Dendam Membara 5
Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
"Saya bernama Bu Cin Han, seorang teman dari kongcu (tuan muda) Kim Cong Bu ketika dia masih belajar di dalam kuil di puncak Bukit Mawar. Harap suka sampaikan kepadanya bahwa saya datang berkunjung seperti yang dipesankan ketika dia meninggalkan kuil."
Cin-Han dipersilakan menanti dan seorang di antara para penjaga itu lalu pergi melapor ke dalam. Tak lama kemudian diapun datang dan Cin Han dipersilakan masuk dan diantar oleh seorang prajurit ke ruangan tamu di mana dia ditinggalkan seorang diri dan dipersilakan duduk menunggu.
Cin Han merasa makin rendah diri ketika memasuki ruangan itu. Sebuah ruangan yang luas dan dilengkapi prabot ruangan yang serba mewah, dengan hiasan dinding berupa lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan indah. Alangkah mewah dan kayanya orang tua Kim Cong Bu, pikirnya. Bahkan tempat itu lebih mewah dari pada gedung milik Jaksa Lui di Wan-sian dahulu. Tentu orang tuanya berkedudukan, tinggi dan amat kaya, pikir Cin Han. Tanpa disadarinya, dia membandingkan keadaan pemuda itu dengan keadaan dirinya sendiri dan dia merasa semakin rendah diri. Dia seorang pemuda yatim piatu, tidak mempunyai tempat, tinggal dan tidak mempunyai apa-apa!! Kalau, tidak gurunya yang memberi bekal uang, tentu dia sekarang telah menjadi seorang jembel, gelandangan tanpa tempat tinggal.
Mengapa kita selalu, membandingkan diri sendiri dengan mereka yang lebih tinggi dari pada kita? Lebih pandai, lebih kaya, lebih tinggi kedudukannya, dan segala yang serba lebih lagi. Membandingkan diri dengan mereka yang berada diatas mendatangkan kecewa, rendah diri, dan juga iri hati. Kalau kita selalu memandang ke atas, kitapun kehilangan kewaspadaan dan kaki kita mudah tersandung! Mengapa kita tidak mau memandang ke bawah, melihat kenyataan dan melihat betapa di bawah kita masih jauh lebih banyak lagi terdapat mereka yang segalanya serba kurang dibandingkan dengan kita? Kalau kita selalu memandang ke bawah, maka sudah sepatutnya kita berterima kasih kepada Yang Memberi Hidup, karena keadaan kita masih merupakan berkah.
Lebih tepat lagi, dapatkah kita memandang segala sesuatu, menghadapi segala sesuatu tanpa membandingkan dengan apapun juga, melainkan menghadapinya seperti apa adanya? Suara langkah yang datang dari dalam menyeret kembali Cin Han dari dunia lamunan. Dia mengangkat muka menyambut munculnya, orang dari pintu dalam dengan hati berdebar tegang. Seperti apa sekarang Kim Cong Bu, anak yang dulu agak congkak, tampan, gagah dengan alis yang tebal itu? Ketika akhirnya si pemilik kaki muncul, Cin Han segera bangkit berdiri dan dia berhadapan dengan seorang pemuda yang dikenalnya karena memang Kim Cong Bu masih seperti dulu. Tampan, gagah, dan bersikap congkak, dengan senyum yang membayangkan keyakinan, akan pentingnya diri sendiri.
"Kim-kongcu...!"
Cin Han berseru gembira dan memberi hormat.
"Tentu engkau masih mengenalku!"
Sepasang alis yang tebal itu berkerut dai pandang mata itu amat merendahkan.
"Ah, kiranya engkau! Bukankah engkau Bu Cin Han yang dulu menjadi kacung di dalam kuil, pembantu dari kepala dapur?"
Nada suara itu masih seperti dulu, amat congkak dan merendahkan, akan tetapi Cin Han sudah mengenal watak Cong Bu, maka dia bersikap biasa walaupun penghormatannya tadi tidak dibalas sama sekali oleh tuan rumah.
"Benar, Kim-kongcu. Engkau kira siapa?"
Kata Cin Han sambil tersenyum.
"Tadi aku bingung menduga-duga siapa adanya orang yang mengaku menjadi sahabatku ketika aku masih belajar di kuil. Habis aku tidak mempunyai sahabat lain kecuali su-moi (adik seperguruan) Ciu Lian Hwa. Kalau tadi engkau mengaku kacung kuil itu, tentu aku teringat."
Wajah Cin Han berubah agak merah. Kiranya orang ini malah lebih congkak lagi dibandingkan dulu ketika masih kanak kanak! Kalau tahu begini dia akan disambut, tidak sudi dia berkunjung.
"Aku... ah, kukira... tiada salahnya mengaku bekas teman ketika di kuil..."
"Sudahlah! Sekarang katakan, apa maksud kedatanganmu ini? Kalau engkau berniat minta pekerjaan, tentu tidak ada karena engkau tahu, ayahku adalah komandan pasukan keamanan di kota ini dan setiap orang anggauta pasukan keamanan haruslah memiliki ilmu silat yang cukup kuat. Akan tetapi kalau engkau minta bantuan uang, biarlah aku dapat memberimu sedikit, mengingat akan perkenalan kita dahulu."
Berkata demikian, Kim Cong Bu memasukkan tangannya ke dalam saku baju, agaknya untuk mengambil uang.
"Tidak, tidak usah!"
Cin Han berkata, suaranya agak keras dan alisnya berkerut.
"Kim-kongcu, aku datang ke sini bukan untuk minta pekerjaan, minta uang atau minta apapun juga. Aku datang untuk berkunjung karena ketika berpamit dahulu, engkau pernah mengundangku agar berkunjung ke sini. Engkau tidak perlu menghinaku, kalau engkau tidak suka menerima kunjunganku, aku akan pergi sekarang juga!"
Agaknya memang Kim Cong Bu tidak suka akan kunjungan bekas kacung ini, dan kalau dulu dia mengundang, hal itu hanya sebagai basi-basi saja. Dia juga tidak perduli melihat, betapa Cin Han tersinggung.
"Cin Han! kita bukan anak-anak lagi dan hubungan antara, kita harus berdasarkan derajat dan tingkat. Aku tidak mungkin bergaul dengan sembarangan orang saja dan tidak dapat menerimamu sebagai tamu. Kalau engkau hendak pergi sekarang juga, pergilah."
Makin merah wajah Cin Han, akan tetapi dia tersenyum. Dia memandang kepada wajah pemuda itu dan ada perasaan iba di dalam hatinya. Kasihan sekali pemuda ini, pikirnya. Kepribadian dan kemanusiaannya sudah hilang, diganti oleh kekuasaan harta dan pangkat, tidak seperti manusia lagi melainkan menjadi boneka dari kekuasaan. Diapun mengangguk dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu meninggalkan ruangan itu, keluar melalui pintu gerbang dan cepat-cepat pergi dari tempat itu.
Pengalamannya yang pahit ketika berkunjung ke rumah Kim Cong Bu ini membuat Cin Han merasa enggan dan malu untuk mencoba berkunjung ke rumah Ciu Lian Hwa. Gadis itu dahulu memang merupakan seorang anak yang baik hati dan halus budi. Akan tetapi kini tentu sudah menjadi seorang gadis dewasa dan gadis ttu puteri Ciu Tai-jin, kepala daerah Tong an. Kedudukan orang tua gadis itu lebih tinggi dari pada kedudukan orang tua Kim Cong Bu, maka bukan hal aneh kalau keluarga Ciu itu tentu bersikap lebih congkak lagi! Dan dia hanya ingin berkunjung, tanpa maksud apa-apa maka sungguh tidak sepadan dengan kemungkinan bahaya menerima penghinaan lagi! Tidak, dia tidak akan berkunjung kepada Ciu Lian Hwa dan hubungannya dengan kedua orang bekas teman di kuil itu akan dihabiskan sampai di situ saja.
Biarlah aku akan mengenang mereka sebapai anak-anak di kuil, murid-murid Thian Cu Hwesio ketua kuil Siauw-lim-si di puncak Bukit Mawar, pikirnya. Legalah hatinya dan urusan itupun sudah lewat dan lepas dari batinnya. Batin yang bebas tidak akan menyimpan pengalaman yang lalu untuk dijadikan kenangan indah atau kenangan buruk. Penyimpanan pengalaman masa lalu ini hanya mendatangkan ikatan. Batin yang bebas melepaskan segala hal yang dialami dan menghabiskan di saat itu juga. Tidak mengenang masa lampau, tidak membayangkan masa depan, melainkan hidup dari saat ke saat. Setelah meninggalkan rumah keluarga Kim dan sekaligus meninggalkan apa yang dialami di rumah Kim Cong Bu, pada siang harinya Cin Han memasuki sebuah rumah makan untuk makan siang.
Dia duduk menghadapi meja kosong dan memesan makanan dan air teh. Makanan sederhana saja, nasi dengan dua macam masakan sayur tanpa daging. Kehidupan di kuil selama belasan tahun membuat Cin Han tidak begitu suka daging walaupun dia tidak pantang seperti para pendeta di kuil. Juga dia tidak biasa minum arak, maka tehpun cukup baginya. Beberapa orang tamu yang mejanya tidak jauh darinya, saling pandang dan tersenyum mendengar pesanan pemuda sederhana itu. Masakan tanpa daging, dan minumnya air teh! Hampir mereka mentertawakannya. Tentu pemuda yang sedang kosong kantungnya, pikir mereka. Tentu saja Cin Han tahu bahwa banyak mata memandang kepadanya dengan ejekan, dan banyak senyum mengejek ditujukan kepadanya. Namun dia tidak perduli.
Baru saja masakan dan nasi dihidangkan oleh seorang pelayan yang kurang sopan karena pelayan inipun tidak dapat menghormati tamu yang memesan makanan murahan seperti yang dilakukan Cin Han, tiba-tiba masuklah dua orang laki-laki. Mereka itu celingukan, memandang ke sana-sini, kemudian langsung saja mereka menghampiri Cin Han. Di meja pemuda itu memang terdapat empat buah bangku. Yang dipakai hanya sebuah oleh Cin Han dan kini dua orang itu tanpa permisi dulu duduk begitu saja di depan Cin Han! Pemuda ini mengerutkan alisnya, akan tetapi tidak mengatakan sesuatu dan dapat menduga bahwa dua orang ini memang mencari gara-gara. Meja banyak yang kosong di situ, kenapa mereka duduk di mejanya? Dia menuangkan air teh dari poci ke dalam cawan tehnya.
"Ha-ha, toako. Orang desa berani masuk restoran, sungguh tak tahu diri sekali, ya?"
Kata seorang di antara mereka yang kumisnya tebal.
"Benar, seorang kacung berlagak menjudi tuan muda, mana pantas?"
Kata orang ke dua yang matanya sipit. Cin Han merasa bahwa mereka menyindirnya dan dia terheran. Bagaimana mereka ini bisa tahu bahwa dia bekas kacung? Akan tetapi dia pura-pura tidak mengerti dan mulai makan.
"Brakkkk...!"
Si kumis tebal menggebrak meja dan dua mangkok sayur itu tumpah, juga cawan teh itu miring dan tumpah.
"Kalian mengapa bersikap seperti ini? Apa kesalahanku?"
Tanya Cin Han, masih sabar.
"Habis, engkau mau apa? Mau marah? Ha-ha-ha!"
Si mata sipit,kini menggerakkan kedua tangannya menampar dan... semua makanan dan poci teh di atas meja di depan Cin Han terguling dan isinya berhamburan di atas meja. Cin Han bangkit berdiri, alisnya berkerut.
"Hemm, kalian sungguh keterlaluan menghina orang,"
Katanya.
"Sebenarnya, mengapa kalian melakukan hal ini kepadaku?"
"Karena engkau petani desa tolol hendak berlagak!"
Kata si kumis tebal.
"Kacung busuk mau makan di restoran ha-ha!!"
Kata si mata sipit dan tangan kirinya menampar ke arah pipi Cin Han. Pemuda ini menarik tubuh bagian atas ke belakang sehingga tamparan itu luput dan diapun melangkah mundur. Melihat betapa tamparannya tadi luput, si mata sipit menjadi penasaran dan marah.
"Engkau berani melawan, ya?"
Bentaknya dan diapun menerjang dengan pukulan ke arah kepala Cin Han, sedangkan si kumis tebal juga sudah mengirim tendangan. Dua serangan ini terjadi dari kanan kiri menyerang Cin Han yang hanya melangkah mundur.
"Tuk!! Tukk!"
Semua tamu dan para pelayan di restoran itu melihat betapa tiba-tiba saja gadis itu muncul, menyambar sepasang sumpit di atas meja dan menggunakan sumpit, di kedua tangannya untuk menyambut pukulan dan tendangan yang menyerang Cin Han tadi. Kaki itu tertotok sumpit, pergelangannya sedangkan pergelangan tangan si mata sipit juga tertotok sumpit.
"Aduhhh...!."
"Aughh, kurang ajar...!"
Akan tetapi, pada saat itu, gadis yang berpakaian indah itu sudah menggerakkan kakinya, cepat sekali dan dua orang itupun jatuh bertekuk lutut karena lutut mereka tercium ujung sepatu yang membuat kaki mereka lumpuh seketika. Ketika itu, ramailah orang-orang di dalam restoran berkata.
"Ciu Sio-cia (Nona Ciu)...!"
Si kumis tebal dan si mata sipit itu mengangkat muka dan ketika mereka berdua melihat siapa gadis yang merobohkan mereka itu, seketika wajah mereka menjadi pucat sekali dan dengan kedua kaki masih berlutut kini mereka mengangkat kedua tangan kedepan dada memberi hormat dan mengangguk-angguk, membungkuk-bungkuk,
"Ciu Sio-cia, harap ampunkan kami..."
Kata si kumis tebal.
"Ciu Sio-cia, ampunkan kami akan tetapi kami... kami tidak merasa bersalah terhadap siocia..."
Sambung si mata sipit.
"Hah, enak saja minta ampun. Kalian tidak merasa bersalah, ya? Kalian sudah menghina dan mengganggu orang yang tidak berdosa dan kalian masih mengatakan tidak merasa bersalah? Hayo jawab atau... haruskah kupatah patahkan semua tulang kaki dan tangan kalian?"
"Aduh, ampunkan kami"
Seru si mata sipit.
"Siocia, kami mengaku salah..."
Kata sikumis tebal juga cepat mengaku dengan tubuh menggigil ketakutan.
"Tapi, dia..., dia hanya seorang kacung yang..."
"Biar dia kacung atau pengemis sekalipun, tanpa dosa tidak boleh dihina sembarangan seolah-olah di kota ini tidak ada lagi hukum! Padahal kulihat saudara ini tadi tidak mengganggu siapa-siapa..."
Pada saat itu, si gadis mengangkat muka memandang Cin Han dan kata-katanya terhenti, matanya terbelalak.
"Eh, aku seperti mengenalmu..."
Cin Han terpaksa memperkenalkan diri dan diapun menjura dengan sikap hormat,
"Nona Ciu Lian Hwa, terima kasih atas pertolonganmu."
Wajah yang manis itu berseri dan matanya terbelalak.
"Wah, engkau ini... bukankah engkau anak di kuil itu... siapa namanya... eh, Cin Han, bukan?"
Cin Han mengangguk dan hatinya merasa gembira sekali. Gadis ini masih ramah, lincah dan manis, dan wataknya masih tetap saja baik, seperti dulu, terbukti dari sikapnya, menentang kedua orang laki-laki kurang ajar tadi, diapun tidak merasa heran kalau kedua pria itu ketakutan menghadapi Lian Hwa. karena pertama, gadis ini lihai ilmu silatnya dan kedua, tentu saja gadis ini adalah puteri kepala daerah! Melihat Cin Han mengangguk, gadis itu yang ternyata adalah Ciu Lian Hwa, tersenyum girang.
"Aih, Cin Han, kapan engkau datang? Kenapa tidak singgah di rumah kami?"
"Saya... saya baru datang dan belum sempat, nona. Eh, kebetulan kita bertemu di sini..."
Jawab Cin Han gagap karena memang tadinya dia sama sekali tidak ingin berkunjung kepada gadis ini setelah pengalaman pahit yang diperolehnya dalam kunjungannya kepada Cong Bu.
Dua orang yang masih berlutut itu kini menjadi semakin ketakutan ketika melihat betapa nona bangsawan itu ternyata sudah mengenal bahkan akrab dengan pemuda yang mereka ganggu. Mereka adalah dua orang prajurit yang tadi berjaga di depan gedung kepala pasukan Kim. Setelah Cin Han yang tadi datang bertemu kepada Kim Cong Bu pergi, Cong Bu mengutus mereka mengenakan pakaian preman dan mengejar pemuda itu dengan pesan agar mereka berdua mencari gara-gara sehingga timbul perkelahian karena Cong Bu ingin mereka mencoba apakah pemuda bekas kacung kuil itu kini memiliki ilmu silat ataukah tidak.
"Dia dulu kacung kuil, sekarang berlagak. Kalian cari gara-gara untuk menghajar dia, akan tetapi jangan tangkap dan jangan bunuh"
Aku hanya ingin tahu apakah dia pandai ilmu silat ataukah tidak."
Dua orang itu sudah biasa melakukan kekerasan terhadap rakyat, maka menerima tugas ini mereka menjadi gembira sekali dan ketika melihat pemuda itu memasuki rumah makan, mereka lalu turun tangan mengganggunya.
Tak mereka kira sama sekali bahwa di situ mereka akan bertemu dengan Ciu Siocia yang membela pemuda itu! Tentu saja mereka sama sekali tidak berani melawan, bukan hanya tidak berani akan tetapi juga tidak mampu karena mereka cukup maklum betapa lihatnya gadis bangsawan yang menjadi sumoi dari majikan muda mereka itu. Diam-diam Lian Hwa kagum melihat Cin Han. Pemuda bekas kacung kuil itu kini nampak tampan dan gagah walaupun pakaiannya sederhana, mukanya yang bulat putih dengan alis berbentuk golok, hidung mancung dan mulut selalu tersenyum ramah penuh kesabaran itu membayangkan kejantanan dan ketenangan yang menghanyutkan. Ketika melihat dua orang yang masih berlutut, bangkit kembali kemarahan Lian Hwa.
"Dua ekor tikus busuk yang memalukan! Tahukah kalian siapa dia ini? Dia adalah seorang sahabatku, yang datang dari jauh untuk mengunjungi aku dan kotaku. Eh, baru saja tiba, kalian sudah berani menghinanya. Sungguh membuat aku malu dan penasaran, dan sebaiknya kalau aku mematah-matahkan kedua kaki tangan kalian!"
Tentu saja dua orang itu minta-minta ampun dan membentur-benturkan dahi mereka di atas lantai seperti dua ekor ayam sedangi makan beras. Tiada henti-bentinya mulut mereka mohon ampun.
"Sudahlah, nona, ampuni mereka,"
Kata Cin Ban yang merasa tidak enak melihat keadaan dua orang itu.
"Nah, kalian dengar, tikus-tikus busuk!! Sahabatku Bu Cin Han ini malah mintakan ampun untuk kalian!! Aku ampuni kalian, akan tetapi kalian harus menebus kekurangajaran kalian tadi dengan melayani kami makan minum. Hayo bersihkan meja itu dengan baju kalian!"
Dua orang itu merasa lega diampuni, tidak dipatah-patahkan kaki tangan mereka, maka mendengar permintaan ini, mereka lalu cepat-cepat membersihkan meja yang penuh kuah dan air teh itu dengan baju mereka sampai meja itu kembali bersih. Setelah meja itu bersih, mereka berdua berdiri tak jauh dari meja, membungkuk dan siap melakukan printah apa saja, Baju mereka kotor, muka mereka pucat, Lenyaplah kegarangan yang tadi, dan melihat ini, para tamu yang melihat betapa mereka menghina Cin Han, diam-diam merasa puas dan menertawakan mereka.
"Huh, kalian menjemukan. Kalau melihat kaitan, aku takkan suka makan. Sudah, kalian boleh pergi, akan tetapi sebagai tikus-tikus busuk kalian harus merangkak keluar dari ramah makan ini!"
Kata Lian Hwa dengan sikap galak. Dua orang itu tak berani membantah, bahkan mereka merasa lega sekali karena dapat terlepas dari tangan gadis yang galak itu. Mereka lalu merangkak keluar dari rumah makan, diikuti pandang mata para tamu yang merasa semakin geli dan puas. Tidak ada seorangpun mengkhawatirkan gadis itu, karena siapa yang akan berani menentangnya? Pemilik rumah makan sendiri kini menghampiri Lian Hwa dan Cin Han, dan memberi hormat.
"Siocia telah memberi pertunjukan yang bagus sekali!"
Kata pemilik rumah makan.
"Dapatkah kami membantu dan melayani nona?"
Lian Hwa tersenyum.
"Aku hendak menjamu sahabatku ini, keluarkan hidangan yang paling istimewa... eh, engkau makan daging, Cin Han?."
"Sedikit saja, nona, lebih senang sayur dan tidak pernah minum arak. Maklumlah hidup di kuil..."
"Hidangkan masakan yang banyak sayur sedikit daging, tapi yang lezat! Minumannya teh yang paling baik."
Perintah Lian Hwa kepada pemilik restoran yang segera mengerahkan anak buahnva untuk memenuhi perintah itu dengan sebaiknya. Gadis itu nampak gembira bukan main dengan pertemuannya itu sehingga Cin Han yang tadinya masih merasa sungkan, lambat laun juga menjadi gembira dan diam-diam dia bersyukur dan girang sekali melihat berapa nona bangsawan ini ternyata bersikap baik sekali.
"Oh ya, engkau tentu belum lupa kepada suheng, bukan!"
Tanya Lian Hwa ketika mereka sudah mulai makan minum.
"Tentu saja tidak. Kim kongcu, bukan?"
"Ya, dia tinggal di kota ini juga. Dia putera komandan pasukan keamanan kota, tinggal di sebelah barat dekat benteng. Dia tentu akan gembira sekali melihatmu, Cin Han."
Tentu saja Cin Han tidak tahu harus menjawab bagaimana, maka diapun diam saja, hanya mengangguk-angguk dan memenuhi mulutnya dengan makanan agar dia tidak usah menjawab. Bagaikan pertemuan dua orang sahabat karib yang sudah lama saling berpisah, mereka bercakap-cakap dan dari gadis yang ramah itu Cin Han mendengar bahwa setelah mereka berdua itu pulang ke Tong-an, gadis itu dan Cong Bu lalu melanjutkan belajar silat kepada guru-guru silat yang sengaja didatangkan dari berbagai kota oleh Kim-ciangkun.
Mereka memperoleh banyak kemajuan, dan di samping ilmu silat, juga mereka mempelajari dan memperdalam ilmu kesusasteraan. Akan tetapi, di antara segala hal yang diceritakan oleh gadis itu kepadanya, yang paling menarik hati Cin Han adalah keterangan bahwa Ciu Lian Hwa telah dijodohkan dengan Kim Cong Bu dan bahwa pesta perayaan pertunangan mereka akan diadakan satu bulan lagi! Mendengar ini, diam-diam Cin Han merasa sayang sekali. Gadis ini amat baik, dan agaknya tidak tepat kalau menjadi jodoh seorang pemuda yang demikian congkak dan besar kepala seperti Kim Cong Bu. Akan tetapi tentu saja perasaan ini hanya disimpannya saja di dalam hatinya dan dia tidak memberi komentar apapun.
"Cin Han, engkau harus singgah ke rumahku, berkenalan dengan orang tuaku. Aku sudah bercerita tentang dirimu kepada ayah ibuku, dan mereka tentu akan girang sekali kalau engkau datang berkunjung."
"Akan tetapi..."
"Aih, Cin Han, apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak sudi berkunjung ke rumah kami?"
"Bukan begitu, nona, akan tetapi aku sudah menyewa kamar..."
"Aah, urusan mudah sekali itu. Kita datangi saja penginapan itu dan kau ambil pakaianmu, kemudian bersama aku pergi ke rumah kami. Aku akan marah kalau engkau menolak undanganku, Cin Han!"
Apa yang dapat ia lakukan menghadapi gadis lincah ini? Terpaksa Cin Han menurut saja ketika Lian Hwa membayar makanan dan mengajaknya pergi mengambil buntalannya di rumah penginapan, kemudian mereka pergi ke rumah kepala daerah yang membuat Cin Han merasa semakin rendah diri. Rumah ini lebih besar dan lebih mewah dibandingkan gedung tempat kediaman keluarga Kim yang dikunjunginya tadi! Yang membuat hati Cin Han merasa gembira adalah melibat sikap ayah dan ibu gadis itu menyambutnya. Mereka tidak banyak cakap, akan tetapi wajah mereka ramah ketika Lian-Hwa memperkenalkan dia kepada mereka.
"Ayah dan ibu, inilah Bu Cin Han yang pernah kuceritakan kepada ayah dan ibu. Dia murid hwesio kepala dapur di kuil Siauwlim-pai di Bukit Mawar. Hari ini dia datang dan memerlukan singgah untuk mengunjungiku."
Cin Han memberi hormat dan merasa semakin berterima kasih kepada Lian Hwa. Gadis itu bukan saja tidak memberitahukan ayah bundanya akan kerendahan dirinya, juga tidak menceritakan bahwa dia bertemu dengan gadis itu di rumah makan, bukan sengaja datang, berkunjung seperti yang diceritakan gadis itu.
"Ayah, aku yang minta kepada Cin Han untuk bermalam di sini,"
Gadis itu berkata lagi. Pembesar Ciu hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum, demikian pula isterinya.
"Baiklah, biar nanti pelayan mempersiapkan sebuah kamar tamu untuk saudara Bu Cin Han."
Kemudian, setelah berbasa-basi sejenak, suami isteri itu meninggalkan Cin Han berdua saja dengan Lian Hwa dan mereka bercakap-cakap di taman sebelah kiri gedung setelah pelayan menyimpan buntalan pakaian Cin Han ke dalam kamar yang sudah disediakan untuknya.
"Cin Han, sejak tadi engkau hanya menjadi pendengar saja dan aku yang banyak bercerita tentang diriku, sekarang tiba giliranmu untuk menceritakan keadaanmu semenjak kita saling berpisah,"
Kata Ciu L.iau Hwa kepada Cin Han. Mereka duduk berhadapan di atas bangku-bangku kayu, menghadapi meja kecil bundar yang diukir indah. Pemandangan di taman itu indah sekali. Malam yang gelap membuat pemandangan di taman semakin indah karena taman itu diterangi lentera-lentera berbagai warna. Kebetulan sekali bunga-bunga mawar di sekitar mereka duduk sedang berkembang dan baunya semerbak barum, membuat suasana amat romantis.
"Ah, tidak, ada sesuatu yang menarik mengenai diriku, nona,"
Kata Cin Han dan pada saat itu, seorang pelayan wanita datang menghidangkan air teh hangat berikut kuih-kuih.
"Sejak kapan engkau meninggalkan kuil?"
"Sejak beberapa bulan yang lalu, nona."
"Jadi selama ini engkau terus berada di dalam kuil? Dan apa saja yang kau lakukan di sana?"
Cin Han tersenyum.
"Masih seperti biasa, membantu suhu Hek-bin Lo-han dengan pekerjaannya."
"Belajar ilmu silat?"
"Ah, tidak ada artinya, nona."
Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan tetapi engkau memiliki tubuh yang amat kuat, Cin Han. Pekerjaan berat itu membuat tubuhmu terlatih dan kuat. Sayang kalau tidak mempelajari ilmu silat..."
Tiba-tiba muncul Kim Cong Bu yang bergegas memasuki taman dan melihat betapa Lian Hwa duduk berhadapan dengan Cin Han sambil bercakap-cakap dalam suasana romantis dan mesra, wajahnya berubah merah sekali.
"Bagus!! Kiranya engkau ini kacung busuk berani sekali kurang ajar di sini, ya?"
Bentaknya sambil melotot kepada Cin Han.
"Bu Cin Han, manusia tak tahu diri. Bangkitlah dan mari kita selesaikan urusan ini seperti laki-laki sejati!"
Tentu saja Cin Han terkejut sekali melihat betapa Cong Bu datang-datang marah dan menantangnya. Dia bangkit berdiri dan dengan sikap tenang dia mengamati wajah yang marah itu.
"Kim-kongcu, mengapa engkau marah-marah? Apa kesalahanku sehingga engkau datang-datang marah kepadaku dan menantangku?"
Sikapnya masih tenang dan sabar karena dia merasa yakin bahwa tentu terjadi salah pengertian.
"Apa kesalahanmu? Bocah dusun tak tahu diri! Engkau berduaan di taman ini dengan sumoi! Tahukah engkau bahwa ia adalah tunanganku? Dengan perbuatanmu ini berarti engkau menghinaku! Nah, majulah dan mari kita selesaikan dengan kepalan. Engkau harus berani melawanku, kecuali kalau engkau hanya seorang pengecut besar, seorang hina yang tidak pantas disebut laki-laki."
"Suheng...!!"
Tiba-tiba Lian Hwa membentak sambil meloncat berdiri di depan Cin-Han ketika melihat suhengnya itu sudah hendak menerjang maju menyerang tamunya.
"Macam apa sikapmu ini? Sungguh tidak mengenal sopan santun!! Kau kira apa aku ini Sebuah benda mati yang hendak kau kuasai begitu saja? Engkau marah-marah seolah-olah aku tidak berada di sini! Akulah nona rumah pemilik tempat ini, mengerti? Engkau tidak berhak ribut-ribut! Dengar baik-baik, suheng. Akulah yang mengundang Bu Cin Han untuk datang berkunjung, dan aku telah memperkenalkan dia kepada ayah ibuku. Mereka saja sebagai ayah ibuku tidak ribut, kenapa engkau ribut-ribut seperti kambing kebakaran jenggot?"
"Sikapmu ini sungguh tak tahu diri dan menghinaku, suheng! Kalau engkau mau memukul Cin Han, nah, lakukanlah, akan tetapi di sini ada aku yang akan menentangmu!"
Berkata demikian, kedua tangan gadis itu dikepal dan agaknya ia sudah siap untuk berkelahi melawan suhengnya sendiri yang juga sudah menjadi calon suaminya itu. Menghadapi Lian Hwa yang marah itu Cong Bu menjadi lemas. Akan tetapi, dengan penasaran dia membela diri.
"Sumoi, kau tidak boleh membelanya. Dia hanya kacung, orang rendah, dan dia sudah berani mengangkat dirinya setinggi derajatmu. Bukankah itu memalukan sekali? Melihat dia duduk berdua saja pada malam bari di taman ini, aku..."
"Bagus! Engkau cemburu, ya? Suheng, engkaulah yang seharusnya malu dengan pikiranmu yang kotor itu!! Cin Han datang dengan sopan, sudah kuhadapkan ayah ibu, dan kami bicara dengan sopan. Akan tetapi pikiranmu yang kotor itu membayangkan yang bukan-bukan! Suheng, kau kira aku ini gadis macam apakah? Berani engkau menghina aku dengan tuduhan yang kotor?"
Menghadapi kemarahan sumoinya, Cong Bu menjadi kewalahan dan tidak berdaya, maka dengan bersungut-sungut dia berkata,
"Baik, aku akan memberi tahu orang tuamu. Engkau tidak adil, sumoi."
Pergilah pemuda itu, langsung masuk ke dalam gedung. Suasana menjadi kaku dan tegang setelah Cong Bu pergi. Akhirnya Cin Han berkata sambil menarik napas panjang,
"Aih, aku sungguh menyesal sekali, nona. Kehadiranku hanya mendatangkan keributan saja."
"Tidak! Siapapun yang bersikap kurang bijaksana akan kutentang?"
"Nona Ciu, kuharap saja aku tidak menjadi orang yang akan merusak hubungan baik antara kalian. Ingatlah bahwa dia adalah suhengmu dan lebih dari itu, calon jodohmu."
"Tapi dia tidak berhak untuk cemburu...!"
Cin Han tersenyum.
"Dia cemburu karena cintanya, nona. Dia tidak ingin kehilangan engkau..."
"Tapi dia terlalu menghinamu, juga menghinaku. Dia tidak menghargai orang lain, kepala batu dan congkak!"
Cin Han diam saja dan suasana menjadi semakin kaku. Tak lama kemudian, muncullah Ciu Tai-jin. Baru saja dia mendapat laporan dari Cong Bu tentang diri Cin Han. Seorang kacung kuil!Sungguh tidak disangkanya. Kalau hanya seorang kacung, seorang pelayan, tentu saja tidak pantas menjadi sahabat dan tamu puterinya. Cong Bu memang melaporkan dengan hati panas.
Dua orang utusannya tadi telah pulang dan sambil meringis menceritakan tentang gagalnya usaha mereka karena muncul nona Ciu yang bahkan menghajar dan membikin malu pada mereka. Dua orang itu melaporkan betapa nona Ciu membela Cin Han dan mengajak pemuda itu makan minum di rumah makan, di depan umum! Dengan hati panas dia lalu pergi mengunjungi rumah sumoinya dan dapat dibayangkan betapa panas dan cemburu rasa hatinya melihat sumoinya, juga tunangannya itu, duduk berdua saja dengan Cin Han di dalam taman dalam suasana yang romantis! Maka diapun cepat mengadukan keadaan Cin Han kepada calon ayah mertuanya. Pembesar ini menjadi marah dan cepat memasuki taman.
"Lian Hwa!"
Kata orang tua itu dengan sikap marah dan suara keras.
"Benarkah bahwa pemuda ini adalah seorang kacung kuil?"
"Benar, ayah, akan tetapi..."
"Cukup!!"
Bentak pembesar itu dan kepada Cin Han yang berdiri dengan muka ditundukkan dia berkata,
"Orang muda, engkau tahu sendiri betapa tidak pantas kalau engkau menjadi tamu kami. Apa akan kata orang kalau mendengar bahwa puteri kami bersahabat dengan seorang kacung kuil? Nah, aku minta agar engkau suka meninggalkan rumah kami sekarang juga."
"Ayah...!"
"Sudahlah, nona Ciu. Yang salah adalah aku. Ayahmu benar, aku harus tahu diri. Nah, aku akan mengambil pakaianku dan terus pergi dari sini, nona. Maafkan bahwa kehadiranku hanya mendatangkan keributan belaka."
Tanpa menoleh Cin Han lalu melangkah lebar menuju ke kamarnya, mengambil buntalan pakaiannya, kemudian pergi meninggalkan rumah gedung itu dengan hati terasa perih. Dia memang tak tahu diri, pikirnya. Mana mungkin seorang seperti dia bergaul dengan orang-orang seperti Ciu Lian Hwa dan Kim Cong Bu?
Malam semakin larut dan suasana sunyi sekali di rumah keluarca Ciu. Lampu-lampu besar sudah dipadamkan, tinggal lentera-lentera yang menerangi sudut-sudut yang gelap. Para petugas yang menjaga keselamatan keluarga itu sudah mulai meronda, memasuki taman, mengelilingi gedung dan memasuki lorong-lorong kecil dalam perumahan yang luas itu. Dua sosok bayangan hitam berkelebat cepat, menyelinap di antara semak-semak dalam taman, lalu bersembunyi di balik batang pohon dan semak-semak ketika ada dua orang penjaga meronda dan lewat di lorong dekat taman. Dua orang itu berpakaian serba hitam dan muka mereka ditutupi kedok hitam pula, hanya nampak dua mata melalui lubang di kedok itu. Gerakan mereka gesit dan ringan sekali, yang seorang bertubuh tinggi besar dan seorang lagi kecil ramping.
Mereka berdua tidak tahu bahwa agak jauh di belakang mereka, terdapat sesosok bayangan pula yang membayangi mereka sejak tadi! Bayangan orang ke dua ini bukan lain adalah Bu Cin Han! Ketika tadi dia meninggalkan rumah gedung keluarga Ciu dmean hati perih, di tempat gelap dia melihat beikelebatnya dua bayangan orang. Dia terkejut karena dia mengenal gerakan orang yang ahli dalam ilmu ginkang (ilmu meringankan tubuh). Hatinya tertarik dan diam diam diapun membayangi mereka. Alangkah heran dan kagetnya ketika dia melihat kedua orang yang dibayanginya itu menuju ke gedung keluarga Ciu! Mereka berdua meloncati pagar tembok dan masuk ke dalam taman di mana tadi dia duduk bersama Ciu Lian Hwa. Dengan hati-hali Cin Han terus membayangi dan menanti dalam persembunyiannya ketika dua orang itupun menanti sampai malam agak larut.
Setelah para peronda lewat dan suasana makin sepi, dua sosok bayangan orang itu berloncatan keluar dari tempat sembunyi mereka dan dengan gerakan ringan sekali mereka meloncat ke atas genteng bangunan induk di mana tinggal keluarga Ciu. Cin Han terus membayangi mereka dari jarak yang aman sehingga tidak nampak oleh mereka. Ciu Tai-jin dan isterinya sudah tidur nyenyak ketika tiba-tiba mereka terbangun oleh suara keras dan betapa kaget hati mereka melihat jendela kamar mereka telah dibongkar orang dan jebol. Ciu Tai-jin menyingkap kelambu dan dia melihat bayangan dua orang di luar jendela, keduanya memegang sebatang pedang telanjang yang berkilauan tertimpa sinar lentera dari luar kamar! Satu di antara dua bayangan itu mengeluarkan suara lirih, namun tajam dan mendesis seperti suara orang yang menahan kemarahan.
"Orang she Ciu, bersiaplah untuk mampus!!"
Tiba-tiba bayangan yang sudah hendak melompat ke dalam kamar itu, terdorong keluar kembali dan terdengar seruan orang lain,
"Jangan...!"
Kemudian terjadi perkelahian di luar kamar pembesar itu. Ciu Tai-jin melihat betapa dua orang bayangan yang mengenakan pakaian dan kedok hitam mengeroyok seorang laki laki yang memukai kedok pula, yang terbuat dari saputangan yang menutupi sebagian mukanya bagian bawah. Orang ini tidak memegang senjata, dikeroyok oleh dua orang yang menggunakan pedang itu.
"Tolooonggg...! Tolooonngg...! Penjaga...! Ada perampok...!"
Ciu Tui-jin berteriak-teriak, juga isterinya berteriak-teriak. Mendengar teriakan ini dan melihat pula berbondong-bondong para penjaga menyerbu ke tempat itu, dua orang berpakaian serba hitam lalu berloncatan pergi, gerakan mereka cepat sekali. Orang ke tiga yang menutupi muka dengan sapu tangan, juga meloncat pergi dan gerakannya bahkan lebih cepat dari pada dua orang pertama.
"Ayah...! Ibu...! Apakah yang telah terjadi?"
Ciu Lian Hwa kini muncul dengan pedang di tangan, Ia masih mengenakan pakaian tidur, hanya menutupinya dengan mantel karena ia terkejut oleh teriakan ayah ibunya tadi. Dan pada waktu itu, belasan orang penjaga juga sudah berdatangan.
"Ada dua orang berpakaian hitam, berkedok hitam, membongkar jendela dan hendak menyerang ke dalam kamar. Lalu muncul orang ke tiga tadi yang menutupi muka dengan saputangan. Terjadi perkelahian di luar kamar, orang ke tiga itu dengan tangan kosong dikeroyok oleh dua orang berpedang, (Lanjut ke Jilid 05 - Tamat)
Dendam Membara (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05 (Tamat)
dan kami berteriak-teriak, mereka semua lalu melarikan diri."
Kata Ciu Tai-jin yang selanjutnya memerintahkan komandan jaga untuk memperketat penjagaan dan melakukan usaha pencarian penjahat-penjahat tadi. Lian Hwa sendiri mempergunakan kepandaiannya untuk meloncat ke atas genteng dan melakukan pencarian, namun tidak menemukan jejak tiga orang yang diceritakan ayahnya itu.
"Keadaan hanya remang-remang, mereka semua menutupi mukanya, akau tetapi jelas bahwa dua orang berpakaian hitam itu bermaksud buruk, bahkan terdengar seorang di antara mereka, dengan suara wanita mengatakan bahwa ia akan membunuhku. Sedangkan orang ke tiga, yang agaknya dia yang berseru melarang, menentang mereka sehingga mudah diduga bahwa dia telah menolong, kalau tidak bahkan mungkin telah menyelamatkan nyawaku."
Kata Ciu Tai-jin kepada puterinya ketika mereka membicarakan peristiwa yang mengejutkan dan mengkhawatirkan itu.
"Akan tetapi, siapa yang memusuhi ayah? Apakah ayah mempunyai musuh?"
Tanya Lian Hwa. Ciu Tai-jin menghela napas panjang,
"Memegang jabatan tak mungkin membuat orang bebas dari permusuhan. Apa lagi kalau pemegang jabatan itu bertindak tegas dan tertib, tanpa pandang bulu menentang mereka yang melanggar hukum, tentu dimusuhi banyak orang, para penjahat dan para pejabat yang menyeleweng dan kutentang."
Akan tetapi pembesar ini bingung juga memikirkan bahwa ada wanita yang memusuhinya dan berniat membunuhnya. Mulai malam itu, penjagaan dilakukan dengan ketat, dan Kim-ciangkun yang mendapatkan berita ini, bahkan mengerahkan sepasukan pengawal istimewa untuk mengawal keselamatan keluarga Ciu itu.
Orang ke tiga itu adalah Bu Cin Han. Ketika Cin Han melihat dua orang berkedok itu memasuki taman rumah keluarga Ciu, timbul perasaan khawatir dalam hatinya. Memang, ayah Lian Hwa telah menghinanya, bahkan mengusirnya. Akan tetapi, hal itu tidak mendatangkan kebencian dalam batinnya. Ayah gadis itu mengusirnya karena malu mendengar puterinya bersahabat dengan seorang kacung, seperti yang tentu telah dilaporkan oleh Cong Bu. Kini ada orang-orang mengancam keselamatan keluarga itu, dan dia mengetahuinya, maka dia harus turun tangan mencegahnya. Betapapun juga, bukankah Lian Hwa telah bersikap amat baik kepadanya? Dan bukankah sebelum mendengar laporan atau hasutan Cong Bu, ayah ibu gadis itupun berskap baik kepadanya? Ketika dua orang itu membongkar jendela kamar,
Diapun mendekat dan ketika seorang di antara mereka, yang ternyata seorang wanita, mengeluarkan suara mengancam Ciu Tai-jin, Cin Han merasa terkejut bukan main karena dia mengenal suara wanita itu. Suara Kim Eng! Dia mengenal betul suara gadis itu dan dia tidak meragukan lagi bahwa itu adalah suara Lui Kim Eng, gadis yang dicintainya! Juga kini bentuk tubuhnya dikenal dengan baik, maupun gadis itu mengenakan pakaian hitam dan kedok hitam. Maka, diapun berteriak mencegah dan mendorong Kim Eng sehingga gadis itu tidak jadi meloncat masuk ke dalam kamar. Kemudian, dia harus menghadapi pengeroyokan mereka berdua yang memegang pedang. Cin Han memang sudah menutupi mukanya dengan saputangan. Hal ini tadinya dilakukan karena dia tidak ingin dikenal oleh penghuni rumah keluarga Ciu yang hendak dibelanya.
Maka, Ciu Tai-jin tidak mengenalnya, bahkan wanita berkedok hitam yang sesungguhnya adalah Lui Kim Eng, tidak pula mengenalnya ketika ia bersama temannya terpaksa melarikan diri karena para penjaga sudah datang berlarian atas teriakan Ciu Tai-jin dan isterinya. Semenjak terjadinya percobaan pembunuhan atas diri kepala daerah itu, bukan hanya para pengawal yang sibuk berjaga setiap malam dengan ketatnya. Diam-diam ada seorang yang melakukan penjagaan dengan rahasia, dan orang ini bukan lain adalah Cin Han! Pemuda ini setiap malam, secara sembunyi menjaga tidak jauh dari rumah pembesar itu, siap untuk mencegah kalau, sampai dua orang berkedok itu muncul kembali untuk mengulangi percobaan mereka membunuhi Ciu Tai-jin. Hal ini adalah karena dia merasa yakin bahwa seorang di antara dua orang berkedok itu adalah Lui Kim Eng!
Dia tidak tahu mengapa gadis itu melakukan usaha pembunuhan terhadap Ciu Tai-jin dan tidak tahu pula siapa gerangan orang tinggi besar yang menemaninya, akan tetapi dia sama sekali tidak menghendaki gadis yang dicintanya itu menjadi seorang pembunuh gelap! Dia harus mencegah Kim Eng melakukan pembunuhan itu, melakukan perbuatan gelap seperti penjahat dan untuk pencegahan ini, terpaksa setiap malam dia harus berjaga di sekitar rumah keluarga Ciu. Hatinya agak lega melihat betapa ketatnya penjagaan pasukan pengawal sehingga sukarlah kini memasuki gedung itu tanpa diketahui para penjaga. Karena setiap malam dia berjaga, maka pada siang hari dia beristirahat di rumah penginapan dan selebihnya waktu siang dia pergunakan untuk mencoba mencari di mana adanya Lui Kim Eng. Namun, usahanya mencari Kim Eng di siang hari tak pernah berhasil.
Diapun melihat kesibukan dan persiapan keluarga Ciu, tentu untuk merayakan pesta pertunangan yang akan diadakan, pertunangan antara Ciu Lian Hwa dan Kim Cong Bu. Ah, dia akan menanti sampai tiba saat perayaan itu di mana besar kemungkinan Kim Eng akan muncul pula. Andaikata tidak, maka dia akan mencari Kim Eng ke dusunnya, yaitu di Lian giok bun, untuk memberi nasihat kepada gadis itu agar menghentikan niatnya membunuh kepala daerah Tong-an. Dan memang tak pernah gadis itu muncul lagi di waktu malam untuk mengulang usahanya membunuh pembesar Ciu, sampai tiba saatnya pesta perayaan hari pertunangan itu diadakan dengan meriah. Pesta itu diadakan meriah sekali. Maklum, yang punya kerja adalah kepala daerah dan komandan pasukan keamanan, dua orang paling tinggi kedudukannya di kota Tong-an.
Orang-orang terpenting di kota itu diundang, dan mereka yang tidak diundang, datang pula berbondong menonton dari luar karena pesta itu diramaikan dengan musik, nyanyi, tari bahkan permainan silat! Sejak pagi sekali, Cin Han sudah berada di situ, menyelinap di antara para penonton yang berdiri di luar pekarangan. Dia bukan menonton, melainkan memasang mata mengamati semua orang yang datang, baik mereka yang datang sebagai tamu maupun mereka yang hanya sebagai penonton saja. Dan usahanya sekali ini berhasil. Dia melihat Lui Kim Eng, yang berpakaian pria, bersama seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar, masuk sebagai tamu bersama para tamu lainnya dan mereka itu duduk di bagian tamu muda yang berada di barisan belakang.
Berdebar rasa jantung Cin Han saking tegangnya melihat gadis itu. Biar menyamar seribu kalipun, dia akan selalu dapat mengenal sepasang mata itu! Dia memperhatikan pemuda yang datang bersama Kim Eng, dan ada perasaan tidak sedap menyelinap dalam hatinya. Siapakah pemuda yang gagah itu? Tubuhnya tinggi besar dan sikapnya gagah, seorang jantan yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Dia merasa heran sendiri melihat betapa perasaannya terguncang oleh sesuatu yang tidak nyaman. Cemburulah dia? Din Cin Han merasa malu sendiri. Kenapa dia harus cemburu? Apanyakah Kim Eng? Cepat-cepat dia dapat melihat betapa bodohnya perasaan yang menyelinap di dalam perasaan hatinya ini dan perasaan itupun lenyap.
Dia kini waspada mengikuti gerak-gerik kedua orang itu dari jauh, dan kerumunan para penonton yang semakin bertambah karena musik, telah dimainkan dan mengiringi suara nyanyian merdu, beberapa orang gadis penyanyi yang cantik-cantik... Pesta berlangsung dengan meriah sekali. Para tamu mulai menikmati hidangan makanan yang serba mahal, sambil menonton pertunjukan hiburan yang menggembirakan. Sekarang juru bicara mewakili tuan rumah, menyambut para tamu dengan sebuah pidato yang cukup panjang, disambut tepuk tangan meriah oleh para tamu. Dari tempat dia berdiri, selain dapat mengikuti gerak-gerik Lui Kim Eng dan temannya, juga Cin Han dapat melihat Ciu Tai-jin yang duduk di atas panggung bersama isterinya. Juga seorang panglima setengah tua bersama isterinya duduk di panggung itu sehingga mudah diduga oleh Cin Han bahwa tentu panglima itu komandan pasukan keamanan, ayah dari Cong Bu.
Dua orang muda yang dirayakan pertunangan mereka juga hadir di situ, yaitu Kim Cong Bu yang mengenakan pakaian mewah dan Ciu Lian Hwa yang nampak cantik jelita dalam pakaiannya yang indah. Dan Cin Han melihat pula dengan hati lega betapa panggung itu dijaga oleh puluhan orang pengawal, banyak di antara mereka berpakaian preman sehingga dia maklum bahwa keselamatan pembesar itu terjamin. Dia yakin bahwa Lui Kim Eng dan temannya itu kini tidak akan mampu berbuat sesuatu untuk mencelakai Ciu Tai-jin. Diam-diam timbul kembali perasaan di dalam hatinya. Kenapa Kim Eng melakukan ini? Apakah ia terbawa oleh laki-laki itu? Siapa pula laki-laki itu? Tentu saja Cin Han tidak dapat menduganya siapa karena memang dia belum mengenalnya. Pemuda tinggi besar yang datang bersama Kim Eng itu bernama Tan Sun, su heng (kakak seperguruan) dari Kim Eng.
Seperti telah kita ketahui, setelah ayahnya pindah ke dusun, Kim Eog bertemu dengan seorang guru yang berilmu tinggi. Gurunya itu seorang to-su (pendeta Agama To) dan ia diterima sebagai muridnya bersama seorang yang telah lebih dulu menjadi muridnya, yaitu Tan Sun. Hubungan antara kedua orang saudara seperguruan ini akrab sekali, apalagi karena Tan Sun inilah yang lebih banyak melatih ilmu silat kepada Kim Eng dibandingkan dengan gurunya sendiri. Tingkat ilmu silat Tan Sun jauh lebih tinggi dari pada tingkat Kim Eng walaupun gadis ini memiliki bakat yang amat baik. Setelah tamat belajar dan merasa bahwa ia telah memiliki bekal ilmu silat tinggi, Kim Eng lalu mengambil keputusan untuk mencari musuh ayahnya.
Ayahnya yang dulunya seorang jaksa di kota Wan-sian, kena fitnah sehingga dia dipecat dengan tidak hormat, hartanya disita pemerintah dan ayahnya menjadi seorang yang jatuh lahir batinnya, menderita sakit dan hidup miskin di dusun Liang-ok-bun. Sesungguhnya keadaan ayahnya itulah yang mendorong Kim Eng, untuk mempelajari ilmu silat setinggi-tingginya, yaitu untuk membalas dendam. Ia telah mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas kejatuhan ayahnya. Ayahnya dipecat karena laporan seorang pejabat lain, yang bukan lain adalah Ciu Tai-jin, kepala daerah dari kota Tong-an. Kim Eng menceritakan niatnya membalas dendam kepada suhengnya dan mendengar ini, Tan Sun segera menyatakan kesediaannya untuk membantu.
"Musuh besarmu seorang kepala daerah, seorang pembesar tinggi. Berbahaya sekali untuk menyerangnya, su-moi, karena tentu dia dikawal oleh banyak prajurit. Aku khawatir sekali engkau akan gagal, bahkan celaka, maka aku harus membantumu sampai engkau berhasil."
Kim Eng memang sudah tahu bahwa sejak lama suhengnya ini mencintanya, walaupun Tan Sun tidak pernah mengatakannya.
Ia sendiri tidak tahu apakah ia mencinta Tan Sun walaupun ia merasa amat kagum karena suhengnya ini jauh lebih lihai dari padanya. Ketika untuk pertama kali mereka berusaha membunuh Kepala Daerah Ciu di dalam gedungnya, mereka dikejutkan oleh munculnya seorang yang mengenakan topeng saputangan, yang amat lihai ilmu silatnya. Mereka gagal dan merekapun berhati-hati. Ketika melakukan penyelidikan, tahulah mereka bahwa Ciu Tai-jin mempunyai seorang anak perempuan yang lihai ilmu silatnya, juga mempunyai calon mantu yang masih suheng dari gadis itu, juga lihai. Mendengar bahwa tak lama lagi pembesar itu akan merayakan pertunangan puterinya, Tan Sun nungusulkan kepada Kim Eng untuk menanti sampai datangnya hari perayaan itu.
"Kita menyamar sebagai tamu dan kita melihat perkembangannya. Kalau engkau tidak berhasil membunuh musuhmu dengan cara gelap, bisa kita lakukan dengan terang-terangan, di dalam pesta itu! Akan tetapi kita tidak boleh bertindak gegabah, harus melihat keadaan. Biarlah aku yang akan mengatur siasat, sumoi."
Kim Eng tentu saja berterima kasih dan setuju saja karena tanpa suhengnya ia merasa tak berdaya. Demikianlah, pada hari itu mereka berhasil menyelinap masuk sebagai tamu, di antara banyak tamu. Setelah para penari mengundurkan diri karena sudah selesai memperlihatkan suatu tarian, juru bicara muncul lagi dan sambil tersenyum gembira mengumumkan dengan suara lantang.
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo