Ceritasilat Novel Online

Bayangan Bidadari 19


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 19



"Swi Lan, kalau aku tidak salah duga agaknya engkau tertarik sekali kepada Si Han Lin itu. Benarkah?"

   Kata Nyonya Ouw sambil memegang tangan puterinya. Mereka berdua duduk di tepi pembaringan.

   "Aih, Ibu. Baru semalam kami berkenalan! Akan tetapi, menurut pandangan Ibu, bagaimana kesan Ibu dengan Pendekar Si Han Lin itu?"

   (Lanjut ke Jilid 18)

   Bayangan Bidadari/Sian Li Eng Cu (Cerita Lepas)

   Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18

   Nyonya Ouw termenung sejenak.

   "Hemm, menurut penglihatanku, Si Han Lin itu seorang pemuda yang amat baik. Usianya masih muda, paling banyak dua puluh empat tahun. Wajahnya tampan gagah dan manis. Menurutmu, kepandaiannya tinggi dan dia telah menyelamatkan mu dari maut. Sikapnya juga lembut dan halus tutur sapanya, ramah dan sopan. Aku harus mengakui bahwa dia seorang pendekar muda yang amat baik. Hanya sayang, dia seorang pemuda Han, seorang pemuda pribumi."

   "Mengapa, Ibu? Bukankah Ibu juga seorang peranakan pribumi? Seorang keturunan campuran antara Mongol dan Han?"

   "Benar, Nenekmu seorang wanita Han, akan tetapiKakekmu seorang Mongol aseli! Bagi bangsa Mongol, yang terpenting adalah keturunan dari Ayah! Wanita tidak masuk hitungan. Andaikata engkau ini seorang laki-laki, tentu Ayahmu tidak keberatan kalau puteranya menikah dengan seorang wanita Han. Akan tetapi engkau wanita, Swi Lan, aku yakin Ayahmu tidak suka mempunyai mantu laki-laki berbangsa pribumi Han."

   "Akan tetapi aku melihat Ayah tampaknya tertarik dan suka sekali kepada Si Taihiap, Ibu. Belum pernah Ayah menjamu makan kepada seorang tamu bersama dengan kita berdua. Itu berarti Si Taihiap dianggap keluarga sendiri!"

   Nyonya Ouw menghela napas panjang.

   "Dia suka kepada Si Han Lin karena melihat bahwa pemuda itu akan dapat menjadi pembantunya yang baik dan menguntungkan. Begitulah sifat pria Mongol. Mereka mau mendekati dan berbaik kepada suku bangsa lain kalau orang itu dapat mereka manfaatkan. Ayahmu tentu akan suka sekali memanfaatkan kelihaian Si Han Lin untuk membantu tugasnya yang berat, akan tetapi untuk menjadi mantunya, aku yakin dia tidak akan setuju. Karena itu, sebelum terlambat, jauhkan saja hatimu dari pemuda itu, Anakku."

   Swi Lan tersenyum dan kedua pipinya berubah merah.

   "Aih, Ibu! Siapa sih yang memikirkan urusan jodoh? Akan tetapi, aku ingin sekali mendengar pendapat Ibu tentang jodoh. Kalau menurut Ibu, laki-laki yang bagaimana yang pantas untuk menjadi calon suami?"

   "Pertama-tama, tentu saja harus didasari cinta kasih. Akan tetapi kalau cinta kasih itu timbul hanya karena kekaguman keadaan lahir saja, itu berarti cinta yang mengandung nafsu dan cinta seperti itu mudah luntur. Tertarik oleh ketampanan saja harus disadari bahwa ketampanan itu hanya sementara sifatnya. Kalau sudah terbiasa, maka keburukannya akan tampak karena tidak ada manusia yang elok secara sempurna, pasti ada cacat. Ada bagian yang tampan pasti ada bagian yang buruk. Maka, cinta itu harus lebih mendalam, bukan hanya tertarik rupa di luar, melainkan juga kecocokan watak dan kebaikan watak. Akan tetapi bukan hanya ini yang diperlukan. Seorang calon suami haruslah seorang laki-laki yang mempunyai rasa tanggung jawab, dan biarpun tidak harus kaya-raya, akan tetapi harus dapat memiliki penghasilan yang tetap. Kekurangan akan mendatangkan penderitaan yang dapat menggoyahkan cinta. Jadi, menurut Ibumu ini, seorang calon suami yang baik harus ada rasa saling mencinta, watak yang baik, penuh tanggung jawab, dapat mencukupi kebuTUHAN rumah tangga, begitulah, Swi Lan."

   "Terima kasih, Ibu. Akan kucatat dalam hati walaupun saat ini aku sama sekali belum berpikir tentang perjodohan."

   Ibu dan anak ini bercakap-cakap sampai larut malam. Akhirnya Nyonya Ouw meninggalkan kamar puterinya dan Swi Lan tidur. Pada keesokan harinya, pagi-pagi ia sudah bangun dan setelah mandi dan bertukar pakaian, ia pergi ke kamar tamu di mana semalam Han Lin tidur.

   Ia mengetuk daun pintu, dan menunggu jawaban. Namun jawaban tak kunjung ada. Ia mengetuk lagi lebih keras dan mengulangnya sampai tiga kali. Namun tetap saja tidak ada jawaban dari dalam. Swi Lan merasa heran dan ketika ia mencoba untuk mendorong, ternyata daun pintu kamar itu tidak terpalang dari dalam sehingga langsung terbuka. la menjenguk ke dalam kamar dan ternyata kamar tamu itu kosong! Tentu saja Swi Lan merasa heran. Ia memasuki kamar, membuka daun pintu dan daun jendelanya dan mendapat kenyataan bahwa pembaringan itu tak pernah ditiduri orang! Tidak ada tanda-tanda bahwa Han Lin semalam tidur dalam kamar ini. Ketika ia bertanya-tanya kepada para pelayan, tidak seorang pun mengetahui ke mana perginya pemuda itu.

   "Semalam dia bercakap-cakap dengan Ouw Goanswe (Jenderal Ouw) sampai jauh malam, Nona."

   Demikian laporan mereka. Yang dapat menjawab hanya Ayahnya! Swi Lan terpaksa menanti sampai Ayahnya bangun dari tidur. Begitu melihat Ayahnya keluar kamar, Swi Lan segera menjumpainya.

   "Ayah, ke manakah perginya Si Han Lin?"

   Jenderal Ouw menatap wajah puterinya.

   "Ke mana? Bukankah dia berada di dalam kamar tamu?"

   "Tidak ada, Ayah. Bahkan pembaringannya juga tidak ada tanda bekas ditiduri orang. Bukankah semalam dia bercakap-cakap dengan Ayah di ruangan dalam?"

   Jenderal Ouw mengangguk.

   "Ya, kami bercakap-cakap dan setelah aku mengantuk, aku minta dia mengaso di kamarnya dan aku masuk kamarku sendiri. Hemm, anak itu agaknya memang tidak ingin berhubungan dengan kita. Sudahlah, memang dia seorang kang-ouw, banyak orang kang-ouw berwatak aneh-aneh. Kalau dia tidak mau bekerja membantuku, tidak mengapa. Masih banyak orang mau bekerja membantuku."

   Setelah berkata demikian, Jenderal Ouw pergi mandi, sikapnya sama sekali tidak mengacuhkan tentang hal itu lagi. Akan tetapi diam-diam Swi Lan merasa heran dan penasaran. Mengapa pemuda yang amat menarik perhatiannya itu tiba-tiba saja pergi menghilang tanpa pamit? Pasti telah terjadi sesuatu antara Si Han Lin itu dengan Ayahnya. Akan tetapi apa yang telah terjadi, yang menyebabkan pemuda itu pergi secara diam-diam begitu saja? Ia merasa penasaran sekali dan tiga hari kemudian, Ouw Swi Lan yang pamit kepada Ayah-Ibunya untuk pergi berburu, diam-diam membawa buntalan pakaian dan bekal uang, dan ia tidak pulang. Sampai berhari-hari Jenderal Ouw menyuruh para perajurit mencari, akan tetapi tanpa hasil dan jenderal itu bersama isterinya menjadi khawatir sekali. Terutama Nyonya Ouw. la menangis siang malam.

   "Sudahlah, jangan menangis terus. Percayalah, anak kita itu bukan seorang gadis yang lemah. Swi Lan memiliki kepandaian yang sudah tinggi dan tidak sembarang orang mampu mengalahkannya. Ia mampu menjaga diri. Percayalah!"

   Jenderal Ouw menghibur isterinya.

   "Bagaimana aku dapat yakin bahwa ia tidak akan mengalami bencana. Baru beberapa hari ia hampir saja tewas di tangan Ciu Kak Le!"

   Isterinya membantah sambil menyusut air matanya.

   "Hemm, justeru peristiwa beberapa hari yang lalu itu merupakan pelajaran baik baginya. Kalau jahanam Ciu itu tidak bertindak curang, dia tidak akan mampu mengalahkan anak kita. Tentu pengalaman itu membuat Swi Lan menjadi lebih dewasa dan matang, lebih berhati-hati sehingga tidak sampai terjebak lagi. Selain itu, apa kau kira aku akan tinggal diam saja? Aku akan menghubungi para pejabat di daerah-daerah agar membantu untuk mencari anak kita."

   Mendengar ucapan suaminya yang penuh kesungguhan dan dengan nada yang membesarkan hati itu, akhirnya Nyonya Ouw menjadi tenang juga dan terhibur.

   Yo Kang berjalan seorang diri menuju See-Ciu tempat tinggal Ayah-Ibu danKakeknya, juga sekarang Bibinya, Yo Ciu Hwa tinggal di sana. Tadinya ia hendak kembali ke Bu-Tong-Pai membawa surat balasan Ketua Siauw-Lim-Pai untuk Gurunya, Tiong Li Seng-jin Ketua Bu-Tong-Pai. Akan tetapi selain surat itu tidak berapa penting, hanya pernyataan Ketua Siauw-Lim-Pai bahwa dia akan mencari pembunuh dan akan menerima pertanggungan jawab pada hari ulang tahun Siauw-Lim-Pai, juga dia harus mulai melakukan penyelidikan sendiri mewakili Bu-Tong-Pai. Dalam perjalanan itu, teringatlah dia akan semua pengalamannya di masa lalu, sekitar dua tahun yang lalu, tentang sepak terjang Kwee In Hong. Biarpun dengan hati pedih, harus dia akui bahwa In Hong merupakan seorang di antara mereka yang patut di-curigai.

   Bukankah kedua orang Guru In Hong, yaitu suami-isteri Bhutan Koai-jin dan Hek Moli yang kini sudah tiada, dahulu merupakan musuh-musuh dari Siauw-Lim-Pai dan Bu-Tong-Pai? Mereka itu seringkali bertempur dan bahkan saling bunuh. Bhutan Koai-jin dibuntungi kaki tangannya, kabarnya oleh Ketua Siauw-Lim-Pai dibantu Ketua Bu-Tong-Pai, para pimpinan Kun-Lun-Pai dan Go-Bi-Pai. Bahkan dia ingat betapa In Hong sendiri juga dulu memusuhi Go-Bi-Pai dan Kun-Lun-Pai, bahkan membunuh beberapa orang tokoh. Juga pernah mengacau Siauw-Lim-Pai ingin mencuri kitab I-Kin-Keng. Gadis itu bagaimanapun juga masih merasa tidak suka kepada empat partai persilatan besar yang pernah bermusuhan dengan kedua orang Gurunya itu.

   Maka tidaklah aneh kalau kini dia merasa betapa perasaannya tertekan hebat. Jangan-jangan gadis yang dicintanya itu yang kini melakukan pembunuhan-pembunuhan untuk mengadu domba antara Empat Partai Persilatan Besar itu? Kalau ada orang yang menuduh In Hong, rasanya dia akan menentang dan tidak percaya, namun di lubuk hatinya terdapat keraguan karena dia tahu bahwa gadis itu memiliki watak yang amat kaku dan keras. Bukan hal yang tidak mungkin kalau In Hong yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu. Teringat akan hal ini, hati Yo Kang terasa pedih. Bagaimana kalau keraguannya ini ternyata benar? Dia yang mewakili Bu-Tong-Pai untuk menyelidiki dan mencari pembunuh itu, apakah tega untuk menangkap In Hong?

   Rasanya tidak mungkin dia sampai hati untuk mencelakai gadis itu. Dia sudah jatuh cinta kepada In Hong sejak pertemuan pertama. Selain ada rasa cinta yang mendalam, gadis itu adalah juga Adik misannya, puteri Bibinya. Hatinya menjadi bimbang dan bingung. Kalau benar In Hong yang melakukan karena dendamnya terhadap empat perguruan silat itu, maka dia akan sukar memastikan, apa yang akan dia lakukan. Membiarkan saja? Berarti dia berkhianat terhadap Bu-Tong-Pai dan bersalah besar terhadap Siauw-Lim-Pai yang terkena fitnah. Menentang In Hong? Rasanya hatinya tidak akan sanggup! Hati Yo Kang bimbang dan ragu. Dia akan selalu tersiksa dengan kebimbangan ini. Dia harus segera dapat bertemu kembali dengan In Hong dan terus terang minta kepastian dari gadis itu apakah ia benar yang melakukan semua pembunuhan itu, ataukah bukan.

   Dia tahu bahwa In Hong adalah seorang gadis yang gagah, biarpun agak liar dan berhati baja. Kalau memang gadis itu yang melakukan pembunuhan, dia yakin In Hong akan mengakuinya. la bukan seorang yang berwatak pengecut. Sejauh yang dikenalnya, In Hong adalah seorang gadis yang berani mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pikiran inilah yang membuat dia tidak langsung kembali ke Bu-Tong-Pai, melainkan menuju ke See-Ciu. Pada pertemuannya yang terakhir dengan In Hong, ketika saling berpisah, dia tahu bahwa gadis itu hendak pergi ke Beng-San untuk menemui para pimpinan Hek I Kaipang dan membujuk pimpinan Hek I Kaipang untuk berunding dengan pihak Bu-Tong-Pai tentang pembunuhan tiga puluh orang anggauta Hek I Kaipang yang katanya dilakukan oleh seorang murid Bu-Tong-Pai.

   Kini pasti In Hong sudah melaksanakan tugas itu. Kalau In Hong pulang ke dusun Hok-Te-Cung, gadis itu tentu akan mendengar bahwa Ibunya telah pindah ke See-Ciu dan ia pasti akan menyusul ke rumahKakeknya. Maka Yo Kang langsung saja pulang ke See-Ciu karena dia ingin sekali dapat bicara dengan In Hong yang akan dibujuknya untuk mengaku tentang pembunuhan-pembunuhan itu. Pada suatu siang, Yo Kang tiba di jalan simpang tiga, dan dia berhenti sejenak. Dia memandang jalan simpang ke kanan menuju dusun Hok-Te-Cung yang pernah dia kunjungi untuk menjemput Bibinya, Yo Cui Hwa, dan mengajaknya pindah ke See-Ciu.

   Dusun itu tidaklah begitu jauh lagi, hanya sekitar lima 11 (mil). Tiba-tiba tampak serombongan orang berkuda datang dari depan. Debu tebal membuat Yo Kang tidak dapat melihat jelas siapa orang-orang berkuda itu. Akan tetapi di antara mengebulnya debu tebal, dia melihat pakaian seragam mereka beserta topi mereka tampak dan tahulah dia bahwa yang datang itu adalah serombongan pasukan Mongol! Yo Kang tidak ingin mencari keributan yang hanya akan menghambat perjalanannya. Akan tetapi untuk melarikan atau menyembunyikan diri dia tidak sudi. Bagaimanapun juga, dia tidak takut menghadapi mereka. Maka dia tetap berdiri di situ, hanya menepi dan memandang ke arah berlawanan agar mukanya tidak terkena debu. Akan tetapi begitu rombongan itu tiba tak jauh darinya, mereka menghentikan kuda.

   "Pasukan berhenti dan turun dari kuda!"

   Terdengar aba-aba nyaring.

   "Hai, orang muda! Menghadaplah ke sini!"

   Bentak suara kedua yang lebih menyeramkan daripada suara pertama. Yo Kang mendongkol. Dia maklum bahwa pasukan Mongol memang bersikap galak dan sombong terhadap rakyat, akan tetapi dia merasa heran karena bentakan dua suara tadi jelas menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki dialek orang Mongol. Maka dia pun memutar tubuh menghadapi mereka. Dua orang itu memang bukan perajurit ataupun perwira Mongol. Yang seorang berusia sekitar enam puluh tahun, tubuhnya kurus agak bongkok,

   Mukanya halus tanpa kumis jenggot, pakaiannya terbuat dari sutera putih, dan di punggungnya tergantung sebatang pedang. Ada pun orang kedua, usianya juga sekitar enam puluh tahun, tubuhnya gemuk pendek dan mukanya seperti muka kanak-kanak yang periang, mulutnya selalu tersenyum lebar. Pakaiannya seperti jubah Pendeta, berwarna kuning. Tangan kirinya memegang seuntai tasbih hitam. Biarpun Yo Kang belum pernah bertemu dengan dua orangKakek ini, namun melihat penampilan dan ciri-ciri mereka, dia terkejut dan menduga bahwa kiranya dua orang inilah yang amat terkenal di dunia kang-ouw sebagai Datuk Setan Utara dan Datuk Dewa Selatan! Dugaan Yo Kang memang tepat. Mereka adalah Pak Lo-Kui (Setan Tua Utara) yang bertubuh kurus bongkok, dan Lam Sian (Dewa Selatan) yang bertubuh gemuk pendek.

   Di belakang dua orang Datuk ini tampak dua puluh empat orang perajurit Mongol. Diam-diam Yo Kang mengerti bahwa kalau mereka berniat buruk terhadap dirinya, maka berarti dia terancam bahaya maut. Dua orang Datuk itu merupakan lawan-lawan yang amat tangguh, masih ditambah dua puluh empat orang perajurit. Bagaimana mungkin dia dapat menandingi lawan yang demikian lihai dan banyak jumlahnya? Walaupun maklum bahwa dia menghadapi bahaya, namun jiwa kependekarannya membuat dia tetap tegar dan sedikit pun tidak merasa takut. Bagi seorang pendekar sejati, jauh lebih baik mati di atas jalan kebenaran daripada hidup mewah di atas jalan kejahatan. Jalan kebenaran menuju ke Tempat Suci dirahmati TUHAN, sebaliknya jalan kejahatan menuju ke jurang kotor dikutuki Setan!

   "Hai, orang muda, benarkah engkau yang bernama Yo Kang, berjuluk Bu-Tong Sin-To (Golok Sakti Bu-Tong), murid Bu-Tong-Pai?"

   Seorang pendekar tidak lari dari kenyataan.

   "Benar sekali, dan kalau aku tidak salah kira, Ji-wi (Kalian Berdua) tentulah Pak Lo-Kui dan Lam Sian."

   "He-he-ha-hah! Yo Kang, ternyata matamu yang muda awas juga sehingga dapat mengenal kami berdua! Apakah otakmu juga cukup cerdas untuk mengetahui mengapa kami menghadangmu di sini? Untuk menjawab ini, selain cerdas engkau harus jujur juga, ha-ha-ha!"

   Si gendut Lam Sian berkata. Yo Kang tersenyum pahit dan berkata,

   "Lam Sian dan Pak Lo-Kui, sepanjang ingatanku, aku belum pernah bertemu dengan kalian berdua, apalagi berurusan. Karena itu, andaikata kalian berdua berniat buruk terhadap diriku, hal itu pasti bukan karena permusuhan pribadi."

   "Hemm,"

   Pak Lo-Kui berkata dengan nada mengejek.

   "Memang engkau tidak ada urusan dengan kami berdua, akan tetapi apakah engkau juga hendak menyangkal bahwa engkau tidak mempunyai kesalahan terhadap Kerajaan Goan?"

   "Ha-ha, orang muda, aKuilah saja kesalahanmu!"

   Lam Sian menambahkan. Yo Kang mengerutkan alisnya.

   "Aku tidak merasa memberontak atau melanggar hukum pemerintah Kerajaan Mongol!"

   "Sayang, kegagahanmu itu palsu. Engkau tidak berani mengakui kesalahan, apakah berarti engkau hendak mengingkari bahwa engkau murid Bu-Tong-Pai?"

   "Aku tidak pernah mengingkari! Aku adalah murid Bu-Tong-Pai!"

   Kata Yo Kang marah karena kehormatannya tersinggung.

   "He-heh, sekarang katakan, sebagai murid Bu-Tong-Pai apakah engkau tidak merasa bersalah kalau ada murid Bu-Tong-Pai membunuh tiga puluh orang anggauta Hek I Kaipang di An-Hui? Hayo jawab, jangan-jangan pembunuhnya malah engkau sendiri!"

   Diam-diam Yo Kang terkejut. Bagaimana mereka dapat mengetahui hal itu? Ah, berita itu pasti tersebar dan nama baik Bu-Tong-Pai terancam. Tidak aneh kalau mereka mengetahui karena dia mendengar bahwa pemerintah Kerajaan Mongol memiliki banyak kaki tangan terdiri dari bangsa Mongol dan suku-suku bangsa di utara dan barat, bahkan banyak pula suku pribumi Han yang menjadi kaki tangan mereka. Mereka tentu menyebar mata-mata sehingga segala gerak-gerik orang yang mereka curigai, dapat mereka ketahui.

   "Hemm, Lam Sian dan Pak Lo-Kui, bukan aku yang melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Hek I Kaipang itu, juga aku yakin bahwa hal itu tidak dilakukan oleh murid Bu-Tong-Pai, melainkan oleh orang lain yang mengaku saja sebagai murid Bu-Tong-Pai!"

   "Ha-ha-ha, pandainya menggerakkan lidah memutar balikkan kenyataan! Murid-murid Bu-Tong-Pai hanya namanya saja terkenal gagah, akan tetapi sesungguhnya berwatak pengecut, tidak berani bertanggung jawab atas perbuatannya. Tiga puluh orang anggauta Hek I Kaipang itu dibunuh dengan pukulan Tong-Sim-Ciang dari Bu-Tong-Pai!"

   Lam Sian berkata dengan suara mengejek.

   "Terserah apa yang kalian katakan, akan tetapi tetap aku menyangkal bahwa murid Bu-Tong-Pai yang melakukan. Aku yang mewakili Bu-Tong-Pai untuk menyelidiki dan menangkap pembunuh yang menggunakan nama Bu-Tong-Pai itu!"

   "Cukuplah semua pura-pura ini, Yo Kang. Sekarang, menyerahlah engkau, kami tangkap sebagai orang yang kami curigai melakukan pembunuhan itu!"

   Kata Pak Lo-Kui yang sudah mencabut pedangnya. Para Datuk Besar itu jarang sekali menggunakan senjata mereka dalam perkelahian. Biasanya mereka cukup menggunakan tangan kosong saja untuk mengalahkan lawan-lawan mereka. Pak Lo-Kui juga biasanya cukup menggunakan pukulan tangan kosong yang amat ditakuti lawan, yaitu Hek-Tok-Ciang (Tangan Racun Hitam). Akan tetapi kini dia maklum bahwa menghadapi tokoh Bu-Tong-Pai yang terkenal amat lihai dengan ilmu goloknya itu, dia tidak boleh memandang ringan. Sementara itu, Lam Sian juga sudah memutar-mutar tasbih dan memainkannya.

   "Aku tidak merasa bersalah. Untuk apa aku harus menyerah?"

   Jawab Yo Kang dengan sikap gagah perkasa.

   "Kalau begitu mampuslah!"

   Pak Lo-Kui berseru dan pedangnya sudah menyambar dahsyat.

   "Singgg...!"

   Pedang itu membabat ke arah leher, namun dengan gerakan ringan dan cepat Yo Kang sudah mengelak ke belakang. Pada saat itu, tasbih di tangan Lam Sian menyambar sebagai sinar hitam. Ketika mengelak dari sambaran pedang tadi, Yo Kang sudah mencabut goloknya. Kini dia menggunakan golok menangkis sinar hitam yang menyambarnya itu.

   "Singgg... tranggg...!!"

   Bunga api berpijar ketika golok di tangan Yo Kang bertemu dengan tasbih hitam, yang kini dipegang tangan kanan Lam Sian. Keduanya merasa betapa tangan yang memegang senjata tergetar hebat.

   "Trriik, triiikk...!"

   Tasbih itu berputar-putar mengeluarkan suara nyaring.

   "Singgg...!"

   Kembali pedang Pak Lo-Kui menyambar lewat ketika dielakkan oleh Yo Kang. Yo Kang segera mengeluarkan ilmu goloknya yang hebat. Ilmu golok Bu-Tong-Pai memang hebat sekali, seperti juga ilmu pedangnya. Yo Kang selama hampir dua tahun belakangan ini digembleng secara istimewa oleh Tiong Li Seng-jin sendiri, maka ilmu goloknya sudah memperoleh kemajuan pesat sekali.

   Selain ilmu goloknya menjadi lebih sempuma, juga dia menerima gemblengan ilmu tenaga dalam sehingga dia memiliki sinkang (tenaga sakti) yang kuat. Akan tetapi, kini Yo Kang menghadapi keroyokan dua orang Datuk Besar yang amat lihai. Dalam hal tenaga sakti, dia masih lebih kuat sedikit. Andaikata dia hanya menghadapi seorang dari mereka, menghadapi Pak Lo-Kui misalnya, mungkin dia akan dapat menang. Kalau menghadapi Lam Sian, keadaannya berimbang karena Lam Sian merupakan Datuk terkuat di antara Empat Datuk Besar. Senjata tasbihnya itu luar biasa sekali. Selain amat kuat dan dapat menahan segala macam senjata tajam, juga biji-biji tasbih hitam itu mengandung racun yang jahat sekali. Mungkin karena tubuhnya yang gemuk pendek, dia lebih banyak menyerang, dari bawah dan justeru ini yang amat berbahaya dan merepotkan Yo Kang.

   Serangan-serangan pedang Pak Lo-Kui merupakan serangan yang mengancam tubuhnya bagian atas, dan selagi dia mencurahkan perhatian untuk melindungi bagian tubuh atas, serangan-serangan tasbih hitam dari bawah itu sungguh membuat dia kerepotan sekali. Pada saat yang amat gawat bagi Yo Kang itu, tampak seorang penunggang kuda datang dari arah dusun Hok-Te-Cung. Setelah tiba di tempat pertempuran, melihat Yo Kang kerepotan dikeroyok dua orang Datuk itu, gadis penunggang kuda sudah melompat seperti seekor burung garuda. Tubuhnya melayang di atas kepala para perajurit yang membuat lingkaran lebar mengepung Yo Kang yang bertempur. Setelah membuat poksai (salto) tiga kali, dengan ringan tubuh gadis itu turun di tengah kepungan. Ternyata ia adalah Ong Lian Hong, gadis remaja berusia enam betas tahun lebih itu!

   "Tidak tahu malu! Tuabangka-tuabangka beraninya melakukan keroyokan!"

   Gadis itu membentak dan sekali kedua tangannya bergerak ke punggung, ia telah mencabut sepasang pedangnya! Kemudian melihat betapa Yo Kang agaknya kewalahan dikeroyok dua, terutama sekali repot oleh serangan tasbih hitam yang berubah menjadi gulungan sinar hitam yang menyambar-nyambar dari bawah, ia langsung menggerakkan sepasang pedangnya, menyerang Lam Sian. Lam Sian terkejut bukan main ketika ada sepasang sinar menyambar ke arah kepala dan lambungnya. Cepat dia membalik sambil memutar tasbihnya menangkis.

   "Cringg! Tranggg!!"

   Sepasang pedang itu tertangkis, akan tetapi bukan main kagetnya hati Lam Sian ketika merasa betapa tangannya yang memegang tasbih tergetar hebat. Bukan main, pikirnya. Gadis remaja ini memiliki tenaga sinkang yang amat kuat!

   Sebetulnya, hal ini tidaklah mengherankan karena Lian Hong memang digembleng secara istimewa oleh Bu Kek Tianglo, Ketua Siauw-Lim-Pai yang sakti Bahkan dalam usia begitu muda, Lian Hong telah menguasai Tat-Mo Sin-Kun sampai enam bagian! Ia dapat dikatakan kini mencapai tingkat ke dua dalam perguruan Siauw-Lim-Pai, yaitu sesudah tingkat Bu Kek Tianglo sendiri! Lian Hong juga mengerti bahwaKakek gendut pendek itu memang lihai sekali. Tangkisan tasbih tadi membuktikan bahwaKakek itu memiliki sinkang yang kuat. Maka, ia lalu memainkan ilmu pedang pasangan yang secara khusus dirangkai oleh Bu Kek Tianglo untuknya, yang diberi nama Lo-Hai Siang-Kiam (Sepasang Pedang Kacau Lautan). Lam Sian menjadi semakin kaget. Dia mengenal gerakan-gerakan yang berdasarkan ilmu silat aliran Siauw-Lim-Pai.

   "Tahan!"

   Serunya sambil menggelinding ke belakang. Memang, gerakan Lam Sian yang bertubuh gemuk pendek ini seolah menggelinding seperti bola. Sebagai seorang pendekar yang tahu aturan, Lian Hong menghentikan gerakannya. Sepasang pedangnya disembunyikan di balik kedua lengannya dan ia menatap wajah Lam Sian dengan sinar mata mencorong.

   "Hemm,Kakek gentong! Engkau secara pengecut mengeroyok seorang, sekarang kita bertanding satu lawan satu engkau menahan perkelahian. Mau bilang apalagi engkau?"

   Lian Hong berkata ketus, akan tetapi Lam Sian terkekeh mendengar dirinya disebut "Kakek gentong"

   Heran, mengapa kalau yang mengejeknya itu seorang gadis remaja cantik, dia tidak menjadi marah? Padahal kalau orang lain yang menyebutnya begitu, tentu dia akan tersinggung.

   "Nona kecil yang manis, agaknya engkau murid Siauw-Lim-Pai, betulkah? Jangan mencampuri, Nona. Kami atas nama pemerintah Kerajaan Goan harus menangkap murid Bu-Tong-Pai ini karena ada murid Bu-Tong-Pai yang membunuh tiga puluh orang anggauta Hek I Kaipang. Dia ini seorang pembunuh yang jahat dan berbahaya."

   "Tidak ada murid Bu-Tong-Pai atau Siauw-Lim-Pai yang jahat. Kalian yang jahat. Kalian Empat Datuk Besar yang menghamba kepada penjajah mengkhianati bangsa sendiri. Dulu Tung Giam-Lo dan See Te-Tok mengeroyok Suheng Ceng Seng Hwesio dan Saudara Yo Kang ini, juga mereka membawa pasukan pemerintah. Sekarang aku dapat menduga siapa kalian. Engkau tentuKakek gentong yang disebut Lam Sian dan dia itu tentu Pak Lo-Kui!"

   Sementara itu, setelah kini melawan Yo Kang seorang diri, Pak Lo-Kui menjadi jerih dan dia pun menghentikan perkelahian dan melompat dekat Lam Sian. Yo Kang yang tadi melihat bahwa gadis yang membantunya adalah Ong Lian Hong, diam-diam menjadi kagum bukan main. Gadis remaja itu ternyata mampu menandingi Lam Sian yang amat lihai! Sekarang baru dia menyadari bahwa gadis remaja itu merupakan murid tersayang dari Bu Kek Tianglo. Dia pun menghampiri dan berdiri di dekat Lian Hong, goloknya masih di tangan.

   "Hemm, bagus. Murid Bu-Tong-Pai dan murid Siauw-Lim-Pai hendak memberontak terhadap pemerintah?"

   Kata Pak Lo-Kui, lalu dia memberi aba-aba kepada para perajurit.

   "Tangkap dua orang ini, kalau mereka melawan, bunuh saja!"

   Mendengar aba-aba ini, dua puluh empat orang perajurit Mongol yang sudah mengepung tempat itu lalu mencabut senjata dan siap untuk mengeroyok. Lam Sian maklum bahwa gadis remaja itu memiliki kepandaian tinggi, maka dia pun sudah menerjang sambil memutar tasbihnya, menyerang ke arah kepala Lian Hong. Gadis ini cepat menangkis dengan pedang kirinya, disusul serangan balasan dengan pedang kanannya yang menusuk ke arah tenggorokan lawan. Lam Sian cepat menghindar dengan elakan ke belakang. Sementara itu, Pak Lo-Kui juga sudah menyerang Yo Kang dengan pedangnya. Yo Kang menangkis serangan dengan goloknya, lalu balas menyerang. Ketika melihat dua lusin perajurit itu mulai bergerak untuk mengeroyok, Yo Kang maklum bahwa keadaan dia dan Lian Hong dalam bahaya. Maka dia cepat berkata lantang.

   "Nona, tidak perlu melayani para pengecut curang ini. Mari kita pergi!"

   Lian Hong memang masih muda remaja dan wataknya keras, namun ia memiliki kecerdasan dan tidak hanya menuruti nafsu hatinya saja. Ia memang marah, penasaran dan ingin memberi hajaran kepada dua orang Datuk Besar itu. Akan tetapi ia pun tahu benar bahwa kalau ia dan Yo Kang nekat melawan dua orang Datuk Besar dan dua lusin perajurit Mongol itu, mereka berdua pasti akan mengalami kesulitan, bahkan terancam bahaya maut. Maka, ketika Yo Kang mengajaknya melarikan diri, ia pun mengangguk lalu keduanya melompat ke kiri dan mengamuk di antara para perajurit. Sebentar saja mereka sudah merobohkan enam orang perajurit sehingga terbuka jalan keluar dari kepungan.

   "Tunggangi kudamu!"

   Yo Kang berseru. Lian Hong segera melompat ke atas punggung kudanya yang masih berada di tempat ia tinggalkan tadi. Adapun Yo Kang juga melompat ke atas sebuah kuda milik perajurit Mongol. Mereka berdua lalu membalapkan kuda mereka. Yo Kang berada di depan dan Lian Hong yang tidak mengenal jalan, hanya mengikuti saja. Tidak ada perajurit yang berani mengejar. Mereka sudah merasa gentar sekali melihat betapa mudahnya dua orang itu merobohkan dan menewaskan enam orang rekan mereka.

   Dua orang Datuk Besar itu pun tidak melakukan pengejaran, karena selain kalau bertanding satu lawan satu belum tentu mereka menang, juga dua orang itu sudah membalapkan kuda mereka sampai jauh. Untuk mengejar dengan berlari, sukar untuk dapat menyusul, dan kalau menunggang kuda, mereka berdua tidak biasa, sehingga merasa ngeri kalau harus membalapkan kuda. Yo Kang dan Lian Hong beberapa kali menoleh ke belakang dan setelah mereka melarikan kuda cukup jauh dan yakin bahwa mereka tidak dikejar, Yo Kang menghentikan kudanya sambil memberi isyarat kepada gadis itu untuk berhenti. Mereka turun dari atas kuda mereka dan membiarkan kuda-kuda itu mengaso dan makan rumput. Lian Hong duduk di atas batu, menyusut keringat yang membasahi muka dan lehernya.

   "Kalau aku tidak salah, bukankah engkau ini gadis murid Lo-Cianpwe... Bu Kek Tianglo Ketua Siauw-Lim-Pai?"

   "Apakah engkau pura-pura lupa padaku yang pernah kau sebut nona cilik ketika kita saling berjumpa di Siauw-Lim-Pai?"

   "Ah, maaf, aku tidak berniat buruk menyebutmu seperti itu karena menurut pandanganku, engkau masih remaja. Aku tidak lupa padamu, Nona, hanya lupa namamu."

   "Aku tidak lupa namamu, akan tetapi engkau lupa namaku. Hemm, ini membuktikan bahwa engkau murid Bu-Tong-Pai memang sombong. Yo Kang, dulu sudah kukatakan bahwa aku tidak yakin engkau akan mampu mewakili Bu-Tong-Pai mencari pembunuh itu. Ternyata sekarang, baru bertemu dua orang Datuk Besar saja engkau sudah tidak mampu melawan."

   "Nona, aku beruntung mendapatkan bantuanmu. Terima kasih atas kebaikan budimu. Memang engkau benar. Menyelidiki pembunuh itu tidak mudah karena kita belum tahu benar siapa orangnya dan bagaimana macamnya. Kalau saja engkau mau bekerja sama dengan aku, kiranya kita berdua dapat berbuat lebih banyak atau bahkan mungkin dapat memecahkan rahasia ini. Maukah bekerja sama dengan aku, Nona'?"

   "Hemm, aku sendiri sudah ditugaskan Suhu untuk mewakili Siauw-Lim-Pai mencari pembunuh itu! Jadi, kalau ada soal bantu-membantu dalam usaha ini, engkaulah yang membantuku, bukan aku yang membantumu. Mengerti?"

   Yo Kang memandang heran.

   "Hebat! Lo-Cianpwe Bu Kek Tianglo menyerahkan tugas berat ini kepadamu? Bukan main! Kukira tadinya tentu Ceng Seng Hwesio yang mengemban tugas itu."

   "Suheng Ceng Seng Hwesio diperlukan di Siauw-Lim-Pai, maka akulah yang diberi tugas itu. Bagaimana, mau engkau membantuku?"

   "Tentu saja aku siap, Nona! Aku tahu biarpun engkau masih remaja..."

   "Sudahlah, aku Ong Lian Hong bukan anak kecil lagi! Bahkan melaksanakan tugas ini seorang diri pun aku tidak takut!"

   "Harap jangan marah dan maafkan aku, Nona Ong Lian Hong. Kita berdua adalah wakil-wakil dua perguruan besar yang menjadi korban perbuatan jahat. Bu-Tong-Pai kehilangan sembilan orang murid yang terbunuh orang dan Siauw-Lim-Pai terkena fitnah karena pembunuh itu meninggalkan ciri sebagai murid Siauw-Lim-Pai. Kami pihak Bu-Tong-Pai lebih parah lagi karena selain kehilangan sembilan orang murid, juga mendapat fitnah dituduh membunuh tiga puluh orang anggauta Hek I Kaipang dengan menggunakan pukulan Tong-Sim-Ciang dari perguruan kami. Demi menjaga nama baik Siauw-Lim-Pai dan membalaskan kematian para murid Bu-Tong-Pai, kita berdua harus dapat membongkar rahasia ini dan menangkap pembunuhnya. Maka, sekali lagi aku menyatakan siap sedia untuk membantumu, Nona Ong Lian Hong."

   Mendengar ucapan yang lembut dan sikap yang ramah dari Yo Kang, kekakuan Lian Hong mencair. Gadis ini memang memiliki watak yang keras, akan tetapi menghadapi sikap yang lembut ia segera berubah menjadi ramah dan senang. Kalau tadi ia bersikap kaku terhadap Yo Kang adalah karena pemuda ini dulu mendatangkan kesan tidak menyenangkan dan seolah memandang rendah padanya dengan sebutan Nona Cilik! Juga ia menganggap Yo Kang sombong dengan pernyataan hendak menangkap pembunuhnya. Lebih mendongkol lagi rasa hati gadis ini karena Bu-Tong-Pai menuduh Siauw-Lim-Pai yang melakukan pembunuhan terhadap sembilan orang murid Bu-Tong-Pai.

   "Nanti dulu, Yo Kang. Aku hendak bertanya lebih dulu. Apakah engkau masih mempunyai dugaan bahwa murid Siauw-Lim-Pai yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu?"

   Mendengar pertanyaan ini, Yo Kang merasa ragu-ragu untuk menjawab. Karena lama pemuda itu tidak menjawab, Lian Hong berkata lagi.

   "Kalau engkau masih menduga demikian, berarti engkau mencurigai Siauw-Lim-Pai dan tidak mungkin aku sebagai murid Siauw-Lim-Pai bekerja sama denganmu. Jangan-jangan engkau juga akan mencurigai aku!"

   Yo Kang menghela napas panjang.

   "Persoalan ini memang pelik sekali dan mengandung penuh rahasia, Nona. Pembunuh itu menggunakan ilmu pukulan Tiam-Hiat-Hoat dan tendangan Siauw-Cu-Twi. Juga melihat bekas luka pukulan pada jenazah para murid Bu-Tong-Pai, dapat diketahui bahwa pembunuh itu memiliki tenaga sakti I-Kin-Keng. Semua itu merupakan ilmu-ilmu tingkat tinggi dari Siauw-Lim-Pai sehingga dengan mudah orang menaruh curiga kepada murid Siauw-Lim-Pai. Akan tetapi kalau diingat bahwa antara Siauw-Lim-Pai dan Bu-Tong-Pai bukan saja terdapat tali persahabatan yang kokoh, juga kalau ditelusuri masih ada kaitan saudara seperguruan. Lo-Cianpwe Tiong Li Seng-jin, Ketua Bu-Tong-Pai itu masih Sute (Adik Seperguruan) Bu Kek Tianglo, maka rasanya tidak mungkin kalau ada murid Siauw-Lim-Pai membunuhi sembilan orang murid Bu-Tong-Pai tanpa sebab."

   "Nah, jalan pikiranmu terakhir itu lebih tepat! Kalau kita menjatuhkan tuduhan hanya dengan bukti bahwa pembunuhan dilakukan orang yang memiliki ilmu-ilmu Siauw-Lim-Pai yang kau sebutkan tadi, maka mungkin saja pembunuhan itu dilakukan oleh Tiong Li Seng-jin sendiri, bukan? Beliau tentu juga menguasai ilmu-ilmu itu! Maka, jangan menjadikan ilmu untuk membunuh itu sebagai bukti."

   
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Yo Kang mengangguk-angguk, kagum karena jalan pikiran gadis itu menunjukkan bahwa gadis remaja ini memiliki pandangan jauh dan cerdik.

   "Jadi, menurut dugaanmu, siapakah yang melakukan pembunuhan itu, Nona?"

   "Kita singkirkan dulu tuduhan berdasarkan ilmu pukulan agar kita tidak saling mencurigai. Setelah itu, mari kita selidiki dari sudut pandangan lain. Pertanyaan pertama, mengapa ada orang membunuh sembilan orang murid Bu-Tong-Pai, di antaranya yang terbunuh adalah Bu-Tong Sam-Lo yang berilmu tinggi? Aku kira jawaban pertanyaan ini cukup mudah, bukan?"

   "Benar, jawabannya mudah. Orang yang membunuh sembilan orang murid Bu-Tong-Pai itu tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tentu dia membenci Bu-Tong-Pai, juga pembunuh itu menguasai ilmu-ilmu tingkat atas dari Siauw-Lim-Pai."

   "Tepat sekali! Dengan catatan bahwa dia bukan murid Siauw-Lim-Pai, melainkan orang luar yang entah secara bagaimana dapat mencuri dan menguasai ilmu-ilmu itu."

   Dalam hatinya, Yo Kang tersenyum. Gadis itu bersikeras menolak anggapan bahwa pembunuhnya seorang murid Siauw-Lim-Pai! Padahal kemungkinan itu tentu saja ada. Akan tetapi dia diam saja, khawatir kalau gadis remaja itu marah lagi.

   "Lalu apa pertanyaan berikutnya, Nona?"

   "Pertanyaan ke dua, mengapa pula pembunuh itu sengaja meninggalkan ciri-ciri murid Siauw-Lim-Pai ketika melakukan pembunuhan? Sehingga dengan demikian, Siauw-Lim-Pai yang dituduh melakukan pembunuhan itu?"

   Yo Kang menjawab.

   "Kukira jawabannya juga sama, yaitu bahwa pembunuh itu tentu membenci Siauw-Lim-Pai pula. Dia menggunakan siasat Sekali Tepuk Membunuh Dua Ekor Lalat! Dengan pembunuhan itu, dia memperoleh dua keuntungan. Bu-Tong-Pai kehilangan sembilan orang murid dan Siauw-Lim-Pai menjadi tertuduh sebagai pelaku pembunuhan."

   "Pendapatmu tepat, akan tetapi kurang lengkap. Mendengar ceritamu tadi bahwa Bu-Tong-Pai dituduh membunuh tiga puluh orang anggauta Hek I Kaipang, semakin besar kecurigaanku bahwa di balik semua ini terdapat unsur-unsur pengadu-dombaan! Pembunuh itu pasti orang yang amat membenci Siauw-Lim-Pai dan Bu-Tong-Pai maka ingin mengadu domba dua perguruan itu!"

   "Siancai! Tepat sekali pendapat Nona Muda itu!"

   Tiba-tiba terdengar orang berkata dan muncullah seorangKakek berusia sekitar enam puluh dua tahun, bertubuh tinggi kurus dengan jenggot panjang dan dari pakaian dan gelung rambutnya, mudah diketahui bahwa dia seorang Tosu (Pendeta Agama To). Yo Kang segera mengenalKakek itu karena sekitar tiga tahun yang lalu dia pernah bertemu dan bahkan mendapatkan petunjuk-petunjuk ilmu silat darinya.

   "Kiranya Wu Wi Thaisu yang datang!"

   Dia berseru sambil bangkit berdiri dan memberi hormat yang dibalas oleh Wu Wi Thaisu, wakil Ketua Go-Bi-Pai. Akan tetapi Lian Hong yang juga sudah bangkit berdiri mengerutkan alis-nya lalu berkata dengan ketus.

   "Sungguh tidak patut bagi seorang Tosu (Pendeta To) mengintai dan mendengarkan pembicaraan orang lain!"

   Wu Wi Thaisu yang sudah berusia enam puluh dua tahun itu memang memiliki watak yang keras. Maka melihat sikap dan mendengar ucapan Lian Hong, dia mengerutkan alisnya.

   "Siancai! Yo-Sicu (Orang Muda Gagah Yo), siapakah Nona muda ini?"

   Yo Kang yang merasa tidak enak cepat menjawab.

   "Perkenalkan, Wu Wi Thaisu, ini adalah Nona Ong Lian Hong murid Lo-Cianpwe Bu Kek Tianglo yang mewakili Siauw-Lim-Pai untuk mencari dan menangkap pembunuh itu. Nona Ong, Totiang ini adalah Wu Wi Thaisu, wakil Ketua Go-Bi-Pai."

   Mendengar ini, Wu Wi Thaisu diam-diam merasa heran dan kagum. Gadis remaja ini sudah diserahi tugas oleh Bu Kek Tianglo untuk mewakili Siauw-Lim-Pai menyelidiki dan menangkap orang rahasia yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu!

   "Siancai...! Nona Ong, harap jangan salah sangka. Sejak tadi, sebelum kalian berdua menghentikan kuda dan mengaso sambil bercakap-cakap di sini, Pinto sudah berada di sini, mengaso dan melepaskan lelah di balik batu besar itu. Kemudian Pinto terbangun dari kantuk karena mendengar percakapan kalian berdua. Tadinya Pinto tidak peduli dan tidak ingin mencampuri urusan dua orang muda, akan tetapi ketika mendengar kalian membicarakan urusan pembunuhan-pembunuhan itu, tentu saja Pinto tertarik

   sekali. Ketahuilah bahwa Pinto juga telah berkunjung ke Siauw-Lim-Pai menghadap Bu Kek Tianglo, bersama Im Yang Siang To-jin dari Kun-Lun-Pai. Ketahuilah bahwa pembunuh itu juga telah membunuh murid kami Wi Tek Tosu, dan juga telah membunuh banyak murid Kun-Lun-Pai. Semua pembunuhan itu dilakukan dengan ilmu simpanan Siauw-Lim-Pai, yaitu Tat Mo Sin-Kun dengan tenaga sakti I-Kin-Keng. Kami dari Go-Bi-Pai dan Kun-Lun-Pai minta pertanggungan jawab Bu Kek Tianglo dan beliau minta waktu sampai pada hari ulang tahun Siauw-Lim-Pai beberapa bulan yang akan datang. Nah, setelah mendengar pendapat kalian berdua tentang pembunuhan-pembunuhan itu, Pinto sekarang merasa yakin siapa yang melakukan semua pembunuhan itu!"

   "Siapakah menurut pendapat Totiang yang melakukan semua pembunuhan itu?"

   Tanya Yo Kang ingin tahu. Juga Lian Hong mendengarkan penuh perhatian karena hatinya semakin penasaran mendengar bahwa orang yang menyamar sebagai murid Siauw-Lim-Pai itu bukan hanya membunuhi murid Bu-Tong-Pai, akan tetapi juga murid Kun-Lun-Pai dan Go-Bi-Pai! Semua pembunuhan dilakukan dengan ilmu-ilmu dari Siauw-Lim-Pai!

   "Siancai! Memang jahat sekali orang itu! Dia memusuhi empat partai persilatan terbesar, menyebar maut dan meninggalkan ciri-ciri murid Siauw-Lim-Pai. Memang tentu saja bermaksud mengadu domba dan melampiaskan nafsu kebenciannya kepada empat buah perguruan kita. Tentu kalian berdua sudah mendengar bahwa dulu sekali, dua orang yang memusuhi Empat Partai Persilatan Besar adalah mendiang suami-isteri Bhutan Koai-jin dan Hek Moli. Suami-isteri iblis itu sudah tewas, akan tetapi mereka meninggalkan seorang murid yang sudah pernah membunuhi murid-murid Kun-Lun, mengacau di Go-Bi-Pai dan Siauw-Lim-Pai. Pinto yakin sekali bahwa pembunuh itu adalah Kwee In Hong!"

   Tiba-tiba Liang Hong mengeluarkan bentakan nyaring dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung Wu Wi Thaisu.

   "Tosu bau! Tosu keparat! Sembarangan saja menuduh orang! Pembunuh itu jelas seorang berpakaian sebagai Hwesio dan kepalanya gundul! Bagaimana bisa menuduh wanita yang melakukannya?"

   "Hemm, Nona, kepala gundul dapat saja menggunakan topeng penutup rambut di kepala sehingga tampak gundul dan pakaian Hwesio itu mudah didapatkan dan dipakai. Engkau agaknya tidak mengenal siapa Kwee In Hong! Ia seorang wanita yang ganas dan kejam. Julukannya memang Si Bayangan Bidadari, akan tetapi sesungguhnya ia adalah bayangan iblis yang jahat dan kejam sekali!"

   "Tosu bau!"

   Lian Hong semakin marah.

   "Jangan sembarangan menuduh orang tanpa bukti. Apakah engkau melihat sendiri bahwa pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan oleh Kwee In Hong?"

   "Siancai! Buktinya memang belum ada, akan tetapi dugaan Pinto itu pasti tidak salah lagi. Pembunuh yang menyamar murid Siauw-Lim-Pai itu selalu bergerak dalam gelap sehingga mukanya tidak dapat dikenal dengan baik. Pinto sudah mengenal keganasan dan kekejaman iblis betina Kwee In Hong, maka Pinto yakin bahwa ialah yang melakukan semua pembunuhan ini. Pinto akan berusaha keras untuk menangkap!"

   "Tosu jahanam! Engkau jahat!"

   Lian Hong sudah bergerak maju dan memukul dengan dorongan tangannya ke arah Wu Wi Thaisu. Tosu itu terkejut ketika gadis remaja itu menyerang dengan tiba-tiba, maka dia pun mengerahkan tenaga saktinya untuk menyambut dengan dorongan tangannya pula.

   "Desss...!"

   Tubuh Wu Wi Thaisu terpental ke belakang sedangkan tubuh gadis itu hanya bergoyang sedikit. Tosu Go-Bi-Pai itu memandang dengan mata terbelalak heran.

   "Tenaga I-Kin-Keng... begitu kuatnya... hemm, jangan-jangan engkau sendiri yang menjadi pembunuh itu!"

   "Tosu bau lancang mulut! Sekali lagi membuka mulutmu yang bau, lehermu akan kupenggal dengan sepasang pedangku!"

   Setelah berkata demikian, sekali kedua tangannya bergerak ke atas pundaknya, ia telah mencabut sepasang pedang itu.

   "Hemm, makin besar kemungkinan nya engkau yang menjadi pembunuh itu! Yo-Sicu, hayo kita tangkap iblis betina ini!"

   Teriak Wu Wi Thaisu sambil mencabut pedang pula. Akan tetapi Yo Kang melompat dan menengahi mereka.

   "Totiang, percayalah, semua ini hanya merupakan salah paham saja. Harap Totiang meninggalkan kami agar jangan terjadi keributan antara kita sendiri. Nona Ong, simpan pedangmu. Wu Wi Thaisu bukan bermaksud menghina. Ini hanya salah paham belaka."

   Wu Wi Thaisu menghela napas panjang dan menyimpan kembali pedangnya.

   "Siancai! Kalau tidak ada Yo-Sicu, tentu Pinto akan bertanding mati-matian terhadap gadis Siauw-Lim-Pai yang menghina Pinto ini. Biarlah, Pinto mengalah dan kini jumlah tersangka bagi Pinto bertambah seorang lagi."

   Setelah berkata demikian, Wu Wi Thaisu melompat jauh dan pergi dari situ. Lian Hong juga menyimpan Siang-Kiamnya.

   "Huh, kalau tidak kau lerai, tentu sudah kupenggal leher Tosu bau yang menjengkelkan itu!"

   "Nona, kalau hal itu terjadi, pasti tidak akan menambah baik keadaan. Bahkan Siauw-Lim-Pai akan semakin buruk namanya. Bayangkan saja kalau ada berita bahwa engkau, seorang murid Siauw-Lim-Pai, membunuh wakil Ketua Go-Bi-Pai!"

   "Hemm, memang benar akan tetapi Tosu bau itu sungguh menjemukan! Sembarangan saja menuduh orang tanpa bukti!"

   Kata Lian Hong, mulutnya yang manis bersungut-sungut. Yo Kang tersenyum.

   "Sudahlah, Nona, jangan marah lagi. Semua itu hanya salah paham belaka. Akan tetapi aku heran, mengapa engkau menjadi begitu marah mendengar Kwee In Hong dituduh sebagai pelaku pembunuhan?"

   "Tentu saja! Aku yakin Kwee In Hong bukan pembunuh itu. la tidak akan melakukan pembunuhan-Pembunuhan itu!"

   "Hemm, agaknya engkau mengenal baik Nona Kwee In Hong itu."

   "Mengenal baik? Lebih dari itu karena ia adalah Enciku (Kakak perempuanku)!"

   "Ah, tidak mungkin...!!"

   Yo Kang berseru sambil membelalakkan matanya, memandang gadis itu penuh curiga karena dianggap gadis itu berbohong. Lian Hong mengerutkan alisnya dan sepasang mata yang bening itu memancarkan sinar kemarahan kepada Yo Kang.

   "Kau kira aku bohong? Apakah engkau juga hendak menganggap Enci In Hong yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu?"

   "Bukan begitu maksudku, Nona Ong Lian Hong. Aku merasa heran dan tidak percaya engkau mengaku bahwa Kwee In Hong itu encimu. Ketidak-percayaanku ini bukan ngawur atau tidak beralasan, Nona. Pertama, In Hong bermarga Kwee sedangkan engkau bermarga Ong. Bagaimana mungkin ia menjadi Encimu? Dan ke dua, aku mengenal baik dan tahu benar siapa Kwee In Hong dan ia tidak pernah memiliki seorang pun Kakak atau Adik!"

   Lian Hong masih mengerutkan alisnya. Kini sebaliknya ia yang menjadi curiga dan ia tidak percaya bahwa pemuda tokoh Bu-Tong-Pai itu mengenal encinya.

   "Hemm, Yo Kang. Engkau tidak percaya kepadaku dan aku berhak pula untuk tidak percaya kepadamu. Nah, sekarang. coba engkau memberi gambaran bagaimana rupa Kwee In Hong!"

   "Itu mudah saja."

   Jawab Yo Kang,

   "Kwee In Hong berusia... sekitar dua puluh satu tahun, wajahnya cantik, wataknya... hemm, agak keras dan pemberani seperti engkau."

   "Ah, kalau cuma ngawur dan kira-kira begitu semua orang juga bisa. Katakan, siapa nama Ayah dan Ibunya dan di mana tinggalnya."

   "la puteri Paman Kwee Seng yang sudah meninggal dunia, dan Ibunya adalah Bibi Yo Cui Hwa. Dahulu Ayah-Ibunya tinggal di Tiang-An, setelah Ayahnya tewas terbunuh gerombolan penjahat, Ibunya melarikan diri bersamanya dan tinggal di dusun Hok-Te-Cung..."

   "Hei! Bagaimana engkau bisa mengetahui itu semua? Apakah engkau bersahabat dengan Enci In Hong?"

   "Bukan hanya bersahabat, Nona. Kwee In Hong itu adalah Adik misanku! Kalau engkau Adiknya, mengapa engkau she Ong dan tidak tahu tentang diriku? Ketahuilah, Ibu dari In Hong adalah Bibiku, Adik misan dari Ayahku. Ayahku bernama Yo Hang Tek danKakekku bernama Yo Tang. Kami tinggal di See-Ciu. Nah, jelas bukan bahwa aku kenal baik Adik Kwee In Hong? Sekarang jelaskan bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa engkau ini Adiknya."

   "Hemm, mendengar ceritamu agaknya engkau tidak berbohong, apalagi shemu (margamu) Yo, sama dengan marga Ibuku. Ibuku adalah Yo Cui Hwa, akan tetapi Ayahku bukan Kwee Seng. Aku dan Enci In Hong satu Ibu berlainan Ayah."

   "Ah, kalau begitu setelah Paman Kwee Seng terbunuh penjahat, Bibi Yo Cui Hwa menikah lagi dengan seorang pria she Ong? Mengapa Bibi Yo Cui Hwa tidak pernah bercerita tentang hal ini kepada kami?"

   Kini mereka berdiam diri, tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Lalu Lian Hong berkata,

   "Kalau begitu, yang mengajak Ibu pergi dari Hok-Te-Cung adalah engkau?"

   "Benar, Nona... eh, Siauw-moi (Adik Perempuan). Aku mengajak Bibi Yo Cui Hong pindah ke See-Ciu dan hidup bersama kami karenaKakek Yo Tang sakit-sakitan dan selalu menanyakan Bibi Cui Hwa. Engkau juga mengetahui kepindahan Ibumu?"

   Lian Hong mengangguk. Kini ia merasa yakin bahwa Yo Kang ini memang keponakan Ibunya, jadi masih Kakak misannya! la merasa terharu dan juga senang mempunyai Kakak misan yang begini gagah perkasa.

   "Sekitar dua tahun yang lalu aku tinggal berdua dengan Ibu di Hok-Te-Cung, Twako (Kakak Laki-laki). Kemudian Suheng Ceng Seng Hwesio datang mengajak aku ke Siauw-Lim-Pai untuk memperdalam ilmu silatku, langsung di bawah bimbingan Suhu Bu Kek Tianglo. Setelah engkau datang berkunjung ke Siauw-Lim-Pai, Suhu lalu memberi tugas padaku untuk mewakili Siauw-Lim-Pai melakukan penyelidikan tentang pembunuhan itu. Aku meninggalkan Siauw-Lim-Si (Kuil Siauw-Lim) dan yang pertama kulakukan adalah mengunjungi lbu di Hok-Te-Cung. Akan tetapi ternyata Ibu tidak ada dan menurut seorang tetangga, Ibu telah pergi pindah ke See-Ciu, dibawa keluarganya. Tetangga itu tidak tahu namanya, hanya mengatakan bahwa yang mengajak Ibu pergi adalah seorang pemuda yang... tampan. Kiranya engkau pemuda itu! Aku lalu meninggalkan Hok-Te-Cung dan hendak menyusul ke See-Ciu dan tadi dalam perjalanan aku melihat engkau dikeroyok oleh dua Datuk Besar dan pasukan Mongol, maka aku lalu membantumu. Kini aku bersukur bahwa yang kubantu ternyata adalah Kakak misanku sendiri!"

   Kini pandang mata gadis itu berseri dan mulutnya tersenyum manis!

   "Aku merasa bangga bahwa engkau adalah Adikku sendiri, Lian Hong! Siapa tidak akan berbangga hati memiliki Adik misan yang begini cantik jelita, lihai dan menjadi utusan Ketua Siauw-Lim-Pai! Mari, Adikku, mari kita cepat ke See-Ciu. Bibi Yo Cui Hwa tentu akan merasa girang sekali melihatmu!"

   Tiba-tiba wajah Lian Hong yang tadinya berseri itu berubah muram. Alisnya berkerut dan ia tampak bersedih. Terjadi pertentangan dalam pikirannya karena pada saat itu ia teringat akan keadaan dirinya. Memang, ia mempunyai hubungan saudara dengan Yo Kang melalui Ibunya, akan tetapi Ayahnya...! Ayah kandungnya adalah Ong Tiang Houw, orang yang membunuh Kwee Seng! Biarpun sekarang Ong Tiang Houw sudah mati, namun keluarga Yo sudah pasti tidak suka melihat ia, puteri kandung orang yang dulu membunuh Kwee Seng, suami pertama Ibunya!

   Mungkin Ibunya dan juga In Hong merahasiakan hal yang memalukan ini, akan tetapi ia tidak bisa menyimpan rahasia. Ia terlalu jujur untuk mengingkari keadaan dirinya yang sebenarnya. Sebelum melanjutkan hubungannya dengan Yo Kang dan keluarga Yo sebagai keluarga, ia harus berterus terang kepada Yo Kang. Tidak peduli apakah Yo Kang akan menganggapnya keturunan pembunuh dan membencinya, hal yang akan amat menyakitkan hatinya. Akan tetapi tiba-tiba ia teringat. Kwee In Hong sendiri, orang yang semestinya paling sakit hati dan membenci Ayah kandungnya yang membunuh Ayah kandung In Hong, ternyata tidak membencinya bahkan sayang padanya! la mendapatkan keberanian dan tanpa ragu lagi ia memutuskan untuk menceritakan keadaan dirinya kepada Yo Kang.

   "Yo-Twako, agaknya Ibu dan Enci In Hong belum menceritakan tentang diriku kepadamu dan juga kepada keluarga Yo di See-Ciu. Agaknya mereka berdua merahasiakannya untuk melindungi nama baik Ibuku. Akan tetapi aku berpendapat lain. Aku harus membuka semua tabir rahasia itu agar semua kenyataan dapat terlihat. Aku yakin engkau sebagai seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan akan dapat mengerti dan melihat bahwa Ibu kandungku tidak dapat disalahkan dalam hal ini."

   "Lian Hong, aku percaya padamu, aku percaya bahwa engkau puteri kandung Bibi Yo Cui Hwa. Kalau memang keadaanmu perlu dirahasiakan, maka tidak usah engkau menceritakannya padaku. Aku tidak memaksamu."

   "Tidak, Yo-Twako. Harus kuceritakan karena kalau tidak, akan selalu menjadi bahan kecurigaan dan pergunjingan, terutama bagi keluarga Yo. Nah, ceritanya begini. Dahulu Ong Tiang Houw hidup bahagia bersama Ayah-Ibunya, isterinya, dan seorang puteranya bernama Ong Teng San. Ong Tiang Houw ikut berjuang menentang pemerintah penjajah, yaitu Kerajaan Goan. Ketika pada suatu hari dia pulang, dia mendapatkan isterinya mati bunuh diri setelah dipaksa dan diperkosa oleh seorang hartawan jahat yang sewenang-wenang. Ong Tiang Houw juga kehilangan Ayah-Ibunya yang meninggal dunia karena berduka atas peristiwa itu. Puteranya, Ong Teng San yang ketika itu berusia enam tahun juga hilang. Ong Tiang Houw hancur hatinya, dipenuhi dendam. Setelah dia dapat menemukan puteranya yang melarikan diri ketakutan, dia lalu menyerbu rumah hartawan itu, membunuh Si Hartawan dan membakar gedungnya. Sejak itu, Ong Tiang Houw lalu membentuk sebuah laskar rakyat yang disebut Kai-Sin-Tin, yang sebagai pelampiasan dendamnya. Laskar rakyat itu membasmi para bangsawan dan hartawan yang menjadi antek Kerajaan Mongol."

   "Nanti dulu, Lian Hong. Bukankah Ong Tiang Houw pemimpin Kai-Sin-Tin itu murid mendiang Lo-Cianpwe Bu Sek Tianglo yang terkenal gagah perkasa itu?"

   "Memang benar dia orangnya, Twako. Pada, suatu hari, dia memimpin laskarnya menyerbu Tiang-An dan di antara mereka yang menjadi korban serbuannya adalah Kwee Seng. Hartawan muda Kwee Seng yang tidak berdosa ikut menjadi korban, terbunuh oleh Ong Tiang Houw sebagai akibat sikap banyak hartawan dan bangsawan yang mau menjadi antek penjajah. Engkau tentu mendengar akan nasib Hartawan Kwee Seng, isteri dan anaknya."

   Yo Kang mengangguk.

   "Kami mendengar akan kematian Paman Kwee Seng dan Ayahku sudah mengurus dan mengubur jenazahnya. Akan tetapi Bibi Yo Cui Hwa dan Adik In Hong yang melarikan diri tidak dapat kami temukan."

   Dia berhenti sebentar lalu melanjutkan.

   "Baru setelah aku dewasa dan kebetulan bertemu dengan In Hong, ia menceritakan pengalamannya. Ketika terjadi keributan, ia dilarikan Can Ma, seorang pelayan pengasuh dan dibawa pergi. Kemudian Adik In Hong bertemu dengan Hek Moli dan menjadi muridnya."

   "Benar, aku juga sudah mendengar ceritanya. Tidak aneh kalau keluargamu tidak dapat menemukan mereka. Enci In Hong dibawa pergi Hek Moli, sedangkan Nyonya Kwee Seng atau Yo Cui Hwa diselamatkan Ong Tiang Houw."

   

Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini