Kisah Tiga Naga Sakti 22
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 22
Melihat hal ini, Gin San cepat berkata, suaranya halus namun terdengar oleh semua orang.
"Dua orang ini adalah pengacau-pengacau, akan tetapi karena mereka terdorong oleh urusan pribadi, maka mereka bukanlah musuh Beng kauw dan mereka sebaiknya ditahan dulu dalam kamar tahanan untuk diputuskan kelak hukuman bagi mereka kalau sudah selesai penyempurnaan jenazah suhu."
Mendengar ucapan itu, semua tamu merasa setuju karena memang keputusan ini adil dan beberapa orang anggauta Beng-kauw lalu diperintah untuk membawa pergi dua orang Im-yang-pai yang sadah tertawan itu.
Ketika Cin Beng Thiancu melihat betapa dua orang muridnya itu tertawan, hatinya menjadi gelisah sekali dan dia juga merasa marah.
"Keparat, bebaskan murid-muridku!"
Bentaknya dan dia menerjang dengan dahsyat sehingga Kwan Cin Cu terpaksa mengelak mundur, kemudian orang pertama dari tiga ketua Beng-kauw ini memutar goloknya dan balas menyerang. Akan tetapi, kini Cin Beng Thiancu yang sudah marah sekali itu mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya untuk mendesak Kwan Cin Cu. Sebetulnya, dalam tingkat kepandaian Kwan Cin Cu sebagai orang pertama dari Beng kauw, tidaklah kalah dibandingkan dengan tingkat ilmu silat yang dimiliki orang ke dua dari Im-yang-pai itu, bahkan masih lebih tinggi sedikit. Akan tetapi, yang membuat Kwan Cin Cu sampai terdesak adalah pukulan-pukulan tangan kiri dari Cin Beng Thiancu yang bernama Thian-lui-sin-ciang itulah. Pukulan tangan kiri inipun didorong oleh tenaga yang luar biasa kuatnya, sehingga setiap kali terjadi pertemuan senjata atau tangan, Kwan Cin Cu yang sudah mengerahkan seluruh tenaganya itu selalu terdorong ke belakang."
Gin San sejak tadi mempelajari keadaan dua orang itu, kemudian dia mempergunakan khikangnya, dengan Ilmu Coan-im-jip-bit dia membisikkan petunjuk kepada twa-suhengnya.
"Suheng, Beng-kauw mengutamakan terang dan halus, yang terang mengalahkan yang gelap, yang halus menandingi yang kasar. Sudah terang fihak lawan mengandalkan kekasaran mengapa tidak menggunakan kehalusan?"
Mendengar bisikan ini, terkejutlah Kim Cin Cu. Terkejut dan girang. Memang tadi dia selalu merasa penasaran dan dia telah mengerahkan seluruh kekuatan sinkangnya. Dia terlalu mengandalkan kekuatannya sendiri sehingga memandang rendah semua orang, bahkan dia tidak percaya kalau orang ke dua dan Im-yang-pai ini akan mampu menandingi sinkangnya! Itulah sebabnya maka dia tadi melawan keras dengan keras, karena dia tidak sudi kalau disangka takut menghadapi kekuatan lawan, merasa malu kalau tidak mampu menghadapi keras lawan keras. Kini, setelah mendengar bisikan itu, barulah dia sadar dan tahu akan kebodohannya sendiri. Pada saat itu, Cin Beng Thiancu yang sudah marah melihat dua orang muridnya tertawan, menerjang dengan amat dahsyatnya seperti seekor gajah mengamuk.
Kwan Cin Cu yang sudah sadar itu lalu mengerahkan sinkangnya, meloncat ke belakang dengan cepatnya, kemudian ketika lawan mendesak, dia menyambut dengan gerakan yang sama sekali berlainan dengan tadi! Kini dia tidak pernah menangkis, melainkan mengelak dan mulailah dia menggunakan serangan balasan dengan golok peraknya dibantu dengan pukulan tangan kirinya yang amat ampuh, yaitu Toat-beng-tok-ciang, ilmu pukulan beracun yang amat keji, yang melatihnya saja harus mengorbankan darah dan otak banyak anak-anak yang masih bersih!
Perhitungan Gin San memang tepat. Setelah kini Kwan Cin Cu tidak melayani adu tenaga keras lawan keras, maka orang pertama Beng-kauw itu tidak lagi terdesak, sebaliknya malah mendesak hebat karena Cin Beng Thian-cu yang hanya mengandalkan kelebihan tenaganya kini terpaksa harus mengakui keunggulan ilmu silat lawan yang tidak lagi melayani adu tenaga.
Biarpun dia masih berusaha membela diri sampai limapuluh jurus lebih, akan tetapi pengerahan tenaga yang berlebihan membuat dia lelah, juga gerakannya menjadi kacau dan tiba-tiba dia mengeluh ketika pukulan Toat-beng-tok-ciang yang tidak dapat dielakkan lagi itu mengenai lambungnya. Dia merasa betapa lambungnya nyeri bukan main, seperti ditusuk tusuk jarum dan dia terhuyung dengan lemah. Ketika Kwan Cin Cu hendak melanjutkan serangannya untuk mengirim pukulan maut kepada lawan yang sudah tidak berdaya itu, tiba tiba nampak bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu Gin San telah berdiri di depannya membelakanginya, dan pemuda ini dengan penuh wibawa berkata kepada Cin Beng Thiancu.
"Twa-suheng telah menangkan pertandingan ini, kami orang-orang Beng-kauw adalah orang-orang gagah yang tidak menyerang lawan yang sudah kalah. Apakah engkau masih tidak mau terima kalah dan hendak melanjutkan pertandingan? Hayo lekas pergi dan jangan lagi mengganggu upacara penyempurnaan jenazah guru kami!"
Mendengar ini, Cin Beng Thiancu lalu memandang kepada Gin San dengan sinar mata penuh kagum dan juga penuh pengertian. Dia melihat munculnya seorang tokoh yang masih muda namun hebat sekali di Beng-kauw. Dia melihat betapa cepat gerakan pemuda ini dan melihat sikapnya yang halus namun penuh wibawa, seolah-olah pemuda ini bahkan lebih berpengaruh dari pada orang pertama dari Beng-kauw yang telah mengalahkannya itu. Dia telah terluka hebat, mungkin luka yang akan menghilangkan nyawanya. Melawan lagi tidak ada gunanya lagi, maka dia lalu menjura kepada pemuda ini yang betapapun juga telah menyelamatkan nyawanya di saat itu, karena tanpa munculnya pemuda ini tentu Kwan Cin Cu akan melanjutkan serangannya dan dia tidak akan mungkin dapat melindungi nyawanya lagi.
"Saya yang bodoh mengaku kalah"""
Katanya sambil menekan lambungnya dan menarik napas dalam-dalam karena lambungnya terasa nyeri bukan main.
"Akan tetapi"
Bagaimana dengan dua orang muridku"".?"
"Mereka menyatakan sendiri bahwa mereka datang bukan sebagai orang-orang Im-yang-pai, melainkan karena urusan pribadi. Karena mereka mengacau tempat kami, maka terpaksa kami tahan dan akan kami adili kelak. Pergilah, dan obati lukamu dengan ini, kalau terlambat, dalam waktu tiga hari kau tentu akan tewas."
Gin San mengeluarkan sebungkus obat bubuk dari saku bajunya. Obat ini adalah obat yang istimewa, yang dibuatnya sendiri menurut petunjuk mendiang gurunya, bukan hanya untuk mengobati luka akibat pukulan Toat-beng-tok-ciang dari suhengnya, melainkan mengobati luka dalam macam apapun juga.
Menerima obat dari musuh merupakan hal yang amat merendahkan, maka Cin Beng Thiancu menjura dan menolak.
"Terima kasih, kalau aku tidak mampu mengobati sendiri, sudah selayaknya aku mati."
Setelah beikata demikian, kakek bermuka hitam ini lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi dengan langkah lebar, dan dengan tubuh agak membungkuk karena dia menekan lambungnya.
Kwan Cin Cu dan dua orang sutenya memandang kepada Gin San dengan penasaran, akan tetapi sebelum mereka sempat menegur sute mereka itu, Gin San sudah beikata lantang.
"Saat penyempurnaan jenazah suhu telah tiba!."
Dan memang telah diatur sebelumnya untuk upacara ini maka begitu Gin San berseru demikian, empat orang kakek tua renta, yaitu mereka yang bertugas untuk melakukan upacara sembahyang dan pembakaran jenazah, sudah melangkah maju, kemudian mengitari peti jenazah sambil membaca mantera. Terpaksa Kwan Cin Cu dan dua orang sutenya tidak berani banyak bicara lagi karena suasana itu haruslah khidmat. Mereka hanya melempar pandang mata yang heran dan marah kepada Gin San, kemudian merekapun berlutut dan merangkak mendekati peti mati, kemudian bersama Gin San, mereka berempat mengangkat peti jenazah itu dan memanggulnya menuju ke tempat yang sudah disediakan untuk pembakaran jenazah, yaitu di pantai laut tak jauh dari guha itu.
Setelah upacara sembahyang oleh kakek-kakek Beng-kauw selesai, maka tiga orang murid dari Maghi Sing lalu menyalakan tumpukan kayu di atas mana peti jenazah diletakkan dan terbakarlah tumpukan kayu itu, membakar peti jenazah yang sudah disiram minyak. Api bernyala dan menjilat-jilat seperti lidah-lidah iblis yang menikmati santapan yang dihidangkan, dan asap mengepul tinggi. Lepas dari pada pandangan dan pendapat-pendapat yang terikat oleh kepercayaan-kepercayaan, tradisi-tradisi, dan peraturan-peraturan agama yang kaku dan sempit, tak dapat disangkal lagi bahwa menyempurnakan jenazah manusia dengan jalan membakarnya merupakan cara yang paling baik. Pertama, jelas bahwa yang mati tidak lagi mengganggu yang hidup dengan penggunaan tanah yang menimbulkan tempat-tempat yang dianggap angker sehingga tanah itu dapat dimanfaatkan oleh yang hidup.
Ke dua, keluarga yang masih hidup tidak lagi terikat oleh kewajiban merawat kuburan dan mengunjunginya setiap waktu yang telah ditentukan oleh tradisi. Ke tiga, dengan cara pembakaran ini maka semua penyakit yang mungkin masih melekat pada jenazah dan yang mungkin menimbulkan bahaya penularan, dapat dibasmi habis oleh api.
Api yang membakar kayu dan peti jenazah itu menyala makin tinggi dan kini peti jenazah itu terbuka dan nampaklah jenazah Maghi Sing yang mulai terbakar. Semua orang memandang ngeri. Kakek yang di waktu hidupnya merupakan seorang tokoh yang amat tinggi ilmunya itu kini nampak seperti hidup! Kaki dan tangannya bergerak-gerak di dalam api! Semua orang mengerti bahwa gerakan itu disebabkan oleh api yang menyedot dan mengeringkan air di tubuh yang mati itu. Akan tetapi, Gin San memandang dengan mata terbelalak dan penuh perhatian. Bibirnya bergerak-gerak dan hanya dia sendiri yang mendengar bisikan hatinya.
"Terima kasih, suhu."
Memang amat luar biasa gurunya itu. Sebelum gurunya meninggal dunia, Gin San diberi suatu ilmu silat yang luar biasa, yang diciptakan oleh Maghi Sing menjelang kematiannya. Ilmu silat itu amat sukar dilatih, bahkan untuk gerakan jurus terakhir dari ilmu silat yang hanya terdiri dari tigabelas jurus itu, Gin San belum juga dapat menguasainya karena gurunya sudah keburu meninggal dunia. Dan tadi, melihat gerakan kaki tangan jenazah gurunya yang terbakar api, Gin San melihat gerakan jurus terakhir itu dengan amat jelas! Seolah-olah jenazah itu sebelum musnah menjadi abu, telah memberi contoh dan mengajarkan kepadanya bagaimana harus mainkan jurus ke tigabelas dari ilmu silat yang dinamakan oleh gurunya Cap-sha Tong-thian (Tigabelas Yang Menggemparkan Langit)!
Terdengar bunyi ledakan cukup keras ketika api memecahkan tengkorak, dan para tamu mulai berpamitan meninggalkan tempat itu. Menjelang senja, barulah api padam dan para murid Maghi Sing lalu dengan hati-hati mengumpulkan abu dari Maghi Sing dan memasukkannya ke dalam tempat abu yang memang sudah disediakan di situ. Dengan khidmat mereka lalu membawa tempat abu itu ke dalam guha besar. Masih harus dilakukan upacara sembahyangan dan perkabungan sampai beberapa hari lamanya sebelum abu itu dihanyutkan ke laut.
Liang Hwi Nio mulai dapat menggerakkan tubuhnya setelah perlahan-lahan jalan darahnya terbebas dari totokan. Seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit dan dia mengeluh lirih, lalu bangkit duduk di atas pembaringan di mana dia tadi direbahkan oleh para anggauta Beng-kauw yang menawannya. Dia menoleh ke kanan kiri. Dia terkurung dalam sebuah kamar batu yang kokoh kuat. Pintu yang tertutup itu terbuat dari besi tebal. Kamar batu itu kosong, hanya terdapat pembaringan itu dan sebuah meja kecil di mana terdapat dua batang lilin bernyala di tempat lilin. Api dua batang lilin yang bernyala terang dan tenang, sedikitpun tidak bergoyang itu menandakan bahwa kamarnya itu rapat, dan lubang hawa di atas pintu itu tidak dapat menciptakan angin di dalam kamar.
Ketika Hwi Nio membungkuk untuk memeriksa betis kanannya yang terluka pula, rambutnya yang terlepas itu terurai menutup mukanya. Dia lalu duduk pula, menggunakan kedua tangan untuk menggelung rambutnya. Gerakan ini menggambarkan seorang wanita muda remaja yang cantik dan manis sekali dengan bentuk tubuh yang indah. Hwi Nio memang seorang dara berusia delapan belas tahun yang cantik manis, terutama sekali bentuk tubuhnya yang membuat dia nampak manis sekali. Sepasang bibirnya yang penuh, tipis dan lunak kemerahan, nampak lembut dan memikat sekali dihias lesung pipit di sudut bibir.
Ketika Hwi Nio merasa betapa pundaknya yang terluka amat nyeri, dia lalu meraba pundaknya. Dia menyeringai. Darahnya sudah mengering, akan tetapi justeru hal itu membuat luka itu mengeras dan kaku, nyerinya bukan main. Disingkapnya bajunya untuk memeriksa lukanya. Ketika dia menyingkap baju di pundak, nampaklah kulit dada dan pundaknya yang putih kekuningan dan halus bersih.
"Hemmm, mulus sekali""..!"
Suara parau dan besar ini mengejutkan hati Hwi Nio dan cepat-cepat dia menutupkan lagi bajunya sambil menoleh ke arah pintu dari mana tadi dia mendengar suara laki-laki yang parau besar itu. Daun pintu terbuka dan muncullah seorang laki-laki tinggi kurus yang bukan lain adalah Hok Kim Cu, ketua nomor dua dari Beng-kauw! Wajahnya kemerahan dan mulutnya tersenyum-senyum lebar, gerak-geriknya menunjukkan bahwa Hok Kim Cu agaknya terlalu banyak minum arak. Dan memang demikianlah. Ketika dia melangkah mendekati, dalam jarak dua meter saja Hwi Nio sudah mencium bau arak keras berhamburan.
Dengan sinar mata penuh kemarahan dan kebencian Hwi Nio memandang kakek itu, kedua tangannya dikepal dan dia siap untuk menerjangnya, sungguhpun dia sudah luka-luka dan maklum bahwa dia sama sekali bukanlah tandingan tokoh ke dua dari Beng-kauw ini.
"Nona, engkau memang cantik manis, dan engkau patut menjadi calon ibu dari anakku."
Bukan main kagetnya hati Hwi Nio mendengar ini. Matanya terbelalak dan bibirnya gemetar ketika dia membentak.
"Tutup mulutmu yang kotor! Aku telah menjadi tawanan, mau apa kau datang ke sini? Keluar, atau aku akan mempertaruhkan nyawaku!"
"Hemm, nona manis, jangan bersikap galak seperti itu. Ketahuilah bahwa aku, Hok Kim Cu, berniat baik terhadap dirimu. Aku adalah seorang yang menaruh hati sayang kepadamu. Isteriku tidak akan dapat mempunyai anak lagi dan anakku yang tersayang telah meninggal dunia. Begitu melihatmu, aku tahu bahwa engkaulah yang akan dapat memberi keturunan kepadaku, engkaulah yang pantas menjadi calon ibu anakku. Aku akan mengangkatmu menjadi isteriku nona, menjadi isteri ketua nomor dua dari Beng-kauw"".."
"Iblis tua yang busuk!"
Hwi Nio memaki dan saking marahnya dia sudah menerjang maju dengan pukulan kedua tangannya.
"Plak! Plak!"
Kedua pergelangan tangan dara itu sudah ditangkap oleh kedua tangan Hok Kim Cu dan sekali tarik, tubuh dara yang padat dan hangat itu sudah dirangkulnya, dan mulut yang menghamburkan bau arak itu mencoba untuk menciumnya. Akan tetapi Hwi Nio meronta-ronta, dengan penuh rasa jijik dia mengelak dengan miringkan muka ke sana-sini untuk menghindari dari serbuan hidung dan mulut yang berbau arak itu.
"Lepaskan aku! Tua bangka hina, lepaskan aku!"
Dia meronta dan menjerit-jerit, akan tetapi di dalam rangkulan kakek itu, dia sama sekali tidak mampu melepaskan diri.
"Dengar, nona manis. Kalau kau menurut dengan baik-baik, aku akan mengangkatmu menjadi nyonya ketua dan kelak anakmu akan menjadi seorang yang terhormat dan berilmu tinggi. Akan tetapi kalau kau tidak mau tunduk..."." "Tidak sudi! Lebih baik aku mati! Lepaskan! Lepaskan"".. atau kaubunuh saja aku!"
Hwi Nio meronta-ronta, menjerit dan meludah ke arah muka yang beberapa kali telah berhasil menciumi mukanya itu.
"Kalau kau menolak, aku tidak akan membunuhmu, akan tetapi engkau akan menjadi permainanku. Apa sukarnya bagiku untuk memperkosamu?"
"Aku akan bunuh diri""..!"
"Ha-ha, kaukira aku begitu bodoh? Engkau akan kurantai, kau tidak akan dapat membunuh diri dan setelah kelak engkau melahirkan seorang putera untukku, kau akan kuserahkan kepada anak buahku agar dikeroyok dan dipermainkan sampai mati. Nah, kaupilih saja, menurut dan menjadi isteriku atau memilih yang ke dua itu?"
"Tidak sudi! Lepaskan"""kau keparat, kau jahanam busuk""..!"
"Bagus, kalau begitu engkau memang lebih suka diperkosa!"
Kakek itu menggerakkan tangannya dan seketika Hwi Nio tidak mampu meronta lagi karena tubuhnya sudah menjadi lemas ditotok.
"Brett.....!"
Beberapa kali tangan kakek itu bergerak merenggut, pakaian yang membungkus tubuh Hwi Nio robek dan sambil tersenyum Kim Cu lalu memondong tubuh yang sudah lemas dan telanjang itu ke pembaringan. Hwi Nio hanya dapat bercucuran air mata tanpa dapat menjerit atau meronta.
"Ji-suheng""".!"
Hok Kim Cu yang sudah merebahkan tubuh calon korbannya ke atas pembaringan dan pandang matanya sudah merah, mulutnya sudah menyeringai karena desakan nafsu berahi itu, terkejut dan menoleh. Kiranya Coa Gin San telah berdiri di dalam kamar itu memandang kepadanya dengan sinar mata yang membuat kakek ini merasa serem dan gemetar. Sinar mata sutenya itu serupa benar dengan sinat mata mendiang gurunya, demikian tajam menusuk seperti menembus jantung dan menjenguk isi hatinya, dengan wibawa yang luar biasa kuatnya! Dia tersenyum menutupi rasa canggungnya.
"Eh, kau, sute? Terima kasih bahwa engkau telah mencegah kami tadi untuk membunuh dua orang Im-yang-pai itu, dan memang kau benar, tidak baik membunuh mereka, apa lagi wanita ini karena aku telah mengambil keputusan untuk mengangkatnya sebagai isteriku, sute."
"Ji-suheng! Sungguh tidak patut perbuatan ini dilakukan oleh seorang ketua Beng kauw! Aku mencegah kalian membunuhnya bukan untuk membiarkan kau menghina dan hendak memperkosanya! Ayah mereka dibunuh oleh seorang di antara suheng, dan mereka kini datang membalas dendam dan membunuh dua orang murid, hal itu sudah selayaknya dan aku akan membebaskan mereka agar permusuhan dapat dipadamkan dan agar Beng-kauw kembali ke jalan benar!"
"Sute"".!"
Hok Kim Cu memandang terbelalak dengan penuh keheranan akan tetapi juga penasaran
"Apakah kau telah menjadi gila bicara seperti itu kepadaku? Siauw-sute, tadipun kami sudah merasa heran melihat sikapmu, ketika kau membantu dua orang Im-yang-pai ini sehingga mengakibatkan tewasnya dua orang murid kami!"
"Hemm, mana mungkin aku membiarkan suheng bertiga mencemarkan nama Beng-kauw dengan perbuatan curang, secara diam-diam menggunakan Hoat-lek untuk membantu kedua orang Kui-bo itu! Aku tidak membantu dua orang Im-yang-pai, melainkan mencegah kalian mengotorkan nama Beng-kauw dengan kecurangan kalian. Sudahlah suheng, harap jangan kaulanjutkan niatmu yang keji dan kotor terhadap nona itu."
"Bocah lancang mulut! Kau ini siapakah berani sekali menentangku? Sute, pergilah dan jangan mencampuri urusan pribadiku. Ketahuilah bahwa aku ingin sekali mempunyai anak, dari nona ini yang akan menjadi calon ibu anakku. Kau Keluarlah!"
"Aku tidak akan mencampuri pribadimu dan tentu aku tidak akan mencampuri kalau memang nona ini suka menjadi calon ibu dari anakmu. Akan tetapi kalau kau memaksa orang, berarti engkau hendak memperkosa dan aku tidak mungkin dapat tinggal diam melihat Beng-kauw dinodai oleh perbuatan kotor seorang pemimpinnya. Nona, apakah engkau suka menjadi isteri Ji-suhengku ini?"
Tiba-tiba Gin San bertanya ke arah dara yang masih rebah terlentang diatas pembaringan itu.
"Tidak sudi! Lebih baik mati""..!"
Biarpun kaki tangannya tidak mampu bergerak, Hwi Nio masih mampu mengeluarkan suara penuh kemarahan itu.
"Nah, kau dengar sendiri, Ji-suheng, harap kau keluar dari sini!"
"Bocah sombong!"
Tiba-tiba Hok Kim Cu menggereng dan tangannya menyambar ke arah kepala sutenya, menyerang dengan dahsyat sekali.
"Ji-suheng, mengingat budi suhu, aku tidak akan menurunkan tangan kejam kepadamu"
Kata Gin San dan tangan kirinya menangkis.
"Dukk"".!"
Akibat tangkisan itu, tubuh Hok Kim Cu terlempar dan terbanting ke dinding batu dengan kerasnya! Bukan main kagetnya Hok Kim Cu, kepalanya menjadi pening dan matanya terbelalak. Semenjak sutenya keluar diri dalam guha pertapaan suhunya, belum pernah dia mengukur kepandaian sutenya itu, akan tetapi satu kali tangkisan itu saja sudah membuka matanya bahwa sutenya yang masih amat muda ini ternyata telah mewarisi kehebatan suhunya dan memiliki sinkang yang luar biasa sekali. Dia merasa jerih, lalu dia melompat dan berlari keluar dari dalam kamar batu itu dengan muka merah.
Gin San dengan tenang menoleh, lalu mengambil pakaian dara itu, melemparkan pakaian dengan ditimpukkan ke arah tubuh Hwi Nio. Timpukan itu sekaligus mengenai jalan darah dan membebaskan Hwi Nio dari totokan! Gadis itu cepat mengenakan kembali pakaiannya, akan tetapi karena tadi direnggut robek, maka bagian dadanya tetap terbuka sehingga repotlah dia memegangi baju bagian dada itu.
Gin San menoleh karena pendengarannya dapat menangkap gerakan gadis itu yang sudah selesai berpakaian. Melihat betapa dara itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak, mukanya sebentar pucat sebentar merah dan kedua tangannya memegangi baju yang robek, Gin San lalu menanggalkan jubahnya dan menyerahkan jubahnya kepada gadis itu.
"Kau pakailah ini untuk menutupi bajumu, nona,"
Katanya halus. Gadis itu memandang tajam, kelihatan heran dan bingung, kemudian tanpa berkata apa-apa dia menerima jubah itu dan memakainya, menutupi bajunya yang robek, lalu tiba-tiba dia memandang dengan muka pucat kepada Gin San sambil berkata.
"Sin-ko.....!"
Gin San mengangguk.
"Kakakmu? Marilah kita mencari dia."
Setelah berkata demikian, pemuda ini melangkah keluar dari kamar itu, diikuti oleh Hwi Nio yang merasa girang dan berterima kasih sekali. Akan tetapi dia ini masih merasa terheran-heran. Jelas bahwa pemuda tampan sederhana ini adalah seorang tokoh Beng-kauw, bahkan sute dari tiga orang ketua Beng-kauw, akan tetapi mengapa pemuda ini menolongnya? Dan anehnya pula, mengapa pemuda ini agaknya lebih berkuasa dan lebih kuat dari pada suheng-suhengnya? Bahkan dia baru sekarang mengerti, dari percakapan antara pemuda ini dan kakek tinggi kurus yang hampir memperkosanya tadi, bahwa pemuda ini telah membantu dia dan kakaknya ketika menghadapi dua orang nenek sehingga mencapai kemenangan,
Kemudian pemuda ini pula yang diam-diam menyelamatkan nyawanya yang hampir terbunuh oleh para tokoh Beng-kauw, dan yang terakhir, pemuda yang menjadi tokoh Beng-kauw dan sute dari para ketua Beng-kauw ini malah menyelamatkannya dari bahaya yang amat mengerikan ketika dia hampir diperkosa oleh Hok Kim Cu tadi. Apakah artinya itu semua? Dia mengerling ke arah pemuda itu yang melangkah dengan tenang, wajahnya yang tampan itu kelihatan serius akan tetapi bibirnya tersenyum ramah. Pemuda yang hebat, pikirnya dan seketika dara itu merasakan jantungnya berdebar dan mukanya menjadi merah sekali sampai ke leher dan telinganya ketika dia teringat betapa pemuda ini tadi telah melihat dia dalam keadaan telanjang!
Pemuda itu berhenti di depan sebuah kamar yang pintunya tertutup. Hwi Nio juga berhenti dan memandangnya. Gin San memejamkan mata, mengerahkan pendengarannya mendengar suara dari dalam kamar itu. Hwi Nio juga mendengarkan akan tetapi dara ini tidak mendengar sesuatu. Maka heranlah dia ketika melihat pemuda itu mengetuk pintu kamar itu sambil berseru memanggil.
"Sam-suheng, harap buka pintu "
Terdengar suara bersungut-sungut di sebelah dalam kamar itu, lalu disusul suara tak senang.
"Kaukah itu, sute? Aku sedang sibuk, kalau ada urusan nanti sajalah!"
Hwi Nio memandang wajah pemuda itu yang masih tersenyum akan tetapi dari sepasang mata pemuda itu berkilat sinar kemarahan.
"Sam-suheng, harap buka pintu ini, kalau tidak terpaksa aku membukanya dari luar!"
"Sute, kau kurang ajar sekali! Kau tidak akan berani!"
Baru saja suara Thian Bhok Cu yang melengking nyaring itu berhenti, Gin San mendorong daun pintu dan kunci daun pintu menjadi patah, daun pintunya terbuka dan Gin San melangkah masuk diikuti oleh Hwi Nio.
"Sin-ko""!"
Hwi Nio berseru dengan suara tertahan Dia melihat kakaknya itu duduk di atas kursi dengan kaki tangan terikat pada kursi itu, baju kakaknya terbuka sehingga nampak dada yang bidang itu, wajah kakaknya merah sekali matanya melotot karena marahnya, sedangkan di dekat kakaknya duduk kakek genit yang merangkul lehernya dan agaknya sedang membelai tawanan itu dan membujuk bujuknya ketika daun pintu terbuka secara paksa dari luar! Tentu saja Hwi Nio tidak mengerti apa yang terjadi. Sama sekali tidak pernah terbayangkan olehnya bahwa kakaknya itu sedang dirayu oleh kakek Thian-Bhok Cu yang memiliki kelainan itu, yang bertubuh pria namun berhati wanita! Dia hanya mengira bahwa kakaknya itu terancam bahaya, maka Hwi Nio segera meloncat ke depan untuk menolong kakaknya.
"Perempuan jahat, kau mau apa? Minggirlah!"
Bentak Thian Bhok Cu dengan galak sambil mendorongkan tangannya ke arah Hwi Nio yang datang menghampiri kakaknya. Memang Thian Bhok Cu adalah seorang kakek yang aneh sekali. Di waktu dia masih muda, dia adalah seorang pria tulen dan normal, bahkan termasuk seorang pria yang mata keranjang dan suka mempermainkan wanita. Akan tetapi semenjak beberapa tahun yang lalu, dia menjadi berobah sama sekali. Dia menjadi pembenci wanita, tidak sudi berdekatan dengan wanita dan mulailah dia mendekati kaum pria, terutama yang tampan dan muda. Dia mulai bermain cinta dengan kaum pria!
"Plakk!"
Tubuh Thian Bhok Cu terdorong ke belakang ketika serangannya terhadap Hwi Nio tadi ditangkis oleh Gin San.
"Sauw-sute, apa yang kaulakukan ini?"
Kakek itu membentak dan matanya terbelalak lebar memandang sutenya dengan penuh rasa penasaran dan juga keheranan.
"Sim suheng, kau tidak boleh mencemarkan nama besar Beng-kauw dengan perbuatan yang hina!"
Kata Gin San dan matanya mencorong.
"Sute, sikapmu inilah yang hina! Aku telah bersepakat dengan ji suheng, bahwa gadis ini akan menjadi milik ji-suheng, sedangkan dia ini menjadi milikku. Bahkan twa-suheng telah menyetujuinya. Kenapa engkau sekarang hendak melarang? Dan gadis itu, kenapa ikut pula bersamamu?"
"Sam-suheng, mereka berdua ini harus dibebaskan. Beng-kauw bukanlah perkumpulan penculik manusia, apa lagi untuk tujuan hina seperti itu,"
Kata Gin San dengan suara tenang penuh wibawa.
Sepasang mata itu terbelalak penuh kemarahan. Thian Bhok Cu lalu menyambar tongkatnya yang tadi disandarkan di sudut kamar, kemudian dengan marah dia membentak.
"Mereka berdua ini adalah musuh-musuh Beng-kauw, kalau tidak boleh dipermainkan, sebaiknya dibunuh saja!"
Tiba-tiba dia menggerakkan tongkatnya dan menyerang ke arah Kok Sin yang masih terikat di atas kursi. Serangannya ganas sekali, tongkatnya menyambar dahsyat ke arah kepala pemuda itu.
"Wiuuuttt"". dukkk!"
Sebelum tongkat itu mengenai kepala Kok Sin yang sudah tidak berdaya sama sekali, tiba-tiba tongkat itu bertemu dengan sebatang lengan yang amat kuat dan yang telah menangkis tongkat itu. Lengan Gin San! Tongkat itu membalik dan tangan yang memegangnya tergetar hebat.
"Sute, kau""..kau melindungi musuh"
Thian Bhok Cu berteriak penuh kemarahan, penasaran dan keheranan.
Gin San menggeleng kepalanya dengan tenang "Aku tidak melindungi siapapun, hanya melindungi nama baik Beng-kauw. Mulai sekarang, akulah yang mewakili dan menggantikan suhu untuk mengawasi Beng kauw agar tidak diselewengkan, sam-suheng."
Thian Bhok Cu terkejut mendengar ini.
"Ah"".. ah, kau"".. kau berkhianat? Biar kulaporkan kepada ji-suheng dan twa-suheng!"
Setelah berkata demikian, laki-laki yang tidak normal itu lalu meloncat keluar dari dalam kamarnya.
Hwi Nio sedang berusaha untuk melepaskan ikatan tangan dan kaki Kok Sin akan tetapi belum juga berhasil. Gin San melangkah maju dan kelihatannya dia hanya meraba saja tali-tali itu, akan tetapi hasilnya, tali-tali yang mengikat kaki dan tangan pemuda itu putus putus semua dan Kok Sin menjadi bebas.
"Cepat pakai bajumu, mari kuantar kalian keluar sebelum ada yang mencoba untuk menghalangi kalian pergi dari sini,"
Kata Gin San dan melihat gawatnya keadaan, kakak beradik itu tidak banyak cakap lagi dan cepat mengikuti Gin San keluar dari dalam guha besar itu. Biarpun terdapat banyak anggauta Beng-kauw di luar guha-guha itu dan di sepanjang pantai Teluk Po-hai, namun melihat kakak beradik itu berjalan diantar oleh Gin San, tidak ada seorangpun yang berani bertanya, apa lagi menghalang. Tiga orang ketua Beng-kauw tidak nampak batang hidungnya dan dengan hati lega Gin San lalu mengajak mereka pergi ke barat, meninggalkan pantai itu.
Malam itu bulan muncul sepotong, namun dibantu oleh bintang bintang yang bertaburan di langit cerah, cuaca menjadi remang remang agak biru kekuningan dan udara amat sejuknya. Tiba-tiba Gin San berhenti. Mereka telah tiba di tapal batas daerah yang dikuasai Beng-kauw.
"Nah, kalian boleh melanjutkan perjalanan dan harap kalian jangan lagi berani menempuh bahaya datang ke sini. Ayah kalian tewas oleh Beng-kauw, akan tetapi kalian juga telah berhasil menewaskan dua orang anggauta Beng-kauw, maka anggap saja bahwa perhitungan itu sudah lunas."
Kok Sin ingin menyatakan terima kasihnya, akan tetapi karena dia ingat bahwa pemuda berpakaian putih ini adalah seorang tokoh Beng-kauw pula maka dia menahan diri, lalu menggandeng tangan adiknya sambil berkata.
"Hwi moi, mari kita pergi!"
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gin San berdiri tegak memandang dua bayangan yang berlari pergi itu, kemudian dia menarik napas panjang, membalikkan tubuhnya dan hendak kembali ke guha-guha di pantai Teluk Po-hai yang menjadi sarang dari Beng-kauw itu. Akan tetapi, baru beberapa langkah dia berjalan, tiba tiba dia berhenti karena dia mendengar suara langkah kaki halus berlari mendatangi dari belakangnya.
Sebelum, dia menoleh, terdengar suara halus.
"Taihiap!...""
Tunggu dulu""..!"
Gin San sudah maklum siapa yang datang itu, karena dari suara langkah kakinya tadi dia sudah tahu bahwa yang datang adalah dara manis itu. Dengan heran dia membalikkan tubuhnya dan mereka berdiri berhadapan dalam jarak hanya satu meter. Dua pasang mata bertemu dan sejenak mereka
saling pandang dan gadis itu lalu menunduk.
"Taihiap, harap maafkan kami berdua... .
"
"Maafkan kalian? Apa maksudmu nona?"
"Kami pergi meninggalkan taihiap seperti dua orang yang tidak ingat akan budi""".
"
"Ah, tidak ada yang melepas budi dan memang tidak perlu kalian ingat, nona."
"Tidak, taihiap, walaupun taihiap adalah seorang tokoh Beng-kauw, namun ternyata taihiap berbeda dengan mereka semua. Taihiap telah melimpahkan budi yang tak ternilai besarnya, bukan hanya menyelamatkan nyawa kami berdua ketika kami bertanding, juga membantu kami menangkan dua orang nenek itu, kemudian taihiap malah"".menyelamatkan aku dari ancaman bahaya yang lebih hebat dari pada maut. Dan kami"". kami pergi begitu saja tanpa menghaturkan terima kasih, bahkan tanpa mengetahui nama taihiap"".."
Hwi Nio berhenti sebentar dan menarik napas panjang.
"Karena itulah maka aku datang kembali, taihiap, dan aku minta maaf, juga aku menghaturkan banyak terima kasih kepadamu. Budimu yang amat besar itu selama hidup takkan kulupakan"".
"
"Cukuplah, nona."
Gin San memotong cepat sambil tersenyum.
"Kalau kaulanjutkan pujian-pujianmu itu, salah salah aku bisa terbang ke langit ke tujuh dan kepalaku bisa berubah menjadi sebesar gantang! Betapapun juga, kalau diusut, kesalahannya terletak kepada Beng-kauw dan semua perbuatanku tadi hanyalah untuk mencegah Beng-kauw melanjutkan kesalahan kesalahannya. Nah, selamat jalan, nona, mudah-mudahan kelak kita dapat saling bertemu kembali dalam keadaan yang lebih menyenangkan."
Gadis itu menengadah dan menatap wajah yang tampan dan tersenyum itu. Dia sendiripun tersenyum mendengar kelakar itu. Pemuda yang: luar biasa, pikirnya. Tampan, sederhana, ilmunya tinggi sekali dan cara bicaranya demikian ramah dan suka berkelakar.
"Bolehkah aku mengenal namamu, taihiap?"
"Ah, jangan sebut aku taihiap, namaku adalah Coa Gin San, nama biasa saja, nona."
"Coa taihiap, aku Liang Hwi Nio selama hidupku tidak akan melupakan budimu, terutama sekali pertolonganmu di dalam kamar tadi, menyelamatkan aku dari bahaya yang lebih mengerikan dari pada kematian"".."
Tiba-tiba wajah itu menjadi merah sekali. Lalu Hwi Nio mengeluarkan sebuah
(Lanjut ke Jilid 23)
Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 23
hiasan rambut dari gelung rambutnya, hiasan terbuat dari emas dan batu permata merah, berbentuk bunga teratai.
"Coa-taihiap, harap taihiap suka menerima persembahanku ini sebagai tanda terima kasih dan persahabatanku "
Gin San menerima bunga teratai emas itu memandanginya sebentar lalu memasukkannya ke dalam saku bajunya, kemudian sambil tersenyum dia berkata.
"Tanpa benda inipun aku. tidak akan pernah dapat melupakanmu, nona. Terutama sekali peristiwa dalam karnar tadi. .selama hidupku aku tidak akan dapat melupakan!"
Mendengar ucapan itu dan bertemu pandang dengan sinar mata yang penuh arti itu, melihat bibir yang tersenyum itu, Liang Hwi Nio merasa betapa jantungnya berdebar keras. Teringat dia betapa pemuda penolongnya ini tadi telah melihatnya dalam keadaan telanjang! Wajahnya menjadi merah sekali dan dia lalu menundukkan mukanya dengan bibir tersenyum malu-malu. Senyumnya memang hebat! Hwi Nio adalah seorang dara yang cantik dan manis, akan tetapi kecantikannya itu akan merupakan kecantikan biasa saja kalau dia tidak tersenyum. Akan tetapi begitu dia tersenyum, wajahnya menjadi manis bukan main, penuh daya pikat dan
Gin San sendiri memandang dengan mata terbelalak.
"Engkau"".. engkau memang cantik jelita dan manis sekali, Hwi-moi!"
Tiba-tiba dia berkala. Mendengar pemuda itu menyebutnya "adik Hwi", dara itu mengerling dan senyumnya makin menonjolkan lesung pipit di ujung bibirnya. Tiba-tiba, tanpa disadari oleh keduanya.
Kedua tangan Gin San sudah memegang tangan dara itu. Seperti, dalam mimpi, Hwi Nio juga balas memegang dan dia mengeluarkan rintihan halus ketika tiba-tiba saja dia sudah berada dalam dekapan Gin San dan seperti mengandung daya tarik yang mujizat, kedua mulut itu sudah saling menghampiri dan bertemu dalam ciuman yang amat mesra! Sampai lama mereka berdua seperti tidak sadar. Baru setelah kehabisan napas, Hwi Nio melepaskan dirinya dan terengah-engah, memandang kepada wajah pemuda itu dengan mata terbelalak dan muka agak pucat karena hatinya merasa ngeri mengingat apa yang baru saja terjadi itu! Gin San tersenyum, matanya mengeluarkan sinar lembut dan tangannya melolos rantai perak yang dipakainya sebagai ikat pinggang.
Mata dara itu terus mengikuti kedua tangan Gin Sun yang melolos rantainya seperti seorang yang berada dalam mimpi Hwi Nio masih terlampau kaget ketika sadar dari keadaan yang membuat dia seperti terpesona tadi, dan kini otomatis tangan kirinya menutup bibir dan tangan kanannya menekan dada. Hampir dia tidak percaya akan apa yang telah dilakukannya, atau lebih tepat apa yang telah terjadi tadi. Dia telah membiarkan saja dirinya dipeluk dan dicium seperti itu, bahkan ada kecondongan di hatinya untuk menyambut pencurahan cinta asmara dari pemuda itu!
"Hwi-moi, engkau memang manis sekali. Aku tidak akan melupakanmu, Hwi moi, dan sebagai tanda mata aku tidak memiliki apa-apa kecuali sebuah mata rantai dari ikat pinggangku ini."
Hwi Nio melihat betapa jari-jari tangan yang mengandung kekuatan luar biasa itu mematahkan sebuah mata rantai dari perak itu seperti orang mematahkan lidi saja, kemudian dia menerima mata rantai yang seperti sebuah cincin perak itu, menerimanya dengan tangan gemetar,
""Hwi-moi"""1? Tiba-tiba suara kakaknya itu menyadarkan Hwi Nio dan dia lalu menatap wajah pemuda itu dengan semesra-mesranya, kemudian dia lalu berbisik,
"Koko"". aku""
Aku akan selalu menanti kedatanganmu di I-kiang, di tepi Sungai Yang-cekiang"".."
Setelah berbisik demikian, Hwi Nio membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Gin San yang masih berdiri dengan senyum lebar . Setelah tidak terdengar lagi jejak langkah dara itu, Gin San menggerakkan tangannya menyentuh bibirnya dan membayangkan ciuman tadi, lalu menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya.
"Dara yang manis, terutama sekali lesung pipit di ujung bibirnya".!"
Akan tetapi telinganya dipasangnya baik baik dan dia menggunakan kepandaiannya untuk mendengar apa yang dipercakapkan oleh kakak beradik di tempat yang sudah cukup jauh itu.
"Hwi-moi, apa yang kaulakukan tadi?. Mengapa kau membiarkan dirimu dipeluk dan dicium?"
Sang kakak menegur.
Lalu terdengar suara lirih dari dara itu "Sin-ko, aku"". aku cinta padanya"."
"Sialan!"
Gerutu kakaknya dan kemudian Gin San tidak dapat mendengarkan lagi percakapan itu karena kakak beradik itu bicara sambil berlari pergi.
Sambil tersenyum-senyum dan bibirnya masih merasakan kehangatan bibir Hwi Nio. pengalaman pertama yang benar-benar membuat jantungnya berdebar kencang dan membuat matanya berseri, Gin San membalikkan tubuh dan melangkah tenang, kembali ke tepi pantai Po-hai.
Akan tetapi, tidak disangka-sangkanya bahwa dia akan menghadapi penyambutan yang luar biasa. Dari jauh dia sudah melihat betapa di pantai Po-hai itu amat terang-benderang danmempercepat langkahnya menghampiri tempat itu, dia melihat bahwa semua anggauta Beng-kauw telah berkumpul di pantai dan puluhan obor telah dipasang dan tiga orang ketua Beng kauw duduk di tengah-tengah lapangan yang dibuat oleh para anggauta Beng-kauw yang duduk membentuk lingkaran lebar.
Semua orang telah menanti kedatangannya! Suasana sunyi sekali,tidak ada seorangpun anggauta Beng-kauw yang bergerak dan ketika Gin San muncul, semua kepala bergerak ke arahnya dan semua mata memandangnya dengan sinar mata penuh tuntutan! Mengertilah Gin San bahwa tiga orang suhengnya telah mengatur semua itu untuk mengadili dan menghukumnya! Akan tetapi, dia tetap tenang saja karena memang dia telah siap sedia untuk menghadapi semua itu sebagai akibat dari pada tindakannya tadi. Dengan langkah tenang dia memasuki lingkaran itu menghampiri tiga orang suhengnya yang duduk bersila di atas pasir dengan sikap angker itu.
Gin San langsung menghadapi tiga orang suhengnya dan diapun duduk bersila di depan mereka bertiga, kemudian bertanya.
"Sam-wi suheng. apakah maksudnya mengumpulkan para anggauta dan membuka persidangan ini?"
"Coa Gin San!"
Terdengar suara Kwan Cin Cu mengguntur, terdengar oleh semua anggauta Beng-kauw yang hadir.
"Sebagai seorang anggauta yang murtad, engkau berlututlah untuk mendengarkan keputusan pengadilan Beng-kauw!"
Ucapan itu penuh wibawa dan terdengar menegangkan hati semua anggauta, dan suasana menjadi hening sekali setelah ketua nomor satu dari Beng-kauw itu menghentikan kata-katanya yang bergema. Kini tiga orang ketua itu menatap wajah Gin San dengan penuh kemarahan. Di bawah sinar api obor yang amat terang, wajah pemuda itu tetap tenang dan sejak tadi senyumnya tidak pernah meninggalkan bibirnya yang masih berdenyut merasakan kehangatan bibir Hwi Nio.
Gin San memandang wajah twa-suhengnya dengan tajam penuh selidik, kemudian di bawah pandang mata semua orang yang hadir, pemuda ini berkata, suaranya tenang dan halus namun sedikitpun tidak mengandung rasa jerih terhadap para suhengnya itu.
"Kwan Cin Cu twa-suheng, kalau benar aku merupakan seorang anggauta murtad, tentu tanpa diperintah dua kali aku akan suka berlutut dan menyerahkan jiwa ragaku untuk dihukum oleh Beng-kauw. Akan tetapi aku tidak merasa mendurhakai Beng-kauw, maka tuduhan itu hanya merupakan fitnah belaka tanpa bukti-bukti. Oleh karena itu, sebelum aku mentaati perintahmu, lebih dulu aku ingin mendengar fitnah apa yang dijatuhkan kepadaku sehingga twa-suheng dapat menyebut aku sebagai seorang murid yang murtad!"
Tentu saja bantahan yang berani dari pemuda ini amat mengejutkan dan tidak-terduga oleh para anggauta, maka hati mereka menjadi makin tegang dan mereka menanti apa yang akan terjadi selanjutnya dengan bingung juga. Sebagai anggauta, tentu saja mereka harus taat kepada Kwan Cin Cu yang menjadi ketua pertama, akan tetapi semua anggauta sudah mendengar bahwa pemuda ini adalah murid terkasih dari mendiang Maghi Sing yang jenazahnya baru saja diperabukan tadi.
"Coa Gin San, engkau masih pura-pura bertanya tentang kesalahanmu? Dengarlah dan agar semua anggauta menjadi saksi! Baru saja suhu meninggal dunia, sute Coa Gin San ini telah melakukan dosa-dosa besar , pengkhianatan-pengkhianatan yang jelas membuktikan bahwa dia adalah seorang murid dan anggauta yang murtad dan patut dihukum! Dalam waktu semalam saja dia telah melakukan tiga macam pelanggaran atau dosa yang tidak dapat diampuni lagi!"
Mendengar ini, semua anggauta menjadi berisik, saling bicara untuk menduga-duga apa gerangan yang dilakukan oleh pemuda yang tampan dan kelihatan tenang dan selalu tersenyum itu. Gin San masih tersenyum dan terdengarlah dia bicara lantang sehingga semua orang diam mendengarkan.
"Kwan Cin Cu suheng, jelaskanlah apa adanya tiga dosa itu!"
"Pertama, Coa Gin San telah berdosa karena dalam pertempuran siang tadi dia telah membantu fihak lawan dan juga malam ini dia telah berani melawan dan menentang kedua orang suhengnya. Ke dua, dia telah berkhianat, membebaskan dua orang tawanan Beng-kauw tanpa ijin dari kami, tiga orang ketua yang berhak memutuskan tentang tawanan. Dan ke tiga, dia telah memeluk dan mencium seorang adis Im-yang-pai, berarti dia bermain cinta lengan fihak musuh."
Hebat sekali tuduhan-tuduhan itu dan semua anggauta Beng-kauw kini memandang kepada Gin San dengan alis berkerut. Mereka semua tidak pernah bergaul dengan Gin San yang semenjak datang ke situ terus ditarik oleh Maghi Sing ke dalam guha untuk digembleng, maka pemuda ini boleh dibilang agak asing bagi para anggauta Beng-kauw yang tentu saja lebih dekat dengan tiga orang ketua mereka. Hal ini membuat hati mereka condong mementang Gin San. Akan tetapi pemuda yang menerima tuduhan berat itu masih tersenyum dan masih duduk bersila dengan tenangnya, sepasang matanya bergantian menentang wajah tiga orang suhengnya. Kemudian terdengarlah suaranya menjawab lantang,
"Sam-wi suheng sebagai ketua dari Beng-kauw ternyata lancang menjatuhkan fitnah kepada orang yang tidak bersalah. Tiga macam tuduhan itu hanya fiinah dan saya dapat menangkisnya satu satu berdasarkan kenyataan. Pertama, dalam pertempuran siang tadi saya sama sekali tidak membantu fihak lawan. Saya melihat betapa twa-suheng dan ji-suheng mempergunakan Sin-gan Hoat-lek untuk mempengaruhi lawan dan diam-diam membantu dua orang Kui-bo. Saya tidak ingin melihat Beng-kauw menggunakan kecurangan, apa lagi di sini hadir banyak orang pandai yang tentu akan melihat kecurangan itu dan karenanya tentu nama Beng-kauw akan tercemar. Saya hanya mencegah kedua suheng melakukan kecurangan, jadi sama sekali tidak membantui musuh! Dan memang benar malam ini saya melawan dan menentang ji-suheng dan sam-suheng, akan tetapi hal itu saya lakukan karena saya tidak ingin melihat mereka melakukan penyelewengan penyelewengan yang tidak perlu saya jelaskan di sini. Ke dua, saya sama sekali tidak berkhianat dengan membebaskan dua orang tawanan itu. Mereka itu datang bukan sebagai orang-orang Im-yang-pai, melainkan karena urusan pribadi, karena ayah mereka terbunuh oleh Beng-kauw, hal yang memang sesungguhnya demikian. Saya tahu sendiri bahwa ayah mereka terbunuh oleh Beng-kauw dan sudah sepatutnya kalau mereka datang untuk membalas dendam. Maka, perlu apa mereka ditawan? Apa lagi, saya melihat gejala-gejala tidak sehat dalam penawanan itu, maka saya lalu membebaskan mereka. Dan soal ke tiga, agaknya memang saya telah diintai dan saya tidak menyangkal bahwa saya berpeluk cium dengar gadis itu, akan tetapi hal itu terjadi bukan karena paksaan, melainkan karena kehendak kami berdua. Apa salahnya dengan itu? Beng-kauw mengajarkan agar segala sesuatu kita lakukan dengan berterang. Kalau saya melakukan paksaan, barulah saya berdosa. Nah, saya yakin bahwa semua saudara anggauta Beng-kauw dapat mengerti akan pembelaan saya."
Tiga orang ketua Beng-kauw itu menjadi marah bukan main mendengar omongan yang nadanya menantang dan menyalahkan mereka itu.
"Coa Gin San!"
Kwan Cin Cu membentak dengan mata mendelik.
"Kaukira siapakah engkau ini berani bicara seperti itu? Engkau hanyalah orang baru di Beng-kauw, dan kami bertiga adaiah ketua-ketua Beng-kauw, mengerti? Kami yang berhak menentukan siapa berdosa siapa tidak! Kau"".."
"Nanti dulu, twa-suheng!"
Gin San memotong, masih tersenyum akan tetapi dari sepasang matanya menyambar sinar yang tajam.
"Aku tahu bahwa kalian bertiga adalah ketua-ketua Beng-Kauw di wilayah utara. Akan tetapi lupakah kalian bahwa di atas ketua masih ada lagi pengawas? Lupakah kalian bahwa di atas kalian masih ada suhu yang mengawasi dan yang memiliki kekuasaan atas diri semua ketua? Suhu See-thian Sian-su berhak mengawasi dan menuntut jika ketua Beng-kauw menyeleweng!" "Tapi suhu telah meninggal dunia dan kini kami bertigalah yang memegang kekuasaan sepenuhnya, baik atas perkumpulan Beng-kauw maupun atas seluruh anggautanya. Karena engkau termasuk anggauta Beng-kauw, sute, maka kami berhak untuk mengadilimu!"
"Twa-suheng, apakah kau sudah lupa bahwa suhu yang mengangkat kalian menjadi ketua dan bahwa kalian telah bersumpah di depan Bendera Keramat untuk selalu tunduk dan taat kepada pemegang bendera? Biarpun suhu telah meninggal dunia, akan tetapi Bendera Keramat itu masih ada dan suhu telah mewariskan Bendera Keramat kepadaku!"
Berkata demikian. Gin San lalu menggerakkan tangannya dan dia telah mencabut sehelai bendera berwarna pulih dan semua orarg menjadi silau. Bendera itu hanya berupa sehelai kain berwarna putih, akan tetapi begitu dibuka, kain putih itu mengeluarkan cahaya yang menyilaukan mata. Kiranya kain ini telah direndam dalam cairan yang mengandung bahan yang mengeluarkan cahaya seperti yang terdapat pada ikan laut, cumi cumi dan udang. Di dalam terang, cairan itu tidak nampak sinarnya, akan tetapi di tempat gelap, cairan ini seperti bernyala dan berkilauan menyilaukan mata.
Terkejutlah tiga orang ketua itu melihat bendera ini. Mereka memang telah mencari-cari Bendera Keramat itu, akan tetapi sia-sia belaka dan kiranya bendera itu telah terjatuh ke tangan Gin San. Adapun para anggauta yang tentu saja mengenal Bendera Keramat itu, segera menjatuhkan diri berlutut dan menghadap ke arah bendera itu dengan khidmat.
"Murid murid Kwan Cin Cu, Hok Kim Cu dan Thian Bhok Cu, apakah kalian tidak mau cepat berlutut?"
Bentak Coa Gin San yang melihat tiga orang ketua itu memandang terbelalak kepada bendera yang dipegangnya.
Akan tetapi tiga orang kakek itu malah meloncat dengan marah, berdiri dengan mata terbelalak memandang Coa Gin San. Kwan Cin Cu lalu menudingkan telunjuknya.
"Sute, dari mana kau mencuri bendera itu?"
"Twa-suheng, jangan menuduh sembarangan. Sebelum meninggal dunia, suhu telah menyerahkan bendera ini kepadaku dan mengangkat aku sebagai penggantinya. Akulah pemegang Bendera Keramat dan akulah yang berhak menjadi pengawas Beng-kauw di sini!"
"Coa Gin San, engkau pembohong dan pencuri! Apakah kau tahu apakah syaratnya bagi seorang pemegang Bendera Keramat Beng-kauw?"
Kwan Cin Cu membentak. Kini semua, anggauta Beng-kauw tertarik dan sudah mengangkat muka memandang untuk menyaksikan, perkembangan keadaan. Mereka bingung karena, tidak tahu harus berfihak siapa.
Gin San tersenyum.
"Tentu saja aku tahu, twa-suheng. Pemegang bendera ini haruslah seorang yang memiliki kepandaian paling tinggi di antara semua murid Beng kauw."
"Bagus! Dan kau merasa sudah memiliki kepandaian tertinggi? Lebih tinggi dari pada kami bertiga?"
"Tentu saja!"
"Hemm, hal ini harus dibuktikan dulu!"
Terdengar Thian Bhok Cu melengking marah.
Gin San menarik napas panjang dan melipat bendera itu lalu menyimpannya kembali ke dalam saku bajunya. Lenyaplah cahaya berkilauan tadi setelah bendera itu disimpannya dan dia menghadapi Thian Bhok Cu "Suhu memang sudah memesan bahwa tentu kalian tidak percaya dan hendak mengujiku. Nah, majulah, sam-suheng, kalau kau masih penasaran setelah kita berdua saling mengukur kepandaian di dalam kamar tadi."
"Bocah sombong, berikan Bendera Keramat kepadaku!"
Thian Bhok Cu berseru dengan suara tinggi.
"Yang kepandaiannya terkuat, dialah yang berhak memegang Bendera Keramat. Kalau aku kalah, tanpa dimintapun akan kuserahkan bendera ini,"
Jawab Gin San.
"Kalau begitu, mampuslah kau!"
Thian Bhok Cu sudah menerjang dengan marahnya.Kini orang ke tiga dari ketua Beng-kauw menyerang dengan sungguh-sungguh, menggunakan tongkat kayunya yang lihai. Bukan sekedar menyerang untuk melampiaskan kemarahannya seperti di dalam kamar tadi. Sekali ini dia menyerang untuk memperebutkan bendera atau memegang bendera itu sebagai tokoh nomor satu dari Beng-kauw!
"Wuuuttt"". prakk!"
Batu yang diduduki oleh Gin San tadi pecah berhamburan terkena sambaran tongkat itu. Sungguh hebat bukan main tenaga kakek yang kelihatan lemah lembut ini, Tongkatnya hanyalah tongkat kayu, akan tetapi dapat menghancurkan batu yang jauh lebih keras. Hal ini hanya membuktikan bahwa kakek ini memiliki tingkat tenaga sin-kang yang sudah amat kuat.
Namun dengan enaknya Gin San mengelak beberapa kali dari sambaran tongkat yang secara bertubi-tubi melakukan gerakan menusuk, menghantam dan menotok. Dia telah hafal akan gerakan-gerakan itu sehingga baru saja pundak Thian Bhok Cu bergerak, dia sudah tahu arah mana tongkat lawan akan menyerang, maka tentu saja dia dapat mengelak dengan mudah, hanya menggerakkan sedikit saja anggauta tubuh yang menjadi sasaran tongkat.
"Sam-suheng, aku akan merampas tongkatmu dalam waktu sepuluh jurus!"
Tiba-tiba Gin San berseru nyaring dan semua orang menjadi kaget. Benar-benar sombong sekali bocah ini pikir mereka. Tadi saja nampak betapa memuda itu hanya mampu mengelak ke sana-ini dan diserang serta didesak sedemikian rupa sampai hampir limapuluh jurus oleh Thian Bhok Cu, dan sekarang tiba-tiba pemuda itu berkata hendak merampas tongkat dalam waktu sepuluh jurus! Seorang yang sudah mengeluarkan kata-kata seperti itu dalam pertandingan, kalau sampai selama sepuluh jurus dia tidak mampu membuktikan omongannya, maka boleh dikata bahwa dia telah kalah!
"Satu""..!"
Gin San berseru dan tiba-tiba tubuhnya menerjang ke depan, jari-jari tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Thian-Bhok Cu secepat kilat, Thian Bhok Cu terkejut dan cepat memutar tongkatnya untuk memukul tangan kiri pemuda itu, akan tetapi tangan kanan Gin San sudah lebih cepat lagi menyambar dan hendak merampas tongkat, Thian Bhok Cu terkejut dan berseru keras, menarik tongkatnya dan tidak jadi menangkis, melainkan melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan diri dari cengkeraman ke arah ubun-ubun dan sambaran tangan yang hendak merampas tongkat.
"Dua""..!"
Gin San sudah melanjutkan serangannya, kini kakinya melakukan tendangan kilat, dibarengi dengan tangan kanan yang terbuka menusuk ke arah lambung, dan tangan kiri membuat gerakan memutar mengikuti jalannya tongkat lawan untuk merampas. Kembali Thian Bhok Cu berseru keras dan cepat memutar tongkatnya dan melompat ke belakang karena serangan yang amat dahsyat itu membahayakan kalau dia mengandalkan tangkisan saja.
"Tiga""..!"
Gin San sudah mendesak tanpa menghentikan serangan-serangannya, gerakannya cepat sekali dan setiap serangannya mendatangkan angin yang kuat sehingga dia telah mendesak Thian Bhok Cu yang terus mundur dan pada saat Gin San berseru.
"Tujuh""..!"
Pemuda itu telah berhasil merampas tongkat lawan yang terpaksa melepaskan senjata itu karena pundaknya telah kena ditotok yang membuat tubuhnya untuk beberapa detik lamanya menjadi lumpuh kehilangan tenaga!
Ketika Thian Bhok Cu sudah dapat bergerak lagi. Gin San sudah mengembalikan tongkatnya sambil berkata.
"Maaf, sam-suheng!"
Thian Bhok Cu menerima tongkatnya dan dengan muka merah dia lalu duduk kembali karena maklumlah kakek ini bahwa dia tidak akan menang melawan sutenya yang amat lihai itu. Hal ini membuat Hok Kim Cu dan Kwan Cin Cu marah bukan main. Keduanya sudah melangkah maju dan biarpun mereka amat marah, namun mengingat akan kedudukan mereka sebagai ketua, apa lagi pada saat itu semua anggauta menjadi saksi, Kwan Cin Cu lalu berkata.
"Coa Gin San, beranikah engkau kalau kami berdua maju bersama mengujimu untuk melihat apakah engkau memang patut menjadi pewaris Bendera Keramat?"
"Aku memang tidak patut menjadi pewaris suhu kalau tidak berani menghadapi kalian maju bersama. Twa-suheng dan ji-suheng, majulah dan kenalilah kelihaian sutemu!"
Tentu saja dua orang kakek itu sama sekali tidak bermaksud untuk hanya menguji kepandaian saja.
Mereka sudah terlampau marah dan mereka tidak ingin melihat pemuda itu menjadi pengawas mereka, menjadi seorang yang menggantikan kedudukan suhu mereka dan memiliki kekuasaan lebih tinggi dari pada mereka! Selelah suhu mereka meninggal dunia, mereka bertigalah yang merupakan orang-orang paling berkuasa di Beng-kauw. Siapa tahu, kini muncul sute mereka, bocah yang sepuluh tahun lalu menjadi tawanan mereka, dan bocah ini sekarang ingin menjadi "atasan"
Mereka. Tentu saja mereka tidak rela dan biarpun mulut mereka mengatakan hendak menguji kepandaian, namun di dalam hati, mereka ingin membunuh pemuda yang mereka anggap pengacau ini.
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo