Ceritasilat Novel Online

Kisah Tiga Naga Sakti 25


Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 25



"Siapakah yang menguasai dunia laut selatan? Siapakah yang merajai laut selatan? Semua telaga, sungai dan lautan berikut semua isinya menjadi milik siapa.?"

   Pertanyaan-pertanyaan yang aneh itu tiba-tiba disambut atau dijawab oleh suara beberapa orang yang berseru nyaring.

   "Lam-ong (Raja Selatan)""..!!"

   Pertanyaan yang diteriakkan seperti nyanyian itu dilakukan orang berulang kali, dan jawabannya selalu sama. Kini suara-suara itu makin mendekat dan tiba-tiba terdengar suara itu membentak.

   "Hei, kalian para nelayan rendah! Ikan siapakah yang kalian jala itu?"

   Terdengar jawaban yang lemah dan gemetar.

   "Lam-ong"".!"

   "Atas kurnia siapa kalian dapat memperoleh ikan dan dapat hidup setiap hari?"

   "Lam-ong! Hormat dan terima kasih kami kepada Lam-ongya""..!"

   "Ha-ha, tolol! Apa artinya hormat dan terima kasih dengan kata-kata belaka? Hayo kalian angkut ke perahu kami sekeranjang ikan yang besar. Cepat!"

   "Akan tetapi"". ampun, tuan"".. malam ini amat sepi, semalam suntuk kami baru memperoleh sekeranjang saja""."

   "Cerewet! Kalian berani membantah dan tadi mengatakan bahwa kalian menghormat dan berterima kasih kepada Lam-ong? Apakah kalian ingin menjadi makanan ikan di telaga ini?"

   "Ampun"". ampun"""

   Kami tidak berani membantah"".. silakan"".."

   Siangkoan Lee dan Siang Lun mengerutkan alis, namun mereka masih terus makan, tidak mau memperdulikan urusan itu, sungguhpun diam-diam mereka itu bertanya-tanya siapa gerangan yang disebut Lam ong itu dan mereka dapat menduga bahwa orang-orang yang merampas ikan itu tentulah anak buah dari tokoh yang disebut Raja Selatan itu.

   Mereka berdua masih makan juga ketika bayangan perahu besar itu nampak muncul dari dalam kabut dan tahu-tahu telah dekat dengan perahu kecil mereka yang bergoyang makin keras oleh gelombang air yang ditimbulkan oleh perahu besar itu. Kini nampaklah anak buah perahu besar itu yang terdiri dai lima orang, dan di geladak berdiri dua orang laki laki yang usianya tentu sudah limapuluh tahun lebih, keduanya bertubuh tinggi besar yang seorang memegang sebatang tongkat dan yang kedua membawa sebatang golok tergantung di punggungnya.

   Di dalam perahu itu sudah bertumpuk beberapa keranjang ikan, agaknya pemberian dari beberapa orang nelayan yang mencari ikan di telaga itu. Ketika dua orang kakek itu melihat seorang tua renta dan seorang pemuda di dalam perahu kecil sedang makan nasi dan panggang ikan, mereka segera menegur dengan suara lantang.

   "Hai, kalian dua orang nelayan miskin! Ikan siapakah yang kalian makan itu?"

   "Ikan kami sendiri!"

   Sian Lun menjawab cepat tanpa memperdulikan mereka dan terus makan, sedang gurunya hanya terkekeh saja.

   "Nelayan tolol! Dari mana engkau memperoleh ikan itu?"

   Kembali seorang di antara mereka, yang memegang tongkat, membentak.

   "Dari dalam telaga ini!"

   "Kiranya engkau mengerti juga! Nah, milik siapa gerangan telaga ini?" "Milik siapa? Milik semua orang!"

   Jawab lagi Sian Lun seenaknya.

   "Keparat, kalian telah makan ikan milik Lam-ong tanpa ijin, bahkan tidak mau mengakui, sekarang biar kalian menjadi makanan ikan!"

   Tiba-tiba terdengar sambaran angin dahsyat sekali ke arah perahu kecil. .

   "Brakkkk!"

   Perahu kecil itu pecah berantakan dihantam tongkat dan tubuh guru dan murid itu lenyap dan tahu tahu mereka telah ada di atas perahu besar. Bahkan Siang-koan Lojin masih membawa daging ikan dan masih melanjutkan makan, kini dia berjongkok di atas geladak perahu besar, sedangkan Sian Lun sudah bangkit berdiri dengan sikap marah.

   "Orang-orang jahat! Apa kesalahan kami maka kalian merusak perahu kami?"

   Tanya pemuda itu dengan suara halus dan sikap tenang namun sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat.

   Melihat betapa kakek dan pemuda itu tahu tahu telah berada di atas perahu besar tanpa mereka lihat, padahal perahu kecil mereka itu telah hancur, dua orang tinggi besar itu memandang dengan mata terbelalak dan mereka mengerti bahwa dua orang itu bukan orang sembarangan. Kini mereka maju dan dengan sikap agak halus si pemegang tongkat bertanya.

   "Siapakah adanya dua orang gagah yang tidak memandang mata kepada Lam-ong? kawan ataukah lawan?"

   Sian Lun sudah marah sekali menyaksikan sikap mereka yang sewenang-wenang itu, namun dia masih bersikap tenang dan halus.

   "Kami tidak mengenal Lam-ong, maka kami bukanlah lawan atau kawannya. Kami tidak mempunyai urusan apapun dengan kalian, mengapa kalian bertindak sewenang-wenang dan merusak perahu kami?"

   Dua orang tinggi besar itu saling pandang dengan heran. Tentu saja mereka merasa heran mendengar betapa ada orang, yang tidak nengenal nama Lam-ong! Padahal, setiap orang nelayan pasti tahu siapa adanya Lam-ong, apa lagi kalau orang itu merupakan orang dari dunia liok-lim atau kang ouw. Akan tetapi karena mereka tahu bahwa banyak orang dari daerah barat, timur atau utara, tokoh-tokoh, kang-ouw yang berkepandaian tinggi dan yang tentu saja tidak kenal dengan mereka dan mungkin juga tidak pernah mendengar nama Lam ong, maka dua orang itu bersikap hati hati.

   "Hemm, agaknya kalian adalah orang orang lancang ysng tidak mau menyelidiki terlebih dulu daerah yang kalian datangi. Ketahuilah bahwa seluruh wilayah selatan ini, dari telaga sungai sampai ke laut selatan, berada di bawah kekuasaan Lam-ong dan setiap orang kang-ouw atau liok-lim yang mencari nafkah di daerah ini, harus terlebih dulu memperoleh persetujuan dari Lam-ong kami. Kalian berdua telah menikmati ikan telaga ini dan menikmati pemandangan indah di sini tanpa perkenan Lam-ong, hal itu saja sudah merupakan dosa yang tak boleh diampuni. Akan tetapi mengingat bahwa kalian tentulah datang dari tempat jauh dan tidak mengenal segala sesuatu di daerah ini, maka biarlah kami akan mengampuni kalian asal kalian cepat minta ampun dan menceritakan siapa kalian dan datang dari mana.

   "

   Sian Lun telah merasa betapa keterlaluan sikap dua orang itu, maka dengan tenang dia berkata, menekan kemarahannya.

   "Kami tidak perlu memperkenalkan diri, dan tentang minta ampun, sebenarnya kalianlah yang patut minta ampun kepada kami. Akan tetapi kamipun tidak membutuhkan permintaan ampun, kami hanya membutuhkan uang pengganti perahu untuk kami bayarkan kepada pemilik perahu yang kami sewa itu. Hayo kaubayar harga perahu itu kepada kami dan antarkan kami ke darat.!"

   Mendengar ucapan itu, dua orang tinggi besar itu menjadi makin marah. Si pemegang tongkat yang matanya sipit sekali seperti terpejam itu menoleh kepada lima orang anak

   buahnya, mengangguk dan berkata.

   "Lempar mereka ke air!"

   Lima orang anak buah perahu besar itu adalah orang-orang kasar yang bertubuh kuat dan bersikap kasar sekali, maka mendengar perintah ini mereka sudah tertawa tawa gembira dan kini dengan ganas mereka menubruk maju seperti hendak berebut untuk menangkap pemuda yang berani mati itu dan melemparkannya ke dalam telaga. Namun, Sian Lun sudah siap siaga dan setiap ada orang datang menubruknya, orang itu tentu terlempar keluar dari perahu dan terbanting ke air di luar perahu! Hanya terdengar lima orang itu berteriak dan beturut-turut tubuh mereka semua terlempar keluar dari perahu, ketika tubuh mereka menimpa air terdengarsuara keras dan air muncrat sampai tinggi, menunjukkan bahwa mereka terbanting cukup keras ke dalam air.

   "Ehh""..?"

   Dua orang tinggi besar itu berseru kaget dan makin marah, juga heran karena hampir mereka tidak dapat percaya melihat betapa lima orang pembantu mereka itu dapat dilempar-lemparkan keluar dari perahu semudah itu.

   "Sute, orang ini tidak boleh diberi ampun!"

   Bentak si pemegang tongkat kepada temannya akan tetapi sutenya itu ternyata sudah mencabut golok yang tergantung di punggungnya dan dengan kecepatan kilat dia sudah meloncat dan mengayun goloknya menyerang Sian Lun.

   Cepat dan kuat juga gerakan orang inidan goloknya mengeluarkan suara berdesing dibarengi sinar berkilat ketika menyambar ke arah leher Sian Lun. Namun, pemuda ini selama sepuluh tahun telah digembleng secara hebat oleh Siangkoan Lojin, dan terutama sekali pemuda ini sudah mewarisi kepandaian ginkang yang amat tinggi tingkatnya dari gurunya itu. Maka, si penyerang itu terkejut dan terheran setengah mati ketika dia melihat betapa lawan yang diserangnya itu tiba-tiba saja lenyap dari depannya dan hanya ada angin bersilir di sebelah kanannya. Cepat dia menengok dan benar saja, pemuda itu telah berada dibelakangnya! Maka diapun memutar tubuh didahului oleh goloknya yang menyambar lebih ganas lagi ke arahpinggang Sian Lun. Dengan ringan sekali pemuda itu meloncat dan sinar golok menyambar lewat di bawah kakinya.

   Ketika pemuda itu yang masih meloncat ke atas menggerakkan kaki kirinya, hampir saja ujung sepatu itu menotok jalan darah di leher si pemegang golok kalau saja dia tidak membuang diri ke belakang secepatnya dan pada saat itu suhengnya yang memegang tongkat sudah membantunya dengan serangan tongkat yang menotok ke arah lambung Sian Lun dengan kepatan dan tenaga yang lebih hebat dari pada si pemegang golok! Totokan itu mengarah jalan darah berbahaya dan kalau mengenai sasaran yang tepat dapat mendatangkan maut dan begitu Siang Lun miringkan tubuh mengelak, ujung tongkat itu sudah menyambar secara bertubi-tubi, melancarkan totokan-totokan sebanyak tujuh kali berturut-turut dan setiap totokan ditujukan ke jalan darah maut.

   "Hemm, manusia ganas dan kejam!"

   Sian Lun berseru ketika melihat totokan-totokan maut itu. Dia hanya mengelak terus sampai tujuh kali dan pada saat itu, golok dari penyerang pertama telah menyambar lagi, menutup jalan keluar sedangkan ujung tongkat masih terus melanjutkan serangannya.

   "Pergilah!"

   Sian Lun berseru nyaring dan tubuhnya berkelebat sedemikian cepatnya sehingga dua orang pengeroyoknya tidak dapat nengikuti gerakannya itu, akan tetapi tahu-tahu mereka merasa betapa tubuh mereka terlempar berikut senjata mereka, keluar dari perahu.

   "Byurrr! Byuurr!"

   Kembali air telaga muncrat dan dua orang kakek itu gelagapan. Namun, ternyata, seperti juga lima orang anak buah mereka tadi, dua orang kakek ini selain pandai ilmu silat juga ternyata merupakan ahli-ahli dalam air karena begitu mereka terbanting, mereka terus menyelam dan berenang dengan cepat sekali menjauhi perahu, menyusul anak buah mereka yang lebih dulu berenang ke darat. Mereka maklum bahwa melanjutkan pertempuran menghadapi pemuda itu merupakan hal yang sia-sia belaka karena ternyata pemuda itu memiliki kepandaian yang terlampau tinggi bagi mereka.

   Sementara itu, setelah melihat semua lawannya pergi, Sian Lun baru teringat kepada gurunya dan dia membalikkan tubuh. Dengan heran dia melihat gurunya itu berdiri tegak memandang kepadanya dengan sinar mata penuh teguran dan penyesalan. Selama sepuluh tahun hidup bersama Siangkoan Lojin, tentu saja Sian Lun telah mengenal watak gurunya, dan telah mengerti apa artinya setiap gerak-gerik suhunya, setiap pandang mata suhunya. Maka melihat betapa suhunya kelihatan menyesal dan berduka, dia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu dan berkata.

   "Harap suhu suka mengampunkan teccu yang telah lancang tangan menghajar mereka itu. Mereka itu keterlaluan sekali sehingga teecu tidak dapat menahan kesabaran lagi."

   "Sian Lun, apakah engkau tidak dapat melihat bahwa kesabaran yang ditahan-tahan itu sama sekali tidak ada artinya? Belajar sabar adalah omong kosong belaka!"

   "Akan tetapi, suhu. Kalau kita tidak belajar sabar, bukankah kita lalu menjadi pemarah besar?"

   "Hemm, engkau membiarkan diri terperosok ke dalam perangkap dari kata-kata yang berkebalikan. Marah-sabar, benci-cinta, dan sebagainya. Baik sabar dan cinta, maupun marah dan benci, semua itu tidak mungkin dapat dipelajari. tidak mungkin dapat dilatih, muridku. Apakah engkau tidak dapat melihat kenyataan ini? Kalau engkau mempergunakan kemauan untuk bersabar, memaksa hati bersabar menahan kemarahan, hal itu hanya merupakan penipuan diri belaka, kesabaran macam itu hanyalah merupakan penutup sementara belaka terhadap api kemarahan, seperti api dalam sekam. Kesabaran macam itu hanya berlaku sementara saja dan api kemarahan akan berkobar lagi sewaktu-waktu, bahkan lebih hebat, karena dengan penutup kesabaran itu engkau mengumpulkan kekuatan api kemarahan."

   "Habis bagaimana, suhu? Bagaimana kalau teecu diserang nafsu amarah? Tanpa kesabaran, marah itu tentu akan membuat teecu mata gelap dan melakukan hal-hal yang amat hebat akibatnya.

   "

   "Itulah biang keladinya! Mata gelap! Mengapa harus mata gelap? Mengapa kita tidak mau membuka mata batin kita setiap saat sehingga jika datang kemarahan, kita juga dalam keadaan sadar dan dapat memandang kemarahan itu, menyelaminya tanpa menerima atau menolaknya? Menghadapi kemarahan kita dengan penuh kewaspadaan, dengan penuh kesadaran, dengan demikian kita dapat menyelaminya, mempelajarinya, menyelidikinya dengaa teliti apa yang dinamakan kemarahan itu."

   "Akan tetapi, suhu, kalau kita waspada dan sadar selalu dan setiap saat, mana ada kemarahan?"

   "Itulah! Mengapa kita tidak mau waspada setiap saat terhadap diri sendiri lahir batin. Kemarahan, kekecewaan, penderitaan karena benci, penyelewengan-penyelewengan yang dinamakan kejahatan, semua itu merupakan akibat dari pada kelalaian, kelengahan, akibat dari keadaan kita yang tidak sadar, tidak waspada. Kalau kita selalu waspada dan sadar, apakah ada kemarahan? Dan kalau tidak ada kemarahan lagi di dalam diri kita, apakah perlu belajar sabar? Sebaliknya, kalau masih ada kemarahan di dalam hati, apa gunanya belajar sabar? Muridku, kenyataan ini harus kausadari dan kaulihat benar-benar. Coba kaulihat perbuatanmu tadi. Mengapa engkau marah kepada anak buah Lam-ong itu?"

   "Karena mereka kejam, karena mereka melakukan kekerasan terhadap para nelayan mengandalkan kekuasaan mereka."

   Setelah berpikir cepat, dia menambahkan.

   "Karena mereka mengancam nyawa teecu dan para nelayan yang tidak taat kepada mereka, karena mereka sewenang-wenang."

   "Bagus! Sekarang lihat tindakanmu tadi. Apakah bedanya dengan tindakan mereka setelah tindakanmu itu dituntun oleh kemarahan yang menimbulkan kebencian? Lihat baik-baik. Apakah engkau juga tidak sama kejamnya dengan mereka ketika engkau melakukan kekerasan kepada tujuh orang itu? Seperti juga mereka, engkau tadi dalam keadaan marah teIah melakukan kekerasan dengan mengandalkan kekuasaanmu, dalam hal ini, ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari mereka. Seperti juga mereka yang mengancam nyawa orang lain, engkau tadi juga mengancam nyawa mereka. Karena marah dan mata gelap, engkau telah melemparkan mereka ke air, tanpa kau ingat bahwa andaikata mereka itu tidak pandai renang, hal itu mungkin akan membunuh mereka. Bukankah dalam kemarahan tadi engkau juga telah bertindak sewenang-wenang tanpa kausadari sendiri?"

   Sian Lun melongo, wajahnya berobah agak pucat dan kembali dia memberi hormat sambil berlutut. Matanya seperti dibuka dan dia melihat kenyataan yang mengerikan, bahwa dalam keadaan marah memang perbuatannya tadi tidak banyak selisihnya dengan perbuatan orang-orang yang dicelanya tadi!

   "Ampunkan teecu yang bodoh, suhu, teecu mohon petunjuk."

   "Petunjuk apa lagi, Sian Lun? Asal engkau waspada setiap saat, mengamati dirimu sendiri setiap saat dengan penuh perhatian, dengan kesadaran yang sempurna, maka tidak ada lagi yang perlu kauketahui dari orang lain. Di dalam kewaspadaan itu, dalam kesadaran itu sudah penuh dengan kenyataan, penuh dengan pelajaran."

   "Suhu, kalau tadi teecu tidak menghadapi mereka dengan kemarahan, melihat kekejaman mereka, melihat serangan mereka, lalu apa yang akan teecu lakukan?" "Sian Lun, kewaspadaan dan kesadaran akan melahirkan tindakan langsung dan seketika tindakan yang tepat, bukan tindakan yang di dorong oleh kemarahan dan kebencian. Tindakan itu akan berbeda sekali artinya. Mungkin untuk menjaga diri engkau akan merobohkan mereka, akan tetapi semua itu tidak kau lakukan dalam keadaan membenci mereka, dan tanpa adanya kebencian, tidak akan ada pula tindakan kejam. Walaupun boleh saja kelihatan keras, namun sesungguhnya bukan kekerasan karena tidak didorong oleh nafsu kemarahan dan kebencian. Mengertikah engkau Sian Lun?"

   Sian Lun mengangguk.

   "Mudah-mudahan semua ini dapat membuka mata teecu untuk selanjutnya selalu waspada terhadap diri teecu sendiri lahir batin dan bertindak seketika lahir dari kewaspadaan, bukan menurutkan perhitungan pikiran yang dikuasai oleh kemarahan dan kebencian."

   "Ha ha ha, bagus, muridku. Sekarang, apa yang akan kaulakukan dengan perahu besar yang kau rampas ini?"

   "Teecu akan membawanya ke darat, akan teecu kembalikan kepada pemiliknya asal mereka suka mengganti perahu nelayan yang kita sewa. Kalau tidak, perahu ini akan teecu berikan saja kepada nelayan itu untuk mengganti perahunya yang hancur."

   "Kaukira akan begitu mudah? Mari kita lihat apa yang diakibatkan oleh peristiwa tadi,"

   Siangkoan Lojin berkata dan Sian Lun lalu mendayung perahu itu ke tepi telaga.

   Matahari telah naik dengan cerahnya ketika perahu besar yang didayung oleh Sian Lun itu tiba di tepi telaga, di mana malam tadi Sian Lun dan gurunya meninggalkan nelayan pemilik perahu kecil yang disewanya. Akan tetapi, dia melihat bahwa bukan hanya nelayan itu yang menanti di situ, melainkan juga ada belasan orang yang segera berdiri dengan sikap menyambut ketika perahu besar itu menepi. Mereka itu adalah orang-orang yang bersikap galak dan gagah, dan anehnya di antara mereka itu tampak dua orang kakek yang menanti dengan duduk di atas kursi-kursi indah! Aneh sekali mengapa orang sengaja membawa kursi ke tepi telaga itu. Belasan orang itu berdiri di belakang dua orang kakek itu dengan sikap menghormat, ketika Sian Lun dan gurunya meloncat turun ke darat, barulah nampak oleh Sian Lun bahwa tidak jauh dari tempat itu terdapat tujuh orang yang duduk di atas tanah dalam pakaian basah kuyup dan muka pucat ketakutan.

   Dia segera mengenal tujuh orang itu sebagai orang orang yang tadi telah dilempar keluar perahu! Sian Lun cepat memandang kepada dua orang kakek yang duduk di atas kursi itu penuh perhatian karena dia dapat menduga bahwa mereka itu tentulah pimpinan dari gerombolan orang-orang kasar itu. Dan apa yang dilihatnya membuat dia diam-diam terkejut karena pandang matanya yang tajam dapat mengenal orang-orang pandai. Kakek pertama bertubuh tinggi kurus, lebih tinggi dari orang-orang biasa dan seperti biasa terdapat pada orang-orang yang bertubuh tinggi, kedua pundaknya agak condong ke depan sehingga punggungnya kelihatan agak bongkok. Kakek itu biarpun memandang ke arah Sian Lun dan Siangkoan Lojin dengan sepasang mata sipit yang bersinar tajam, namun sikapnya tenang saja dan dia duduk sambil mengisi huncwe (pipa tembakau), sebatang huncwe yang panjangnya ada dua kaki dan berwarna hitam mengkilap.

   Bau asap tembakau yang harum dan aneh memenuhi sekitar tempat itu. Di sebelah kirinya duduk kakek ke dua, yang nampak lebih muda dari pada kakek pertama. Kalau kakek pertama berusia kurang lebih tujuhpuluh tahun, kakek ke dua ini paling banyak lima-puluh lima tahun usianya. Tubuhnya tinggi tegap, nampak masih kuat dan wajahnya pucat bukan karena sakit, melainkan pucatnya seorang yang sudah tinggi tenaga sinkangnya yang dilatih secara luar biasa dan melampaui batas. Sepasang matanya cekung dan dari dalamnya menyambar sepasang sinar mata yang tajam sekali. Kakek kedua ini duduk sambil menyilangkan kedua lengan di depan dada, sikapnya agung penuh wibawa dan terbayang keangkuhan dan sikap memandang ringan ketika dia memandang kepada Siangkoan Lojin dan Sian Lun.

   Tidak mengherankan kalau kakek ke dua itu memandang rendah. Dia adalah seorang kawakan dalam dunia kang-ouw yang telah mengenal hampir semua tokoh di dunia kang-ouw, bukan hanya di dunia kang-ouw wilayah selatan, bahkan hampir semua tokoh kang-ouw di seluruh daratan! Kini, melihat bahwa kakek dan pemuda yang turun dari perahu besar itu sama sekali tidak terkenal, tentu saja kakek itu memandang rendah.

   Siapakah adanya dua orang kakek yang angkuh dan berwibawa itu? Kakek berhuncwe itu bukan lain adalah Lam-ong sendiri! Kebetulan sekali pada malam hari itu Lam-ong bersama pembantunya, kakek ke dua itu, sedang melancong ke telaga itu. Lam-ong bernama Oh Ging Siu, seorang tokoh kang ouw kenamaan di selatan, terkenal sebagai seorang berilmu tinggi sekali, terutama huncwenya itu yang dinamakan huncwe maut, amat ditakuti orang. Karena merasa bahwa di wilayah selatan dia merupakan datuk nomor satu, maka dia memakai julukan Lam-ong! Tentu saja julukan ini banyak mengundang permusuhan, akan tetapi para tokoh liok lim dan kang ouw yang merasa tidak setuju dengan julukan yang amat sombong ini, seorang demi seorang telah dirobohkan oleh Lam-ong Oh Ging Siu sehingga akhirnya dia diakui sebagai Lam-ong!

   Kedudukannya itu adalah semacam bengcu diselatan, dan tentu saja yang dikuasainya hanyalah kaum sesat saja, dan sudah tentu saja golongan partai-partai persilatan besar tidak mengakuinya sebagai pusat pimpinan. Betapapun juga, karena Lam-ong memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat dan pengaruhnya amat besar, hampir seluruh dunia hitam tunduk kepadanya maka partai-partai besar tidak mau berurusan dengan dia, apa lagi karena Lam-ong pun tidak begitu bodoh untuk memusuhi partai-partai besar ini. Adapun kakek ke dua yang berwajah pucat itu? Kakek inipun bukan orang sembarangan, melainkan pembantu atau tangan kanan dari Lam-ong. Dia berjuluk Lam-thian Seng-jin, seorang yang juga terkenal lihai bukan main.

   Sebetulnya, dua orang kakek ini tidak pernah berurusan secara langsung dengan fihak lawan, apa lagi sampai harus menangani sendiri. Mereka merasa terlampau tinggi, dan adalah merendahkan nama mereka yang besar dan tinggi itu untuk turun tangan sendiri menghadapi lawan. Cukup dengan anak buah mereka. Akan tetapi, karena kebetulan sekali malam ini mereka bermalam di tepi telaga dan mendengar betapa anak buah mereka yang katanya sedang mencarikan ikan untuk bahan hidangan pagi mereka lalu anak buah mereka itu diganggu orang yang kabarnya memiliki kepandaian tinggi, Lam-ong dan pembantunya marah sekali. Demikianlah, pagi itu mereka dengan diantar oleh kaki tangan mereka sudah menanti di tepi telaga ketika perahu besar itu menepi. Akan tetapi, Lam-ong dan Lam-thian Seng-jin sudah merasa kecewa melihat bahwa kakek dan pemuda itu sama sekali tidak terkenal, kelihatan seperti dua orang nelayan biasa saja yang sama sekali tidak patut untuk mereka hadapi sendiri!

   Duabelas orang anak buah Lam-ong agaknya juga berpendapat demikian. Melihat betapa alis tebal yang melindungi sepasang mata sipit dari Lam ong itu berkerut,kemudian kepala itu bergerak memberi isyarat dengan sikap membayangkan kekesalan hati, duabelas orang yang terdiri dari pimpinan-pimpinan bajak telaga, sungai dan laut di daerah selatan itu segera menyambut Sian Lun dan gurunya dan maju nengepung mereka berdua.

   Seorang di antara mereka yang brewok dan mukanya hitam, dengan suara besar lantang segera menegur.

   "Apakah kalian berdua yang telah berani mati mengganggu anak buah kami dan berani pula merampas perahu milik Lam-ong ya?"

   Sian Lun tersenyum, penuh ketenangan. Kini dia lebih waspada dan lebih bijaksana semenjak bercakap dengan gurunya tadi, dan tidak akan mudah terseret oleh nafsu amarah.

   "Sesungguhnya, apa yang kaukatakan itu adalah hal yang sebaliknya. Kami berdua yang diganggu oleh anak buah kalian dan perahu kami yang dipukul hancur oleh anak buah kalian."

   Mendengar jawaban ini, duabelas orang itu meniadi marah. Tanpa banyak cakap mereka bergerak dan menyerang kepada kakek dan pemuda yang kelihatan tenang saja itu. Lam ong dan Lam-thian Seng-jin hanya memandang saja ketika anak buah mereka menubruk dua orang yang berada di tengah-tengah, dalam keadaan terkurung itu. Akan tetapi mereka terbelalak kaget ketika melihat betaapa duabelas orang itu tiba-tiba terlempar kembali ke belakang seperti daun-daun kering tertiup angin keras. Duabelas orang itu makin marah karena tiba-tiba mereka terdorong ke belakang begitu pemuda itu menggerakkan kedua lengannya, dan mereka sudah mencabut senjata masing-masing, siap untuk mengeroyok.

   "Tahan! Mundur kalian semua"

   Tiba-tiba terdengar seruan suara yang tinggi nyaring dan mendengar ini, duabelas orang itu cepat mundur, agaknya jerih bukan main mendengar perintah ini. Kiranya yang berteriak itu adalah Lam-thian Seng-jin, wakil atau pembantu utama dari Lam-ong yang masih kelihatan tenang-tenang saja itu, Lam-thian Seng-jin megenal pukulan sakti yang hawanya saja sudah nembuat duabelas orang itu terpental, maka hatinya mulai tertarik dan penasaran. Dia tadi tidak melihat siapa yang melakukan dorongan dengan hawa pukulan dahsyat itu, akan tetapi mengira bahwa tentu kakek tua renta itulah yang melakukannya. Dua orang itu tadi dikurung rapat maka dia tidak dapat melihat mereka. Akan tetapi, melihat dahsyatnya hawa pukulan, tidak salah lagi tentu kakek itulah yang melakukannya dan dia mengira bahwa tentu kakek itu seorang pandai yang menyembunyikan diri maka sama sekali tidak pernah dikenalnya. Betapapun juga kalau dia mendengar nama kakek sederhana itu mungkin dia akan mengenalnya.

   Lam-thian Seng-jin sudah mendapat isyarat dari Lam-ong dan dia sudah turun dari atas kursinya, melangkah dengan sikap tenang dan dengan gerakan kaki tegap seperti langkah harimau, menghampiri guru dan murid itu. Adapun Lam-ong sendiri masih duduk dan mengisap huncwenya dengan mata meram melek dan sikap acuh tak acuh, namun sesungguhnya pandang matanya tak pernah melepaskan kakek dan pemuda itu.

   Kini Lam-thian Seng-jin telah berhadapan dengan Sian Lun dan Siangkoan Lojin. Sian Lun bersikap tenang, berdiri tegak sedangkan Siangkoan Lojin sambil tersenyum lalu duduk di atas batu di tepi telaga itu, mengambil sikap sebagai penonton karena memang dia ingin sekali melihat sikap dan sepak terjang muridnya menghadapi lawan yang dia tahu amat tangguh ini. Inilah merupakan ujian yang amat baik bagi muridnya, pikir kakek ini dengan hati gembira.

   Lam-thian Seng-jin adalah seorang tokoh besar di dunia persilatan wilayah selatan menjadi orang nomor dua sesudah Lam-ong, maka tentu saja dia menyesuaikan sikapnya dengan kedudukannya yang tinggi, tidak seperti para anak buah yang tadi bertindak sembrono dan sama sekali tidak mempunyai wibawa. Dia kini menghampiri Siangkoan Lojin dan mengangguk sebagai tanda hormat atau salam, lalu terdengar dia berkata, suaranya lantang namun halus, sikapnya angkuh.

   "Sobat, agaknya engkau belum pernah mendengar nama Lam-ong dan aku Lam-thian Seng-jin adalah wakil dan pembantu beliau. Akan tetapi kami juga belum pernah bertemu denganmu, oleh karena itu, sukalah kiranya engkau memperkenalkan diri dan apa sebabnya engkau mengganggu pekerjaan anak buah kami."

   Siangkoan Lojin tersenyum lebar dan sepasang matanya memandang dengan jenaka. Sikapnya tak acuh dan dia mengangkat alisnya ketika menjawab.

   "Engkau tanya kepadaku, sobat? Namaku Siangkoan, tukang cari ikan. Kalau kau mau tahu tentang urusan dengan anak buahmu, tanya saja kepadanya."

   Dia menuding kepada Sian Lun.

   "Benar, akulah yang bertanggung jawab atas semua kejadian tadi!"

   Sian Lun berkata karena dia maklum bahwa gurunya paling tidak mau urusan. Kini Lam-thian Seng-jin memutar tubuh menghadapinya, alisnya berkerut. Jadi pemuda inikah yang memiliki hawa pukulan dahsyat tadi? Dan siapakah kakek bernama Siangkoan itu? Memang ada beberapa orang tokoh kang-ouw yang memiliki she (nama keturunan) Siangkoan, akan tetapi mereka semua itu dikenalnya dan kakek ini bukan seorang di antara mereka. Benar-benar dia belum pernah mendengar nama kakek ini sebagai tokoh kang-ouw. Barangkali pemuda itu pernah didengar namanya.

   (Lanjut ke Jilid 26)

   Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 26

   "Hemm, begitukah?"

   Dia berkata sambil menatap wajah pemuda itu dengan tajam.

   "Dan siapakah engkau, orang muda?"

   "Nama saya Tan Sian Lun, locianpwe,"

   Jawab Sian Lun dengan sikap hormat dan sikap serta jawaban ini membuat Lam-thian Seng-jin menjadi hati-hati karena dari sikap dan jawaban itu dia dapat menduga bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang pemuda yang tahu akan sopan santu dan seperti orang terpelajar, keadaan seorang pemuda seperti itu jauh lebih berbahaya dari pada seorang pemuda yang kasar dan sombong mengandalkan kepandaiannya.

   "Hemm, Tan-sicu, engkau yang masih amat muda ini telah berani mengacau di selatan. Ceritakan apa sebabnya engkau bentrok dengan anak buah kami."

   "Bukan kami sengaja hendak bermusuhan, locianpwe. Saya dan suhu sedang memancing ikan, tahu-tahu kami diserang oleh mereka yang berperahu besar."

   Dia menoleh ke arah tujuh orang yang semalam atau menjelang pagi tadi menghancurkan perahu kecilnya. Sementara itu, kembali Lam-thian Seng-jin terkejut dan mengerling ke arah Siangkoan Lojin ketika mendengar pemuda itu menyebut suhu kepada kakek itu.

   "Mereka menghancurkan perahu kecil kami yang kami sewa dari paman nelayan di sana itu."

   Dia menuding ke arah kakek nelayan yang jongkok tidak jauh dari tempat itu dengan muka ketakutan.

   Lam-thian Seng-jin mengangguk-angguk.

   "Lalu, bagaimana?"

   "Saya hanya minta agar mereka mengganti perahu yang mereka hancurkan, akan tetapi mereka menyerang kami sehingga terpaksa saya melawan. Mereka jatuh ke telaga dan saya lalu mendayung perahu ke tepi sini. Harap locianpwe pertimbangkan. Apakah kesalahan saya dan suhu yang hanya memancing beberapa ekor ikan untuk sarapan pagi? Sama sekali kami tidak berniat mencari musuh, apalagi menentang Lam-ong atau locianpwe."

   Biarpun kata-kata itu merendah, namun sikap pemuda itu sama sekali tidak menunjukkan rasa jerih, maka diam-diam Lam-thian Seng-jin merasa tidak puas sekali. Kalau pemuda itu kelihatan jerih atau minta maaf, tentu diapun tidak akan menarik panjang peristiwa itu, menunjukkan "kebesaran hati"

   Seperti layaknya sikap seorang cabang atas! Akan tetapi pemuda itu bersikap tenang saja, sama sekali tidak memandang tinggi kepadanya atau kepada Lam-ong, maka hatinya menjadi penasaran. Apa lagi guru pemuda itu, kakek tak terkenal she Siangkoan itu, hanya duduk sambil tersenyum-senyum saja seperti orang yang sedang nonton wayang. Akan tetapi dia adalah seorang yang berkedudukan tinggi dan hal ini harus diperlihatkannya terlebih dahulu kepada guru dan murid yang agaknya datang dari jauh dan belum mengenalnya itu. Maka dia lalu memberi isyarat memanggil tujuh orang anak buah itu. Mereka datang dengan sikap takut-takut "Hayo kalian cepat minta maaf kepada Tan-sicu dan cepat ganti kerugian kepada nelayan itu."

   Tujuh orang itu cepat menjura kepada Sian Lun yang tentu saja merasa sungkan dan cepat membalas penghormatan mereka, kemudian mereka bertujuh lalu menghampiri nelayan yang berjongkok dengan muka pucat, menanyakan harga perahu kecil dan langsung menggantinya secara royal. Nelayan itu merasa girang sekali, menghaturkan terima kasih dan cepat pergi dari situ membawa uang penggantian perahunya. Tadinya dia sudah ketakutan setengah mati ketika mendengar bahwa Lam-ong bersama anak buahnya berada di situ, maka dia merasa beruntung sekali bahwa dia memperoleh ganti rugi atas kehilangan perahunya.

   Kalau tadinya ada perasaan tidak senang di dalam hati Sian Lun terhadap Lam-ong, Lam-thian Seng-jin bersama anak buah mereka, kini dia merasa lega dan juga tidak enak. Ternyata kakek itu bersikap baik dan pantas sekali, maka dia cepat-cepat menjura kepada Lam-thian Seng-jin sambil berkata.

   "Sungguh baik sekali penyelesaian locianpwe yang budiman."

   
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lam-thian Seng-jin tersenyum angkuh.

   "Engkau merasa puas, sicu?"

   "Tentu saja, dan saya berterima kasih sekali, juga mohon maaf atas kelancangan saya terhadap anak buah locianpwe pagi tadi."

   "Hemm, di dalam dunia kang-ouw, apakah yang tak dapat diselesaikan? Segala peristiwa harus diselesaikan dengan wajar dan adil, itulah sikap para orang gagah! Budi dan dendam harus dibalas! Fihak kami telah membayar kerugian sicu, maka sekarang kami menuntut agar sicu juga membayar kerugian kami."

   Sian Lun memandang tajam.

   "Maksud locianpwe?"

   Lam thian Seng jin tersenyum mengejek.

   "Sicu memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali hingga tidak memandang sebelah mata kepada para anak buah Lam ong, telah merobohkan mereka, bukan hanya di perahu, bahkan tadi di depan mata kami sendiri. Kerugian batin ini harus sicu bayar."

   "Caranya?"

   "Dengan menandingi kami, dan aku mempersilakan sicu melayaniku barang beberapa jurus agar kita saling mengenal tingkat kepandaian dan lain kali tidak lagi berani bertindak lancang tanpa memandang mata."

   "Locianpwe menantang?"

   "Aku hanya menagih hutang, menebus kekalahan, tapi kalau sicu menganggapnya menantang, terserah."

   Sikap Lam-thian Seng-jin masih halus dan berwibawa, sikap seorang datuk tingkat tinggi!

   "Kalau saya menolak?"

   Sian Lun bertanya penasaran.

   "Sicu harus berlutut tiga kali minta ampun kepada Lam-ong, selanjutnya tidak boleh lagi menginjak wilayah selatan."

   Sian Lun merasa hatinya panas dan dia teringat akan nasihat suhunya, maka otomatis menoleh kepada suhunya. Akan tetapi kakek itu masih tersenyum-senyum saja, seperti tidak mengacuhkan urusan itu, dan maklumlah pemuda itu bahwa gurunya menyerahkan segala keputusan kepadanya. Diapun ingin sekali mencoba kepandaian kakek yang kelihatan lemah lembut namun yang sesungguhnya berhati keras ini, kelihatan rendah hati namun sesungguhnya angkuh. Atau lebih tepat lagi, dia ingin menguji kepandaiannya sendiri karena semenjak dia belajar ilmu kepada Siaugkoan Lojin, belum pernah dia bertanding melawan seorang yang memiliki kesaktian seperti kakek di depannya ini.

   "Biarlah saya melayani tantangan locianpwe."

   "Bagus! Kau mulailah!"

   Kakek itu menantang dan kedua kakinya sudah terpentang lebar, sikapnya gagah dan mukanya menjadi makin pucat, tanda bahwa dia sedang mengerahkan tenaga sinkangnya.

   "Locianpwe yang menantang, sepatutnya locianpwe yang maju lebih dulu dan""."

   "Sambut serangan!"

   Belum habis Sian Lun bicara, kakek itu sudah menyerangnya dengan kecepatan luar biasa. Kiranya, di dalam sikapnya yang lemah lembut dan menjaga gengsi itu tersembunyi kecurangan yang cerdik dan hebat karena kakek itu mempergunakan kesempatan selagi lawannya bicara, hal yang tidak menguntungkan bagi orang yang membutuhkan pengerahan sinkang untuk menjaga dirinya, cepat melakukan serangan yang dahsyat.

   Akan tetapi Sian Lun adalah murid tersayang dari Siangkoan Lojin, dan selama sepuluh tahun ini telah menerima gemblengan secara hebat, telah mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari kakek sakti itu, maka biarpun dia diserang secara tiba tiba, dia tidak kehilangan ketenangan dan kesigapannya. Bagi seorang yang sudah matang ilmu silatnya, semua urat syarafnya selalu berada dalam keadaan siap siaga, apa lagi di waktu jaga, bahkan dalam tidur sekalipun, dia telah memiliki kesigapan yang setiap saat dapat dipergunakan apabila diancam bahaya. Gerak refleksnya amat tajam dan peka sehingga semua panca inderanya amat peka dan tahu akan datangnya setiap serangan yang mengancam dirinya. Oleh karena itu, biarpun dia masih belum selesai bicara dan diserang secara tiba-tiba dan dengan kecepatan yang amat luar biasa itu, Sian Lun masih sempat untuk menggerakkan tangannya menangkis.

   "Dukk!"

   Karena tangkisan itu tiba-tiba dan tidak mengandung tenaga sinkang sepenuhnya, sebaliknya serangan lawan amat kuatnya, dengan tenaga sinkang penuh, maka begitu kedua lengannya bertemu, tubuh Sian Lun terjengkang dan terhuyung ke belakang. Hal ini dianggap oleh Lam-thian Seng-jin sebagai tanda bahwa pemuda itu biarpun cukup kuat namun tidak dapat menandingi tenaga saktinya, maka sambil tersenyum dia meloncat ke depan dan menghujankan serangan dengan jari-jari tangannya. Ternyata kakek ini adalah seorang ahli ilmu tiam-hiat-hoat (menotok jalan darah) dan sekali bergerak, dia telah melancarkan totokan totokan ke arah tujuh jalan darah maut secara bertubi-tubi.

   Sian Lun maklum akan bahaya besar yang terkandung dalam serangan lawan itu, maka diapun cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dengan kecepatan luar biasa dan setelah dia berhasil melewatkan totokan ke tujuh, dia membalas dengan tamparan dengan pinggir tangannya yang terbuka.

   "Wuuuttt"".. dukkk!"

   Keduanya terdorong ke belakang oleh benturan dua lengan yang bertemu ketika Lam-thian Seng-jin menangkis tamparan itu. Sian Lun menyusul dengan tamparan ke dua.

   "Wuuuttt"".. plakk!"

   Kembali keduanya terjengkang. Kini dengan hati terkejut dan heran Lam-thian Seng-jin mendapatkan kenyataan bahwa lawannya yang masih muda ini benar benar memiliki sinkang yang amat kuat, tidak kalah olehnya karena dalam benturan tenaga kedua kalinya itu, dia telah mengerahkan seluruh kekuatan sinkangnya dan ternyata pemuda itu dapat mengimbangi tenaganya. Juga di lain fihak, Sian Lun mengerti bahwa kakek ini benar-benar tangguh sekali.

   "Jagalah, locianpwe!"

   Bentaknya dan kini pemuda itu menerjang dengan pukulan pukulan aneh yang amat dahsyat Kedua lengan dan jari-jari tangannya membentuk gerakan cakar naga, gerakannya cepat bukan main, tubuhnya berkelebat seperti tubuh seekor naga bermain-main di angkasa. Sian Lun telah mainkan Ilmu Pukulan Sin-liong-jiauw kang (Ilmu Silat Cakar Naga Sakti) Ilmu silat ini adalah ciptaan Siangkoan Lojin sendiri, berdasarkan dari Ilmu Silat Coa-kun (Ilmu Silat Ular) namun telah dicampur dan diolahnya kembali dengan bermacam ilmu silat yang telah dipelajarinya selama puluhan tahun merantau ke seluruh bagian dunia.

   Menghadapi Ilmu Silat Sin-liong jiauw-kang ini, Lam-thian Seng-jin terkejut. Bahkan hanya gerakan pemuda itu cepat sekali sehingga sukar baginya untuk mengikutinya dengan pandang mata, juga dari pukulan-pukulan itu meluncur hawa panas yang menandakan bahwa pemuda itu telah matang dalam permainannya, dapat mengisi pukulan dengan sinkang yang kuat sekali. Di samping itu, biarpun dia telah memperhatikan dengan seksama dan tahu bahwa ilmu silat ini berdasarkan Coa-kun, namun dia tidak mengenalnya, belum pernah dia menghadapi ilmu silat seperti ini sehingga dia tidak dapat menduga perkembangannya dan harus mengandalkan pertahanannya sendiri yang diperkuat. Oleh karena ini, dia tidak lagi sempat untuk balas menyerang karena pemuda itu telah mendesaknya dengan serangan serangan berantai yang agaknya tak kunjung putus, begitu dapat ditangkis atau dielakkan, serangan itu telah bersambung pula dengan serangan berikutnya yang lebih dahsyat.

   Dalam keadaan terdesak itu, Lam-thian Seng-jin masih mampu mempertahankan dirinya dengan gerakan kedua tangannya yang menangkis sambil mengelak dan main mundur, akan tetapi diam-diam dia mencari kesempatan baik. Ketika kesempatan itu terbuka, dia mengeluarkan suara melengking nyaring yang menggetarkan jantung, dan tiba-tiba kedua tangannya yang terbuka itu saling bertemu seperti orang bertepuk, akan tetapi tepukan itu mengeluarkan suara ledakan dan dari kedua telapak tangannya keluar uap tebal, kemudian secepat kilat kedua tangannya mendorong kedepan. Itulah pukulan Lui-kongciang (Tangan geledek) yang amat lihai dan kalau mengenai tubuh lawan dapat membuat kulit tubuh terbakar dan terkupas!

   "Haaiiiitt!"

   Sian Lun membentak dan diapun mendorongkan kedua tangannya ke depan dengan gerakan Ilmu Leng-in ciang (Tangan Awan Dingin), semacam ilmu pukulan sakti yang mengandung Im-kang ciptaan Siangkoan-Lojin.

   "Ceesssss"".!"

   Nampak asap mengepul tebal ketika dua telapak tangan bertemu dan tubuh Lam-thian Seng-jin bergoyang-goyang, mukanya yang tadinya pucat sekali itu berubah kemerahan dan sepasang matanya memperlihatkan kegelisahan.

   Kiranya Lui kong ciang itu bertemu dengan lawannya yang ampuh, yaitu Leng-in ciang dan seperti halnya api yang takut bertemu air dingin, tenaga Lui-kong ciang dari kakek itu seperti kena dihisap oleh tenaga yang keluar dari kedua telapak tangan Sian Lun.

   Kakek itu terkejut dan khawatir sekali karena dua pasang tangan itu telah melekat dan kalau dilanjutkan, dia dapat celaka dan mengalami luka dalam yang hebat. Untuk menarik kembali kedua tangannya sudah tidak sempat lagi. Sebetulnya, adu tenaga sakti itu bukan ditentukan oleh sifat dari ilmunya, melainkan ditentukan oleh kekuatan dasar dari keduanya! Dalam hal ini, Sian Lun masih menang kuat apalagi karena memang dasar dari ilmunya itu lebih bersih.

   Akan tetapi Sian Lun memang tidak bermaksud sama sekali untuk mencelakai lawan, apa lagi membunuhnya, maka melihat keadaan kakek itu, dia telah merasa puas karena tahu bahwa dalam pertandingan itu dialah yang lebih unggul. Dengan cepat dia lalu berseru keras, mendorong lawan dan meloncat ke belakang sambil menarik kembali kedua tangannya.Lam Thian Seng-jin terhuyung dan tentu ia terbanting roboh kalau saja Lam-ong tidak cepat menahan punggungnya dengan ujung huncwe-nya. Merasa ada hawa panas dari ujung huncwe telah memasuki punggungnya, pulih kembali tenaga Lam-thian Seng-jin dan dia mampu melompat ke samping dan berdiri tegak dengan muka kemerahan. Dia berdiri dan memandang bingung, tidak tahu harus berbuat dan berkata apa. Untuk melawan lagi, dia maklum bahwa dia telah kalah dan kalau tadi lawan yang muda itu menghendaki, tentu dia sudah roboh tewas. Akan tetapi untuk mengaku kalahpun dia malu karena sebagai orang kedua di selatan, mana mungkin dia mengaku kalah terhadap seorang pemuda yang usianya baru duapuluhan tahun.

   Sementara itu, setelah menolong pembantunya, Lam-ong Oh Ging Siu, Si Raja Selatan itu kini berdiri dengan kedua kaki terpentang dan dia memandang Sian Lun sambil menghisap huncwenya dengan sedotan keras berkali-kali dan kemudian dia mencabut huncwe dari mulutnya, lalu meniupkan asap dari mulutnya ke arah Sian Lun. Kelihatannya kakek itu hanya main-main saja meniupkan asap huncwenya, Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati Sian Lun ketika dia melihat bahwa asap itu menjadi segumpal asap panjang kecil yang meluncur seperti anak panah menuju ke arah mukanya dan mengeluarkan suara bercuitan! Cepat Sian Lun meloncat ke samping kiri untuk menghindar, akan tetapi""

   Dengan cepat pula asap yang berbentuk anak panah itu meliuk ke kiri dan mengejarnya!

   "Ahh"".!"

   Sian Lun terpaksa melempar diri ke belakang dan ketika dalam keadaan setengah rebah dia melihat asap itu terus mengejarnya, dia cepat menghantamkan tangan kanannya ke arah asap itu dengan tenaga sinkangnya. Untung baginya bahwa asap itu setelah meliuk dua kali, berkurang tenaganya dan. terkena hawa pukulan tangannya membuyar dan tercium bau yang menyesakkan napas, bau tembakan yang aneh.

   "Hemm, bagus, kau boleh juga, orang muda!"

   Terdengar Lam-ong berkata dan orang yang baru mendengar suara ini tentu terkejut sekali. Lam-ong Oh Ging Siu adalah seorang kakek yang usianya sudah tujuhpuluh tahun, tubuhnya tinggi sekali, satu kepala lebih tinggi dari orang biasa, dan amat kurus seperti biasa orang yang kecanduan madat atau rokok berat. Matanya sipit dengan alis tebal, jenggotnya panjang, pendeknya dia adalah seorang kakek yang gagah. Akan tetapi suaranya sepeni suara seorang wanita! Kalau tidak melihat kakek ini bicara, hanya mendengar suaranya saja, orang tentu akan yakin bahwa itu adalah suara seorang wanita muda yang merdu dan nyaring!

   Sian Lun meloncat bangun dan jantungnya berdebar tegang. Dia maklum bahwa kakek ini benar-benar lihai bukan main. Seorang yang telah dapat menguasai khikang seperti itu sehingga dapat mengendalikan asap untuk menyerang lawan secara demikian ganas, benar-benar membuktikan bahwa dia telah mencapai tingkat yang tinggi sekali dalam ilmu silat! Akan tetapi tentu saja dia tidak takut dan dia sudah siap sedia menandingi Si Raja Selatan ini.

   "Ha-ha-ha, kiranya hari ini aku masih dapat bertemu dengan Si Huncwe Maut, bajak laut tunggal yang pernah menghantui seluruh kepulauan selatan. Kabarnya sudah meninggal, tahu-tahu muncul sebagai Lam-ong!"

   Sian Lun cepat melangkah mundur ketika dia mendengar suara gurunya ini dan Lam-ong sendiri kini memutar leher menoleh kepada Siangkoan Lojin, memandang dengan mata yang sipit itu menjadi makin sipit seperti terpejam, akan tetapi dari garis tipis itu menyambar sinar yang menyeramkan. Perlahan-lahan dia memutar tubuhnya menghadapi Siangkoan Lojin dan sejenak memandang penuh penyelidikan untuk mengenal orang itu. Akan tetapi dia tidak mengenalnya dan Lam-ong mengeluarkan suara mendengus.

   Kiranya, ketika dia masih muda, kurang lebih empat limapuluh tahun yang lalu, pernah Siangkoan Lee mendengar tentang adanya seorang bajak laut tunggal yang terkenal sekali dan terutama sekali terkenal karena kejamnya, lihainya dan huncwe mautnya. Bajak laut itu dikenal dengan julukan Si Huncwe Maut dan kabarnya dia adalah seorang laki-laki yang gagah akan tetapi yang tidak pantang melakukan segala macam kejahatan, membajak, merampok, memperkosa wanita, membunuh. Sebetulnya, dia sendiri belum pernah jumpa dengan Si Huncwe Maut dan kalau dia mengeluarkan ucapan demikian adalah karena dia tadi melihat betapa hebatnya kepandaian Lam-ong mempergunakan huncwenya maka dia menyamakan Lam-ong dengan Si Huncwe Maut Siangkoan Lojin hanya ngawur saja, akan tetapi sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa kata-katanya yang ngawur itu justeru mengandung kenyataan!

   Memang Lam-ong ini bukan lain adalah Si Huncwe Maut! Akan tetapi mengapa matanya menjadi sipit sekali dani suaranya berobah seperti suara wanita? Inilah keistimewaan dan kecerdikan orang ini. Namanya sebagai Huncwe Maut amat dikenal dan karena satu di antara kejahatannya adalah sebagai jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga atau pemerkosa wanita) dan pada suatu malam dia berhasil memperkosa isteri seorang pendekar, maka dia dimusuhi oleh semua pendekar dan menjadi buronan. Beberapa kali dia hampir tewas di tangan para pendekar yang mengejar-ngejarnya, maka akhirnya dia lalu bersembunyi di dalam sebuah pulau kecil kosong di selatan. Di tempat ini dia bertapa selama belasan tahun, dan sambil memperdalam ilmunya, dia lalu merobah mukanya, dibantu oleh seorang ahli sehingga dia menjelma menjadi seorang manusia lain. Tabib pandai yang merobah mukanya itu lalu dibunuhnya.

   Demikianlah, Si Huncwe Maut muncul lagi di dunia kang-ouw sebagai seorang berusia lima puluh tahun yang amat lihai. Ditaklukkannya semua jagoan sehingga akhirnya dia diangkat menjadi datuk nomor satu dan dia berjuluk Lam-ong, menjadi datuk dari semua bajak dan hidup sebagai raja sampai sekarang. Kini usianya sudah tujuhpuluh tahun dan kepandaiannya meningkat makin tinggi dan baru beberapa tahun saja dia berani lagi terang-terangan menggunakan huncwe itu sebagai alat merokok dan juga sebagai senjata. Tidak ada seorangpun di antara para pendekar yang dulu mengejar-neejarnya dan yang sekarang banyak yang sudah mati, atau kalau masih adapun sudah amat tua, yang mengira bahwa Lam-ong yang terkenal dan berpengaruh sekali itu adalah Si Huncwe Maut.

   Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Lam-ong ketika mendengar kata kata Siangkoan Lojin yang sebenarnya hanya ngawur saja itu. Dia mengira bahwa Siangkoan Lojin tentu seorang di antara para pendekar yang di waktu mudanya dulu pernah beramai ramai mengeroyok dan mengejarnya. Maki timbullah rasa dendamnya dan karena kini Siangkoan Lojin hanya sendirian saja, maka dia tidak merasa jerih lagi. Apa lagi baru seorang diri, biarpun andaikata semua musuh-musuhnya dahulu kini datang lagi mengeroyoknya, dia tidak akan gentar!

   "Sobat, siapakah engkau dan apakah engkau hendak mewakili muridmu untuk menguji ke pandaian dengan aku?"

   Suaranya yang tinggi nyaring seperti suara wanita itu melengking dan mengandung getaran kuat. Selain dapat merobah wajahnya, juga Si Huncwe Maut itu telah dapat merobah suaranya dengan latihan khikang yang amat kuat.

   Siangkoan Lojin tersenyum dan matanya berkedip-kedip seperti mengajak bergurau "Lam-ong, tadi muridku telah melayani tantangan Lam thian Seng jin yang sombong dan berakhir dengan kemenangan muridku. Mengapa engkau masih merasa penasaran dan hendak turun tangan sendiri? Kalau hanya maaf yang kaubutuhkan, biarlah aku minta maaf kepadamu...".."

   Siangkoan Lojin membuat gerakan hendak berlutut.

   "Suhu..."!!"

   Bentakan dari Sian Lun ini terdengar menggeledek karena murid ini benar-benar merasa penasaran kalau sampai suhunya yang dijunjung tinggi itu berlutut minta ampun. Siangkoan Lojin terkejut dan menoleh, melihat wajah muridnya merah sekali dia menjadi tidak tega dan tidak jadi berlutut. Sementara itu, Lam ong tertawa lirih.

   "Ha-ha, sobat, semangatmu kalah besar dengan muridmu. Kau minggirlah saja kalau gentar, agaknya muridmu memiliki nyali yang lebih besar dan mungkin kepandaiannya juga sudah melampaui tingkatmu."

   "Ah, mana bisa! Muridku sudah menang dan terus terang saja, dibandingkan dengan engkau orang tua yang lihai, muridku tentu kalah. Maka biarlah aku mewakilinya mengaku kalah kepadamu, dan biarlah kami pergi saja dan selanjutnya di antara kita tidak ada apa-apa lagi. Bagaimana?"

   Siangkoan Lojin benar-benar bicara dengan sewajarnya dan dengan halus, sepenuhnya mengalah sehingga Sian Lun yang mendengarkan dan melihat hal ini mengerutkan alisnya karena merasa tidak puas.

   Lam-ong adalah seorang kakek tua renta yang pada tahun tahun terakhir ini terlalu tinggi disanjung orang sehingga dia menjadi lengah dan tidak tahu betapa sikap Siangkoan Lojin yang sederhana dan mengalah itu sudah membayangkan watak seorang yang luar biasa sekali. Kalau dia waspada, dia tentu akan mundur, karena sikap mengalah dari lawan itu saja sudah mengangkat derajatnya. Akan tetapi dia masih belum puas dan menganggap bahwa sikap kakek sederhana di depannya itu sebagai sikap orang yang jerih setelah menyaksikan demonstrasi penggunaan asap untuk menyerang pemuda tadi. Maka dia tersenyum dan menggerak-gerakkan huncwe di tangannya.

   "Heh, mana mungkin mengaku kalah sebelum bertanding? Aku hanya akan menghabiskan urusan ini kalau muridmu atau engkau melayani aku sampai sepuluh jurus."

   Benar-benar Lam-ong amat sombong dan terlalu memandang rendah orang lain. Dia sudah melihat sendiri betapa pembantu utamanya kalah oleh Sian Lun namun, dengan mengandalkan kelihaian huncwe mautnya, dia menantang agar pemuda itu atau gurunya mau melayaninya sampai sepuluh jurus saja, berarti dia menilai guru dan murid itu hanya kuat paling lama sepuluh jurus kalau melawannya. Dan dia yang sudah berani memberi waktu hanya sepuluh jurus itu tentu saja akan menggunakan sepuluh jurus terampuh yang mendatangkan maut kepada lawannya!

   Siangkoan Lojin menarik napas panjang.

   "Kalau engkau memang mempunyai kegemaran menggebuk orang, biarlah aku yang tua ini kauhajar,"

   Katanya.

   "Bagus! Sekarang perkenalkan namamu sebelum aku merobohkanmu kurang dari sepuluh jurus!"

   Teriak Lam-ong sambil mengisap huncwenya.

   "Namaku tidak ada artinya sama sekali. Aku keturunan orang she Siangkoan"""

   Tiba-tiba Lam-ong sudah menyemburkan asap dari mulutnya. Seperti ketika dia menyerang Sian Lun tadi, dari mulutnya meluncur asap memanjang yang mengeluarkan suara bercuitan, kini bahkan lebih dahsyat dari pada yang tadi menyerang Sian Lun karena kakek itu sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk meniup asap yang keluar dari dalam paru-parunya itu. Biarpun Siangkoan Lojin belum selesai bicara dan tiba-tiba diserang secara hebat oleh senjata luar biasa berupa asap dari huncwe itu, namun kakek ini tidak menjadi gentar dan dia juga meniup dengan mulutnya ke arah asap yang bercuitan menyambar ke arahnya iu. Tentu saja Siangkoan Lojin meniup sambil mengerahkan khikang dari paru-parunya yang didorong oleh tenaga tian-tan dari pusar karena dia maklum akan kekuatan lawan yang tak boleh dipandang ringan itu.

   Asap yang panjang kecil seperti anak panah itu membuyar, namun masih berusaha mendesak. Akan tetapi, kembali Siangkoan Lojin meniup dan akhirnya asap itu membuyar dan cerai-berai, kehilangan kekuatannya. Melihat kenyataan ini, Lam-ong agak terkejut juga. Dia memang sudah dapat menduga bahwa kakek sederhana ini tentu "berisi", akan tetapi tak pernah disangkanya kakek itu akan menguasai khikang sekuat itu pula. Maka dia lalu berteriak nyaring sambil menyerang dengan dahsyatnya. Sekali menyerang, dia telah mengeluarkan jurus maut yang dia namakan Mengambil Mustika Dari Kepala Naga. Dengan huncwe di tangan kanan dia menyodok ke arah pusar lawan dan ketika lawan mengikuti gerakan serangan berbahaya ini, tangan kirinyi menyambar ke arah ubun-ubun kepala lawan dengan cengkeraman maut yang amat dahsyat! Serangan tangan kiri inilah yang menjadi inti jurus itu, dan serangan tangan kanan yang memegang huncwe hanya merupakan pancingan belaka untuk menarik perhatian mata lawan ke bawah.

   Akan tetapi tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu lawannya itu sudah menyelinap di antara dua serangan itu dan sudah berhasil mengelak dengan kecepatan yang sungguh membuatnya terkejut bukan main. Tentu saja Lam-ong tidak tahu bahwa Siangkoan Lojin adalah seorang sakti yang telah mencapai tingkat sempurna dalam ilmu gin-kang (meringankan tubuh) sehingga gerakannya luar biasa cepatnya seolah-olah dia pandai terbang saja.

   

Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini