Dendam Membara 4
Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Kini tahulah Cin Han bahwa orang-orang-yang dicarinya, Lui Taijin dan Phang Lok, sudah tidak lagi tinggal di tempat itu.
"Jadi keluarga Lui sudah pindah? Ceritakan, sejak kapan mereka pindah dan ke mana pindahnya?"
"Saya tidak tahu dengan jelas, kongcu, hanya mendengar dari percakapan para pengawal. Katanya, bangsawan yang dahulu tinggal di situ, Lui Taijin, sudah pindah dan pulang kampung mereka dan sejak itu, kami tidak pernah lagi mendengar kabarnya. Itupun saya dengar dari para prajurit..."
"Di mana kampung mereka itu?"
"Kabarnya di dusun... eh, dusun Liang... ok-bun, ya, dusun Liang-ok-bun di dekat kota Bin juan. Benar, sekarang saya teringat, mereka pindah ke dusun itu yang menjadi kampung halaman Lui Taijin."
Cin Han mengangguk-angguk, girang juga mendengar keterangan ini, akan tetapi juga terkejut karena kota Bin-juan adalah kota yang terletak dikaki pegunungan Heng-tuan-san itu, di mana dia diganggu perampok. Kiranya selama ini keluarga Lui tinggal tidak jauh dari kuil di mana dia tinggal, kalau dia tinggal di puncak Bukit Mawar, satu di antara bukit-bukit di Pegunungan Heng-tuan-san, keluarga Lui tinggal di kaki pegunungan itu.
"Dan di mana adanya Phang Lok, dahulu tukang kebun dari keluarga Lui?"
"Maaf, kongcu, sungguh mati saya tidak tahu dan para prajurit itu tidak pernah membicarakan tentang dia."
Cin Han mengangguk-angguk. Siapa yang akan bicara tentang seorang tukang kebun.. Akan tatapi, kalau dia sudah dapat menemukan Lui Taijin, kiranya tidak akan sukar menemukan di mana adanya tukang kebun itu. Bahkan mungkin sekali Phang Lok sekarang masih menjadi pelayan keluarga Lui. Dia harus mencari keluarga Lui. Sekarang juga!! Tanpa banyak cakap diapun berkelebat pergi. Dusun Liang-ok-bun terletak di sebelah timur kota Bin-juan, merupakan sebuah dusun pertanian yang tanahnya subur. Sawah ladang nampak kehijauan di musim semi itu dan pemandangan alamnya di kaki Pegunungan Heng-tuan-san itu serba indah dan menyejukkan hati. Suasana alamnya menimbulkan kedamaian hati, namun hati Cin Han tidaklah sedamai itu.
Dia memasuki dusun dengan dendam di dalamnya, agak gelisah karena khawatir kalau-kalau dia akan gagal lagi menemukan musuh besarnya. Tidaklah sukar menemukan rumah keluarga-Lui di dusun yang jumlah penduduknya hanya di bawah dua ratus keluarga itu. Apa lagi karena keluarga Lui yang pindah dari kota Wan-sian cukup terkenal, bahkan amat dikenal oleh penghuni dusun Liang-ok-bun. Dengan ramah mereka memberi tahu kepada Cin Han di mana letak rumah keluarga Lui, seolah-olah mereka merasa gembira sekali bertemu dengan seorang tamu keluarga Lui. Rumah itu cukup besar apabila dibandingkan dengan rumah-rumah lain didusun itu. Dan terawat rapi dan bersih, juga taman bunga di depan rumah itu penuh dengan bunga-bunga indah, di samping kirinya terdapat sebuah kebun yang ditumbuhi pohon-pohon buah.
Nampak sunyi saja ketika Cin Han pada pagi hari yang tenang itu memasuki pekarangan rumah. Cahaya matahari mulai hangat dan cerah menembus celah-celah daun pohon, Cin Han merasa aneh sekali mengapa dalam suasana yang demikian penuh kedamaian dia datang untuk membunuh! Akan tetapi, dendam dalam hatinya haruslah dihanyutkan dalam perbuatan, dalam pembalasan yang sudah diinginkannya sejak bertahun-tahun. Begitu dia tiba di beranda yang nampak sunyi dan kosong, dia mendengar langkah kaki dari dalam. Dia berdiri dan memperhatikan, lalu melihat munculnya seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian seperti pelayan, muncul dari dalam dan memandang kepadanya dengan ramah.
"Aih, kiranya ada tamu!"
Kata orang itu sambil menghampiri Cin Han, memandang penuh perhatian lalu melanjutkan,
"Saya belum pernah melihat kongcu. Siapakah kongcu ini dan ada keperluan apa datang berkunjung?"
Pertanyaannya tetap ramah dan mengandung, keheranan karena bagaimanapun juga, dari sikap dan pakaiannya dia dapat menduga bahwa pemuda yang datang ini bukanlah seorang pemuda dusun itu, bahkan sama sekali bukan seorang pemuda petani.
"Memang baru sekarang saya datang untuk mencari bekas Jaksa Lui dari kota Wan-sian. Benarkah di sini rumahnya?"
Laki-laki itu memandang wajah Cin Han dengan alis berkerut dan kini sinar matanya memandang penuh selidik. Pertanyaan pemuda itu menunjukkan bahwa pemuda itu benar-benar seorang asing dan diapun menjadi curiga.
"Ada keperluan apakah kongcu mencari Lo-ya (tuan tua Lui)? Dan siapakah kongcu ini, datang dari mana?"
Cin Han mulai merasa tidak sabar. Orang ini, melihat pakaiannya, hanya seorang pelayan dan dia yakin bahwa benar musuh besarnya berada di sini, maka diapun menjawab cepat.
"Engkau tidak perlu tahu siapa aku, dan harap segera beritahukan kepada Lui-loya bahwa aku ingin bertemu dan bicara dengan dia mengenai urusan pribadi yang teramat penting!"
"Maaf, kongcu. Saya adalah pengurus di rumah ini, bukan hanya mengurusi rumah, akan tetapi juga semua urusan oleh lo-ya telah diserahkan kepada saya. Urusan jual beli hasil pertanian, urusan tanah atau..."
"Sudahlah... aku tidak mempunyai urusan denganmu,"
Kata Cin Han, kini agak marah.
"Masuklah dan beri tahu kepadanya bahwa aku datang mencarinya!"
"Tapi... tapi... dia sedang sakit. Mau apakah kongcu mencarinya?"
Orang itu berkeras membantah, bahkan kini berdiri menghadang di depan pintu yang menuju ke dalam, seolah-olah hendak menghalangi pemuda itu masuk ke dalam, Melihat sikap ini, Cin Han menjadi semakin tak sabar lagi.
"Aku mau membunuhnya!"
Tiba-tiba saja sepasang mata itu terbelalak, mulutnya ternganga dan mukanya berubah pucat bukan main. Orang itu memalangkan kedua lengan ke kanan kiri dan menghadapi Cin Han dengan nekat.
"Tidak! Engkau atau siapapun tidak boleh membunuhnya! Tolooonggg ada pembunuh...!"
Tentu saja Cin Han menjadi semakin mendongkol.
"Minggirlah!!"
Bentaknya dan diapun mendorong pundak orang itu. Sekali dorong saja, orang itu terpelanting, akan tetapi dengan nekat dia bangkit kembali dan menghadang di depan pintu.
"Tidak, engkau tidak boleh membunuhnya! Tidak boleh... biar engkau bunuh aku lebih dahulu!"
Melihat kenekatan ini, hati Cin Han tertarik. Jelas orang ini bukan tukang pukul, bukan pula orang jahat yang suka mempergunakan kekerasan, melainkan seorang pelayan biasa. Akan tetapi kenapa dia membela majikannya demikian mati-matian dan setia?
"Eh, bukankah engkau ini hanya seorang pelayan saja? Kenapa mati-matian hendak membela majikanmu?"
"Anjingpun akan setia dan membela majikannya yang baik hati, apa lagi manusia!"
Jawab orang itu dan kembali Cin Han tertegun heran. Ada yang menganggap Lui Taijin seorang yang baik hati sehingga orang ini begini mati-matian hendak membelanya? Sukar untuk dapat menerima kenyataan baru ini. Baginya, orang she Lui itu adalah sejahat-jahatnya orang, telah meracuni ayah kandungnya dan mempermainkan ibu kandungnya. Dibunuh seratus kalipun belum cukup untuk menebus dosanya!
"Minggirlah, paman. Sungguh aku tidak mempunyai urusan denganmu dan tidak ingin mengganggumu. Minggir dan jangan mencampuri urusan pribadiku dengan orang she Lui itu."
"Tidak, biar aku dibunuh, aku tidak mau membiarkan engkau masuk!!"
Orang itu berkeras
"Pergilah engkau, pembunuh dan jangan ganggu kami orang baik-baik!"
"Orang baik-baik??"
Cin Han mengulang dan kini orang itu malah memukulnya. Tentu saja pukulan itu sama sekali tidak ada artinya bagi Cin Han dan ketika dia menangkis kembali orang itu terpelanting. Tiba-tiba terdengar suara bentakan halus dan nyaring,
"Manusia jahat, berani engkau mendatangkan keributan di rumah kami?"
Cin Han membalikkan tubuhnya dan dia terpesona! Gadis itu! tak salah lagi, gadis yang pernah membuatnya tak dapat tidur itu, kini tiba-tiba muncul lagi. Demikian cantik jelita, demikian lincah dan gagah!
"Siocia, penjahat ini datang untuk membunuh loya! Dia berkeras hendak menerjang masuk dan membunuhnya!"
Pelayan itu sudah cepat berlari dan agaknya dia merasa lega dan gembira melihat nona majikannya pulang karena dia maklum akan kelihaian nonanya. Mendengar laporan ini, sepasang mata yang bening dan tajam seperti mata burung Hong itu terbelalak, mukanya menjadi merah, dan mengerutlah sepasang alis yang hitam kecil panjang itu.
"Apa? Engkau datang untuk membunuh ayahku? Keparat! Sebelum aku menghajarmu, katakan dulu siapa engkau dan mengapa pula engkau hendak membunuh ayahku!!"
Kini wajah Cin Han berubah agak pucat dan dia merasa jantungnya seperti ditusuk, Gadis ini puteri musuh besarnya, puteri Lui Tai jin! Kalau begitu ia... ia... Nona Kim Eng... tak terasa lagi nama ini keluar dari mulutnya. Gadis itu memang Lui Kim Eng, puteri dan anak tunggal bekas Jaksa Lui yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa berusia tujuh-belas tahun. Mendengar orang itu menyebut namanya, Kim Eng juga menjadi kaget dan memandang penuh perhatian.
"Hemm, agaknya engkau mengenalku dan mengenal keluargaku. Akan tetapi aku tidak tahu siapa engkau dan apa pula maksudmu hendak membunuh ayahku."
Ia mengamati wajah itu, dan kini ia merasa seperti mengenal wajah pemuda yang hendak membunuh ayahnya ini.
"Kau... kau... siapakah engkau?"
"Nona Kim Eng. aku adalah Cin Han..."
Kim Eng mengerutkan alisnya, mengingat-ingat karena ia sudah lupa lagi akan nama itu. Kemudian ia teringat akan anak laki-laki yang pernah bekerja pada keluarganya ketika mereka masih tinggal di Wan-sian, anak laki-laki yang menjadi kacung, putera dari seorang pelayan wanita.
"Aihh... Engkau... engkau anak laki-laki she Bu itu yang ibunya mati membunuh diri..."
Ketika Cin Han mengangguk, wajah Kim Eng menjadi merah dan ia semakin marah.
"Bagus! Manusia tidak mengenal budi! Keluarga orang tuamu bekerja pada ayah, bahkan kalau tidak salah mendiang ayahmu pernah pula bekerja pada keluarga kami, ibumu menjadi pelayan dan engkau sendiri tinggal di sana. Seluruh keluargamu mendapat segalanya dari ayahku, dan sekarang setelah menjadi dewasa, engkau datang untuk membalas semua kebaikan itu dengan membunuh ayahku? Keparat, engkau sungguh jahat!"
Dan tiba-tiba saja Kim Eng sudah menyerangnya dengan dahsyat sekali. Tamparan tangan kiri gadis itu mengarah kepalanya, sedangkan jari tangan kanan menyusulkan totokan ke arah jalan darah di dada kiri. Sungguh merupakan serangan yang cepat dan kuat, berbahaya sekali. Menghadapi serangan ini, Cin Han cepat menghindarkan diri dengan gegeran kaki ke belakang dan miringkan tubuhnya. Akan tetapi, begitu serangan kedua tangannya luput, Kim Eng sudah menyusulkan tendangan beruntun sampai empat kali! Kembali Cin Han mengelak cepat sehingga kedua kaki gadis itu yang melayang bergantian hanya mengenai tempat kosong.
"Hemm, kiranya engkau pernah belajar ilmu silat, pantas menjadi kepala besar dan berani mati. Akan tetapi jangan harap akan dapat membunuh ayah selama aku masih berada di sini!"
Kata Kim Eng yang menjadi semakin penasaran, kini menyerang semakin hebat dan gencar.
Diam-diam Cin Han terkejut. Ilmu silat gadis ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan! Diapun bergerak dengan cepat, menangkis atau mengelak untuk menyelamatkan diri dari hujan serangan yang dilakukan gadis itu. Diapun balas menyerang, akan tetapi bukan untuk melukai, apa lagi merobohkan lawan, melainkan untuk membendung datangnya serangan yang demikian dahsyat dan gencarnya. Hatinya terpikat oleh gadis ini sejak pertemuan pertama, dan siapa kira bahwa gadis yang membuatnya tergila-gila itu bukan lain adalah Lui Kim Eng gadis yang di waktu kecilnya sudah bersikap ramah kepadanya dan yang bukan lain adalah puteri tunggal musuh besarnya sendiri!
Kenyataan ini membuat hatinya nyeri, akan tetapi permusuhan dan kebenciannya terhadap ayah gadis ini sama sekali tidak melenyapkan rasa kagum dan cintanya terhadap Kim Eng. Sebaliknya, rasa kagum dan cintanya terhadap gadis itupun tidak mampu mengusir kebencian yang terkandung di dalam hatinya di mana dendam membara sejak dia kecil. Dia banyak mengalah dalam perkelahian ini, dan hanya mempergunakan kecepatan dan kekuatan tubuhnya untuk membela diri tanpa niat sedikitpun untuk mengalahkan Kim Eng. Sementara itu, Lui Kim Eng juga merasa terkejut dan terheran-heran. Ia tidak mengenal Cin Han sebagai pemuda yang pernah ditolongnya dari serangan perampok beberapa pekan yang ialu. Dalam pertemuan itu, beberapa kali ia mengalami guncangan batin yang hebat.
Mula-mula melihat bahwa Cin Han, kacung itu, kini bukan saja telah menjadi seorang pemuda yang tampan, akan tetapi juga seorang pemuda yang hendak membunuh ayahnya! Dan kini, semua serangannya gagal! Hal ini membuat ia terkejut, terheran dan penasaran sekali. Semenjak kurang lebih tujuh delapan tahun yang lalu, setelah ayahnya memboyong keluarganya meninggalkan kota diam-diam dan pindah ke dusun ini, ia berguru kepada seorang sakti yang menyatakan bahwa ia berbakat sekali, dan bahkan gurunya sendiri mengatakan bahwa ia telah menguasai banyak ilmu silat yang tinggi dan bahwa ia sudah memiliki ketangguhan yang sukar menemui tandingan. Hal ini sudah dibuktikannya sendiri karena entah sudah berapa puluh kali ia menghajar dan membasmi gerombolan penjahat yang suka mengganggu di daerah Bin-juan dan sekitarnya.
Dusunnya sendiri, Liang-ok-bun, kini menjadi sebuah dusun yang amat tenteram setelah ia dan suhengnya, yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi darinya, melakukan pembersihan dan membasmi semua gerombolan penjahat. Akan tetapi mengapa sekarang, menghadapi Cin Han, bekas kacung itu, ia telah menyerang lebih dari tiga puluh jurus dan belum pernah ia berhasil menyentuhnya? Bahkan kadang-kadang kalau pemuda itu menangkis, ia sempat terhuyung. Dan ia bukan seorang anak kecil, melainkan seorang gadis dewasa yang berilmu tinggi sehingga tentu saja ia maklum bahwa dalam perkelahian itu, Cin Han tidak pernah membalas dengan serangan berat. Pemuda itu seolah-olah mengalah! Hal inilah yang membuatnya merasa penasaran sekali, karena dianggapnya Cih Han memandang rendah kepadanya.
"Singgg...!"
Nampak sinar berkelebat ketika Kini Eng mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Sebatang pedang yang pendek saja, hanya dua kaki, namun bermata dua dan tajam, juga runcing sehingga baja itu mengeluarkan sinar kebiruan dan ronce-ronce merah menghias gagang pedang. Akan tetapi Kim Eng tidak segera menggerakkan pedang menyerang, melainkan berdiri tegak dengan pedang di tangan kanan, dipegang di depan dahi dan menuding lurus ke atas, sedangkan tangan kirinya diletakkan di depan dada dengan miring, jari telunjuk dan tengah juga menunjuk ke atas, tiga lainnya ditekuk.
"Keluarkan senjatamu!"
Bentaknya dengan, sepasang mata tajam berkilauan seperti mata pedangnya memandang kepada wajah Cin Han. Melihat Kim Eng mengeluarkan sebatang pedang, diam-diam Cin Han merasa semakin khawatir dan bingung. Sejak perkelahian tadi dimulai, dia sudah bingung sekali. Terjadi pula perkelahian di dalam batinnya, antara cinta terhadap gadis itu dan bencinya terhadap ayah gadis itu. Kita biasa saling menghadapkan dendam dan cinta, seolah-olah cinta adalah lawan dari benci. Inilah sebabnya mengapa seringkah terjadi orang yang tadinya mengaku paling mencinta setengah mati, di lain waktu berubah menjadi saling membenci setengah mati!! Jelaslah bahwa..
"cinta"
Dan benci seperti itu pada hakekatnya sama saja, bersumber sama, yaitu dari nafsu! Nafsu mengejar kesenangan pribadi, menimbulkan cinta dan benci seperti itu.
Kalau disenangkan, maka cintalah, kalau disusahkan maka bencilah yang timbul sebagai gantinya. Namun, cinta yang sesungguhnya jauh lebih besar dari pada itu. Cinta adalah suci, murni, menjadi sifat dari Tuhan. Tuhan adalah Cinta, Tuhan adalah Hidup. Tuhan adalah Kebenaran dan Kenyataan! Kalau dalam batin kita terdapat cinta, maka segala apapun yang kita lakukan adalah benar dan baik. Kalau batin kita diterangi sinar cinta kasih, tidak mungkin ada dendam, tidak mungkin ada kebencian. Cinta tidak dapat dipelajari, tidak dapat dilatih, tidak dapat dicari. Cinta datang dengan sendirinya menerangi batin yang bersih, batin yang kosong dan bebas, batin yang tidak dipenuhi dengan pengaruh dan kekuasaan si-aku dengan seribu satu keinginannya.
Bagaikan sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar yang jendela dan pintunya terbuka, melalui kaca-kaca yang bersih dari kotoran dan debu, demikian pula cinta kasih menerangi batin yang kosong dan bersih. Dan batin baru dapat kosong dan bersih kalau kita mengenal diri sendiri lahir batin, mengenal kekotoran sendiri, waspada dan sadar sehingga mulai detik ini pula, membuang semua kotoran dan tidak membiarkan debu dan kotoran baru memasuki, rongga batin kita. Cin Han masih bingung menghadapi Kim Eng yang sudah siap dengan pedangnya. Dia amat kagum kepada gadis itu, cantik jelita dan gagah perkasa, dan kenangan manis tentang Kim Eng di waktu kecil, begitu mungil dan manis, menambah kemesraan yang tumbuh di dalam hatinya. Dia memang tidak memiliki senjata. Gurunya pernah berkata,
"Muridku yang baik, ilmu silat bukan alat untuk membunuh atau mencelakai orang. Ilmu silat hanya untuk menyehatkan diri lahir batin, untuk menyalurkan keindahan dalam gerak, dan untuk menghindarkan diri dari ancaman bahaya. Tidak demikian dengan senjata. Senjata sifatnya ganas dan keras, lebih condong untuk merobohkan lawan. Senjata yang paling ampuh dan baik adalah anggauta tubuh kita sendiri, asal dipergunakan dengan tepat dan dilatih dengan tekun. Kaki tanganmu tidak kalah oleh senjata apapun juga."
Karena, demikian pendapat gurunya, maka diapun tidak pernah memegang senjata dan semua ilmu silat yang dipelajarinya dari Hek-bin Lohan adalah ilmu silat tangan kosong.
"Nona, aku... aku tidak ingin berkelahi atau bermusuhan denganmu atau dengan siapa juga."
Akhirnya dia berkata sambil memandang wajah yang manis ini. Gadis itu mengeluarkan suara mengejek,
"Huh, engkau tidak ingin berkelahi atau bermusuhan, akan tetapi ingin membunuh ayahku!. Apakah engkau sudah gila? Hayo cepat keluarkan senjatamu, kalau tidak, aku... aku akan menyerangmu dengan pedang ini!"
"Aku tidak mempunyai senjata... aku, aku harus membunuh ayahmu, dan aku tidak ingin berkelahi denganmu..."
Bagaikan seorang yang ling-lung Cin Han berkata, suaranya seperti orang memohon pengertian. Kim Eng menjadi semakin marah.
"Bagus!! Engkau harus membunuh ayahku, ya? Kalau begitu aku akan membunuhmu lebih dulu!"
Setelah berkata demikian, gadis itu lalu menyerang dengan tusukan pedangnya.
Ujung pedang menyambar ke arah tenggorokan Cin Han yang cepat mengelak dengan menggeser kaki ke belakang dan menjauhkan tubuh sehingga ujung pedang itu tidak sampai mengenai sasaran. Akan tetapi, Kim Eng sudah melangkah maju dan kini pedangnya diputar cepat, mengirim serangan bertubi-tubi, tusukan dan bacokan silih berganti menyambar-nyambar ke arah tubuh Cin Han! Kembali pemuda ini kaget. Kalau ilmu silat tangan kosong gadis itu sudah hebat tadi, kini ilmu pedangnya ternyata lebih dahsyat lagi. Gerakannya demikian ringan dan cepat, juga mengandung tenaga yang kuat sehingga dia tidak akan berani secara gegabah menyambut pedang itu dengan lengan dan tangan, walau telah mengerahkan sin-kang sekalipun.
Maka Cin Han lalu mempergunakan langkah-langkah aneh untuk menghindarkan diri, tubuhnya juga menyelinap di antara sambaran pedang, kadang-kadang saja dari samping dia berani menyampok pedang dengan tangan dan berusaha untuk menotok atau mencengkeram ke arah lengan kanan Kim Eng yang memegang pedang. Gadis itupun diam-diam merasa kaget dan kagum bukan main. Biarpun tadi tidak pernah mengakui dengan kata-kata, namun di dalam hatinya ia mengakui keunggulan pemuda itu ketika mereka berkelahi dengan tangan kosong. Ia sudah kagum sekali, akan tetapi kini, melihat betapa semua serangan pedangnya dapat dihindarkan dengan baik bahkan beberapa kali lengannya terancam oleh cengkeraman dan totokan Cin Han ia sungguh merasa kagum dan heran.
Suhengnya sendiri, jangan harap akan mampu menandinginya lebih dari dua puluh jurus kalau ia berpedang dan suhengnya bertangan kosong. Akan tetapi, sudah hampir tiga puluh jurus ia menyerang, belum juga pedangnya mampu merobohkan Cin Han. Jangankan merobohkan atau melukai, bahkan mengenai ujung bajunya-pun belum! Dan iapun tahu bahwa pemuda ihi tetap saja masih mengalah biarpun menghadapi pedangnya dengan tangan kosong. Kalau pemuda ini bersungguh-sungguh dan membalas serangannya dengan serangan yang berisi, mungkin sudah sejak tadi ia roboh. Akan tetapi, ia selalu teringat bahwa pemuda ini merupakan bahaya bagi keselamatan ayahnya, maka dengan nekat iapun menyerang terus. Pada saat itu, terdengar seruan,
"Aihhh... Kim Eng, jangan berkelahi... hentikan seranganmu itu...!"
Kim Eng mengenal suara ibunya, maka iapun meloncat mundur ke dekat ibunya. Legalah hati Cin Han dan diapun berdiri menghadapi dua orang wanita itu dengan sikap tenang.
"Ibu, dia ini orang jahat, dia datang hendak membunuh ayah!! Karena itu aku harus membunuhnya lebih dahulu!"
Kata Kim Eng, membela diri karena teguran ibunya dalam suara tadi dan dalam pandang matanya. Wanita itu adalah Lui Toa-nio (Nyonya Besar Lui), isteri bekas jaksa Liu yang segera dikenal oleh Cin Han. Nyonya itu kini nampak tua, dan pakaiannya tidaklah seindah dahulu. Juga Kim Eng mengenakan pakaian sederhana dan ringkas, bukan pakaian bangsawan seperti dahulu. Mendengar keterangan puterinya, Lui Toa-nio yang baru datang itu terkejut dan memandang kepada Cin Han, Mereka saling pandang, dan sinar mata nyonya itu mengandung keheranan karena ia mengenal pemuda itu!
"Kau... bukankah Bu Cin Han yang dulu pernah berada di rumah tangga keluarga kami...?"
Cin Han segera memberi hormat kepada nyonya tua itu. Dia teringat betapa nyonya ini merupakan orang yang bijaksana dan baik sekali, sungguh seperti bumi dengan langit kalau dibandingkan dengan suaminya. Bahkan ketika dia diusir dari rumah keluarga itu, nyonya inilah yang bersikap baik kepadanya, memberinya bekal uang.
"Benar sekali, toa-nio. Saya adalah Bu Cin Han. Maafkan kedatangan saya seperti ini, toa-nio, akan tetapi saya kira toa-nio juga mengerti mengapa saya bermaksud membunuh suami toa-nio."
"Ahhhh...!!"
Wanita tua itu menutupi muka dengan kedua tangannya dan ia menangis. Melihat ini, Kim Eng menjadi marah lagi.
"Ibu, biar kubunuh keparat ini!"
Ia sudah hendak menerjang lagi ketika ibunya memegang lengannya.
"Jangan, Kim Eng..., di... dia memang beralasan untuk membunuh ayahmu..."
Dan kini air mata bercucuran dari kedua mata wanita tua itu. Betapa banyak penderitaan dialami semenjak menjadi isteri dari ayah Kim Eng.
Dahulu, di waktu ia masih muda, suaminya itu yang masih menjadi seorang pejabat yang berkuasa dan kaya raya, selalu menyakiti hatinya dengan mengumpulkan banyak selir dan selalu berganti kekasih baru tanpa memperdulikan perasaan hatinya.Kemudian, malapetaka itu tiba, Suaminya kena fitnah dan dipecat dari kedudukannya dengan tidak hormat, bahkan harta bendanya disita pemerintah sehingga mereka jatuh miskin dan terpaksa pindah ke dusun itu tanpa membawa apa-apa. Semua selir juga meninggalkan suaminya, demikian pula semua kawan lama. Hanya ia dan puterinya, dan pelayan yang seorang itu saja yang dengan setia terus mengikutinya. Ia tahu pula akan peristiwa kematian ayah Bu Cin Han ini, juga tentang kematian ibunya. Mendengar ucapan ibunya, seketika wajah Kim Eng menjadi pucat sekali.
"Apa kata ibu? Dia beralasan hendak membunuh ayah? Apa yang telah dilakukan ayah kepadanya? Bukankah dahulu kita bersikap baik kepadanya, juga kepada ibunya yang membunuh diri itu?"
"Aiihh... engkau memang tidak pernah tahu tentang ayahmu, Kim Eng... dan aku selalu menyembunyikannya darimu agar engkau tidak memandang rendah kepada ayahmu! Akan tetapi, sekarang... agaknya terpaksa aku harus menceritakan kepadamu..."
"Tidak! Aku tidak perduli apapun yang pernah dilakukan ayah kepadanya, akan tetapi aku akan membela ayah dengan jiwaku kalau dia hendak membunuhnya!!"
Kembali Kim Eng siap untuk menyerang Cin Han,
"Cin Han, engkau datang untuk membunuh suamiku. Nah, jelaskanlah, apa yaog telah dilakukan suamiku terhadap dirimu maka engkau mendendam kepadanya?"
Tanya nyonya itu,
"Akan tetapi... saya yakin bahwa toa-nio sudah tahu..."
Kata Cin Han.
"Aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri,"
Jawab nyonya itu karena ia belum yakin apakah Cin Han telah mengetahui semuanya. Sebetulnya Cin Han tidak ingin menceritakan semua sebab dendamnya di depan Kim Eng karena dia tidak ingin membuat gadis itu berduka, akan tetapi kini dia terpaksa bicara, bahkan diapun menganggap bahwa sebaiknya kalau gadis itu mengetahui agar tidak merasa penasaran lagi!!
"Ayah saya yang menjadi pegawai Lui Tai-jin telah tewas karena diracun oleh Lui Tai-jin agar ibu saya dapat dijadikan selirnya. Setelah dia bosan kepada ibu saya, lalu ibu saya diberikan dengan paksa kepada tukang kebun Pbang Lok. Ibu saya diperkosa oleh Phang Lok di depan mata saya, kemudian ibu saya membunuh diri dengan membenturkan kepala di dinding."
Selama bercerita dengan singkat ini, pandang mata Cin Han tidak pernah meninggalkan wajah Kim Eng dan gadis itupun mendengarkan sambil memandang kepadanya. Dia melihat betapa sepasang mata gadis itu terbelalak dan mukanya menjadi semakin pucat.
"Bohong!! Dia membohong, ibu!! Tidak mungkin ayah melakukan perbuatan sejahat itu!"
Kim Eng berseru marah.
"Ada benarnya, ada pula bagian yang tidak benar,"
Kata Nyonya Lui kepada Kim Eng, juga kepada Cin Han karena kini ia memancang kepada pemuda itu.
"Agaknya engkau memperoleh keterangan yang tidak benar seluruhnya, orang muda. Dari siapakah engkau memperoleh keterangan sumua itu?"
"Dari mendiang ibu, sebelum ia meninggal dunia karena bunuh diri."
Nyonya itu mengangguk-angguk.
"Terserah engkau mau percaya atau tidak kepadaku, Cin Han, akan tetapi aku harus menceritakan hal yang sebenarnya kepadamu, sama sekali bukan untuk membela suamiku, melainkan menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi. Suamiku memang seorang yang lemah sekali terhadap wanita... semoga Tuhan mengampuninya, akan tetapi dia bukan seorang jahat yang berhati kejam. Ketahuilah, mendiang ayahmu, merupakan seorang pegawai yang setia dan sudah bertahun-tahun bekerja pada suamiku. Karena itu, ketika dia mengajukan permohonan agar, isteri dan anaknya boleh diboyong ke dalam perumahan kami, suamiku menyetujuii. Isteri ayahmu, yaitu ibu kandungmu, masih muda dan ia cantik manis, juga... genit."
"Ini bukan kukatakan karena aku cemburu, Cin Han. Sudah terlampau biasa aku melihat suamiku menyukai wanita lain sehingga tiada cemburu lagi di hatiku. Baru beberapa pekan saja tinggal di rumah kami, suamiku tergila-gila dan ibumu... menyambut uluran cintanya. Aku pura-pura tidak tahu saja. Akan tetapi pada suatu malam, ayahmu sakit keras, muntah-muntah dan meninggal dunia! Dan keterangan (Lanjut ke Jilid 04)
Dendam Membara (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
tabib, kami tahu bahwa ayahmu, meninggal karena keracunan."
Cin Han mengepal tinjunya.
"Diracun oleh Lui Tai-jin, tentu dengan menyuruh orang, lain."
"Bukan, Cin Han. Ayahmu keracunan karena, racun yang ditaruh ke dalam makanannya ketika dia makan malam dan yang menaruh racun itu adalah... ibumu sendiri..."
Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak... Tidak mungkin...!!."
Cin Han berteriak, wajahnya menjadi pucat sekali. Nyonya itu tersenyum sedih.
"Sudah sepatutnya engkau tidak percaya, akan tetapi demikianlah kenyataannya. Dua orang pelayan melihat ketika ibumu membuang sisa makanan dan sisa racun dalam botol, ke dalam tempat sampah. Kami melakukan penyelidikan dan tahu akan hal itu. Ibumu meracuni suaminya sendiri karena dianggap penghalang hubungannya dengan suamiku... aih, sungguh memalukan sekali perbuatan mereka berdua itu. Ibumu mempunyai cita-cita yang besar, ingin mengambil hati suamiku agar kelak menjadi selir nomor satu dan berkuasa."
"Tapi...bagaimana mungkin saya mempercayai cerita seperti itu tentang ibu kandung saya, toa nio? Semua itu fitnah belaka!"
"Terserah kepada penilaianmu, Cin Han. Namun demikianlah kenyataannya. Ketika mengetahui akan hal itu, suamiku marah dan hendak membawa ibumu ke pengadilan atau mengusirnya. Akan tetapi aku yang melarangnya karena kasihan kepada ibumu, kepadamu. Akhirnya, kami bersepakat memberikan ibumu kepada Phang Lok, tukang kebun yang setia agar ibumu kembali berumah tangga dan terbebas dari aib. Akan tetapi ia... ia malah nekat membunuh diri..."
"Ah, bagaimana mungkin aku bisa mempercayai fitnah itu?"
Cin Han kembali berseru dengan nada penuh penasaran.
"Cin Han!"
Kini Kim Eng membentak danr menudingkan telunjuknya ke arah muka pemuda itu.
"Engkau ingin menang sendiri! Yang bersalah dalam hal ini adalah ayahku dan juga ibumu. Merekalah yang mempunyai ulah sehingga menimbulkan korban ayahmu yang diracuni oleh ibumu sendiri. Dan engkau berani mengatakan bahwa ibuku melemparkan fitnah? Bukankah dengan ulah mereka berdua itu ibu sudah menderita batin yang hebat? Kalau engkau membela ibumu mati-matian, akupun berhak membela ayahku mati-matian. Nah, sekarang engkau mau apa lagi?"
Sejenak Cin Han menjadi bingung sekali, tidak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakan. Dia sungguh bimbang dan sukar untuk percaya bahwa ibunya mempunyai watak yang sedemikian buruknya, akan tetapi diapun-teringat betapa Nyonya Lui ini seorang yang baik hati, bahkan sampai sekarang sikapnya, demikian lemah lembut dan pandang matanya, demikian jernih. Akan tetapi, bagaimanapun juga, yang menjadi korban adalah ayahnya dan ibunya. Mereka telah tewas, sedangkan jaksa Lui sekeluarga dalam keadaan selamat!
"Aku harus membunuh Jaksa Lui!"
Katanya tegas.
"Bagus, kalau begitu aku akan mengadu nyawa denganmu!"; ia berkata demikian, Kim Eng sudah menggerakkan pedangnya lagi menyerang, tidak perduli akan teriakan ibunya yang melarangnya.
"Eng-ji... jangan...! Jangan berkelahi...!"
Akan tetapi, Kim Eng marah sekali karena pemuda itu nekat hendak membunuh ayahnya, maka kini ia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengirim serangan dengan jurus-jurus paling dahsyat. Cin Han juga cepat menggerakkan tubuhnya untuk mengelak. Tiba-tiba terdengar suara yang berat,
"Kim Eng, tahan pedangmu dan mundurlah!"
Mendengar suara ini, Kim Eng menahan senjatanya dan meloncat ke belakang, ke dekat orang yang melarangnya itu.
"Akan tetapi, ayah. Orang ini hendak membunuhmu!"
Bantahnya. Cin Han menengok dan dia mengenal Jaksa Lui, akan tetapi pembesar yang dulunya memang sudah bertubuh tinggi kurus itu kini tinggal kulit membungkus tulang saja. Demikian kurusnya, juga wajahnya pucat sekali, matanya cekung dan sinarnya redup, bahkan berdiripun dia harus dipapah oleh pelayan tadi. Seorang mayat hidup, orang yang agaknya menderita sakit parah dan dalam keadaan setengah mati!
"Biarlah, Kim Eng... biarlah. Engkau Bu Cin Han, bukan? Engkau mencari aku untuk membunuhku? Untuk membalas kematian ayah dan ibu kandungmu? Nah, lakukanlah, orang muda. Bunuhlah aku, biar hitung-hitung aku menebus semua dosaku dalam kehidupanku selama menjadi jaksa. Bagaimanapun juga, akukah yang mendatangkan orang tuamu ke rumah tangga kami, dan aku pula yang menggoda ibumu. Aku sudah menderita karena semua dosaku, Thian telah menghukumku, aku difitnah sehingga kehilangan kedudukan dan harta, hidup melarat dan berpenyakitan di sini, tinggal menanti sisa hidup yang sengsara. Kalau engkau hendak membebaskan aku dari penderitaan ini, aku bersukur. Nah, kau bunuhlah aku, Bu Cin Han!"
Berkata demikian, laki-laki yang lemah itu membusungkan dadanya yang kerempeng dan memandang kepada Cin Han dengan sinar mata sedikitpun tidak memperlihatkan tanda takut. Melihat keadaan orang itu, yang dianggap musuh besarnya selama ini, dalam keadaan seperti itu, seketika lemaslah rasa tubuh Cin Han. Betapa mungkin dia membunuh atau menyerang orang yang sedang menderita seperti ini? Jangankan masih ada keraguan karena keterangan Nyonya Lui tadi, andaikata tidak ada keraguan akan kesalahan bekas jaksa inipun, agaknya akan sukar baginya untuk membunuh atau menyerang seorang laki-laki lemah seperti ini.
"Sesungguhnya, siapakah yang telah membunuh ayahku?"
Tanyanya, suaranya terdengar tidak bersemangat lagi dan matanya terus mengamati wajah yang kurus kering itu. Wajah yang kering itu tersenyum, senyum yang nampak menyeringai seperti orang kesakitan.
"Apa bedanya? Bagaimanapun juga, ayahmu telah tewas akibat kesesatan kami berdua, ibumu dan aku. Sebagai seorang pembesar aku terseret oleh 'arus' yang dibuat iblis, seperti para pembesar lain, gila hormat, berfoya-foya dalam kesenangan dan gila perempuan. Dan ibumu, sebagai seorang wanita lemah, gila kehormatan dan gila kedudukan dan kemuliaan. Ialah yang meracuni ayahmu, demi untuk dapat bebas sehingga dapat mencapai kemuliaan melalui kedudukanku... ah, sudahlah. Untuk apa semua itu diceritakan lagi? Yang jelas, ayahmu tewas karena hubungan gelap antara aku dan ibumu. Sekarang ibumu telah tiada, tinggal aku, nah, kalau engkau hendak melampiaskan dendam, bunuhlah aku orang muda!"
Akan tetapi, Cin Han menjadi semakin lemas! Untuk apa dia harus membunuh orang ini? Ayah dari gadis yang diam-diam telah menjatuhkan hatinya? Dan kini dia percaya. Mungkinibunya seorang wanita lemah dan dalam kelemahannya itu menjadi silau oleh kemuliaan danmata gelap! Dalam keadaan mata gelap, siapapun dapat melakukan pembunuhan. Dia sendiri, andaikata kini menjadi gelap mata, bukankah dia akan mudah saja membunuh bekas jaksa ini bahkan dengan seluruh keluarganya?
"Tidak...!"
Jawaban ini keluar melalui mulutnya dan diapun membalikkan tubuh, berlari keluar dari rumah itu tanpa pamit lagi.
"Bu Cin Han... kau bunuhlah aku... bunuhlah untuk mengakhiri penderitaanku lahir batin..."
Dia masih mendengar suara bekas jaksa itu berteriak-teriak dan menangis. Suara ini bagaikan mengejarnya dan diapun berlari semakin cepat keluar dari dusun itu. Rumah itu kecil saja, menyerupai gubuk dari kayu dan bambu, terletak di ujung kota Wan-sian, di tempat terpencil dekat muara. Cin Han sejak tadi mengamati rumah ini dari jarak agak jauh.
Menurut hasil penyelidikannya, di sinilah kini tinggal Phang Lok, bekas tukang kebun Jaksa Lui yang dahulu memperkosa ibunya di depan matanya, bahkan telah memukul dan menendangnya. Penglihatan ketika ibunya diperkosa bekas tukang kebun itu di depan matanya yang agak kabur karena dia dalam keadaan setengah pingsan, tak pernah dapat dilupakannya. Peristiwa yang membuat ibunya membunuh diri dengan membenturkan kepalanya pada dinding. Kini timbul keraguan dan kebimbangan di hatinya mengenai bunuh diri ibunya. Karena aib setelah diperkosa Phang Lok, ataukah karena kecewa oleh Lui Taijin diberikan kepada tukang kebun itu? Dia telah melakukan penyelidikan di Wan-sian, dan dari bekas tetangga keluarga jaksa itu, dia mendengar bahwa Phang Lok masih tinggal di Wan-sian dan kini menjadi tukang membuat tahu, berumah di sudut kota itu.
Dan pada siang hari itu, dia berhasil menemukan rumah kecil ini dan kini dia termenung mengamati rumah itu dari jauh. Beberapa kali dia melihat seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun keluar dari rumah itu, menjemur pakaian dan agaknya melakukan pekerjaan lain, dan pernah pula dia melihat seorang anak laki-laki yang usianya kurang lebih enam tahun. Karena dia tidak pernah melihat Phang Lok, dia lalu menghampiri rumah itu. Sebuah rumah yang kecil, mirip gubuk, amat miskin. Lantainya dari tanah, dindingnya sebagian dari bambu. Si wanita yang sudah dilihatnya tadi, keluar menyambutnya dengam senyum. Seorang wanita yang berparas lumayan, namun pakaiannya kumal dan miskin.
"Selamat siang, kongcu (tuan muda). Apakah kongcu ingin memesan tahu?"
Tanyanya, mengira bahwa orang muda ini datang untuk, membeli atau memesan tahu. Cin Han menggeleng kepalanya.
"Apakah di sini rumah Phang Lok?"
Wanita itu memandang dengan heran, lalu mengangguk.
"Benar, dan dia adalah suamiku."
Cin Han memandang wanita itu dan anaknya yang kini mendekat dan ikut mendengarkan.
"Dan ini anaknya?"
Kembali wanita itu mengangguk.
"Ada keperluan apakah kongcu mencari suamiku?"
"Apakah dia berada di rumah? Aku ingin bertemu dengannya,"
Katanya sambil menengok ke dalam rumah dari mana dia mendengar suara gilingan tahu. Anak itupun lari ke dalam rumah sambil berteriak-teriak.
"Ayah ada orang mencari ayah!"
Suara gilingan tahu yang diputar tadi berhenti dan tak lama kemudian muncullah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih. Tubuhnya tinggi besar, mukanya bopeng, dan tubuh yang tidak memakai baju, hanya bercelana hitam panjang itu nampak kuat penuh otot besar melingkar-lingkar, kulitnya penuh keringat. Jelaslah, orang itu Phang Lok! Dia keluar sambil menyeka keringat dengan sebuah kain yang kumal. Kemiskinan membayang pada keluarga ini. Phang Lok memandang kepada Cin Han dan sedikitpun dia tidak mengenal pemuda ini. Sambil tersenyum kasar dia menghampiri pemuda itu.
"Kongcu membutuhkan tahu yang baik?"
Tanyanya. Agaknya hanya menjual tahu saja, urusan mereka sehari-hari karena kalau tahu mereka itu laku berarti penyambung hidup mereka. Kalau tadinya hati Cin Han sudah menjadi dingin bertemu dengan isteri dan anak Phang Lok, kini begitu melihat Phang Lok, teringatlah dia kembali akan peristiwa yang terjadi di dalam gubuk taman di mana ibunya diperkosa orang ini dan hatinya menjadi panas sekali.
"Phang Lok, lupakah engkau kepadaku?"
Bentaknya. Phang Lok terbelalak, memandang penuh perhatian, akan tetapi dia menggeleng kepala dan mengerutkan alis, tanda bahwa dia memang tidak ingat lagi siapa gerangan pemuda yang berdiri di depannya ini.
"Phang Lok, ingatkah engkau akan peristiwa sebelas tahun yang lalu, di dalam gubuk taman keluarga Lui ketika engkau masih menjadi tukang kebun? Apa yang kau lakukan kepada Nyonya Bu dan anaknya laki-laki?"
Sepasang-mata itu semakin terbelalak, kemudian wajah itu berubah pucat sebentar kemudian merah. Agaknya Phang Lok kini telah teringat dan dapat menduga siapa adanya pemuda ini. Perasaan kaget dan khawatir itu ditutupinya dengan keberanian dan kekasarannya.
"Ah, kiranya engkau bocah setan itu? Hemm, engkau sudah dewasa sekarang!! Nah, mau apa engkau datang mencari aku?"
Sepasang mata Cin Han mencorong penuh kemarahan.
"Phang Lok, manusia keji, perbuatan yang kau lakukan di dalam gubuk itu pantas dihukum dengan hukum mati!!"
"Hemm, siapa yang akan menghukum aku? Hah, bocah sombong! Majikanku memberikan wanita itu menjadi isteriku, apa salahnya kalau aku menidurinya? Engkau mau apa sekarang?"
"Mau mencabut nyawamu!"
Bentak Cin Han. Phang Lok adalah seorang kasar yang mengandalkan tenaga besar, maka dengan marah diapun mendahului Cin Han, menerjang maju dengan kedua lengan dibuka, seperti seekor biruang marah melakukan serangan terhadap lawannya. Namun, tentu saja gerakan serangan ngawur itu dengan mudah dapat dihindarkan oleh Cin Han yang menggeser tubuh ke samping dan sekali kakinya bergerak, kedua tulang lutut Phang Lok sudah tercium ujung sepatu dan tak dapat dicegah lagi tubuh Phang Lok terpelanting! Akan tetapi, orang ini memiliki tubuh yang kuat dan begitu terpelanting, dia meloncat bangun lagi dan menyerang semakin sengit.
Cin Han menyambutnya dengan tamparan dua kali dari kanan kiri dan kembali tubuh tinggi besar itu terjatuh. Ketika dia bangkit lagi, kedua pipinya bengkak dan dari ujung mulutnya keluar darah. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar dan terus menubruk lagi, disambut tendangan kaki Cin Han yang membuatnya terpelanting untuk ketiga kalinya. Dengan nekat Phang Lok menyerang terus, akan tetapi dia dihajar oleh Cin Han sampai jatuh bangun dan babak belur. Tentu saja semakin lama, kepalanya menjadi semakin pusing, tenaganya berkurang dan ketika dia terbangun, dia sempoyongan. Mukanya sudah bengkak-bengkak dan melihat keadaan Phang Lok, isterinya dan anaknya menangisinya dan memeluknya. Isteri Phang Lok lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Cin Han.
"Kongcu, ampunilah suamiku... ampunilah dia...!"
Cin Han berdiri seperti patung, Tadinya dia mengira bahwa Phaog Lok adalah orang yang amat jahat, yang dibenci oleh semua orang. Akan tetapi kini, dia melihat betapa isteri Phang Lok minta-minta ampun untuk suaminya, dan betapa anaknya merangkul dan menangisinya! Dan keadaan mereka demikian miskinnya! Kalau dia membunuh Phang Lok, lalu bagaimana dengan kehidupan anak isterinya? Pula, orang ini tidak dapat terlalu disalahkan ketika memperkosa ibunya. Bukankah, cocok dengan keterangan Nyonya Lui, ibunya itu diberikan kepada Phang Lok untuk menjadi isterinya? Phang Lok memaksa menggauli ibunya, sebagai seorang suami menggauli isterinya, dan dia tahu bahwa pada waktu itu Phang Lok dalam keadaan mabok.
"Phang Lok, katakan siapa yang telah membunuh ayah kandungku? Katakan sejujurnya, atau aku tidak hanya akan membunuhmu, akan tetapi juga akan membunuh anak isterimu!"
Seketika pucat wajah Phang Lok mendengar ancaman ini. Dia tahu bahwa pemuda ini lihai bukan main dan dia tidak berdaya melawannya. Dan mendengar ancaman bahwa anak isterinya akan dibunuh, tiba-tiba saja lenyaplah semua keberanian dan kenekatannya. Dia lalu berlutut dan suaranya seperti orang menangis ketika dia berkata.
"Kongcu... jangan... jangan bunuh anak isteriku, mereka tidak berdosa... ampunkan mereka..."
Dia meratap.
"Katakan sebenarnya, siapa membunuh ayah kandungku!"
Cin Han membentak dengan suara mengandung ancaman. Dengan suara agak gemetar karena masih ketakutan kalau-kalau anak isterinya akan dibunuh pemuda itu, Phang Lok menjawab,
"Yang membunuh ayahmu adalah isterinya sendiri. Isterinya ingin menguasai Lui Tai-jin, maka suaminya diracuni. Aku sendiri yang melihat dia membuang sisa racun dalam botol, dan ada beberapa orang pelayan lain. Karena itu, untuk mencegah hal itu tersiar di luaran, Lui Tai-jin memaksa wanita itu... eh, ibumu... untuk menjadi isteriku..."
"Desss..."
Cin Han menendang dengan keras dan Pnang Lok terlempar, lalu terbanting keras dan pingsan. Cin Han menekan perasaannya. Kiranya memang benar, ibunya yang telah membunuh ayahnya sendiri. Dan agaknya, karena 'tidak' berhasil menguasai Lui Tai-jin dan karena penyesalan mungkin setelah membunuh suami sendiri, kemudian karena diperkosa Phang Lok, semua perasaan itu sang membuat ibunya membunuh diri, karena penyesalan, karena kecewa, karena malu. Phang Lok tidak dapat terlalu disalahkan, dan di situ terdapat anak isterinya yang kini meraung-raung menangisi tubuh yang pingsan itu.
Diam-diam Cin Han lalu meloncat pergi meninggalkan tempat itu. Sungguh aneh. Setelah kini dia pergi meninggalkan Wan-sian, hatinya terasa ringan bukan main. Tidak lagi ada dendam membebani batinnya. Ayahnya sudah mati dan yang membunuh adalah ibunya sendiri. Sudahlah. Ibunya juga sudah menerima hukuman atas dosanya dan ibunya sudah meninggal pula. Itupun sudah selesai. Lui Taijin juga sudah menderita sengsara lahir batin, mungkin karena hukuman Thian, demikian pula Phang Lok hidup dalam keadaan miskin, dan diapun sudah menghajarnya. Semua itu cukup sudah. Tidak ada lagi dendam, tidak ada hutang piutang dan Cin Han merasa betapa Iringan hatinya. Hanya ada satu hal yang selalu menjadi ganjalan hatinya, membuatnya gelisah dan bingung.
Yaitu kalau terbayang wajah Kim Eng! Dia selalu menarik napas panjang karena hatinya seperti ditusuk kalau dia teringat kepada Kim Eng. Dia mencinta gadis itu, tidak salah lagi! Akan tetapi kenyataan membuktikan bahwa dia harus berdiri sebagai musuh dari gadis itu. Setidaknya, dia pernah datang untuk membunuh ayah gadis itu! Betapa Kim Eng tentu amat membencinya! Dan inilah yang menyedihkan hatinya, Dibenci oleh gadis yang dicintanya, satu-satunya gadis yang pernah di-cintanya! Teringatlah dia kepada Kim Cong Bu dan Ciu Lian Hwa. Merekalah dua orang yang terdekat dengannya di saat itu. Bagaimanapun juga, mereka berdua adalah kawan-kawannya ketika mereka masih berada di kuil, walaupun hubungannya dengan mereka tak dapat dibilang akrab.
Akan tetapi, bukankah kedua orang teman itu pernah berpamit ketika meninggalkan kuil dan mengatakan agar dia suka mengunjungi mereka di Tongan? Teringat kepada mereka, dengan hati gembira Cin Han lalu pergi mengunjungi kota Tong-an di Propinsi Secuan selatan. Kota ini cukup besar dan bersih. Setelah tiba di kota itu, Cin Han memilih sebuah kamar di hotel yang sederhana namun bersih, dengan sewa kamar yang tidak mahal. Dia merasa berterima kasih sekali kepada Hek-bin Lo-han, gurunya yang telah memberinya sekantung uang emas, untuk bekal perjalanan. Tanpa bekal itu, dia tidak tahu, bagaimana dia akan dapat melakukan, perjalanan tanpa mencuri atau merampok yang amat dilarang oleh gurunya. Pada keesokan harinya barulah dia pergi berkunjung ke rumah Kim Cong Bu.
Dia telah melakukan penyelidikan di mana adanya rumah ayah pemuda itu, yaitu Komandan Kim yang amat terkenal di kota Tong-an. Kim ciangkun (Perwira Kim) adalah kepala atau komandan keamanan kota Tong-an, maka ketika dia melakukan penyelidikan, semua orang tahu belaka di mana rumah Kim-ciangkun. Sampai lama Cin Han berdiri, di luar pintu gerbang pagar tembok rumah gedung yang megah itu. Dia merasa rendah diri dan bimbang melihat betapa gedung itu besar dan megah, dan di depannya terjaga oleh beberapa orang prajurit. Akan tetapi mengingat bahwa Cong Bu dahulu minta kepadanya agar suka berkunjung, diapun membesarkan hatinya dan melangkah menghampiri gardu penjagaan di dekat pintu gerbang. Dua orang prajurit segera keluar menyambutnya dan dengan pandang mata penuh selidik bertanya siapa dia dan apa keperluannya.
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo