Ceritasilat Novel Online

Cheng Hoa Kiam 3


Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



Kiu Hui Niang dapat melihat kemasgulan hati suaminya. Ia lahi merdesak.

   "Mengapa kau nampak berduka? Apakah kau menyedihi kematian murid-muridmu yang murtad terhadapmu itu?"

   Beng Kun Cinjin menggeleng kepala dan sedianya ia takkan bercerita. Namun, isterinya terus mendesak dan karena memang hwesio ini sudah bertekuk lutut terhadap kecantikan Hui Niang, akhirnya ia mengaku juga bahwa dibebaskannya Kwee Sun Tek yang akan merawat putera Kwee Goat mendatangkan kecemasan baginya.

   "Aah, mengapa kau begitu bodoh? Dia baru malam tadi pergi, membawa dua mayat pula. Mana dia bisa pergi jauh? Suamiku, ingat bahwa dia itu kelak akan menjadi musuh besar. Apa lagi bocah yang ia rawat, tentu kelak akan menjadi rintangan hidup kita saja. Andaikata bocah itu kelak tidak dapat bertemu dengan kau, kau harus ingat akari anak yang kukandung, anakmu. Apakah penghidupan anakmu ini akan menjadi aman tenteram kalau kita mempunyai musuh besar? Sebelum terlambat, dan sebelum mereka pergi jauh, lebih baik kau lekas menyusul dan membunuh mereka paman dan keponakan itu."

   "Itu terlalu kejam........."

   Keluh Beng Kun Cinjin,

   "Mana bisa disebut kejam? Ini demi menyelamatkan penghidupan anak kita sendiri kelak. Dan pula, kalau anak itu dibiarkan hidup, bukankah dia akan hidup sebagai anak yatim piatu dan malah menjadi terlantar? Lebih baik dia disuruh menyusul ayah bundanya."

   Seperti biasa, luluh hati Beng Kun Cinjin oleh bujukan isterinya, apa lagi ketika Hui Niang menangis terisak-isak karena amat gelisah memikirkan nasib anaknya yang masih dalam kandungan itu. Selain tergerak oleh bujukan isterinya yang cantik jelita, juga Beng Kun Cinjin nrenganggap bahwa kali ini isterinya bicara betul, ia dapat membayangkan betapa anak Kwee Goat itu kelak tentu akan berusaha membalas dendam, kalau tidak bisa kepadanya tentu kepada anaknya.

   Berangkatlah Beng Kun Cinjin siang hari itu. keluar dari gedungnya untuk mengejar Kwee Sun Tek! Karena urusan ini lebih bersifat urusan pribadi, maka ia tidak memberi tahu kepada para pengawal, pula ia anggap urusan mudah untuk mengejar dan membinasakan muridnya itu.

   Adapun Kwee Sun Tek yang berhasil keluar dari istana sambil membawa jenazah cici dan cihunya, dengan bercucuran air mata terus-menerus. Jenazah-jenazah itu dengan bantuan hwesio penjaga kelenteng. Dengan hati hancur ia mengubur jenazah-jenazah itu di halaman belakang kelenteng dan menyembahyangi. Juga Thio Wi Liong, bocah yang baru berusia satu tahun dan tidak tahu apa-apa itu, ia pondong dan ia bawa bersembahyang di depan kuburan yang baru dari ayan bundanya.

   "Wi Liong, barlah aku mewakili kau bersumpah kepada arwah ayah bundamu bahwa kelak apa bila kita sudah kuat kita berdua akan mencari jahanam keji penghianat bangsa itu dan akan mencabut keluar jantungnya untuk dipakai bersembahyang di depan kuburan-kuburan ini. Cheng hoa-kiam inilah yang akan mendodet perutnya dan mencabut keluar jantungnya."

   Dengan wajah menyeramkan Kwee Sun Tek mencabut pedang Cheng-hoa-kiam. Wi Liong menangis ketika melihat wajah pamannya ini.

   Hwesio penjaga kelenteng menjadi ketakutan, apa lagi la tahu bahwa yang dimaki-maki adalah koksu yang baru.

   "Sicu, pinceng harap sicu cepat-cepat meninggalkan kota raja. Tentu sicu maklum bahwa pinceng yang sudah tua dan tidak mau tersangkut urusan keduniaan, merasa gelisah kalau kalau terjadi sesuatu di kelenteng ini."

   Kwee Sun Tek maklum akan perasaan takut hwesio tua itu, maka ia cepat menghaturkan terima kasih, lalu mengumpulkan pakaian Wi Liong dan sambil memondong keponakannya itu. ia berangkat keluar dari kota raja dengan cepat. Ketika itu matahari telah naik tinggi dan dengan perasaan lega Kwee Sun Tek tidak menemui rintangan ketika melalui pintu gerbang kota raja.

   "Aku harus membawa Liong- ji sejauh mungkin,"

   Pikirnya.

   "Aku harus mencarikan guru yang sakti untuk anak ini". Diam-diam ia meragukan sendiri apakah ia dan keponakannya ini ada harapan untuk membatas dendam kepada seorang yang demikian tinggi ilmunya seperti bekas gurunya. Beng Kun Cinjin! Karena ia masih khawatir kalau-kalau Beng Kun Cinjin atau para pengawal Istana akan mengejarnya. Sun Tek melakukan perjalanan cepat sekali, mengerahkan tenaganya dan berlari cepat melalui pintu gerbang sebelah selatan.

   Ia tidak tahu bahwa setelah ia meninggalkan pintu gerbang itu kurang lebih sepuluh lie jauhnya. Beng Kun Cinjin juga tiba di pintu gerbang selatan itu. Ia segera disambut dengan penghormatan oleh penjaga pintu.

   "Apakah tadi pagi kau melihat seorang laki-laki memondong seorang anak kecil lewat keluar pintu gerbang ini?"

   Tanya Beng Kun Cinjin tanpa membalas penghormatan penjaga itu.

   ''Ada, koksu. ada! Tadi memang ada seorang pemuda yang gagah kelihatannya, di pinggangnya tergantung pedang dan dia memondong seorang anak laki-laki berusia satu tahun kurang lebih. Malah anak itu menangis saja memanggil-manggil ibunya."

   Kata si penjaga.

   Mendengar Ini, tanpa berkata apa-apa lagi Beng Kun Cinjin lalu berkelebat dan berlari cepat mengejar ke barat. Memang kalau orang keluar dari pintu gerbang selatan ini, jalan selanjutnya menuju ke barat.

   Biarpun ilmu berlari cepat dari Kwee Sun Tek sudah mencapai tingkat tinggi, namun dibandingkan dengan Beng Kun Cinjin. ia masih kalah jauh sekali. Tanpa menyadari akan datangnya bahaya. Sun Tek berlari terus ke barat. Tujuannya adalah Kuil Siauw lim si yang terletak kurang lebih sepuluh lie lagi di depan. Ia mengenal Siang Tek Hosiang. ketua kuil itu yang merupakan cabang Kelenteng Siauw-lim-si yang terkenal dipimpin oleh orang-orang gagah perkasa di dunia kang ouw Siang Tek Hosiang sendiri adalah tokoh keluaran Siauw lim si yang sudah berkepandaian tinggi dan sudah mendapat kepercayaan dari para guru-guru besar di Siauw lim pai untuk membuka cabang di tempat itu. Maksud hati Kwee Sun Tek, ia hendak menemui sahabatnya itu dan minta surat perkenalan karena ia bermaksud hendak memasukkan Wi Liong menjadi murid Siauw lim pai yang terkenal sebagai partai persilatan yang besar.

   Kuil Siauw lim si itu masih berada kurang lebih tiga lie lagi di sebelah depan ketika tiba-tiba Kwee Sun Tek mendengar seruan keras dan nyaring dari belakang.

   "Sun Tek, berhentilah kau!"

   Kalau ketika itu ada suara geledek menyambar di dekat telinganya, belum tentu Sun Tek akan sekaget ketika ia mendengar dan mengenal suara ini. Biarpun orangnya belum kelihatan, namun ia maklum bahwa gurunya telah mengejarnya dan baru saja mengeluarkan seruan dengan pengerahan tenaga khikang yang tinggi, semacam Ilmu Coan im jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh). Mendengar seruan ini. Sun Tek bukannya mentaati permintaan suhunya, dia malah mempercepat larinya ke depan sambil memeluk Wi Liong erat-erat. Dia sudah melewati satu lie lagi. Hutan di mana terdapat Kuil Siauw lim si itu sudah nampak di depan.

   "Sun Tek, tunggu.........!!"

   Terdengar lagi suara suhunya.

   Kwee Sun Tek makin "tancap gas"

   Mendengar suara yang sudah dekat sekali ini seakan-akan suhunya sudah berada di belakang tubuhnyal Diam-diam ia menyiapkan pedang Cheng-hoa-kiam karena ia mengambil keputusan kalau ia tersusul oleh suhunya sebelum mencapai Kuil Siauw-lim-si, ia akan nekat melakukan perlawanan mati-matian.

   Baiknya Beng Kun Cinjin tidak berlaku tergesa-gesa karena sudah maklum bahwa bagaimanapun juga, bekas muridnya itu takkan mampu melarikan diri dan terlepas dari tangannya.

   Lega hati Sun Tek ketika ia memasuki hutan itu dan ia tidak perduli akan seruan gurunya yang sekali lagi menggeledek datangnya, tanda bahwa gurunya sudah dekat benar. Bangunan Kuil Siauw lim-si sudah nampak, gentengnya yang merah sudah kelihatan di antara daun-daun pohon. Sun Tek mengerahkan seluruh tenaga kakinya dan berlari kencang sekali menuju ke kuil itu.

   Dengan napas hampir putus ia melompat masuk ke dalam ruangan dan menjatuhkan diri terengah-engah di antara tujuh orang, hwesio yang sedang melakukan upacara sembahyang dan berdoa. Tentu saja tujuh orang hwesio itu terheran-heran melihatnya.

   Seorang hwesio yang usianya sudah enampuluh tahun, berjenggot panjang dan putih, berdiri dari tempat duduknya, memandang tajam lalu berkata,

   "Omitohud! Kalau mata pinceng yang sudah lamur tidak keliru lihat, bukankah sicu ini Kwee-sicu?"

   "Losuhu, tolonglah teecu! Teecu dikejar-kejar oleh Beng Kun Cinjin......!"

   Kata Sun Tek terengah-engah.

   Hwesio tua itu mengelus-elus jenggotnya dan menggeleng-geleng kepalanya. Ia tahu siapa Beng Kun Cinjin, yakni koksu yang baru saja diangkat oleh Kaisar Mongol. Juga ia tahu bahwa Beng Kun Cinjin adalah guru orang muda ini. Ia mengenal baik Kwee Sun Tek, pemuda patriotik yang gagah dan ia dapat menduga bahwa tentu terjadi keributan antara guru dan murid, buktinya pemuda ini tidak menyebut "suhu"

   Lagi kepada Beng Kun Cinjin.

   "Heran sudah demikian jauhkah penyelewengan Beng Kun Cinjin?"

   Katanya lirih.

   "Penghianat itu telah membunuh cici dan cihuku ketika kami bertiga berusaha mengingatkannya dari penghianatannya. Dan anak ini adalah anak cici dan cihu. Sekarang penghianat itu dari kota raja mengejar teecu, mohon pertolongan losuhu dan semua suhu di sini demi keselamatan bocah ini.........!"

   "Sun Tek, keluarlah! Jangan bawa-bawa orang lain dalam urusan kita!"

   Terdengar bentakan dari luar kuil. Itulah suara Beng Kun Cinjin.

   "Losuhu, biar teecu keluar dan menyerahkan nyawa teecu. Hanya, teecu mohon para losuhu sudi melindungi bocah ini dan kelak memasukkan Thio Wi Liong ini sebagai murid Siauw-lim-pai,"

   Kata Kwee Sun Tek dengan suara memohon.

   "Jangan, Kwee-sicu. Selain tidak baik melawan bekas guru sendiri, juga kau takkan menang. Untuk apa mengantarkan nyawa cuma-cuma? Kau masih muda dan perlu hidup untuk merawat keponakanmu. Kau larilah dari pintu belakang biar pinceng bertujuh membujuk Beng. Kun Cinjin untuk mengampunimu,"

   Kata Siang Tek Hosiang dengan suara lemah lembut.

   Sun Tek girang sekali, ia menjatuhkan diri berlutut menghaturkan terima kasih, kemudian ia memondong keponakannya itu dan jalan berindap indap ke pintu belakang. Adapun Siang Tek Ho-siang dan enam orang sute dan muridnya berjalan keluar dengan tenang.

   Biarpun dulunya Beng Kun Cinjin adalah seorang hwesio pula dan bahkan sekarangpun kepalanya masih gundul biarpun tidak sekehmis dulu, namun karena kedudukannya sebagai koksu negara Siang Tek Hosiang tidak menganggapnya sebagai sesama pendeta Buddha. Siang Tek Hosiang memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada. diturut oleh enam orang hwesio yang lain

   "Ah kiranya koksu yang mengunjungi kuil kami yang buruk. Entah apa gerangan maksud kunjungan koksu yang terhormat ini?"

   Kata Siang Tek Hosiang dengan ramah dan halus.

   Beng Kun Cinjin tidak merasa heran bahwa orang mengenalnya karena sebagai koksu baru, tentu saja ia menjadi terkenal dengan kedudukannya yang tinggi itu dan semua orang di sekitar kota raja pasti mengenalnya. Akan tetapi ia menjadi tak senang melihat hwesio tua itu masih berpura-pura, padahal sudah jelas bahwa tadi Kwee Sun Tek memasuki kuil ini. Bentaknya keras,

   "Biasanya hwesio-hwesio Siauw-lim pai amat jujur, mengapa sekarang ada cabangnya yang diurus oleh hwesio-hwesio pandai bersikap palsu? Hwesio tua. apa kau tidak tahu bahwa pinceng adalah Beng Kun Cinjin? Lekas kau suruh orang muda yang memondong bocah tadi keluar menemui pinceng. Dia itu muridku, dan jangan kalian mencampuri urusan antara guru dan murid."

   Siang Tek Hosiang tersenyum tenang.

   "Lo-ceng cukup tahu dengan siapa loceng berhadapan, yaitu dengan koksu baru dari pemerintah Mongol! Siauw lim pai selamanya mengutamakan kegagahan dan membenci kemunafikan, apa lagi penghianatan. Orang muda yang memondong bocah adalah seorang patriot muda perkasa, seorang sahabat loceng yang baik. Oleb karena itu. sudah sewajarnya kalau Siauw lim-pai melindungi seorang pahlawan bangsa. Mengingat akan asal-usul koksu, harap saja koksu memandang muka kami dan menghabiskan urusan ini kembali ke kota raja."

   "Hwesio keparat!"

   Beng Kun Cinjin membanting kakinya dengan marah sekali.

   "Kau sudah tahu berhadapan dengan Beng Kun Cinjin dan masih berani bersikap begini? Setan alas Couwsu dari Siauw lim pai sendiri. Bhok Lo Cinjin. makan semeja duduk sebangku dengan pinceng!"

   Kata kata makan semeja duduk sebangku berarti orang setingkat atau sederajat. Memang Beng Kun Cinjin dianggap tokoh kang-ouw yang besar dan hanya dapat disamakan dengan para ciangbujin {ketua) dari partai-partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Kunlun pai, Go bi pai dan beberapa partai lagi. Sekarang seorang ketua cabang partai seperti Siang Tek Hosiang berani bicara seperti orang menegur atau menyindir di depannya, tentu saja membuat Beng Kun Cinjin menjadi panas perutnya.

   Setelah memaki marah, Beng Kun Cinjin terus saja menerobos masuk ke dalam kuil tanpa memperdulikan tujuh orang hwesio yang menghadang di depannya.

   "Koksu, kuil adalah tempat suci. tak boleh sembarangan diinjak lantainya oleh seorang pembesar asing!"

   Kata Siang Tek Hosiang mencegah sambil mengangkat kedua lengan ke depan untuk mendorong mundur Beng Kun Cinjin. Enam orang kawannya yang terdiri dari dua orang sute dan empat orang murid, juga menghadang di tengah jalan.

   Ucapan "pembesar asing"

   Ini lebih-lebih mengobarkan kemarahan di hati Beng Kun Cinjin. Dengan bentakan "pergilah!"

   Ia menggerakkan tangan kanan menyambut dorongan itu, sedangkan tangan kiri ia kipatkan ke arah enam orang hwesio lainnya.

   Biarpun gerakan ini sewajarnya dan biasa saja, akan tetapi sebetulnya gerakan itu mengandung tenaga pukulan Lui-kong-jiu yang ampuh. Terdengar teriakan-teriakan mengerikan. Tubuh Siang Tek Hosiang terlempar dan roboh tak berkutik lagi, dari mulut hwesio tua ini keluar darah segar dan matanya melotot memandang Beng Kun Cinjin dengan sinar kemarahan yang makin lama makin melenyap ketika sepasang matanya menjadi suram dan akhirnya padam, tanda nyawanya meninggalkan tubuhnya yang sudah tua.. Adapun enam orang hwesio lain, terkena sambaran angin pukulan tangan kiri, bagaikan daun daun kering tertiup angin taufan, terlempar saling tumbuk tidak karuan.

   Tanpa memperdulikan lagi keadaan para korban akibat pukulannya, Beng Kun Cinjin terus melangkah masuk dan menggeledah di dalam kuil. Akan tetapi yang ia dapati hanyalah alat-alat sembahyang dan kitab-kitab doa Agama Buddha. Tidak terdapat bayangan Kwee Sun Tek. Beng Kun Cinjin dapat menduga bahwa bekas muridnya itu tentu melarikan diri dari pintu belakang Tanpa membuang waktu lagi ia terus mengejar melalui pintu belakang, mengerahkan kepandaiannya dan berlari secepat terbang melakukan pengejaran.

   Secepat-cepatnya dan sepandai-pandainya Kwee Sun Tek lari, mana bisa ia melawan bekas gurunya sendiri? Belum sepuluh lie ia lari, Beng Kun Cinjin sudah dapat menyusulnya!

   "Sun Tek, kau hendak lari ke mana?"

   Bentak Beng Kun Cinjin dengan suara menyeramkan.

   Tak melihat jalan untuk menyelamatkan diri lagi. Kwee Sun Tek dengan wajah pucat akan tetapi mata mengandung keberanian luar biasa, berhenti, membalikkan tubuh dan berdiri tegak dengan keponakannya di dalam pondongan tangan kiri dan pedang Cheng-hoa-kiam di tangan kanan.

   "Beng Kun Cinjin, apakah setelah menjadi kaki tangan penjajah kau sudah begitu hina untuk melanggar janji sendiri? Kau sudah berjanji dan mengeluarkan kata-kata melepaskan orang yang memegang Cheng-hoa-kiam!"

   Melihat pemuda itu berdiri tegak dan gagah, untuk sedetik Beng Kun Cinjin teringat akan muridnya ini di waktu masih kecil, belajar dengan tekun, rajin dan memang sejak kecil Sun Tek memiliki ketabahan hati luar biasa. Akan tetapi semua ingatan ini terusir pergi oleh bayangan bibir merah menarik dari Hui Niang, maka bentaknya keras.

   "Siapa mau melepaskan kau? Pinceng memang bermaksud melepaskan Kwee Goat, bukan kau! Sungguh kau harus malu, membiarkan enci sendiri tewas dan kau sendiri melarikan dan menyelamatkan diri!"

   Sun Tek menganggap tidak ada gunanya membujuk bekas gurunya ini. maka sambil membolang balingkan pedang Cheng-hoa kiam, ia ber kata.

   "Kau hendak membunuh aku? Boleh, silahkan saja. Siapa sih takut mati? Akan tetapi harap saja kau masih ada sedikit prikemanusiaan dan tidak mengganggu keponakanku ini."

   Setelah berkata demikian, Sun Tek menurunkan Wi Liong di atas rumput, di bawah sebatang pohon besar. Anak ini belum pandai berdiri, baru merangkak. Karena diturunkan dari pondongan dan ditinggal seorang diri di atas rumput, ia mulai menangis keras.

   Beng Kun Cinjin juga tidak mau banyak bicara karena di dalam lubuk hatinya betapapun juga ia merasa bahwa kali ini ia bertindak keterlaluan. Akan tetapi kalau bekas muridnya ini tidak dibunuh, kelak tentu akan menimbulkan banyak urusan, seperti yang dikatakan oleh kekasihnya.

   "'Kau sendiri yang mencari mampus, berani kau mencampuri urusan rumah tangga dan kehidupanku!"

   Bentaknya untuk menghibur hati sendiri yang merasa tidak enak. Bentakannya ini disusul oleh gerakan tubuhnya yang cepat menyerang dengan pukulan keras.

   Sun Tek sudah nekat. Ia menggerakkan pedang, memapaki gerakan gurunya dan menusuk sekuat tenaga ke arah dada Beng Kun Cinjin. Gerakannya ini disebut Cai-hong-siok-i (Burung Hong Menyisir Bulu), cepat dan berbahaya sekali karena Sun Tek memang sudah berlaku nekat. Kalau bukan bekas gurunya yang mengajarkan ilmu itu kepadanya yang menghadapi serangan ini tentu akan sibuk untuk menangkis. Akan tetapi Beng Kun Cinjin mengeluarkan suara ketawa dingin, mengkal dan marah karena kini ia diserang orang dengan ilmu yang ia ajarkan sendiri. Dengan tenang lengan kirinya bergerak maju. Ujung bajunya yang panjang itu menyambar ke depan dengan gerakan memutar dan di lain saat, ujung pedang Cheng hoa-kiarn telah kena dililit oleh ujung lengan baju itu!

   Sun Tek maklum akan kelihaian gurunya, maka ia mengerahkan seluruh tenaganya, memutar gagang pedang dan menarik dengan gerakan menggetar.

   "Breett!"

   Ujung lengan baju itu pecah!

   Beng Kun Cinjin tidak menduga bekas muridnya akan begini nekat. Kemarahannya memuncak dan sebelum Sun Tek sempat menyerang lagi. bekas guru ini sudah mengirim pukulan Pai In ciang yang cepatnya laksana kilat menyambar.

   Sun Tek mengeluh, pedang Cheng-hoa-kiam sudah terampas oleh gurunya dan ia sendiri terlempar ke belakang, dadanya terasa sakit karena sudah terkena pukulan Pai in ciang!

   Beng Kun Cinjin memegang pedang Cheng-hoa kiam dengan kedua tangan, hendak dipatahkannya, akan tetapi la teringat betapa pedang ini telah mengawaninya sejak ia muda sampai pada suatu hari ia memberikan pedang itu kepada Kwee Goat. Timbul rasa sayangnya untuk mematahkan pedang itu, juga untuk membawa pedang itu ia merasa malu kepada diri sendiri. Akhirnya ia melemparkan pedang itu ke bawah. Pedang menancap sampai ke gagangnya di dalam tanah. Setelah itu. ia melangkah maju menghampiri Sun Tek.

   "Pinceng bukan seorang kejam,"

   Katanya bersungut-sungut kepada Sun Tek yang sudah tak dapat berdiri lagi. Suara Beng Kun Cmjin terdengar seperti orang mencela, seperti orang yang merasa menyesal, atau hendak mencari-cari alasan untuk menutupi hati yang tak enak karena tiga orang muridnya ia bikin celaka sendiri.

   "Akan tetapi pinceng juga seorang manusia biasa. Semenjak muda pinceng selalu terlunta-lunta. selalu kecewa dan gagal dalam cinta kasih dan dalam hidup. Sekarang dalam usia tua. ada orang mencinta, ada orang memberi kesempatan kepada pinceng untuk hidup senang dan mengalami kebahagiaan dan cinta kasih; mengapa kau datang mengacau? Jangan bilang pinceng yang keterlaluan, dan tidak ada prikemanusiaan!"

   "Penghianat tak tahu malu. Mau bunuh lekas bunuh, kaukira aku takut mati? Asal kau bebaskan Wi Liong, aku orang she Kwee takkan gentar menerima kematian!"

   Sun Tek menantang.

   "Memang akan kubunuh kau, siapa yang melarang?"

   Kata Beng Kun Cinjin tersenyum mengejek dan ia mengangkat tangan kanannya ke atas, siap melakukan pukulan maut. Tiba-tiba terdengar Wi Liong menjerit-jerit dan menangis.

   Beng Kun Cinjin menurunkan kembali tangannya, menengok ke arah Wi Liong dan menarik napas panjang. Tak sampai hati juga ia untuk membunuh Sun Tek, pemuda bekas muridnya yang begini gagah perkasa tak berkedip menghadapi kematian

   "Kuampuni nyawamu, akan tetapi pinceng terpaksa membuat kau tidak ada kesempatan lagi mengacau kelak."

   Setelah berkata demikian, cepat tubuhnya bergerak dan tahu-tahu Sun Tek sudah menerima dua pukulan, pertama di belakang kepala dan ke dua di antara kedua mata. Pukulan-pukulan yang sebetulnya adalah totokan yang dilakukan dengan jari telunjuk.

   Sun Tek tidak merasa sakit, hanya kepalanya pening sekali dan ia terguling, pingsan. Dari kedua matanya keluar darah! Beng Kun Cinjin menoleh ke arah Wi Liong, menarik napas panjang dan berkata seorang diri,

   "Bocah tak tahu apa-apa. Sun Tek takkan mampu mendidiknya menjadi orang berbahaya."

   Kemudian secepat terbang hwesio ini meninggalkan tempat itu, seakan-akan suara Wi Liong yang menangis menjerit-jerit itu amat mengganggunya.

   Kurang lebih tiga jam Sun Tek pingsan. Setelah sadar, ia mendapatkan kenyataan bahwa kedua matanya telah menjadi buta! Ternyata bahwa bekas gurunya telah membikin putus urat-urat di kepala, sengaja membuat ia menjadi buta biarpun biji matanya masih utuh dan kedua matanya masih melek.

   Akan tetapi Sun Tek tidak mengeluh. Mendengar tangis Wi Liong, ia cepat menahan rasa sakit pada dadanya yang terpukul tadi, meraba-raba ke arah Wi Liong. Ketika mendapat kenyataan bahwa bocah itu tidak apa-apa dan sedikitpun tidak ada tanda-tanda bekas diganggu Beng Kun Cinjin, saking girangnya Sun Tek memeluki keponakannya itu dan menangis tanpa mengeluarkan air mata! Jangankan baru dibikin terluka dan buta, biar dibunuh sekalipun asal keponakannya ini dibiarkan hidup, ia sudah merasa girang. Dengan meraba-raba akhirnya ia bisa mendapatkan Cheng-hoa kiam kembali dan sambil memondong keponakannya, Kwee Sun Tek pendekar yang kini sudah menjadi buta itu berjalan terhuyung-huyung ke depan, meraba-raba jalan dengan ujung kaki, tangan kanan memondong Wi Liong, tangan kiri menggunakan pedang meraba-raba ke depan. Keadaannya sungguh mengenaskan sekali.

   Bagaikan air bah meluap-luap, bala tentara Jengis Khan menyerbu ke barat. Seperti banjir dahsyat yang tak mungkin dapat terbendung lagi, bala tentara yang amat kuat ini menerjang ke jurusan barat. Segala perlawanan yang dijumpai mereka patahkan. Kerajaan kerajaan besar kecil yang dilalui, dengan halus atau keras ditundukkan. Sin kiang diserbu terus bergerak ke Iran dan Afganistan.... Kota-kota besar indah di dunia barat seperti Bukhara, Samarkhand, Balkh dan lain lain digilas hancur. Puluhan, ratusan ribu orang dibunuh oleh bala tentara yang ganas dan kuat ini, ribuan rumah dibakar dan entah berapa banyak harta benda dirampas. Sebagian dari pada bala tentara yang kuat sekali ini membelok ke Iran utara dan menyerbu Rusia selatan melalui Pegunungan Kaukasia,

   Memang bukan main hebatnya Jengis Khan memimpin bala tentaranya. Malah pasukan-pasukan Rusia di sebelah utara Laut Azov mereka hancur leburkan seperti tersebut di dalam sejarah yaitu pada tahun 1223.

   Selain memiliki bala tentara yang kuat berdisiplin juga Jengis Khan mempunyai panglima panglima perang yang pandai dan berpengalaman. Di antara panglima panglima perang ini, Beng Kun Cinjin sebagai koksu berjasa besar dalam penyerbuan ke barat. Apabila fihak lawan mengajukan panglima yang lihai, maka Beng Kun Cinjin maju dan mengalahkan panglima itu.

   Berkat kepandaiannya yang luar biasa, sering kali Beng Kun Cinjin pulang ke kota raja untuk, menengok isterinya yang sudah melahirkan seorang anak laki-laki. Bukan main girangnya hati Beng Kun Cinjin, dan ia merasa hidupnya berbahagia sekali. Cintanya terhadap Kiu Hui Niang makin mendalam.

   Namun di dalam kemuliaan dan kesenangannya, agaknya Beng Kun Cinjin sudah lupa akan pelajaran Agama Buddha yang jelas memperingatkan manusia bahwa segala kesenangan di dunia ini tidak kekal adanya. Segala sesuatu di alam dunia ini hanya bersifat sementara dan sebagian besar diselimuti oleh kepalsuan yang menina-bobokkan manusia yang dikuasai oleh nafsu. Juga. ia lupa bahwa manusia sendiri sudah terlalu terpengaruh oleh nafsu sehingga lenyap sifat murninya, tertutup oleh hawa nafsu, membuat manusia sendiri seperti palsu atau berkedok. Belum tentu apa yang nampak di luar itu mencerminkan keadaan di dalam.

   Pada suatu hari Beng Kun Cinjin kembali mengambil cuti dan kembali ke kota raja. Baru dua bulan yang lalu ia pulang, maka kali ini pulangnya agak tak terduga. Ia sudah-merasa amat rindu kepada isteri dan anaknya. Karena ia melakukan perjalanan cepat, maka malam-malam ia terus berjalan dan tiba di kota raja ketika hari telah menjadi gelap.

   Untuk membuat kedatangannya itu menjadi sebuah kejadian yang menggirangkan dan di luar dugaan isterinya, ia memasuki kota raja mempergunakan ilmunya. Tak seorangpun mengetahui karena ia melompat dari tembok kota. juga ia pulang ke gedung mengambil jalan di atas genteng, berlari-larian seperti seekor kucing dengan hati sebesar gunung, sama sekali tidak tahu bahwa saat baginya telah tiba untuk ditinggalkan kebahagiaan menurut ukuran hati dan pikirannya.

   Ketika ia tiba di atas gedungnya, ia melihat gedung itu sudah sunyi, tanda bahwa semua penghuninya sudah tidur. Memang waktu itu sudah hampir tengah malam. Akan tetapi telinganya yang amat tajam itu mendengar suara berbisik-bisik di dalam kamar bangunan kecil yang berada di taman bunga. Memang di dalam taman itu disediakan sebuah bangunan indah kecil tempat ia bersenang-senang dengan isterinya di waktu hawa di dalam gedung terlalu panas.

   Beng Kun Cinjin terheran-heran. Bagaimana ada orang di dalam bangunan itu pada waktu tengah malam? la cepat melompat tanpa mengeluarkan suara dan menghampiri bangunan itu. Alangkah kaget dan herannya ketika ia mendengar suara isterinya tertawa perlahan, disusul oleh suara laki-laki,

   "Hui Niang yang manis, apa kau masih mau membantah lagi? Lihat saja muka anakmu baik-baik, apanya yang mirip dengan koksu? Mata dan telinganya seperti mata kaisar, sedangkan hidung dan mulutnya seperti........."

   "Seperti siapa?"

   Terdengar Hui Niang mencela, terdengar gemas dan manja.

   "Seperti......seperti hidung dan mulutku..."

   Laki-laki itu tertawa dan Hui Niang mencela.

   "Bisa saja kau bicara! Hidung dan mulutmu tidak semanis hidung dan mulut anakku ini......"

   "Masa? Coba kau lihat baik "

   Baik, apakah tidak sama benar? Aku yakin bahwa anak ini adalah anak kaisar dan anakku, hanya namanya saja memakai nama koksu. Ha-ha-ha!"

   Laki lakt itu tertawa dan terdengar Hui Niang tertawa pula dengan genit.

   Beng Kun Cinjin berdiri di luar, mukanya pucat seperti mayat dan jantungnya seperti berhenti berdetik. Dadanya serasa panas terbakar dan ia tentu akan roboh saking marah dan kagetnya kalau saja ia tidak mempertahankan diri. Ada sesuatu menusuk di dalam jantungnya, membuat ia berdiri menggigil.

   "Liu-kongcu. jangan kau main-main. Bicara jangan keras-keras, apa lagi tertawa-tawa seperti itu. Kalau ada pelayan mendengar dan kelak melapor kepada koksu, ke mana kau akan menyembunyikan kepalamu?"

   "Ha-ha, tentu saja kusembunyikan di dalam dadamu, manis........."

   
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Beng Kun Cinjin tidak kuat lagi menahan amarah yang menggelora di daiam dadanya. Dunia serasa hancur lebur dan ia merasa hidup di dalam neraka yang panas, terbakar hidup hidup. Sekali ia bergerak, daun jendela kamar itu pecah berantakan!

   Dapat dibayangkan betapa terkejutnya hati dua orang manusia busuk yang berada di dalam kamar itu. Beng Kun Cinjin dari luar tadi sudah mengenai suara laki-laki itu yang bukan lain adalah Liu kongcu putera dari seorang pembesar istana Bangsa Han yang menjadi kaki tangan kaisar. Liu kongcu memang seorang pemuda tampan sekali, akan tetapi siapa duga bahwa pemuda itu ternyata adalah kekasih Hui Niang? Mungkin sebelum menjadi isterinya, Hui Niang sudah main gila dengan pemuda hidung belang itu.

   Begitu memasuki kamar, Beng Kun Cinjin tidak memberi kesempatan lagi kepada Liu-kongcu pemuda berahlak rendah itu. Dengan gerengan tertahan di tenggorokan seperti suara seekor harimau menggeram, Beng Kun Cinjin menerkam. Dua tangannya menyambar, tenaga dikerahkan dan............ terdengar suara mengerikan disusui jerit Hui Niang. Tubuh pemuda itu telah pecah dan dirobek menjadi dua potong, dilemparkan di pojok kamar itu!

   Hui Niang hampir pingsan. Kedua kakinya menggigil dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan Beng Kun Cinjin, suaminya yang dihianatinya. Mulutnya gemetar tak dapat mengeluarkan kata-kata sedikitpun. Beng Kun Cinjin juga tidak mau banyak cakap lagi. karena dalam keadaan seperti itu tidak ada suara dapat keluar dari mulutnya, ia bergerak lagi dan di lain saat tubuh Hui Niang sudah ia kempit dan juga bocah cilik berusia setengah tahun itu, yaitu Gan Kun Hong putera Hui Niang telah ia pondong. Ia lalu melompat keluar dari jendela terus ke atas genteng dan lari cepai sekali keluar dari kota raja! Beng Kun Cinjin maklum bahwa setelah membunuh Liu-kongcu, tak ada harapan lagi untuk tinggal di istana.

   Apa lagi nama baiknya sudah tercemar oleh kebiadaban isterinya, untuk apa lagi tinggal di istana? Istana itu sudah berubah menjadi neraka baginya, bahkan dunia sudah menjadi neraka. Ia dulu rela membunuh murid-muridnya, rela menjadi koksu pemerintah penjajah hanya karena ia tergila-gila kepada Hui Niang. Sekarang Hui Niang telah menghianatinya, dunianya sudah hancur lebur. Bahkan anaknya yang tadinya menjadi pelita hatinya, bukan anaknya sendiri! Pelita hidupnya sudah padam!

   Jauh di luar kota raja, sebelah selatan, Beng Kun Cinjin melempar tubuh Hui Niang di atas tanah di dalam sebuah hutan. Malam telah terganti pagi dan setengah malam itu Beng Kun Cinjin berlari terus tak pernah berhenti. Ia tidak memperdulikan suara Hui Niang menangis merengek-rengek minta ampun.

   Kini Hui Niang sudah serak suaranya, tak dapat berkata-kata lagi, hanya terisak-isak sambil mendekam di atas tanah, seperti seekor binatang terluka. Rambutnya terlepas sanggulnya menjadi riap-riapan menutupi kulit mukanya yang putih pucat.

   "Ampun...... ampunkan aku......"

   Diulangnya kata-kata yang sudah ia bisikkan dan teriakkan ratusan kail, tanpa berani memandang muka suaminya.

   Beng Kun Cinjin meludah ke arah Hui Niang lalu melemparkan Kun Hong itu begitu saja ke atas tanah. Bocah itu tentu saja menangis keras di dekat ibunya. Hui Niang tak berani bergerak, hanya hatinya seperti di sayat-sayat mendengar jerit tangis anaknya.

   Seperti patung batu Beng Kun Cinjin berdiri dengan kedua kaki terpentang di depan Hui Niang. Matanya yang lebar melotot, beringas dan merah seperti mata singa kelaparan. Dalam keadaan seperti itu, teringatlah ia kepada murid-muridnya. Kalau ia mengingat betapa demi kecintaannya terhadap wanita ini ia sampai membunuh-bunuhi murid-muridnya, kemarahannya memuncak.

   "Kau sudah tahu akan kesalahanmu?"

   Katanya menuntut. Inilah ucapan pertama yang keluar dari mulutnya semenjak ia menyeret isterinya itu ke hutan ini.

   Dengan kepala tunduk Hui Niang mengangguk.

   "Ampun...... ampun......., ratapnya.

   "Anak ini.......anak siapa......?"

   Kembali Beng Kun Cinjin menuntut.

   "Anak kita...... anakku dan anakmu......"

   Hui Niang mendapat kekuatan baru, mengira bahwa seperti biasanya suaminya ini akan luluh menghadapinya. Ia mengangkat mukanya yang cantik, mengerlingkan matanya yang indah sambil berkata.

   "Mengapa sih kau tidak mau mendengarkan omonganku, melainkan percaya obrolan kosong pemuda edan itu?"

   Celaka bagi Hui Niang. kali ini kata-kata dan aksinya tidak meluluhkan hati Beng Kun Cinjin, malah membikinnya menjadi makin panas berkobar!

   "Perempuan rendah! Makhluk hina!"

   Hanya ini yang dapat dikeluarkan oleh mulut Beng Kun Cinjin karena kemarahannya membuat ia mata gelap, jari tangan kanannya menusuk ke depan. Terdengar pekik mengerikan ketika jari-jari tangannya menusuk ke arah dada Hui Niang, tepat di bawah leher. Nyonya muda itu roboh telentang dan kepalanya membentur batu karang yang berada di belakangnya. Ia roboh dalam keadaan setengah duduk, tangan kiri masih sempat menutup luka di dadanya akan tetapi nyawanya sudah cepat meninggalkan tubuhnya. Darah mengucur keluar dari luka itu membasahi pakaiannya.

   Beng Kun Cinjin menghampiri bocah yang menangis menjerit-jerit itu. kakinya diangkat ke atas. Ingin ia menginjak perut bocah itu sampai mati. akan tetapi entah mengapa, tiba-tiba ia teringat bahwa bocah ini sama sekali tidak berdosa apa-apa. Baik bocah ini anak kaisar, maupun anak pemuda she Liu atau anaknya sendiri, tidak bisa semua kejadian yang rendah itu ditimpakan kepada anak ini yang tidak tahu-menahu sama sekali. Beng Kun Cinjin tidak jadi menginjak anak itu, sebaliknya ia lalu berkelebat pergi setelah sekali lagi menengok ke arah tubuh Hui Niang, wanita yang tadinya menjadi pujaannya itu. Tak terasa lagi sepasang matanya yang besar itu menjadi basah ketika ia mempergunakan seluruh kepandaiannya untuk berlari cepat seperti orang gila! Suara tangis bocah yang biasanya menjadi buah hatinya itu mengikuti perjalanannya, membuat hatinya menjadi makin berduka. Setelah Beng Kun Cinjin pergi, hutan itu menjadi sunyi kecuali suara Gan Kun Hong, bocah berusia setengah tahun yang menangis menjerit-jerit di samping jenazah ibu kandungnya.

   Dua jam lebih bocah itu menangis keras sampai akhirnya ia diam sendiri. Tangis bocah memang sama sekali berbeda dengan tangis orang dewasa. Tangis dan tawa bocah adalah sewajarnya, sama sekali tidak terpengaruh oleh hati dan pikiran, hanya menjadi akibat dari pada perasaan belaka. Kalau enak terasa olehnya, iapun tertawa-tawa, kalau tidak enak, menangislah dia. Gan Kun Hong. bocah yang baru berusia setengah tahun lebih itu, setelah dua jam menangis karena merasa lapar dan kepanasan, kini menjadi diam karena lelah dan tubuhnya terasa enak setelah puas menangis, agaknya seperti seorang habis bermain olah raga dan menikmati kesenangan beristirahat.

   Hutan itu kini betul-betul sunyi dan kebetulan sekali setelah matahari naik tinggi, bayangan pohon itu membikin teduh tempat di mana Kun Hong diletakkan. Beberapa ekor semut yang mencari makan telah mendapatkan darah di pakaian Hui Niang dan sebentar saja kawan-kawan mereka datang menyerbu sehingga baju yang digenangi darah yang mulai mengering itu kini menjadi hitam oleh semut.

   "Tar! Tar!"

   Terdengar suara menjetar keras dari dalam hutan sebelah timur. Suara ini terus-menerus berbunyi dan makin lama makin berirama. Lalu disusul suara orang membaca sajak seperti orang bernyanyi, suaranya nyaring akan tetapi nada suaranya tenang dan menyenangkan,

   "Kalau TO menguasai dunia

   kuda perangpun hanya memberi rabuk.

   kalau TO tiada menguasai dunia

   kuda buntingpun melahirkan di medan perang!

   Tiada kedosaan lebih besar dari pada banyak kehendak

   tiada bahaya lebih besar dari pada tak kenal cukup

   tiada bencana lebih besar dari pada ingin mendapat,

   kalau tahu akan cukup itu sudah cukup

   akan selamanya berada dalam kecukupan!'

   Nyanyian ini iramanya diiringi oleh bunyi "tar-tar-tar", suara cambuk memecah udara. Bagi yang mengerti, sajak itu bukanlah sembarang sajak melainkan sajak dari Agama To atau pelajaran dari Nabi Lo Cu tentang To atau jalan yang memang amat sukar diterjemahkan atau dijelaskan. Ada yang menterjemahkan To itu sebagai Kekuasaan Tuhan atau Jalan Yang Selaras Dengan Kekuasaan Tuhan.

   Orang itu asyik benar bernyanyi-nyanyi sambil berjalan menjelajah hutan dan membunyikan cambuknya. Tiba-tiba suara nyanyian dan bunyi cambuk berhenti seketika pada saat bunyi lain yang nyaring terdengar, yaitu bunyi tangis bocah.

   Itulah Kun Hong yang menangis lagi. Seekor di antara semut-semut yang memenuhi baju jenazah ibunya telah merayap ke tangannya dan menggigitnya karena tanpa disengaja bocah ini menindih semut itu.

   "Tar!"

   Ujung sebatang cambuk berbunyi nyaring dan menyambar ke arah lengan kecil itu dan di lain saat semut yang menggigit kulit lengan telah diterbangkan pergi.

   "Cih... tak tahu malu, menggigit seorang bayi tak berdaya!"' terdengar suara orang dan entah dari mana datangnya, bagaikan seorang dewa penunggu hutan, muncullah seorang laki-laki setengah tua yang berwajah angker dan bersikap lembut. Jenggot dan kumisnya terpelihara baik baik, topi dan pakaiannya walaupun sederhana, namun teratur rapi dan cukup bersih. Orang ini memegang sebatang cambuk yang aneh. Sebetulnya bukan cambuk dan lebih patut disebut sehelai tali yang panjang sekali, kurang lebih lima meter panjangnya. Di kedua ujungnya terikat senjata yang luar biasa. Yang satu menyerupai bintang berujung lima dan yang ke dua menyerupai bulan sisir! Adapun yang tadi disabet sabetkan mengeluarkan bunyi dan juga yang mengusir semut dari lengan bocah itu adalah bagian tengahnya, jadi bukan ujungnya. Benar-benar semacam senjata yang aneh bukan main dan yang tak pernah terlihat dalam dunia persilatan.

   "Siancai...... siancai...... seorang ibu muda mati di dalam hutan dan anaknya menangis di dekat jenazahnya. Di dunia tidak ada yang aneh, semua sudah berjalan dengan semestinya menurut To. Akan tetapi pemandangan seperti ini, benar-benar selama hidup di dunia aku Kam Ceng Swi belum pernah melihatnya."

   Katanya sambil berdiri memandang dengan mata dikedip-kedipkan seperti orang kurang percaya kepada matanya sendiri.

   Tiba-tiba tubuhnya lenyap dari situ. Demkian cepat gerakannya sampai-sampai ketika ia melompat seperti dia mempunyai ilmu menghilang Ia berkelebatan dan berlompatan mencari-cari di sekitar tempat itu. untuk melihat kalau-kalau ia masih dapat mengejar orang yang melakukan pembunuhan keji ini. Tentu saja hasilnya nihil. Tidak saja pembunuhan itu sudah terjadi lama, andaikata pembunuhnya masih dekat di situ, belum tentu dia dapat mengejarnya.

   Orang yang bernama Kam Ceng Swi ini kembali ke tempat itu dan berlutut di dekat bocah yang masih menangis. Senjatanya yang disebut Seng goat pian atau Cambuk Bintang Bulan ia lilitkan di pinggang.

   "Aduh, kemala yang terserak di tempat sunyi!"

   Ia berseru kagum sambil mengangkat Kun Hong. Dibukanya pakaian anak itu dan diraba rabanya tulang- tulangnya sambil mengangguk-angguk dan makin kagumlah dia.

   "Hebat tunas sebagus ini terjatuh ke dalam tanganku, kalau ini bukan kehendak Thian tak tahulah aku mengapa demikian kebetulan!"

   Ia bicara lagi kepada diri sendiri sambil mengayun-ayun anak itu sampai bocah itu tak menangis lagi.

   Kemudian ia mulai memandang ke arah jenazah Hui Niang. Diusirnya semut itu dengan sehelai daun, kemudian ia memeriksa kalau-kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan siapa adanya wanita dan bocah itu. Semua perhiasan yang dipakai, baik oleh ibu maupun anak, masih ada. Tanda bahwa peristiwa pembunuhan ini bukan berlatar belakang perampokan. Kam Ceng Swi menemukan sebuah gelang pada lengan kiri Gan Kun Hong dan ia agak girang melihat dua huruf KUN dan HONG terukir di gelang itu.

   "Hemm, jadi namamu Kun Hong? Bagus, sayang tidak diukir pula nama keturunanmu,"

   Gerutunya.

   Sepintas ialu ia memeriksa luka di dada Hui Niang dan mukanya memperlihatkan kekagetan hebat.

   "Bukan main......! Seperti bekas cengkeraman Tiat-jiauw kang (Ilmu Cengkeraman Besi)! Siapa orangnya yang demikian keji.........?"

   Katanya pula.

   Kemudian, setelah memeriksa dan tidak mendapatkan sesuatu petunjuk pula, Kam Ceng Swi lalu menggali lubang dan dengan sederhana namun penuh kasih sayang dan kasihan terhadap sesama manusia yang tak dikenalnya ini, ia mengubur Jenazah Hui Niang. Kun Hong yang diletakkan di tempat teduh sudah tertidur lagi.

   "Toanio. aku tidak mengenal kau siapa, akan tetapi kau telah berjasa kepadaku dengan meninggalkan anak ini. Akupun tidak tahu apakah anak ini betul anakmu, akan tetapi karena berada bersamamu biarlah dia kuanggap anakmu dan kelak dia pasti akan kubawa bersembahyang di kuburanmu ini."

   Katanya berkemak-kemik seperti orang berdoa di depan gundukan tanah kuburan itu. Kemudian ia menoleh ke sana ke mari, menghampiri sebuah batu karang yang tingginya hampir dua kali dia sendiri. Batu karang ini berbentuk menara, besarnya sepelukan orang. Kam Ceng Swi menghampiri batu karang ini, memeluk dan mengerahkan tenaga.

   Benar hebat tenaga orang aneh ini. Setelah tiga kali mengeluarkan tenaga sambil berseru keras, batu karang itu menjadi jebol! Diangkatnya batu karang itu dan diletakkannya di depan gundukan tanah kuburan, menjadi semacam bongpai (batu nisan) yang luar biasa! Karena di hutan itu terdapat banyak batu macam itu, Kam Ceng Swi lalu meloloskan senjata Seng-goat-pian dan sekali senjata itu digerakkan, terdengar suara keras dua kali, bunga api berpijar dan di atas batu karang itu sudah tercetak ukiran bintang dan bulan sisir! Tempat yang terpukul oleh dua macam ujung pian itu menjadi legok dan dalamnya ada satu dim, inipun menandakan betapa hebatnya kepandaian Kam Ceng Swi.

   Memang tidak mengherankan bagi siapa yang mengenalnya. Kam Ceng Swi atau di dunia kang-ouw lebih terkenal dengan julukan Seng-goat-pian yaitu nama senjatanya, adalah seorang tokoh Kun lun pai dan dahulu pernah menjadi pembesar Kerajaan Cin. Dia bukan seorang tosu (pendeta To), akan tetapi boleh dibilang dia penganut Agama. To dan terkenal sebagai seorang ahli filsafat yang selalu bersikap gembira.

   Setelah Kerajaan Cin kocar-kacir dan hancur oleh serbuan bala tentara. Mongol, Kam Ceng Swi naik ke Kun-lun-san dan kembali ke tempat guru-gurunya di mana ia hidup menyepi dan mempelajari ilmu kebatinan: Pada hari itu ia turun gunung untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh para gurn besar Kun-lun-pai padanya, yaitu mencari tunas-tunas atau anak-anak yang memiliki tulang bagus dari yang berbakat menjadi ahli silat tinggi untuk meneruskan atau mewarisi ilmu silat tinggi dari partai persilatan Kun-lun-pai.

   Secara kebetulan sekali Kam Ceng Swi menemukan jenazah Hui Niang dan melihat Kun Hong, ia menjadi girang bukan main. Bocah ini memiliki semua syarat untuk menjadi seorang ahli silat pandai, maka setelah mengubur jenazah itu dan memberi tanda, Kam Ceng Swi cepat-cepat membawa Kun Hong naik kembali ke Kun-lun-san! Tidak saja ia menjadi girang karena bocah ini merupakan calon yang amat baik, juga ia merasa suka melihat Kun Hong. Mengingat bahwa Kun Hong tidak mempunyai atau tidak dikenal nama keturunannya, maka ia mengambil keputusan untuk memberi she (nama keturunan) Kam kepada bocah itu sehingga mulai saat itu Kun Hong ber she Kam atau lengkapnya bernama Kam Kun Hong.

   Kita kembali mengikuti keadaan Kwee Sun Tek, murid Beng Kun Cinjin yang sudah dibikin buta matanya oleh bekas gurunya sendiri. Biarpun ia tidak dibunuh oleh Beng Kun Cinjin dan juga Thio Wi Liong, bocah yang dibawanya lari itu tidak diganggu oleh hwesio yang menyeleweng itu. namun Kwee Sun Tek masih selalu tetap khawatir kalau-kalau pada suatu hari Beng Kun Cinjin masih belum puas dan mencari mereka untuk membunuh keturunan Thio Houw dan Kwee Goat itu. Oleh karena ini. Kwee Sun Tek membawa keponakannya yang baru berusia satu tahun itu bersembunyi di desa- desa, menjauhkan diri dari dunia ramai.

   Masih terlalu kecil bagi Wi Liong untuk dibawa ke Siauw lim-si, pikirnya. Oleh karena dia sendiri bukan murid Siauw-lim-pai, maka ia merasa tidak enak hati kalau harus mengantarkan Wi Liong yang baru berusia satu tahun itu menjadi murid Siauw lim pai dan membikin repot para hwesio Siauw lim untuk merawatnya. Ia akan menanti sampai Wi Liong cukup besar sehingga di samping menjadi murid Siauw-lim-pai juga bocah itu akan dapat bekerja di Siauw lim si sebagai kacung, dapat membantu pekerjaan para hwesio sehingga tak usah ia merasa tidak enak hati.

   Demikianlah, sampai enam tahun ia membawa Wi Liong berkelana, hidup serba kurang dan kadang-kadang terpaksa harus mengemis makanan kepada penduduk dusun yang rata-rata berhati jujur dan penuh prikemanusiaan terhadap sesama hidup. Sun Tek sendiri tak berdaya mencari nafkah hidup, setelah matanya tak dapat melihat.

   Setelah Wi Liong berusia tujuh tahun, ia menjadi seorang anak yang tampan, sehat, akan tetapi penderitaan hidup yang serba kurang membuat ia berwatak pendiam dan jalan pikirannya lebih tua dari pada usianya. Sering kali ia bertanya kepada Sun Tek tentang ayah bundanya, dan selalu dijawab oleh pamannya bahwa ayah bundanya pergi jauh sekali.

   "Entah di mana mereka itu sekarang, karena kedua mataku tak dapat melihat, aku tak dapat membawamu mencari mereka. Oleh karena itu kau harus belajar silat dengan giat, Wi Liong, dan kelak kau sendirilah yang akan mencari mereka. Tanpa memiliki kepandaian silat, tak mungkin kau dapat mencari mereka karena selain perjalanan amat sukar, juga di dunia ini banyak sekali orang jahat yang akan mengganggu dan merintangi perjalananmu."

   Dengan nasihat-nasihat Ini. Wi Liong menjadi bernafsu untuk belajar ilmu silat. Ia menerima petunjuk-petunjuk dan pelajaran tingkat pertama atau dasar ilmu silat dari pamannya sendiri yang dilatihnya dengan giat dan tekun. Ternyata ia memiliki otak yang cerdik sekali dan bakat yang besar sehingga Sun Tek menjadi girang bukan main. Biarpun dalam keadaan tidak mampu, Kwee Sun Tek tidak membiarkan keponakannya buta huruf dan dia minta bantuan sasterawan-sasterawan kampung untuk mendidik Wi Liong dalam ilmu surat pula.

   Setelah merasa bahwa keponakannya cukup kuat untuk bekerja di Siauw lim si Sun Tek lalu mengajak keponakannya itu menuju ke Kuil Siauw-lim-si yang besar. Kedatangan mereka disambut oleh hwesio penjaga pintu yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Hwesio ini seperti para pendeta lain. merasa amat kasihan kepada Sun Tek yang biarpun kedua matanya melotot lebar namun tidak melihat apa-apa itu.

   "Sicu hendak bertemu dengan couwsu? Sayang sekali, pada waktu ini couwsu sedang pergi ke Kun-lun-san dan agaknya lama berada di sana,"

   Kata hwesio itu. Tentu saja Kwee Sun Tek menjadi kecewa sekali.

   "Sebetulnya aku hendak menghadap Bhok Lo Cinjin untuk mohon beliau menerima keponakanku ini menjadi murid Siauw-lim-pai. Tidak tahu apakah ada suhu lain yang mengurus persoalan menerima murid itu?"

   Tanyanya.

   Hwesio itu mengangguk-angguk dan memandang kepada Wi Liong, kagum melihat sepasang mata yang bercahaya dan sikap yang pendiam dari anak itu. Kemudian ia berkata dengat suara menyesal.

   "Dulu memang begitu, ada seorang suhu yang mengurus persoalan menerima murid baru. Akan tetapi sejak beberapa tahun ini, peraturan diperkeras dalam menerima murid yang hendak belajar ilmu silat. Couwsu sendiri yang menentukan murid-murid yang boleh diterima, itupun sekarang jarang sekali ada. Kecuali kalau keponakanmu ini bermaksud masuk menjadi hwesio dan mempelajari Agama Buddha, tak usah menanti couwsu sekarangpun dapat diterima."

   Kwee Sun Tek menarik napas panjang.

   "Aahh. memang Thian belum menghendaki keponakanku menjadi murid Siauw-lim-pai...... tidak apalah, suhu, biar lain kali saja kalau couwsu sudah pulang aku menghadap lagi........."

   Melihat Kwee Sun Tek pergi dengan wajah muram, hwesio tinggi besar itu menaruh hati kasihan.

   "Sicu, andaikata keponakanmu ini diterima, paling banyak ia akan menerima latihan sampai tingkat lima. Tidak ada murid yang diperbolehkan belajar melebihi tingkat lima. Agaknya melihat semangatmu, kau ingin keponakanmu ini menjadi seorang ahli silat tinggi."

   Kwee Sun Tek cepat menengok dan memberi hormat.

   "Memang tepat sekali dugaan suhu, apakah kiranya suhu dapat memberi petunjuk?"

   (Lanjut ke Jilid 04)

   Cheng Hoa Kiam (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04

   "Pada waktu ini, couwsu kami sedang pergi menghadiri pertemuan antara tokoh tokok terbesar di empat penjuru dunia yang diadakan di Kun lun san Kalau sicu pergi ke sana, kiranya tidak sukar mencari guru sakti. Tentu saja tergantung kepada jodoh........."

   Hwesio itu agaknya tidak mau memberi penjelasan lebih jauh dan ia kembali memasuki kuil. Akan tetapi cukup bagi Kwee Sun Tek. Keterangan itu baginya penting sekali. Andaikata ia tidak dapat mencarikan guru yang baik bagi Wi Liong, kalau ia bisa bertemu dengan para tokoh dunia persilatan, ia dapat melaporkan kepada mereka itu tentang kejahatan Beng Kun Cinjin dan tentu para tokoh itu akan mau turun tangan memberi hajaran. Setelah menghaturkan terima kasih biarpun orangnya sudah pergi, ia lalu cepat-cepat mengajak Wi Liong melakukan perjalanan jauhi ke Kun lun san! Perjalanan yang jauh dan sukar apa lagi kalau diingat bahwa Kwa Sun Tek telah menjadi buta matanya sehingga ia tidak dapat lagi mempergunakan ilmu lari cepat tanpa terancam bahaya terjeblos ke dalam jurang! Adapun Wi Liong yang menjadi penunjuk jalan, masih terlalu kecil. Perjalanan yang amat sukar, namun ditempuh oleh Sun Tek dengan penuh kesabaran dan keyakinan bahwa akan tiba saatnya keponakannya dapat diterima menjadi murid seorang sakti.

   Mari kita tengok keadaan di Kun lun aan. Pegunungan Kun-lun san adalah pegunungan besar dan luas sekali dimulai dari tapal batas sebelah barat Propinsi Cing hai terus ke barat sampai di daerah Tibet yang penuh pegunungan itu. Daerah ini masih liar dan jarang didatangi manusia, kecuali para pendeta dan pertapa yang memang mencari kesunyian untuk menenangkan jiwa. Penduduk yang tinggal di pegunungan juga terasing dari dunia ramai, mereka masih merupakan orang-orang yang sederhana hidupnya dan tidak banyak kehendak seperti orang orang kota.

   Di atas sebuah di antara puncak-puncak di Pegunungan Kun-lun-san terdapat sebuah bangunan besar sederhana yang dikelilingi pagar tembok. Inilah pusat dari partai persilatan Kun lun pai yang sudah amat terkenal karena banyak sudah murid-murid Kun lun pai turun gunung dan membuat nama di dunia kang ouw. Mereka inilah yang mengangkat tinggi tinggi nama Kun lun pai, membuat partai persilatan itu terkenal di seluruh dunia.

   Pada waktu itu, yang menjadi guru besar di Kun-lun-pai adalah seorang tosu tua bertubuh tinggi kurus berjenggot panjang dan putih seperti perak, Tosu ini terkenal dengan nama sebutan Kun lun Lojin (Kakek Pegunungan Kun-lun), Juga ada yang menyebutnya Pek-mou Sianjin (Dewa Berambut Putih). Dialah guru besar di Kun-lun-pai. akan tetapi yang bertugas melatih murid-murid, baik dalam ilmu silat maupun dalam 'ilmu kebatinan, hanya murid-murid kepala atau sute-sutenya, sedangkan kakek ini kerjanya hanya bertapa saja, Biarpun ia kelihatan lemah lembut dan tiada guna namun sesungguhnya kakek tua bangka inilah ahli waris asli dari pada ilmu pedang dan ilmu silat tinggi Kun-lun-pai, bahkan ada yang mengabarkan bahwa dia telah mewarisi kitab sakti peninggalan Nabi Lo Cu! Oleh karena itu, biarpun belum pernah memperlihatkan kesaktiannya, semua orang di dunia kangouw menghormatnya sebagai seorang guru besar.

   Sudah dua bulan Bhok Lo Cinjin menjadi tamu di Kun-lun-pai. Memang sejak dahulu Bhok Lo Cinjin menjadi sahabat baik Kun-lun Lojin, dan kalau dua orang kakek yang menjadi couwsu dari partai-partai persilatan besar ini bertemu, tentu mereka siang malam berkumpul dalam pondok atau gua untuk bersama sama mengobrol, main catur atau bersamadhi.

   Bhok Lo Cinjin sengaja datang siang-siang untuk menghadiri pertemuan besar yang diadakan di puncak Kun lun-san ini. Berhubung dengan serbuan bala tentara Mongol ke selatan sehingga bala tentara asing itu dapat menduduki kota raja Kerajaan Cin di utara. Kun lun Lojin lalu mengirim undangan kepada sahabat- sahabatnya, yakni tokoh-tokoh besar di empat penjuru dunia. Orang-orang atau tokoh tokoh besar yang pada saat itu dapat dijajarkan tingkatnya dengan couwsu Kun lun pai ini ada tujuh orang Biarpun yang tujuh orang ini mempunyai jalan hidup masing-masing, namun mereka tak pernah saling bermusuhan, bahkan saling mengalah dan dalam banyak hal mereka itu mempunyai faham yang sama, terutama dalam pandangan patriotik. Tentu saja selain tujuh orang tokoh besar ini. masih banyak orang orang sakti di dunia ini, apa lagi dari golongan mokauw atau mereka yang memeluk agama sesat. Akan tetapi Kun-lun Lojin tidak sudi mengadakan hubungan dengan golongan ini.

   Seorang di antara tujuh tokoh besar itu adalah Bhok Lo Cinjin ketua atau guru besar Siauw-lim-pai. Boleh dibilang dengan Bhok Lo Cinjin, Kun-lun Lojin mempunyai hubungan yang paling erat, maka Bhok Lo Cinjin datang lebih dulu dua bulan sebelum pertemuan puncak itu diadakan.

   Oleh karena pertemuan puncak itu penting sekali dan Kun lun Lojin tahu bahwa hanyak kemungkinan akan datang orang-orang jahat dari fihak mokauw yang sepak terjangnya tidak dapat diduga-duga lebih dulu, couwsu Kun lun pai ini menyuruh anak murid Kun lun pai untuk melakukan penjagaan kuat di sekitar puncak itu. Kam Ceng Swi, sebagai murid tersayang dari Kun-Iun Lojin. tidak ketinggalan ikut menjaga dan meronda. Sedangkan sute-sute dan murid-muridnya melakukan penjagaan kuat di pos-pos yang dibuat di sepanjang jalan menuju ke puncak.

   

Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini