Ceritasilat Novel Online

Bayangan Bidadari 11


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 11



In Hong sudah tiba di dekat serambi rumah itu dan ia melihat ada belasan orang berpakaian seragam pengawal keluar memegang golok. Tampak pula lima orang Hak-Ciu Ngo-Houw yang pernah ia robohkan. Mereka terpincang-pincang, dan tampak pula seorang pemuda yang tampan gagah dan berpakaian mewah. In Hong tadi membunuh lima orang penjaga karena mereka berani bersikap kurang ajar, bukan saja mengeluarkan kata-kata cabul menggodanya, bahkan tangan mereka mulai hendak merabanya. la tidak ingin membunuh banyak orang, apa lagi yang tidak mengganggunya. melihat pemuda itu, diamati wajahnya dan pakaiannya. Bagaikan seekor burung garuda, ia melayang naik ke atas serambi itu dan menyambar ke arah Ouw Boan Kit yang bersikap gagah. Melihat gadis itu melompat ke arahnya, Ouw Boan Kit yang biasa memandang rendah orang, terkekeh genit.

   "Aduh, engkau secantik bidadari!"

   Dan tangannya lalu bergerak meraih, hendak menangkap gadis yang mendekatinya itu, sedangkan belasan orang pengawal itu cepat mengepung. Begitu kedua tangan Ouw Boan Kit menyambar kearah tubuh In Hong, gadis itu menggerakkan kedua tangannya lebih cepat lagi.

   "Krek-Krekk! Aughhh...!!"

   Ouw Boan Kit menjerit karena sambungan tulang sikunya patah dan kedua lengannya menjadi lumpuh seketika! In Hong mencengkeram punggung bajunya dan menghardik.

   "Kamu yang bernama Ouw Boan Kit"

   Cengkeraman itu mnembus baju dan kulit serta daging punggung itu ikut pula di cengkeram sehingga mendatangkan rasa nyeri yang lebih hebat daripada rasa nyeri kedua lengannya.

   "Aduh... aduhh... tolong...!"Ouw Boan Kit menjerit-jerit Akan tetapi para pengawal itu tentu sajatidak berani bergerak karena In Hong sudah membentak nyaring.

   "Diam semua, atau kubunuh dulu anjing ini!"

   Teriakkan ini sambil meletkakkan tangannya di atas ubun-ubun kepala Ou Boan Kit membuat semua pengawal tidak berani berkutik.

   "Hayo jawab, kamu Ouw Boan Kit, bukan?"

   "Ya... ya... ampun..."

   Tanpa malu-malu lagi pemuda itu merintih karena kedua lengannya lumpuh dan nyeri, punggungnya seperti dijepit baja dan ketika tangan yang halus berjari lentik itu menyentuh ubun-ubun kepalanya, dia merasa kepalanya panas!

   "Hayo bawa aku menemui Ayahmu, Jaksa Ouw yang brengsek itu!"

   Kata In Hong lalu mendorong punggung pemuda itu yang segera melangkah masuk dengan tubuh menggigil ketakutan. Belasan orang pengawal itu pun mengikuti dari belakang dengan golok di tangan, namun mereka tidak berani lancang menyerang In Hong karena keselamatan nyawa tuan muda mereka berada di tangan gadis itu.

   Ouw Boan Kit memasuki sebuah ruangan dan di situ tampak Ouw Taijin duduk dengan muka pucat. Belasan orang pengawal lain menjaga dan melindunginya dengan golok di tangan. Melihat puteranya digiring masuk oleh seorang gadis dan para pengawal hanya mengikuti dari belakang, Jaksa Ouw marah sekali. Tadi dia sudah mendengar laporan akan datangnya seorang gadis perkasa yang pernah merobohkan Hak-Ciu Ngo-Houw dan gadis itu mengamuk, membunuh lima orang pengawal dan menangkap puteranya. Kini melihat bahwa gadis itu kelihatan biasa saja, timbul keberaniannya dan dia hendak menggunakan kewibawaannya yang selama ini tidak pernah gagal menggertak dan membikin takut orang-orang.

   "Hei, gadis muda! Berani engkau bersikap begini di depanku? Aku adalah Jaksa Ouw, pejabat yang paling berkuasa di Hak-Ciu! Aku bisa mengerahkan ribuan perajurit untuk menangkap dan membunuhmu. Hayo lepaskan puteraku!"

   Katanya sambil bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya. Akan tetapi gertakan itu sama sekali tidak membuat In Hong menjadi takut, sebaliknya membuat gadis itu menjadi semakin marah.

   "Krekk! Krekk!"

   Kedua tangannya mencengkeram dan bunyi itu adalah bunyi kedua tulang pundak Ouw Boan Kit yang remuk oleh cengkeraman jari-jari tangan lentik itu! Pemuda itu menjerit dan ketika dilepaskan dia roboh terkulai, merintih-rintih di atas lantai dan mencoba untuk merangkak mendekatl Ayahnya. Jaksa Ouw terbelalak dan marah sekali.

   "Bunuh perempuan ini!"

   Teriaknya kepada belasan orang pengawal sambil menudingkan telunjuknya ke arah In Hong. Belasan orang itu dengan golok di tangan lalu menyerbu dan mengeroyok In Hong. Akan tetapi gadis itu menggerakkan tangan kanannya dan tampak sinar berkilat ketika pedang Gan-Liong-Kiam dicabutnya dari belakang punggung. Pedang Gan-Liong-Kiam adalah sebatang pedang pusaka ampuh pemberian Hek Moli, Gurunya yang pertama. Gadis ini jarang mencabut dan mempergunakannya, karena biasanya kaki tangannya cukup untuk menandingi dan mengalahkan lawan. Akan tetapi pada saat itu ia marah dan melihat belasan orang pengawal mengeroyoknya, In Hong tidak segan-segan mencabut dan mempergunakan Gan-Liong-Kiam!

   Ketika ia menggerakkan pedang dengan cepat dan tubuhnya berkelebatan, maka yang tampak hanya gulungan pedang yang menyambar ke sekelilingnya. Terdengar teriakan-teriakan mengaduh, pedang pusaka itu membuat golok para pengeroyok patah atau terpental dan lima belas orang pengawal itu satu demi satu roboh dengan luka yang mencucurkan darah! Jaksa Ouw terbelalak dan pucat wajahnya. Dia berusaha lari ke dalam sambil memapah puteranya, akan tetapi sekali meloncat, In Hong sudah tiba di dekatnya. Gadis itu menendang dan tubuh gendut itu pun terlempar, menabrak dinding dan roboh. Ketika Jaksa Ouw merangkak bangun, pedang di tangan In Hong berkelebat. Pembesar itu menjerit, darah muncrat di mukanya dan ternyata matanya yang kiri telah ditusuk ujung pedang sehingga dia menjadi cacat, mata kirinya buta!

   "Jaksa Ouw dan Ouw Boan Kit! Sekali ini aku hanya memberi pelajaran kepada kalian. Kalau lain kali aku melihat kalian masih belum mengubah watak kalian yang jahat sewenang-wenang, aku akan membunuh kalian!"

   Setelah berkata demikian, tubuh In Hong berkelebat dan lenyap dari situ. Ruangan itu penuh darah dan rintihan lima betas orang pengawal dan pembesar berdua puteranya itu. In Hong merasa puas setelah memberi hajaran kepada pembesar Ouw dan puteranya. Akan tetapi baru saja ia keluar dan tiba di pekarangan, tiba-tiba terdengar bentakan.

   "Hei, keparat, perlahan dulu!"

   Pada saat itu, angin yang dahsyat menyambar dari belakang. In Hong mengenal serangan ampuh, maka ia cepat melompat ke kiri bagaikan gerakan seekor burung walet. Ketika ia membalik, ia melihat seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun, tubuhnya kurus bongkok, mukanya halus tanpa jenggot atau kumis, matanya lebar dan mulutnya tersenyum menyeringai seperti mengejek.

   Sepasang mata itu terbelalak semakin lebar setelah kini melihat wajah In Hong. In Hong bersikap waspada karena ia dapat menduga bahwa tentuKakek ini Guru Ouw Boan Kit seperti yang diceritakan oleh mendiang Si Hoo kepadanya. Serangan tadi saja menunjukkan bahwa ia berhadapan dengan orang yang lihai sekali karena serangan jarak jauh itu mengandung hawa pukulan yang amat dahsyat. Sebaliknya, Pak Lo-Kui (Setan Tua Utara) atau lebih dikenal sebagai Datuk Utara itu memandang penuh kagum dan mulut berdecak-decak. Datuk ini memang terkenal mata keranjang. Kini dia mencoba untuk meluruskan tubuhnya yang bongkok, akan tetapi karena dia kurus kering dan punggungnya memang bongkok, maka gayanya itu malah tampak lucu sekali.

   "Aduh-aduh...! Kiranya yang mengamuk, membunuhi dan melukai banyak orang itu adalah seorang gadis cantik jelita seperti bidadari!"

   "Hemm, anjing bongkok tua bangka! Engkau tentu Guru Ouw Boan Kit, bukan?"

   Dimaki seperti itu, Datuk Utara itu malah tertawa senang, seolah mendapat pujian, bukan makian! Dia memang seorang di antara para Datuk besar yang terdiri dari orang-orang yang selain amat tinggi tingkat ilmunya, juga memiliki watak yang aneh-aneh.

   "Ha-ha-ha! Matamu yang jeli seperti mata Burung Hong itu ternyata tajam juga, bidadariku! Aku memang Pak Lo-Kui, Datuk Besar Utara dan pernah memberi sedikit pelajaran kepada Ouw Boan Kit yang bodoh itu. Engkau telah mengacau di sini, mestinya aku harus menghukum berat, bahkan membunuhmu. Akan tetapi melihat engkau seperti bidadari, biarlah aku maafkan engkau asal engkau mau menjadi murid merangkap kekasihku. Ha-ha-ha!"

   "Jahanam busuk!!"

   In Hong marah sekali dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan, jari tengah dan telunjuk tangan kirinya menyambar ke arah muka Pak Lo-Kui untuk mencokel keluar biji matanya, sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah perut. Bukan main dahsyat dan berbahayanya serangan itu. Kalau mengenai sasaran, tak dapat dicegah lagi sepasang biji mata itu akan tercongkel keluar dan kulit perut itu akan pecah dan isi perutnya terburai!

   "Wahh...!!"

   Pak Lo-Kui terkejut bukan main. Sama sekali tak pernah disangkanya gadis jelita semuda itu dapat melakukan serangan yang demikian dahsyatnya, penuh tenaga lweekang (tenaga dalam) tingkat tinggi! Cepat dia melempar ke kiri dan menggerakkan kedua lengan, diputar ke kanan menangkis dua tangan gadis itu. Dia sengaja mengerahan sinkang (tenaga sakti) untuk menggempur kedua lengan gadis itu. Dua lengan yang berkulit putih halus dan hanya kecil itu tak mungkin dapat menahan gempuran kedua lengannya yang dipenuhi sinkang.

   "Wuuutt... desss!!"

   Benturan dua pasang lengan itu sungguh hebat menggetarkan keadaan sekitar tempat itu. Pak Lo-Kui terkejut sekali untuk kedua kalinya karena benturan hebat itu membuat dia terdorong dan terhuyung ke belakang! Dia terbelalak dan tidak percaya akai perasaannya sendiri. Mungkinkah ada gadh, semuda ini mampu menandingi sinkangnya yang sudah dihimpun dan dilatih selama puluhan tahun?

   Kalau yang mengimbanginya itu seorang Datuk besar lain, hal Itu tidak aneh, setidaknya para tokoh pimpinan aliran-aliran persilatan besar seperti Siauw-Lim-Pai, Bu-Tong-Pai, Kun-Lun-Pai, Go-Bi-Pai dan lain-lain. Akan tetapi lawannya ini hanya seorang gadis muda cantik jelita, paling banyak baru dua puluh tahun usianya! Pak Lo-Kui menjadi penasaran. Semua gairah berahinya yang tadi bangkit melihat kecantikan wajah dan keindahan tubuh In Hong, kini terganti rasa penasaran dan kemarahan. Maka dia pun kini balas menyerang dengan hebatnya, mengerahkan seluruh tenaga saktinya. Serangan Datuk Utara ini mempunyai ciri khas andalan ilmu silat dari utara yang banyak menggunakan tendangan dan bercampur dengan ilmu gulat yang menjadi keistimewaan Ilmu berkelahi bangsa-bangsa Mongol.

   Dia menggunakan kedua kakinya menendang bergantian secara berantai dan bersambung. Tendangan berantai lni memang hebat sekali karena kedua kaki itu dapat menendang dari depan, dari kanan atau kiri, bahkan adakalanya merupakan tendangan terbang! In Hong mengenal serangan berbahaya. la segera menggunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan tubuhnya berkelebatan seolah berubah menjadi bayang-bayang sehingga kemana pun kedua kaki Pak Lo-Kui menyambar, selalu hanya mengenai tempat kosong! Dan ambil mengelak, In Hong membalas pula dengan tamparan-tamparannya. Pak Lo-Kui diam-diam mengeluh. Lawannya ini bukan hanya memiliki tenaga sakti yang mampu mengimbanginya, bahkan memiliki ginkang yang bahkan lebih tinggi daripada tingkatnya!

   Dia menjadi semakin penasaran dan dia mengeluarkan seluruh ilmu silatnya, dipilihnya yang paling ampuh, untuk menandingi In Hong sehingga terjadi perkelahian yang amat seru di pekarangan gedung Jaksa Ouw itu. Dari dalam rumah kini keluar para perajurit pengawal, akan tetapi mereka hanya menonton dari jauh, sama sekali tidak berani mendekat karena mereka sudah merasa jerih menyaksikan kelihaian dan keganasan gadis cantik itu. Juga di jalan umum depan pekarangan gedung itu, para pejalan kaki kini menonton dan beberapa orang yang sudah mendengar akan munculnya Sian-Li Eng-Cu (Bayangan Bidadari) yang kabarnya telah mengalahkan dan menghajar Hak-Ciu Ngo-Houw, lima orang tukang pukul Jaksa Ouw yang galak dan terkenal tangguh itu. Maka mulailah mereka yang menonton dari jalan itu berbisik-bisik.

   "Sian-Li Eng-Cu... Sian-Li Eng-Cu...!"

   Setelah bertanding selama tiga puluh jurus dan bertahan mati-matian terhadap desakan In Hong, Pak Lo-Kui yang merasa penasaran itu marah sekali dan mengambil keputusan untuk membunuh Iawan. Tiba-tiba dia mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang buas dan kedua tangannya dengan telapak terbuka didorongkan ke arah In Hong. Kedua telapak tangan itu kini berubah hitam sekali.

   Itulah Hek-Tok-Ciang (Tangan Racun Hi-tam) yang merupakan ilmu andalan Datuk Utara itu. Melihat serangan pukulan jarak jauh ini, In Hong cepat menekuk kedua lututnya dan ia pun menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula sambil mengerahkan tenaga saktinya. Kedua tangannya mengepulkan uap putih! ltulah ilmu Pek-In-Ciang (Tangan Awan Putih) yang ia pelajari dari mendiang Bhutan Koai-Jin, Gurunya yang kedua!

   "Syuuutt... blarrr...!!"

   Tubuh In Hong terdorong mundur tiga langkah, akan tetapi tubuhKakek itu terlempar dan dia tentu akan terbanting jatuh kalau saja dia tidak membuat gerakan poksai (salto jungkir balik) beberapa kali sehingga dia dapat turun berdiri. Waiahnya berubah kemerahan karena merasa malu bahwa dalam adu tenaga sakti lewat pukulan jarak jauh tadi jelas bahwa dia kalah kuat!

   "Anjing tua, sambutlah ini!"

   Tiba-tiba tangan In Hong bergerak dan ada sinar hitam menyambar dari tangannya ke arah Datuk Utara.

   "Singgg...!"

   Datuk Utara terkejut sekali dan dia membuang diri ke samping sehingga rebah di atas tanah lalu bergulingan. Setelah dia melompat berdiri lagi, mukanya berubah agak pucat.

   "Setan...!"

   Dia berseru.

   "Engkau... murid Hek Moli?"

   "Benar, dan engkau calon setan penasaran!"

   In Hong membentak dan kini ia mencabut pedangnya karena ia ingin membunuh Pak Lo-Kui. Melihat pedang itu, Datuk Utara berseru lagi.

   "Gan-liong-kiam milik Hek Moli...!"

   Dan tanpa banyak cakap lagiKakek kurus bongkok itu melompat jauh dan melarikan diri! In Hong tidak mengejar. Ia pun melompat dan lenyap dari pekarangan itu, bayangannya berkelebat dekat para penonton di luar pekarangan.

   "Sian-Li Eng-Cu..."

   Seorang berseru.

   "Sian-Li Eng-Cu... ia menang...!"

   Kata yang lain. Akan tetapi ketika terdengar berita bahwa Si Bayangan Bidadari yang tidak mereka tahu siapa namanya itu telah mengamuk dalam gedung Jaksa Ouw, meremukkan kedua tulang pundak Ouw Kongcu dan membutakan sebelah mata Jaksa Ouw, gegerlah kota Hak-Ciu dan Nama Sian-Li Eng-Cu menjadi buah Bibir penduduk, bahkan berita tentang kehebatan Si Bayangan Bidadari telah tersiar jauh, sampai ke Kotaraja! Dunia kang-ouw (sungai-telaga, atau dunia persilatan) mulai mengenal Si Bayangan Bidadari yang baru muncul, sosok bayangan wanita muda cantik jelita yang kabarnya demikian hebatnya sehingga mampu menandingi Pak Lo-Kui atau Datuk Utara!

   Pada waktu itu, seluruh daratan Cina telah dikuasai dan dijajah oleh Mongol yang mendirikan Kerajaan atau Dinasti Goan (1279-1368). Yang menjadi Kaisar adalah Kublai Khan (1260-1294), cucu Jenghis Khan pendiri Kerajaan Mongol dan dibawah pimpinan Kaisar Kublai Khan yang meneruskan ambisi besar Jenghis Kha. Dinasti Goan menjadi semakin jaya dan besar. Kisah ini terjadi, pada saat In Hong berusia dua puluh tahun, sekitar tahun 1290. Biarpun dalam sejarah tercatat betapa para patriot Kerajaan Sung yang telah jatuh oleh bangsa Mongol itu tiada hentinya berjuang untuk membela tanah air dan berusaha mengusir bangsa Mongol, Namun banyak pula orang-orang yang berjiwa licik dan tidak segan-segan mengkhianati bangsa sendiri.

   Mereka ini rela menjadi antek-antek penjajah, berkhianat dengan menunjukkan di mana adanya para patriot, bahkan ada pula yang menggunakan kepandaian ikut membantu pasukan Mongol membasmi para patriot. Semua ini tentu saja dengan imbalan berupa harta benda dan pangkat tinggi untuk memperoleh kekuasaan. Sudah menjadi siasat para penjajah di seluruh dunia, Kerajaan Goan atau bangsa Mongol juga menggunakan harta dan pangkat untuk memancing orang-orang pribumi untuk menjadi antek mereka. Siasat ini amat menguntungkan mereka dalam berbagai hal. Pertama, mereka dapat memanfaatkan para pengkhianat bangsa itu untuk menjadi mata-mata mengikuti gerak-gerik para pejuang yang memusuhi penjajah dan hal ini tentu lebih mudah dilakukan para pribumi sendiri.

   Pada waktu itu, mereka yang batinnya dikuasai nafsu sendiri, yang hanya ingin mencari kesenangan duniawi, tidak segan menggunakan segala cara untuk memperoleh harta dan pangkat. Bahkan tidak segan menjual tanah air dan bangsa, berkhianat terhadap bangsa sendiri, mengabdi kepada penjajah Mongol. Sebagai imbalannya, mereka memperoleh kedudukan, kekuasaan dan harta benda. Tentu saja kekuasaan mereka itu terbatas, bahkan hanya kekuasaan untuk menekan rakyat bangsa sendiri, akan tetapi kepada atasan mereka, yaitu kepada pembesar Mongol, mereka harus merendahkan diri, dan terutama harus pandai menjilat bermuka-muka.

   Pada waktu itu, banyak orang berjiwa rendah menjadi orang-orang kaya mendadak. Mereka yang tadinya dari keluarga miskin, setelah berjasa terhadap penjajah dan memperoleh kekuasaan, tidak menyia-nyiakan kekuasaannya itu untuk mengumpulkan harta sebanyak mungkin. Maka bermunculanlah bangsawan-bangsawan pribumi yang suka bertindak sewenang-wenang, menggunakan hukum sebagai modal untuk membenarkan pengumpulkan harta mereka. Mereka yang menjadi pejabat yang bertugas mengadili, selalu membenarkan mereka yang mampu menyogok dengan uang banyak walaupun penyogok itu bersalah, dan sebaliknya menyalahkan yang benar namun yang tidak mampu memberi uang suapan.

   Bahkan para penjahat dapat berlindung di balik bayang-bayang pejabat yang menerima pembagian hasil kejahatan mereka. Karena ulah para pengkhianat bangsa ini, maka kaum pendekar bukan hanya membenci bangsa Mongol yang menjajah, melainkan lebih membenci lagi bangsa sendiri yang menjadi antek penjajah itu. Karena untuk memberontak dan menggulingkan Kerajaan Goan merupakan hal yang mustahil mengingat betapa kuatnya bala tentara Mongol, maka para pendekar kini lebih mengutamakan melindungi rakyat dan menentang para penjahat, termasuk para bangsawan penindas rakyat. Biarpun Kwee In Hong digembleng berturut-turut oleh dua orang Guru yang tergolong sebagai Datuk sesat yang aneh dan kejam,

   Namun kedua orang Gurunya itu bukanlah tergolong orang yang suka melakukan kejahatan. Maka sejak dulu, Kwee In Hong puteri Ayah-Ibu yang berwatak baik bahkan budiman dan dermawan, juga berwatak adil, suka melindungi mereka yang lemah dan membutuhkan bantuan. la memang mewarisi watak kejam dari kedua orang Gurunya, namun kekejamannya itu ditujukan kepada orang-orang yang dianggap jahat dan dimusuhinya. Dalam perantauannya, setiap kali melihat ketidak-adilan merajalela, In Hong pasti turun tangan membasmi yang jahat dan membela mereka yang lemah tertindas. Nama julukannya sebagai Sian-Li Eng-Cu semakin terkenal. Tidak ada orang yang tahu bahwa nama aselinya adalah Kwee In Hong, karena kalau ia terpaksa harus menggunakan nama,

   Ia memakai nama Put Hauw Li (Gadis Tidak Berbakti). Penggunaan nama ini mengingat betapa ia tidak membalas kematian Ayahnya yang terbunuh, bahkan ia jatuh cinta kepada Si Pembunuh Ayahnya. Yang lebih menyakitkan hatinya lagi ialah bahwa sampai sekarang pun ia tidak membenci mendiang Ong Tiang Houw atau Bu Jin Ai itu, bahkan hatinya merasa bahwa ia masih mencintanya! Penyesalan karena dirinya sendiri inilah yang membuat ia mengutuk diri sendiri dan menggunakan nama Gadis Tidak Berbakti itu. Pada suatu pagi, ia berjalan keluar dari kota Lan-Keng di mana ia bermalam di rumah Tan-Wangwe (Hartawan Tan). Keluarga Tan menganggapnya sebagai seorang tamu agung yang dihormati, bahkan ia disebut Lihiap (Pendekar Wanita).

   Kemarin siang, ketika tiba di luar kota Lan-Keng, ia melihat sebuah kereta dihadang sepuluh orang laki-laki yang bersikap keras dan kasar, bahkan seorang di antara mereka melompat ke atas kereta dan menarik turun kusir kereta. Kereta itu ditumpangi suami-isteri Tan. Hartawan Tan dan isterinya sedang melakukan perjalanan keluar kota dan pada siang hari yang panas itu, kereta dihadang dan dihentikan sepuluh orang itu. Ketika Hartawan Tan yang berusia sekitar lima puluh tahun itu membuka tirai kereta, dia dan isterinya diancam dua orang yang memimpin gerombolan itu dan diancam agar jangan berteriak. Seorang di antara mereka lalu duduk di tempat kusir, sedangkan kusir itu sendiri mengerang kesakitan setelah mereka pukuli. Jelas bahwa gerombolan itu hendak menculik Hartawan Tan dan isterinya.

   In Hong melompat dan menghajar gerombolan yang hendak menculik suami-isteri hartawan untuk dimintai uang tebusan. Mereka melarikan diri setelah dihajar sampai bagian muka mereka bengkak-bengkak dan ada tulang yang patah-patah. Hartawan Tan dan isterinya berterima kasih sekali dan dengan sangat mereka memohon dan membujuk In Hong agar suka singgah di rumah mereka, dengan alasan mereka takut kalau-kalau gerombolan itu datang mengganggu lagi. Sebetulnya In Hong enggan, karena ia melihat betapa banyak hartawan pada waktu itu merupakan orang-orang yang biasa berhubungan dengan para pembesar dan kerjanya hanya menumpuk uang tanpa memperhatikan nasib rakyat yang hidup serba kekurangan. Akan tetapi sikap Tan-Wangwe dan isterinya yang ramah dan lembut.

   la mau singgah rumah mereka dan dengan girang ia mendengar bahwa Hartawan Tan sekeluarga ternyata adalah keluarga yang budiman dan dermawan. Keluarga Tan itu memang sudah kaya-raya sejak sebelum bangsa Mongol menjajah, jadi bukan orang kaya baru dan nenek moyangnya memang pedagang. Dari para pelayan yang tampak berwajah cerah. itu ia mendengar akan kebaikan budi dan kedermawanan Hartawan Tan sekeluarga yang sudah terkenal di kota Lan-Keng. Setiap ada musibah menimpa rakyat di daerah itu yang membuat rakyat hidup serba kekurangan, Hartawan Tan selalu rela membagi sebagian kekayaannya untuk menolong mereka. Ketika In Hong menjadi tamu, ia dijamu pesta keluarga dan diperkenalkan kepada Tan Siong, putera tunggal hartawan Tan Yu Seng itu.

   Tan Siong berusia dua puluh satu tahun, wajahnya tampan, sikapnya lembut dan sopan. Dia telah lulus ujian dan menjadi seorang terpelajar bergelar siucai. In Hong merasa gembira. Setelah mandi pada sore hari itu di kamar mandi yang bersih dan airnya jernih berlimpah, berganti pakaian, kini ia menghadapi meja makan dengan masakan bermacam-macam dan suami-isteri tuan rumah bersama puteranya itu menjamunya dengan sikap yang ramah sekali. Ia merasa seolah menjadi anggauta keluarga. Setelah makan minum sampai kenyang, In Hong diajak duduk di ruangan depan yang hawanya sejuk karena ruangan itu memiliki banyak jendela yang terbuka dan menembus taman bunga. Tiga lampu gantung dinyalakan. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja bundar yang besar dan Tan Yu Seng yang biasa disebut Hartawan Tan bertanya dengan sikap ramah dan hormat.

   "Lihiap, kami berhutang nyawa dan budi kepadamu, akan tetapi sejak tadi engkau belum juga mengaku siapa nama Lihiap yang terhormat dan di mana engkau tinggal. Kami ingin sekali mengetahuinya."

   "Paman, memang sudah menjadi tugasku untuk menentang orang-orang jahat. Aku menghajar mereka yang jahat siang tadi bukan untuk mencari balasan, maka aku tidak merasa perlu untuk memperkenalkan nama."

   In Hong memang tidak biasa bersopan-sopan, maka ucapannya juga terdengar datar dan acuh tak acuh.

   "Ayah dan Ibu, Lihiap ini adalah seorang pendekar wanita yang budiman, kalau tidak mau memperkenalkan nama kepada kita, sudah sewajarnya dan harap jangan didesak terus. Biarlah kita mengenalnya sebagai Dewi Penolong atau penjelmaan Sang Dewi Kwan Im (Dewi Dewi Welas Asih)."

   Ucapan Tan Siong sewajarnya dan sama sekali tidak mengandung suara mencela atau menyindir sehingga In Hong merasa tidak enak sendiri. Ia menghela napas panjang lalu berkata.

   "Baiklah, kalau kalian ingin mengetahui. Di dalam perantauanku ini aku menggunakan nama Put-Hauw Li."

   "Ah...!"

   Ayah, Ibu dan anak itu berseru dengan alis berkerut dan pandang mata tidak percaya. Tan Siong segera berkata dengan tegas.

   "Tidak mungkin seorang gadis seperti Lihiap menjadi seorang anak yang Put-Hauw (tidak berbakti)! Kepada Ayah dan Ibu saja yang merupakan orang-orang lain yang tadinya sama sekali tidak dikenal, Lihiap telah suka membela, apalagi terhadap orang-tua sendiri. Tidak, aku tidak percaya bahwa Lihiap seorang anak yang tidak berbakti!"

   "Ah, Lihiap tentu bergurau!"

   Kata Hartawan Tan dan isterinya.

   "Biarlah, mungkin karena belum mengenal kita dengan baik, Lihiap masih belum percaya kepada kita. Nanti kalau sudah lebih mengenal kita, tentu akan memperkenalkan diri yang sebenarnya."

   Kata Nyonya Tan. In Hong merasa tidak enak hati melihat keluarga yang amat ramah dan sopan kepadanya, maka ia lalu minta diri untuk beristirahat dalam kamar yang sudah dipersiapkan untuknya. Keluarga itu tidak berani mencegah dan In Hong memasuki kamarnya. Ia merebahkan diri dan berulang kali menghela napas panjang. Ia masih ingat, dulu ketika ia masih kecil,

   Sebelum malapetaka menimpa keluarga orang tuanya, ia tinggai bersama Ayah dan Ibunya dalam rumah gedung mewah seperti gedung keluarga Tan ini. Ayah-Ibunya dulu juga merupakan orang-orang kaya yang dermawan, bahkan setiap hari Ayah dan Ibunya memberi ia sekantung uang receh untuk dibagikan kepada para pengemis yang datang minta-minta ke rumah mereka. Mengingat akan masa lampau itu, rasanya seperti mimpi saja. betapa jauh bedanya kehidupannya yang sekarang dibandingkan dahulu. Sekarang ia hidup merantau, tak tentu tempat tinggalnya. la merasa tidak dapat tinggal bersama Ibunya. Kalau ia dekat dengan Ibunya, tentu ia akan selalu teringat betapa Ibunya pernah menjadi isteri Bu Jin Ai dan hal ini membuat hatinya terasa sakit, malu, dan penasaran.

   Ah, betapa ia merindukan masa lalunya bersama Ayah dan Ibunya! Akan tetapi sekarang Ayahnya telah meninggal dunia, dan Ibunya telah... menjadi lain, menjadi isteri... musuh pembunuh Ayahnya dan sudah mempunyai seorang anak lain, yaitu Ong Lian Hong dan ia tidak mempunyai rumah lagi. Kerinduan akan masa lalunya ini membuat ia merasa rindu pula kepada rumahnya dahulu, di kota Tiang-An. Di rumah itu ia terlahir dan tumbuh besar sampai berusia lima tahun. Tiba-tiba ia ingin sekali melihat rumah Ayahnya di Tiang-An itu dan ingin sekali tahu siapa yang menempati rumah itu sekarang! Tiba-tiba ia mendengar suara dari kamar sebelah. Biarpun hanya terdengar lirih, namun ia mengenal suara Hartawan Tan dan isterinya. la lalu mendekati dinding penyekat antara dua kamar itu, menempelkan daun telinganya dan kini ia dapat mendengar pembicaraan itu dengan cukup jelas.

   "Aku setuju saja dengan niatmu itu, akan tetapi apakah Siong-ji (Anak Siong) setuju?"

   Terdengar Nyonya Tan berkata.

   "Tadi sudah kutanyai dia dan biarpun dia menjawab bahwa hal ini terserah kepada kita berdua, namun dari sikap dan bicaranya aku dapat memastikan bahwa Siong-ji setuju sekali. Jelas bahwa anak kita amat kagum dan menaruh hati kepada Lihiap."

   "Terserah kepadamu, akan tetapi sudah yakin benarkah engkau untuk mengambil ia sebagai mantu? Ingat, anak kita hanya tinggal Tan Siong seorang, jangan sampai kita salah memilih jodohnya. Aku merasa , agak ragu karena gadis itu tidak mau mengakui siapa namanya yang sesungguhnya."

   "Ah, tidak aneh bagi seorang pendekar wanita untuk menyembunyikan nama aselinya. Akan tetapi kalau ia sudah menjadi mantu kita, ia pasti akan menceritakan riwayatnya. Seorang gadis sebaik ia, pasti memiliki latar belakang dan keluarga yang baik pula."

   "Kalau kita tidak mengetahui siapa orang tuanya dan di mana tempat tinggalnya, lalu bagaimana kita dapat mengajukan pinangan?"

   Tanya Nyonya Tan.

   "Hal itu dapat diurus kemudian. Lebih dulu engkau besok pagi-pagi sampaikan keinginan kita kepada Lihiap. Kalau ia mau menerima niat perjodohan kita, tentu ia akan memberitahu siapa dan di mana orang tuanya, lalu kita mengajukan pinangan."

   "Baiklah, besok pagi-pagi akan kubicarakan dengannya..."

   In Hong tidak mendengarkan lagi dan ia duduk termenung di atas pembaringan. Alisnya berkerut. Ia hendak dilamar dan dijodohkan dengan Tan Siong! Pemuda itu harus diakui amat menarik, tampan dan lembut sopan-santun, seorang siucai pelajar pula, juga anak tunggal Hartawan Tan yang kaya-raya.

   Kalau menjadi isteri Tan Siong, maka kehidupannya terjamin. Disayang suami dan mertua, hidup berkecukupan, dan terhormat karena keluarga itu terkenal sebagai keluarga dermawan. Mau apa lagi? Akan tetapi tidak! Ia tidak bisa menjadi isteri Tan Siong atau isteri siapa pun. Setelah Bu Jin Ai meninggal dunia, ia merasa tidak mungkin dapat mencinta laki-laki lain. Cintanya yang pertama ternyata telah salah besar. Yang dicintanya itu pembunuh Ayah kandungnya! Ia menjadi jera untuk mencinta seorang laki-laki lagi. Tidak, ia tidak mau terikat sebagai isteri Tan Siong, sungguhpun pemuda itu merupakan seorang pemuda pilihan! Tiba-tiba ia tertarik lagi karena mendengar suara Nyonya Tan menangis. Karena ingin tahu In Hong menempelkan lagi telinganya ke dinding. la mendengar nyonya itu terisak-isak.

   "Sudahlah, jangan menangis. Anak itu sudah tersesat! Agaknya watak Ayahnya menurun kepadanya, maka minggat. Tidak perlu kita pikirkan lagi. Dia pergi atas kehendaknya sendiri, malah minggat. Bukan kita yang mengusirnya!"

   Nyonya Tan menahan isaknya, lalu menghela napas panjang dan berkata.

   "Bagaimana tidak sedih? Sejak berusia tiga tahun Bouw-ji kurawat dan kubesarkan, kuanggap anak sendiri. Bahkan setelah Siong-ji terlahir, aku tetap menyayangnya dan tidak membeda-bedakan antara mereka. Akan tetapi mengapa setelah berusia remaja, lima belas tahun, dia minggat dan membawa banyak uang emas? Ah, bagaimana keadaannya sekarang dan di mana dia sekarang?"

   "Sudahlah, isteriku. Sejak dia berusia belasan tahun sudah tampak kenakalannya. Tan Bouw tidak mau belajar seperti Tan Siong, dia malas dan nakal, juga tidak mau mendengar nasehat orang tua. Bahkan setelah remaja dia bergaul dengan segala pemuda brandal, belajar silat bukan untuk menjadi pendekar, melainkan menjadi brandal, suka berkelahi. Teman-temannya adalah bangsa penjahat. Ketika dia mulai memukuli Tan Siong, aku marah sekali, akan tetapi dia tidak takut malah mencuri banyak emas lalu minggat. Dan anak macam itu masih juga engkau tangisi kepergiannya, setelah dia pergi selama sembilan tahun?"

   Kembali Nyonya Tan menghela napas panjang.

   "Bagaimana aku dapat melupakannya? Sejak kecil dia kutimang-timang, dan mengingat betapa Ayah-Ibunya tewas terbunuh ketika dia berusia tiga tahun, aku merasa kasihan padanya."

   "Hemm, Ayahnya seorang yang hidupnya sesat, hidup di kalangan dunia hitam, tidak aneh kalau sampai terbunuh bersama isterinya. Kalau ingat akan hal Itu, aku menyesal mengapa dulu aku memenuhi permintaanmu untuk memungut anak itu. Ternyata ia mewarisi watak Ayahnya dan kini setelah menggunakan nama keluarganya, Tan, dia hanya mengotori nama keluargaku saja."

   In Hong tidak mendengarkan lagi karena merasa bahwa yang dibicarakan bukan urusannya.

   Akan tetapi ia segera tidur dan pada keesokan harinya, sebelum ada yang bangun dalam rumah gedung itu ia sudah keluar tanpa ada yang mengetahui dan meninggalkan kota Lan-Keng! Biarpun ia baru berusia lima tahun ketika meninggalkan dusun Tiang-On, namun In Hong benar masih ingat di mana letak rumah orang tuanya ketika ia memasuki dusun itu. Hati gadis itu terasa perih ketika ia memasuki pekarangan rumah. la merasa terharu sekali. Pohon besar di depan rumah, sebelah kiri, kini telah menjadi tua sekali dan daunnya tinggal sedikit, cabang-cabangnya banyak yang kering. Akan tetapi batu sebesar kerbau yang berada di bawah pohon itu masih sama seperti dulu. Di waktu kecil ia sering dimarahi Ayahnya karena sebagai seorang anak perempuan kecil ia sering naik ke atas batu besar itu, tidak takut jatuh! Seorang laki-laki setengah tua berpakaian pelayan menyambut kedatangannya.

   "Nona hendak mencari siapakah?"

   Tanyanya hormat, dan matanya memandang heran. In Hong bertanya,

   "Paman, rumah siapakah ini? Kalau aku tidak salah, belasan tahun yang lalu ini merupakan gedung milik keluarga Kwee."

   "Wah, itu sudah lama sekali yang lalu, Nona! Memang dulu keluarga Kwee yang memiliki rumah ini, dan setelah terjadi geger serangan gerombolan penjahat, Hartawan Kwee terbunuh penjahat dan Nyonya Kwee menghilang. Perabotan isi rumah ini dirampok habis, nyaris dibakar akan tetapi diselamatkan penduduk. Rumah ini kosong sampai bertahun-tahun dan beberapa tahun yang lalu keluarga Nyonya Kwee yang tinggal di See-Ciu datang mengurus rumah peninggalan keluarga Kwee ini."

   "Maksudmu keluarga Yo dari See-Ciu?"

   "Benar sekali! Apakah Nona mengenal mereka?"

   "Aku mengenal mereka, Paman. Lalu siapa kini yang tinggal di sini?"

   "Dua tahun yang lalu keluarga Yo telah menjual rumah ini kepada majikan saya, Nona. Majikan saya she Lu dan pindahan dari Yung-Se. Apakah Nona ingin bertemu dengan keluarga Lu?"

   "Tidak, terima kasih, Paman. Saya hanya ingin bertanya, apakah Paman dulu mengenal Hartawan Kwee Seng?"

   "Tentu saya mengenalnya baik-baik. Hartawan Kwee seringkali menolong keluarga kami yang miskin."

   "Hemm, kalau begitu tentu Paman dapat memberitahukan kepadaku di mana dulu jenazah Hartawan Kwee dikubur."

   "Tentu saya tahu, Nona. Setelah jenazahnya ditemukan orang-orang sehari setelah dia terbunuh agak jauh dari dusun ini, karena banyak orang pernah ditolongnya, maka beramai-ramai jenazahnya lalu dibawa ke dusun dan dikuburkan baik-baik. Bahkan sampai sekarang makamnya dirawat baik-baik oleh penduduk daerah ini."

   In Hong merasa girang dan minta ditunjukkan tanah kuburan itu.

   Setelah mengetahui tempatnya dan ciri makam itu, ia lalu bergegas menuju ke sana. Tanah kuburan umum dusun Tiang-On ini cukup luas dan ternyata cerita orang tadi benar. Makam dengan bong-pai (batu nisan) yang terukir nama KWEE SENG terawat baik sehingga tampak bersih. Sejenak In Hong berdiri termenung di depan makam itu, makam yang sederhana namun bersih. la tadi memang sudah membeli hio-swa (dupa maka kini ia membakar ujung dupa dan berlutut di depan makam, bersembahyang sebagai penghormatan kepada Ayahnya yang sudah meninggal. Ketika ia teringat betapa Ayahnya dulu amat sayang kepadanya, sering membawa ia pergi berjalan-jalan, baik naik kuda maupun jalan kaki, bahkan membiarkan ia duduk di pundak Ayahnya, In Hong tidak mampu menahan beberapa butir air mata menetes di atas kedua pipinya.

   "Ayah... ampuni anakmu yang tidak berbakti ini. Anak tidak mampu membalaskan sakit hati dan kematian Ayah..."

   Ia menancapkan belasan batang dupa lidi yang ujungnya membara itu di depan makam dan berlutut sambil mengusap air matanya. Teringat pula ia akan dosanya yang besar, yang bahkan membalas pembunuh Ayahnya dengan cinta! Sayang Ong Tiang Houw alias Bu Jin Ai pembunuh Ayahnya itu telah terbunuh oleh puteranya sendiri. Kalau tidak, ia tentu akan dapat menebus dosanya dengan membunuh Bu Jin Ai, walaupun ia sangsi sendiri apakah ia akan tega dan mampu membunuh laki-laki itu.

   "Ayah...!"

   Kembali ia mengeluh. Karena keharuan menguasai hatinya, In Hong menjadi lengah, kehilangan kewaspadaan sehingga ia tidak tahu bahwa ada orang mendekati tempat itu dengan langkah ringan dan kini orang itu berdiri di sebelah kanannya dalam jarak tiga tombak.

   "Hong-moi (Adik Hong)...!"

   
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
(Lanjut ke Jilid 11)

   Bayangan Bidadari/Sian Li Eng Cu (Cerita Lepas)

   Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11

   In Hong yang masih berlutut menoleh ke sebelah kanan dan melihat seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar, berwajah ganteng dan gagah, dengan sebatang golok bergagang emas tergantung di punggungnya.

   "Yo-Twako (Kakak Yo)...!"

   In Hong berseru girang. Pemuda itu adalah Yo Kang, putera Yo Hang Tek yang tinggai di See-Ciu, pemuda yang merupakan orang pertama yang jatuh cinta kepadanya.

   "Bagaimana engkau bisa berada di sini, Twako?"

   "Nanti dulu, Hong-moi. Biar aku bersembahyang dulu di depan makam mendiang Paman Kwee Seng."

   Setelah berkata demikian, pemuda itu membakar dua lidi yang sudah dibawanya lalu bersembahyang memberi hormat di depan makan itu. Setelah melakukan penghormatan sebagaimana lajimnya, dia lalu duduk di atas batu yang banyak terdapat di situ, berhadapan dengan In Hong yang juga duduk di depannya.

   "Hong-moi, aku memang sengaja hendak menjenguk makam Paman Kwee Seng yang sudah lama tidak kukunjungi."

   "Akan tetapi bagaimana engkau tahu...?"

   "Tentu saja aku tahu, Hong-moi. Dahulu, Ayahku yang mengatur pemakaman ini, setelah mendengar akan malapetaka yang menimpa Ayahmu."

   In Hong mengangguk-angguk. Kalau ia tidak salah ingat, dahulu ketika ia berkunjung ke rumahKakeknya, Yo Tang, Ayah dari Ibunya yang pemarah, pikun dan pelit itu, rasanya pernah Pamannya, Yo Hang Tek menceritakan tentang pemakaman jenazah Ayahnya. Kalau tadi pelayan tua di bekas rumah Ayahnya itu mengaku bahwa penduduk yang mengurus jenazah Ayahnya, mungkin mereka itu hanya membantu saja.

   "Terima kasih bahwa engkau masih mau menjenguk makam Ayahku, Twako."

   "Ah, mendiang Paman Kwee Seng adalah suami Bibiku Yo Cui Hwa, berarti dia masih keluarga dekat dengan keluarga kami. Hong-moi, bagaimana hasilmu mencari Bibi Yo Cui Hwa? Kami sudah berusaha untuk mencarinya dengan menyebar banyak orang, namun sampai sekarang belum juga dapat kami temukan."

   "Aku sudah bertemu dengan Ibuku, Yo-Twako. Ibu kini tinggal di dusun Hok-Te-Cung sebelah barat kota Lm-Goan-Kan."

   "Ah, aku girang sekali mendengar itu, Hong-moi! Ayah dan Kongkong (Kakek) tentu girang sekali, terutama Kongkong yang kini sakit berat dan selalu menanyakan Bibi Yo Cui Hwa."

   Tiba-tiba In Hong berseru!

   "Awas, Twako!"

   Akan tetapi agaknya Yo Kang juga sudah melihat adanya sinar-sinar hitam yang menyambar ke arah dia dan In Hong.

   Dengan gesit dia mengelak ke kiri mendekati makam, tangannya mencabut beberapa batang dupa lidi yang masih membara dan menyambut ke arah datangnya sinar hitam tadi. Pada saat yang bersamaan, In Hong yang juga dapat mengelak dari serangan gelap itu sudah menggerakkan tangan kirinya dan sinar hitam dari senjata rahasianya pasir hitam yang disebut Toat-Beng Hek-Kong (Sinar Hitam Pencabut Nyawa) telah meluncur ke arah yang sama. Terdengar jeritan beberapa orang dan beberapa sosok bayangan yang tadi berada di balik semak-semak kini berloncatan dan melarikan diri. In Hong dan Yo Kang cepat meloncat ke balik semak-semak itu dan mereka melihat seorang yang menggeletak telentang dan telah tewas, mukanya berubah menghitam dan itu merupakan tanda bahwa dia menjadi korban serangan batik yang dilakukan In Hong dengan Toat-Beng Hek-Kong tadi. Yo Kang mengerutkan alisnya.

   "Ah, engkau telah membunuhnya, Hong-moi!"

   Katanya dengan nada suara menyesal.

   "Manusia jahat yang menyerang secara menggelap ini Judah sepatutnya dibunuh!"

   Jawab In Hong tegas. Mendengar jawaban yang ketus itu Yo Kang merasa bahwa ucapannya tadi seolah menegur, maka cepat dia berkata.

   "Maksudku, kalau dia tidak dibunuh kita dapat mengetahui mengapa dia menyerang kita."

   In Hong mengangguk.

   "Ya, sayang yang lain-lain dapat kabur."

   "Akan tetapi beberapa batang dupa lidi yang kau sambitkan tadi mengenai sasaran, hanya tidak membunuh mereka."

   Kata Yo Kang, lalu dia berjongkok untuk meneliti orang yang tewas oleh pasir hitam yang dilontarkan In Hong tadi. Laki-laki itu berusia sekitar lima puluh tahun. Di punggungnya tergantung sebatang pedang, pakaiannya serba hitam, akan tetapi anehnya, pakaiannya yang terbuat dari kain hitam yang masih baru itu di sana-sini dihias dengan tambalan! Wajahnya bersih tanpa kumis dan jenggot, dan sama sekali tidak tampak serem seperti wajah seorang penjahat. In Hong melihat Yo Kang seperti orang terheran.

   "Yo-Twako, apakah engkau mengenal orang ini?"

   "Orangnya aku tidak kenal, akan tetapi ciri pakaiannya ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang anggauta Hek I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam) yang berpusat di Lereng Beng-San! Aneh sekali, mengapa Hek I Kaipang memusuhi kita?"

   "Mungkin yang mereka musuhi adalah seorang di antara kita. Aku sendiri tidak pernah berurusan dengan Hek I Kaipang. Mungkin engkau yang mereka musuhi, Twako."

   "Hemm, aku pribadi pun belum pernah bermusuhan dengan perkumpulan pengemis yang merupakan Kaipang (Perkumpulan Pengemis) paling terkenal dan besar saat ini. Di mana-mana terdapat cabangnya dan perkumpulan itu, sepanjang pendengaranku, dipimpin oleh tokoh-tokoh berilmu tinggi yang berjiwa pendekar dan penentang penjajah. Nama mereka bersih sebagai orang-orang gagah yang tidak pernah melakukan kejahatan. Bahkan mereka menentang para penjahat sehingga para hartawan yang dermawan banyak memberi sumbangan kepada Hek I Kaipang. Aku tidak pernah bermusuhan dengan mereka!"

   "Hemm, kalau begitu, mengapa ada anggauta mereka yang hendak membunuh kita?"

   Tanya In Hong. Yo Kang lalu berjongkok dan memeriksa saku baju mayat itu. Dalam sebuah saku bajunya, dia menemukan sehelai kertas bertulis. Dia lalu membacanya bersama In Hong.

   "Pemuda baju biru itu Yo Kang, murid Bu-Tong-Pai."

   "Hemm, kalau begitu, Hek I Kaipang agaknya memusuhi Bu-Tong-Pai. Akan tetapi mengapa?"

   "Engkau benar, Yo-Twako. Kalau mereka memusuhi pribadimu, tentu surat itu tidak perlu menyebut engkau sebagai murid Bu-Tong-Pai. Tentu mereka memusuhi Bu-Tong-Pai sehingga tadi mereka juga menyerang aku, tentu mengira aku murid Bu-Tong-Pai pula."

   "Hemm, aneh sekali. Hek I Kaipang perkumpulan orang gagah, Bu-Tong-Pai juga perguruan para pendekar. Mengapa Hek I Kaipang memusuhinya? Aku harus menyelidiki hal ini. Kalau tidak salah, di kota Im-San-Keng juga terdapat cabang perkumpulan itu. Aku akan berkunjung ke sana dan menanyakan hal ini."

   "Tidak, Yo-Twako, jangan engkau yang pergi. Mereka tahu bahwa engkau murid Bu-Tong-Pai. Jangan-jangan begitu engkau muncul, mereka akan langsung menyerangmu. Biar aku yang pergi. Aku bukan murid Bu-Tong-Pai, tentu lebih mudah melakukan penyelidikan."

   "Baiklah, Hong-moi, dan terima kasih atas bantuanmu terhadap But-Tong-Pai ini. Engkau memasuki kota Im-San-Keng untuk melakukan penyelidikan dan aku akan menanti di luar kota."

   Lalu dia menoleh dan memandang ke arah mayat itu.

   "Akan tetapi lebih dulu akan kukubur jenazah ini baik-baik sebagai bukti bahwa Bu-Tong-Pai memang tidak bermusuhan dengan Hek I Kaipang."

   Diam-diam In Hong merasa kagum akan sikap Yo Kang yang baik budi itu. sendiri tentu tidak sudi untuk mengurus mayat orang yang memusuhinya dan baru saja tadi menyerangnya secara pengecut dengan niat membunuhnya. Setelah mengubur mayat itu secara sederhana, mereka lalu meninggalkan tanah kuburan menuju ke kota Im-San-Keng di sebelah timur. Setelah tiba di luar kota Im-San-Keng, dalam sebuah hutan kecil bawah sebuah bukit, mereka berhenti dan Yo Kang berkata.

   "Nah, aku akan menanti di sini, Hong-moi. Engkau masuklah ke sana dan selidiki orang-orang Hek I Kaipang. Kebetulan di sana terdapat pula seorang murid Bu-Tong-Pai yang membuka perguruan silat sebagai cabang dari aliran Bu-Tong-Pai. Aku tidak mengenal murid itu karena aku hanya mendengar tentang perguruan silat Bu-Tong-Pai itu dari para Suhu di Bu-Tong-Pai, Sebaiknya engkau melihat ke sana pula. Siapa tahu orang-orang Hek I Kaipang juga memusuhi mereka. Dengan begitu kita tahu apakah Hek Kaipang memusuhi Bu-Tong-Pai ataukah memusuhi aku pribadi."

   "Baik, Yo-Twako."

   In Hong lalu meninggalkan hutan kecil itu dan memasuki kota Im-San-Keng yang ternyata cukup besar dan ramai. Siang hari itu udaranya panas, namun orang-orang masih ramai dan sibuk di sepanjang jalan umum dalam kota itu.

   In Hong mencari-cari dengan pandang matanya, akan tetapi sampai jauh ia berkeliling kota, ia tidak pernah bertemu dengan seorang pun anggauta Hek I Kaipang yang tentu akan mudah ia kenal dari pakaian mereka. Akan tetapi di sudut kota sebelah selatan, tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun, berpakaian hitam tambal-tambalan seperti pakaian orang yang tewas oleh pasir hitamnya pagi tadi. Dia pasti seorang anggauta Hek I Kaipang! In Hong lalu diam-diam membayangi orang itu. Pengemis yang pakaiannya serba hitam, kainnya baru akan tetapi banyak tambalannya itu memasuki sebuah rumah yang pintu gerbangnya besar dan terbuka sehingga dari jalan orang dapat melihat ke ruangan depan yang luas. Di atas pintu gerbang terdapat tulisan yang tidak berapa mencolok dan besar, namun ditulis dengan gaya indah.

   PERGURUAN SILAT RANTING BU-TONG-PAI

   Hati In Hong menjadi tegang. Perguruan inilah yang dimaksudkan Yo Kang. Dan sekarang ada seorang anggauta Hek I Kaipang memasuki gerbang itu! Cepat ia menyelinap dan mengintai. Tadi dari luar ia sudah mendengar bentakan-ben-takan orang banyak berlatih silat. Setelah ia menyelinap masuk mempergunakan ilmunya meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi sehingga tubuhnya hanya tampak seperti bayangan berkelebat lalu ia mengintai dari balik dinding, ia melihat seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar berjenggot panjang,

   Wajahnya gagah dan pakaiannya seperti yang biasa dipakai seorang ahli silat, sedang memberi aba-aba kepada lima belas orang pemuda yang belajar silat. Belasan orang murid yang berusia dari dua puluh sampai tiga puluh tahun itu bertelanjang dada dan mereka menggerakkan kaki tangan secara berbareng, setiap gerakan disertai bentakan dari mulut mereka. In Hong dapat melihat bahwa murid-murid itu baru mencapai tingkat mempergunakan gwakang (tenaga luar) dan tubuh mereka tampak berotot dan kekar. Namun harus ia akui bahwa gerakan mereka mantap dan ilmu silat Bu-Tong-Pai merupakan ilmu bela diri yang baik. Ketika melihat betapa orang berpakaian hitam yang ia duga tentu anggauta Hek I Kaipang itu kini menonton sambil tersenyum mengejek, In Hong menjadi semakin tertarik.

   "Hemm, begini sajakah ilmu silat Bu-Tong-Pai? Dengan ilmu silat kampungan seperti ini, bagaimana berani bertindak sewenang-wenang membunuhi anggauta perkumpulan lain?"

   Tiba-tiba anggauta Hek I Kaipang itu menggerakkan tangan kirinya dan tiga buah batu kecil yang tadi digenggamnya meluncur cepat ke arah tiga orang murid yang sedang berlatih silat dan yang berada paling depan.

   "Tak-tak-takk...!"

   Tiga buah batu kecil itu menyambar cepat dan agaknya mengenai lutut kanan tiga orang murid itu. Mereka mengeluh dan jatuh terduduk, menggosok-gosok lutut kanan yang terasa nyeri dan kehilangan tenaga karena tertotok jalan darahnya oleh batu-batu kecil tadi. Laki-laki gagah yang tadi memimpin para murid berlatih terkejut sekali. Dengan gerakan yang cukup gesit dia melompat dan sudah berhadapan dengan pengemis baju hitam. Mereka saling tatap dengan pandang mata tajam menyelidik, seperti dua ekor ayam jantan sedang berlaga, siap saling terjang. In Hong menonton saja karena ia ingin tahu mengapa pengemis itu memusuhi Bu-Tong-Pai. Kini ia yakin bahwa bukan Yo kang pribadi yang dimusuhi Hek I Kaipang, melainkan Bu-Tong-Pai.

   "Bukankah engkau ini anggauta Hek I Kaipang, sobat? Setahuku, Hek I Kaipang bersahabat dengan para pendekar. Mengapa engkau sekarang datang dan menghina kami?"

   Laki-laki itu bertanya dengan keren, namun sikapnya masih lunak.

   "Hemm, selamanya Hek I Kaipang bersahabat dengan para pendekar, akan tetapi memusuhi pembunuh dan Bu-Tong-Pai ternyata telah menjadi segerombolan pembunuh yang kejam dan jahat!"

   Kata pengemis baju hitam itu dengan suara mengandung kemarahan.

   "Sobat, apa maksudmu? Jangan meIempar fitnah yang bukan-bukan kepada kami. Aku, Tung Pan, murid Bu-Tong-Pai tidak pernah melakukan perbuatan jahat!"

   "Dan aku, Ang Cun, murid Hek I Kaipang tingkat empat, juga bukan orang yang suka melempar fitnah! Di kota An-Hui, sebulan yang lalu, tiga puluh orang anggauta Hek I Kaipang telah dibunuh oleh segerombolan murid Bu-Tong-Pai!"

   "Tidak mungkin!"

   Bentak Tung Pan marah.

   "Hem, pembunuhan telah terjadi. Semua murid Hek I Kaipang telah bersumpah untuk membalas dendam. Aku tidak mau membunuhi pemuda-pemuda yang menjadi muridmu ini karena mereka masih belum dapat dinamakan murid Bu-Tong-Pai. Akan tetapi engkau, Tung Pan, engkau murid Bu-Tong-Pai, maka harus kubunuh. Bersiaplah engkau untuk mati di tanganku!"

   "Manusia sombong! Siapa takut padamu? Aku sebagai murid Bu-Tong-Pai selalu siap untuk mempertahankan nama baik dan kehormatan Bu-Tong-Pai yang kau fitnah dan kau bikin kotor!"

   Dia menoleh kepada para muridnya.

   "Kalian jangan mencampuri urusan ini. Mundur dan menjauhlah!"

   Para murid itu tidak berani membantah dan mereka lalu mundur dan hanya menonton dari sudut ruangan yang luas itu. Ang Cun lalu menarik sebatang tongkat hitam yang tadi diselipkan di ikat pinggangnya. Melihat ini, Tung Pan yang sudah lama mengena! Hek I Kaipang, maklum bahwa lawannya bersungguh-sungguh dan telah memegang senjata andalan kaum pengemis baju hitam itu. Maka dia pun cepat mengambil sebatang golok dari rak senjata di sudut dan kini mereka berhadapan lagi, senjata andalan masing-masing di tangan.

   "Sambut seranganku!"

   Bentak Ang Cun dan tongkat hitamnya menyambar. Gerakannya cukup dahsyat dan Tung Pan yang tahu akan kelihaian lawan sudah mengelebatkan goloknya menangkis.

   "Tranggg...!"

   Bunga api berpijar dan kedua orang itu merasa tangan mereka tergetar, menunjukkan bahwa tenaga mereka seimbang.

   Mereka lalu saling serang dengan seru dan mati-matian. Tung Pan mainkan goloknya dengan Bu-Tong To-Hoat (Ilmu Golok Bu-Tong-Pai) yang indah. Namun In Hong yang menjadi penonton melihat bahwa ilmu golok murid Bu-Tong-Pai itu belumlah selihai ilmu golok yang dikuasai Yo Kang, apalagi setelah pemuda yang menjadi Kakak misannya itu mendapat petunjuk dari Wu Wi Thaisu wakil Ketua Go-Bi-Pai. In Hong memang hanya menonton karena apa yang didengarnya dari percakapan antara dua orang itu membuat ia ragu. Siapakah di antara Hek I Kaipang dan Bu-Tong-Pai yang bersalah? Kalau benar-benar tiga puluh orang Hek I Kaipang dibantai secara kejam oleh orang-orang Bu-Tong-Pai, jelas bahwa Bu-Tong-Pai yang bersalah. Akan tetapi kalau hal itu benar, perlu pula diketahui sebabnya mengapa Bu-Tong-Pai melakukan pembunuhan-pembunuhan itu.

   la menjadi ragu dan hanya menonton. Setelah lewat lima puluh jurus, Tung Pan mulai terdesak seperti yang sudah diduga oleh In Hong yang dapat menilai bahwa tingkat kepandaian murid Bu-Tong-Pai itu masih kalah tinggi sedikit dibandingkan tingkat lawannya. Melihat ini In Hong mengerti bahwa kalau dibiarkan saja, tentu murid Bu-Tong-Pai itu akan roboh dan mungkin tewas, mengingat betapa orang Hek I Kaipang itu sejak tadi menyerang dengan dahsyat untuk membunuh. Benar saja dugaannya, tiba-tiba Ang Cun berseru keras dan biarpun Tung Pan dapat menghindarkan diri dari totokan tongkat itu, namun tendangan kaki Ang Cun mengenai lututnya dan Tung Pan roboh. Tongkat hitam di tangan Ang Cun menusuk ke arah dada Tung Part yang sudah tak berdaya itu.

   "Syyyttt... plakk!"

   Ang Cun terkejut dan cepat melompat ke belakang ketika serangan tongkatnya itu terpental dan tertangkis bayangan yang tiba-tiba muncul dan menyambar ke arah tongkatnya. Ketika melihat bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang gadis muda yang cantik, dia mengerutkan alisnya.

   "Hemm, apakah engkau juga murid Bu-Tong-Pai?"

   Tanyanya, maklum bahwa orang yang mampu menangkis tongkatnya dengan tangan seperti tadi, memiliki tingkat kepandaian yang tinggi.

   "Bukan, aku bukan murid Bu-Tong-Pai. Akan tetapi kebetulan aku tertarik melihat pertentangan antara Hek I Kaipang dan Bu-Tong-Pai ini. Lokai (Pengemis Tua), engkau keliru besar kalau hendak membunuh murid Bu-Tong-Pai."

   "Nona, harap jangan mencampuri urusan kami dengan Bu-Tong-Pai. Orang-orang Bu-Tong-Pai telah bertindak kejam, membantai tiga puluh orang anggauta kami. Apakah engkau hendak membela iblis-iblis kejam seperti mereka itu?"

   Tung Pan yang sudah bangkit berdiri dan mundur berkata,

   "Kami tidak membunuh orang!"

   "Dengar, Lokai! Paman Tung Pan ini sama sekali tidak tahu menahu tentang pembunuhan itu. Mengapa ia harus bertanggung jawab dan menebus dengan kematiannya?"

   "Huh Bu-Tong-Pai membunuhi tiga puIuh orang kami yang tidak bersalah apa-apa, maka semua murid Bu-Tong-Pai harus kami bunuh sebagai balas dendam!"

   "Aku tidak percaya bahwa murid Bu-Tong-Pai melakukan pembunuhan itu!"

   

Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini