Ceritasilat Novel Online

Cheng Hoa Kiam 16


Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 16



Demikianlah dongeng itu yang tersusun dalam sebuah lagu yang kini dimainkan orang denngan suling di tengah kesunyian malam bulan purnama itu. Untuk sejenak Eng Lan dan Kun Hong saling pandang dengan heran, mendengarkan dengan kagum karena suling itu ditiup dengan penuh perasaan pula dan mendengar suara suling melengking begitu halus dan nyaring, diam-diam Kun Hong terkejut karena maklum bahwa peniupnya tentulah seorang ahli khikang yang pandai.

   "Mari, sudah waktunya kita mencari Wi Liong,"

   Bisiknya. Dengan pedang Cheng-hoa-kiam di tangan. Kun Hong berjalan menuju ke bangunan itu, diikuti oleh Eng Lan.

   Akan tetapi, seluruh bangunan kelihatan gelap dan sunyi saja. Yang ada hanya suara suling ditiup makin asyik, mendatangkan suasana romantis dan juga agak ganjil. Ketika mereka sudah mendekati bangunan kuno itu ternyata bahwa suara suling terdengar dari belakang bangunan, akan tetapi dari atas datangnya!

   "Agaknya orang sudah menanti kunjungan kita dan sengaja menyambut dengan suara suling di atas genteng"

   Kata Kun Hong yang mengenal watak yang aneh-aneh dari orang-orang kang-ouw. Apa lagi di tempat kediaman Thian Te Cu hal seperti itu bukan aneh namanya.

   (Lanjut ke Jilid 17)

   Cheng Hoa Kiam (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 17

   "Ssttt.........!"

   Eng Lan menyentuh tangan Kun Hong dari belakang. Pemuda ini menengok dan ia melihat dua bayangan orang berkelebat, menyusul dari belakang. Kun Hong cepat bersiap-siap, akan tetapi oleh karena mengira bahwa dua orang itu tentu fihak tuan rumah, tidak baik kalau ia memegang pedang terhunus. Cepat ia menyimpan pedangnya di balik baju. Siapa kira dalam saat itu juga, dua orang itu serta-merta tanpa banyak cakap lagi sudah melompat maju dengan kecepatan kilat, menyambar dan menyerang dia dan Eng Lan! Kun Hong terkejut sekali melihat serangan ini yang mengandung hawa pukulan kuat sekali. Ia tahu bahwa Eng Lan takkan mungkin dapat menahan serangan sehebat ini. maka cepat sekali ia mendorong tubuh kekasihnya sampai Eng Lan mencelat dan bergulingan jauh!

   Akan tetapi pada saat itu, serangan dua orang itu sudah sampai, malah yang tadinya hendak menyerang Eng Lan, melihat gadis itu didorong pergi lalu membalik dan mengalihkan penyerangannya kepada Kun Hong. Dengan demikian secara bercubi-tubi Kun Hong menghadapi dua serangan dahsyat. Pemuda ini cepat menggerakkan kaki dan kedua tangannya menyampok serangan-serangan itu.

   "Plak! Plak!!"

   Cepat sekali dua tangannya berhasil menyampok dua kepalan tangan, akan tetapi betapa kagetnya ketika ia merasa kedua tangannya sakit ketika bertemu dengan dua buah tangan yang keras laksana besi baja! Namun Kun Hong adalah murid Thai Khek Sian, ilmu silatnya aneh dan luar biasa sekali, gerakannya cepat tak terduga. Dalam keadaan terserang tadi, begitu menangkis ia sudah dapat menyusul dengan dua macam serangan ke arah dua orang, lawan yang belum ia lihat betul keadaan orangnya. Lawan yang agak tinggi bingung menghadapi pukulan Kun Hong. hendak menangkis namun kurang cepat sehingga pundaknya kena diserempet, membuat ia mengaduh dan terhuyung ke belakang. Akan tetapi lawan ke dua yang bertubuh gemuk pendek, menghadapi pukulan Kun Hong dengan kedua tangan didorong ke depan. Kun Hong terkejut dan maklum bahwa lawan hendak mengadu tenaga. Ia hendak menarik tangannya sudah tidak keburu.

   "Dukkk............!!"

   Kepalan tangan Kun Hong membentur telapak tangan si gemuk pendek itu. Kun Hong merasa seperti menghantam dinding baja. Rasa panas yang aneh menjalar cepat dari kepalan tangan, menikam jantungnya.

   "Huakk............! ' Tak dapat ditahan lagi Kun Hong muntahkan darah segar yang seakan-akan menyembur keluar dari dalam dadanya. Sementara itu, si gemuk pendek terjengkang lalu bergulingan dan melompat berdiri lagi.

   "Kun Hong............"

   Eng Lan menjerit dan gadis ini sudah mencabut pedangnya untuk bersiap membantu kekasihnya. Namun Kun Hong memberi isyarat supaya ia mundur dan kini pemuda ini tanpa mengeluarkan kata-kata lagi sudah mencabut Cheng-hoa-kiam dan menghadapi dia orang itu yang juga sudah mencabut pedang masing-masing. Kun Hong tidak berani mengeluarkan kata- kata karena ia maklum bahwa isi dadanya terluka hebat. Ia teringat akan pesan Liong Tosu, guru besar yang aneh dari Kun-lun-pai itu bahwa biarpun ia sudah diobati oleh Liong Tosu. namun kalau ia berhadapan dengan ahli gwakang ia akan celaka, kecuali kalau ia sudah mendapat pengobatan dari hwesio hitam yang tinggal di puncak Houw-thouw (Kepala Harimau) di Pegunungan Bayangkara. Sekarang ia telah terluka karena tadi ia mengadu tenaga dengan si gemuk pendek yang ternyata adalah seorang ahli gwakang!

   "Ha-ha-ha. apakah kau murid Thian Te Cu? Kepandaianmu boleh juga, akan tetapi kau sudah terluka hebat. Lebih baik kau panggil Thian Te Cu keluar agar tua bangka itu dapat merasai kelihaian, kami Im-yang Siang-cu!"

   Kata si gemuk pendek.

   Kun Hong diam-diam merasa geli. Biarpun dua orang ini cukup lihai, akan tetapi mana bisa melawan Thian Te Cu? Akan tetapi karena tak berani mengeluarkan suara ia hanya menjawab pertanyaan itu dengan serangan pedang Cheng-hoa-kiam di tangannya. Pedang pusaka ini berkelebat bagaikan kilat menyambar, cepat dan tidak terduga gerakan-gerakannya. Dua orang itu melihat pedang Cheng-hoa-kiam menjadi bersemangat.

   "Cheng-hoa-kiam di tanganmu, tentu kau murid Thian Te Cu!"

   Kata yang gemuk pendek sambil memutar pedangnya, disusul oleh orang kedua. Akan tetapi segera mereka melompat mundur karena sinar pedang Cheng-hoa-kiam yang dimainkan secara istimewa oleh Kun Hong membuat pandangan mata mereka menjadi silau dan bingung.

   "Ini ilmu pedang apa?'"

   Bentak si gemuk pendek, heran dan juga kagum.

   "Apa kau bukan murid Thian Te Cu?"

   Mana Kun Hong mau mengobrol panjang lebar? Pemuda ini sudah terluka parah, kepalanya pening dadanya panas sekali. Pedangnya menjawab pertanyaan orang dengan serangan kilat lagi. Si gemuk pendek menangkis dengan pedangnya yang ternyata juga pedang pusaka. Terdengar suara nyaring, bunga api berhamburan dan si gemuk itu memekik keras. Kun Hong telah mempergunakan ilmu pedang warisan gurunya yang luar biasa, yaitu ketika kedua pedang bertemu, pedang Cheng-hoa-kiam menggeser turun di sepanjang pedang lawan untuk menyerang tangan atau jari yang memegang pedang itu. Inilah siasat licik dan curang yang memang merupakan kelihaian ilmu silat Thai Khek Sian. Si gemuk itu sama sekali tidak pernah menyangka maka dalam segebrakan itu sebuah jari tangannya, yang tengah, terbabat putus setengahnya.

   Kawannya menjadi marah dan hendak menyerbu, akan tetapi tiba-tiba iapun berseru kaget ketika lehernya disambar benda kecil keras sekali sampai terasa sakit dan membuat matanya berkunang. Cepat tangan kirinya menyambar benda itu, dan ternyata itu adalah sepotong pecahan genteng! Si gemuk yang jari tengah tangan kanannya putus, juga tiba-tiba tertimpuk dadanya.

   "Thian Te Cu curang.........!"

   Teriak mereka lalu kabur, melarikan diri sipat kuping ke bawah gunung.

   Kun Hong maklum bahwa dia dibantu orang, akan tetapi ia sudah terlalu pening untuk dapat melihat siapa pembantunya dan iapun tidak ada tenaga untuk mengejar dua orang itu. Eng Lan segera menghampirinya dan memegang lengannya.

   "Kun Hong........ kau........ kau tidak apa-apa.........?"

   Dengan pedang Cheng-hoa-kiam di tangan kanan Kun Hong menggunakan lengan kirinya mengusap bibirnya untuk membersihkan darah, lalu menatap wajah Eng Lan sambil tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Akan tetapi......... kau tadi........ muntah darah........."

   Gadis itu berkata lagi penuh kegelisahan.

   "Kun Hong, kau terluka parah........."

   Kun Hong sudah dapat mengatur pernapasannya dan kepeningannya tadi lenyap, hanya di bagian dada masih terasa sakit dan panas. Akan tetapi ia memaksa diri berkata sambil tersenyum.

   "Lukaku yang kemarin ini akibat pukulan totokan Im-yang-lian-hoan Kun-Iun-pai, tidak apa-apa..........."

   Ia memeluk pundak nona itu dengan lengan kirinya.

   "Eng Lan, hayo kita mencari Wi Liong......."

   Suara suling tadi berhenti sebentar ketika Kun Hong bertempur, akan tetapi sekarang sudah berbunyi lagi. Tentu saja dua orang muda-mudi itu tadi tidak memperhatikan hal ini dan baru sekarang suara suling yang memecah kesunyian malam itu menarik perhatian mereka lagi. Tiba-tiba Kun Hong teringat akan sesuatu dan ia tertawa.

   "Alangkah bodohku. Yang menyuling itu siapa lagi kalau bukan Wi Liong? Hayo kita naik ke sana!"

   Ia menuding ke atas. ke arah genteng bangunan kuno itu.

   Eng Lan juga teringat bahwa dahulu Wi Liong bersenjata sebuah suling. Memang amat boleh jadi pemuda itulah yang menyuling di saat itu. Diam-diam ia berdebar dan mukanya menjadi merah kalau teringat betapa dahulu suhunya hendak menjodohkan dia dengan Thio Wi Liong. Baiknya sinar bulan tidak cukup terang untuk dapat menyinari perubahan air mukanya maka Kun Hong tidak melihat perubahan muka Eng Lan yang memerah itu. Ia lalu menggandeng tangan Eng Lan. diajak melompat ke atas genteng. Kemudian Kun Hong berjalan di depan dengan pedang Cheng-hoa-kiam di tangan sedangkan Eng Lan berjalan di belakangnya. Mereka berjalan di sepanjang wuwungan rumah menuju ke arah suara suling yang keluar dari sebelah belakang bangunan itu.

   Setelah mereka tiba di atas bangunan belakang ternyata bahwa dugaan mereka betul. Di atas wuwungan rumah, di bawah sinar bulan purnama, duduklah Wi Liong menyandarkan tubuh pada dinding loteng. Ia asyik menyuling dengan kedua mata meram, begitu asyik seakan-akan ia tidak berada di dunia ini. Ia hanyut oleh ayunan suara sulingnya yang menggetar-getar, tanda bahwa peniupnya menyuling dengan penuh perasaan.

   Kun Hong berhenti dan menatap Wi Liong dengan mata berseri. Sekaranglah tiba saatnya ia berhadapan muka dengan musuh bessr sejak kecilnya. Sekarang ia mendapat kesempatan untuk menantang Wi Liong berpibu, mengadakan pertandingan sampai seribu jurus sampai seorang di antara mereka mengakui keunggulan lawan! Ingin ia membentak Wi Liong dan menantangnya, akan tetapi tiba-tiba Eng Lan dari belakang menyentuh tangannya dan memberi isyarat supaya Kun Hong jangan mengganggu orang yang sedang begitu asyiknya menyuling. Terpaksa Kun Hong menunda niatnya dan ikut mendengarkan. Ia melihat Eng Lan ikut terharu dan tertarik sekali akan lagu itu. Memang, Eng Lan mengenal baik lagu baru yang ditiup oleh Wi Liong melalui sulingnya, yaitu lagu "Bulanku Jangan Lari"

   Yang kata-katanya ia kenal seperti berikut

   "Bulan....... dewi malam juita

   Kau terbang tinggi, hendak ke mana?

   Berkejaran dengan barisan mega

   Kau hendak mencari siapa?

   Bulan, sinarmu menerangi hatiku

   Mengisi dada ini penuh rindu

   Bulan, bulanku, jangan kau lari

   Tunggulah daku, wahai dewi........"

   Wi Liong berhenti meniup. Suara suling melenyap dan di dalam suasana hening itu mulai terdengar lagi suara binatang-binatang kecil yang tadi seakan- akan menghentikan suara mereka untuk menikmati suara suling itu. Pemuda ini untuk sejenak bengong menatap ke angkasa raya seperti mencari-cari sesuatu, kemudian tiba-tiba ia menoleh dan memandang kepada Kun Hong dan Eng Lan.

   "Kun Hong, apakah kau datang hendak mengembalikan pedang dan minta maaf kepada suhu? Pedang boleh kau kembalikan kepadaku, akan tetapi suhu tak dapat diganggu."

   Sejak disentuh tangannya oleh Eng Lan tadi. Kun Hong teringat lagi bahwa maksud kedatangannya bukan sekali-kali untuk kepentingannya sendiri, bukan untuk menantang pibu kepada pemuda saingannya ini, melainkan untuk memenuhi tugasnya membujuk Wi Liong menyambung kembali perjodohannya dengan Kwa Siok Lan! Kini mendengar kata-kata Wi Liong yang sudah berdiri di depannya, ia tersenyum mengejek dan berkata.

   "Wi Liong, jangan kau sombong. Pedang ini dahulu milik Wuyi Sam-lojin. dan kemudian menjadi perebutan dan menjadi lambang kejayaan. Siapa dapat memilikinya berarti ia unggul dalam hal kepandaian. Kalau kau sanggup, boleh kau merampasnya dari tanganku. Tentang minta maaf kepada suhumu Thian Te Cu si orang tua, tiada perlunya karena aku tidak ada urusan dengan dia Kedatanganku malam-malam di sini kali ini bukan untuk menguji kepandaian, melainkan untuk memberi peringatan kepadamu tentang perbuatanmu yang sewenang-wenang terhadap nona Kwa Siok Lan puteri Kwa Cun Ek lo-enghiong di Poan-kun!"

   Wi Liong mengangkat alisnya, memandang kepada Kun Hong dengan heran dan tertarik. Kemudian ia tersenyum lebar. Kali ini ia mengalihkan pandang matanya kepada Pui Eng Lan yang sejak tadi menundukkan muka saja dan bersembunyi di balik tubuh Kun Hong yang bidang, agaknya mencoba berusaha supaya Wi Liong tidak mengenal mukanya.

   "Kun Hong kau benar-benar orang aneh yang mengherankan dan sukar diketahui hatinya. Patut benar kau menjadi murid Thai Khek Sian. Kau dahulu mencuri pedang Cheng-hoa-kiam di sini, lalu mengaku kepada paman Kwee Sun Tek bahwa kau melakukan perhubungan gelap dengan nona Kwa Siok Lan yang ditunangkan dengan aku di luar kehendakku itu. Karena aku memang tidak setuju ditunangkan secara begitu saja tanpa mengenal bagaimana watak tunanganku, aku berterus terang kepada paman. Paman lalu memutuskan pertunangan itu. Kenapa kau sekarang datang-datang menuduh aku berlaku sewenang-wenang?"

   "Pamanmu terlalu bodoh sehingga percaya saja kepada kelakarku. Nona Kwa Siok Lan tidak kenal padaku dan kau harus menyambung kembali ikatan jodoh itu agar tidak menodai nama baik keluarga Kwa!"

   Wi Liong tertawa keras dan memandang ke arah bulan.

   "Benar-benar orang aneh! Kau yang menimbulkan gara-gara dan sekarang kau berlaku sebagai comblang hendak menjodohkan aku kembali dengan nona Kwa? Anehnya, kau datang bersama......... kalau tidak salah nona Pui murid dari Pak-thian Koai-jin. Apa artinya ini? Ada keperluan apakah nona Pui datang ke Wuyi-san. kalau sekiranya aku boleh bertanya?"

   Dengan muka kemerahan Eng Lan menjawab.

   "Aku sebagai sahabat baik enci Siok Lan, sengaja mencari saudara Kun Hong dan mengajaknya ke sini untuk merundingkan hal ini denganmu. Enci Siok Lan tidak berdosa apa-apa, sungguh tidak semestinya pertunangan itu diputuskan."

   Wi Liong merasa tersinggung kehormatannya. Ia salah duga. Ia pikir tentu nona Pui ini mengandung dendam kepadanya karena dahulu ia pernah menolak usul guru nona itu supaya ia berjodoh dengan Pui Eng Lan. Dan siapa tahu kalau-kalau mereka berdua ini bersekongkol. Baginya baik Kwa Siok Lan mempunyai hubungan dengan Kun Hong atau tidak, sama saja. Ia tidak mungkin bisa menikah dengan orang yang tidak dicintanya, malah yang belum pernah dilihatnya. Pamannya sudah membatalkan pertunangan itu, mana ada keputusan seorang gagah dirobah atau dicabut kembali?

   "Apa maksud kalian begitu baik hati memikirkan tentang perjodohanku, benar-benar merupakan teka-teki sulit bagiku,"

   Katanya mengejek.

   "Kun Hong, aku tahu benar bahwa tentu bukan karena hatimu terlalu baik kepadaku maka kau pianhoa (beralih rupa) menjadi comblang ini. Akan tetapi ketahuilah bahwa sekali pertunangan itu diputuskan, tetap sudah putus tak dapat disambung lagi!"

   "Wi Liong!"

   Kun Hong membentak keras.

   "Sudah kukatakan nona itu tidak bersalah, hanya aku yang mengeluarkan ucapan main-main kepada pamanmu yang goblok itu. Kau harus menyambung kembali ikatan jodohmu dengan nona Kwa."

   "Dia bersalah atau tidak, tetap aku tidak suka berjodoh dengan orang yang belum pernah kulihatnya. Kau ini mengharuskan dan hendak memaksa padaku berdasarkan alasan apa dan kau hendak mengandalkan apakah?"

   "Mengandalkan ini!"

   Kata Kun Hong melonjorkan pedangnya.

   "Mau atau tidak, kau harus menyatakan kesanggupanmu untuk mengikat kembali pertunangan itu,"

   Wi Liong naik darah.

   "Bagus kiranya ke situ jurusannya? Kun Hong. kalau kau hendak menantangku, mengapa mesti menggunakan alasan yang bukan- bukan tentang perjodohan? Mau memamerkan kepandaianmu yang kaudapat dari raja siluman Thai Khek Sian? Boleh, kau majulah!"

   Pada saat itu, dari bawah terdengar bentakan keras dan sebuah benda hitam besar sekali melayang naik ke arah tiga orang muda itu. Dari sambaran angin yang datang meniup, dapat diketahui bahwa benda itu luar biasa beratnya, dilempar dengan tenaga dahsyat pula. Setelah benda itu menyambar dekat. Eng Lan melompat ke samping dan berseru kepada Kun Hong.

   "Awas!"

   Benda itu ternyata adalah sebuah batu hitam yang sebesar gentong air, beratnya ratusan kati. Dapat melemparkan batu besar itu ke atas genteng. sungguh menyatakan bahwa yang melakukannya memiliki tenaga yang hebat sekali. Biarpun Eng Lan telah mewarisi ilmu silat tinggi dari Pak-thian Koai-jin. akan tetapi melihat sambaran batu besar ini ia menjadi ngeri juga dan tentu saja cepat melompat minggir supaya jangan diterjang batu. Karena Kun Hong berdiri di sebelah pinggir, maka sebelum menyerang Wi Liong, lebih dulu batu besar itu mengancam Kun Hong.

   Pemuda ini tidak menjadi, gugup. Biarpun ia terluka hebat, namun ilmu kepandaiannya cukup tinggi untuk menghadapi serangan kasar ini saja. Kaki kirinya diangkat dan ujung sepatunya menyambut batu itu. Aneh sekali! Batu besar itu begitu bertemu dengan ujung sepatu kaki Kun Hong, lalu berputar-putar cepat di atas kaki, kemudian sekali menggerakkan kakinya, Kun Hong telah melanjutkan atau mengoper batu besar itu ke arah Wi Liong! Inilah semacam penyerangan untuk menguji kekuatan lawan.

   "Bagus!"

   Wi Liong memuji dan karena ia memperhatikan datangnya batu besar, ia tidak melihat betapa mulut Kun Hong menyeringai sedikit menahan sakit ketika tadi ia mengerahkan sedikit tenaga untuk mempermainkan batu dengan tenaga lweekangnya. Karena tidak ingin menghadapi penyerangan gelap dari bawah, Kun Hong sudah membetot lengan Eng Lan diajak melompat ke bawah. Lebih baik menghadapi lawan berterang di bawah dari pada menghadapi lawan gelap di atas genteng.

   Sementara itu, dengan tenang Wi Liong mengulur tangan kiri dengan jari-jari tangan terpentang. Dengan tangan ini ia menerima batu besar tadi. disangganya dan iapun melompat ke bawah dengan batu itu masih disangga tangan kirinya. Ini saja sudah membuktikan bahwa tenaga dalam dan ilmu ginkang dari pemuda murid Thian Te Cu ini sudah benar-benar hebat sekali.

   Ketika melompat ke bawah. Wi Liong melihat dua orang tua, seorang gemuk dan seorang kurus, memegang pedang menyerbu Kun Hong sambil membentak.

   "Kau masih belum mampus?"

   Wi Liong marah sekali. Tadi ketika ia sedang menyuling, ia sudah melihat Kun Hong dikeroyok dua orang ini. Karena ia tahu bahwa Kun Hong cukup lihai, ia hanya membantu diam-diam dengan sambitan-sambitan pecahan genteng hanya dengan maksud mengusir dua orang itu. Kenapa mereka masih belum kapok dan berani datang lagi?

   "Manusia-manusia tak tahu diri pergilah dari sini!"

   Seru Wi Liong sambil melemparkan batu besar itu ke arah mereka!

   Batu itu melayang cepat ke bawah, akan tetapi tiba-tiba entah dari mana datangnya sosok bayangan orang tinggi besar telah berkelebat dan melompat naik ke udara menyambut batu besar itu yang terus dihantamnya.

   "Darrr!"

   Batu besar itu pecah berantakan ke sana ke mari seperti tertumbuk oleh sebuah palu raksasa!

   Wi Liong terkejut bukan main. Ia maklum bahwa yang datang ini adalah seorang sakti luar biasa, maka cepat-cepat ia melompat dan menghadapi orang itu. Ternyata dia seorang kakek tua yang kepalanya botak, matanya besar-besar dan potongan serta pakaiannya seperti seorang sai-kong. Lengan tangannya berbulu dan ia nampak kuat bukan main, biarpun sudah sangat tua,

   "Ha-ha-ha-ha, Thian Te Cu sudah begitu kecil nyalinya sampai melatih dua orang murid untuk menjaga diri. Ha-ha-ha! Bocah, kepandaianmu tidak jelek, cukup berharga untuk melayani lohu bermain-main. Sambutlah!"

   Sambil berkata demikian, sai-kong tua iitu bergerak maju dan tangan kirinya menampar.

   Wi Liong mendongkol sekali. Tak dapat disangkal pula bahwa kakek ini adalah seorang tokoh besar persilatan yang asing, namun kesaktiannya tinggi. Akan tetapi mengapa begini sombong? Karena orang itu tidak memberi kesempatan bicara kepadanya, iapun tidak mau banyak cakap lagi. Ia melihat Kun Hong sudah didesak dua orang berpedang itu, maka menghadapi tamparan tangan kiri yang dilakukan seolah-olah seorang dewasa menggertak anak kecil, Wi Liong mengerahkan tenaga di tangan kanan untuk menangkis.

   Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba angin pukulan menyambarnya bukan dari kiri melainkan dari kanan dan ternyata bukan tangan kiri yang menamparnya, melainkan tangan kanan! Saking kagetnya Wi Liong sampai mencelat ke belakang untuk menghindarkan diri. Kakek itu terkekeh.

   "Heh-heh bagus kau dapat mengelak. Awas pukulan ini!"

   Dari jauh kakek itu memukul dengan tangan kanan Wi Liong bersiap-siap karena menduga bahwa lawan hendak menggunakan pukulan jarak jauh. Ia tidak gentar karena sinkang di tubuhnya cukup kuat dan ia bersiap menangkis.

   Akan tetapi ia makin terkejut ketika melihat tiba-tiba lengan tangan kakek itu menjadi "mulur"

   Panjang sekali dan tahu-tahu sudah mencengkeram ke arah dadanya! Cepat ia menyampok dengan tangan sambil miringkan tubuh dan memindahkan langkah, akan tetapi secara luar biasa sekali tahu-tahu tangan kedua kakek itu juga sudah mulur dan menyambar lehernya! Hanya dengan membanting tubuh ke belakang dan berjumpalitan, baru Wi Liong terhindar dari bahaya serangan hebat itu.

   Hebat, pikirnya. Tak disangkanya kakek ini demikian lihai dan ilmu memanjangkan anggauta tubuh ini belum pernah ia saksikan sehelumnya sungguhpun ia pernah mendengar suhunya bicara tentang itu. Akan tetapi Wi Liong tidak menjadi gentar dan ia tidak mau membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan lawan terus-menerus. Cepat ia membalas dengan serangan pukulan-pukulan, kini tanpa ragu-ragu ia mempergunakan sulingnya karena maklum bahwa ia menghadapi lawan yang berat.

   Kakek itu mengeluarkan suara aneh, seperti orang heran dan kagum, juga penasaran. Ia menarik kembali kedua tangannya menjadi biasa ukurannya, kemudian ia melawan Wi Liong dengan dua tangan kosong. Biarpun ia bertangan kosong akan tetapi Wi Liong harus menghadapi sepasang tangan ditambah sepasang ujung lengan baju yang tidak kalah ampuhnya oleh sepasang pedang! Setelah beberapa gebrakan, barulah Wi Liong tahu bahwa lawannya benar-benar tangguh dan yang amat mengherankan hatinya, langkah-langkah yang dipergunakan kakek ini tidak banyak bedanya dengan langkah-langkah ilmu silatnya sendiri. Jelas dapat dilihat olehnya bahwa ilmu kepandaian mereka bersumber satu.

   Wi Liong boleh merasa beruntung bahwa saat itu Kun Hong berada di situ. Menghadapi kakek botak ini saja ia mendapatkan lawan setanding. kalau dua orang kakek lain itu datang mengeroyok kiranya ia takkan kuat menahan karena dua kakek itupun lihai sekali ilmu silatnya. Dengan adanya Kun Hong. maka dua orang kakek itu tidak mendapat kesempatan membantu kawannya yang sedang bertanding melawan Wi Liong.

   Kun Hong memang boleh dipuji. Dia telah terluka hebat, namun dengan semangat menggelora ia masih dapat membuat dua orang lawannya sukar untuk mengalahkannya. Pedang Cheng-hoa-kiam kali ini betul-betul memperlihatkan keampuhannya. Berkali-kali terdengar suara nyaring disusul oleh muncratnya bunga api. Dua orang kakek itu biarpun mulai mendesak namun hati mereka penasaran karena pedang mereka sudah mulai rusak dan gempil setelah berkali-kali beradu dengan Cheng-hoa-kiam.

   Eng Lan melihat kekasihnya yang terluka itu dikeroyok tadinya segera mencabut pedang dan membantu. Akan tetapi baru beberapa belas jurus saja ia sudah terdesak mundur. Ia hendak nekat terus. akan tetapi Kun Hong berseru menyuruh ia mundur. Tak mau pemuda ini melihat kekasihnya terancam bahaya. Ia maklum bahwa betapapun tinggi Eng Lan mewarisi ilmu silat dari Pak-thian Koai-jin. dua orang ini masih terlalu berbahaya bagi gadis itu. Dua orang ini memiliki tingkat kepandaian yang mungkin tidak kalah oleh Pak-thian Koai-jin sendiri!

   Sementara itu. kakek botak yang bertempur melawan Wi Liong, setelah berkali-kali mengeluarkan seruan aneh. harus mengakui bahwa gerakan senjata suling pemuda itu benar-benar sukar ditembusi. Kakek ini sudah mengerahkan tenaga, memusatkan semangat untuk mengalahkan Wi Liong, namun sia-sia. Pertahanan pemuda ini demikian kuat seperti benteng baja yang tak mungkin ditembusi atau dihancurkan.

   "Bagus! Murid Thian Te Cu lumayan juga. Biar lain kali kami minta tambahan pelajaran dari Thian Te Cu sendiri!"

   Seru kakek botak ini yang disusul dengan suitan keras dan kata-kata terhadap dua orang lain yang mengeroyok Kun Hong.

   "Mundur.........!"

   Dua orang kakek itu masih penasaran. Sehelum mundur, yang tinggi cepat melakukan serangan dari bawah dengan babatan pedangnya. Kun Hong melompat ke atas dan pada saat itu yang gemuk pendek mengeluarkan seman keras, melepaskan pedangnya dan kedua tangannya bergerak, yang kiri merampas pedang yang kanan melakukan pukulan dorongan dengan tenaga gwakang sepenuhnya. Ia sudah maklum bahwa lawan muda itu tadi terluka oleh pukulan gwakangnya, maka sekarang dalam saat terakhir ia hendak, menggunakan lagi serangan seperti ini.

   Kun Hong terkejut sekali. Maklumlah ta bahwa kalau ia menyambut serangan ini, nyawanya bisa melayang. Ia lebih sayang nyawa dari pada pedang maka terpaksa ia melempar tubuh ke belakang sambil menyambitkan Cheng-hoa-kiam ke arah penyerangnya. Kakek gemuk pendek itu tertawa lebar dan cepat ia menyambar pedang itu dengan mudah, lalu sambil teritawa-tawa dia berlari pergi dengan dua orang kawannya.

   Wi Liong yang melihat mereka pergi cepat berseru.

   "Sam-wi siapakah agar kelak dapat aku melaporkan kepada suhu tentang kedatangan kalian!"

   Tiga orang itu sudah tidak kelihatan lagi bayangannya dan keadaan di situ sudah menjadi amat sunyi. Tiba-tiba terdengar jawaban dari jauh sekali, terdengar lapat-lapat namun jelas.

   "Im Yang Siang Cu dan Thai It Cinjin yang berkunjung........!"

   Wi Liong menarik napas panjang. Gerakan tiga orang itu benar-benar cepat sekali sehingga dalam sekejap mata saja sudah tiba di tempat jauh.

   "Lihai dan berbahaya sekali........."

   Katanya sambil menggunakan saputangan menghapus keringat di jidatnya.

   Kalau Wi Liong memuji-muji tiga orang yang datang menyerbu Wuyi-san tadi, adalah Kun Hong yang memaki-maki dan membanting kaki.

   "Celaka, keparat-keparat itu telah merampas pedangku!"

   Ia lalu menghampiri Wi Liong dan berkata kasar.

   
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Semua ini adalah karena gara-garamu. Sekarang setelah para pengganggu keparat itu pergi, hayo kita teruskan urusan kita. Kau mau atau tidak pergi ke Poan-kun memenuhi permintaanku tadi!"

   Wi Liong tersenyum.

   "Kau manusia aneh. Sudah kukatakan aku tidak ingin berjodoh dengan nona Kwa Siok Lan atau dengan siapapun menurut perantaraanmu. Habis kau mau apa?"

   "Kalau begitu kau harus kuseret ke sana!"

   Setelah berkata demikian, Kun Hong menerjang dan menyerang Wi Liong dengan dahsyat.

   Wi Liong cepat menangkis, akan tetapi begitu kedua lengan orang-orang muda itu saling bentur. Wi Liong melompat ke belakang dan berseru kaget.

   "Kau luka.........!"

   Dalam pertemuan kedua lengan tadi, terpaksa Kun Hong menggunakan tenaganya dan kembali ia muntah darah dan terhuyung-huyung. Eng Lan cepat memeluknya dan melihat keadaan kekasihnya gadis ini marah sekali. Ia menudingkan telunjuknya ke arah Wi Liong dan berkata keras,

   "Manusia tidak berbudi! Biarpun Kun Hong yang menjadi gara-gara sampai pamanmu memutuskan perjodohan, akan tetapi Kun Hong sudah mengakui kesalahannya. Mengingat bahwa enci Siok Lan tidak bersalah apa-apa.sudah sepatutnya kalau kau menyambung kembali ikatan itu. Akan tetapi kau tidak sudi mendengarkan malah kau sengaja menantang Kun Hong. Tak tahukah bahwa Kun Hong tadi terluka karena melayani dua orang musuh yang menyerbu Wuyi-san?"

   "Eng Lan, aku tidak minta pujian dari dia!"

   Kun Hong berseru dan kembali ia muntahkan darah.

   Eng Lan mengajaknya pergi sambil berkata.

   "Kun Hong, kita sudah melakukan kewajiban kita. Dia tidak mau bukanlah perkara kita. Sekarang lebih baik aku yang akan menerangkan semuanya kepada enci Siok Lan, bahwa bukan hanya karena mendengar kata-kata Kun Hong perjodohan itu dibatalkan, melainkan karena orangnya memang tidak suka!"

   "Tidak, Eng Lan, kau......... kau kembalilah kepada suhumu......... biar aku yang membereskan urusan ini. Aku yang hendak ke Poan-kun........"

   Kata Kun Hong lemah. Keduanya lalu pergi dari situ perlahan-lahan, dipandang oleh Wi Liong yang merasa merah dan bingung. Mengapa agaknya ada hubungan demikian akrab antara Kun Hong dan Eng Lan? Ia benar-benar tidak mengerti dan lebih heran lagi menyaksikan sikap Kun Hong. Dibandingkan dengan tempo hari, sikap pemuda itu benar-benar seperti seekor harimau berubah menjadi domba.

   "Aku sudah berjanji kepada nona tanpa nama itu untuk memutuskan sendiri pertunanganku dengan Kwa Siok Lan. Biarpun paman sudah mendahuluiku sekarang timbul perkara ini, kebetulan sekali. Aku harus pergi sendiri ke sana dan memberi penjelasan kepada orang tua she Kwa agar tidak ada ganjalan hati lagi."

   Pikirnya lalu pemuda ini memasuki bangunan yang sunyi. Pada waktu itu ia memang tinggal seorang diri saja di situ. Pamannya dan gurunya turun gunung dan sedang menjelajah puncak-puncak lain seperti biasa. Sering kali pamannya yang buta itu diajak oleh Thian Te Cu mendaki puncak-puncak dan pergi sampai beberapa pekan.

   "Kun Hong. kau terluka. kau pucat dan nampak lemah. Jangan kau pergi seorang diri, urusan enci Siok Lan biarlah kita tunda dulu. Lebih baik kau segera mencari obat untuk lukamu. Mari kuantar kau. Kun Hong. Tidak baik dalam keadaan seperti kau ini melakukan perjalanan seorang diri........"

   Ucapan ini dikeluarkan oleh Eng Lan yang menjadi gelisah sekali melihat keadaan Kun Hong. Mereka telah turun dari Gunung Wuyi-san dan Eng Lan berkali-kali menolak ketika Kun Hong menyuruh gadis ini pergi saja meninggalkannya.

   "Eng Lan kau harus mengerti bahwa yang menimbulkan gara-gara sehingga kau sendiri sampai repot, adalah aku seorang. Oleh karenanya, untuk menebus kesalahanku, harus aku pula yang membereskannya. Tentang pergi ke Gunung Bayangkara untuk mencarikan obat guna luka di dadaku, itupun akan segera kulakukan. Akan tetapi kau jangan turut, adikku sayang. Selama ini aku dapat menekan gelora hatiku akan tetapi......... aku khawatir, aku takut, benar-benar aku takut kalau membayangkan betapa pada suatu saat mungkin aku akan lupa dan setan akan menguasai hatiku. Lebih baik kita berpisah sekarang. Kau kembalilah kepada suhumu dan aku bersumpah, setelah aku sembuh pasti aku akan mencarimu, akan kupinang kau dari tangan suhumu."

   Untuk beberapa lama Eng Lan nampak ragu-ragu. Kemudian iapun teringat bahwa memang tidak pantas baginya kalau ia terus-menerus melakukan perjalanan berdua dengan Kun Hong. Dengan hati terharu ia lalu melepaskan pedangnya dan memberikan pedang itu kepada Kun Hong.

   "Kau terimalah pedang ini dan kuharap takkan lama dapat melihat kau datang membawa pedang ini kembali kepadaku. Tempat tinggal suhu tak sukar dicari karena di mana-mana ia dikenal orang."

   Kun Hong menerima pedang itu dan mendekap di dadanya.

   "Pedang ini jauh lebih berharga dari pada Cheng-hoa-kiam"

   Katanya sungguh-sungguh. Memang ia tidak bicara main-main, biarpun pedang itu bukan pedang pusaka seperti Cheng-hoa-kiam, namun pedang itu pemberian kekasihnya, seakan-akan mewakili kekasihnya akan mengawani di ke manapun dia pergi.

   "Kun Hong. kau hati-hatilah....... dan pesanku....... ingatlah selalu kepadaku dan ingat bahwa aku tidak suka melihat engkau........ tersesat seperti dulu lagi........."

   Setelah berkata demikian, sambil menghapus air matanya Eng Lan lalu berlari pergi meninggalkan Kun Hong yang berdiri mematung.

   Setelah Eng Lan pergi, baru ia merasa betapa sebetulnya dadanya amat sakit dan tubuhnya amat lemah. Hampir saja ia merobohkan diri di atas tanah kalau saja ia tidak ingat bahwa tugasnya masih banyak dan terutama sekali bahwa di sana ada Eng Lan yang menanti-nantinya penuh harapan. Aku harus berhasil, pikirnya, berhasil dalam semua tugasku dan berhasil mencari obat penyembuh lukaku. Pikiran ini menguatkan hatinya dan pemuda ini menahan rasa sakit di dadanya lalu melanjutkan perjalanan dengan semangat, menuju ke Pegunungan Bayangkara. Ia tidak mungkin pergi ke Poan-kun lebih dulu sebelum lukanya terobati, maka ia lebih dulu mementingkan pengobatan lukanya agar dapat melakukan tugasnya dengan baik dan tidak terganggu oleh luka itu. Ia maklum bahwa sebelum luka di dadanya diobati, ia tidak bisa terlalu mengandalkan kepandaiannya dan sekali bertemu dengan lawan tangguh seperti malam tadi, nyawanya berada dalam bahaya.

   Tepat pada keesokan harinya setelah Kun Hong dan Eng Lan turun gunung, dari lain jurusan kelihatan dua orang kakek mendaki Gunung Wuyi-san. Mereka ini bukan lain adalah Thian Te Cu sendiri bersama Kwee Sun Tek. Kakek sakti yang sudah mengasingkan diri dari dunia ramai ini sekarang kesenangannya hanya melihat-lihat tamasya alam yang indah di puncak puncak pegunungan sekitar Wuyi-san, memetik daun obat dan mengirup hawa segar. Kalau sedang menikmati keadaan puncak-puncak gunung kakek ini betah sekali sampai berhari-hari. Kwee Sun Tek yang sekarang mulai mempelajari ilmu batin, menemukan hiburan luar biasa dalam mengikuti Thian Te Cu. Matanya memang sudah buta sehingga ia tidak dapat lagi menikmati pemandangan indah, namun mata hatinya sudah mulai terbuka dan ia dapat memandang hal-hal yang lebih indah lagi dengan mata hatinya. Kepandaiannya juga meningkat secara luar biasa sehingga biarpun matanya tak dapat melihat, namun ia dapat mengikuti perjalanan kakek sakti itu melalui bukit-bukit dan tempat-tempat yang sukar dilalui orang yang waras matanya.

   Ketika dua orang kakek ini tiba di puncak Thian Te Cu terus saja memasuki bangunan untuk beristirahat di kamarnya, sedangkan Kwee Sun Tek yang biasa duduk di atas batu besar depan bangunan, berjalan menuju ke tempat itu. Akan tetapi ketika tangannya menyentuh batu itu, keningnya berkerut dan ia tidak jadi duduk.

   "Paman, kau sudah pulang?"

   Tiba-tiba Wi Liong menegur pamannya ketika pemuda ini keluar mendengar suara mereka.

   "Wi Liong, ketika aku keluar, siapakah yang datang mengunjungimu?"

   Kwee Sun Tek meraba batu tempat duduknya tadi dan berkata lagi.

   "Batu ini dipindahkan orang tentu bukan kau"

   "Banyak orang datang malam tadi, paman. Pertama-tama datang Kun Hong si pencuri pedang itu bersama murid Pak-thian Koai-jin. Maksud kedatangannya untuk mengakui kesalahannya bahwa dulu ia pernah mempermainkan paman dengan pengakuan bahwa ia mempunyai hubungan dengan nona Kwa Siok Lan. Padahal sama sekali ia tidak kenal, dahulu hanya kelakar saja. Oleh karena itu ia hendak memaksaku ke Poan-kun untuk......... untuk menyambung kembali pertunangan yang telah kau batalkan."

   Kwee Sun Tek terduduk di atas batu itu. Pada saat itu mata hatinya terbuka dan ia melihat dengan jelas sekali akan kesalahan, dan kecerobohannya. Ia menarik napas panjang.

   "Percuma saja Thaisu memimpin manusia seperti aku! Aku tidak berobah sejak dulu, terburu nafsu dan keras hati. Ah, kalau begitu aku harus menemui Kwa Cun Ek untuk, minta maaf."

   Kemudian sikapnya berobah dan ia berkata lagi.

   "Kurang ajar setan cilik Kun Hong itu. Selain mencuri pedang ia malah mempermainkan aku sehingga terjadi perkara sulit ini. Habis, kau tentu merampas pedangnya dan memberi hajaran kepadanya?"

   "Tidak bisa, paman. Pada saat itu datang tiga orang aneh, yang begitu datang langsung menyerang aku dan Kun Hong sehingga Kun Hong terluka hebat di dalam dadanya. Mereka itulah yang melontarkan batu ini ke atas genteng ketika aku dan Kun Hong sedang bercakap-cakap di atas genteng."

   "Siapa mereka?"

   Sun Tek bertanya heran.

   "Mereka mengaku bernama Tai It Cinjin dan dua orang lagi berjuluk Im Yang Siang Cu........"

   Kwee Sun Tek nampak tercengang.

   "Aahhh.......... mereka? Sungguh aneh. baru saja kemarin Thaisu bercerita kepadaku tentang mereka......."

   Dia lalu menceritakan kepada Wi Liong tentang tiga orang kakek itu seperti yang ia dengar kemarin dari Thian Te Cu.

   Tai It Cinjin itu sebetulnya adalah adik ipar dari Gan Yan Ki, seorang yang semenjak mudanya berwatak kasar dan buruk. Akan tetapi dia ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang jago dari Bu-tong yang berilmu tinggi. Semenjak Gan Yan Ki masih hidup, Tai It Cinjin ini sudah ingin sekali mewarisi ilmu silat yang tinggi sekali dari Gan Yan Ki sebagai murid Kui Cinjin, seorang di antara tiga Wuyi Sam-lojin. Melihat muka isterinya, pendekar besar Gan Yan Ki memberi petunjuk ilmu silat kepada adik ipar ini maka tidak mengherankan apa bila Tai It Cinjin mempunyai dasar-dasar ilmu silat Wuyi-san. yaitu ilmu silat keturunan dari Wuyi Sam-lojin yang terjatuh kepada Thian Te Cu, Thai Khek Sian, dan Gan Yan Ki. Setelah Gan Yan Ki meninggal dunia dalam usia tiga puluh tahun Tai It Cinjin yang berwatak sombong hendak memperlihatkan jasa, meneruskan permusuhan atau persaingan antara murid-murid tiga kakek Wuyi-san dan ia mendatangi Thian Te Cu untuk mengadu kepandaian sebagai wakil dari Gan Yan Ki yang sudah tewas! Akan tetapi ia kalah oleh Thian Te Cu- Betapapun juga. Tai It Cinjin tidak mau menerima kalah belajar lagi memperdalam kepandaiannya, bahkan kini ia belajar bersama dua orang sutenya dari Bu-tong-pai. yaitu Im-yang Siang-cu yang masing-masing memiliki sebutan tersendiri Im Thian Cu dan Yang Thian Cu.

   "Sungguh tidak tersangka sama sekali tiga orang ini masih berani datang lagi. Biar belajar seratus tahun lagi mana mereka mampu menandingi Thaisu? Lalu bagaimana selanjutnya? Kau toh tidak kalah oleh mereka?"

   Kwee Sun Tek mengakhiri penuturannya yang ringkas.

   "Aku melawan Tai It Cinjin. Kakek itu memang lihai bukan main. gerakan-gerakannya mempunyai dasar yang sama dengan ilmu yang diajarkan oleh suhu. Baiknya aku dapat menjaga diri dan tidak sampai kalah. Di lain fihak Kun Hong dikeroyok oleh Im Thian Cu dan Yang Thian Cu. Dua orang itupun lihai bukan main dan Kun Hong sudah terluka parah maka pedang Cheng-hoa-kiam kena dirampas oleh mereka lalu dibawa pergi, bersama Tai lt Cinjin."

   "Hemmm. mereka itu keterlaluan sekali. Thai-su terlalu sabar terhadap mereka, orang-orang yang tidak tahu diri dan sombong. Lalu........ bagaimana dengan pemuda murid Thai Khek Sian itu?"

   "Ia pergi dalam keadaan terluka parah. Paman, aku melihat sesuatu yang aneh dalam diri Kun Hong. Agaknya ia tidak seperti dulu lagi, malah............ malah aku mulai merasa kasihan kepadanya. Ayah, Kun Hong dahulu terculik bukan atas kehendak sendiri, ia menjadi murid Thai Khek San juga bukan atas kehendak sendiri, maka hubungannya dengan orang-orang jahat membuat ia tersesat. Hal ini benar-benar tak dapat disalahkan kepadanya. Aku masih mengharapkan pada suatu hari dia insyaf dan mengambil jalan benar............"

   Dengan termenung Kwee Sun Tek berkata.

   "Jahat atau baiknya sesuatu tindakan dalam hidup sepenuhnya tergantung dari kotor bersihnya pikiran sendiri. Memang keadaan di sekeliling seseorang amat mempengaruhi keadaan pikirannya pula, akan tetapi biasanya, perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan, baik ia buruk maupun baik. lambat-laun menjadi watak dan amat sukar dirobahnya"

   "Kecuali kalau perobahan itu juga dipaksakan dengan memberi pergaulan yang baik dan bersih, bukan begitu, paman? Seperti banyak contohnya betapa bekas-bekas orang jahat menjadi baik kembali setelah ia masuk menjadi hwesio........."

   "Memang ada yang tertolong. Akan tetapi juga banyak yang tidak berhasil sehingga mereka merupakan penjahat berselimut pendeta yang lebih berbahaya lagi, Semua ini. tentang merobah diri ke arah kebaikan, tergantung dari kuat lemahnya batin mereka. Harus ada sesuatu yang amat besar pengaruhnya terhadap dirinya baru orang itu mudah dituntun ke arah kebaikan."

   Wi Liong mengangguk-angguk dan bibirnya tersenyum. Seakan-akan ada sinar terang membuka matanya. Terbayang wajah Eng Lan yang cantik manis dan sikap gadis itu terhadap Kun Hong. Bukankah sikap itu membayangkan cinta kasih yang besar? Dengan cinta kasih yang besar ini bukan tidak mungkin kalau Kun Hong kelak akan dituntun ke jalan kebenaran!

   "Apa yang kau renungkan?"

   Tegur Kwee Sun Tek yang demikian 'tajam perasaannya sehingga kesunyian seakan-akan berbisik kepadanya.

   Wi Liong terkejut.

   "Tidak apa-apa. paman. Hanya aku menjadi kasihan kalau teringat kepada Seng-goat-pian Kam Ceng Swi, tokoh besar Kun-lun-pai yang gagah perkasa itu. Alangkah akan bahagia hatinya kalau Kun Hong puteranya itu berobah menjadi seorang pendekar yang budiman."

   "Kau betul. Kam Ceng Swi seorang gagah yang patut dihargai."

   Hening sejenak, kemudian terdengar Kwee Sun Tek berkata, suaranya lemah mengandung kedukaan.

   "Aku harus pergi menemui Kwa Cun Ek dan minta maaf atas kecerobohanku. dan kalau mungkin menyambung lagi perjodohan itu......."

   "Tidak, paman......... jangan!"

   "Apa maksudmu?"

   "Kumaksudkan......... eh. kiranya tidak perlu paman sendiri pergi ke Poan-kun. Biarlah aku yang akan pergi ke sana dan tentu saja aku akan minta maaf atas terjadinya hal itu. akan tetapi........ tentang perjodohan itu........ kurasa amat tidak baik kalau disambung lagi."

   "Wi Liong, apa alasan ucapanmu ini?"

   Wi Liong maklum bahwa andaikata pamannya itu masih dapat melihat, tentu sepasang mata itu akan menembusi hatinya dan tentu ia takkan dapat menyembunyikan perasaan hatinya lebih lama lagi dari pamannya!

   "Karena aku...... eh. kurasa bahwa mereka tentu sakit hati sekali atas pemutusan ikatan itu dan......... dan......... belum tentu mereka mau.....

   ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

   Halaman 67s/d70 hilang!

   ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

   .......membaca sajak. Cepat ia menuju ke pinggir lorong dan dilihatnya dari jauh mendatangi seorang laki-laki tua menunggang keledai. Binatang keledai itu berjalan seenaknya, perlahan saja namun tetap menimbulkan debu mengebul di belakangnya karena hari itu memang panas dan tanah menjadi berdebu. Orang itu menunggang keledai sambil memegangi sebuah kitab dan membaca dengan suara nyaring, jelas dan lambat seakan-akan huruf-huruf di dalam buku itu harus diingatnya benar. Kun Hong menjadi geli dan ingin tahu apa gerangan yang dibaca oleh orang itu. la mendengarkan penuh perhatian.

   "Hi no ai lok ci bi hoat, wi ci tiong.

   Hoat ji hai tiong ciat, wi ci hoo.

   Tiong ya cia. thian he ci tai pun ya.

   Hoo ya cia, thian he ci tat too ya."

   Setelah membaca kata-kata bersajak ini dengan nada sungguh-sungguh dan terdengar amat lucu dan aneh di tempat sunyi itu, orang tadi mengerutkan kening dan bibirnya berkemak-kemik, terdengar ia mengulangi satu demi satu semua kata-kata yang tadi ia baca, kemudian ia mencoba menguraikan arti setiap kalimat dengan kata-kata yang keras. Sajak atau ujar-ujar di atas artinya begini :

   "Sebelum timbul rasa SENANG,. MARAH, DUKA dan GEMBIRA, maka disebut TIONG (Lurus/lempang / tegak).

   Dapat mengendalikan perasaan- perasaan yang timbui itu. maka disebut HOO (Akur/selaras/sesuai).

   TIONG itulah merupakan pokok terbesar pari pada dunia.

   HOO adalah jalan utama dari pada dunia."

   Selama hidupnya belum pernah Kun Hong mendengar ini dan entah mengapa, ia merasa amat tertarik. Orang tua itupun kini sudah lewat di depannya dan menengok, lalu mengangguk-angguk tersenyum ramah kepadanya.

   "Orang muda. kau menanti siapa? Ataukah kau seorang diri dan hendak ke mana?"

   Tanyanya, suaranya ramah-tamah sekali membuat Kun Hong menjadi makin tertarik.

   "Lopek, aku hanya sendiri dan memang sedang melakukan perjalanan,"

   Jawabnya menyimpang.

   "Akan tetapi sajakmu tadi benar- benar amat menarik hati. Sayangnya amat sukar dimengerti. Apakah itu TIONG dan apa itu HOO, mengapa disebut pokok terbesar dari pada dunia dan jalan utama dari pada dunia?"

   "Aha, anak muda yang sedang menderita. Bagus sekali kau bertemu dengan aku. Tunggulah kuobati penderitaanmu itu dengan ujar-ujar agung dari kitab Tiong Yong."

   Sambil berkata demikian, kakek itu merosot turun dari atas punggung keledai dan ia ternyata pendek saja, tubuhnya agak bengkok di bagian punggungnya seperti penderita penyakit encok. Lalu ia menuntun keledainya, diikatkannya kendali binatang itu pada batang pohon lalu ia menghampiri Kun Hong dengan langkah perlahan.

   Kun Hong tercengang.

   "Lopek, bagaimana kau bisa bilang bahwa aku seorang yang sedang menderita?"

   "Hemm, apa sukarnya? Seorang penderita lapar baru dapat menikmati makanan seorang penderita dahaga baru dapat menikmati minuman, seorang penderita penyakit baru dapat menikmati kesehatan. Dan hanya orang yang menderita batinnya saja dapat menikmati ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong."

   Kun Hong makin tertarik. Suara orang ini amat menarik perhatiannya dan kata-kata yang keluar dari mulutnya aneh-aneh belaka sungguhpun ia masih kurang mengerti, namun agaknya ia dapat menangkap kebenaran-kebenaran yang tersembunyi dalam ucapan-ucapan itu.

   "Lopek, coba kaujelaskan arti sajak tadi. Kalau memang cocok dan baik, biar aku mengaso sambil mendengarkan."

   Orang itu terkekeh, lalu duduk di atas sebuah batu yang halus permukaannya. Juga Kun Hong lalu duduk di atas batu, menghadapi kakek aneh itu.

   "Ujar-ujar itu ada hubungannya erat sekali dengan watak dan tabiat manusia.

   "

   Kakek itu mulai dengan uraiannya.

   "Pada hakikatnya sifat manusia yang masih belum terganggu perasaan-perasaan sesuatu, adalah sama dengan air yang diam, tenteram, diam rasa, pokoknya lurus dan tidak berat sebelah. Inilah yang disebut TIONG atau tengah-tengah, ibarat orang sedang tidur nyenyak tanpa diganggu mimipi apa-apa, begitu tenteram dan damai, bersih dan adil Akan tetapi, sekali datang perasaan-perasaan senang, marah, duka, gembira dan sebagainya, ketenangan itu terguncang dan pertimbangannya lalu menjadi miring, dan hal ini dapat membuat manusia menyeleweng dan meninggalkan jalan kebenaran."

   Kun Hong mengerutkan kening, penasaran.

   "Akan tetapi, lopek. Manusia mana yang tidak akan diganggu oleh perasaan-perasaan hatinya? Hanya orang yang sudah mati, atau orang yang hidupnya tidak ada artinya lagi, baru kiranya tidak akan perduli akan perasaan hatinya."

   Kakek itu mengangguk-angguk.

   "Pelajaran dalam kitab Tiong Yong mengakui akan kenyataan bahwa manusia tidak terluput dari pada gangguan-gangguan yang timbul dari pada panca inderanya, mengalami gocangan- goncangan yang menerjang ketenteraman hatinya seperti sebuah perahu di laut teduh sewaktu-waktu tentu menerima serangan ombak dan badai. Akan tetapi, kalau kita dapat menerima serangan itu dengan penuh kebijaksanaan, dapat mengendalikan perasaan seperti seorang tukang perahu yang pandai mengemudikan perahunya dalam terjangan ombak dan badai, itulah yang baik sekali dan disebut HOO."

   "Aku mulai mengerti, lopek. Bagus sekali ujar-ujar itu. Akan tetapi, bagaimana orang bisa berlaku demikian? Mengalami kenikmatan siapa yang tidak senang, menghadapi hal yang tidak menyenangkan siapa yang tidak berduka, dan menghadapi tindasan siapa yang tidak akan marah!"

   "Itulah yang dimaksudkan supaya kita mengendalikan perasaan. Orang yang dapat mengendalikan perasaan sendiri, selalu akan bersikap tenang dan waspada. Dari ketenangan dan kewaspadaan ini timbul kebijaksanaan dan tindakan yang sudah dipertimbangkan masak-masak berdasar keadilan. Inilah sifatnya orang bijaksana. Ia bisa berduka, ia bisa marah menghadapi hal-hal iitu. akan tetapi perasaan duka dan marah itu dapat ia kendalikan sehingga ia tidak menjadi mata gelap, tidak akan melakukan perbuatan yang terdorong oleh nafsu-nafsu itu. Bisa jadi ia akan girang dan senang menghadapi sesuatu yang menguntungkan dan menyenangkan, akan tetapi perasaan girang dan senang itu dapat ia kendalikan sehingga ia tidak akan menjadi sombong, angkuh, serakah, dan sebagainya."

   Kun Hong mengangguk-angguk. Sekarang isi ujar-ujar itu menjadi gamblang baginya dan ia makin tertarik. Ia segera berdiri dan menjura dengan hormat.

   "Bolehkah aku yang bodoh mengetahui nama lopek yang mulia? Dan kalau sekiranya lopek tidak keberatan, aku mohon bimbingan lebih lanjut untuk mempelajari ujar-ujar yang bagus itu."

   Kakek itu menutup kitabnya dan memandang kepada Kun Hong. Keningnya dikeruitkan ketika ia berkata.

   "Orang muda, kau seorang muda yang gagah, membawa-bawa pedang, tentu seorang ahli silai. Mengapa ingin mempelajari segala ujar-ujar ini?"

   "Lopek, seperti lopek katakan tadi. hatiku gelisah dan aku terluka hebat. Aku sedang mencari hwesio muka hitam untuk mohon kepadanya mengobati lukaku ini. Karena selama ini hatiku gelisah dan tidak mendapat ketenteraman, tadi mendengar uraian lopek sebagian besar kegelisahanku berkurang, maka mohon lopek yang budiman sudi memberi petunjuk."

   Kakek itu nampak terperanjat.

   "Kau mencari hwesio muka hitam? Hemmm, bagaimana kau bisa tahu di sini ada seorang hwesio muka hitam?"

   Pertanyaan ini diajukan dengan tiba-tiba dan sepasang mata kakek itu memandang penuh selidik.

   Terhadap orang ini Kun Hong tidak berani main-main.

   "Aku mendapat petunjuk dari mendiang Liong Tosu dari Kun-lun-san yang mengatakan bahwa hanya hwesio muka hitam dari Pegunungan Bayangkari yang akan dapat mengobati lukaku dan menghilangkan rasa sakit di dadaku."

   Kakek itu menarik napas panjang.

   "Dia tentu akan marah setengah mati kalau kau datang sendiri. Kalau aku yang membawamu, dia bisa memaafkan aku. Kau orang muda menderita lahir batin, aku kasihan kepadamu. Kalau kau mencari hwesio muka hitam, kiranya hanya aku Miang Sinshe seorang di dunia ini yang akan dapat mengantarmu. Mari kau ikut aku."

   Setelah berkata demikian, kakek itu kembali menaiki keledainya dan menjalankan keledai itu perlahan-lahan. Bukan, main girangnya hati Kun Hong. Dicari susah-susah, sekarang ada seorang perantara yang akan membawanya kepada hwesio muka hitam. Akan tetapi tiba-tiba ia teringat akan ujar-ujar tadi dan menggunakan kekuatan batinnya untuk mengendalikan perasaan girang ini!

   "Terima kasih, lopek. Kau baik hati sekali,"

   Katanya sederhana lalu mengikuti kakek itu dari belakang. Kakek itu tidak menjawab, melainkan membuka kitabnya dan membaca ujar-ujar lain dengan suara keras. Kun Hong mendengarkan dari belakang dan betul-betul ia mendapatkan banyak pelajaran batin dari isi kitab Tiong Yong itu. Banyak hal-hal yang membuka matanya dan membuat ia insyaf betapa penghidupannya yang dulu-dulu ketika ia masih bercampur-gaul dengan Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li, benar benar telah meninggalkan jalan kebenaran. Diam-diam ia memperhatikan pelajaran-pelajaran itu sambil terus mengikuti jalannya keledai yang amat lambat.

   Agaknya kakek yang naik keledai itu sudah hafal benar akan jalan naik ke puncak, buktinya ia tidak pernah mencari jalan lagi. Malah-malah keledainya seperti yang audah mengenal jalan sehingga biarpun kakek itu terus-menerus membaca kitab tanpa mengendalinya, binatang itu bisa memilih jalan sendiri. Setelah mendaki setengah hari lamanya, akhirnya mereka tiba di puncak dan keledai itu berhenti di depan sebuah pondok yang amat sederhana, (terbuat dari pada tumpukan batu dan balok-balok kayu kasar).

   "Phang Sinshe, kau sudah datang? Siapa kawanmu itu?"

   Terdengar suara dari dalam pondok, suara (Lanjut ke Jilid 18)

   Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Cheng Hoa Kiam (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18

   yang parau akan tetapi mengandung pengaruh besar.

   Kakek itu tertawa dan merosot turun dari keledainya sambil menutup kitabnya.

   "Seorang murid baru,"

   Katanya.

   "Losuhu, kau keluarlah, orang muda ini sengaja datang untuk mencarimu."

   Tidak terdengar jawaban dari dalam pondok, keadaan menjadi sunyi sekali. Kun Hong melihat betapa pondok itu bersandar pada sebaris pohon-pohon yang besar sekali, pohon-pohon raksasa yang usianya sudah ratusan, mungkin ribuan tahun. Sungguh tempat yang sunyi dan tersembunyi, ia ingin sekali melihat bagaimana macamnya orang yang menyembunyikan diri di situ. yang oleh Liong Tosu disebut hwesio muka hitam yang akan dapat mengobatinya.

   "Losuhu. harap kau jangan marah kepadaku. Akulah yang berlaku lancang mengajaknya ke sini, karena kulihat dia betul-betul patut ditolong, dia menderita luka lahir batin. Mungkin aku dapat mengobati luka batinnya, akan tetapi luka jasmaninya, hanya kau seorang yang dapat mengobati, demikian kata pemuda ini menurut petunjuk Liong Tosu dari Kun-lun-san."

   Kembali sampai lama tidak terdengar jawaban. Kun Hong diam-diam mendongkol sekali melihat sikap orang yang agaknya "amat jual mahal"

   Itu. Tiba-tiba terdengar suara itu lagi.

   "Phang Sinshe orang macam pinceng (aku) yang mengasingkan diri, tidak mempunyai kepandaian apa-apa, bagaimana bisa mengobati orang sakit? Orang muda itu percuma saja membuang waktu datang ke sini. Suruh ia pergi lagi saja,"

   

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini