Bayangan Bidadari 10
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 10
Bagaikan seorang gila ia mencabut pedangnya dan sekali ia bergerak, cabang-cabang pohon itu terlempar ke kanan kiri dan terbukalah mulut gua. Dengan sepasang mata liar seperti harimau luka ia memandang ke dalam gua dan pemandangan yang terlihat olehnya merupakan minyak pembakar disiramkan pada api yang sedang bernyala. In Hong namnak duduk bersandar dinding gua, tangannya mengusap kepala seorang laki-laki yang rebah di lantai gua dan yang menaruh kepalanya di atas pangkuan gadis itu. Laki-laki yang rebah telentang dengan mata meram itu bukan lain adalah Ayahnya! Bermacam-macam pikiran terbayang dalam kepala Teng San, terutama sekali pikiran tentang keburukan perbuatan Ayahnya. Ayahnya telah mengepalai perampok-rampok liar untuk merampok dan membunuh-bunuhi orang hartawan dan bangsawan tanpa memilih bulu,
Sehingga dalam keganasan itu Ayahnya telah membunuh seorang hartawan she Kwee yang terkenal budiman dan dermawan. Kemudian, setelah membunuh Kwee Seng, Ayahnya ini mengambil Nyonya Kwee menjadi isterinya, tentu dengan bujukan karena kalau tidak demikian, bagaimana Nyonya Kwee tidak tahu bahwa Tiang Houw itu pembunuh suaminya? Dua perbuatan yang jahat itu dikotori pula dengan penyimpanan rahasia pembunuhan itu, sifat yang amat pengecut dan rendah dalam pandangan Teng San. Kemudian, kini Ayahnya itu bahkan main gila dan memikat anak perempuan dari Kwee Seng, atau anak tirinya sendiri! Tentu dengan maksud agar supaya nona ini jangan membunuhnya, jangan membalaskan sakit hati Kwee Seng karena Ayahnya juga tahu bahwa In Hong telah memiliki kepandaian tinggi?
Alangkah palsu dan jahatnya Ayahnya! Dengan pikiran ini memuncak di dalam hati dan kepalanya dan membuat Teng San mata gelap, pemuda ini tidak perdulikan lagi pandang mata In Hong yang terbelalak heran melihat pemuda itu telah berada disitu. In Hong tidak menyangka buruk, maka ia tidak berdaya ketika sambil berteriak mengerikan seperti orang menjerit atau menangis, Teng San menubruk maju dan dilain saat, ujung pedangnya telah amblas ke dalam uluhati Ong Tiang Houw! Ong Tiang Houw tersentak dan tubuhnya terlempar ketika dengan jeritan marah In Hong melompat berdiri. Tiang Houw membuka mata dan melihat Teng San yang memegang sebatang pedang berlumur darah, ia tersenyum dan berkata perlahan,
"Teng San... anakku..."
In Hong tidak memperhatikan lain hal. Melihat bahwa Teng San telah membunuh Bu Jin Ai, ia berseru keras,
"Jahanam keji, rasakan pembalasanku!"
Ia menerjang dengan pedangnya, tidak perduli akan lutut kakinya yang masih sakit, juga rasa nyeri pada pundak tidak dihiraukannya lagi. Teng San setelah menusuk uluhati Ayahnya dan mendengar kata-kata Ayahnya tadi, seketika menjadi lemas. Airmatanya mengucur dan ia tidak kuat lagi melihat Ayahnya yang sedang menghadapi maut. Maka ia lalu melompat keluar dari gua pada saat pedang In Hong menyerangnya.
"Jahanam keparat, jangan lari!"
In Hong mengejar keluar gua. Di luar gua ia melihat Teng San berdiri dengan muka pucat sekali. Pedang yang masih berlumur darah itu biarpun dipegangnya, akan tetapi tergantung ke bawah dan pemuda itu menundukkan mukanya.
"Keparat, kau datang-datang membunuh orang tak berdosa! Tidak malukah kau murid Siauw-Lim-Si melakukan perbuatan serendah ini?"
Teng San mengangkat mukanya, memandang kepada In Hong dengan sepasang mata basah. Ia merasa kasihan sekali kepada gadis ini, akan tetapi juga menyesal. Mengapa orang gadis muda secantik dan sepandai ini, sampai mudah terpikat oleh Ayahnya? Kalau tidak terjadi hal demikian, tentu ia takkan membunuh Ayah sendiri, dan mungkin sekali dapat dicari jalan damai dan baik untuk membereskan urusan sakit hati yang ruwet ini. Kini keadaan sudah terlanjur, ia sudah membunuh Ayah sendiri dengan tangannya. Ia tidak perduli lagi!
"Aku membunuh dia, kau mau apakah?"
"Keparat!"
In Hong mengayun tangan kiri, menyebar toat-beng hek-kong (sinar hitam pencabut nyawa), disusul oleh tusukan pedangnya ke arah lambung Teng San.
"Cepp...!!"
Pedangnya menembus lambung pemuda itu dan pasir hitamnya juga mengenai sasaran dengan tepat. Semua serangannya tadi ternyata tidak ditangkis maupun dielakkan sama sekali oleh Teng San. In Hong berdiri dengan mata terbuka lebar saking heran dan ngerinya. Ia memandang pemuda itu yang terhuyung lalu jatuh terduduk. Darah membanjir dari perutnya, akan tetapi pemuda itu masih dapat memandangnya dengan mulut dipaksa tersenyum sehingga mendatangkan penglihatan yang amat menyeramkan.
"Teng San, kau kenapakah? Mengapa kau sengaja menerima seranganku?"
Tanya In Hong sambil berlutut di depan pemuda itu. Pemuda itu hanya tersenyum dan menggeleng-geleng kepalanya perlahan.
"Teng San, mengapa kau membunuh Bu Jin Ai? Mengapa?"
In Hong mulai menyesal melihat keadaan pemuda ini dan ia bingung sekali. Teng San menggerakkan Bibirnya yang gemetar. Kata lirih keluar dari mulutnya,
"Dia... dia adalah Ayahku... dia harus mati... dia harus mati..."
"Mengapa? Apa dosanya? Teng San, mengapa kau membunuh Ayahmu sendiri?"
Teng San hanya menggeleng kepalanya, wajahnya mulai memucat dan nampaknya berduka sekali.
"Dan mengapa kau membiarkan aku membunuhmu? Kalau kau melawan, aku takkan dapat menang!"
Kembali Teng San mengerahkan tenaga dan berkata lirih,
"Aku... menebus dosa Ayah... juga menerima hukuman... karena telah membunuh Ayah sendiri... In Hong... kalau kau mau tahu... kau pergilah ke dusun Hok-te-chung... sebelah barat kota... Im-goan-kan, disana... disana kau carilah Ibumu..."
Tiba-tiba tubuh Teng San lemas dan ia takkan mempertahankan diri lagi, roboh terguling.
"Teng San, kau bilang Ibuku...??"
Akan tetapi pemuda itu tak dapat menjawab lagi karena nyawanya telah meninggalkan tubuhnya. In Hong melompat ke dalam gua untuk menghampiri Bu Jin Ai atau Ong Tiang Houw, akan tetapi yang dihampiri juga telah menjadi mayat! Ayah dan anak keduanya telah tewas dan darah mereka membanjiri tanah di dalam dan di luar gua. Sungguh mengerikan dan menyedihkan. In Hong yang kebingungan itu menangis. Kemudian ia dapat menekan perasaan hatinya dan digalinyalah lubang di dalam gua, sebuah lubang yang cukup lebar untuk mengubur dua mayat. Sampai sore ia bekerja dan akhirnya ia dapat mengubur mayat Ayah dan anak itu ke dalam lubang. Pada malam harinya, ia menangis di atas timbunan tanah di dalam gua!
"Lian Hong, anakku, terima kasih kau mau pulang dan kembali kepada Ibumu. Baiknya kau lekas datang, nak, kalau tidak, kiranya Ibumu takkan tahan lebih lama hidup menderita seperti ini..."
Cui Hwa atau Ibu Lian Hong mendekap kepala putrinya yang berlutut dan memeluk Ibunya. Lian Hong terharu sekali. Ibunya telah kelihatan tua dan lemah, wajahnya pucat dan rambutnya kusut. Padahal ia ingat bahwa Ibunya adalah seorang wanita yang amat cantik, seperti In Hong yang ia lihat belum lama ini.
"Ibu, dimana... Ayah?"
Cui Hwa menarik napas panjang, lalu membetot anaknya supaya duduk di sampingnya. Untuk beberapa lama ia memandang wajah Lian Hong dan kelihatan puas melihat puterinya sehat-sehat saja.
"Ayahmu telah pergi beberapa hari setelah kau dan Kakakmu pergi, sampai sekarang belum pernah pulang. Ah, ya, dimana adanya Teng San? Mengapa ia tidak turut pulang?"
Dua orang wanita ini lalu menceritakan pengalaman masing-masing. Cui Hwa mendengarkan penuturan puterinya tentang kedua anak ini yang belajar ilmu silat di Siauw-Lim-pay, dan hatinya girang sekali karena mendengar bahwa Teng San juga sudah memiliki ilmu silat yang tinggi.
"Ibu, aku membawa kabar yang tentu amat menyenangkan hati Ibu."
Ibunya menoleh dan melihat wajah Ibunya yang kurus pucat serta matanya yang sayu seakan-akan telah dekat mati dari pada hidup, Lian Hong tidak tega untuk menyimpan rahasia itu lebih lama lagi. Ia memeluk Ibunya dan berkata,
"Ibu, aku telah bertemu dengan enci In Hong..."
Di dalam pelukan Ibunya, Lian Hong merasa betapa kedua tangan Ibunya gemetar dan jantung di dalam dada itu berdetak-detak keras.
"In Hong...? Dimana dia? In Hong... aah...!"
Dan Nyonya ini lalu menangis tersedu-sedu sambil mendekap kepala Lian Hong. Lian Hong sudah besar dan sudah cukup mengerti apa yang mengganggu hati Ibunya. Tentu Ibunya ingat akan keadaannya yang benar-benar membingungkan itu. Tentu Ibunya bingung, bagaimana kalau In Hong tahu bahwa pembunuh Kwee Seng adalah Ayah Lian Hong?
"Harap tenangkan pikiran, Ibu. Mudah-mudahan saja semua urusan ini akan berakhir dengan baik. Sekarang Teng San-Ko sedang mengikuti perjalanan enci In Hong secara diam-diam, dan aku disuruhnya pulang untuk menemui Ibu disini. Percayalah, tak lama lagi San-Ko tentu pulang dan mudah-mudahan saja ia datang membawa enci In Hong."
Karena banyak mendapat hiburan dari Liang Hong, Cui Hwa mulai timbul harapannya. Matahari kini bersinar pula setelah ia berada di dekat puterinya. Tadinya keadaan Nyonya ini memang menyedihkan. Ia lebih banyak berbaring menderita sakit daripada sehat.
Barang-barang di rumah sudah mulai menipis, dijual untuk keperluan sehari-hari. Can Ma sudah meninggal karena usia tua, maka Cui Hwa hanya hidup bersama seorang pelayan wanita lain. Hidup kesepian dan hampir putus harapan. Kedatangan Lian Hong merupakan obat penawar yang mustajab dan mulailah terlihat senyum di wajah Cui Hwa. Mulailah ia membereskan rambut dan pakaian. Beberapa pekan kemudian, ketika Lian Hong dan Ibunya tengah duduk bercakap-cakap di ruangan depan, mereka mendengar suara orang berjalan masuk di pekarangan. Mereka menengok dan terlihatlah seorang gadis berpakaian kusut wajah dan rambutnya juga kusut tidak terpelihara, bahkan ada bekas-bekas air mata dikedua pipinya, kelihatan sedih dan bingung. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang.
"Enci In Hong...!"
Lian Hong melompat turun dari bangkunya dan menyambut kedatangan gadis itu. In Hong tidak merasa heran melihat Lian Hong berada disitu, bahkan ia hanya memandang sejenak kepada gadis muda ini, selanjutnya matanya memandang kepada Cui Hwa yang juga sudah berdiri dari bangkunya dan kini memandang kepada In Hong dengan wajah pucat dan kedua mata mengucurkan airmata yang turun bertitik dikedua pipinya.
"In Hong... benar-benar kau kah ini, anakku...?"
Kata Cui Hwa dengan suara merintih dan Nyonya ini melompat ke depan, menubruk In Hong dan ia tentu akan roboh kalau In Hong tidak cepat-cepat menyambut dan memeluknya.
"Ya Thian Yang Mahakuasa, terima kasih... kau benar-benar In Hong!"
Cui Hwa dengan airmata bercucuran menangis dan tertawa seperti orang gila, sambil memegang kepala anaknya dengan kedua tangan, menciumi dan me-nimang-nimang kepala itu.
"Ibu, mengapa Ibu bisa berada disini?"
"Mengapa? Apa maksudmu, In Hong?"
In Hong menoleh ke arah Lian Hong.
"Bagaimana Ibu bisa disini bersama dia?"
Cui Hwa tersenyum di antara tangisnya.
"Aah, benar! Kau belum tahu kiranya. Dia ini adalah Lian Hong, Adikmu!"
In Hong merasa betapa dadanya berdetak keras.
"Ibu, bukankah dia ini Adik dari Ong Teng San?"
"Benar, Teng San itu adalah Kakakmu sendiri..."
Cui Hwa mulai mendapat firasat tidak enak. In Hong merenggut diri dan melepaskan pelukan Ibunya. Ia melangkah mundur tiga tindak dan menatap wajah Ibunya dengan penuh ketegangan. Diam-diam Lian Hong sudah menyiapkan diri untuk turun tangan kalau gadis aneh yang berwatak keras itu hendak mengganggu Ibunya.
"Ibu, apakah artinya semua ini? Anak telah bertemu dengan Yo-supek, diberitahu bahwa Ayah telah tewas dalam tangan penjahat dan Ibu telah hilang, juga Can Ma telah lenyap secara aneh. Bagaimana tahu-tahu Ibu sudah berada disini dan Adik ini..., bagaimana pula Ibu dapat berkata bahwa Ong Teng San adalah Kakakku?"
Cui Hwa benar-benar terdesak oleh pertanyaan In Hong yang bertubi-tubi ini sehingga ia berdiri dengan kaki gemetar dan tak dapat menjawab. Lian Hong melihat keadaan Ibunya ini, bergerak maju, menarik Ibunya dan menyediakan kursi sehingga Ibunya dapat duduk. Cui Hwa menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya, tidak kuasa lagi menentang pandang mata In Hong yang demikian tajam menusuk kalbu. Lian Hong kini menghadapi In Hong dengan sikap gagah akan tetapi sikapnya cukup menghormat.
"Enci In Hong, karena akupun anak Ibu, biarlah aku yang mewakili Ibu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanmu. Jangan kau merasa heran melihat Ibu berada disini, karena sesungguhnya, Ibu telah menikah dengan Ayah dari Kakak Ong Teng San yang ketika itu telah menjadi duda. Dari pernikahan ini terlahir aku, oleh karena ini maka Teng San-Ko adalah Kakak-tiriku, juga Kakak-tirimu."
Muka In Hong menjadi pucat.
"Siapakah nama Ayahmu yang mengawini Ibuku?"
"Ayah bernama Ong Tiang Houw,"
Jawab Lian Hong singkat. Gadis cilik ini maklum bahwa ia telah tiba di bagian yang amat berbahaya. In Hong memandang Ibunya, hatinya tidak karuan rasanya. Jadi Bu Jin Ai, laki-laki gagah perkasa yang membikin ia jatuh hati itu sebenarnya adalah suami Ibunya? Akan tetapi mengapa Teng San membunuh Ayahnya sendiri? Mengapa pula Teng San membiarkan dirinya terbunuh seakan-akan hendak menebus dosa Ayahnya? Apa yang terjadi?
"Ibu, harap kau suka berterus terang. Mengapa Ibu menikah, sedangkan musuh besar yang membunuh Ayah belum kita balas? Juga Ibu tidak berusaha mencariku?"
Lian Hong tidak berani menjawab pertanyaan ini dan sekarang Cui Hwa sudah menguasai perasaan hatinya, maka Nyonya ini berkata dengan suara tenang.
"Dengarlah, In Hong. Sesungguhnya, baru kurang lebih lima tahun yang lalu aku ketahui bahwa pembunuh dari Ayahmu adalah Ong Tiang Houw sendiri. Teng San dan Lian Hong mendengar ini menjadi marah dan melarikan diri, adapun Tiang Houw sendiri seperti gila dan pergi tak pernah pulang. Adapun aku... aku hanya dapat menangis dan bersedih. Kalau aku tahu bahwa dia pembunuh Kwee Seng Ayahmu, sudah tentu aku takkan sudi menjadi isterinya..."
Setelah berkata demikian dan melihat betapa wajah Lian Hong yang tersinggung hatinya menjadi pucat dan berduka, Cui Hwa menangis sambil memeluk Lian Hong. Mendengar penuturan itu, makin lama wajah In Hong menjadi makin pucat. Ia berdiri seperti patung, memandang kepada Ibunya dengan mata sayu dan Bibir gemetar.
Kemudian terdengar ia merintih perlahan, membalikkan tubuh dan hendak pergi dari situ. Akan tetapi, baru saja tiga langkah ia bertindak, tubuhnya terguling dan ia roboh pingsan! Dapat dibayangkan betapa hancur dan pedihnya hati In Hong. Ia telah mencurahkan kasih sayang dan kasihan kepada Bu Jin Ai, dan tidak disangkanya sama sekali bahwa Bu Jin Ai itu adalah suami Ibunya, bahkan pembunuh Ayahnya! Orang satu-satunya di dunia ini yang dikasihinya, ternyata adalah orang satu-satunya yang menjadi musuh besarnya, yang seharusnya ia bunuh dan ia cincang hancur tubuhnya! Baru sekarang terbuka matanya, dan tahulah ia mengapa Teng San membunuh Ayahnya sendiri. Pemuda itu tentu merasa terhina sekali melihat Ayahnya yang setelah membunuh Kwee Seng lalu mengawini Nyonya Kwee, kini bahkan hendak memikat In Hong, puteri dari Kwee Seng.
In Hong tahu bahwa Tiang Houw atau Bu Jin Ai melakukan hal ini tanpa disadarinya. Orang itu telah ditinggal pergi oleh anak-anaknya dan dibenci oleh isterinya, menjadi patah hati dan seperti gila. Kemudian bertemu dengan dia yang mempunyai wajah seperti Cui Hwa dan Lian Hong, tidak mengherankan apabila Bu Jin Ai jatuh hati kepadanya. Ketika siuman kembali, In Hong mendapatkan dirinya telah berada diatas pembaringan dalam kamar, Ibunya duduk di tepi pembaringan sambil menangis dan mengguncang-guncang pundaknya. Lian Hong juga duduk di atas kursi dekat pembaringan. Keduanya tampak sedih sekali. In Hong bangkit duduk, menghela napas panjang beberapa kali, membiarkan Ibunya merangkulnya. Kemudian ia berkata dengan nada suara berduka.
"Ibu, aku telah berdosa besar. Tidak pantas lagi aku mendekati Ibu. Biarlah aku pergi se-karang juga, merantau seperti yang dila-kukan Guruku."
Ibunya menangis,
"In Hong, Anakku, mengapa engkau berkata begitu? Akulah, Ibumu ini yang bersalah dan engkau harus dapat memaafkan Ibumu. Mari kita hidup berkumpul lagi, In Hong. Tidak kasihankah engkau kepada Ibumu?"
Melihat Ibunya menangis sedih, Lian Hong lalu berkata.
"Ibu, aku tahu kemana Enci In Hong hendak pergi. Ia tentu ingin mencari Ayah untuk membalas sakit hatinya karena Ayah telah membunuh Ayahnya. Bukankah begitu, Enci In Hong?"
Suara gadis remaja ini mengandung penuh kegetiran. In Hong menggeleng kepalanya.
"Engkau keliru, Lian Hong. Memang menurut patut seharusnya demikian, seharusnya aku membunuh dia yang telah membunuh Ayah kandungku. Akan tetapi nasib menentukan lain. Agaknya memang Ayahmu telah melakukan banyak dosa make dia harus menebusnya dengan tewas di tangan puteranya sendiri."
"Apa...?"
Cui Hwa dan Lin Hong terkejut sekali mendengar ucapan itu dan keduanya memandang kepada In Hong terkejut sekali mendengar ucapan itu dan keduanya memandang kepada In Hong dengan mata terbelalak.
"Sesungguhnya, Teng San telah membunuh Ayahnya dan untuk perbuatannya itu... untuk perbuatan itu aku telah menyerang dan membunuh Ong Teng an..."
Ibu dan anak itu terkejut bukan main. Sukar dapat mempercayai apa yang diceritakan In Hong kepada mereka itu. Sungguh tidak masuk akal dan mengherankan. Bagaimana mungkin anak membunuh Ayah kandungnya sendiri?
"Benarkah itu, In Hong?"
Tanya Ibunya.
"Aku tidak berbohong, Ibu. Jenazah keduanya telah kurawat dan kukubur baik-baik di dalam gua di kaki Gunung Kun-Lun-San. Ibu, sekarang aku harus melanjutkan perantauanku."
"In Hong, jangan..."
"Ibu, aku harus pergi. Setidaknya, untuk sementara ini aku harus menjauhkan diri agar perasaan hatiku yang terguncang ini dapat tenteram kembali. Kelak, kalau hatiku sudah tenteram, aku akan mengunjungi Ibu. Adik Lian Hong, engkau seorang anak yang baik dan berbakti. Aku titip Ibu kepadamu dan jagalah ia baik-baik."
Setelah berkata demikian, In Hong segera keluar dari rumah itu, membiarkan Ibunya menangisi kepergiannya.
Lewat tengah malam, bulan tampak bercahaya terang. Langit bersih dari awan. Bulan cerah berseri menyuramkan cahaya beberapa buah bintang yang berkelap-kelip di barat. Puncak bukit itu sunyi dan indah bagaikan dalam dongeng. Sinar bulan mendatangkan pemandangan seperti dalam mimpi. Yang terdengar hanya dendang suara binatang-binatang kecil seperti jangkerik, belalang dan serangga lain. Perpaduan suara yang tiada putusnya. Namun, suara itu terkadang diseling suara isak tangis wanita. Kalau kebetulan ada orang lewat di situ, dia tentu akan lari ketakutan, mengira suara itu adalah suara tangis siluman.
Suara tangis itu terkadang berhenti, lalu muncul lagi. Demikian sampai fajar menjelang. Matahari yang masih bersembunyi di balik gunung di ufuk timur, telah mengirim cahayanya kuning kemerahan, mengecat langit dengan warna merah, kunin Indah sekali. Kokok ayam mulai terdengar bersahut-sahutan. Kegaduhan mereka menggugah yang tidur berkelompok di pepohonan dan mulai ramailah suasana oleh kicau mereka. Di antara semak belukar dan batang pepohonan, tikus hutan dan kelinci mulai bergerak mencari makan. Burung-burung pun mulai meninggalkan pohon, siap berangkat kerja mencari makan. Semua mahluk harus bekerja mencari makan kalau ingin bertahan hidup.
Dari semut terkecil sampai gajah terbesar, semua harus bekerja mencari makan, tanpa kecuali. Bahkan pepohonan juga tiada hentinya mencari makan, melalui akar-akar dan daun-daunnya. Wanita yang semalam menangis kini tidak menangis lagi. la duduk di atas sebuah batu besar yang menghadap ke tebing. Dari tempat ia duduk, terbentang bumi dari sebagian permukaan bukit sampai ke tanah ladang di kaki bukit, membentang luas seolah tanpa batas. la seorang gadis berusia sekitar sembilan belas tahun. Sesungguhnya ia berwajah cantik jelita dan memiliki bentuk tubuh yang sintal dan ramping padat, dengan lekuk-lengkung yang sempurna bagaikan setangkai bunga sedang mekarnya. Namun wajah yang cantik manis itu.........
==================
Hal. 49 dan 50 hilang
==================
narnya mulai menghangatkan badan, tidak pula merasakan hembusan angin bukit yang semilir menggerakkan rambut dan ujung bajunya. la kini memikirkan Ibu kandungnya. Salahkah Ibunya menikah dengan pembunuh suaminya? Tidak, Ibunya tidak bersalah. Ibunya sama sekali tidak tahu bahwa Ong Tiang Houw adalah pembunuh suaminya, Kwee Seng. Ibunya menganggap Ong Tiang Houw sebagai penolongnya, sebagai seorang duda beranak satu yang perkasa dan rupawan. Ibunya sama kali tidak bersalah, dan ia bahkan merasa amat iba kepada Ibu kandungnya, Yo Cui Hwa. Kalau begitu, Ong Tiang Houw yang jahat?
Seperti yang disangka oleh Ong Teng San sehingga pemuda itu tega membunuh Ayah sendiri? Tidak! setelah ia mengetahui persoalannya, ia yakin bahwa Ong Tiang Houw, laki-laki pertama yang dicintainya itu juga ak bersalah. Isteri pertama Ong Tiang Houw, Ibu kandung Ong Teng San, membunuh diri karena dipaksa akan diperisteri oleh seorang hartawan yang sewenang-wenang. Ayah-Ibunya meninggal dunia karena berduka dan anaknya, Ong Teng San yang masih kecil, hilang! Semua ini membuat Ong Tiang Houw mendendam kepada para penguasa yang korup dan tidak adil, juga kepada para hartawan yang suka bertindak sewenang-wenang, bersekongkol dengan para pembesar mengandalkan harta kekayaan mereka. Dengan orang-orang yang senasib dia lalu membentuk sebuah perkumpulan Kai-Sin-Tin yang menentang penindasan dan kesewenang-wenangan para penguasa dan hartawan jahat.
Gerakan Kai-Sin-Tin inilah yang kemudian mengakibatkan Ayah kandungnya, Kwee Seng, menjadi korban. Ong Tiang Houw membunuh Kwee Seng bukan karena permusuhan pribadi, apalagi untuk merampas isterinya. Kemudian ia malah menolong Yo Cui Hwa, isteri Kwee Seng, jatuh cinta padanya dan sebagai seorang duda lalu menikah dengan Yo Cui Hwa yang telah menjadi seorang janda. Jadi, Ong Tiang Houw membunuh Kwee Seng bukan karena permusuhan pribadi, kemudian menikahi Yo Cui Hwa karena mencinta dan Ibu kandungnya itu juga bersedia, bukan dengan paksaan. Kemudian Ong Tiang Houw jatuh cinta padanya. Hal ini pun tidak dapat disalahkan. Ketika Ong Tiang Houw menceritakan bahwa dia yang dulu membunuh Kwee Seng, seluruh keluarganya membencinya.
Puteranya dari isteri pertamanya, Ong Teng San, dan puterinya dari Yo Cui Hwa, Ong Lian Hong, bahkan minggat! Juga Yo Cui Hwa membencinya. Hal ini membuat Ong Tiang Houw menjadi seperti gila, merantau dan merubah namanya menjadi Bu Jin Ai (tidak Ada Orang Menyukainya)! Kemudian bertemu dengannya lalu jatuh cinta. Ini pun tidak aneh. Wajahnya mirip Ibunya, tentu saja hal ini menarik hati Bu Jin Ai atau Ong Tiang Houw. Tidak! Ong Tiang Houw tidak bersalah! Ia sendiri satu-satunya orang yang bersalah, berdosa besar! Perasaan penuh penyesalan ini yang membuat In Hong semalam menangis seorang diri. Kalau dikenang, rasanya baru satu kali dalam hidupnya ia merasa bahagia, yaitu ketika dekat dengan Bu Jin Ai. Ketika ia dan Bu Jin Ai berada dalam gua dan saling mengobati luka masing-masing.
Getaran cinta kasih yang mendalam pada saat itu menyentuhnya dan ia merasa berbahagia sekali. Rasanya baru satu kali itu ia merasakan benar getaran cinta seorang pria, cinta yang tulus dan mendalam. Kemudian la teringat lagl kepada Ong Teng San. Seorang pemuda yang tinggi ilmunya, gagah perkasa dan budiman. Dan ia telah membunuh pemuda itu! Kini In Hong merasa menyesal sekali. la me-rasa hidupnya menderita tekanan batin yang membuat segala sesuatu tampak buruk, menyebalkan dan menyedihkan. Kehangatan sinar mataharl terasa panas mengganggu, hembusan semilir angin terasa tidak enak menyesakkan dada, kicau burung terdengar gaduh dan tidak enak bagi telinganya. Kemarahan menyesak dada, marah kepada diri sendiri, marah kepada keadaan sekelilingnya, marah kepada riwayat hidupnya.
"Jahanam...!"
Tiba-tiba tangannya bergerak memukul batu yang didudukinya.
"Brakkk!"
Bagian tepi batu yang di hantam telapak tangannya berantakan! la lalu melompat ke dekat sebatang pohon, lalu menyerang pohon itu.
"Krakkk...!"
Batang pohon sebesar pinggangnya itu patah dan lalu mengamuk dan merobohkan tujuh batang pohon. Barulah kemarahannya mereda. Kemarahan tanpa dasar, tanpa sebab, kemarahan yang timbul dari nyesalan, kekecewaan dan duka. Setelah merobohkan pohon-pohon itu dengan pukulan Kang-Jiu Sin-Ciang (Silat Sakti Tangan Baja) yang dipelajari dariKakek sakti buntung kaki tangannya, yaitu mendiang Bhutan Koai-Jin In Hong baru merasa lega. Semua kesedihannya bagaikan larut oleh gelombang kemarahan yang dimuntahkan keluar melalui pukulan-pukulannya yang merobohkan pohon tadi.
Wajahnya yang biasanya memang cerah itu kini seolah ditinggalkan awan dan ia pun segera berlari menuruni bukit. Pada suatu siang ketika In Hong berjalan santai dan tiba di luar kota Hak-Ciu, tiba-tiba melihat seorang laki-laki berusia enam puluh tahun dan berpakaian sebagai seorang ahli silat, tergesa-gesa berjalan setengah berlari dari depan. Ketika laki-kaki itu lewat di dekatnya, pandang mata In Hong yang tajam dapat melihat bahwa orang itu telah menderita luka dalam yang cukup parah. Hal ini tampak pada mukanya yang pucat kebiruan dan napasnya yang terengah-engah. In Hong tentu tidak akan mempedulikan orang itu karena ia tidak mengenalnya dan tidak ada urusan dengannya, kalau saja ia tidak melihat lima orang laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun berlari-lari mengejar laki-laki tadi!
Karena laki-laki tadi sudah menderita luka dalam, maka dia tidak dapat berlari cepat dan sebentar saja dia sudah dapat disusul lima orang yang wajahnya tampak menyeramkan, tubuh mereka semua kokoh kuat itu. Tanpa banyak cakap lima orang itu kini mengurung laki-laki itu lalu menyerang dan mengeroyoknya dengan menggunakan golok di tangan! In Hong membalikkan tubuhnya dan menonton perkelahian itu, Banyak orang yang sedang berjalan diatas jalan umum itu menonton, namun pun tak seorang pun di antara mereka berani mendekat, bahkan agak menjauh dan menonton dari tempat aman. In Hong melangkah maju menghampiri. la melihat betapa laki-laki yang bertangan kosong Itu dapat bergerak dengan gesit sekali, mengelak ke sana-sini.
Namun dia menyeringai, agaknya luka dalam tubuhnya membuat dia kesakitan dan gerakannya membuat dia semakin lemah dan lambat. Sebelum ada sebuah dari lima golok itu sempat membabatnya, tiba-tiba ada bayangan berkelebat. Bayangan itu berkelebatan cepat sekali sehingga hampir tak tampak dan tidak dapat terlihat dengan jelas mukanya, hanya bayangan itu jelas bayangan seorang wanita cantik. Bayangan itu berkelebatan diantara lima orang pengeroyok itu. Terdengar lima orang itu mengaduh kesakitan, golok mereka beterbangan dan seorang demi seorang roboh tak mampu bangkit kembali. Mereka mengaduh-aduh, ada yang patah tulang lengannya, ada yang patah tulang kakinya, ada pula yang patah tulang pundaknya. Akan tetapi ketika mereka memandang, juga ketika semua penonton mencari, ternyata bayangan itu telah lenyap tanpa meninggalkan jejak!
Lelaki tua itu kini melanjutkan perjalanannya, melangkah dengan terhuyung-huyung pergi meninggalkan tempat itu. Ributlah semua orang yang menyaksikan peristiwa itu. Setelah lima orang pengeroyok itu berjalan ke arah pintu gerbang kota Hak-Ciu sambil mengaduh-aduh kesakitan, baru semua orang membicarakan peristiwa itu. Mereka terheran-heran akan tetapi juga puas melihat ada orang berani menghajar lima orang tukang pukul yang terkenal dengan julukan Hak-Ciu Ngo-Houw (Lima Harimau Hak-Ciu) dan mereka di takuti bukan hanya karena galaknya, akan tetapi juga karena mereka adalah jagoan-jagoan dari Jaksa Ouw yang berpengaruh dan berkuasa di kota Hak-Ciu! Karena mereka tadi hanya melihat bayangan seorang wanita cantik, maka ada yang mengatakat bahwa mungkin wanita yang menghajar para jagoan jahat tadi seorang bidadari.
Karena yang tampak hanya bayangannya, maka orang-orang mulai menyebut nama Si Bayangan Bidadari! In Hong diam-diam membayangi laki-laki yang telah menderita luka dalam itu. Tadi ia bergerak cepat karena memang tidak ingin dikenal orang. Ia pun sengaja hanya merobohkan lima orang itu, tidak membunuh mereka karena ia belum tahu apa masalahnya sehingga orang tua itu dikeroyok oleh mereka Melihat laki-laki itu, yang dari gerakannya ketika mengelak tadi dapat ia ketahui memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, ia tahu bahwa orang itu menderita luka parah dan gerakan-gerakannya tadi membuat lukanya semakin parah. Maka diam-diam ia membayangi laki-laki itu yang menjauhi kota Hak-Ciu, lalu memasuki sebuah hutan.
Setelah memasuki hutan, menyimpang dari jalan umum sehingga tidak ada orang melihatnya, laki-laki itu terhuyung-huyung, berhenti di bawah sebatang pohon dan tiba-tiba dia muntah darah, lalu terkulai dan roboh! In Hong segera menghampiri, berjongkok dan memeriksa keadaan orang itu. Benar seperti dugaannya tadi. Orang itu menderita luka yang ternyata amat parah, bahkan melihat warna menghitam didadanya, In Hong menduga bahwa orang itu terkena pukulan Tok-Ciang (Tangan Beracun)! Cepat ia lalu menotok beberapa jalan darah untuk mengurangi rasa nyeri, dan melihat betapa laki-laki itu pingsan, mengurut tengkuknya dan membetot otot di antara Ibu jari dan telunjuk. Laki-laki itu mengeluh dan membuka mata, bergerak hendak bangkit duduk akan tetapi pundaknya ditekan perlahan oleh In Hong.
"Paman, engkau rebah sajalah, jangan banyak bergerak."
Sejenak sepasang mata itu mengamati wajah In Hong dengan heran dan penuh selidik, lalu dia berkata dengan suara terputus-putus dan napas memburu,
"Nona... yang tadi... menyelamatkan saya...?"
In Hong mengangguk,
"Paman siapakah? Dan mengapa lima orang itu mengeroyok dan berusaha membunuhmu?"
Laki-laki itu menyeringai, lebih penasaran daripada kesakitan. Ialu berkata lemah,
"Nama saya Si Hoo... dikenal sebagai... Si-Kauwsu (Guru silat Si)... di... Hak-Ciu..."
Dengan terengah-engah dan terputus-putus ia bercerita. Dia adalah seorang Guru silat kenamaan di kota Hak-Ciu yang baru saja di tinggalkannya. Sudah sejak sepuluh tahun dia hidup menduda setelah isterinya meninggaI dunia.
Di Hak-Ciu dia membuka sebuah Bu-Koan (Perguruan Silat) yang menerima puluhan orang murid. Tadinya di hidup berdua dengan puteranya, anak tunggal yang bernama Si Han Lin. Akan tetapi, lima tahun yag lalu, ketika Si Han Lin berusia lima belas tahun, anaknya itu meninggalkan Hak-Ciu untuk merantau, mencari Guru untuk memperdalam ilmu silat yang telah dipelajarinya dari Ayahnya. Pada suatu hari, diperguruannya datang seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh satu tahu. Pemuda itu bernama Ouw Boan Kit, putera Jaksa Ouw yang berkuasa di Hak-Ciu. Melihat kedatangan seorang pemuda yang mukanya merah, sikapnya gagah namun jelas tampak sombong dan kasar itu, Guru Silat Si menyambut dengan ramah. Ouw Boan Kit memperkenalkan diri sebagai putera Jaksa Ouw, maka tentu saja Si Hoo bersikap hormat.
"Ah, kiranya Ouw-Kongcu (Tuan Muda Ouw) putera Ouw Taijin (Pembesar Ouw). Silakan duduk, Ouw-Kongcu."
Akan tetapi pemuda berpakaian mewah itu tidak menanggapi, tetap berdiri dengan mengangkat dan membusungkan dada lalu bertanya, secara sambil lalu dan memandang rendah.
"Apakah engkau yang bernama Si Hoo, Guru silat yang membuka perguruan silat ini?"
"Benar sekali, Ouw-Kongcu. Apakah ada yang dapat saya bantu, Kongcu?"
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanya Si Hoo dengan sikap tetap sabar dan ramah. Guru silat tua ini sudah banyak pengalaman menghadapi orang-orang muda dengan bermacam-macam watak dan sikap. Dia tidak heran dan tidak marah melihat sikap angkuh sombong dari pemuda ini yang tentu saja mengandalkan kekuasaan Ayahnya sebacai Jaksa sehingga dia memandang rendah orang lain.
"Hemm, aku baru pulang dari merantau dan di dunia kang-ouw (dunia persilatan, daerah sungai telaga) aku mempelajari banyak ilmu silat. Kini aku pulang bersama Guruku dan mendengar di sini ada perguruan silat, ingin aku melihat sampai di mana kehebatan ilmu silat yang diajarkan di sini maka engkau berani membuka dan mengajarkan silat kepada. orang-orang muda."
Si Hoo tetap bersikap mengira bahwa pemuda ini agaknya telah mempelajari beberapa jurus ilmu silat dan sekarang hendak memamerkan kepandaiannya.
"Ah, kiranya Kongcu ingin bermain-main dan menguji ilmu silat? Baik, silahkan ke Lian-Bu-Thia (ruangan berlatih silat) di belakang, Kongcu. Di sana para murid sedang berlatih silat sehingga Kongcu dapat menyaksikannya."
Dengan langkah digagah-gagahkan, dengan gaya seorang jagoan, Ouw Boan Kit berjalan bersama Guru Silat Si Hoo memasuki ruangan luas di mana belasan orang pemuda sedang berlatih olah raga. Ada yang mengangkat besi, ada yang berlatih silat dengan bermacam senjata. Melihat munculnya Guru mereka bersama seorang pemuda berpakaian mewah, otomatis mereka menghentikan kegiatan mereka. Belasan orang pemuda dari usia lima belas sampai dua puluh tahun itu merupakan sebagian dari murid Si Hoo yang berjumlah sekitar lima puluh orang.
(Lanjut ke Jilid 10)
Bayangan Bidadari/Sian Li Eng Cu (Cerita Lepas)
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 10
Setelah Si Hoo masuk bersama Ouw Boan Kit, para murid segera berkumpul dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada kepada Guru mereka.
"Suhu..!"
Ucap mereka serempak. Si Hoo menggerakkan tangan ke atas.
"Anak-anak, perkenalkan, ini adalah Kongcu (Tuan Muda) Ouw Boan Kit yang tertarik dengan perguruan kita dan ingin menyaksikan kalian berlatih."
Si Hoo lalu menunjuk empat orang murid yang sudah tergolong pandai untuk memperagakan ilmu silat mereka di depan Ouw Boan Kit yang sudah dipersilahkan duduk di atas sebuah bangku. Empat orang murid kelas atas ini lalu bermain silat, latihan bertanding. Gerakan mereka gesit dan tangkas. Si Hoo memandang puas dan mengharapkan pujian dari tamunya. Akan tetapi Ouw Boan Kit bangkit sambil terkekeh dan melambaikan tangannya.
"Sudah! Cukup, tak perlu dilanjutkar. Silat macam apa itu demikian lemahnya? Mari kita main-main sebentar. Kalian berempat boleh maju bersama mengeroyok aku. Kalau aku dapat kalian kalahkan barulah ilmu silat perguruan ini boleti masuk hitungan!"
Setelah berkata demkian, Ouw Boan Kit menanggalkan jubah luarnya dan menaruh di atas meja. Kini tampak kedua lengannya yang kekar dan berotot. Dia melangkah ke tengah ruangan itu dengan sikap menantang. Empat orang pemuda murid Si Hoe itu tentu saja panas hati mereka mendengar tantangan yang memandang rendah itu. Akan tetapi di depan Guru mereka, mereka tidak berani bersikap semmbarangan, maka kini mereka berempat hanya memandang kepada Si Hoo, menanti keputusan Guru mereka. Si Hoo diam-diam merasa muak juga menyaksikan sikap pemuda yang sombong itu, namun dia tidak mau menambah permusuhan dengan Jaksa Ouw. Maka sambil tersenyum ia menghampiri Ouw-Kongcu.
"Kongcu, kalau hendak main-main dan menguji ilmu silat, biarlah seorang saja di antara empat murid ini maju melayaninru, tidak perlu berempat."
"Hanya seorang demi mereka? Wah, Si-Kauwsu, aku merasa malu kalau harus bertanding melawan seorang dari mereka. Kepandaian mereka masih mentah. Apalagi maju seorang, biar mereka berempat maju masih juga bukan lawanku yang seimbang! Biarlah mereka berempat maju mengeroyokku!"
Pemuda itu menantang sambil tersenyum mengejek. Sesabar-sabarnya orang, mendengar kata-kata yang amat merendahkan itu, panas juga rasa perut Si Hoo. Kalian majulah, akan tetapi hati-hati jangan sampai melukai Ouw-Kongcu."
Katanya. Empat orang murid yang merasa penasaran itu maju dan mengepung Ouw Boan Kit dari empat jurusan. Ouw-Kongcu memasang kuda-kuda yang kokoh dengan merenggangkan kedua kaki dan menekuk kedua lutut, kedua tangan di kanan-kiri pinggang, lalu berseru.
"Kalian berempat maju dan seranglah!"
Empat orang murid itu serentak berseru,
"Lihat serangan!"
Lalu mereka menyerang dari empat penjuru dengan cepat namun dengan tenaga dibatasi karena mereka menaati pesan Guru mereka agar tidak melukai putera jaksa yang sombong ini. Akan tetapi pemuda bangsawan itu ternyata gesit sekali.
Dua serangan dapat dia elakkan dan yang dua lagi dia tangkis sedemikian kuatnya sehingga dua orang penyerangnya terhuyung ke belakang. Dia pun membalas dengan serangan bertubi yang cukup dahsyat sehingga empat orang pengeroyok itu berloncatan ke belakang, kemudian mereka menyerang lagi dengan hati-hati karena maklum bahwa pemuda sombong itu bukan hanya pandai berlagak, namun juga pandai ilmu silat! Terjadi saling serang selama belasan jurus dan empat orang pengeroyok itu sama sekali belum mampu mendesak pemuda bangsawan itu! Diam-diam Si Hoo merasa heran karena ilmu silat yang dimainkan putera jaksa Itu amat ganas dan kuat, dan jelas menunjukkan ciri ilmu silat aliran sesat. Tiba-tiba Ouw Boan Kit mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang buas, disusul tubuhnya yang berpusing seperti gasing. Lalu terdengar bentakannya melengking.
"Ciaatt... ciaatt... ciaatt... ciaattt!!"
Tubuh empat orang murid Si-Kauwsu itu terpelanting roboh dan mereka hanya mampu bangkit duduk sambil menyeringai kesakitan. Si Hoo cepat menghampiri mereka dan setelah dia memeriksa, dengan kaget dia mendapat kenyataan bahwa mereka mengalami patah tulang. Seorang patah tulang pundaknya, yang ke dua patah tulang lengannya, ke tiga patah tulang iganya dan yang ke empat patah tulang kakinya! Tidak berbahaya bagi keselamatan nyawa mereka memang, namun tetap saja membuat mereka menderita nyeri yang hebat. Si Hoo bangkit berdiri, mengerutkan alisnya menghadapi Ouw Boan Kit, namun dia tetap sabar. Terluka dalam pi-bu (adu ilmu silat) merapikan hal yang wajar dan tidak perlu diributkan.
"Tidak disangka ilmu silat Ouw Boan Kit memang tinggi dan hebat. Kami merasa kagum sekali. Maafkan kalau kami tidak dapat melayani Kongcu lebih lanjut, karena kami harus merawat mereka yang terluka."
Ucapan ini mengandung pengusiran halus. Akan tetapi Boan Kit tertawa mengejek.
"He-he-he! Tingkat kepandaian Guru dapat dilihat dari mutu para muridnya. Kalau mutu murid-muridmu hanya sebegini, bagaimana mungkin engkau berani membuka perguruan silat di Hak-Ciu ini, Si-Kauwsu? Engkau hanya mengajarkan ilmu silat rendahan dan menerima pembayaran para murid. Berarti engkau menipu mereka!"
"Ouw-Kongcu, saya mengajarkan ilmu silat untuk olah raga yang menyehatkan tubuh, bukan untuk berkelahi dan menjadi tukang pukul."
"Cukup obrolan ini Si Hoo, sekarang, Iawanlah aku. Kalau engkau mampu mengalahkan aku, baru engkau boleh menjadi Guru silat di kota ini. Akan tetapi kalau engkau tidak mampu mengalahkan aku, perguruan ini harus ditutup;
"Ouw-Kongcu, saya tidak mencari permusuhan."
"Kalau engkau tidak mencari permusuhan dan takut melawan aku, hayo tutup dan bubarkan perguruan ini. Kota Hak-Ciu tidak boleh dikotori oleh Guru silat palsu yang menipu uang para pemuda!"
Ini sudah keterlaluan, pikir Si Hoo. Anak sombong kurang ajar ini patut diberi hajaran, asal dijaga agar jangan sampai terluka.
"Orang muda, sikap dan kata-katamu ini kalau tidak kau ubah, kelak akan mencelakai dirimu sendiri."
Katanya, masih sabar dan mencoba untuk menyadarkan. Namun, mendengar ini, Ouw Boan Kit menjadi semakin marah.
"Keparat, berani engkau mengancam aku?"
"Aku tidak mengancam, hanya memperingatkan..."
"Mampuslah!"
Tiba-tiba Ouw Boan Kit sudah menyerang dengan gangs. Pukulannya yang mengandung tenaga kuat itu menyambar ke arah kepala Si Hoo dan kalau pukulan itu mengenai sasaran, bukan mustahil kalau kepala Guru silat itu akan pecah! Akan tetapi dengan mudah Si Hoo mengelak.
"Ouw Kongcu, aku tidak ingin berkelahi!"
Akan tetapi pemuda itu malah menyerang lebih hebat lagi.
Setelah tiga kali mengelak dari pukulan Ouw Boan Kit, dan pemuda itu masih terus menyerang, Si Hoo mengelak sambil menggerakkan kakinya yang menendang lutut lawan. Gerakan ini cepat sekali dan tiba tiba tubuh Ouw Boan Kit terpelanting karena dia merasa kedua lututnya kehllangan tenaga! Ketika terpelanting, mukanya terbanting pada lantai dan sungguh sial baginya, di situ terdapat kotoran anjing sehingga hidung dan mulutnya berlepotan kotoran anjing. Dia bangkit menyumpah-nyumpah sambil muntah-muntah! Terdengar tepuk tangan para murid yang geli dan senang melihat pemuda sombong itu menerima hajaran. Ouw Boan Kit bangkit dengan muka merah, matanya melotot memandang. ke-pada Si Hoo, lalu dia lari keluar dari rumah perguruan silat itu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Si Hoo menghela napas panjang.
"Mulai hari ini, kalian semua harus berhati-hati, jaga jangan sampai terjadi bentrokan dengan siapa pun."
Dia memesan lalu merawat empat orang murid yang menderita patah tulang. Pada keesokan harinya, datang petugas Kantor Kejaksaan yang menyampaikan perintah Jaksa Ouw agar Si Hoo datang ke kantor untuk dimintai keteranganl Si Hoo tidak berani membantah dan dia pun pergi menghadap Jaksa Ouw di kantornya. Ketika dia memasuki ruangan kantor itu, yang berada di kantor adalah Jaksa Ouw sendiri, dikawal oleh lima orang tukang pukulnya yang sudah dikenal semua penduduk kota Hak-Ciu. Lima orang jagoan ini adalah Hak-Ciu Ngo-Houw (Lima Harimau Hak-Ciu). Selain lima orang itu, terdapat pula Ouw Boan Kit dan di dekat pemuda itu duduk pula seorangKakek berusia sekitar enam puluh tahun, tubuhnya kurus agak bongkok, mukanya halus tanpa kumis atau jenggot, tampak lemah berpenyakitan namun sepasang matanya mencorong penuh wibawa yang menakutkan! Begitu memasuki ruangan itu diantar oleh dua orang perajurit penjaga yang tali menyambutnya di luar, seorang dari Hak-Ciu Ngo-Houw membentak.
"Orang she Si, berlututlah menghadap Ouw Taijin!"
Dalam hatinya, Si Hoo tidak dapat menerima perintah ini, akan tetapi dia tahu bahwa Jaksa ini bagi penduduk Hak-Ciu merupakan Raja kecil. Bahkan kepala daerah di Hak-Ciu juga tunduk kepada orang yang berwenang menuntut dan menyalahkan siapa saja ini. Maka dia pun mengalah dan berlutut menghadap Jaksa Ouw yang duduk dengan alis berkerut dan tangan kiri mengelus jenggotnya.
"Heh, kamu yang bernama Si Hoo, Guru silat?"
Jaksa Ouw bertanya, suaranya membentak mengandung kemarahan.
"Benar, Taijin."
"Kamu sudah berani memukul puteraku Ouw Boan Kit kemarin, ya?"
"Tidak Taijin. Ouw Boan Kit datang mengajak pi-bu (adu kepandaian silat) dan tidak ada yang memukulinya."
"Dia bohong, Ayah!"
Tiba-tiba Ouw Boan Kit berseru sambil bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke arah Si Hoo.
"Mula-mula dia menyuruh empat orang muridnya mengeroyokku, setelah empat orang muridnya kukalahkan, dia maju dan memukuliku!"
"Itu tidak benar, Taijin..."
"Diam kau, Si Hoo! Kalau tidak ditanya jangan bicara!"
Bentak Jaksa Ouw. Si Hoo terdiam dan menahan kesabarannya.
"Tidak ada gunanya berbantahan karena kedua pihak tentu bertahan dengan keterangan masing-masing..."
"Maaf, Taijin. Terdapat banyak sekali saksi. Murid-murid saya semua menyaksikan peristiwa itu..."
"Diam! Mereka adalah murid-muridmu, tentu saja mereka semua siap berbohong untuk membenarkan dan membelamu! Saksi-saksi seperti itu tidak dapat dipercaya dan tidak boleh dijadikan saksi. Sekarang keputusanku begini. Karena puteraku Ouw Boan Kit menjadi korban, maka aku memberi kesempatan kepadanya untuk mengajukan usul, tindakan apa yang harus diambil untuk menghukum kejahatanmu. Nah, bagaimana pendapatmu, Boan Kit? Apakah engkau mempunyai usul?"
"Begini saja, Ayah. Setelah bertahun-tahun mempelajari ilmu silat dari Suhu yang sekarang hadir di sini, aku menghargai kegagahan. Karena Itu, biarlah sekarang Guru Silat Si Hoo bertanding melawan Guruku. Kalau dia mampu mengalahkan Guruku, biarlah aku mengalah dan aku akan berguru kepadanya, dan perguruannya akan kita dukung agar menjadi besar. Sebaliknya, kalau dia kalah dia harus menutup perguruannya!"
"Wah, itu usul yang baik dan adil sekali!"
Seru Jaksa Ouw bangga.
"Nah. dengarlah, Si Hoo. Kami memutuskan agar engkau bertanding ilmu silat melawan Guru puteraku. Kalau engkau menang, engkau pantas menjadi Gurunya yang Baru. Sebaliknya kalau engkau kalah, engkau harus menutup perguruanmu!"
"Akan tetapi, Taijin, sungguh mati saya tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga."
Si Hoo membantah.
"Tidak boleh menolak keputusan kami! Tinggal pilih, engkau menerima pi-bu (mengadu ilmu silat) itu atau masuk penjara!"
Tidak ada pilihan lain bagi Si Hoo,
"Baiklah, saya menerima keputusan Taijin."
"Ruangan Ini cukup luas!"
Kata Jaksa Ouw.
"Lo-Cianpwe (orang tua gagah), silahkan mewakili Boan Kit melawan Guru Silat Si Hoo."
Kata Jaksa itu kepadaKakek kurus bongkok yang sejak tadi diam saja sambil menyeringai aneh. Mendengar Ini,Kakek itu lalu bangkit dan melangkah ke tengah ruangan.
"Orang she Si, ke sinilah dan mari kita main-main sebentar. Ingin aku malihat bagaimana engkau dapat merobohkan muridku."
SuaraKakek itu tinggi dan lembut, namun matanya mencorong dan mulutnya menyeringai seperti mengejek. Si Hoo tak dapat mengelak atau membantah lagi. Tentu saja lebih baik pi-bu daripada dimasukkan tahanan atau penjara. Dia lalu bangkit dan menghampiriKakek kurus itu. Mereka berdua kini saling berhadapan.
"Orang she Si, dari manakah aliran perguruanmu?"Kakek itu kembali berkata dengan pertanyaan yang diiringi sikap memandang ringan.
"Saya murid Bu-Tong-Pai."
Jawab Si Hoo bersahaja.
"He-heh, bagus. Nah, sambut seranganku ini!"
Kakek itu menyerang dengan tamparan tangan kiri. Gerakannya tam pak lemah dan lambat, namun Si Hoo terkejut bukan main karena dia merasa betapa ada hawa pukulan yang amat kuat menyambar ke arah kepalanya. Cepat dia mengelak dan membalas.Kakek itu pun dengan mudah mengelak dan mereka berdua lalu bertanding saling serang. Si-Kauwsu (Guru Silat Si) terkejut bukan main. Baru beberapa gebrakan saja tahulah dia bahwa lawannya ini memiliki kepandaian silat yang tinggi sekali dan agaknya amat memandang rendah kepadanya sehingga dalam jurus-jurus pertama seperti mempermainkan dia saja. Setiap kali lengannya bertemu dengan lengan kurus kecil itu, tubuhnya tergetar dan tangannya terasa panas sekali! Akhirnya, telah lewat beberapa jurus,Kakek itu berseru.
"Pergilah!"
Tangan kanannya dengan jari-jari terbuka mendorong ke arah dada Si Hoo. Serangan ini demikian cepat hingga tidak dapat dihindarkan Si Hoo sehingga dadanya tersentuh. Hanya tersentuh saja, akan tetapi dia merasa dadanya panas dan sesak, kepalanya pening dan dia pun terpelanting roboh! Si Hoo berusaha untuk mengatur pernapasannya, Akan tetapi dia tahu bahwa dia telah terkena pukulan yang amat ampuh dan ketika dia membuka bajunya melihat tanda menghitam di dadanya, dia terbelalak,
"Hek-Tok-Ciang (Tangan Racun Hitam)...? Kalau begitu... engkau... adalah... Pak Lo-Kui...?"
Kata Si Hoo terengah-engah.
"He-he-he-he! Bagus engkau mengenal aku! lni sekadar pelajaran bagimu yang telah berani memukul muridku!"
KataKakek kurus bongkok yang ternyata Pak Lo-Kui (Setan Tua Utara) atau yang dikenal pula sebagai Datuk Utara atau Rajanya para Datuk persilatan di wilayah utara! Si Hoo merasa penasaran sekali. Dia bangkit dan memberi hormat kepada Jaksa Ouw, lalu berkata.
"Penasaran...! Saya tidak bersalah... saya akan melapor... kepada... Kepala Wilayah... di Nam-Ciu..."
Setelah berkata demikian Si Hoo lalu keluar dari kantor kejaksaan. Dia segera pulang, mengumpulkan murid-muridnya, menyatakan pembubaran perguruan silatnya dan menitipkan rumahnya kepada para murid tertua.
Kemudian sambil membawa pakaian dan bekal, dia cepat meninggal kota Hak-Ciu, bermaksud untuk pergi ke Nam-Ciu. Dia tahu bahwa dia menderita luka dalam yang amat parah sebagai akibat pukulan Hek-Tok-Ciang, sehingga luka mengandung hawa beracun itu merusak isi dadanya, dan sebelum terlambat dia ingin melaporkan perbuatan wenang-wenang Jaksa Ouw kepada pejabat tinggi di Nam-Ciu, yaitu Jaksa Kepala Kwa yang merupakan pembesar tinggi angkatan Kaisar sendiri. Jaksa Kepala Kwa ini datang dari kotaraja dan bertugas di Nam-Ciu yang membawahi banyak kota, di antaranya Hak-Ciu termatuk wilayah Nam-Ciu. Akan tetapi agaknya Jaksa Ouw khawatir kalau dia benar-benar hendak melapor kepada Pembesar Kwa di Nam-Ciu, maka pembesar itu lalu menyuruh Hak-Ciu Ngo-Houw untuk mengejarnya dan membunuhnya.
"Demikianlah, Lihiap (Pendekar Wanita)... aku... aku tidak kuat lagi... tolong sampaikan kepada... Anakku... Si Han Lin... dia mungkin... di Bu-Tong-Pai..."
"Tenanglah, Paman. Aku akan membawamu ke ahli pengobatan agar dapat manolongmu."
"Tidak... percuma... berjanjilah, Lihiap... engkau... kelak mau menyampaikan... kepada... Si... Han... Lin..."
"Baik, aku berjanji Paman"
Akan tetapi tubuh Si Hoo terkulai dan ketika In Hong memeriksanya, Guru silat itu telah mati. In Hong bangkit berdiri, menghela napas panjang dan mengepal tangannya. Tadi ia telah mendengar semua cerita Guru silat Si. Setelah bercerita panjang lebar, Guru silat yang terkena pukulan Hek-Tok-Ciang itu kehabisan tenaga dan akhirnya menghembuskan napas terakhir setelah meninggalkan pesan kepadanya.
Si Han Lin, ia tidak akan melupakan nama itu. Akan tetapi sekarang ada hal lebih penting yang harus ia tangani. Pertama, melaporkan kematian Guru silat itu kepada para muridnya agar jenazahnya dapat diurus, dan ke dua, ia tidak dapat tinggal diam saja mendengar kisah mengharukan Guru silat itu, Jaksa Ouw, anaknya dan antek-anteknya itu harus diberi haJaran keras. la sendiri pernah menerima gemblengan Datuk-Datuk aneh yang berwatak aneh seperti gila, juga terkadang amat kejam, akan tetapi dua orang mendiang Gurunya itu, Hek Moli (Iblis Betina Hitam) dan suaminya Bhutan Koai-jin (Manusia Aneh dari Bhu-tan), setldaknya memiliki rasa keadilan dan membenci mereka yang berbuat jahat dan sewenang-wenang. Tiga orang pemuda itu menghadapi In Hong dan memandang penuh heran dan kagum.
"Benarkah ini rumah Guru Si Hoo?"
Tanya gadis itu.
"Dan apakah kalian ini murid-muridnya?"
Tiga orang pemuda itu saling pandang, lalu seorang di antara mereka bertanya,
"Nona siapakah dan ada kepentIngan apakah datang berkunjung?"
"Jawab dulu pertanyaanku tadi!"
"Benar, Nona. Ini rumah perguruan silat yang dipimpin Suhu Si Hoo, akan tetapi sekarang telah ditutup dan perguruan dibubarkan. Kami adalah murid-muridnya."
"Bagus, kalau begitu kalian cepat urus jenazah Gurumu..."
"Jenazah Suhu...? Apa... apa maksudmu?"
"Dia terluka parah dan tewas dalam perjalanan, di hutan sebelah selatan kota. Cepat pergi ke sana dan urus jenazahnya."
"Tapi... siapakah yang membunuhnya?"
Tanya seorang.
"Siapakah nama Nona?"
Tanya yang lain. Akan tetapi mereka bertiga hanya melihat bayangan berkelebat dan gadis cantik di depan mereka Itu telah lenyap! Mereka bengong, saling pandang kehilangan akal, akan tetapi mereka lalu bergegas mengundang saudara-saudara seperguruan yang tinggal berpencaran. Tak lama kemudian tujuh orang murid telah pergi menuju keluar kota ke arah selatan dan pada sore harinya mereka kembali ke kota dengan wajah duka, menggotong jenazah Si Hoo dan membawanya pulang untuk di urus perkabungan dan penguburannya karena Guru silat itu tidak mempunyai seorang pun keluarga di kota Hak-Ciu.
Pada saat para bekas murid Si Hoo berkumpul di rumah duka, terjadi hal yang menarik dan menggegerkan di rumah Jaksa Ouw yang besar, megah dan mewah. In Hong memasuki pekarangan rumah besar itu. Pekarangan itu luas dan terdapat lima orang penjaga yang bertubuh tinggi besar dan bersikap galak. Melihat ada seorang gadis memasuki pekarangan, lima orang petugas jaga itu cepat menghadang. Mereka adalah orang-orang kasar yang berpakaian seragam, dan mereka adalah petugas-petugas penjaga yang ditugaskan sebagai pasukan pengawal di rumah Jaksa Ouw. Melihat ada gadis cantik memasuki pekarangan dan tidak mengenal gadis Itu, lima orang itu tertawa-tawa dan bersikap kurang ajar. Gadis Itu bukan anggauta keluarga Jaksa Ouw, maka tentu saja mereka berani bersikap kurang ajar.
"Wahai Nona manis, engkau datang hendak mencari aku, bukan?"
Kata seorang.
"Bukan, ia mencari aku, betulkan, manis?"
Lima orang itu menggoda dengan ucapan-ucapan nakal bahkan ada yang bicara cabul dan tangan mereka meraih untuk menyentuh tubuh yang menggairahkan itu. In Hong mengerutkan alisnya, matanya berkilat dan tiba-tiba tubuhnya bergerak cepat berkelebatan. Terdengar teriakan-teriakan dan tubuh lima orang itu berturut-turut roboh tak dapat bangkit kembali karena mereka telah tewas tanpa terluka sama sekall. Tentu saja karena pukulan tangan In Hong mengandung tenaga sinkang yang tidak melukai kulit, melainkan menghancurkan isi kepala dan isi dada, di mana bagian itu terkena tamparannya! Teriakan lima orang itu terdengar dari dalam gedung dan muncullah beberapa orang.
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo