Ceritasilat Novel Online

Dendam Membara 3


Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



"Cin Han, ke sinilah engkau!"

   Cin Han menghampiri gurunya dan berlutut, akan tetapi kakek itu menyentuh pundaknya.

   "Berdirilah, aku ingin melihat mukamu."

   Cin Han berdiri dan kakek itu mengamati muka muridnya, bukan untuk melihat keadaan muka yang dipukuli tadi, bukan melihat luka-lukanya, melainkan untuk melihat sinar matanya dan juga seri wajahnya. Bukan main girang rasa hati kakek itu ketika sedikitpun dia tidak melihat kemarahan atau kebencian membayang dari wajah dan mata muridnya. Mata itu masih mencorong bening, dan wajah itu masih berseri cerah dan ramah, mulut itu masih membayangkan senyum kesabaran! Inilah sebabnya mengapa dia tadi membiarkan saja muridnya dipukuli orang,

   Pertama untuk sekedar menghukum murid yang telah berani mengintai dan mencuri ilmu silat orang, dan kedua hendak menguji sampai di mana hasil yang didapatkan muridnya selama empat tahun digemblengnya ini. Dan dia puas. Tadi dia melihat kekuatan dalam tubuh yang melindungi tubuh muridnya, melihat pula penggunaan kelincahan kaki, melihat betapa dihajar sedemikian rupa, muridnya tak pernah roboh dan kuda-kuda kakinya tidak pernah goyah. Hal ini membuktikan bahwa latihan yang tersembunyi di dalam kerja keras selama empat tahun telah memperlihatkan hasilnya dengan baik sekali. Akan tetapi, yang paling menggembirakan hatinya adalah melihat betapa disiksa orang seperti itu, sedikitpun tidak bangkit kebencian atau kemarahan dalam hati Cin Han! Inilah hasil yang paling tinggi dan paling baik.

   "Cuci mukamu dan bekerjalah seperti biasa. Mulai malam nanti, pinceng akan mengajarkan ilmu silat kepadamu."

   "Terima kasih, suhu, terima kasih...!"

   Dengan girang sekali, Cin Han menjatuhkan dirinya berlutut dan berkali-kali membenturkan dahinya di atas tanah. Kalau begini jadinya, mau rasanya dia dihajar sekali lagi oleh Cong Bu! Bagi para hwesio di kuil di puncak Bukit Mawar yang merupakan satu di antara bukit-bukit di Pegunungan Heng-tuan-san itu, terutama sekali bagi ketuanya, yaitu Thian Cu Hwesio, Hek-bin Lo-han dianggap sebagai seorang bekas penjahat besar yang telah bertobat dan mengambil jalan kebenaran, menjadi seorang hwesio yang selama ini memperlihatkan sikap dan tindakan yang baik dan benar! Akan tetapi, tidaklah demikian bagi Hek-bin Lo-han sendiri. Dia memang seorang bekas perampok yang dahulu menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang dikehendakinya.

   Merampok, membunuh, memperkosa wanita, apa saja dia lakukan demi memenuhi segala hasratnya, demi pemuasan semua nafsu keinginannya. Akan tetapi, kini dia telah menjadi seorang hwesio, bukan seorang hwesio berkedudukan tinggi, melainkan seorang pekerja dapur sebuah kuil, kedudukan yang sama sekali tidak terpandang, tidak terhormat. Namun, dibandingkan dengan ketika dia masih menjadi perampok ganas, sungguh cara hidupnya telah berbalik sama sekali, dengan perbedaan bumi langit. Bagi dia sendiri, perubahan kehidupannya ini bukanlah sekedar bertobat. Biasanya, karena perbuatannya yang jahat mendatangkan akibat yang menyengsarakan, maka orang lalu menyesal dan bertobat, berjanji dan bersumpah tidak akan melakukan lagi perbuatannya yang jahat itu. Akan tetapi, tak lama kemudian, dia melakukan atau mengulanginya lagi.

   Melakukan lagi, bertobat dan menyesal karena akibatnya yang pahit lagi, melakukan Jagi, bertobat, lagi dan demikian selanjutnya. Penyesalan karena akibat suatu perbuatan jahat, perasaan bertobat tidak akan melenyapkan perbuatan jahat itu. Kalau penyesalannya sudah menipis, kalau dorongan nafsu keinginan lebih besar dan lebih kuat dari pada perasaan bertobatnya, maka perbuatan itupun akan diulanginya lagi. Karena sesungguhnya yang di sesalkan hanyalah akibat pahit yang tidak menguntungkan dari perbuatan jahat itu. Bagaikan seorang pencuri, menyesali perbuatannya setelah dia tertangkap dan terhukum, mendapat malu. Akan tetapi beberapa bulan atau. beberapa tahun lagi, akibat pahit itu akan terlupa dan penyesalannyapun menghilang atau menipis, dan diapun akan mencuri lagi.

   Seperti yang biasa dilakukan oleh kita sejak kanak-kanak. Seorang anak melakukan kenakalan, kalau dihukum dan dipukuli dia berteriak-teriak menyatakan menyesal dan bertobat, akan tetapi sehari dua hari kemudian dia sudah mengulang kenakalan yang sama, untuk bertobat lagi kalau dihukum! Yang penting bukanlah menyesal dan bertobat setelah menderita akibat dari perbuatan sesat kita. Yang penting adalah pengamatan dengan waspada terhadap diri sendiri lahir batin setiap saat. Setiap perbuatan hanya merupakan pencerminan dari keadaan batin. Kalau batin bebas dari kebencian tidak mungkin kita melakukan kekejaman. Kalau batin penuh, dengan cinta kasih, segala perbuatan yang kita lakukan sudah pasti baik dan benar! Hek-bin. Lo-han bukan bertobat, melain dia telah dapat membebaskan batinnya dari kebencian!

   "Bersabarlah, bersabarlah, bersabarlah!"

   Demikian nasihat ini berdengung dalam telinga kita sejak kita kecil kalau kita sedang marah.

   Dengan demikian kita meletakkan arti kesabaran sebagai kebalikan dari kemarahan, sebagai lawan. Dan kita terumbang-ambing antara kesabaran dan kemarahan, terjadi konflik yang tiada hentinya. Kita marah, disabar-sabarkan, marah lagi, disabarkan lagi dan perang itu terjadi terus menerus sampai kita tua-dan mati. Kesabaran tidak mungkin diusahakan atau dilatih, kalau diusahakan, maka kesabaran seperti itu hanya merupakan kesabaran semu atau kesabaran palsu saja, dan kemarahan yang disabarkan hanya seperti api dalam sekam, nampaknya saja tidak ada, namun sebenarnya belum lenyap dan sewaktu-waktu akan berkobar kembali. Kesabaran suatu keadaan batin di mana kemarahan sudah tidak ada lagi! Akan tetapi, bagaimana untuk mengusahakan agar kemarahan tidak ada lagi, agar dapat melenyapkan kemarahan?

   Tidak mungkin lenyap kalau kita sengaja hendak melenyapkannya karena sama saja dengan kesabaran yang diusahakan tadi. Kesabaran itu tiada bedanya, sama saja sumbernya. Sumbernya dari pikiran, dari si-aku. Si-aku merasa tersinggung, merasa dirugikan, maka timbul kemarahan. Kemudian, si-aku melihat bahwa kemarahan merugikan, tidak baik, lalu si-aku ingin sabar agar tenang, agar sehat, agar baik dan sebagainya. Kalau kemarahan datang, kita amati saja dengan seluruh perhatian kita, dengan seluruh kewaspadaan. Dan kesadaranpun akan tercipta, dan kemarahan akan lenyap dengan sendirinya bukan karena diusahakan supaya lenyap. Api kemarahan akan padam dengan sendirinya kehabisan bahan bakar, bukan ditutupi dengan sekam dan masih membara di dalam.

   Karena itulah, maka Hek-bin Lo-han girang melihat betapa dia tidak menemukan bayangan kemarahan dan kebencian di sinar mata dan wajah muridnya dan dia menganggap bahwa kini muridnya sudah memiliki keadaan batin yang cukup kuat untuk menerima pelajaran ilmu silat. Dan kakek ini memiliki ilmu silat yang bertingkat tinggi, lebih tinggi dari pada tingkat ilmu silat Thian Cu Hwesio, walaupun tidak ada orang lain yang mengetahuinya, kecuali Thian Cu Hwesio yang dapat menduganya. Ketua kuil itu dapat menduga bahwa bekas penjahat yang kini telah menjadi hwesio dan diterimanya bekerja di situ, memiliki kepandaian tinggi yang dirahasiakannya dan tidak pernah dipergunakannya. Inilah agaknya yang membuat Thian Cu Hwesio bersikap hormat kepada kepala dapur itu.

   Mulai malam hari itu, Cin Han menerima pelajaran ilmu silat dari gurunya. Karena tubuhnya sudah kuat dan kedua kakinya sudah dapat membuat kuda-kuda dengan kokoh pula, maka mulailah dia mempelajari dasar-dasar ilmu silat, langkah-langkah dan gerakan tubuh ketika membuat langkah-langkah itu. Dia belajar dengan tekun sekali. Beberapa bulan kemudian setelah terjadinya peristiwa di dekat sumber air itu, utusan Ciu Taijin dan Kim-ciangkun datang untuk menjemput anak-anak mereka. Utusan itu menyampaikan berita dari Ciu Taijin yang menghaturkan terima kasih kepada Thian Cu Hwesio yang sudah mendidik puterinya, dan putera Kim-ciangkun selama enam tahun dan memberitahukan bahwa mulai sekarang kedua orang anak mereka akan melanjutkan pelajaran ilmu silat di kota, di mana telah diundang guru-guru silat yang pandai.

   Thian Cu Hwesio yang sebenarnya mengajarkan ilmu silat kepada dua orang anak itu karena sungkan dan terpaksa untuk membalas budi Ciu Taijin dan Kim Ciangkun, melepas kedua orang murid itu pergi setelah memberi wejangan-wejangan agar mereka dapat menjadi orang yang berjiwa pendekar. Ketika dua orang remaja itu berpamit kepada Cin Han, sikap Cong Bu berubah baik sekali. Bagaimanapun juga, dia merasa bahwa di samping Lian Hwa, Cin Han merupakan satu-satunya pemuda yang sebaya dengannya dan sebelum terjadi keributan di dekat sumber air, dia memang sudah bersikap baik kepada Cin Han, walaupun dia selalu merasa lebih "tinggi."

   Kini dia memegang kedua tangan Cin Han dan wajahnya berseri ketika dia berpamit.

   "Cin Han, selamat tinggal!! Kalau kelak engkau sudah meningggalkan kuil ini dan kebetulan lewat di kota Tongan, jangan lupa untuk singgah di rumahku, ya? Ingat saja, ayahku adalah Kim Ciangkun, kepala keamanan kota Tong-an, dan ayah dari sumoi adalah Ciu Taijin, kepala daerah Tong-an,"

   Kata Cong Bu.

   "Ya, engkau singgahlah di rumah kami, Cin Han. Dan sekali lagi, maafkan atas segala kesalahanku, ya?"

   Kata Lian Hwa dengan ramah sekali. Dua orang anak itu kelihatan gembira bukan main karena dijemput dan hendak pulang ke kota tempat tinggal mereka. Sudah enam tahun mereka tinggal di tempat sunyi ini dan mereka bosan, setiap hari hanya belajar ilmu silat dan membaca kitab-kitab agama. Mereka merasa rindu kepada keluarga, rindu kepada keramaian dan tontonan kota, rindu pula akan makanan enak walaupun di kuil itu merekapun mendapatkan hidangan yang bermacam-macam, berbeda dengan makanan para penghuni kuil yang bersahaja.

   "Tidak ada yang harus dimaafkan, bahkan aku yang minta maaf kepada kalian,"

   Kata Cin Han, merasa terharu dan gembira juga melihat perubahan sikap Cong Bu. Anak itu memang tidak memiliki watak jahat, pikirnya, hanya keras hati dan agak congkak.

   "Kelak kalau ada kesempatan, tentu aku akan singgah di rumah kalian."

   Setelah dua orang anak itu pergi meninggalkan kuil, Cin Han merasa kehilangan. Apa lagi kalau dia teringat kepada Lian Hwa, gadis remaja yang manis wajah dan halus budinya itu. Dia merasa kesepian. Untunglah bahwa dia sedang tekun-tekunnya mempelajari ilmu silat yang mulai diajarkan oleh Hek-bin Lo-han. Maka dengan membenamkan diri ke dalam latihan-latihan, dia melupakan perasaan kesepian itu.

   Selama dua tahun Cin Han digembleng dengan dasar-dasar ilmu silat sehingga kedua kakinya dapat membuat langkah-langkah dan geseran-geseran lemas sekali di samping kokoh kuat seperti batu karang di tepi samudera. Setelah kaki tangannya memiliki kelenturan dan kokoh kuat, barulah Hek-bin Lo-han mengajarkan ilmu silat simpanannya yang hebat, yaitu Sin-liong-kun (Silat Naga Sakti) yang amat dahsyat. Kakek ini masih mempergunakan gaya lama dan peraturan kuno yang keras dan sulit dalam mengajarkan ilmu silat, namun kalau orang mempelajari ilmu silat secara ini, ilmu itu akan mendarah-daging di tubuhnya, dikuasainya lahir batin, tidak hanya dikuasai kulitnya saja. Karena itu, ilmu silat yang ringkasannya dapat dipecah menjadi kurang lebih empat puluh jurus itu, oleh Hek-bin Lo-han dipecah menjadi tujuh puluh dua jurus.

   "Pinceng mempunyai dua macam ilmu silat simpanan yang dahulu selalu menjadi andalan pinceng. Melihat betapa engkau memiliki tubuh kuat sekali, maka kedua ilmu silat itu cocok untuk kau pelajari, Cin Han. Keduanya membutuhkan kekuatan otot. Yang pertama adalah Sin-liong-kun yang banyak menggunakan serangan dari bawah, tendangan-tendangan yang sulit dilawan. Adapun yang kedua adalah Kim-tiauw-kun (Silat Rajawali Emas) yang juga mengandalkan tenaga otot, akan tetapi banyak melakukan serangan dari atas. Kedua ilmu silat ini selama bertahun-tahun pinceng pelajari dan selama ini pinceng mencoba untuk menggabungnya dan baru-baru ini pinceng merasa berhasil. Gabungan kedua ilmu silat ini sengaja pinceng rangkai untukmu."

   Tentu saja Cin Han merasa girang bukan main, juga berterima kasih karena ternyata suhunya itu, yang nampaknya selama ini seperti acuh dan hanya menyuruh dia bekerja berat, kiranya diam-diam telah merencanakah pelajaran khusus untuk dirinya.

   Maka diapun amat tekun mempelajari ilmu silat itu dan mentaati seluruh petunjuk gurunya, betapapun beratnya latihan yang harus dilakukannya. Atas perintah suhunya, semua ilmu silat yang dipelajarinya dan dilatihnya, dilakukan, secara sembunyi dan di luar pengetahuan para hwesio di kuil itu. Hanya Thian Cu Hwesio seoranglah yang tahu bahwa Hek-bin Lo-han adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bagi para hwesio lainnya, kakek ini hanyalah seorang hwesio yang dipercaya penuh oleh ketua mereka dan menjadi kepala dapur, pandai memasak dan pendiam. Dan Cin Han bagi mereka hanyalah Seorang kacung dan pembantu kepala dapur itu yang bertenaga besar dan mampu menyelesaikan semua, tugas dapur yang berat-berat tanpa minta bantuan mereka.

   Sama sekali mereka tidak pernah mengira bahwa pemuda itu kini dengan pesatnya telah menguasai ilmu-ilmu silat yang amat tinggi dan menjadi orang yang jauh lebih lihai dibandingkan mereka yang sudah lama mempelajari ilmu silat. Cin Han tidak pernah mengeluarkan sepatahpun kata yang mengandung dendam dan juga tidak pernah memperlihatkan sikap mendendam, namun, jauh di sebelah dalam lubuk hatinya, sesungguhnya api dendam itu tidak pernah padam. Setiap kali pikirannya termenung dan ingatannya membayangkan kembali segala yang telah terjadi atas diri ibunya, betapa ibunya diperkosa orang di depannya, kemudian mendengar cerita ibunya bahwa ayah kandungnya diracun orang dan ibunya dipermainkan,

   Betapa kemudian ibunya diberikan begitu saja seperti barang bekas setelah majikannya merasa bosan, sehingga ibunya diperkosa orang dan akhirnya membunuh diri, perasaan hatinya seperti ditusuk-tusuk pedang berkarat dan berlubang-lubang dia berjanji dalam hati sendiri bahwa kalau, sudah tiba saatnya, dia akan membalas dendam kepada mereka yang menyebabkan kematiah ayah bundanya. Dia akan membunuh Lui Tai-jin, jaksa di kota Wan-sian itu, kemudian diapun akan membunuh Phang Lok, tukang kebun jaksa itu, yang telah memperkosa ibunya di depan matanya sehingga ibunya kemudian membunuh diri. Hanya kedua orang itu saja dan dia maklum bahwa sebelum dia dapat membunuh mereka untuk membalas dendam atas kematiah ayah ibunya, maka dia takkan pernah merasa tenteram dalam hidupnya.

   Dendam merupakan api beracun yang selalu bernyala di dalam batin, dengan bahan bakar pikiran yang mengingat-ingat dan membayangkan peristiwa yang menimpa kita, merugikan kita, baik diri kita sendiri maupun keluarga kita, teman, golongan, bahkan bangsa kita yang sesungguhnya hanyalah pemekaran dari pada si-aku. Si-aku dirugikan, dikecilkan, dihina, disakiti, demikianlah pikiran berbisik-bisik membakar sehingga timbullah nyala api dendam. Dendam karena merasa dirugikan ini menimbulkan kebencian dan kekejaman, ingin melihat orang yang dibencinya itu tertimpa bencana, baik yang dilakukan oleh kita sendiri maupun oleh orang lain. Akan puaslah rasanya hati ini melihat orang yang kita benci tertimpa malapetaka, tersiksa dan sengsarai Betapa kejam, sadis dan kotor.

   Membaca batin yang sudah diracuni oleh dendam! Namun, ada pula yang menggantungkan hidupnya, pada dendam kebencian, seolah-olah itulah satu-satunya tujuan hidupnya. Kalau sudah begitu, hanya nafsu yang menguasai diri, membuat kita seperti buta atau lupa bahwa dendam kebencian itu membuat kita menjadi alat perputaran lingkaran setan dari balas membalas dan dendam mendendam, benci membenci dan permusuhan yang tiada hentinya dan tiada habisnya antara manusia. Betapa indahnya, betapa bijaksananya, kalau saja saat ini kita mampu melihat bahwa batin kita membenci seseorang atau sesuatu, kemudian saat ini pula mengakhiri kebencian itu, membuangnya jauh-jauh sehingga lenyap sama sekali tanpa akar tertinggal, tanpa bekas!

   Seperti orang yang membuang jauh-jauh sebotol racun yang amat berbahaya agar jangan dekat dengan kita. Bukannya menekan kebencian dengan kesabaran, atau dengan usaha untuk menjadi baik, atau hendak menutup kebencian itu dengan sikap baik dan cinta kasih karena hal seperti ini akan sia-sia saja. (Lanjut ke Jilid 03)

   Dendam Membara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03

   Sama saja dengan menutup api dengan sekam, sama saja dengan menyembunyikan pakaian kotor di balik pakaian indah. Api dalam sekam tetap membara. Baju kotor di balik pakaian indah tetap saja masih ada dan berbau busuk, mendatangkan kutu dan penyakit. Yang penting, menyadari akan adanya kebencian itu dalam batin kita, sadar sepenuhnya dan menghadapi kebencian yang sesungguhnya adalah buah dari pikiran kita sendiri,

   Penonjolan dari si-aku yang merasa dirugikan, menghadapinya sebagai suatu kenyataan, tanpa ingin menutupi, tanpa ingin mengubah, melainkan mengamati dengan penuh kewaspadaan dan membuangnya sebagai racun yang mengancam diri kita. Cin Han yang sudah menerima ilmu-ilmu yang tinggi dari Hek-bin Lo-han, masih belum menyadari akan hal itu, masih menganggap bahwa dendam kebencian di dalam hatinya sebagai sesuatu yang wajar, sesuatu yang seharusnya, bahkan lebih celaka lagi, menghadapi dendamnya itu sebagai suatu kewajiban seorang anak yang harus membela orang tuanya! Dengan ketekunan luar biasa, dia berlatih dan waktu berjalan dengan amat cepatnya, tahu-tahu sudah sembilan tahun dia berada di kuil itu. Kini dia telah menjadi seorang pemuda dewasa, berusia sembilan belas tahun. Dan pagi hari itu dia dipanggil gurunya.

   "Cin Han, pinceng melihat bahwa semua ilmu yang pinceng ajarkan telah dapat kau kuasai dengan baik dan engkau telah lama sekali berada di sini. Sekarang engkau telah dewasa, Cin Han, bagaikan seekor burung, sayapmu telah kuat sehingga sudah sepatutnya kalau engkau meninggalkan sarang dan terbang sendiri menempuh kehidupan di alam luas. Hari ini juga, engkau tinggalkanlah kuil ini. Pergunakan semua ilmu yang telah kau pelajari di sini untuk membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Dan ingat, jangan sekali-kali engkau mempergunakan ilmu yang pinceng ajarkan untuk mencuri atau merampok. Kalau sampai hal itu terjadi dan terdengar oleh pinceng, tentu pinceng akan mencarimu untuk menghukummu sendiri."

   Diam-diam Cin Han merasa girang sekali bahwa akhirnya dia diperbolehkan turun gunung. Dia sendiri sudah merasa jemu tinggal di kuil yang sunyi itu, apa lagi setelah kini dia merasa memiliki kepandaian yang cukup. Dia berlutut memberi hormat dan hatinya terharu juga.

   "Teecu akan mentaati semua pesan suhu dan teecu menghaturkan terima kasih atas semua kebaikan yang suhu limpahkan kepada teecu."

   "Engkau terima uang emas ini untuk bekal, Cin Han. Ini adalah simpanan pinceng dan pinceng tidak membutuhkannya lagi."

   Cin Han menerima sekantung kecil uang emas dengan terharu dan hari itu juga dia meninggalkan kuil.

   Bu Cin Han kini merupakan seorang pemuda yang bertubuh agak jangkung. Tidak terlalu tinggi sebetulnya, akan tetapi karena dia agak kurus maka nampak jangkung. Namun, tubuh yang tidak berapa besar itu mengandung otot yang kokoh kuat, dan kedua kakinya yang panjang itu demikian tegap dan kokoh seperti kaki kuda. Sinar matanya mencorong, akan tetapi mulutnya membayangkan senyum kelembutan sehingga merupakan hal yang berlawanan dengan sinar matanya yang agak kurus. Mukanya bulat berkulit putih, sepasang alisnya tebal hitam berbentuk golok dan hidungnya mancung. Biarpun mulut itu selalu dihias senyum ramah, namun dagunya juga membayangkan kekerasan hati. Pakaiannya sederhana, dan bantalan pakaian yang di gendongnya juga tidak besar.

   Dilihat sepintas lalu, dia hanyalah seorang di antara ribuan pemuda yang sederhana dan miskin, sedikit pun tidak ada kesan bahwa dia sebenarnya seorang pemuda gemblengan yang memiliki ilmu silat tinggi. Cin Han menuruni Pegunungan Heng-tuan-san dengan wajah gembira. Tepat sekali kata-kata suhunya tadi, pikirnya. Dia merasa seolah-olah menjadi seekor burung-dewasa yang baru saja terbang meninggalkan sarangnya, sarang tua lapuk dan apak, untuk memasuki dunia luas yang menjanjikan ketegangan-ketegangan dan kegembiraan luar biasa. Dia harus berganti pakaian, pikirnya sambil mengamati pakaiannya sendiri. Pakaian itu bukan hanya sederhana sekali, akan tetapi juga aneh dan lucu, pakaian pendeta. Di kuil litu, dia tidak bisa mendapatkan pakaian lain kecuali pakaian pendeta yang kedodoran.

   Pada suatu hari tibalah dia di Bin-juan, sebuah kota kecil di kaki Pegunungan Heng-tuan-san. Biarpun kota kecil ini tidak berapa ramai, namun di situ terdapat beberapa buah toko, bahkan terdapat pula sebuah rumah penginapan. Cin Han yang kemalaman, mengambil keputusan untuk bermalam di kota kecil ini dan membeli pakaian. Diapun menyewa sebuah kamar di rumah penginapan itu, kemudian setelah mandi, dia keluar meninggalkan kamarnya untuk berbelanja dan makan malam. Melihat sebuah toko yang menjual pakaian masih buka, dan terdapat cukup banyak orang berbelanja, Cin Han tertarik dan diapun memasuki toko itu. Beberapa orang melirik ke arahnya dengan pandang mata heran karena melihat seorang pemuda yang pakaiannya kedodoran, kebesaran karena yang dipakainya adalah pakaian pendeta!

   Akan tetapi pelayan toko dengan ramahnya menyambut. Dan Cin Han lalu mengatakan bahwa dia ingin membeli tiga atau empat stel pakaian. Pelayan itu Jalu mengajak Cin Han ke sudut di mana terdapat pakaian jadi bertumpuk-tumpuk dan sibuklah Cin Han memilih, tidak curiga melihat beberapa orang juga sibuk memilih pakaian jadi. Di antara mereka itu terdapat dua orang laki-laki yang usianya empat puluh tahun lebih, yang berdiri agak jauh dari Cin Han, namun mata mereka selalu melirik dan memperhatikan pemuda itu. Akhirnya Cin Han selesai memilih dan mendapatkan empat stel pakaian yang dianggap cocok, berbentuk sederhana dengan warna muda tidak menyolok. Tanpa rasa curiga diapun membayar harga empat stel pakaian itu dengan sepotong uang emas yang diambilnya dari kantung pemberian gurunya.

   Melihat ini, bukan saja pelayan itu yang terbelalak menerima sekeping uang emas, juga dua orang yang sejak tadi memperhatikan Cin Han, kini saling bertukar pandang dan ada kilatan mata aneh dibarengi senyum penuh arti. Mereka lalu menyelinap keluar dari toko itu tanpa membeli sesuatu dan menghilang di dalam kegelapan malam. Cin Han tidak tahu bahwa ketika menerima uang kembalian yang cukup banyak, pemilik toko telah merugikannya dengan memberi uang pengembalian yang jauh kurang dari yang sebenarnya. Akan tetapi dia tidak tahu dan merasa gembira melihat bahwa sekeping uang emas itu setelah dibelikan empat stel pakaian masih bersisa sedemikian banyaknya, merupakan potongan-potongan uang perak dan tembaga. Dia membawa buntalan pakaian keluar toko dan memasuki sebuah rumah makan, memesan masakan dan minuman.

   Ketika dia memasuki rumah makan, dari dalam keluarlah seorang gadis yang membuat Cin Han tertegun dan seperti orang linglung dia berhenti melangkah tadi dan menoleh, mengikuti gadis itu dengan pandang matanya. Bukan karena gadis itu cantik menarik dengan pakaian yang ringkas yang amat menarik hatinya, melainkan karena dia merasa seperti mengenal gadis itu! Akan tetapi hal itu tidak mungkin, bantahnya, sendiri. Selama sembilan tahun dia berada di kuil dan tidak pernah bertemu dengan seorang perempuan, bagaimana dia dapat merasa kenal dengan seorang gadis cantik? Dia segera berusaha melupakan gadis itu ketika mulai menghadapi masakan. Akan tetapi aneh, Sepasang mata itu, senyum itu selalu terbayang di depan matanya! Kini Cin Han melenggang dengan hati gembira meninggalkan restoran, menuju kembali ke rumah penginapan.

   Hatinya terasa puas.. bahkan kenyang, minum arak yang baik, dan lengan kirinya mengempit buntalan empat stel pakaian. Mulai besok, dia tidak akan merasa canggung dan malu lagi karena pakaiannya. Tidak akan ada lagi orang menoleh dan memandang dengan senyum mentertawakan seperti yang sudah! Perjalanan menuju ke rumah penginapan itu melalui lorong yang agak sunyi dan gelap. Beberapa buah rumah yang berada di sekitar lorong itu sudah menutup pintu dan jendela dan jalan itu nampak sunyi. Namun, Cin Han melangkah dengan hati tenang dan gembira, tidak menyangka sesuatu yang buruk akan menimpanya. Tiba-tiba, dari tempat gelap, nampak dua orang berlompatan dan tahu-tahu mereka sudah menodongkan golok dari kanan-kiri, ke arah perut Cin Han!

   "Jangan berteriak atau bergerak, serahkan kantung emasmu atau kami akan membunuhmu!"

   Bentak seorang di antara mereka dengan suara lirih namun tegas dan ujung goloknya sudah terasa oleh Cin Han, menekan kulit perutnya, Todongan kedua orang itu, biarpun berbahaya, tentu saja tidak sukar bagi Cin Han kalau hendak menghindarkan diri dan mendahului mereka dengan serangan. Akan tetapi dia terlalu heran dan kaget sehingga sejenak dia hanya bingung memandang ke kanan kiri.

   "Sobat, apa artinya ini...? Apakah kalian berkelakar?"

   Tanyanya, masih belum sadar bahwa dia telah ditodong dan hendak dirampok, karena sama sekali tidak menyangka bahwa di dalam kota terdapat penodongan dan perampokan!

   "Jangan cerewet, lekas keluarkan kantung emas itu dan berikan kami, atau kami akan merobek perutmu!"

   Bentak orang ke dua yang suaranya serak. Melihat sikapnya yang tidak ragu-ragu, akhirnya Cin Han maklum bawa dia berhadapan dengan dua orang penjahat yang agaknya sudah biasa melakukan perampokan dan bahwa ancaman mereka tentu bukan kosong belaka. Selagi dia hendak melakukan perlawanan, tiba-tiba terdengar bentakan.

   "Perampok busuk, berani kalian merampok di tempat umum?"

   Dua orang perampok itu terkejut dan biarpun yang membentak hanya seorang wanita, namun mereka agaknya khawatir kalau suara wanita itu akan membangunkan orang-orang yang tinggal di sekitar tempat itu.

   Mereka lalu berloncatan menghilang ke dalam kegelapan malam. Sejenak Cin Han dan wanita itu berdiri berhadapan saling pandang. Akan tetapi malam gelap dan lorong itu tidak memperoleh penerangan dati rumah-rumah yang sudah menutup daun pintu dan jendela sehingga di bawah sinar remang-remang dari bintang-bintang di langit, Cin Han tidak dapat melihat wajah itu dengan jelas. Akan tetapi, jantungnya berdebar penuh ketegangan ketika dia mengenal pakaian wanita itu. Gadis yang dilihatnya keluar dari restoran tadi. Tak salah lagi, Bajunya berkembang-kembang, dan model gelung rambutnya itu, juga bentuk tubuhnya yang ramping, Sebelum dia dapat berkata sesuatu, gadis itu telah mendahuluinya.

   "Berhati-hatilah berjalan di tempat sepi, apa lagi kalau membawa barang berharga."

   Setelah berkata demikian, gadis itu membalikkan tubuhnya dan pergi dengan cepat. Cin Han sudah menggerakkan tangan dan bibir untuk memanggil, akan tetapi dia menahan diri. Mau apa dia memanggil? Sungguh tidak pantas seorang laki-laki memanggil seorang gadis yang tidak dikenalnya di tengah jalan, jalan sunyi dan malam-malam lagi.

   Maka diapun hanya dapat menarik napas panjang, kemudian melanjutkan perjalanannya kembali ke rumah penginapan. Malam itu, Cin Han gelisah sendiri di dalam kamarnya. Dia sudah melupakan peristiwa penghadangan dua orang perampok tadi, akan tetapi dia tidak pernah dapat melupakan gadis yang demikian beraninya membentak dua orang perampok sehingga mereka melarikan diri. Dicobanya melupakan gadis itu dengan melibat dan mengenakan pakaian barunya berganti-ganti, akan tetapi setelah dia menyimpan pakaiannya dan merebahkan diri di atas pembaringan, kembali wajah gadis itu terbayang di depan matanya. Dia hanya baru melihat jelas satu kali saja, di rumah makan tadi yang cukup terang dan melihat wajah itu sekilas saja.

   Akan tetapi bagaimana wajah itu kini dapat melekat di dalam benaknya dan tidak pernah lagi mau meninggalkan ingatannya. Sampai jauh malam Cin Han tidak dapat pulas, suasana di rumah penginapan itu sudah sunyi sekali. Beberapa orang yang tadi bermain ma-ciok di ruangan belakang dan membuat gaduh dengan permainan itu, kini agaknya sudah tidur semua. Suasana sunyi sekali. Tiba-tiba Cin Han mendengar suara yang tidak wajar. Suara gerakan orang di atas genteng! Dia merasa yakin benar akan pendengarannya dan dengan hati-hati diapun mengenakan sepatu dan pakaian, lalu dengan hati-hati membuka daun jendela dan melompat keluar. Tak lama kemudian dia sudah melayang naik ke atas genteng dan mengintai. Hampir dia tertawa geli ketika melihat dua orang membongkar genteng, tepat di atas kamarnya dan di bawah sinar bintang-bintang di langit,

   Dia mengenal dua orang perampok yang tadi mencoba untuk merampoknya di lorong sunyi. Kini dia teringat dan sadar bahwa dia telah berlaku tidak hati-hati di dalam toko ketika membeli pakaian tadi. Tanpa curiga tadi dia membayar pakaian dengan uang emas dari kantungnya dan tentu kedua orang ini telah melihat bahwa dia memiliki banyak emas dalam kantung itu, maka kini mereka berusaha mati-matian untuk merampas kantung emasnya. Tiba-tiba dia melihat sesosok bayangan berkelebat di atas genteng rumah penginapan itu dan kembali jantungnya berdebar penuh ketegangan. Tak salah penglihatannya. Gadis yang bayangannya membuat dia tidak dapat tidur itu! Dan dia tertegun melihat gerakan yang demikian gesit dan ringannya dari gadis itu. Kiranya seorang gadis yang gagah perkasa, pikirnya bangga.

   "Hemmm, kalian sungguh tak tahu diri dan belum jera kalau belum dihajar!"

   Bentak gadis itu dan suaranya yang tiba-tiba membuat dua orang calon maling itu terkejut. Mereka meloncat bangkit dan membalikkan tubuh. Ketika melihat bahwa yang membentak itu adalah gadis yang tadi telah menggagalkan perampokan mereka, kedua orang penjahat itu menjadi marah sekali.

   "Perempuan iblis, kembali engkau hendak menghalangi kami?"

   Bentak seorang di antara mereka yang berjenggot panjang. Dia sudah menerjang dengan goloknya, membacok ke arah kepala gadis itu, sedangkan orang kedua yang bertubuh kurus juga menusukkan goloknya dari belakang. Cin Han sudah siap siaga untuk membela gadis itu kalau terancam bahaya, namun dia tertegun kagum. Gadis itu berkelebat dengan cepatnya dan dua serangan itu telah dapat dielakkannya dengan mudah dan dengan gerakan yang ringan sekali. Bahkan ia lantas membalikkan tubuhnya dan begitu kaki tangannya bergerak, dua orang perampok itu terhuyung sehingga beberapa buah genteng patah terinjak mereka!

   Gadis itu yang merasa kurang leluasa berkelahi di atas genteng, lalu melayang turun dikejar oleh dua orang penyerangnya. Cin Han juga diam-diam melayang turun dan mengintai. Kini mereka itu telah saling serang di bawah sinar lampu di sudut rumah penginapan sehingga dia dapat melihat dengan jelas keadaan gadis itu. Tidak keliru dugaannya. Gadis itu adalah gadis yang tadi juga, akan tetapi sekarang bukan saja nampak cantik jelita, melainkan juga gagah perkasa ketika sambil berdiri tegak ia menanti serangan dua orang lawannya yang mempergunakan golok tajam. Ia sendiri bertangan kosong, akan tetapi begitu serangan tiba, tubuh bergerak cepat dan berkelebatan di antara sinar golok. Jangankan dua batang golok itu mengenai tubuhnya, bahkan menyentuh ujung pakaiannyapun tak pernah.

   Bahkan sebaliknya, tendangan dan tamparan gadis itu membuat dua orang perampok yang juga bukan orang-orang lemah itu menjadi kewalahan. Beberapa kali mereka terhuyung dan pada saat itu, terdengar suara gaduh di dalam rumah penginapan, tanda bahwa beberapa orang sudah terbangun katena suara perkelahian di luar rumah penginapan. Hal ini tentu saja membuat dua orang penjahat menjadi takut, apa lagi karena mereka pun maklum akan kelihaian gadis itu, maka mereka lalu berloncatan dan melarikan diri. Gadis itu tidak mengejar dan melihat betapa kini ada suara orang-orang membuka daun pintu, iapun menghadapi Cin Han yang sudah keluar dari tempat pengintaiannya. Gadis itu nampak heran melihat Cin Han sudah berada di situ, akan tetapi agaknya ia tidak ingin banyak orang melihatnya, maka iapun berkata dengan suaranya yang halus.

   "Agaknya engkau membawa banyak barang berharga. Berhati-hatilah, karena penjahat-penjahat itu tentu takkan melepaskan begitu saja."

   Setelah berkata demikian, gadis itu melompat dan iapun lenyap sebelum banyak penghuni rumah penginapan bermunculan.

   Cin Han juga cepat menyelinap agar tidak nampak oleh mereka dan dia kembali ke dalam kamarnya tanpa diketahui mereka. Tentu saja para penghuni rumah penginapan terheran-heran ketika mereka keluar, mereka tidak melihat seorangpun di sita. Pada hal tadi mereka berani bersumpah telah mendengar suara ribut-ribut seperti ada orang berkelahi di luar rumah penginapan. Sementara itu, Cin Han kembali telah rebah di atas pembaringnya di dalam kamar dai kini lebih gelisah lagi dari pada tadi. Bukan gelisah memikirkan bahwa dia dibayangi penjahat, melainkan gelisah membayangkan gadis itu yang menjadi semakin menarik dan mengagumkan!

   Dia merasa menyesal tidak sempat berkenalan dengan gadis cantik yang perkasa itu! Ketika dia melanjutkan perjalanannya sampai ke kota Wan-sian, Cin Han sudah berhasil melupakan gadis itu. Hatinya merasa tegang ketika dia tiba di kota Wan-sian, kota kelahirannya, di mana dia kehilangan ayah dan ibunya. Karena dia meninggalkan kota itu dalam usia delapan tahun dan kini dia sudah berusia sembilan belas tahun, dia tidak khawatir akan ada orang yang mengenalnya. Dia datang ke kota itu dengan dendam membara di hatinya, datang dengan niat membunuh orang, yaitu Jaksa Lui dan tukang kebunnya, Phang Lok! Dan membunuh seorang jaksa bukan hal yang boleh dianggap ringan, karena tentu akan menggemparkan dan kalau ketahuan dia tentu akan menjadi buronan pemerintah.

   Oleh karena itu, Cin Han berhati-hati, tidak mau bermalam di rumah penginapan, melainkan bermalam di luar kota Wan-sian, di sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi. Kuil tua itu kini hanya menjadi tempat bermalam para tunawisma, para jembel atau juga penjahat-penjahat kecil. Akan tetapi karena kuil itu luas dan gelap, tak seorangpun memperhatikannya ketika dia mengambil tempat di sudut belakang yang terpencil. Dia membersihkan lantainya yang penuh debu dengan rumput kering, kemudian duduk bersila, menghimpun tenaga dan beristirahat sebelum tiba saatnya yang baik untuk melakukan pembalasan dendamnya, nanti kalau malam sudah larut dan semua penghuni kota itu sudah tidur.

   Setelah malam larut, menjelang tengah malam, tanpa diketahui siapapun Cin Han meninggalkan kuil. Bagaikan setan saja, bayangannya berkelebat di antara bayang-bayang pohon dan bangunan. Dia sengaja memilih gang-gang sempit yang gelap dan karena dia dilahirkan di kota Wan-sian. tentu saja dia hapal akan semua jalan dan lorong di kota itu dan dia mengambil jalan lorong-lorong kecil untuk menuju ke gedung besar milik Jaksa Lui. Dia mengenal benar keadaan di gedung besar itu, bahkan hapal akan keadaan pagar tembok yang mengelilinginya, tahu presis di mana adanya para penjaga. Diapun tahu bahwa di bagian belakang sebelah kanan pagar tembok gedung itu, di sebelah luar tembok terdapat sebatang pohon yang rindang, dan ke sanalah dia menuju.

   Dengan mudah dia meloncat naik ke atas pohon itu dan teringatlah dia akan masa kanak-kanak ketika sering pula dia memanjat pohon ini untuk bermain-main. Dari atas pohon yang kini telah tumbuh besar sekali itu Cin Han dapat melihat keadaan di sebelah dalam, di balik pagar tembok itu. Din tahu bahwa di balik tembok terdapat sebuah taman bunga, dan di seberang taman itu adalah terdapat gedung keluarga bangsawan itu. Biasanya, di ujung taman terdapat pula dua atau tiga orang penjaga secara bergiliran, dan mereka duduk di dalam sebuah gardu kecil. Dari atas pohon, masih nampak gardu itu, bahkan kini dia dapat melihat empat orang penjaga di dalam dan di luar gardu karena sebuah lentera yang digantung di depan gardu menerangi gardu itu dau sekitarnya.

   Dia tahu benar di mana letak kamar Lui Tai-jin. Dari pohon itu dia dapat melihat deretan kamar. Ada empat buah kamar di bagian belakang yang ditempati para pelayan. Dan gubuk di sudut taman itu tentu masih ditempati Phang Lok, pikirnya. Terbayang kembali peristiwa sebelas tahun yang lalu, ketika dia melihat ibunya diseret ke dalam gubuk oleh tukang kebun itu, kemudian melihat dalam keadaan setengah pingsan betapa ibunya diperkosa oleh jahanam itu. Dia mengepal tinju memandang ke arah gubuk itu, dari mana juga nampak sinar lampu mencuat keluar. Tunggu saja engkau, jahanam, pikirnya. Lui Tai-jin, dialah yang harus dibunuh lebih dahulu, baru giliran tukang kebun itu! Dia masih hafal akan letak kamar jaksa itu.

   Di sebelah dalam, kamar induk yang besar, Di sana pembesar itu tidur bersama seorang di antara selir-selirnya, atau tidur di kamar Lui Toa-nio, isteri pertama yang kamarnya berada di sebelahnya, bersambung pula dengan kamar puteri mereka, Lui Kim Eng. Tiba-tiba Cin Han tertegun. Kim Eng! Dan Nyonya Lui! Dua orang itu mendatangkan kesan baik sekali dalam lubuk hatinya. Kim Eng demikian manis budi, tidak memandang rendah kepadanya. Dan Nyonya Lui itu! Teringat dia betapa ketika dia diusir, nyonya itu membekalinya dengan sekantung uang. Tidak, dia tidak akan mengganggu mereka. Bahkan dia tanpa ragu-ragu pasti akan membela mereka kalau ada yang mengganggu kedua orang wanita itu. Sejenak terbayanglah dia kepada Kim Eng, anak perempuan lucu dan mungil itu.

   Tentu sekarang telah menjadi seorang gadis remaja yang cantik. Atau mungkin juga sudah menikah dan sudah tidak lagi tinggal di gedung itu, ikut suaminya. Hatinya lega memikirkan ini. Lebih baik lagi kalau Kim Eng sudah pergi dari situ agar tidak ada lagi kemungkinan dia akan bertemu dengannya. Dengan gerakan ringan bagaikan seekor burung hantu, Cin Han meloncat dari atas cabang pohon, langsung melompati dan melewati pagar tembok dan diapun sudah berada di dalam taman bunga gedung itu. Dengan masih berhati-hati sekali dia menyelinap di antara pohon-pohon bunga dan semak-semak, menghampiri gedung dan memutari gubuk penjagaan. Para penjaga yang berada di dalam gardu itu masih bercakap-cakap, agaknya mereka sedang bermain catur, dua orang di antara mereka duduk di atas bangku depan gardu,

   Sama sekali tidak tahu bahwa ada bayangan hitam menyelinap di belakang gardu dan kini bayangan itu sudah tiba di sudut gedung yang tidak nampak dari gardu. Cia Han meloncat ke atas genteng dan langsung saja dia berlari menuju ke bagian tengah di mana terdapat kamar induk di bawahnya. Dengan mudah saja dia membongkar genteng, lain mematahkan rusuk kayu penyangga genteng dan mengintai ke bawah. Kamar itu besar dan mewah. Penghuninya sudah tidur karena dia dapat menangkap dengkur orang di balik kelambu. Di depan pembaringan besar yang tertutup kelambu itu terdapat sepasang sepatu laki-laki dan dua pasang sepatu wanita. Hemm, Lui-taijin sedang tidur bersama dua orang selirnya, pikir Cin Han dan mukanya berubah merah.

   Sampai sekarang, pembesar itu ternyata masih saja merupakan seorang laki-laki yang menjadi hamba nafsunya, bersenang-senang dengan wanita. Karena wataknya itulah maka ibu kandungnya menjadi korban dan ayahnyapun sampai dienyahkan agar pembesar rakus itu dapat menguasai ibunya. Teringat akan semua ini, kemarahan besar membakar hatinya dan dengan ringan sekali Cin Han melayang masuk ke dalam kamar itu. Kedua kakinya tidak mengeluarkan suara ketika dia hinggap di atas lantai dalam kamar itu. Dia menghampiri pembaringan, akan tetapi ketika tangannya sudah menjangkau kc depan untuk menyingkap kelambu, dia menahan tangannya dan mukanya menjadi semakin marah, dia merasa betapa tidak sopannya membuka kelambu tempat tidur orang di mana sedang tidur seorang laki-laki bersama dua orang selirnya.

   "Jaksa Lui, keparat busuk, bangunlah!"

   Akhirnya dia membentak dan menendang pinggiran tempat tidur sehingga pembaringan itu terguncang keras. Terdengar jeritan-jeriyan wanita. Kelambu terkuak dari dalam dan dua orang wanita muda cantik, dalam keadaan setengah telanjang dan menutupi tubuh dengan selimut, berhamburan keluar dari pembaringan. Seorang laki-laki yaag bertubuh pendek gemuk, dengan perut gendut sekali, menggelinding keluar dari pembaringan saking takutnya dan melihat orang ini, Cin Han tertegun. Orang ini bukan Lui Taijin! Biarpun sudah sebelas tahun terlewat, dia tentu akan mengenal Lui Taijin yang tentu telah berusia lebih dari lima puluh tahun. Akan tetapi orang ini berusia empat puluh tahun lebih dan tubuhnya pendek gendut, sebaliknya dari tubuh Lui Taijin yang tinggi kurus, juga wajahnya sama sekali berbeda.

   "Siapa engkau?"

   Cin Han membentak sambil mencengkeram rambut orang itu dengan sikap mengancam.

   "Dan katakah di mana adanya Lui Taijin?"

   Akan tetapi, orang gendut itu ternyata bukan orang lemah dan bukan pula penakut. Dia meronta dan kedua tangannya bergerak menyerang ke depan, yang kanan mencengkeram kearah muka Cin Han sedangkan yang kiri menghantam ke arah dada pemuda itu.

   Gerakannya cukup cepat dan kuat, tanda bahwa si gendut, ini pandai silat pula. Karena bukan ini orang yang dicarinya, Cin Han tentu saja tidak berniat membunuhnya, maka dia melepaskan cengkeraman pada rambut dan mendorongnya ke belakang. Gagallah serangan orang itu, bahkan tubuhnya terjengkang keras dan terbanting ke atas lantai. Segera dia berteriak-teriak memanggil pengawal dan saat itu, dua orang wanita muda yang tadi sudah turun terlebih dahulu dari pembaringan-dan sekarang saling rangkul di sudut kamar sambil menangis dan lantai di bawah mereka basah karena mereka terkencing-kencing saking takutnya, merekapun mulai menjerit-jerit. Menghadapi keributan ini, Cin Han menjadi-bingung.

   Dia sudah mendengar suara kaki berlarian menuju ke kamar itu, maka diapun cepat meloncat ke atas, menerobos lubang di atas genteng. Dia tidak perduli lagi kepada mereka yang kini ribut-ribut di dalam kamar orang gendut itu, dan dengan beberapa kali loncatan, dia sudah turun ke dalam taman. Tukang kebun itu! Dia gagal menemukan Lui Taijin, akan tetapi di sana ada Phang Lok! Teringat kembali dia akan perbuatan Phang Lok yang memukulnya roboh, kemudian memperkosa ibunya di depan matanya dan kemarahannyapun berkobar. Dia akan berurusan dengan Lui Taijin, hal ini sudah pasti, akan tetapi kelak, setelah dia menghajar Phang Lok lebih dahulu. Dengan beberapa kali loncatan saja dia sudah tiba di depan gubuk yang masih terang dan dengan marah dia menendang pintu gubuk itu.

   "Brakkkk...!"

   Pintu itu jebol dan Cin Han meloncat ke dalam.

   "Haiiii...!"

   Dari dalam terdengar orang berteriak dan kembali Cin Han tertegun ketika melihat orang yang bangkit dari pembaringan itu. Bukan Phang Lok! Orang inipun belum empat puluh tahun usianya, sedangkan Phang Lok sekarang tentu sudah lima puluh tahun lebih, dan orang ini bermuka hitam dan tubuhnya kurus kecil, tidak seperti Phang Lok yang tinggi besar dan bermuka bopeng. Tidak ada orang lain lagi di dalam pondok ini dan orang itupun kini sudah membentaknya dengan marah.

   "Siapakah engkau dan mau apa masuk merusak daun pintu? Apakah engkau sudah bosan hidup? Akan kupanggil penjaga dan..."

   Ciu Han sudah bergerak ke depan dan sekali jari tangannya bergerak menotok, orang itupun terkulai lemas.

   Dia cepat menangkap dan mengempit tubuh orang itu dan dibawanya lari menuju ke pagar tembok. Ada beberapa orang penjaga melakukan pengejaran ketika melihat bayangannya. Mereka berteriak-teriak menyuruhnya berhenti, akan tetapi Cin Han melanjutkan larinya dan meloncat ke atas pagar tembok, kemudian menghilang ke dalam gelap sambil mengempit tubuh orang yang menghuni gubuk tukang kebun di sudut taman itu. Gegerlah gedung tempat tinggal pembesar itu. Sang pembesar gendut marah-marah dan mengerahkan para prajurit pengawal untuk mencari pemuda tadi, namun usaha mereka, sia-sia belaka. Bahkan ketika pasukan keamanan melakukan pencarian di dalam kota, di penginapan-penginapan, pada waktu itu Cin Han sudah berada jauh di luar kota, di sebuah tempat yang sunyi bersama tawanannya.

   "Ampunkan saya... saya orang miskin tidak punya apa-apa... saya hanya seorang pekerja biasa..."

   Orang itu meratap ketika Cin Han melempar tubuhnya ke atas tanah dan membebaskan totokannya. Orang itu berlutut dengan ketakutan

   "Aku tidak akan menyakitimu kalau saja engkau mau mengaku sejujurnya. Apakah engkau tukang kebun di rumah gedung itu?"

   "Benar... kongcu (tuan muda)."

   Cin Han menahan senyumnya mendengar dia disebut tuan muda itu, akan tetapi dia tidak perduli.

   "Lalu di mana adanya Phang Lok, tukang kebun yang dulu?"

   "Saya... saya tidak mengenal orang yang bernama Phang Lok. Ketika saya bekerja di sana, tujuh delapan tahun yang lalu, pondok itu sudah kosong. Agaknya kongcu maksudkan tukang kebun dari majikan yang dahulu..."

   Cin Han terkejut dan teringat akan laki-laki gendut itu.

   "Bukankah gedung itu rumah kediaman keluarga Jaksa Lui?"

   "Bukan, kongcu. Majikan saya adalah Jaksa Thio..."

   "Si gendut itu?"

   "Benar, majikan saya, Thio Tai-jin. bertubuh gemuk...

   "

   "Ahhh...!"

   

Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini