Ceritasilat Novel Online

Kisah Tiga Naga Sakti 45


Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 45



"Tringgg!"

   Huncwe bertemu dengan pedang dan Cin Han merasakan lengannya tergetar dan dia tidak mampu menarik kembali pedangnya yang sudah melekat pada huncwe. Dan pada saut itu Lam ong menyemburkan asap dari mulutnya ke arah muka Cin Han.

   "Cepat mundur!"

   Sian Lun berseru, akan tetapi Cin Han tidak mau melepaskan pedangnya. Terpaksa Sian Lun lalu mengerahkan khikang meniup asap dari samping. Asap raembuyar dan tidak jadi menyerang muka Cin Han, akan tetapi pada saat itu, tangan kiri Lam-ong sudah bergerak menampar kepala Cin Han.

   "Celaka""".."

   Sian Lun menubruk dan menangkis, akan tetapi tangan kakek itu hanya menyeleweng dan masih dapat menampar pundak Cin Han.

   "Plakk!"

   Tubuh Cin Han terlempar seperti daun kering dan terbanting jatuh ke atas papan, pedangnya terlepas menancap pada papan panggung.

   "Aihhh"".!"

   Ling Ling berteriak kaget melihat ini dan dia sudah meloncat mendekati tubuh yang rebah terlentang itu, meninggalkan Gin San menghadapi Ouw Sek sendirian saja.

   Melihat tubuh itu lemas lunglai dan wajah yang tampan gagah itu pucat seperti mayat, Ling Ling menjadi cemas sekali dan tanpa memperdulikan apa-apa karena dia sendiri lupa akan sikapnya yang tidak wajar ini, dia sudah menjatuhkan diri berlutut di dekat tubuh itu. Cepat dia meraba dada dan nadi, membuka pelupuk mata yang terpejam itu dan hatinya merasa lega. Pemuda ini tidak mati, hanya pingsan dan mengalami luka di sebelah dalam tubuhnya. Marahlah Ling Ling. Setelah mengangkat tubuh Cin Han dan menaruhnya di sudut panggung, di tempat aman, dia lalu mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya sudah meloncat seperti seekor burung walet meluncur dan tahu-tahu dia sudah menyerang Lam-ong kalang kabut dengan amat dahsyatnya!

   "Sumoi, tenanglah""".!"

   Sian lun memperingatkan karena cara menyerang seganas itu biarpun amat berbahaya bagi lawan, namun juga membahayakan diri sendiri. Kini Lam-ong benar benar kewalahan. Dia menang kuat dalam sinkang, menang pengalaman dan menang matang gerakan silatnya, akan tetapi dalam hal kecepatan, dia kalah jauh dan memang inilah kelemahannya. Menghadapi Sian Lun, dia sudah merasa sulit menang karena dia kalah cepat, apa lagi kini ditambah Ling Ling yang lebih cepat lagi gerakannya!

   Betapapun juga, memang kakek ini merupakan datuk besar dunia selatan dan ilmu kepandaiannya sudah hebat sekali sehingga biarpun terus didepak, dia masih mampu mempertahankan diri dengan huncwenya, sungguhpun sekali ini dia harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya

   Sementara itu, para pengikut Lam-ong mulai kocar-kacir terdesak oleh orang-orang Beng kauw yang jauh lebih besar jumlahnya itu. Hampir separuh jumlah mereka sudah roboh dan sisanya mulai merasa gentar, apalagi melihat betapa majikan mereka dikeroyok oleh dua orang muda yang amat lihai dan masih belum juga memperoleh kemenangan. Hal ini amat mengherankan hati mereka dan juga mendatangkan perasaan gentar karena biasanya, kalau majikan mereka itu yang turun tangan sendiri, semua lawan dapat disikat habis dalam waktu singkat saja. Akan tetapi sekali ini, malah majikan mereka yang terdesak lawan!

   Pertandingan antara Gin San melawan Ouw Sek benar-benar amat seru, hebat dan mati-matian. Dua orang lihai yang memiliki kepandaian dari satu sumber ini mengeluarkan seluruh kepandaian mereka, dan hanya dengan Ilmu Cap-sha Tong-thian sajalah Gin San mampu mempertahankan diri dan menandingi lawan tangguh ini. Ilmu silat lainnya selain telah dikenal oleh lawan, juga dia malah masih kalah setingkat, kalah latihan sehingga gerakan gerakannya kalah matang. Akan tetapi menghadapi Cap sha Tong-thian yang gerakan-gerakannya aneh luar biasa dan tidak dikenal oleh Ouw Sek, membuat dia ini merasa bingung dan kadang-kadang terdesak juga.

   Betapapun juga, setelah mereka bertanding sampai lama, sudah tiga kali Gin San terkena pukulan lawan, dan biarpun tongkat emas itu telah ditangkisnya dengan pedang atau suling bambu, tetap saja dua kali pundak kirinya kena diserempet sehingga pinggir bahunya atau pangkat lengan yang berdaging itu mengeluarkan darah dan satu kali paha kanannya juga kena pukulan tongkat emas! Akan tetapi, karena luka-luka yang dideritanya tidak hebat, hanya merupakan luka daging dan kulit saja, hal ini tidak membuat Gin San menjadi lemah, bahkan sebaliknya membuat dia merasa penasaran dan gerakannya makin menghebat.

   Kenekatan dan kehebatan pemuda ini membuat Ouw Sek makin lama makin berkurang kepercayaannya terhadap diri sendiri dan diam-diam dia harus mengakui bahwa pemuda yang menurut kedudukan masih terhitung murid keponakannya sendiri ini benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh dau hebat, sehingga kalau dia tidak berhati-hati, tentu dia sendiri tidak akan mampu mengalahkannya. Maka hatinya mulai menjadi gentar, apalagi melihat betapa Lam-ong, sahabat yang amat diandalkannya itu kini terdesak hebat oleh Sian Lun dan Ling Ling, sedangkan Lam-thian Seng-jin dan Bu Siauw Kim sudah tewas, dan anak buah Lam-ong juga sudah terdesak hebat oleh anak buah Beng-kauw yang kini berbalik memusuhinya itu. Hatinya keder dan nyalinya mengecil.

   Kekhawatiran hebat inipun diderita oleh Lam-ong Oh Ging Siu. Kakek yang sudah berpengalaman ini maklum bahwa kalau dilanjutkan, tentu dia akhirnya akan roboh juga. Usianya yang sudah amat tua membuat tenaganya tidak sepenuh dahulu, juga napasnya tidak sekuat dahulu. Kini dia mulai terengah dan tubuhnya sudah letih sekali. Apa lagi melihat keadaan sahabatnya Ouw Sek, juga tidak lebih baik dari pada dirinya.

   Dengan hati penuh penasaran, diam diam Lam-ong merasa berduka sekali. Satu kali ini nama Lam-ong sebagai Raja Selatan akan hancur oleh orang-orang muda ini! Akan tetapi, nama jatuh dapat dibangunkan lagi, kalau nyawa sudah melayang tentu tidak mungkin ditarik kembali ke dunia. Pikiran ini membuat dia mengambil keputusan bulat dan tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring yang menggetarkan seluruh tempat itu, tangan kanannya memutar huncwe sedangkan tangan kirinya melancarkan tamparan-tamparan Pek see-ciang yang amat ampuh itu ke depan, ke arah Sian Lun dan Ling Ling. Dua orang muda ini sudah mengenal kelihaian lawan, maka tentu saja mereka cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan dahsyat itu, dan pada saat itu, Lam-ong sudah melayang turun dari panggung, jauh sekali karena dia sudah mempergunakan ginkang melampaui kepala mereka yang sedang berkelahi di bawah panggung sambil mulutnya berseru sebagai tanda kepada para anak buahnya,

   "Kita pergi dulu!"

   Tepat pada saat itu, Ouw Sek memang juga sudah mengambil keputusan untuk melarikan diri saja sebelum terlambat, maka hampir berbareng dia juga mempergunakan ginkangnya meloncat ke lain jurusan, jauh dari panggung dan terus melarikan diri. Melihat larinya Ouw Sek, Gin San yang merasa betapa sukarnya mengalahkan orang itu, tidak mengejar, melainkan membantu Sian Lun dan Ling Ling yang berusaha mengejar Lam ong. Akan tetapi, kakek Itu sudah menghilang dan agaknya memang anak buahnya sudah menyediakan seekor kuda untuknya karena tak lama kemudian tiga orang muda itu mendengar derap kaki kuda.

   Mereka masih berusaha mengejar, namun ternyata bahwa kuda yang ditunggangi oleh Lam-ong merupakan seekor kuda luar biasa yang dapat berlari amat kencangnya sehingga mereka maklum bahwa tubuh mereka yang sudah letih oleh pertempuran itu takkan mungkin dapat menyusul. Apa lagi pada saat itu tiba-tiba Ling Ling sudah berlari kembali ke panggung, Gin San dan Sian Lun cepat menyusul dan mereka berdua saling pandang ketika melihat betapa sumoi mereka itu telah berlutut dan memeriksa tubuh Cin Han yang sudah siuman namun masih rebah terlentang di sudut panggung itu.

   "Bagaimana lukanya, sumoi?"

   Tanya Sian Lun sambil mendekat. Juga Gin San memandang sebentar.

   "Saya"".. saya tidak apa apa"".. harap lihiap dan taihiap tidak khawatir...".."

   Kata Cin Han yang kini menyebut Ling Ling "lihiap"

   Karena dia mendapat kenyataan betapa lihainya nona yang mengagumkan hatinya itu.

   Melihat bahwa teman baru itu memang tidak terancam bahaya, Gin San lalu melompat turun dan membantu teman-temannya, yaitu Kwan Liok yang memimpin anak buah Beng-kauw, untuk menggempur anak buah Lam-ong. Makin repotlah anak buah Lam-ong yang kini melawan sambil mundur, dan akhirnya mereka itu roboh semua, hanya ada beberapa orang saja di antara mereka yang tadi tempat menyelamatkan diri. Pertempuranpun selesai sudah dan kini para anggauta Beng-kauw merawat teman teman yang luka, dan membersihkan tempat itu dengan menyeret mayat-mayat lawan untuk dikuburkan sebagaimana mestinya. Dengan dibantu oleh Sian Lun, Ling Ling mengobati luka yaug diderita oleh Cin Han dengan menggunakan sinkaog mereka, mengusir hawa beracun pukulan Pek-see-ciang yang mengeram di pundak dan di dada Cin Han. Tadinya Cin Han menolaknya.

   "Biarlah, lihiap. Luka ini dapat disembuhkan dengan obat luka dalam yang saya bawa"."

   "Pukulan Lam-ong berbahaya sekali, kalau tidak cepat dibersihkan hawa pukulan beracun itu, bisa berbahaya. Bekerjanya obat luka dalam amat lambat, biar kudorong keluar dengan sinkang."

   Ling Ling mendesak dan dia sudah menempelkan telapak tangannya ke pundak pemuda itu.

   "Jangan sungkan, saudara Louw Cin Han, apa yang dikatakan sumoi memang benar."

   Kata Sian Lun yang juga menempelkan telapak tangannya ke dada pemuda yang masih rebah itu. Cin Han tidak membantah, hanya menatap wajah Ling Ling dengan penuh terima kasih dan penuh kemesraan karena dia merasa amat kagum kepada dara perkasa yang menurut pandangannya amat cantik itu seperti Kwan Im Pouwsat ini! Ketika Ling Ling membalas pandang mata itu, sinar mata mereka saling bertemu dan dia menundukkan mukanya yang berobah merah dan jantungnya berdebar tidak karuan! Karena Sian Lun dan Ling Ling memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, maka dalam waktu singkat saja semua hawa beracun telah terusir keluar dan bersih dari tubuh Cin Han. Pemuda ini berterima kasih sekali, bangkit berdiri dan menjura kepada mereka.

   "Ah, di antara kita yang sudah sama sama menghadapi lawan bahu-membahu, perlukah ada sikap sungkan-sungkan lagi?"

   Sian Lun menolak pernyataan terima kasih itu dan Ling Ling hanya tersenyum saja.

   Akan tetapi ketika pemuda itu mengeluarkan bungkusan obat-obat buatan Siauw-lim-pai dari kantungnya, tanpa diminta Ling Ling cepat membantunya dan dengan sentuhan-sentuhan tangan yang halus mesra sehingga mengharukan hati Cin Han, Ling Ling memasangkan koyo, yaitu obat tempel, pada pundak yang matang biru itu, kemudian dara ini mencarikan air matang untuk dipakai minum obat oleh Cin Han yang merasa makin terharu dan berterima kasih.

   Atas undangan Kwan Liok yang merasa berhutang budi kepada mereka, empat orang muda ini malam itu tinggal di Beng-kauw, dijamu sebagai tamu-tamu agung. Dan dengan hati girang, Sian Lun dan Gin San melihat betapa terdapat hubungan yang makin mesra dan akrab antara pemuda Siauw-lim-pai itu dengan Ling Ling, dapat dilihat jelas dari gerak gerik, pandang mata, dan suara yang keluar ketika mereka saling bicara. Diam-diam dua orang muda ini merasa bersyukur karena mereka melihat bahwa pemuda murid Siauw-lim-pai itu selain memiliki kepandaian yang cukup lihai, juga memiliki kegagahan yang mengagumkan. Mereka berdua merasa senang dan setuju sekali kalau sumoi mereka berjodoh dengan seorang pemuda seperti itu!

   Memang terdapat daya tarik yang amat kuat antara dua orang muda, yaitu Louw Cin Han dan Gan Ai Ling ini. Mereka saling merasa tertarik, apalagi ketika mereka saling mendengar bahwa masing masing adalah seorang anak yatim piatu. Persamaan nasib ini membuat mereka makin tertarik karena perasaan itu diperkuat lagi oleh perasaan iba kasih. Dan agaknya mereka berduapun tidak hendak menyembunyiknn perasaan itu, dan senja hari itu, setelah mereka semua makan malam dijamu oleh Kwan Liok, Cin Han dan Ling Ling berdua duduk di dalam taman dan bercakap-cakap dengan asyiknya!

   Sementara itu, Sian Lun diam-diam memanggil Gin San dan merekapun bicara berdua saja.

   "Sute, engkau tentu melihat keadaan sumoi dan Cin Han, bukan?"

   Gin San tersenyum dan mengangguk.

   "Bagaimana pendapatmu dengan hubungan mereka itu, sute?"

   Karena dia menangkap sesuatu dalam suara suhengnya, Gin San mengangkat muka memandang wajah tampan itu penuh selidik.

   "Suheng apa maksudmu menanyakan hal ini kepadaku?"

   Sian Lun menarik nafas panjang.

   "Maaf, sute. Terus terang saja, hatiku bimbang dan ragu. Marilah kita berterus terang. Aku tadinya mengira bahwa engkau""

   Engkau cinta kepada sumoi"".."

   "Tentu saja aku mencintai sumoi!"

   "Bukan begitu maksudku, mencinta sebagai seorang pemuda terhadap seorang dara""., bahkan diam diam aku mengharapkan kalian akan saling berjodoh..."""

   Kini Gin San yang menundukkan mukanya dan berkali-kali dia menarik napas panjang karena terbayanglah saat saat di mana hampir saja dia memperkosa sumoinya itu! Semua itu gara gara Bu Siauw Kim yang kini telah tewas, atau"". gara-gara nafsu berahinya yang bangkit dan berkobar setelah dia berkenalan dengan Bu Siauw Kim. Teringat pula dia kepada Liang Hwi Nio yang telah menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela. Dia lalu menggeleng kepalanya.

   "Tidak, suheng. Di antara sumoi dan aku tidak ada perasaan cinta asmara seperti yang kaumaksudkan itu. Maka, akupun diam-diam merasa gembira sekali melihat hubungan antara Cin Han dengan sumoi."

   Sian Lun merasa girang sekali, dadanya tersa lapang. Dia memegang lengan sutenya dan berkata.

   "Bagus! Tadinya aku sudah khawatir sekali, sute. Aku teringat akan riwayat orang tuaku dan orang tua sumoi"".

   "

   "Riwayat bagaimana, suheng?"

   Sian Lun menggeleng kepala. Dia mendengar tentang cinta segi tiga antara ayah bunda Ling Ling dan mendiang ayahnya, cerita yang didengarnya dari Siang Bwee menurut penuturan mendiang ibu dari Siang Bwee. Akan tetapi riwayat itu disimpannya dalam hati sendiri dan dia tidak mau menceritakannya kepada Gin San yang biarpun menjadi sutenya, tetap saja merupakan "orang luar".

   "Jadi engkau juga setuju kalau sumoi berjodoh dengan pemuda Siauw-lim-pai itu, sute?"

   "Tentu saja, kalau memang sumoi menghendakinya"

   "Sute, kita sebagai kakak-kakaknya berkewajiban untuk mengurus sumoi, bukankah dia sudah yatim piatu dan adalah kewajiban kita untuk membuatnya bahagia? Dari sikapnya, aku merasa bahwa antara sumoi dan Cin Han terdapat hubungan kasih, dan aku akan membicarakan hal ini dengan sumoi. Sedangkan engkau kuberi tugas untuk bicara dengan terus terang kepada Cin Han. Kalau memang keduanya sudah setuju, biarlah aku yang akan memberi tahu kepada bibi Gan Beng Lian yang merupakan satu-satunya keluarga dari sumoi."

   Gin San mengangguk-angguk dan menyatakan persetujuannya, Demikianlah, malam itu, dua orang pemuda ini menantikan Ling Ling dan Cin Han yang masih asyik bercakap-cakap di dalam taman. Percakapan biasa saja, saling menceritakan riwayat dan pengalaman masing masing, seperti jamak percakapan dua orang yang baru saja berkenalan. Namun, di balik percakapan itu, suara mereka, pandang mata mereka, senyum mereka, semua mengandung getaran yang aneh, yang menjadi wakil dari hati masing-masing yang menggetarkan lagu asmara.

   Karena malam mulai larut dan keduanya merasa tidak enak kalau melanjutkan pertemuan di dalam taman, padahal kalau menurut perasaan hati mereka agaknya mereka tidak akan pernah merata jemu dan puas biarpun bercakap-cakap sampai semalam suntuk, Cin Han dan Ling Ling kembali ke kamar masing-masing. Setelah tiba di dalam kamar yang disediakan oleh Beng-kauw untuknya, Cin Han melempar tubuh ke atas pembaringan tanpa membuka pakaian dan sepatu. Rasa nyeri pundaknya ketika dia menjatuhkan diri di atas pembaringan itu tidak dihiraukannya dan dia segera terlentang dan melamun, berulang kali menarik napas panjang.

   Wajah dan senyum Ling Ling disertai pandang mata yang amat mesra itu tak pernah lenyap dari pandang matanya. Baru sekali ini Cin Han merasakan keanehan ini. Dia begitu tertarik kepada Ling Ling sehingga dia sendiri merasa khawatir. Gadis itu demikian tinggi ilmunya, biarpun usianya baru delapanbelas tahun, tujuh tahun lebih muda dari padanya, namun dia seolah-olah harus mengangkat muka kalau memandang kepada dara itu! Mana mungkin seorang dara sehebat itu mau rnemperhatikan dia? Akan tetapi""

   Sikap dara itu demikian manis budi, demikian mesra dan baik!

   "Tok-tok tok!"

   Cin Han meloncat turun memandang ke arah pintu kamar itu dengan hati berdebar, harap harap cemas. Ling Ling kah yang mengetuk pintu kamarnya? Ah, rasanya tidak mungkin! Tapi"".. tapi"".

   "Siapakah itu?"

   Tanyanya halus sambil menghampiri pintu,

   "Louw-twako, ini aku Gin San, harap buka pintu, aku ingin bicara sebentar!"

   Ada rasa kecewa akan tetapi juga lega di dalam hati Cin Han. Kecewa karena ternyata pengetuk pintu itu bukan Ling Ling, akan tetapi juga lega bahwa orang itu bukan Ling Ling! Karena kalau Ling Ling yang mengetuk pintu kamarnya, hal itu sungguh amat tidak patut! Cepat dibukanya pintu kamarnya dan dia melihat Coa Gin San berdiri di depan pintu sambil tersenyum ramah,

   "Maaf kalau aku mengganggumu, Louw-twako." "Ah. tidak, mari masuk, Coa taihiap. Ada urusan penting apakah yang membuat taihiap malam-malam datang mengunjungiku?"

   Tanya Cin Han yang merasa agak khawatir karena tentu terjadi urusan penting sekali maka pendekar ini mencarinya malam-malam.

   Cin San memasuki kamar pemuda Itu sambil tersenyum.

   "Ah, tidak apa-apa, twako, hanya aku ingin bicara denganmu, bicara mengenai diri sumoi"

   Tentu saja Cin Han merasa terkejut bukan main, akan tetapi sebagal seorang gagah, dia dapat menekan perasaannya itu sungguhpun wajahnya berubah sedikit, dan dia lalu mempersilakan tamunya duduk, Gin San lalu duduk dan mereka duduk berhadapan, sejenak mereka saling pandang seolah olah hendak menyelidiki keadaan masing-masing. Melihat ketenangan pemuda Siauw-lim-pai itu setelah dia tadi secara terus terang menyebut nama sumoi-nya, diam diam Gin San merasa kagum.

   "Begini, twako. Kita berdua adalah orang-orang yang menghargai kegagahan, oleh karena itu kuharap engkau suka bersikap gagah dan terbuka, tidak perlu menyimpan hal-hal rahasia di dalam hati demi kebaikan kita semua. Setujukah engkau twako?"

   "Tentu saja. taihiap!"

   "Ah, mengapa engkau begitu sungkan dan menyebutku taihiap? Engkau sendiripun seorang pendekar yang gagah perkasa, twako. Karena usiamu lebih tua beberapa tahun dariku, sebaiknya kalau engkau menyebut namaku saja, jangan memakai taihiap segala, membuatku menjadi kikuk saja,"

   "Terima kasih, Coa-te. Sekarang katakanlah apa yang terkandung dalam hatimu." "Begini, Louw ko"".."

   Agak berat juga rasanya untuk membicarakan persoaan cinta orang lain, maka kegugupan itu nampak dalam pembukuan kata-kata Gin San, yang selalu memakai "begini".

   "Engkau tentu sudah tahu bahwa sumoi adalah seorang anak yatim piatu, maka sudah sewajarnyalah kalau suheng dan aku sebagai saudara-saudara tuanya mewakilinya sebagal wali dan kami harus memperhatikan

   (Lanjut ke Jilid 46 - Tamat)

   Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 46 (Tamat)

   keadaannya. Kami berdua melihat betapa dalam pertemuan pertama, terdapat suatu hubungan akrab dan mesra antara engkau dan sumoi. Kalau aku boleh berlancang mulut, agaknya di antara kalian berdua ada perasaan cinta kasih. Benarkah itu, Louw-twako?"

   Tentu saja ditanya demikian. Cin Han merasa seolah-olah dia diserang dengan pedang! tajam secara langsung, membuat dia gelagapan! dan mukanya berobah marah sekali, matanya terbelalak ketika dia memandang kepada Gin San. Akan tetapi melihat wajah pemuda di depannya yang memiliki ilmu kepandaian amat hebat itu, wajah yang ramah dan tersenyum, dengan pandang mata lembut, Cin Han mengerti bahwa pemuda itu tidak main-main dan pertanyaan itu keluar dari hati yang sejujurnya.

   "Wah, ini"".. ini"""

   Katanya gagap, akan tetapi dia lalu mengangkat dadanya dan mengambil keputusan untuk bersikap terbuka dan jujur pula, sesuai dengan sikap seorang pendekar yang menjunjung tinggi kegagahan.

   "Terus terang saja, Coa-te, aku""

   Aku memang kagum sekali kepada Gan-lihiap, aku kagum dan tertarik"".."

   "Dan cinta....?"

   Gin San menyambung.

   "Hal itu.... ah, bagaimana aku berani...", akan tetapi....."

   Cin Han merasa bingung dan tersudut.

   "Akan tetapi engkau tentu akan menerima dengan girang kalau dapat terikat perjodohanmu dengan sumoi, bukan?"

   "Tentu saja! Demi Thian, aku akan berbohong kalau menyangkal itu! Akan tetapi"". sungguh aku tidak berani selancang itu".. karena tidak mungkin kiranya dia""

   Dia".. mau kepada seorang bodoh seperti aku""."

   Cin San mengangguk-angguk. Benar ucapan suhengnya. Memang pemuda ini baik sekali dan agaknya tidak akan keliru pilihan sumoinya, tentu saja kalau benar dugaan dia dan suhengnya bahwa sumoi mereka itu mencinta pemuda Siauw-lim-pai ini.

   "Louw twako, terus terang saja, aku dan suheng melihat keakraban hubungan antara kalian, oleh karena itu aku ditugaskan untuk menemuimu dan melakukan pendekatan dan bicara secara terbuka denganmu. Pada saat ini juga, suheng sedang bertanya kepada sumoi, dan kalau memang benar seperti yang kami duga, dan sumoi juga jatuh cinta kepadamu, kami berdualah yang akan berusaha untuk mengikatkan jodoh itu, tentu saja lewat saluran kekeluargaan yang wajar."

   Bermacam perasaan teraduk dalam hati Cin Han, dia terheran, terkejut,, terharu dan juga berterima kasih sekali. Maka dia cepat bangkit dari duduknya dan menjura dengan penuh rasa hormat dan terima kasih. Ah, kiranya ji-wi (kalian) adalah orang-orang budiman di samping pendekar-pendekar sakti!. Aku berterima kasih sekali dan semoga Thian yang akan membalas segala budi kebaikan ji-wi."

   Gin San teraenyum.

   "Ahh, kami berbuat ini demi kebahagiaan sumoi, twako. Sama sekali bukan kebaikan namanya! Nah, sekarang aku pamit, akan kutunggu keputusan suheng setelah bicara dengan sumoi, dan besok pagi kami memberi kabar kepadamu."

   Gin San lalu bangkit, mengangguk dan keluar dari kamar itu meninggalkan Cin Han yang setelah menutupkan kembali pintu kamar, lalu duduk lerlongong di atas pembaringannya. Tentu saja peristiwa ini akan membuat dia tak mungkin dapat tidur semalam suntuk!

   Sementara itu, di dalam kamar Ling Ling, Sian Lun juga mengajukan pertanyaan yang sama kepada sumoimya, Ling Ling duduk dengan kepala ditundukkan, kedua pipinya kemerahan dan sampai beberapa lamanya dia tidak mampu menjawab. Tiba tiba dia mengangkat mukanya, memandang wajah suhengnya dan berkata.

   "Twa-suheng, kenapa suheng mengajukan pertanyaan semacam ini kepadaku? Pantaskah itu? Dan patut pulakah kalau aku menjawabnya? Engkau benar benar mendesakku dan membuat aku menjadi kikuk dan bingung, tidak tahu bagaimana harus menjawab, suheng!"

   Sian Lun menarik napas panjang.

   "Maafkanlah aku sumoi, dan aku tidak menyalahkanmu kalau engkau merasa penasaran dan marah atas kelancanganku. Akan tetapi, ketahuilah, sumoi, bahwa engkau telah dewasa dan kami berdua. Gin San sute dan aku, merasa bertanggung jawab dan berkewajiban untuk memperhatikan keadaanmu. Kami akan merasa berdosa dan malu terhadap mendiang ayah bundamu kalau kami tidak mengurus dirimu. Kami berdua telah melihat sikap kalian berdua dan kalau kami tidak salah sangka, di antara engkau dan saudara Louw Cin Han pasti terdapat perasaan cinta kasih. Nah, itulah sebabnya aku bertanya kepadamu, sumoi. Jawablah terua terang agar kami berdua dapat mengambil tindakan yang tepat demi kebahagiaanmu. Akulah yang akan menyampaikan kepada bibi Gan Beng Lian, dan sekarangpun sute sedang bicara dengan hati terbuka dengan saudara Louw Cin Han,"

   Mendengar ucapan yang begitu panjang lebar dan terus terang dari Sian Lun, tiba-tiba Ling Ling menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya dan sesenggukan. Teringatlah dia akan ayah bundanya dan keharuan mendengar betapa dua orang suhengnya demikian memperhatikan dirinya membuat dia tidak dapat menahan runtuhnya air matanya. Sian Lun membiarkan saja sumoinya menangis karena diapun mengerti bahwa sumoinya dilanda keharuan dan tentu teringat kepada orang tuanya. Setelah tangis sumoinya mereda, dia berkata halus.

   "Sumoi, kalau memang sudah ada kecocokan antara kalian berdua, percayalah aku dan sute yang akan berusaha agar kalian dapat berjodoh"", oleh karena itu, jawablah sumoi, apakah engkau setuju?"

   Sambil menahan isaknya, Ling Ling mengangkat mukanya, sejenak memandang kepada suhengnya yang sudah dianggapnya sebagai kakak sendiri itu, kemudian dia menunduk lagi dan menganggukkan kepalanya. Anggukan yang tidak bersuara, namun cukup jelas, lebih jelas dari pada kalau dia membuka suara, karena tentu dia akan tergagap dan malu-malu.

   "Bagus! Aku girang sekali, sumoi, karena akupun yakin bahwa pilihan hatimu itu sama sekali tidak keliru."

   Sian l.un lalu keluar dari kamar sumoinya. Tak lama kemudian munculkah Gin San dan sutenya ini menceritakan tentang jawaban Cin Han. Keduanya tertawa dengan gembira, kemudian mengaso setelah mengambil keputusan untuk merayakan ikatan jodoh sumoi mereka itu pada keesokan harinya!

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali. Ling Ling keluar dari dalam kamarnya. Semalam suntuk dia tidak dapat tidur barang sekejap karena hatinya penuh dengan urusan yang di bicarakan oleh Sian Lun kepadanya semalam. Biarpun dia tidak tidur semalam, namun air sejuk membuat tubuhnya terasa segar, atau mungkin perasaan gembira yang aneh yang membuat tubuhnya senyaman itu rasanya. Dia langsung pergi ke taman ketika dia mendengar bunyi kokok ayam jantan dan kicau banyak burung dari taman itu, yang menambah ke riangan hatinya.

   Akan tetapi ketika dia hendak pergi ke bangku di dekat kolam ikan di tengah taman itu, tiba-tiba dia menghentikan langkah kakinya! Jantungnya berdebar dan mukanya berobah merah sekali. Dia sudah membalikkan kaki dan badan hendak pergi, akan tetapi suara Cin Han memanggilnya.

   "Ling-moi""."

   Kiranya pemuda yang dilihatnya duduk di atas bangku itu telah mendengar dan melihatnya! Ling Ling makin merasa malu, akan tetapi dia memaksa diri membalik dan memandang pemuda itu, lalu bertanya.

   "Kau". sepagi ini sudah di sini? Bagaimana dengan lukamu!"

   Dia merasa malu, bingung dan juga gembira sekali mendengar pemuda itu menyebutnya Ling-moi (dinda Ling), tidak seperti kemarin menyebut nona kemudian menyebut lihiap.

   Cin Han bangkit dan menghampiri dara itu sambil tersenyum "Aku sudah sembuh, berkat pertolonganmu, Lin-moi. Aku semalam tidak tidur sekejap matapun, maka sepagi ini sudah berada di sini, akan tetapi engkau sendiri""

   Pagi benar engkau sudah bangun"".

   "

   "Akupun tidak dapat tidur sama sekali".

   "

   Ling Ling menjawab, tersenyum dan menunduk, tidak berani lama-lama menentang pandang mata pemuda itu.

   Hening sejenak. Keduanya berdiri saling berhadapan. Ling Ling menunduk dan Cin Han memandang wajah yang menunduk itu, jantungnya berdebar tegang. Yang terdengar hanya kicau burung pagi memenuhi taman menyambut cahaya kemerahan sang matahari yang belum menampakkan diri. Taman itu sunyi, tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.

   
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ling-moi""..!"

   Akhirnya suara lembut Cin Han memecah kesunyian. Ling Ling hanya menjawab panggilan itu dengan mengangkat muka dan memandang wajah pemuda itu. Dua pasang sinar mata bertemu "dan melekat.

   "Ling-moi". semalam"

   Semalam Coa-te"

   Bicara denganku dan katanya Tan-te juga membicarakan urusan itu denganmu"".

   "

   Berat bagi Cin Han untuk menyebutkan urusan perjodohan itu dengan terang terangan. Namun Ling Ling tentu saja sudah dapat menangkap artinya dan dia mengangguk, masih tanpa jawaban dengan suaranya, hanya pandang matanya nampak mesra sekali.

   "Lalu"". lalu bagaimana jawabanmu, Ling-moi? Bagaimana pendapatmu tentang..."

   Tentang ikatan jodoh itu?"

   Cin Han mulai semakin berani melihat sikap Ling Ling yang diam itu.

   Dengan sinar mata tajam penuh selidik Ling Ling balas bertanya.

   "Bagaimana denganmu?"

   "Aku? Ah, tentu saja aku setuju sekali, Ling-moi. Aku merasa seperti kejatuhan bintang dan bulan kalau sampai hal itu dapat terlaksana, aku masih hampir tidak percaya kalau hal itu dapat terlaksana, kalau""..kalau kau sudi dan mau menjadi calon

   jodohku".."

   Kedua pipi yang halus itu menjadi merah kembali, sepasang mata yang indah itu berseri dan menjadi agak basah, bibir yang manis itu tersenyum, lalu muka itu menunduk.

   "Aku""

   Akupun...".. telah setuju, Han koko""."

   "Ling-moi""..!"

   Cin Han menahan seruannya dan kedua tangannya memegang tangan Ling Ling. Mereka saling berpegang tangan, dari jari-jari tangan mereka yang semua berjumlah duapuluh itu keluar getaran-getaran kasih sayang yang amat mendalam dan jelas terasa oleh mereka berdua. Jantung dalam dada mereka berdebar keras, jari-jari tangan itu agak gemetar dan keduanya tidak mampu lagi berkata-kata, hanya berdiri saling berpegang tangan, Ling Ling menundukkan mukanya dan Cin Han memandang mesra.

   Entah berapa lamanya mereka saling berpegang tangan seperti itu dan tiba-tiba terdengar suara ketawa disusul munculnya Sian Lun dan Gin San! Ling Ling terkejut dan merasa malu sekali, akan tetapi karena Cin Han menggenggam kedua tangannya, dia tidak tega untuk meronta dan melepaskan diri.

   "Ah, kiranya kalian berdua sudah berada di sini dan agaknya sudah saling bicara!"

   Kata Sian Lun dengan sikap gembira.

   "Aihhh""..ini namanya meninggalkan kami yang menjadi comblang! Harus dihukum dengan tiga cawan arak!"

   Gin San tertawa dan Ling Ling menjadi semakin malu. Cin Han tersenyum dan melepaskan kedua tangan kekasihnya, lalu ia menjura ke arah kedua orang muda itu tanpa kata-kata.

   Sian Lun yang merasa kasihan kepada sumoinya, tidak mau menggoda terus dan berkata.

   "Kita harus merayakan peristiwa ini dan marilah kita bicara di di dalam"

   Mereka berempat lalu memasuki rumah dan Gin San memerintahkan kepada Kwan Liok untuk mempersiapkan hidangan dan arak untuk pesta kecil di antara mereka berempat itu.

   Tak lama kemudian mereka berempat sudah menghadapi hidangan panas dan arak di atas meja. Mereka menyuruh pergi semua anggauta Beng-kauw yang hendak melayani mereka, kemudian setelah mengisi cawan masing-masing dengan arak, Sian Lun berkata.

   "Dalam urusan antara Louw-twako dan sumoi, yang terpenting adalah persetujuan kalian berdua. fihak keluarga atau wali hanya tinggal mengesahkannya saja, Maka, terimalah ucapan selamat kami atas persetujuan kalian berdua untuk saling terikat dalam perjodohan ini!" "Kiong-hi, sumoi dan Louw-twako!"

   Gin San juga mengangkat cawan araknya.

   Biarpun keduanya merasa malu-malu, akan tetapi Ling Ling dan Cin Han terpaksa mengangkat cawan arak mereka dan mereka berempat minum arak dari cawan masing-masing.

   "Sekarang aku hendak bertanya kepadamu Louw-twako. Apakah yang hendak kaulakukan untuk mengesahkan ikatan jodoh ini, mengingat bahwa kedua orang tuamu sudah tidak ada lagi?"

   Sian Lun bertanya dengan suara sungguh sungguh.

   Cin Han menarik napas panjang.

   "Keadaanku sama dengan Ling-moi, bahkan kalau Ling moi masih mempunyai kalian berdua sebagai suheng-suheng yang amat baik, aku hidup sebatangkara di dunia ini. Akan tetapi, ada guruku, seorang hwesio di Kuil Siauw-lim-si, dan aku dapat mohon pertolongan beliau untuk menjadi waliku dan mengajukan pinangan dengan sah. Akan tetapi, kepada siapakah suhu harus mengajukan pinangan atas diri Ling-moi?"

   Sian Lun memandang kepada sumoinya.

   "Sumoi, bagaimana pendapatmu? Kita harus menjawab pertanyaan Louw-twako dan menentukan siapa walimu."

   Ling Ling adalah seorang dara yang gagah perkasa dan tidak pernah mengenal takut Akan tetapi, betapapun juga dia adalah seorang wanita yang pada masa itu terikat ketat oleh peraturan tata susila, maka ditanya tentang perjodohan, dia merasa malu sekali, menunduk dan suaranya hanya terdengar lirih.

   "Aku..."..menyerahkan kepada suheng saja""."

   Sian Lun mengangguk, lalu berkata.

   "Kalau menurut pendapatku, satu-satunya keluargamu sekarang adalah bibi Gan Beng Lian, oleh karena itu biarlah aku yang akan membicarakan dengan keluarga bibi Gan Beng Lian dan sebaiknya suhu dari Louw twako mengajukan pinangan ke sana saja, yaitu keluarga paman Yap Yu Tek di An-kian."

   "Ha-ha ha, suheng. Katakan saja keluargamu juga, karena bukankah paman Yap Yu Tek adalah calon ayah mertuamu?"

   Gin San menggoda.

   "Dan sebaiknya nanti kalau suheng melaksanakan pernikahan, mengundang Louw twako dan suhunya dan saat itu dipergunakan bagi suhu Louw twako untuk mengajukan pinangan. Bukankah itu baik sekali?"

   Biarpun pemuda ini bicara sambil berkelakar, akan tetapi usulnya itu baik sekali dan diterima oleh mereka bertiga dengan girang. Setelah menentukan rencana ini, mereka lalu makan minum dan bercakap-cakap dengan gembira, diseling sendau-gurau. Gin San yang merasa bahagia sekali bahwa sumoinya telah mendapatkan jodoh, demikian pula suhengnya. Dia sendiri diam-diam membayangkan wajah tiga orang wanita, yaitu Liang Hwi Nio yang telah menyerahkan diri kepadanya dengan sukarela, kemudian Yo Giok Hong si janda cantik jelita dan puterinya, Tio Bi Cin dara remaja yang manis itu!

   Pada hari itu juga mereka saling berpisah. Sian Lun bersama Ling Ling menuju ke kota raja, karena Sian Lun hendak pulang dulu melapor sebagai seorang panglima, dan kemudian baru dia akan mengantar sumoinya ke An-kian, ke rumah bibi sumoinya atau rumah keluarga calon isterinya. Gin San tidak ikut ke kota raja, dia hendak melakukan pembangunan kembali Beng-kauw yang menjadi rusak oleh gangguan Ouw Sek, dan juga untuk sementara dia akan berada di Beng-kauw pusat di tepi Telaga Po-yang ini, untuk melindungi Beng-kauw kalau kalau Ouw Sek masih akan melanjutkan gangguannya. Sedangkan Louw Cin Han setelah dengan berat hati berpamit, lalu kembali ke Sin-yang di Ho-peh, untuk menghadap suhunya, yaitu Bi Lam Hwesio, seorang tokoh besar tingkat dua di perguruan Siauw-lim pai di Kuil Siauw-lim-si.

   Beberapa bulan kemudian, di rumah gedung milik Panglima Muda Tan Sian Lun diadakan pesta yang meriah, yang dikunjungi oleh banyak tamu dari bermacam tingkat, ada para panglima kota raja yang berpakaian gemerlapan, banyak pula tokoh-tokoh kang-ouw yang berkedudukan tinggi, dan suasana amatlah gembira karena pada hari itu Panglima Muda Tan Sian Lun telah melangsungkan pernikahannya dengan Yap Wan Cu, puteri tunggal dari suami isteri pendekar Yap Yu Tek dan Gan Beng Lian di An-kian.

   Sepasang mempelai melakukan upacara sembahyang dan semua tamu menonton dengan wajah berseri gembira. Yang menarik perhatian, kecuali sepasang mempelai, adalah seorang wanita muda cantik jelita yang melayani kedua orang mempelai itu dengan penuh keramahan dan perhatian, juga dari sepasang mata yang indah itu tersinar kasih sayang yang amat mesra.

   Wanita cantik ini bukan lain adalah Ci Siang Bwee, selir terkasih dari Sian Lun! Wajahnya berseri-seri, dan hatinya luar biasa girang dan bangganya melihat wajah kekasihnya yang demikian tampan berseri, bersanding dengan mempelai wanita yang demikian cantik! Dia merasa bangga, bersyukur dan bergembira mejihat waiah kekasihnya nampak demikian bahagia. Dengan penuh perhatian dia melayani mereka, bahkan kadang-kadang membantu sendiri para dayang untuk mengipaskan kipasnya yang harum kepada kedua mempelai agar mereka tidak terlalu gerah. Siang Bwee melayani sepasang mempelai sampai semua tamu bubaran, kemudian dia sendiri yang mengantar mempelai menuju ke kamar pengantin.

   Setibanya di pintu kamar itu, sebelum menutupkan kamar pengantin, Sian Lun menoleh dan beberapa detik lamanya dua pasang mata, yaitu mata Sian Lun dan Siang Bwee bertemu dan melekat. Siang Bwee tersenyum dan menjura dengan hormat, kemudian membantu menutupkan daun pintu itu sehingga bayangan kekasihnya dan pengantin wanita lenyap dari pandang matanya. Dia menarik napas panjang, kemudian membalikkan tubuh untuk pergi ke kamarnya sendiri, di jalan dia menggunakan saputangan menghapus dua tetes air mata yang turun ke atas kedua pipinya. Bukan air mata kesedihan, bukan air mata cemburu.

   Tidak! Cintanya terhadap Sian Lun sama sekali tidak mengundung cemburu. Dia hanya ingin melihat kekasihnya itu berbahagia! Dan dia terharu dan juga gembira menyaksikan kekasihnya menjadi pengantin. Itulah yang mendorong keluar dua tetes air mata tadi! Dia tidak cemburu karena dia tahu bahwa Sian Lun mencintanya! Dan sudah sepatutnya kalau kekasihnya itu menjadi suami seorang dara yang demikian cantik dan gagah seperti Yap Wan Cu, seorang gadis keturunan baik-baik puteri tunggal suami isteri pendekar dan cucu seorang bupati yang terkenal sebagai pembesar yang budiman dan adil. Sedangkan dia, dia hanya keturunan biasa, dan dia hanyalah seorang bekas dayang pembesar pengkhianat Thio-taikam, kemudian dijadikan dayang istana, dan akhirnya diserahkan kepada Tan Sian Lun sebagai selirnya.

   Dia hanya seorang selir, akan tetapi dia mempunyai cinta kasih yang amat mendalam terhadap Tan Sian Lun! Dan dia tahu, pria itupun amat mencintanya! Siang Bwee memasuki kamarnya, tanpa melepaskan pakaian indah yang dipakai dalam pesta itu, dia menjatuhkan diri di atas pembaringannya, memejamkan mata dan membayangkan semua kemesraan yang telah dialaminya bersama kekasihnya itu. Diam-diam dia tersenyum dan merasa berbahagia sekali. Dialah wanita pertama dalam hidup Sian Lun, seperti juga Sian Lun adalah pria pertama dalam hatinya, sungguhpun tubuhnya telah diberikanja secara terpaksa kepada An Hun Kiong. Dengan jari tangan gemetar Siang Bwee meraba-raba dan mengelus perutnya, bibirnya bergerak-gerak seolah-olah dia berdoa, dan memang sesungguhnyalah dia berdoa kepada Kwan Im Pouwsat, dewi yang selalu dipujanya.

   Sementara itu, di antara para tamu, terdapat Louw Cin Han bersama suhunya, yaitu Bi Lam Hwesio, tokoh Siauw-lim-pai dari Sin-yang itu. Setelah selesai menghadiri perayaan pernikahan Sian Lun dan Wan Cu, Cin Han bersama suhunya lalu pergi mengunjungi keluarga Yap Yu Tek di An-kian.

   Kedatangan mereka disambut dengan gembira oleh keluarga ini, yang sebelumnya telah mendengar berita tentang ikatan jodoh itu dari Sian Lun. Ling Ling yang tinggal di rumah bibinya, juga menyambut dengan muka merah akan tetapi dia lalu lari ke dalam karena tidak dapat menahan rasa malu di hatinya, perasaan malu yang bercampur bahagia. Karena memang sudah diketahui dan disetujui sebelumnya, maka pinangan yang diajukan oleh Bi Lam Hwesio untuk muridnya, meminang Ling Ling, diterima dengan baik oleh Yap Yu Tek dan isterinya. Bulan dan hari baikpun dipilihlah oleh kedua fihak, dan resmilah pertunangan mereka.

   Tak lama kemudian, kembali di rumah keluarga Yap ini diadakan perayaan pernikahan, yaitu pernikahan dari Ling Ling dengan Cin Han. Dan tentu saja dalam kesempatan ini, Sian Lun bersama isterinya, dan Gin San hadir dan menjadi orang-orang pertama yang menerima penghormatan sepasang mempelai sebagai suheng-suheng dari mempelai puteri, juga menjadi orang-orang pertama yang memberi selamat kepada mempelai. Bahkan sepasang mempelai mengajak Sian Lun, Wan Cu, dan Gin San untuk makan semeja, di mana mereka ber senda-gurau dengan bebas.

   "Ha-ha, tinggal sute sekarang yang masih membujang.! Hayo, sute, kapan nih kami akan menerima undanganmu?"

   Sian Lun yang mukanya merah karena agak banyak minum arak itu menegur.

   "Benar, kapan ji-suheng memilih jodohnya? Sebetulnya aku harus minta maaf sebanyaknya telah melanggar ji-suheng,!"

   Kata pula Ling Ling yang telah timbul kembali kejenakaannya setelah hawa arak membuat rasa jengah dan malunya berkurang.

   "Ha-ha, memang sumoi harus minta ampun dan menurut patut paikwi (berlutut) kepadaku!"

   Gin San berkata sambil tertawa.

   "Kau kira aku takut paikwi untuk minta maaf? Aku takut kualat"

   Dan Ling Ling benar-benar hendak paikwi sehingga Gin San menjadi repot mencegahnya.

   Cin Han yang tersenyum melihat semua ini lalu berkata.

   "Biarlah aku mewakili isteriku untuk dihukum!"

   "Ha-ha, inilah suami yang setia dan mencintai"

   Gin San tertawa.

   "Memang aku ingin mendenda sumoi yang melanggarku, mendahuluiku dalam pernikahan dengan minum tiga cawan arak!"

   "Biarlah aku.yang mewakilinya!"

   Cin Han berkata dan dia lalu minum tiga cawan arak, diikuti oleh suara ketawa mereka. Suasana menjadi makin meriah, akan tetapi Sian Lun mendesak lagi.

   "Hayo katakan, sute, kapan kiranya kau memperkenalkan calonmu? Apakah engkau ingin membujang selama hidup?"

   "Jaga saja tanggal mainnya, suheng!"

   Gin San tertawa.

   "Terlalu banyak calonku sehingga aku sendiri bingung memilih, yang mana yang paling baik!"

   Kembali mereka tertawa, dan malam itu dilewati dalam suasana gembira dan berbahagia, terutama sekali oleh sepasang mempelai setelah mereka akhirnya dapat memasuki kamar pengantin berdua saja. Kebahagiaan yang tak dapat diceritakan di sini, yang tak dapat dituturkan dengan kata-kata dan hanya mungkin dapat dirasakan oleh mereka yang pernah mengalami menjadi sepasang pengantin di malam pertama itu saja.

   Sementara itu, kelakar yang terjadi di meja makan ketika Ling Ling menjadi pengantin itu mendatangkan kesan mendalam di hati Gin San. Dia mulai berpikir-pikir tentang dirinya sendiri. Betapa kehidupan ini berobah-robah, sama sekali tidak seperti yang dikehendakinya semula! Dahulu, di waktu dia masih kecil, ketika dia menggembala kerbau bersama Sian Lun, dia sering kali mimpi indah berenang dalam lautan kemewahan, memiliki kedudukan tinggi di kota raja. Akan tetapi ternyata sekarang yang menjadi panglima adalah Sian Lun, yang dulu sama sekali tidak pernah mimpi seperti itu, bahkan sebaliknya bercita cita menjadi seorang pendekar.

   Memang, mereka bertiga, dia, Sian Lun, dan Ling Ling telah bertindak sebagai pendekar-pendekar yang menentang kejahatan dan pemberontakan. Akan tetapi kini dia malah menjadi seorang tokoh perkumpulan Agama Beng kauw. Sedangkan sumoinya dan suhengnya telah berumah tangga, Sian Lun tinggal di kota raja bersama isterinya, sedangkan Ling Ling ikut bersama suaminya ke selatan, tinggal di kota Sin-yang di Hu peh. Dan dia sendiri? Apakah dia akan terus menjadi tokoh Beng-kauw, dan setelah menjadi tokoh perkumpulan agama ini lalu hidupnya membujang terus seperti seorang pendeta atau pertapa? Ah, tidak mungkin dia sanggup hidup seperti itu. Dia mendambakan kasih sayang wanita, bahkan kadang-kadang dia merasa hampir tidak kuat lagi mengekang nafsu berahinya kalau dia teringat akan pengalaman pengalamannya bersama Bu Siauw Kim, kemudian bersama Liang Hwi Nio!

   Hwi Nio telah menyerahkan diri kepadanya, menyerahkan kehormatanya sebagai seorang perawan. Apakah dia harus mengawini Hwi Nio? Ah, gadis Im-yang-kauw itu menganggap pernikahan sebagai hal yang sia-sia belaka, meremehkan pernikahan sehingga kalau menjadi isterinya, siapa tahu kelak tidak menghormati ikatan perjodohan mereka. Juga Hwi Nio tidak menuntut kepadanya agar mereka menjadi suami isteri. Lalu dia teringat kepada Tio Bi Cin. Dara yang manis itu, dengan sepasang matanya yang seperti sepasang bintang kejora!

   Teringat akan Bi Cin, Gin San mengeluarkan robekan pita rambut dara yang pernah diambilnya sebagai tanda mata itu, dan diciumnya pita rambut itu sambil tersenyum. Benar! Dara itulah pilihannya! Akan tetapi ibunya? Bukankah Yo Giok Hong, ibu Bi Cin, janda muda yang masih cantik jelita itu juga jatuh cinta kepadanya? Dia mengeluarkan cincin emas pemberian Giok Hong, dan dia tersenyum.

   "Perduli apa dengan ibunya! Kalau dia mencintaku, dan mencinta puterinya, dia harus menyetujui pernikahanku dengan Bi Cin!"

   Setelah mengambil keputusan ini, berangkatlah Gin San menuju ke tempat tinggal ibu dan anak itu, yaitu di lereng pegunungan kecil di dekat Cin an.

   Ketika tiba di tempat itu, Gin San melihat ibu dan anak yang cantik dan manis itu sedang menjemur akar-akar obat. Mereka memang mengumpulkan obat obat untuk dijemur dan dijual ke kota, dan dengan pengetahuan mereka tentang obat obatan, perusahaan ini cukup mendatangkan hasil yang baik. Melihat kedua orang itu, Gin San kagum karena mereka masih sama saja seperti ketika dia tinggalkan dahulu, bahkan janda itu tidak nampak makin tua, dan puterinya malah kini makin manis, bagaikan bunga sedang mekarnya, tubuhnya makin padat dan hilang sifat kekanak kanakannya. Ibu dan anak itu agaknya mendengar kedatangan Gin San, mereka menoleh dan Bi Cin melemparkan keranjang yang dipegangnya sehingga akar-akar obat itu berhamburan.

   "San-ko""! Ah, San ko"""

   Akhirnya kau datang juga"".!"

   Bi Cin berteriak, berlari-larian dan langsung menubruk dan merangkul Gin San, menangis mengguguk di atas dada pemuda itu yang juga merangkulnya.

   "Gin San"".!"

   Yo Giok Hong juga berseru akan tetapi mukanya menjadi pucat dan matanya terbelalak melihat betapa puterinya merangkul Gin San sambil menangis.

   "Apa"".! apa artinya ini"".? Bi Cin, sungguh tak tahu malu engkau! Lepaskan dia, engkau bukan anak-anak lagi "

   Akan tetapi Bi Cin yang teringat betapa pria yang dicintanya ini pernah juga bermain gila dengan ibunya, mendekap makin ketat dan juga Gin San tidak melepaskan rangkulannya karena kini dia merasa yakin akan pilihannya, bahwa dara ini memang mencintanya.

   Dengan kedua tangan masih merangkul Gin San, Bi Cin menoleh dan berkata kepada ibunya.

   "Ibu, aku cinta kepada San-ko, kami berdua saling mencinta!"

   Mendengar pengakuan puterinya ini. Giok Hong menjadi kaget bukan main. Sepasang matanya terbelalak dan sejenak hidungnya yang berbentuk mancung indah itu berkembang-kempis, tanda bahwa hatinya dilanda kemarahan. Lalu dia memandang kepada Gin San, dan bertanya dengan suara lantang,

   "Gin San, apa artinya ini??"

   "Ucapan Cin-moi benar, bibi, kami saling mencinta dan kedatanganku ini adalah untuk meminangnya""".

   "

   "San-ko""!!"

   Bi Cin setengah menjerit saking girangnya dan pelukannya menjadi semakin ketat. Seketika wajah janda itu menjadi pucat, sepasang matanya terbelalak menatap wajah Gin San dan terdapat sinar mata kemarahan yang hebat dari kedua matanya.

   "Akan tetapi"".

   " "Bibi,"

   Gin San memotong cepat.

   "Dahulu bibi mengatakan bahwa bibi sayang, kepadaku karena aku adalah murid mendiang suhu Gan Beng Han, dan kalau bibi sayang kepada puteri tunggal bibi, seperti yang kupercaya. tentu bibi tidak akan menghalangi kami berdua yang saling mencinta untuk berjodoh menjadi suami isteri."

   Bi Cin melepaskan rangkulannya dari leher Gin San, lalu dia berlari menghampiri ibunya, menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ibunya sambil sesenggukan berkata.

   "Ibu"". ibu...". luluskanlah permintaan ini"".."

   Sejenak Yo Giok Hong bingung, terjadi perang dalam batinnya antara cinta berahinya terhadap pemuda yang diharapkan menjadi pengganti kekasihnya itu, dan sayangnya terhadap puterinya. Akhirnya dia mengangguk, mengusap dua butir air matanya dan mengelus kepala puterinya, kemudian mengangkat muka memandang Gin San dan berkata.

   "Baiklah, mari kita masuk dan membicarakan soal itu."

   Dengan girang Bi Cin dan Gin San mengikuti janda itu memasuki rumah, dan Bi Cin dengan sikap manja menggandeng tangan Gin San yang merangkul pinggangnya yang kecil ramping itu. Setibanya di dalam, Giok Hong lalu duduk dan minta kepada Gin San untuk duduk di atas kursi di depannya, terhalang meja.

   "Bi Cin, kau masaklah air dan buatkan minuman untuk Gin San, biarkan aku bicara dengan dia,"

   Perintah Giok Hong.

   Bi Cin memandang wajah kekasihnya dengan mesra.

   "San-ko, aku pergi ke dapur dulu ya?"

   Gin San tersenyum dan mengangguk sambil mengedipkan mata. Dara itu lari ke dapur sambil tersenyum gembira. Sudah berbulan-bulan lamanya dia merindukan kekasihnya itu, dan sekarang Gin San datang lalu langsung mengajukan pinangan. Hati siapa takkan merasa gembira? Sambil bersenandung kecil dia mempersiapkan air teh untuk disuguhkan kepada kekasihnya itu sementara kekasihnya bicara dengan ibunya tentang pelaksanaan perjodohannya dengan pendekar itu! Sementara itu, setelah puterinya pergi, Giok Hong memandang Gin San dengan sinar mata tajam, lalu dia bertanya.

   "Coa Gin San! Benarkah engkau datang untuk meminang puteriku?"

   Gin San mengangguk.

   "Kami saling mencinta, semenjak dahulu aku berada di sini."

   "Tapi"""

   Tapi"""

   Bagaimana dengan aku""..? Gin San, apakah engkau akan melupakan aku begitu saja?"

   Pertanyaan ini keluar dengan suara lirih dan pilu, sepasang matanya ditujukan kepada wajah pemuda itu dengan memelas, penuh permohonan.

   Gin San menarik napas panjang, mengerling ke arah pintu yang menembus ke dalam kemudian berkata lirih.

   "Bibi Giok Hong. aku tidak akan melupakanmu, tidak akan melupakan segala kebaikanmu. Apa lagi, sekarang engkau telah menjadi calon ibu mertuaku, bibi""

   Giok Hong memejamkan mata, seolah-olah sebutan ibu mertua itu menusuk perasaannya.

   "Benarkah engkau tidak akan melupakan aku? Engkau mau menerima cintaku?"

   Dengan berani janda ini yang haus akan kasih sayang pria bertanya. Tentu saja Gin San terkejut bukan main.

   "Ini"". ini""."

   Katanya gagap karena dia tidak mengerti bagaimana harus menjawab. Mana pantas dia harus menerima cinta ibu mertuanya?

   "Dengar baik-baik Gin San. engkau mengajukan pinangan terhadap puteri tunggalku dan aku akan menerimamu dengan satu syarat yaitu bahwa engkau akan mau menerima cintaku. Ingat, sebelum engkau jatuh cinta kepada puteriku, lebih dulu kita telah saling tertarik, engkau tidak akan mampu menyangkal hal ini. Aku masih menyimpan potongan rantai perak darimu""

   Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dan".. dan cincinku itu".!

   Wanita itu menunjuk ke arah jari-jari tangan Gin San.

   "Kenapa engkau membuangnya?"

   "Tidak kubuang, ada kusimpan di sini""."

   Cepat Gin San menjawab dan mengeluarkan cincin yang diberi tali dan digantungkan di lehernya itu. Wajah Giok Hong yang masih cantik itu berseri dan bibirnya tersenyum.

   "Bagaimana, kau menerima syaratku itu?"

   Terpaksa Gin San mengangguk. Syarat itu baginya tidaklah berat, sama sekali tidak, bahkan terlalu ringan, terlalu mudah dan enak baginya!

   "Baiklah, bibi. Aku menerima syarat itu."

   Giranglah hati Giok Hong dan dia lalu menentukan bulan dan tanggal hari pernikahan antara Bi Cin dan Gin San. Ketika Bi Cin keluar membawa air teh dan hidangan, dia melihat betapa wajah ibunya berseri-seri, dan bahkan dengan gembira ibunya menyambutnya dengan rangkulan.

   "Anakku, dia telah meminangmu dan ibumu telah menerimanya. Mulai saat ini engkau adalah tunangan Coa Gin San dan kami telah menentukan bulan dan tanggal hari pernikahanmu!"

   Bi Cin merasa girang sekali, memandang kepada Gin San dengan mata bersinar-sinar akan tetapi diapun tidak dapat menahan rasa malunya dan menundukkan muka sambil tersenyum simpul! Karena Gin San merupakan tokoh besar Beng-kauw, maka pernikahannya dirayakan secara meriah oleh Beng-kauw, dan sejumlah besar tokoh-tokoh dari kalangan bu-lim (rimba persilatan) hadir dalam pesta itu. Tentu saja tidak ketinggalan Sian Lun berdua isterinya, juga Louw Cin Han dan Ling Ling datang menghadiri perayaan pernikahan itu!. Sian Lun dan Ling Ling memberi selamat dan memuji kecantikan pengantin wanita pilihan Gin San, menggoda sute dan suheng ini sehingga suasana menjadi gembira sekali.

   Berkat sepak terjang tiga orang muda ini ketika mereka membantu pemerintah mengusir penjajah dan pemberontak, maka nama tiga orang muda ini menjadi terkenal sekali di dunia persilatan dan mereka dijuluki Tiga Naga Sakti, julukan yang pernah dimiliki pula oleh orang tua dan guru mereka, yaitu mendiang Gan Beng Han, Kui Eng, dan Tan Bun Hong. Akan tetapi dibandingkan dengan tingkat kepandaian orang-orang tua itu tentu saja tiga orang muda ini menang jauh! Maka seluruh dunia kang-ouw menghormati mereka, apa lagi setelah seorang di antara mereka, yaitu Gan Ai Ling. menjadi mantu dari tokoh Siauw-lim-pai, atau lebih tepat lagi, menjadi isteri murid tokoh Siauw-lim-pai.

   Tidak perlu diceritakan secara terperinci kegembiraan yang terdapat dalam pesta pernikahan tokoh Beng-kauw yang amat terkenal itu, dan setelah semua tamu berpamit dan di antar ucapan terima kasih oleh sepasang mempelai, akhirnya Gin San tinggal berdua saja dengan pengantin wanita. Mereka diantar memasuki kamar pengantin yang dirias indah dan berbau harum dupa pengantin, dan akhirnya mereka hanya berdua saja di kamar itu. Sempurnalah kebahagiaan sepasang mempelai itu di malam yang dingin dan sunyi itu, di mana, mereka berdua saling menumpahkan rasa cinta mereka tanpa ada yang mengganggu. Sampai jauh lewat tengah malam kamar itu benar-benar sunyi karena Bi Cin telah tidur nyenyak dalam pelukan suaminya.

   Akan tetapi, pendengaran telinga Gin San yang amat peka dan tajam berkat ilmunya yang tinggi, dapat menangkap ketukan perlahan pada daun jendela kamar itu. Dia merasa curiga sekali. Terbayanglah ancaman bahaya. Bukankah di dunia ini masih ada Ouw Sek, musuh besarnya, dan orang-orang jahat berilmu tinggi seperti Lam-ong? Dengan hati-hati karena tidak ingin mengagetkan isterinya yang tidur pulas dengan senyum kelegaan di bibirnya, Gin San menarik lengannya yang tertindih leher isterinya, kemudian cepat dia mengenakan pakaiannya lalu mengenakan sepatu dan meloncat turun dari pembaringan tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Bagaikan seekor kucing dia berindap-indap menghampiri jendela. Kembali jendela itu diketuk perlahan dari luar, tiga kali.

   

Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini