Ceritasilat Novel Online

Bayangan Bidadari 1


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 1




   Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 01

   "Tolooong...! Tolooong...!!"

   "Tolonglah... rumahku terbakar...!!"

   "Ho-han (orang gagah), ampunkanlah kami... jangan bunuh kami. Ambil semua harta benda kami, akan tetapi ampunkan dan jangan bunuh kami..."

   Ratapan dan jerit tangis memilukan terdengar di dusun Tiang-On pada tengah malam itu, jerit tangis yang disusul oleh bentakan-bentakan marah dan ganas dari orang-orang yang mendatangkan keributan itu, disusul pula oleh berkelebatnya golok dan pedang yang tanpa kasihan membacoki leher orang-orang yang minta tolong itu. Disusul pula oleh nyala api yang sebentar saja menjalar ke sana sini, memakan habis semua gedung berikut isinya. Juga para penghuninya, mati atau hidup, banyak yang menjadi korban api mengganas. Anehnya, serbuan orang-orang yang ratusan banyaknya itu, api yang memakan rumah-rumah gedung-gedung, hanya ditujukan kepada para hartawan dan bangsawan, tidak memilih bulu. Rumah penduduk yang miskin sama sekali tidak diganggu, bahkan para penyerbu yang menyebar malapetaka kepada hartawan dan bangsawan itu berteriak-teriak ganas,

   "Saudara-saudara petani miskin, kaum tertindas, mari bangkit dan membalas dendam kepada mereka yang memeras keringat dan darah saudara-saudara!"

   Oleh seruan ini, tidak sedikit penduduk Tiang-On yang merasa menjadi orang miskin dan memang hidupnya sehari-hari digencet dan diperkuda oleh para hartawan dan bangsawan serentak keluar dari rumah dan membantu, terutama sekali untuk mempergunakan kesempatan itu mencari keuntungan, merampok! Kemudian mereka ini mendapat kenyataan bahwa diantara para penyerbu itu terdapat belasan orang petani di dusun itu yang jelas menjadi anggauta penyerbu. Memang serbuan itu telah direncanakan lebih dulu. Para penyerbu terdiri dari pasukan rakyat yang menamakan dirinya Kai-Sin-Tin (Pasukan sakti para pengemis).

   Sebetulnya mereka ini bukan seluruhnya terdiri dari para pengemis, melainkan rakyat dusun-dusun yang memberontak karena merasa hidupnya amat tertekan dan tertindas, baik oleh kemiskinan maupun oleh penghisapan para tuan tanah dan para pembesar yang korup. Mereka menyebut pasukan jembel karena keadaan hidup mereka memang tiada bedanya dengan para jembel. Kalau para jembel atau pengemis minta makanan berdasarkan dermaan siapa saja yang menaruh hati kasihan, mereka lebih-lebih lagi, selalu harus mengharapkan uluran tangan atau "Pertolongan"

   Dari para tuan tanah. Akan tetapi pertolongan macam apa! Mereka harus bekerja, membanting tulang melebihi kerbau atau kuda, dan semua hasil cucuran darah dan peluh mereka mengalir ke dalam kantong para tuan tanah,

   Sedangkan untuk mereka sendiri agar dapat makan setiap hari saja harus mengemis-ngemis dan membongkok-bongkok terhadap para tuan-tanah itu. Inilah sebabnya maka di mana-mana timbul pemberontakan rakyat kecil yang kelaparan, dipimpin dan dikepalai oleh orang-orang gagah yang berjiwa patriotis. Akan tetapi, sebagaimana halnya segala sesuatu yang terjadi dunia ini, sifat-sifat yang baik selalu memancing datang sifat-sifat yang bertentangan. Memang banyak sekali diantara para pemberontak itu yang betul-betul memperjuangkan nasib, demi kebaikan tingkat hidup kaumnya, yakni rakyat kecil, rakyat tani dan pekerja. Namun, tidak jarang diantara para "Pejuang"

   Ini menyelundup orang-orang yang memang pada dasarnya buruk watak. Tidak kurang banyaknya para perampok dan manusia-manusia yang sudah bejat moralnya,

   Menggabungkan diri, berkedok semboyan "Perjuangan Suci"

   Dan dalam kesempatan itu mereka memuaskan nafsunya yang jahat, merampok, membunuh, memperkosa dan lain perbutan jahat lagi yang semata-mata mereka lakukan atas dorongan nafsu. Tengah malam itu, dusun Tiang-On menjadi korban. Semua rumah gedung dimakan api, orang-orang yang terbunuh mati tak terhitung banyaknya. Mula-mula memang para bangsawan dan hartawan itu mengadakan perlawanan, tentu saja anak-buah dan kaki tangan mereka yang maju menghalang serbuan pasukan Kai-Sin-Tin. Akan tetapi karena jumlah para penyerbu banyak sekali, terutama dikepalai oleh seorang pemuda yang gagah perkasa, sebentar saja mereka itu dibabat roboh dan sebagian besar melarikan diri, samasekali tidak mau memperdulikan lagi nasib para majikan mereka.

   Beberapa orang hartawan dan bangsawan mencoba untuk melarikan diri dari pintu belakang, namun mereka disambut dengan babatan golok dan pedang. Mayat bergelimpangan, darah mengalir, tidak saja di depan dan belakang rumah atau di dalam gedung, akan tetapi juga di jalan-jalan. Hiruk pikuk, sorak-sorai para penyerbu, jerit tangis keluarga yang menjadi korban, suara ketawa menghina dan mengejek dari para anggauta penyerbu yang sudah keranjingan, bercampur aduk menjadi satu, mengotorkan hawa malam yang sejuk dan bulan yang tadinya mengintai di balik awan cepat-cepat menyembunyikan diri di belakang awan hitam. Agaknya ngeri menyaksikan tingkah manusia yang saling menyembelih, dilakukan oleh manusia pada manusia, disebabkan oleh keserakahan manusia pula. Angin bersilir lembut pada daun-daun pohon se-akan-akan berbisik,

   "Manusia, mahluk yang terpilih, terpandai, berakal budi, akan tetapi... manusia pula mahluk yang paling bodoh dan jahat! Kalau saja para bangsawan dan pembesar tidak serakah dan korup, kalau saja para jembel tidak mudah dikuasai oleh nafsu, kalau saja... ya kalau saja manusia tidak diciptakan sama sekali, takkan terjadi hal-hal yang mengerikan ini..."

   Pembunuhan dan pembakaran berlangsung terus. Biarpun sebelum menyerbu, para anak buah dipesan keras oleh pemimpin mereka bahwa mereka tidak boleh sekali-kali mengganggu wanita dengan perbuatan rendah, akan tetapi boleh membunuh para anggauta keluarga wanita itu, namun diantara para penyerbu yang bermoral bejat ada yang diam-diam menculik para wanita dan membawa lari mereka!

   "Para pelayan boleh lari, tidak akan kami ganggu kalian asal saja tidak membantu para majikan!"

   Seru pemimpin penyerbu dan suaranya terdengar lantang, mengatasi semua suara hiruk pikuk itu. Ini membuktikan bahwa pemimpin itu memang berilmu tinggi dan suaranya itu dikerahkan melalui tenaga lweekang yang sudah tinggi tingkatnya. Mendengar ini, para pelayan otomatis meninggalkan majikan mereka. Mereka tentu saja lebih sayang kepada nyawa sendiri. Namun, tidak kurang diantara mereka yang diam-diam melarikan diri sambil menyambar barang-barang berharga!

   Di ujung sebelah timur dari dusun itu, tinggal keluarga Kwee-Wangwe (hartawan Kwee) di dalam rumah gedungnya yang besar. Kwee-Wangwe juga seorang tuan tanah yang kaya raya, kekayaan yang ia dapat dari warisan orangtuanya yang sudah enam keturunan lebih tinggal di tempat itu. Tidak ada lagi orang yang dapat menerangkan bagaimana caranya nenek moyang Kwee ini mengumpulkan harta bendanya, entah dengan jalan halal dan memeras keringat atau berniaga, ataukah dengan jalan haram, mencekik para buruh tani. Akan tetapi yang sudah jelas, dan hal ini diakui dan diketahui pula oleh seluruh penghuni dusun Tiang-On, adalah bahwa Kwee Seng adalah seorang hartawan yang murah hati. Dialah orang satu-satunya di dalam dusun itu yang menjamin kehidupan semua buruh taninya, tangannya terlepas dan selalu ia siap sedia menolong mereka yang kekurangan atau yang menghadapi kesusahan.

   Terutama sekali Kwee-Hujin (Nyonya Kwee), seorang wanita yang usianya baru dua puluh lima tahun, Cantik jelita seperti bidadari, halus lembut tutur sapa dan gerak-geriknya, murah senyumnya dan murah pula hatinya. Tidak ada orang di seluruh dusun yang tidak menaruh hormat dan sayang kepada Nyonya Kwee. Dengan adanya hartawan Kwee di dusun itu, maka dusun Tiang-On terkenal sebagai dusun yang tak pernah dilanda bahaya kelaparan, dalam arti kata bahwa belum pernah di dusun itu ada orang yang mati kelaparan. Di waktu musim kering, keluarga Kwee tidak segan-segan menguras seluruh gudang gandumnya untuk diberikan secara cuma-cuma kepada mereka yang sudah tidak mempunyai bahan makanan lagi. Kwee Seng dan isterinya sudah menikah enam tahun lamanya dan mereka hanya mempunyai seorang puteri yang diberi nama Kwee In Hong.

   Nyonya Kwee cantik jelita seperti bidadari, Kwee Seng sendiripun berwajah tampan, maka tidak mengherankan apabila Kwee In Hong seorang anak perempuan yang mungil manis, dan lucu. Semua pelayan di dalam rumah itu, terutama sekali Can Ma inang pengasuh Kwee In Hong semenjak terlahir, amat sayang kepada anak ini. Can Ma seorang janda tua yang hidup sebatangkara, maka terhadap In Hong kesayangannya sama dengan kesayangan seorang Ibu kepada anaknya, atau kesayangan seorang nenek kepada cu-cunya. Ketika terjadi penyerbuan, Kwee Seng dan keluarganya juga menjadi panik. Tidak seperti hartawan-hartawan yang lain, Kwee Seng tidak mempunyai tukang-tukang pukul, hanya mempunyai pelayan-pelayan laki-laki perempuan yang mengurus rumah tangganya.

   Para penyerbu masuk ke dalam kampung dari sebelah barat, maka biarpun banyak rumah sudah menjadi lautan api, rumah gedung Kwee Seng masih belum mendapat giliran. Ini ada sebabnya, yaitu karena belasan orang penduduk yang menjadi anggauta barisan penyerbu, masih merasa malu dan sungkan untuk cepat-cepat menyerbu rumah hartawan Kwee. Tak seorangpun diantara mereka ini yang belum pernah menerima pertolongan Kwee Seng, maka mereka tidak ada hati untuk menjadi penunjuk jalan, dan membiarkan saja sampai para penyerbu dari luar dusun itu sendiri yang mendapatkan rumah gedung Kwee-Wangwe. Di dalam rumah gedung Kwee Seng terjadi keributan hebat. Hartawan ini memberi perintah kepada semua pelayan untuk segera melarikan diri, tak usah menjaga rumah.

   "Kita harus melarikan diri, mencari jalan masing-masing agar dengan berpencaran lebih mudah melarikan diri. Biarkan saja, rumah dan harta habis tidak apa asal kita dapat menyelamatkan diri,"

   Kata Kwee Seng. Tiba-tiba Can Ma sambil menangis, dengan muka pucat berkata,

   "Kwee-Wangwe, harap cepat melarikan diri bersama Hujin. Nona In Hong biar hamba bawa lari, jangan ikut dengan Wangwe dan Hujin."

   Isteri Kwee Seng mengulurkan tangan hendak merampas In Hong dari gendongan Can Ma, sambil berkata,

   "Can Ma, kau bagaimanakah? Anakku akan pergi kemana juga orang tuanya lari. Tak mungkin dia harus berpisah dari kami. Kesinikan, biar aku gendong sendiri dia!"

   Akan tetapi, Can Ma mundur dan mendekap tubuh In Hong yang menjadi kebingungan,

   "Tidak, Hujin. Ingatlah, mereka itu datang dengan nafsu iblis, dan mereka bermaksud membasmi semua orang hartawan dan bangsawan. Sedikit sekali harapan bagi para hartawan dan bangsawan di dusun ini untuk lari. Kalau terjadi demikian..."

   Can Ma menangis keras.

   "Kalau terjadi demikian... biarlah anak ini selamat bersama hamba... Mereka takkan mengganggu hamba, seorang tua miskin dan lemah, dan nona In Hong... biarlah dia menjadi cucuku, cucu seorang nenek miskin..."

   Kwee-Hujin hendak membantah dan kini iapun sudah mencucurkan airmata, akan tetapi Kwee Seng yang cerdik sudah maklum akan maksud Can Ma. Tidak ada jalan lain, pikirnya, kalau seorang diantara kita bertiga harus selamat, maka orang itu haruslah In Hong!

   "Hayo kita pergi, biar kita titipkan In Hong untuk sementara waktu kepada Can Ma. Dengan Can Ma keselamatannya lebih terjamin!"

   Sambil berkata demikian, Kwee Seng menarik tangan isterinya, diajak lari.

   "Terima kasih, Wangwe. Hamba akan menjagai anak ini dengan taruhan nyawa!"

   Can Ma berseru dan nenek inipun lari cepat keluar dari rumah gedung itu, sedangkan Kwee Seng bersama isterinya lari ke arah kandang kuda.

   "In Hong... anakku...!"

   Nyonya Kwee menjerit, akan tetapi suaminya cepat menariknya sehingga ia terpaksa ikut berlari. Pada saat itu, suara sorak-sorai menggegap gempita dari para penyerbu sudah mendekat. Mereka dari barat menuju ke timur dan seorang diantara mereka sudah tahu bahwa di ujung timur terdapat rumah gedung Kwee-Wangwe.

   "Mari cepat, kau tunggang kuda yang ini!"

   Kwee Seng berkata dengan gugup. Isterinya memang sudah biasa naik kuda karena ketika masih belum menikah, isterinya ini mempunyai kesukaan menunggang kuda milik Ayahnya yang menjadi pedagang kuda yang kaya raya pula. Kwee-Hujin dengan cekatan naik ke atas punggung kuda dan sebentar kemudian sepasang suami-isteri ini melarikan kuda masing-masing menuju ke timur. Suara derap kaki kuda mereka bergema di malam gelap.

   "Mereka lari...! Kejar dan bunuh hartawan jahanam itu...!"

   Teriak para penyerbu ketika mereka dari jauh melihat dua bayangan menunggang kuda melarikan diri. Akan tetapi, para penyerbu itu datang dengan jalan kaki, dan biarpun di dusun itu banyak kuda yang mereka rampas, namun dalam kesibukan itu, siapakah yang ingat untuk mempersiapkan kuda rampasan untuk mengejar orang? Tiba-tiba diantara mereka berkelebat bayangan yang bukan lain adalah pemuda gagah yang menjadi pemimpin mereka.

   "Habiskan mereka. Kumpulkan kuda dan jangan lawan kalau ada barisan penjaga datang. Bawa lari semua kuda dan barang rampasan!"

   Kata pemuda itu. Kemudian ia berlari cepat mengejar Kwee Seng dan isterinya. Bukan-main hebatnya kepandaian pemuda ini. Biarpun ia hanya mempunyai dua buah kaki, namun dibandingkan dengan kuda yang memiliki empat buah kaki, agaknya ia tidak akan kalah!

   Ia berlari sambil mempergunakan ilmu lari cepat Cho-Sang-Hui (terbang di atas rumput). Larinya demikian cepat dan ringan sehingga seakan-akan kedua kakinya tidak menyentuh bumi. Tidak terdengar derap kakinya, tanda bahwa ginkangnya memang sudah tinggi. Namun, kuda adalah binatang yang tidak saja terkenal pandai berlari cepat, juga amat terkenal akan kekuatan serta panjang napasnya. Apalagi ketika Kwee Seng dan isterinya membedalkan kuda mereka, payahlah bagi pemuda itu untuk menyusul. Akan tetapi, ada hal yang menguntungkan si pengejar dan merugikan Kwee Seng berdua, yakni bulan yang tetap bersembunyi di balik awan. Kwee Seng dan isterinya tidak mengenal jalan, maka sambil melarikan kuda, mereka mencari jalan yang tentu saja menghambat perjalanan itu. Sebaliknya, derap kaki kuda mereka terdengar baik oleh telinga pemuda itu yang amat tajam pendengarannya.

   Kurang lebih dua jam kemudian, setelah pemuda itu mulai merasa lelah, tiba-tiba ia menjadi amat girang melihat betapa dari suara derap kaki kuda, dua ekor binatang itu dilarikan lambat, atau tidak secepat tadi. Bulanpun mulai bersinar dan kini suara hiruk-pikuk dari dusun yang dibakar itu tidak terdengar lagi. Memang Kwee Seng dan isterinya memperlambat larinya kuda mereka, karena tentu saja mereka tidak mengira bahwa ada musuh yang mengejar mereka dan kini sudah dekat. Sebaliknya, pemuda itu juga sudah terlampau lelah untuk mengejar terus dan kini iapun memperlambat larinya sambil mengatur pernapasan. Bulan bersinar dan ia dapat melihat bahwa yang ia kejar adalah seorang laki-laki muda dan seorang wanita muda. Ia mengeluarkan dua butir senjata rahasia berbentuk bulat dari sakunya. Inilah thi-lian-ci (biji teratai besi) yang menjadi kepandaiannya yang amat disegani orang.

   "Suamiku, bagaimana dengan In Hong...?"

   Kwee-Hujin bertanya dan kembali airmatanya mengucur deras ketika ia teringat akan puterinya.

   "Tentu selamat bersama Can Ma, mari kita sekarang pergi ke kota See-Ciu, ke rumah Paman Yo,"

   Jawab suaminya.

   "Apakah kita tidak menunggu Can Ma disini?"

   Tanya isterinya ragu-ragu.

   "Tak usah, laginya belum tentu Can Ma mengambil jalan ke jurusan ini. Tidak baik kalau kita menunggu disini, siapa tahu para pemberontak itu akan datang di tempat ini pula. Lebih baik kita berangkat sekarang juga, nanti dari kota See-Ciu kita mengirim orang untuk menyelidiki dimana larinya Can Ma agar In Hong dapat diantar ke See-Ciu."

   Mendengar ini, Kwee-Hujin menjadi lega.

   "Baiklah, mari kita..."

   Baru saja ia bicara sampai disini, tiba-tiba kudanya berdiri, meringkik kesakitan. Gerakannya demikian mendadak dan kuat sehingga tak dapat dicegah lagi, Kwee-Hujin terlempar ke belakang, jatuh dari atas punggung kuda! Kwee Seng kaget sekali, akan tetapi pada saat itu, peluru kedua yang dilepas oleh pemuda pengejar mereka menyambar kepalanya.

   "Tak!"

   Kwee Seng tak dapat mengeluarkan suara lagi dan ia terjungkal roboh dari atas kuda dengan kepala pecah! Kwee-Hujin yang terjengkang dari atas kuda, jatuh dengan kepala tertumbuk batu sehingga ia pingsan. Sesosok bayangan dengan beberapa kali lompatan telah berdiri disitu, dan bayangan ini yang bukan lain adalah pemuda yang menyerang mereka, berdiri bertolak pinggang dengan senyum puas.

   Ia tadi memang sengaja menyerang kuda Kwee-Hujin, karena ketika ia mengayun tangan yang pertama, tiba-tiba ia menjadi lemas dan tidak tega membunuh seorang wanita yang kelihatannya demikian tak berdaya dan tak berdosa. Oleh karena ini ia lalu mengarahkan sambitannya kepada kuda yang ditunggang oleh Nyonya Kwee. Namun, peluru kedua diayun tanpa ragu-ragu lagi ke arah kepala Kwee Seng sehingga merampas nyawa hartawan muda itu. Pemuda itu setelah memandang ke arah mayat Kwee Seng sambil tersenyum puas, kini mengalihkan pandangan matanya kepada tubuh Kwee-Hujin yang telentang di atas tanah dalam keadaan pingsan. Senyumnya tiba-tiba lenyap, keningnya berkerut dan Bibirnya bergerak aneh. Berbeda dengan tadi, kini ia termangu. Ia terpesona oleh kecantikan luarbiasa dari Nyonya muda itu.

   Kebetulan sinar bulan menerangi wajah Nyonya Kwee dan lemaslah hati pemuda itu. Selama hidupnya, banyak ia melihat wanita cantik, akan tetapi belum pernah ia menyaksikan kecantikan yang demikian melemaskan dan memikat kalbunya. Bibir berbentuk indah yang kini ditarik seperti orang berada dalam keadaan duka dan takut, benar-benar menggerakkan hatinya dan menimbulkan belas kasihannya. Ia berlutut didekat tubuh Nyonya Kwee. Dijamahnya kening Nyonya itu yang terluka sedikit dan berdarah. Dikeluarkan sehelai saputangan dan dengan penuh kasih sayang dan ibahati, dibalutnya kepala itu. Ketika jari-jari tangannya menyentuh kulit jidat yang halus, rambut yang lemas dan halus serta mengeluarkan keharuman yang memabokkan, hatinya berdebar. Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan tangan kanannya menampar pipinya sendiri!

   "Ong Tiang Houw, kau harus malu kepada diri sendiri. Kau harus membunuhnya, bukan tergila-gila kepadanya!"

   Katanya kepada diri sendiri. Sambil merapatkan giginya ia mencabut pedang yang tergantung di pinggang, mengangkat pedang itu, diayun ke arah leher Kwee-Hujin. Akan tetapi, pedang itu berhenti di tengah udara dan seperti tadi, sepasang mata Ong Tiang Houw menatap wajah Nyonya itu seperti orang kena hikmat. Tangan yang memegang pedang perlahan-lahan turun dan pedang itu kembali masuk ke dalam sarungnya. Ong Tiang Houw menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepalanya.

   "Kau memang orang bodoh, lemah!"

   Ia memaki diri sendiri, kemudian ia membungkuk dan mengangkat tubuh Kwee-Hujin. Tiba-tiba terdengar suara banyak kaki orang berlari-larian menuju ke tempat itu. Tiang Houw melepaskan lagi tubuh Kwee-Hujin di atas tanah dan ia cepat melompat, bersembunyi di balik pohon. Yang datang adalah serombongan anak-buahnya yang tadi menyerbu dusun Tiang-On. Pemuda ini keluar dan menghadang mereka.

   "Apa yang terjadi?"

   Tanyanya. Anak buah itu girang melihat pemimpinnya dan mereka melihat tubuh Kwee Seng dan istrinya yang menggeletak di atas tanah, maka tak seorangpun diantara mereka mengira bahwa pemimpin mereka telah melakukan sesuatu yang ganjil, yakni tidak tega membunuh Nyonya muda itu.

   "Pasukan berkuda Kerajaan datang dan kami terpaksa melarikan diri,"

   Seorang diantara mereka melapor.

   "Lekas lari, berpencar dan jangan melawan mereka. Kelak aku akan memberi tanda dimana kita harus berkumpul lagi!"

   Kata Tiang Houw. Mereka bubar dan melarikan diri mencari keselamatan masing-masing. Setelah keadaan disitu menjadi sunyi kembali, Tiang Houw kembali mengangkat tubuh Kwee-Hujin yang masih pingsan. Akan tetapi begitu diangkat, terdengar Nyonya muda ini mengeluh.

   "In Hong..."

   Demikian keluhan pertama yang keluar dari mulut Nyonya itu. Ketika ia telah sadar betul dan melihat bahwa ia berada dalam pondongan seorang laki-laki muda, Nyonya Kwee memberontak marah,

   "Siapa kau...? Kurangajar, lepaskan aku!"

   Tiang Houw melepaskannya dan kini Nyonya muda itu berdiri tegak, marah sekali.

   "Kau siapa? Mana... mana suamiku...?"

   Akan tetapi, sebelum laki-laki muda itu menjawab, Kwee-Hujin telah melihat suaminya, menggeletak di atas tanah dengan kepala berlumur darah, tak bergerak lagi. Ia menjerit dan hendak menubruk suaminya, akan tetapi laki-laki muda itu cepat menyambar tubuhnya, dan memegang kedua tangannya.

   "Dia sudah mati, tiada gunanya ditangisi,"

   Katanya menghibur, akan tetapi terdengar amat canggung.

   "Kita harus cepat pergi dari sini, ada pasukan kuda datang mengejar!"

   Akan tetapi Kwee-Hujin meronta-ronta.

   "Tidak, tidak...! Biarkan aku tinggal disini dengan suamiku... ahh... suamiku... In Hong..."

   Ia menangis sedih dan betapapun ia meronta, ia tak dapat melepaskan diri dari pelukan pemuda yang amat kuat kedua lengannya itu. Sementara itu, dari jauh terdengar derap kaki kuda yang makin lama makin mendekat. Tiang Houw tidak mau membuang banyak waktu lagi. Ia melihat kuda yang tadi ditunggangi oleh Kwee Seng masih berada disitu, maka cepat dipondongnya tubuh Nyonya Kwee dan sekali lompat saja ia telah berada di punggung kuda! Kuda itu segera melompat maju dan sebentar kemudian larilah ia kuat-kuat, dikemudikan oleh tangan kanan Tiang Houw yang pandai. Adapun Kwee-Hujin yang dipondong di lengan kiri, meronta-ronta dan menjerit-jerit,

   "In Hong...! Kwee Seng...!!"

   Akan tetapi segala usahanya untuk melepaskan diri sia-sia belaka dan angin malam menyambar pada mukanya, membuat ia sukar bernapas.

   Dan tak lama kemudian Nyonya muda ini menjadi lemas dan pingsan lagi dalam pondongan Tiang Houw. Siapakah adanya Ong Tiang Houw yang memimpin penyerbuan ke dalam dusun itu? Dia sebetulnya adalah anak seorang petani miskin. Semenjak kecil, Tiang Houw memang suka sekali belajar ilmu silat dan akhirnya ia beruntung sekali menjadi murid Bu Sek Tianglo, tokoh besar di selatan, bahkan ia menjadi ahliwaris tunggal dari Bu Sek Tianglo. Guru besar ini yang melihat dasar baik pada diri Tiang Houw, sebelum meninggal dunia karena usia tua, ia menurunkan seluruh kepandaiannya sehingga Tiang Houw menjadi seorang yang berkepandaian amat tinggi. Ia pulang kekampungnya dalam usia dua puluh tahun dan oleh orang tuanya ia dijodohkan dengan seorang gadis petani yang sederhana.

   Tiang Houw memang terkenal berbakti kepada orangtuanya, maka ia tidak berani menolak. Demikianlah ia menikah dengan seorang gadis, dan biarpun ia tidak menyinta gadis ini, namun ia hidup rukun dan tinggal di rumah sampai setahun lebih. Isterinya memperoleh seorang putera dan setelah hampir dua tahun tinggal di rumah, Tiang Houw tak dapat menahan lagi keinginan hatinya untuk merantau. Ia tinggalkan rumah tangganya dan terjun di dalam dunia kangouw. Sebentar saja ia telah mengangkat tinggi namanya dan di dunia kangouw tidak ada yang belum mengenal nama Ong Tiang Houw. Tidak saja ilmu silatnya yang tinggi, terutama sekali sepak terjangnya yang sesuai dengan sikap seorang pendekar itulah yang membuat nama Ong Tiang Houw menjadi terkenal. Di mana-mana ia menyebar perbuatan baik, menolong kaum tertindas dan menghajar orang-orang yang jahat.

   Selama enam tahun Tiang Houw merantau di dunia kangouw dan barulah ia teringat kepada keluarganya. Yang terutama sekali menarik hatinya untuk pulang adalah kenangan kepada puteranya, yakni Ong Teng San yang baru berusia satu tahun ketika ia pergi merantau. Akan tetapi setelah tiba di dusunnya, apakah yang ia dapatkan? Isterinya telah meninggal dunia, membunuh diri dan kedua orang tuanya juga meninggal dunia karena berduka. Beberapa tahun setelah Tiang Houw pergi, di dusunnya terserang bencana alam. Musim kering jauh lebih lama daripada biasanya dan sebagian besar kaum tani miskin yang hidupnya mengandalkan tenaga memburuh, kehabisan makanan dan banyak yang mati kelaparan. Ayah bunda Tiang Houw yang juga merupakan keluarga miskin, terpaksa minta tolong kepada seorang hartawan she Sim.

   Hartawan ini mengulurkan tangan dengan memberi pinjaman kepada mereka. Hutang mereka bertumpuk-tumpuk tanpa dapat terbayar dan akhirnya hartawan she Sim ini menagih dengan paksa.Kakek Ong dan isterinya serta mantunya ditangkap, dimasukkan tahanan. Kemudian, hartawan she Sim itu mengajukan usul untuk membayar hutang itu dengan diri mantu perempuanKakek Ong yang memang manis. Tentu sajaKakek itu menolak keras, akan tetapi dengan mengandalkan pengaruh harta bendanya, hartawan she Sim berhasil membawa isteri Ong Tiang How dengan paksa keluar dari tahanan. Orang tidak mendengar bagaimana nasib Nyonya muda ini, hanya tahu-tahu orang-orang terkejut mendengar berita bahwa Nyonya muda ini membunuh diri dengan jalan membenturkan kepalanya sampai pecah pada dinding!

   Mendengar ini,Kakek Ong dari isterinya menjadi begitu berduka sampai mereka jatuh sakit dan meninggal di dalam tahanan. Bagaimana dengan Ong Teng San? Anak ini ketikaKakek dan nenek serta Ibunya ditahan, melarikan diri dan berlindung ke rumah seorang petani miskin yang menjadi kenalan baik dari keluarga Ong. Dua tahun kemudian setelah peristiwa menyedihkan itu terjadi, datanglah Ong Tiang Houw di dusunnya! Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Tiang Houw mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarganya. Ia mencari puteranya dan pertemuan ini amat mengharukan. Teng San tentu saja tidak mengenal Ayahnya, akan tetapi ia menangis tersedu-sedu dalam pelukan Ayahnya ketika ia diperkenalkan.

   "Jahanam she Sim! Jahanam dan jahat belaka hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan yang mencekik leher orang-orang miskin. Aku bersumpah akan membasmi mereka semua!"

   Berkali-kali Tiang Houw berkata. Pada malam hari itu, hartawan Sim terdapat mati dengan leher terbabat pedang. Gedungnya dibakar habis. Perbuatan ini tentu saja dilakukan oleh Tiang Houw. Orang-orang disitu, yakni para petani miskin, merasa bersyukur. Bangkit semangat mereka karena perbuatan Tiang Houw dan mereka lalu berkumpul, menyatakan hendak membantu gerakan Tiang Houw untuk membersihkan para iblis yang masuk ke dalam diri hartawan-hartawan pelit dan bangsawan-bangsawan korup.

   Tiang Houw gembira sekali melihat ini. Memang pada masa itu, dilain-lain daerah sudah banyak terbentuk pasukan-pasukan rakyat yang hendak memberontak terhadap tuan-tuan tanah dan bangsawan-bangsawan. Tiang Houw lalu membentuk barisan yang menamakan dirinya Kai-Sin-Tin (Barisan sakti dari para jembel). Mulai saat itu, Tiang Houw memimpin orang-orangnya untuk melakukan penyerbuan-penyerbuan terhadap rumah orang-orang besar. Nama Kai-Sin-Tin terkenal sekali dan dusun demi dusun diserbu, orang-orang kaya dan bangsawan dibunuh, rumah mereka dibakar habis! Demikianlah, bukan untuk pertama kalinya Tiang Houw memimpin kawan-kawannya menyerbu dusun Tiang-On.

   Akan tetapi, benar-benar baru untuk pertama kalinya hatinya lemas ketika ia menghadapi Kwee-Hujin! Sebulan lewat kemudian, di luar kota See-Ciu masih sepi karena hari masih pagi. Waktu itu musim dingin sudah mulai sehingga para penduduk yang masih meringkuk di atas pembaringan, malas meninggalkan pembaringannya, bahkan menarik selimut makin ke atas agar terlindung seluruh tubuh dari hawa dingin. Beberapa orang yang karena tugas pekerjaannya terpaksa keluar meninggalkan rumah, rata-rata memakai pakaian tebal, karena hawa yang amat dingin memang luar biasa sekali. Di dalam baju tebalpun orang masih menggigil dan kulit muka terasa kaku. Akan tetapi, pada saat sedingin itu, di luar kota See-Ciu bagian selatan, dua orang manusia berjalan berpegangan tangan sambil menggigil kedinginan.

   Yang seorang sudah amat tua, dan hawa dingin membuatnya makin bongkok dan berkeriputan. Mukanya pucat sekali sehingga kelihatan kehijau-hijauan. Lagaknya seperti hendak membimbing orang kedua, akan tetapi jelas kelihatan bahwa dialah yang minta bantuan tenaga dari tangan kecil yang dipeganginya. Orang kedua adalah seorang anak perempuan berusia lima tahun, pakaiannya kotor, mukanya kurus dan pucat tanda kurang makan. Pada wajah yang kotor berdebu itu terdapat bekas-bekas airmata, tangan kirinya sebentar-sebentar menekan perut dan tangan kanannya menggandeng tangan nenek itu. Anak ini menggigit Bibirnya dan biarpun ada tanda-tanda kedukaan dan kebingungan luar biasa pada sepasang matanya, namun ia berjalan dengan langkah dikuat-kuatkan, bahkan ialah yang menarik tangan nenek itu.

   "Marilah, Can Mama, lekas masuk kota. Ayah dan Ibu tentu sudah menanti di dalam kota!"

   Kata anak itu berkali-kali. Nenek itu tak dapat mengeluarkan suara lagi untuk menjawab. Bibirnya gemetar dan biarpun ia menggerakkan Bibir itu namun tidak ada suara yang keluar. Ia hanya mengangguk-angguk dan berjalan tersaruk-saruk seakan-akan ia memaksa sedikit tenaga yang masih ada untuk menggerakkan kedua kakinya. Tiba-tiba ia batuk-batuk. Celakalah kalau orang terkena penyakit batuk dalam waktu hawa sedingin itu, apalagi kalau perut sedang kosong. Nenek itu terpaksa menghentikan gerakan kakinya, memegangi perut dengan kedua tangan, terus batuk-batuk dengan hebatnya. Ia merasa dadanya sesak dan sakit, perutnya yang kosong dan perih terguncang-guncang. Ia membungkuk dan melipat tubuh bagaikan pisau lipat hendak ditutup.

   "Ugh... ugh-ugh-ughhh..."

   Batuknya berkali-kali. Anak perempuan itu yang bukan lain adalah Kwee In Hong, segera mengurut-urut punggung nenek itu yang kini sudah bongkok dan membungkuk-bungkuk, menggeliat-geliat kesakitan. Sudah beberapa hari Can Ma menderita batuk ini dan In Hong kini sudah tahu bahwa ia harus mengurut-urut punggung nenek itu apabila batuknya kambuh. Pada saat itu, dari udara turun hujan kecil. Air bertitik-titik kecil, membawa hawa yang makin menggigilkan tubuh, hawa dingin meresap ke dalam tulang sumsum, dan hal ini memperhebat rasa gatal ditenggorokan dan sesak pada isi dadanya.

   "Ugh-ugh-ugh..."

   Suara batuknya makin gencar akan tetapi makin lemah.

   "Can Mama, mari kita berteduh..."

   In Hong berkata bingung. Ia melihat ke kanan kiri dan kebetulan sekali tak jauh dari jalan itu terdapat sebuah kelenteng tua yang tidak terawat sama sekali. Rumput alang-alang memenuhi halaman kelenteng dan sebagian gentengnya sudah terbuka, bangunan bagian kiri sudah hampir ambruk. In Hong segera menarik tangan Can Ma yang terpaksa berdiri sambil terbongkok-bongkok.

   "Can Mama, itu disana ada rumah kosong, mari kita berteduh, hawa begini dinginnya."

   In Hong berkata keras-keras diantara suara batuk-batuk nenek itu. Dia sendiri merasa dingin bukan main, akan tetapi melihat keadaan nenek itu, ia seperti tidak merasakan penderitaannya sendiri dan sambil mengerahkan seluruh tenaganya ia menarik tubuh nenek itu ke arah kelenteng. Dengan susah payah akhirnya In Hong berhasil membawa Can Ma memasuki kelenteng tua. Baiknya masih ada sebagian genteng yang utuh sehingga mereka dapat terlindung dari serangan air hujan, sungguhpun hawa dingin tidak memperdulikan halangan ini dan dengan mudah dapat meresap masuk sampai ke pojok-pojok ruangan kelenteng tua. Can Ma menjatuhkan diri di atas lantai yang penuh debu. Ia masih batuk-batuk terus dan tubuhnya setengahnya berbaring di atas lantai itu. Mukanya yang tadi kehijauan sekarang sudah berobah menjadi kehitaman.

   "Siocia... aku... aku tidak kuat lagi..."

   In Hong menubruknya dan merangkul leher nenek itu. Tak terasa lagi kedua matanya yang tadinya sudah hampir kekeringan air mata itu, menjadi basah lagi.

   "Tidak, Can Mama, jangan berkata begitu. Kita akan masuk ke kota dan bertemu dengan Ayah-Ibu. Kau akan mendapat obat, akan sembuh..."

   "Ugh... ugh-ugh-ugh... siocia... kalau aku... mati disini... kau masuklah ke kota, carilah Paman dari Ayahmu..."

   "Kau takkan mati, Can Mama... jangan mati... jangan mati...!"

   Kini In Hong menangis tersedu-sedu dan air matanya bercucuran, menyaingi air hujan yang mulai mengucur dari genteng kelenteng itu.

   "Nona... aku tidak kuat lagi... dadaku... dadaku... aaaachhh... sesak dan sakit sekali... ugh ugh-ugh...!"

   Tubuh Can Ma menggeletar dan kini ia merebahkan diri, menggeliat-geliat ke kanan kiri seperti cacing terkena abu panas. In Hong menjadi bingung sekali. Ia mengangkat kepala Can Ma, didekap dan dipeluknya kepala itu di atas pangkuannya sambil bersambat,

   "Can Mama... jangan... jangan tinggalkan aku...!"

   Emudian sunyi, hanya napas berat Can Ma yang terdengar diselingi oleh suara batuknya dan suara isak tangis In Hong. Tiba-tiba terdengar suara batuk lain, suara batuk yang tinggi dan nyaring, seperti suara batuk buatan,

   "Iihh-ihh-ihh...!"

   Tadinya In Hong tidak memperhatikan suara ini karena disangkanya suara batuk dari Can Ma, akan tetapi suara batuk yang tinggi ini disambung oleh suara yang kecil nyaring.

   "Thian Maha Adil! Manusia tahu apakah tentang keadilan Thian? Orang baik-baik menderita, yang jahat makmur dan senang! Orang bertanya-tanya mana keadilan Thian? Padahal Thian memang Maha Adil, hanya cara Thian bekerja penuh rahasia, mana manusia tahu? Ih-ih-ih...!"

   In Hong menengok ke kiri. Ruangan itu memang gelap dan baru sekarang ia melihat sesuatu bergerak di sudut yang paling gelap dari ruangan itu. Sesuatu yang hitam dan setelah ia memperhatikan, baru terlihat olehnya bahwa yang bergerak dan batuk serta bicara itu adalah seorang nenek pula. Seorang nenek yang duduk melingkar seperti seekor binatang trenggiling.

   Muka nenek itu tidak kelihatan, tertutup oleh rambutnya yang panjang dan hitam sekali, yang kacau dan riap-riapan ke muka dan belakang, pendeknya disekeliling kepalanya yang kecil. Pakaiannya compang camping, tidak tentu lagi warnanya karena kotor sehingga kelihatan menghitam. Kedua kakinya tidak bersepatu. Sebatang tongkat panjang, juga warnanya hitam, menggeletak di dekatnya. In Hong mengeluh di dalam hatinya. Terlalu banyak ia melihat kemelaratan. Sejak ia melarikan diri dengan Can Ma, tidak saja ia sendiri mengalami apa artinya kelaparan dan kedinginan, juga di jalan-jalan ia melihat orang-orang yang mati kelaparan, mati kedinginan, dan kesengsaraan yang mendirikan bulu tengkuknya. Biasanya ia hidup mewah dan senang di rumah orang tuanya yang kaya raya, dan tak pernah ia mengira bahwa di luar rumah gedungnya banyak terjadi hal-hal demikian.

   Mimpipun tak pernah ia bahwa ada orang yang sampai mati kelaparan, padahal biasanya ia merasa bosan dengan segala macam makanan enak yang disuguhkan kepadanya oleh para pelayannya. Kini, berada di puncak penderitaan, dua hari ia tidak makan, dan Can Ma berada dalam keadaan yang amat membingungkan, juga membikin ia ketakutan sekali karena Can Ma bicara tentang kematian, ia tidak bertemu dengan orang yang dapat menolongnya, bahkan bertemu dengan seorang jembel lain yang keadaannya tidak lebih baik daripada keadaan Can Ma! Ia sudah cukup besar untuk dapat mendengar dari para pelayan betapa Ayah bundanya seringkali menolong orang-orang dengan menderma uang, pakaian dan makanan. Sekarang barulah ia tahu bahwa perbuatan kedua orang tuanya itu memang tepat.

   "Kelak aku akan minta kepada Ayah dan Ibu untuk lebih banyak menolong orang-orang ini. Aku akan minta kepada Ayah dan Ibu agar menolong semua jembel sehingga di dunia ini tidak ada orang mati kelaparan dan menderita kedinginan,"

   Demikian bisik suara hati anak yang luar biasa ini. Memang luar biasa kalau seorang anak berusia lima tahun bisa mempunyai pikiran seperti ini. Padahal orang-orang dewasa, bahkan orang-orang yang sudah mengira cukup berpengetahuan dan cukup pengalaman, kadangkala melupakan suara hati macam ini, melupakan atau sengaja tidak mau mendengar suara hati nurani yang menggugah manusia mengulurkan tangan menolong mereka yang sengsara. Akan tetapi, kembali ia mendengar Can Ma batuk-batuk dan napas nenek ini makin sesak terengah-engah. Timbul kembali rasa takut dan gelisahnya.

   "Can Ma, berkatalah sesuatu... Can Ma, kuatkanlah, nanti kalau sudah berhenti hujan, kita melanjutkan perjalanan!"

   Ia berkata dengan suara memohon. Can Ma membuka matanya dan aneh, mata itu kini basah sehingga tak lama lagi dua titik airmata jatuh di atas pipinya yang berkeriputan dan menghitam warnanya. Tiba-tiba ia berkata, dan aneh lagi, suaranya kini lancar tidak berat seperti tadi, seakan-akan ada sesuatu yang tadinya mengganjal hatinya telah lenyap.

   "In Hong, anakku yang manis, cucuku yang mungil, jangan kau bersedih. Kau lanjutkanlah sendiri perjalanan ini, cari Ayah bundamu, jangan perdulikan Can Mama. Can Mama sudah tua, sudah cukup makan garam, sudah cukup merasa senang dan susah, sudah sepantasnya Can Mama mati..."

   Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Can Mama...!! Jangan mati...!!"

   In Hong menjerit dan kini ia menangis keras, meraung-raung sambil memeluki tubuh nenek itu. Pada saat itu, nenek hitam yang tadi meringkuk di sudut, bangkit berdiri. Ternyata tubuhnya jangkung sekali, nampak lebih jangkung karena ia memang kurus kering. Akan tetapi luar biasa sekali. Jarak antara ia dan In Hong ada tiga tombak lebih. Agaknya ia tidak menggerakkan tubuh atau kakinya, akan tetapi tahu-tahu ia telah berada di dekat In Hong dan Can Ma.

   "Lahir tak dapat diminta, mati tak dapat ditolak, mengapa bicara yang bukan-bukan tentang mati? Tidak takut mati bukan hal yang patut disombongkan, hanya berani hiduplah yang boleh dibanggakan!"

   Setelah berkata demikian, dua kali tangan yang memegang tongkat panjang bergerak ke arah Can Ma dan In Hong. In Hong merasa bawah tulang punggungnya di belakang pusar, tersentuh oleh benda keras dan aneh sekali, tiba-tiba di dalam tubuhnya seperti ada api membakar. Hawa panas merayap dari tempat yang ditotok oleh ujung tongkat itu dan sebentar saja hawa dingin yang membuat ia menggigil lenyap terusir pergi oleh hawa hangat ini. Akan tetapi rasa lapar pada perutnya makin menghebat! Adapun Can Ma yang juga terkena totokan ujung tongkat, segera bangkit duduk seperti mendapat tenaga baru. Ia memandang kepada nenek hitam tinggi kurus itu dengan mata terbelalak lebar, kemudian menjatuhkan diri berlutut,

   "Pouwsat (dewi) yang mulia, mohon beribu ampun kalau hamba berdua mengganggu tempat yang Suci dari pouwsat!"

   Kata Can Ma sambil mengangguk-anggukkan kepala seperti orang bersembahyang di depan patung Kwan Im Pouwsat. Nenek hitam itu tertawa bergelak dan suara ketawanya membikin In Hong membuka mata lebar-lebar dengan hati ngeri. Suara ketawa ini seperti bukan suara manusia. Can Ma mendengar suara ketawa ini makin takut lagi dan ia berlutut sampai jidatnya membentur lantai yang berdebu.

   "Can Ma, kau tua bangka sungguh bodoh dan tolol, mengira aku seorang pouwsat. Akupun seorang nenek tua bangka seperti kau pula yang menderita penyakit batuk, bahkan penyakitku seratus kali lebih berat daripada penyakitmu. Siapakah bocah yang kau sebut siocia ini?"

   Pertanyaan dalam kalimat terakhir ini terdengar berpengaruh, membuat siapa saja yang mendengar merasa takut untuk tidak mengaku.

   "Mohon ampun, hamba adalah pelayan keluarga Kwee di Tiang-On. Semua hartawan dan bangsawan di Tiang-On dibunuh, rumah mereka dibakar. Majikan hamba, Ayah bunda anak ini, melarikan diri dan hamba membawa siocia ini lari pula untuk menyusul mereka di kota See-Ciu. Ampunkanlah hamba kalau hamba mengganggu, Lihiap."

   Karena nenek hitam itu tidak mau disebut pouwsat, Can Ma yang sudah banyak mendengar tentang orang-orang kangouw, dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan seorang wanita sakti, maka ia mengubah sebutannya kepada wanita itu dengan sebutan Lihiap (pendekar wanita).

   "Hm, dia ini anak bangsawan?"

   "Bukan, Lihiap. Ayahnya adalah seorang hartawan yang berhati mulia dan budiman."

   "Hah! Mana ada hartawan berhati mulia dan budiman? Barangkali betul terhadap kau, karena kau pelayannya. Hm, manusia sekarang banyak yang buta dan sesat! Siapa percaya Ayah bunda anak inipun tidak ikut gila?"

   Setelah berkata demikian, ia menggerakkan tangan, menjambak rambut In Hong dan mengangkat bocah itu ke atas sehingga ia dapat melihat dengan jelas muka In Hong. Biarpun rambutnya dijambak dan ia dipegang seperti orang memegang kelinci, In Hong tidak menjerit. Anehnya, ia tidak merasa sakit biarpun rambutnya dijambak dan ia digantung seperti itu. Mukanya yang mungil dan lucu itu kini nampak kotor penuh debu dan airmata, akan tetapi sepasang mata yang amat tajam dari nenek hitam itu dapat melihat dengan jelas, menembusi debu dan kotoran.

   "Sayang, tunas yang baik tak boleh tumbuh dipohon yang buruk. Can Ma, kau carilah sendiri Ayah bunda anak ini, bilang bahwa anak ini dibawa pergi oleh Hek Moli!"

   Tentu saja Can Ma hendak membantah, akan tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, di depan matanya berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu nenek hitam itu bersama In Hong telah lenyap dari situ tidak meninggalkan bekas lagi! Can Ma bagun berdiri, memburu keluar, mencari ke dalam sambil menjerit-jerit, namun sia-sia saja, tidak ada bayangan dari In Hong. Can Ma menjatuhkan diri dan menangis tersedu-sedu. Ia merasa bingung dan ngeri. Bagaimana ia harus bertanggung jawab di depan majikannya? Ia merasa ngeri kalau mengingat gerak-gerik dan sepak terjang nenek hitam yang mengaku bernama Hek Moli (Iblis Wanita Hitam) itu.

   Can Ma dalam kebingungan dan kesedihannya sampai lupa bahwa tiba-tiba saja ia telah sembuh, bahwa ia kini dapat bangkit berdiri, dan bahkan dapat berlari-larian menuju ke kota See-Ciu! Dengan tergesa-gesa ia mencari rumah hartawan Yo, Paman dari Kwee Seng yang tinggal di See-Ciu. Sambil menangis ia menghadap Yo-Wangwe dan menuturkan semua pengalamannya. Yo-Wangwe mengerutkan kening dan alisnya yang sudah putih itu bergerak-gerak. Ia sudah mendengar akan adanya pasukan Kai-Sin-Tin yang menyerbu dusun-dusun dan kota-kota di selatan. Dan ia merasa amat berduka mendengar betapa keponakannya ikut menjadi korban pula. Akan tetapi hatinya terhibur mendengar bahwa keponakannya itu dan isterinya telah dapat melarikan diri.

   "Can Ma, kau tinggallah disini sambil menanti datangnya Kwee Seng dan isterinya. Heran sekali mengapa mereka masih belum tiba, sedangkan kau sudah datang lebih dulu. Tentang In Hong, biarlah kita menanti datangnya Kwee Seng, karena tak mungkin kita dapat mencarinya. Aku sudah mendengar akan nama seorang tokoh kangouw wanita yang disebut Hek Moli itu, seorang yang seperti iblis saja, yang tak pernah terlihat oleh orang lain, hanya namanya saja yang dikenal oleh semua orang. Bahkan ada yang bilang bahwa Hek Moli sebetulnya tidak ada, atau kalau ada juga bukan manusia, melainkan dewa atau iblis."

   "Memang dia seperti bukan manusia, Yo-Wangwe."

   Can Ma menceritakan semua keadaan Hek Moli yang amat luar biasa itu dan bahwa ia sama sekali tidak melihat mukanya yang tertutup oleh rambut yang riap-riapan.

   Demikianlah, Can Ma tinggal di rumah Yo-Wangwe, bekerja sebagai pelayan sambil menanti datangnya Kwee Seng dan isterinya. Akan tetapi, tentu saja mereka semua tidak tahu bahwa Kwee Seng sudah binasa di tengah hutan, terkena thi-lian-ci yang dilepas oleh Ong Tiang Houw, dan bahwa Kwee-Hujin telah dibawa lari oleh orang muda itu. Namun mereka tetap menanti, menanti penuh harapan. Waktu memang amat ganjil dan penuh rahasia. Gerakannya tidak kentara, kadang-kadang terasa lambat merayap, lebih lambat daripada merayapnya seekor siput, akan tetapi kadang-kadang terasa cepat, lebih cepat daripada menyambarnya kilat. Ada yang bilang bahwasanya waktu itu jalannya amat lambat, akan tetapi coba saja kita renungkan, satu tahun, bahkan beberapa tahun lewat tanpa kita rasai dan seakan-akan sesuatu yang terjadi pada beberapa tahun yang lalu itu seperti kejadian kemarin saja.

   Alangkah cepatnya waktu berjalan, demikian kita akan berpikir kalau teringat akan hal ini. Sebaliknya, ada pula yang bilang bahwasanya waktu itu amat cepat jalannya. Akan tetapi coba saja kita bayangkan bilamana kita menanti datangnya kereta api di setasiun, terlambat seperempat jam saja datangnya kereta api, terasa seperti seperempat abad! Alangkah lambatnya waktu merayap, sedemikian kita akan berpikir pada saat seperti itu. Memang aneh, dan demikianlah, di dalam cerita ini, tahu-tahu tanpa dapat dirasakan, empatbelas tahun telah lewat semenjak peristiwa yang telah dituturkan di atas! Di puncak Ciung-lai-san, sebuah gunung di propinsi Secuan, tempat yang tersembunyi dan tak pernah didatangi oleh manusia karena tempat ini masih liar dan jalan menuju ke puncak amat sukarnya, tinggallah Hek Moli.

   Belasan tahun yang lalu, nama Hek Moli pernah menggetarkan dunia kangouw karena sepak terjangnya yang lihay dan hebat. Apalagi orang-orang biasa, bahkan para tokoh kangouw sendiri tidak tahu darimana datangnya wanita sakti yang merupakan seorang nenek berwajah dan bertubuh mengerikan dipandang ini. Akan tetapi, sekali nenek ini keluar di dunia kangouw, ia telah melakukan banyak hal yang menggemparkan. Lima perampok terkenal di daerah Santung yang ditakuti orang dan disegani oleh para tokoh kangouw, berjuluk Santung Ngo-kui (Lima setan dari Santung) bersama anak buahnya yang puluhan orang banyaknya telah dibasmi habis oleh Hek Moli. Ini masih belum hebat, bahkan Hek Moli telah mendatangi Go-Bi-Pai dan Kun-Lun-Pai, menantang pibu kepada para tokoh kedua partai persilatan besar ini dan mengalahkan tokoh-tokoh itu.

   Yang amat menggemparkan adalah ketika seorang diri Hek Moli menyerbu Istana Kaisar dan mengambil dua buah barang pusaka Kerajaan, yakni sebatang pedang mustika yang bernama Liong-gan-kiam dan sebuah perhiasan rambut dari kemala yang berbentuk burung Hong dan amat indahnya. Akan tetapi, seperti munculnya, tiba-tiba saja empatbelas tahun yang lalu Hek Moli lenyap dari dunia kangouw, tanpa meninggalkan bekas seolah-olah ia ditelan oleh bumi. Ada beberapa orang tokoh kangouw yang menyatakan bahwa mereka melihat Hek Moli terserang penyakit batuk dan keadaannya amat payah, maka kehilangannya membuat semua orang mengira bahwa tokoh ini sudah meninggal dunia. Sebetulnya bukan demikianlah keadaannya. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Hek Moli secara kebetulan, ketika sedang menderita di dalam kelenteng, terserang penyakit batuknya,

   Ia telah bertemu dengan Kwee In Hong dan membawa pergi anak perempuan yang berusia lima tahun itu. Ia merasa suka sekali kepada anak ini, maka dibawanyalah In Hong ke puncak Ciung-lai-san di propinsi Secuan dimana ia menyembunyikan diri dan menurunkan seluruh kepandaiannya kepada murid tunggalnya. Selama empatbelas tahun itu, In Hong menerima latihan ilmu silat yang amat tinggi dan aneh, dan Gurunya demikian sayang kepadanya sehingga tidak ragu-ragu untuk mewariskan seluruh kepandaiannya yang dimilikinya. Bahkan ia mengajar muridnya membaca dan menulis sekadarnya, karena Hek Moli sendiri bukanlah seorang yang amat pandai dalam ilmu menulis. Selain ini, setelah kepandaian In Hong cukup tinggi, ia memberikan pedang Liong-gan-kiam dan hiasan rambut burung Hong kepada muridnya. Katanya sambil tertawa terkekeh ketika memberikan hiasan rambut itu,

   "Muridku, namamu In Hong, hiasan rambut burung Hong ini tepat sekali menghias rambutmu yang panjang, hitam dan halus. Pedang ini untuk memperlengkapi kepandaianmu karena tidak patut bagi seorang gadis cantik seperti engkau bersenjata tongkat seperti Gurumu. Pakailah hiasan itu, muridku."

   Dengan girang dan manja In Hong memakai hiasan rambut itu pada rambutnya. Ia kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita seperti Ibunya. Ketika hiasan itu telah dikenakan pada rambutnya, Gurunya memandang dengan mata terbelalak, kemudian tiba-tiba dua titik airmata melompat keluar dari sepasang mata Hek Moli,

   "Alangkah cantiknya engkau, In Hong. Ah, seperti kau inilah aku dahulu...!"

   In Hong membalas kasih sayang Gurunya dengan kebaktian, dan ia tidak saja merasa suka kepada Gurunya, juga merasa terharu dan kasihan. Diam-diam ia sering bertanya rahasia apakah yang disimpan oleh Gurunya. Mengapa Gurunya menjadi rusak muka dan tubuhnya seperti itu. Tentu dahulu pernah mengalami hal-hal yang amat mendukakan hatinya. Akan tetapi tiap kali ia bertanya, Gurunya hanya menggeleng kepalanya dan tidak mau menuturkan riwayatnya. Ia hanya mendesak agar gadis itu belajar lebih giat lagi.

   "Muridku, di dunia ini banyak sekali orang-orang jahat yang amat lihay. Kau demikian cantik, tentu akan mengalami hal-hal yang mendatangkan bencana kalau saja kau tidak mampu menjaga dirimu. Untuk itu kau harus memiliki ilmu yang tinggi. Pula, sudah menjadi kewajibanmu untuk membantu usaha orang-orang gagah, membasmi para penjahat dan membela para kaum tertindas."

   Tentu saja In Hong mengerti akan kehendak Gurunya ini, karena semenjak dahulu iapun merasa amat sakit hati kepada orang-orang jahat yang mencelakakan orang tuanya. Sering kali ia menyatakan rindunya kepada orang tua dihadapan Gurunya, akan tetapi Hek Moli selalu menjawab,

   "Sabarlah, muridku. Belum tiba masanya kau mencari orang tuamu. Aku sendiri tidak tahu dimana mereka dan apakah mereka masih hidup. Akan tetapi, kalau sudah cukup kepandaianmu, kau harus mencari mereka sendiri. Kurasa kau akan dapat mencari mereka kalau kau pergi ke kota See-Ciu."

   Kini In Hong sudah berusia sembilanbelas tahun. Cantik jelita dan sikapnya gagah. Gurunya yang amat menyayangnya, tidak ingin melihat muridnya memakai pakaian buruk. Beberapa kali Hek Moli turun gunung dan ketika ia kembali, ia membawa pakaian-pakaian indah untuk In Hong. Dan untuk dia sendiri, ia tak pernah berganti pakaian, tetap pakaian yang kotor menghitam! Kalau In Hong mencela Gurunya dan mendesak agar supaya Gurunya berganti pakaian, Hek Moli berkata,

   "Untuk apa aku berganti pakaian? Apakah kau menyuruh aku menjadi seperti seekor monyet berpakaian dan menjadi tontonan orang? Aku sudah jemu dengan pakaian-pakaian, bahkan kalau semua orang di dunia ini tidak memakai pakaian, aku akan lebih suka lagi, lebih bebas dan enak, tidak terganggu oleh pakaian bermacam-macam!"

   Mendengar jawaban ini, In Hong tertawa cekikikan saking geli hatinya.

   "Mengapa kau tertawa?"

   Gurunya bertanya heran karena muridnya benar-benar tertawa geli seakan-akan dikitik-kitik.

   "Subo memang lucu sekali. Kalau Teecu bayangkan betapa semua orang bertelanjang bulat, berjalan hilir mudik seperti monyet-monyet liar tersesat dikota, ah alangkah lucunya pemandangan itu. Teecu bisa mati tertawa melihatnya!"

   Mau tidak mau Hek Moli tertawa juga mendengar kata-kata muridnya itu, karena iapun dapat membayangkan keadaan yang amat menggelikan itu. Tiba-tiba Hek Moli menghentikan ketawanya dan In Hong juga, karena gadis inipun telah dapat menangkap bunyi yang asing dengan pendengarannya yang sudah amat tajam.

   "Ada orang datang!"

   Bisik Hek Moli. Muridnya mengangguk dan tangan kanan In Hong meraba gagang pedang yang tergantung di pinggangnya. Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu, sekira lima tombak dari mereka, terlihat seorang Tosu berusia kurang lebih enampuluh tahun, muncul dari balik batu karang besar. Tosu ini berpakaian putih dan yang paling menyolok pandangan mata adalah tangan kanannya yang buntung sebatas siku.

   "Hek Moli, akhirnya Pinto dapat menemukan tempat persembunyianmu!"

   Kata Tosu itu dan suaranya halus dan lemah lembut, akan tetapi sepasang matanya memancarkan cahaya penuh kebencian. Hek Moli mengeluarkan suara mengejek.

   "Anjing buntung kakinya dari manakah berani mengotorkan tempatku?"

   Tosu itu tersenyum.

   "Mata Hek Moli sudah lamur agaknya karena terlalu tua, dan ingatannyapun sudah pikun. Benar-benarkah kau tidak mengenal lagi siapa Pinto?"

   "Siapa mengenal segala anjing yang berpura-pura Suci? Siapa kau? Hayo lekas mengaku dan katakan apa kehendakmu sebelum aku membikin buntung lehermu!"

   "Hm, masih tetap galak dan ganas seperti belasan tahun yang lalu. Kau mau tahu maksud kedatanganku? Tunggu sebentar!"

   Setelah berkata demikian, Tosu itu lalu menengok ke arah sebuah batu besar, lalu dengan jari telunjuknya yang kiri ia membuat corat-coret di atas batu itu. Kemudian, dengan tangan kirinya pula, ia mendorong batu itu ke arah Hek Moli. Bukan main hebatnya tenaga dorongan ini. Batu yang besar dan beratnya paling sedikit enamratus kati itu terlempar ke arah Hek Moli! Akan tetapi, dengan tenang Hek Moli mengangkat tongkat hitamnya dan sekali ia menggerakkan tangan, batu itu terputar-putar di atas ujung tongkat, kemudian ia menarik tongkatnya dan batu itu jatuh tepat di depannya demikian perlahan seakan-akan diangkat dan diletakkan disitu oleh tenaga yang mujijat!

   

Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini