membuat tubuh mereka terasa dingin. Kui Eng dan Bun Hong yang merasa tubuh mereka terayun-ayun seperti terbang itu merasa ngeri sekali dan muka mereka menjadi pucat. Akan tetapi, dasar mereka adalah dua orang anak yang keras hati dan bandel, mereka tetap saja tidak membiarkan diri hanyut oleh kengerian dan membuka mata lebar-lebar.
Tanpa mereka sadari dan ketahui sebelum-nya, dua orang anak ini telah menemukan rahasianya menghadapi rasa takut! Biasanya, apa bila kita menghadapi rasa takut dalam bentuk apapun juga, kita tidak berani menghadapinya secara langsung. Kita selalu mencari jalan keluar, kita selalu ingin melarikan diri dari perasaan takut ini, ingin mencari hiburan untuk menyelimuti rasa takut itu, untuk menjauhinya. Kita lupa bahwa rasa takut itu berada dalam batin kita, tidak mungkin kita jauhi, dan tidak mungkin kita lari dari depannya. Memang bisa kita lari menjauhi, namun hal itu hanya nam-paknya saja, dan hanya untuk sementara saja kita terhibur dan seolah-olah kehilangan rasa takut. Padahal, rasa takut itu masih menyelinap di lubuk hati dan setiap saat akan muncul kembali apa bila hiburannya lenyap. Misalnya orang yang takut sendirian di malam hari, takut bayangan setan dan sebagainya. Kita selalu hendak lari dari rasa takut ini, dengan jalan mendengarkan bunyi-bunyian, mencari teman, atau bernyanyi-nyanyi sendiri, dengan maksud untuk "mengusir"
Rasa takut. Namun, semua itu percuma saja karena biarpun kelihatannya dapat menolong, sesungguhnya rasa takut itu seperti api hanya disekap atau ditutup saja, seperti api dalam sekam. Kalau penutupnya sudah tidak ada, api itu, yalah rasa takut, akan berkobar lagi, karena rasa takut itu MASIH ADA.
Rasa takut adalah fakta, dan mana mungkin kita menghilangkan fakta itu dengan hiburan-hiburan hampa itu? Faktanya itu yang harus lenyap dulu, karena rasa takut sebagai fakta (kenyataan) keadaan kita itu sebenarnya timbul karena angan-angan kosong belaka, karena pi-kiran kita sendiri yang menbayangkan hal-hal yang belum terjadi. Orang yang takut bersen-dirian dalam gelap di malam hari, tentu mem bayangkan setan-setan dan iblis iblis dan lain kengcrian lagi, membayangkan ha I-hal yang sebenarnya tidak ada pada saat itu! Orang yang takut sakit tcntulah orang yang belum sakit, yang membayangkan penyakit itu. Bagaimana kalau dia sudah sakit? Sudah pasti dia tidak takut akan sakit lagi yang sudah menjadi fakta, melainkan takut akan mati yang dibayangkan oleh si sakit. Demikian selanjutnya.
Dua orang anak di dalam keranjang itu tanpa belajar, tanpa disadarinya sendiri, telab menemukan kunci dan rahasia menghadapi rasa takut. Mereka tidak lari! Kalau mereka memejamkan mata, itulah pelarian dari rasa takut! Dan kalau sudah begitu, rasa takut itu terus ada, menghantui mereka. Sebaliknya me reka itu membuka mata lebar-lebar! Dengan membuka mata, maka akan 'tampaklah segala-galanya oleh kita, akan tampaklah bahwa rasa takut itu timbul karena angan-angan, karena pikiran membayangkan atau mengingat-ingat hal-hal yang belum terjadi. Melihat kenyataan inilah yang menghilangkan rasa takut. Bukan DIHILANGKAN, bukan DITUTUPI, melainkan hilang sendiri karena kita melihat kenyataan tentang rasa takut itu sendiri. Karena itu, setiap saat kita dihinggapi rasa takut dalam bentuk apapun juga, apa bila kita membuka mata mengamati rasa takut itu sendiri dengan penuh perhatian, maka kita akan dapat melihat kenyataan dari sebab-sebab timbul-nya rasa takut, melihat kenyataan bahwa rasa takut adalah hampa dan abstrak, dan penglihatan ini yang akan dengan sendirinya meniada-kan rasa takut.
"Kalau kalian merasa ngeri, pejamkan ma tamu!"
Kata Lui Sian Lojin sambil mempercepat larinya. Kakek ini, seperti kita pada umumnya, juga telah hanyut dalam kebiasaan bahwa apa bila kita takut, kita harus melarikan diri dari kenyataan itu! Tentu saja maksudnya adalah agar anak itu tidak lagi dicekam rasa takut dan kengerian. Betapa kita semua telah hanyut dalam cara-cara pendidikan yang salah, yang telah menjadi kebiasaan semenjak dahulu.
Kakek yang amat lihai itu kini berlari cepat seperti terbang, kadang-kadang melompat jurang-jurang yang curam dan lebar dengan gerakan ringan sekali seperti seekor burung sedang terbang saja! Beberapa kali dia memandang ke arah murid-muridnya karena khawatir kalau-kalau mereka merasa ngeri dan takut, akan tetapi alangkah heran dan kagumnya ketika dia melihat bahwa baik Kui Eng maupun Bun Hong, keduanya sama sekali tidak pernah memejamkan mata, bahkan kini mereka membuka mata selebarlebarnya dengan penuh rasa kagum dan gembira! Kiranya, dengan membuka mata dan melihat segalanya dengan penuh perhatian, dua orang anak ini telah berubah menjadi gembira dan rasa takut tidak membayang lagi pada wajah mereka. Mereka seolah-olah naik seekor burung besar yang terbang melayang di angkasa. Mereka memandang ke kanan kiri dengan gembira dan kadang-kadang kalau kakek sakti itu melompati jurang, mereka berseru dengan gembira sekali.
"Lihat, jurang ini curam sekali!"
Seru Bun Hong sambil menjenguk keluar dari keranjang di mana dia duduk.
"Dasarnya sampai tidak kelihatan!"
"Heii, lihat! Pohon-pohon berlari-larian didepan kita! Alangkah cepatnya kita meluncur ke depan. Sungguh enak dan senang!"
Kata Kui Eng dan sepasang matanya yang jeli dan lebar itu mulai ditinggalkan awan kemuraman dan kesayuan yang selama ini mengganggu keindahannya.
"Hushh! Kalian jangan banyak bergerak!"
Tiba-tiba Beng Han yang digendong di punggung kakek itu menegur mereka. Dari tempatnya di atas, anak ini melihat betapa dua orang kawannya itu menunjuk sana-sini sambil memutar-mutar tubuh sehingga pikulan itupun bergerak-gerak maka dia khawatir kalau-kalau mereka mengganggu kakek itu. Kini Kui Enu mengangkat mukanya memandang kepada Beng Han dari tempat duduknya di dalam keranjang sambil mencibirkan bibirnya.
"Kui Eng, jangah nakal kau! Kalau kalian banyak bergerak sehingga terpelanting keluar dari dalam keranjang, akah celakalah!"
Ucapan Beng Han ini tentu saja menimbulkan bayangan bayangan dalam pikiran dua orang anak itu maka otomatis mereka merasa ngeri! Mereka membayangkan betapa akan hebat dan ngerinya kalau tubuh mereka terpelanting keluar dan melayang ke dalam jurang itu! Mereka kini duduk diam dalam keranjang masing-masing sambil berpegang erat-erat pada tali keranjang.
Setelah melalui bukit-bukit berhutan lebat dan jurang-jurang yang curam, akhirnya tibalah mereka di sebuah puncak. Lui Sian Lojin menghentikan larinya dan tiga orang anak itu turun dari tempat duduk masing-masing. Ternyata mereka berada di sebidang tanah datar yang penuh dengan rumput hijau dan di bawah beberapa batang pohon besar terdapat sebuah pondok kayu sederhana.
"Nah, kita sudah sampai di rumah kita!"
Kata Lui Sian Lojin sambil tersenyum dengan perasaan seorang ayah yang baru saja pulang melancong bersama tiga orang anaknya. Kehadiran tiga orang anak itu mendatangkan kebahagiaan baru di dalam hati Lui Sian Lojin, kakek yang selama hidupnya tidak pernah kawin dan belum pernah merasakan menjadi ayah itu!
Tiga orang anak itu memandang ke kanan kiri dengan girang karena pemandangan di situ memang amatlah indahnya. Dari banyaknya tumbuh-tumbuhan yang hidup subur di atas bukit, dapat diduga bahwa di tempat itu tentu subur dan baik.
Tiba-tiba Beng Han menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata.
"Setelah menjadi murid, seharusnya teecu (murid) bertiga lebih dulu mengangkat engkau orang tua sebagai suhu (guru)."
Melihat perbuatan Beng Han ini, Bun Hong dan Kui Eng juga segera menjatuhkan diri berlutut di depan Lui Sian Lojin. Kakek ini tertawa bergelak, mengangkat muka ke angkasa dan mengelus jenggotnya. Kemudian dia memandang kepada tiga orang anak itu, diam diam menggunakan ujung lengan bajunya untuk mengeringkan kedua matanya yang tiba-tiba menjadi basah.
"Karena kalian sendiri telah mendahuluiku, maka biarlah sekarang dilakukan upacara pengangkatan guru. Ketahuilah, murid-muridku, aku adalah seorang pertapa di tempat ini dan namaku Lui Sian Lojin. Kalian bertiga tidak akan menyesal menjadi murid-muridku, dan untuk menjaga segala kemungkinan buruk yang kuharapkan tidak akan terjadi selamanya, kalian harus bersumpah."
Kemudian Lui Sian Lojin menyuruh tiga orang muridnya itu bersumpah untuk mentaati perintah perintah dan pantangan-pantangan seperti berikut:
1. Mereka harus mempergunakan ilmu kepandaian yang mereka pelajari untuk menolong sesama hidup, membela kebenaran, menjujung tinggi keadilan dan membasmi kejahatan berdasarkan perikemanusiaan.
2. Mereka harus bersikap sabar, berani mengalah dan menghindarkan permusuhan dan perkelahian yang timbul karena hal-hal yang remeh.
3. Mereka tidak boleh sembarangan membunuh seorarg lawan apabila hal itu tidak sangat perlu dan lawan itu bukan seorang yang memang benar-benar jahat dan berbahaya bagi umum sehingga perlu dibinasakan.
4. Mereka tidak boleh menyombongkan kepandaian sendiri dan sekali-kali tidak boleh mempergunakan kepandaian untuk menindas orang lain yang lemah.
Tiga orang anak kecil itu berlutut sambil mengucapkan sumpah untuk mentaati semua perintah itu dan mengucapkan janji-janji menurut apa yang dikatakan oleh guru mereka, Lui Sian Lojin. Biarpun mereka masih kecil dan belum dapat mengerti dengan baik apa yang mereka ucapkan, namun mereka telah bersikap sungguh-sungguh, bahkan Kui Eng dan Bun Hong yang berwatak gembira jenaka itu pada waktu berlutut dan bersumpah, nampak sungguh-sungguh dan mengucapkan sumpah dengan penuh semangat sehingga guru mereka menjadi puas.
"Nah, sekarang kita makan dulu. Aku mempunyai persediaan ubi di dapur. Setelah makan barulah kita beristirahat dan mulai besok pagi-pagi kalian harus bekerja di ladang, membantu aku mencangkul ladang di timur itu untuk ditanami padi. Kui Eng, kau memasak air! Bun Hong dan Beng Han, kalian pilih ubi-ubi di dapur itu dan bersihkan lumpurnya, juga isi gentong dengan air dari sumber di selatan itu!"
Lui Sian Lojin membagi-bagi tugas sambil tertawa dan wajah kakek ini berseri penuh kegembiraan.
Demikianlah, semenjak hari itu, tiga orang anak itu hidup di atas puncak Pegunungan Kwi-hoa-san, mempelajari ilmu silat sambil melakukan pekerjaan bertani, di bawah pimpinan Lui Sian Lojin yang amat menyayangi mereka seperti kepada anakanaknya sendiri Selain mendidik mereka dengan ilmu silat tinggi. Juga kakek itu memberi pelajaran ilmu sastera kepada mereka. Kakek ini maklum bahwa ilmu pengetahuan bu (silat) harus dibarengi dengan bun (sastera), karena hanya ahli dalam bu saja tanpa mengenal bun, akan membentuk orang menjadi tukang pukul yang kasar dan kejam, sebaliknya hanya ahli dalam bun saja tanpa mengenal bu, akan membuat orang menjadi seorang kutu buku yang lemah dan tidak dapat menjaga diri sendiri dan orang lain.
Biarpun Lui Sian Lojin bukan seorang ahli sastera yang pandai, namun berkat kerajinan dan ketekunannya mendidik tiga orang anak itu, mereka tidak menjadi buta huruf dan dapat membaca dan menulis dengan baik. Di samping pelajaran bu dan bun ini, juga Lui Sian Lojin memberi dasar-dasar pengertian ilmu kebatinan dan pelajaran budi pekerti sehingga tiga orang anak-anak itu mengerti dan terbuka mata batin mereka bahwa di antara segala ilmu pengetahuan, yang terpenting adalah perilaku yang baik agar jalan hidup mereka tidak sampai menyeleweng ke lembah kejahatan dan kescngsaraan.
Betapa anehnya sang waktu! Betapa hidup ini dicengkeram sepenuhnya oleh sang waktu! Akan tetapi, benarkah sang waktu yang menguasai kita? Bukankah waktu diadakan oleh pikiran kita sendiri? Waktu adalah ukuran, dan yang mengukur adalah pikiran kita. Dapatkah kita hidup di luar pengaruh sang waktu, di luar pengaruh sang pikiran karena waktu adalah pikiran pula? Kalau sudah begitu, yang lalu, dari detik yang lalu sampai ribuan tahun yang lalu, sudah mati dan tidak menyangkut dalam ingatan lagi, sedangkan yang akan datang. dari detik berikutnya sampai kelak, tidak terbayang dalam pikiran lagi. Kalau sudah begitu, hidup adalah saat ini, detik demi detik. Pencurahan perhatian pada setiap detik yang dilalui tanpa mengenangkan yang lalu dan membayangkan yang mendatang, akan membebaskan kita dari cengkeraman waktu.
Memang waktu amatlah aneh. Apa bila kita mengikuti dan memperhatikan majunya waktu detik demi detik, apa bila kita menanti sesuatu, mengharapkan sesuaiu, maka akan terasa amat lamalah jalannya sang waktu. Akan tetapi sebaliknya sebentar saja perhatian kita beralih, maka sang waktu akan meluncur cepar laksana anak panah terlepas dari busurnya.
Demikianlah, duabelas tahun telah lewat tak terasa semenjak tiga orang anak kecil yang menjadi korban bencana perang itu ikut ke puncak Kwihoasan dan menjadi muridmurid Lui Sian Lojin. Kui Eng. Tan Bun Hong, dan Gan Beng Han telah dua belas tahun tinggal di puncak gunung itu dan kini telah menjadi orang-orang muda menjelang dewasa. Lui Sian Lojin telah menurunkan seluruh ilmu, kepandaian silatnya kepada mereka secara adil dan tidak berat sebelah. Bahkan ilmu pedang ciptaannya, yaitu Kwi hoa Kiam Hoat, telah dia ajarkan kepada mereka bertiga sampai mereka dapat menguasainya dengan sempurna. Mereka telah menerima pula gemblengan-gemblengan untuk menghimpun tenaga sakti dan ilmu meringankan tubuh sehingga kini mereka telah menjadi ahli ahli sinkang dan ginkang yang lihai.
Biarpun menerima gemblengan secara berbareng dan mempelajari ilmu silat yang sama dari guru yang sama pula, namun terdapat perbedaan besar dalam gerakan mereka. Ilmu silat adalah suatu ilmu yang dapat bercabang ranting dan berkembang secara tanpa batas, oleh karena ilmu silat termasuk suatu kesenian. Seperti juga kesenian yang lain, ilmu silat mempunyai variasi dan kelincahan serta kegunaan yang kesemuanya tergantung sepenuhnya kepada yang menguasainya. Guru hanya memberi pelajaran dasar-dasar gerakan kaki tangan belaka serta memberi contoh-contoh tentang gerakan atau gaya permainan menurut garis-garis dasar cabang persilatan yang dianutnya. Akan tetapi selanjutnya, untuk mematangkannya, tergantung kepada si murid sendirilah yang memberi tambahan variasi-variasi atau kembangan-kembangan dan gaya menurut bakat dan pribadinya masing-masing.
Demikian pula dengan tiga orang murid Lui Sian Lojin. Biarpun mereka mempelajari ilmu silat yang sama, namun persamaan ini hanya terletak pada dasar gerakan kaki dan tangan mereka, sedangkan kelihaian masing-masing amat berbeda sifatnya. Kui Eng memiliki gaya ilmu silat yang indah dipandang, bagaikan seorang bidadari sedang menari, lemah lembut gayanya. Akan tetapi di dalam kelemahannya itu tersembunyi tenaga sinkang yang cukup hebat dan dia memiliki atau menguasai ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang lebih tinggi tingkatnya kalau dibandingkan dengan tingkat kedua orang suhengnya (kakak seperguruannya). Hal ini disebabkan oleh bakat dan pembawaannya yang memang cekatan dan gesit sekali, seperti pembawaan seekor burung walet yang lebih gesit dari pada burungburung lainnya.
Tan Bun Hong memiliki gerakan yang cepat dan dia pandai sekali membuat gerak-gerak tipu yang ditambahkannya sendiri pada gerak-gerak yang sesungguhnya seperti yang diajarkan oleh gurunya. Gerakan-gerakan palsu ini, baik yang dilakukan dalam ilmu silat tangan kosong maupun ilmu silat pedang, amat berbahaya karena dapat membingungkan fihak lawan yang belum mengenal betul inti ilmu pedangnya. Kecepatannya menggerakkan kaki-tangan amat luar biasa sehingga kalau dia sering berlatih pedang, pedang di tangannya berubah menjadi segulung sinar yang ganas bagaikan seekor naga menyerbu dari angkasa.
Sebaliknya, Gan Beng Han memiliki tenaga sinkang yang paling kuat oleh karena dia amat tekun dan kuat sekali berlatih dan bersamadhi dengan latihan pernapasan sehingga sinkangnya menjadi amat kuat. Gerakan kaki tangannya lambat dan tidak mengandung banyak variasi, namun gerakan itu tetap, teguh dan mantap, membuat pedang di tangannya kalau dia mainkan menjadi seperti dinding baja yang tidak mungkin ditembus.
Gaya dan variasi dalam ilmu silat memang amat dipengaruhi oleh sifat dan perangai pemainnya karena semua gerakan itu dikendalikan oleh rasa, sedangkan perasaan seseorang mempunyai hubungan erat dengan sifat-sifat pribadinya. Lui Sian Lojin maklum sepenuhnya akan hal ini, maka dia membantu perkembangan ilmu silat tiga orang muridnya itu dengan menyesuaikan gerakan-gerakan silat itu dengan sifat masing-masing. Dia memberikan petunjuk dan nasihat yang amat berharga dan yang ditaati sepenuhnya oleh tiga orang muridnya. Tiga orang itu menganggap guru mereka sebagai pengganti orang tua sendiri. Di dalam hati mereka tumbuh kasih sayang dan bakti seperti perasaan seorang anak terhadap ayahnya sendiri. Semua ini didorong oleh rasa terima kasih dan oleh rasa kasih sayang yang teramat besar dari kakek itu terhadap diri mereka.
Selain mempelajari ilmu silat, ilmu sastera dan kebatinan, di samping waktu-waktu yang mereka penuhi dengan latihan latihan yang tekun, mereka juga membantu kakek itu dalam pekerjaan di sawah ladang. Dalam pekerjaan ini merekapun rajin sekali sehingga hasil tanaman mereka amat berkelebihan dan kelebihannya dapat mereka. Bawa turun gunung, ke dusun-dusun dan mereka tukarkan dengan kebutuhan lain seperti bumbu-bumbu, perabot-perabot dan pakaian. Oleh karena itu, biarpun mereka hidup di puncak gunung, biarpun pakaian mereka selalu sederhana seperti juga pakaian guru mereka, namun mereka tidak kekurangan pakaian. Bentuk pakaian merekapun sudah membuktikan keadaan batin mereka yang sungguh berbeda. Kui Eng, seperti biasanya seorang dara remaja, tentu saja agak pesolek dan bahan pakaiannya lebih indah dari pada kedua orang suhengnya, biarpun amat sederhana dibandingkan dengan gadis-gadis kota misalnya. Bun Hong membuat pakaiannya bercorak seperti pakaian sasterawan dusun yang sederhana, sedangkan Beng Han agaknya tidak mau meninggalkan asalnya, pakaiannya seperti pakaian seorang petani.
Pada suatu hari, Lui Sian Lojin memanggil tiga orang muridnya berkumpul dan setelah mereka datang menghadap dan berlutut di depannya, kakek ini berkata.
"Eng Eng, kau mendekatlah."
Kakek itu biasa menyebut Kui Eng dengan nama Eng Eng, dan memang tak dapat disembunyikan bahwa kakek ini amat sayang kepadanya dan agak memanjakan, dibandingkan dengan sikapnya terhadap dua orang muridnya yang lain. Kui Eng atau Eng Eng mendekati suhunya dan kakek itu mengelus kepala Kui Eng yang diperlakukan seperti masih anak anak saja.
"Murid muridku, duabelas tahun lamanya kalian bertiga telah belajar ilmu di tcmpat ini dan kini kalian telah memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Masih ingatkah kalian kepada sumpah kalian dahulu itu?"
Tentu saja mereka masih ingat karena sering kali suhu mereka memberi peringatan agar isi sumpah itu beiakar di dalam hati sanubari mereka, maka mereka bertiga mengangguk dan saling pandang karena mereka heran akan sikap suhu mereka dan menduga bahwa tentu ada apa-apa yang penting dan yang hendak disampaikan oleh guru itu kepada mereka.
"Syukurlah kalau kalian masih ingat,"
Kata kakek itu melihat tiga orang muridnya mengangguk.
"Sekarang tibalah saatnya bagi kalian untuk memberi isi kepada sumpahmu itu, mempergunakan ilmu kepandaian pada saat dan di tempat yang benar agar kalian menjadi manusiamanusia yang berguna, bagi orang lain. Kalian harus turun gunung dan mulai melakukan tugas kewajiban sebagai pendekar-pendekar muda yang gagah perkasa dan mencari pengalaman hidup."
Tiga orang muda itu merasa terkejut sekali karena belum pernah terpikir oleh mereka untuk pergi meninggalkan tempat yang mereka anggap sebagai satu-satunya tempat tinggal mereka itu dan untuk terjun ke dalam dunia ramai yang kini terasa asing bagi mereka. Terutama sekali Kui Eng merasa kaget dan dia cepat menjatuhkan diri berlutut di dekat kaki suhunya dan berkata dengan suara mengandung keharuan.
"Turun gunung, suhu? Turun gunung dan pergi meninggalkan suhu? Suhu sudah tua dan kalau kami pergi, siapakah yang akan merawat suhu? Teecu tidak sampai hati meninggalkan suhu dan biarlah dua orang suheng ini turun gunung memperluas pengalaman mereka. Akan tetapi biarkan teecu tinggal di sini bersama suhu. Teecu tidak ingin meninggalkan suhu."
Bun Hong tidak mengeluarkan kata sepatahpun, pandangan matanya merenung jauh dan diam-diam dia merasa amat gembira. Biarpun dia tidak pernah menyatakan dengan mulutnya, akan tetapi setiap kali dia berdiri di atas batu besar yang berada di puncak bukit dan memandang ke tempat jauh, hatinya berdebar tegang dan timbul keinginan hatinya untuk melihat bagaimana pemandangan dan keadaan di dunia ramai yang jauh itu. Akan tetapi setelah kini dengan tiba-tiba suhunya bicara tentang turun gunung, diapun menjadi raguragu, tiada ubahnya seekor burung yang dilepas dari kurungan dan tidak tahu kemana harus terbang pergi.
Sementara itu, Beng Han berkata kepada suhunya dengan suaranya yang dalam dan tenang.
"Suhu, sungguhpun teecu ingin sekali mentaati perintah suhu untuk turun gunung, akan tetapi menurut pendapat teecu, ucapan sumoi tadi benar juga. Kalau teecu bertiga pergi dari sini, suhu tentu akan merasa kesepian dan siapakah yang akan mengerjakan sawah ladang, siapakah yang akan merawat suhu yang sudah tua? Lebih baik teecu bertiga turun gunung secara bergiliran, apabila seorang sudah kembali, barulah orang ke dua pergi sehingga dengan demikian, suhu tidak akan pernah ditinggalkan seorang diri di sini."
Lui Sian Lojin tersenyum menutupi keharuan hatinya.
"Anak-anakku, kalian anggap orang macam apakah aku ini? Aku adalah seorang yang sudah biasa hidup menyendiri, dan untuk merawat tubuhku yang sudah tua ini kiranya tidak lah sukar, karena badan dan batinku sudah tidak mempunyai banyak keinginan lagi. Aku akan dapat menjaga diriku sendiri dan bagiku, tidak ada kesenangan lain kecuali membayangkan kalian sedang berjuang demi membela kebenaran dan orang-orang tertindas yang banyak terjadi di dunia ramai. Ketahuilah, murid-muridku, bahwa pohon buah yang bagaimana lezat sekalipun tidak ada gunanya apa bila tumbuh di dalam tempat yang terasing sehingga buah-buahnya tidak dapat dinikmati orang. Ibarat pohon-pohon buah, kalian bertiga adalah tiga batang pohon kecil yang baru tumbuh ketika bertemu dengan aku Kemudian aku membawa kalian ke puncak ini, merawat dan menyirami tiga batang pohon kecil itu sehingga sekarang telah tumbuh menjadi besar dan berkembang. Apa bila kalian tidak turun gunung sekarang untuk membiarkan kembang-kembang itu berbuah dan dinikmati orang yang membutuhkannya, bukankah kembang-kembang itu akan sia-sia belaka dan buah-buahnyapun akan jatuh satu demi satu dan membusuk di atas tanah? Dan kalau terjadi seperti itu, bukankah berarti bahwa susah payahku selama merawat dan menyirami pohon-pohon kecil itu menjadi sia-sia belaka?"
Tiga orang muda itu tertunduk mendengar ucapan suhu mereka yang amat berkesan di hati masing-masing, dan mereka mengerti dengan baik akan maksud suhu mereka.
"Oleh karena itu, anak-anakku Kalian turunlah dari tempat ini dan merantau di dunia ramai. Aku akan menunggu kalian di tempat ini dan kuberi waktu tiga tahun kepada kalian untuk meluaskan pengalaman. Tiga tahun kemudian, pulanglah kalian ke sini untuk membuat laporan kepadaku. Kurasa tubuhku yang sudah tua ini masih akan kuat menanti sampai tiga tahun lagi."
Mendengar kalimat terakhir itu, Kui Eng mengangkat mukanya dan memandang wajah Lui Sian Lojin. Kakek itu sekarang telah nampak tua benar, rambut dan jenggotnya telah putih bagaikan benang-benang perak dan kulit mukanya telah penuh keriput. Bahkan alisnya telah berwarna putih pula, menandakan bahwa usianya sudah sangat lanjut. Tiba-tiba timbul rasa kasihan di dalam hati Kui Eng dan gadis itu berlutut sambil berkata.
"Akan tetapi, suhu. Suhu sudah sangat tua dan hati teecu tidak akan membenarkan kalau teecu meninggalkan suhu, Di perantauan, hati teecu akan selalu teringat kepada suhu dan selalu akan merasa khawatir."
Sepasang mata gadis itu menjadi basah.
Melihat dara remaja itu hampir menangis karena berat meninggalkannya, diamdiam Lui Sian Lojin merasa amat terharu dan juga girang. Dia merasa amat bangga dan berbahagia oleh karena tiga orang muridnya yang telah dianggapnya sebagai anak sendiri itu ternyata amat mengasihinya. Tidak sia sialah dia merawat mereka semenjak mereka masih kecil. Akan tetapi, kakek ini bukanlah seorang manusia lemah yang suka mementingkan diri sendiri. Maka dikuatkannya batinnya dan dengan suara tetap dan nyaring dia berkata.
"Eng Eng! Tidak selayaknya seorang dara perkasa seperti engkau ini mengobral air mata! Dan tidak seharusnya seorang muridku yang gagah seperti engkau menjadi lemah hati. Angkat mukamu dan keringkan air matamu, lalu tersenyumlah!"
Perlahanlahan Kui Eng mcngangkat mukanya. Kalau dia melihat wajah suhunya muram dan berduka, tentu dia tidak akan dapat menahan kesedihannya. Akan tetapi dia melihat wajah suhunya yang kerut-merut oleh keriput itu tersenyum kepadanya dan sepasang mata orang tua itu bersinar-sinar penuh kegembiraan, maka seketika lenyaplah kelemahan hatinya dan diapun lalu tersenyum! Memang pada dasarnya Kui Eng bukanlah seorang dara yang mudah hanyut oleh keharuan dan kedukaan, sebaliknya malah, dia seorang dara yang lincah jenaka dan selalu riang gembira seperti seekor burung murai di pagi hari.
"Nah, begitulah seharusnya, anakku yang baik. Eng Eng, dahulu kau bercerita kepadaku bahwa ibumu dilarikan penjahat, masih ingatkah engkau kepada ibumu?"
Kui Eng terkejut sekali mendengar ini. Telah lama dia mencoba untuk melupakan bayangan peristiwa di masa dia masih kecil, bayangan peristiwa yang amat mengerikan, namun usahanya untuk melupakan semua itu sia-sia belaka. Bayangan itu kadang-kadang, dan sering kali di waktu dia tidur, membayanginya sebagai mimpi buruk. Dan sekarang, suhunya bahkan mengingatkannya akan hal itu!
Sebetulnya Lui Sian Lojin tidak ingin membangkit-bangkitkan hal itu dalam hati ketiga orang muridnya. Dia mengerti akan kesia-siaan dan bahaya dari racun dendam sakit hati yang akan mencengkeram dan menguasai kehidupan seseorang. Akan tetapi melihat keraguan hati Kui Eng untuk turun gunung, terpaksa dia mengemukakan dan mengingatkan hal itu untuk mendorong hati Kui Eng agar dara ini lebih bersemangat turun gunung dan mencari ibunya.
Kui Eng yang terkejut kini memandang gurunya dan tiba-tiba saja terbayanglah semua malapetaka yang menimpa keluarganya, teringatlah dia betapa dia hidup sebatangkara tanpa keluarga dan menangislah Kui Eng terisak-isak di depan kaki gurunya. Kakek itu terkejut dan menyesal mengapa dia mengingatkan hal itu, akan tetapi sudah terlanjur dan dia menarik napas panjang.
"Suhu, sekarang juga teecu hendak mencari orang yang menculik ibu dan teecu akan menghancurkan kepalanya, merobek dadanya!"
Katanya dengan nada gemas dan penuh kemarahan.
"Aihhhh , tenang dan sabarlah, Eng Eng. Jangan demikian mudah hanyut oleh gelombang nafsu, anakku. Mudah saja engkau mengeluarkan kata-kata ancaman seperti itu, seolah-olah yang hendak kau robek dadanya hanya seekor ayam saja! Anakku, engkau harus tenang, pikirlah baik-baik, bagaimana kalau kemudian ternyata bahwa orang yang melarikan ibumu itu bahkan menjadi penolong yang menyelamatkan nyawanya?"
Kui Eng menjadi terkejut sekali, mukanya berubah pucat dan dia menjadi bingung.
"Kalau begitu eh, tentu saja eh, teecu minta petunjuk, suhu, karena teecu tidak mengerti harus berbuat apa""
Katanya gagap.
Lui Sian Lojin tersenyum dan menahan kecelisah hatinya.
"Dengarkanlah baik-baik, Eng Eng, dan kalian juga, Beng Han dan Bun Hong. Kalian bertiga telah bersumpah di hadapanku dan di antara sumpah itu terdapat pernyataan bahwa kalian tidak akan membunuh orang secara serampangan saja. Harus diingat bahwa pembunuhan adalah suatu perbuatan yang amat jahat dan kejam, yang akan menimbulkan penderitaan kepada diri sendiri. Kita tidak berkuasa mencipta manusia, mengapa pula kita harus mengakhiri hidup seorang manusia yang diciptakan Tuhan? Hanya Tuhan yang berkuasa mencabut nyawa manusia. Ingatlah baik-baik, kalau tidak sangat terpaksa, dan dengan alas an-alasan yang kuat, jika masih ada jalan lain, jangan sekali-kali kalian menurunkan tangan kejam dan membunuh orang Lihatlah ini!"
Sambil berkata demikian kakek itu mencabut pedangnya, sebatang pedang pusaka yang bercahaya kekuningan dan yang tajamnya luar biasa sekali karena tiga orang murid itu pernah melihat suhu mereka mendemonstrasikan kehebatan pedang itu dengan membacok batu-batu besar seperti orang membacok tahu saja.
"Selama aku masih hidup dan pedang ini| masih berada di tanganku, kalau kalian melanggar sumpah dan melakukan kejahatan dengan mengandalkan kepandaianmu yang kalian pelajari di sini, biarpun hatiku amat mencintai kalian, maka siapa yang berbuat dosa dan jahat akan kuserang dengan pedang ini!"
Ketika kakek itu mengucapkan kata kata ini, waahnya nampak gagah dan suaranya kedengaran sungguh-sungguh sehingga tiga orang muridnya menjadi gentar.
"Dan sekarang, berkemaslah untuk turun gunung pada hari ini juga. Terserah kepada kalian untuk merantau bersama atau hendak berpisah, akan tetapi aku menghendaki agar supaya kalian saling membantu dan agar kalian bertiga datang ke tempat ini pada tiga tahun kemudian."
Setelah menerima banyak petunjukpetunjuk tentang dunia kang ouw dan tentang nama beberapa tokoh kang ouw yang terkenal duabelas tahun yang lalu seperti yang diketahui oleh Lui Sian Lojin, dan memberi nasihat-nasihat berharga yang amat penting diketahui oleh tiga orang muda yang masih hijau ini, mereka bertiga dengan hati berat lalu berkemas. Selama berada di situ, suhu mereka amat mencinta mereka dan biarpun mereka tinggal di atas puncak gunung, namun berkat kelebihan hasil tanaman mereka, tiga orang muda itu mempunyai persediaan pakaian yang cukup banyak, dan masing-masing telah memiliki sebatang pedang yang biarpun bukan merupakan pedang pusaka namun cukup baik.
Kemudian, lewat tengah hari, mereka berlutut lagi di depan suhu mereka, memberi hormat dan mohon diri, lalu berangkatlah mereka turun gunung meninggalkan tempat itu. Lui Sian Lojin berdiri di atas batu besar yang berada di puncak dan memandang ke arah tiga orang muridnya, mengikuti bayangan mereka itu lenyap di antara pohon-pohon. Kemudian turunlah dia dari batu besar itu dan berjalan perlahan memasuki pondoknya. Pondok yang kosong itu betapapun juga mempengaruhi hatinya yang tiba-tiba saja terasa kosong. Hidupnya seakan-akan mati dan semangatnya seperti terbawa pergi oleh tiga orang muda itu. Dadanya terasa sesak dan kerongkongannya hagaikan disumbat sesuatu dari dalam, akan tetapi kakek yang gagah perkasa ini lalu menggunakan kekuatan batinnya untuk menekan rasa duka dan kesepian itu, dan dia duduk bersila di atas pembaringannya sambil bersamadhi dan mengatur pernapasan.
Pengikatan diri terhadap apapun juga di dunia ini tentu akan menimbulkan duka. Cinta kita terhadap manusia lain atau terhadap benda sebenarnya hanyalah kesenangan yang kita nikmati dari manusia atau benda yang kita cinta itu. Cinta macam ini bersifat memiliki dan mengandung pengikatan. Oleh karena itu, apa bila kita mengikatkan diri kepada sesuatu baik manusia atau benda, yang kita sukai, seolah-olah ikatan itu menumbuhkan akar di dalam batin, maka setiap kali kita dipisahkan dari apa yang kita cintai itu, terjebollah akarnya dan hal ini tentu saja menyakitkan batin dan menimbulkan duka. Pengikatan diri menimbulkan rasa iba diri apa bila perpisahan datang, sedangkan perpisahan tidak mungkin dapat dielakkan lagi di dunia ini karena segala sesuatu adalah tidak kekal adanya. Dan betapa banyaknya kita "mengikatkan diri"
Dengan keduniawian, dengan keluarga, sahabat, harta benda, kedudukan, nama besar, dan seribu satu macam hal-hal yang mendatangkan kenangan bagi kita sehingga hidup kita penuh dengan halhal yang menimbulkan duka karena sewaktuwaktu kita tentu akan berpisah dengan semua itu. Pengikatan diri inipun menimbulkan rasa takut akan kematian, perpisahan yang mutlak karena saat kita mati kita akan berpisah dari semua yang kita sayang itu. Karena itu yang terutama dan terpenting adalah: Dapatkah kita hidup tanpa pengikatan dengan apapun juga, tanpa bersandar kepada apapun juga, secara batiniah?
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukan sembarangan orang-orang muda yang turun dari puncak Kwi~hoasan pada hari itu. Kui Eng telah menjadi seorang dara remaja berusia tujuhbelas tahun yang cantik jelita dan manis. Rambutnya yang hitam panjang dan halus itu dikepang menjadi dua dan diikat dengan pita sutera merah, dan di atas kepalanya sebelah kiri dihias dengan hiasan rambut berupa setangkai bunga bwee terbuat dari pada batubatu merah pemberian suhunya. Wajahnya yang berbentuk bulat telur itu bertambah manis karena senyumnya selalu menghias bibir yang merah dan tipis. Sepasang matanya yang agak lebar selalu bersinar-sinar laksana bintang pagi, membuat wajahnya nampak cerah dan selalu berseri. Tubuhnya ramping padat, membayangkan bahwa dia sehat dan memiliki tenaga halus yang amat kuat, sedangkan kulitnya yang halus putih kekuningan itu menyembunyikan keadaannya sebagai seorang pendekar wanita yang lihai. Sukar untuk pereaya bahwa kedua tangan yang berkulit halus itu mampu me mecahkan batu dengan satu kali pukul! Warna hijau menjadi kesukaannya dan pakaian yang menutupi tubuhnya terbuat dari sutera berwarna hijau, dengan potongan yang sederhana, namun warna itu membuat kulitnya nampak lebih putih dan gemilang.
Pinggangnya yang ramping terikat dengai sabuk sutera merah, kedua ujung sabuk melambai-lambai tertiup angin gunung ketika dia berjalan menuruni gunung bersama kedua orang suhengnya. Kedua sepatunya yang kecil dan masih baru itu berwarna hitam. Gagang pedang yang tersembul di pinggangnya membuat dia nampak gagah. Cantik jelita dan gagah perkasa, demikianlah kesan yang didatangkan oleh pribadi Kui Eng, bagaikan setangkai bunga yang semerbak mengharum dan indah, akan tetapi dia bukanlah bunga sembarang bunga. Bukanlah bunga harum indah yang mudah dijangkau tangan dan mudah pula dipetik. Ibarat bunga, dia berada di tempat tinggi dan kegagahannya yang melindungi kecantikannya bagaikan duri-duri tajam yang melindungi bunga harum itu. Mudah dipandang akan tetapi sukar untuk dicapai tangan!
Tan Bun Hong yang berjalan di sebelah kiri Kui Eng juga merupakan seorang pemuda yang patut dikagumi. Semenjak kecilnya memang sudah dapat diduga bahwa dia akan menjadi seorang pemuda yang tampan. Rambutnya hitam dan digelung ke atas, diikat dengan sutera biru dengan erat sehingga dahinya yang tinggi dan lebar itu menanbah ketampanannya. Kulit mukanya halus dan putih sehingga bibirnya nampak merah bagaikan bibir wanita, akan tetapi bentuk mulutnya gagah dan tidak sekecil mulut wanita. Sepasang matanya kocak dan jenaka, selalu bergerak ke sana-sini, kerlingnya menyambar-nyambar, menunjukkan bahwa dia memiliki otak yang cerdik, sedangkan senyum manis yang tak pernah meninggalkan bibirnya membuat orang merasa suka kepadanya Tubuhnya agak kurus akan tetapi bahunya lebar dan tegak. Langkah kakinya tegap membayangkan adanya kekuatan besar di daiam tubuhnya. Pakaiannya berwarna kuning gading dengan ikat pinggang berwarna biru seperti ikat rambutnya. Pakaiannya rapi dan bersih sampai ke sepatunya, rambutnya tersisir halus dan terawat, menandakan bahwa dia seorang yang pesolek dan suka akan kebersihan. Juga pedangnya tergantung di pinggang kiri membuat dia nampak tampan dan gagah. Di sepanjang jaian dia bercakap-cakap tiada hentinya dan pandai sekali menghibur hati kedua orang saudara seperguruan itu dengan kelakar dan kejenakaan, sehingga lerhiburlah hati Kui Eng dan Beng Han.
Di sebelah kanan Kui Eng berjalanlah Gan Beng Han. Tubuhnya tinggi, lebih tinggi dari Bun Hong, dan juga lebih tegap. Rambutnya yang subur dan hitam juga diikat ke atas dengan sehelai pita berwarna hitam sehingga dari jauh tidak kelihatan karena warnanya sama dengan rambutnya. Mukanya lebar dan berbentuk bagus. Wajah seperti inilah yang biasa disebut wajah "toapan"
Dan menurut pendapat umum, wajah yang toapan itu adalah wajah seorang yang berwatak baik dan dapat dipercaya. Alisnya tebal dan berbentuk seperti golok, membayangkan kegagahan Kedua matanya tenang dan bersinar lembut, membayangkan kejujuran. Dagunya berlekuk pada tengahtengahnya menambah sifat kejantanannya, akan tetapi bibirnya membayang kesabaran yang besar. Pakaiannya terbuat dari pada kain tebal berwarna abuabu, sederhana sekali seperti pakaian petani, jauh bedanya dengan pakaian Bun Hong, sungguhpun guru mereka tidak pernah membeda bedakan antara mereka. Hal ini menunjukkan bahwa memang Beng Han memiliki watak sederhana. Kulit mukanya tidak seputih Bun Hong, akan tetapi wajah Beng Han tidak dapat dikatakan buruk. Sungguhpun tidak setampan wajah Bun Hong, namun tanpa dapat diragukan dia memiliki sifat gagah yang amat menonjol. Langkah kakinya tidak seringan kaki Kui Eng yang berjalan di sebelah kirinya, juga tidak secepat langkah kaki Bun Hong, akan tetapi lebih tegap dan kuat, dengan langkah yang lebar dan lenggang yang jelas membayangkan kehebatan tenaganya, seperti lenggang seenaknya seekor harimau muda.
Tiga orang muda yang pada waktu itu menuruni Gunung Kwi-hoa-san, dapat disebut sebagai lambang dari kecantikan, ketampanan, dan kegagahan. Dan apa bila orang mengetahui akan kehebatan ilmu kepandaian silat mereka, maka orang itu tentu akan menyatakan bahwa yang menuruni puncak gunung itu bukanlah tiga orang muda sembarangan, melainkan tiga naga sakti yang melayang turun dari angkasa ke dunia ramai untuk melaksanakan tugas suci!
Pada masa itu, Kerajaan Tang baru saja terlepas dari gangguan pemberontakan. Bekas-bekas perang memang sudah tidak nampak jelas, akan tetapi akibat-akibat perang maasih terasa oleh rakyat karena kini yang menjadi kaisar adalah seorang yang lemah dan tidak pandai menguasai keadaan, tidak pandai mengatur pemerintahan. Para pembesar kerajaaan, terutama sekali para thaikam (orang kebiri) yang selalu menjadi sekelompok orang-orang yang paling dekat dengan kaisar, memegang peranan penting dalam tampuk kerajaan. Para pembesar ini bukanlah pemimpin sejati. Yang dinamakan pemimpin adalah orang-orang yang memegang kedudukan tinggi dan yang mmemimpin rakyat kearah kemakmuran bersama. Akan tetapi pembesar adalah orang-orang yang memperebutkan kedudukan tinggi hanya untuk memperbesar perut sendiri, memperbesar kkekuasaan dan memperbesar kekayaan pribadi saja. Mereka ini selalu mementingkan diri sendiri, mengejar kesenangan sebanyak-banyaknya. Kesenangan dalam bentuk apapun, baik itu kedudukan, harta benda dan sebagainya, bukan merupakan hal buruk dan jahat. Akan tetapi, kalau sudah dikejar-kejar, maka dalam PENGEJARANNYA inilah timbul kejahatan-kejahatan, karena demi untuk mencapai yang dikejar-kejarnya, manusia tidak segan-segan untuk melakukan perbuatan busuk macam apapun juga. Pengejaran akan kedudukan menimbulkan kejahatan dan kecurangan terhadap lawan yang memperebutkan kedudukan, pengejaran terhadap kekayaan antara lain menimbulkan korupsi yang kian merajalela.
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo