Ceritasilat Novel Online

Dendam Membara 6


Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



"Cu-wi (hadirin sekalian) yang terhormat. Kini akan dipertunjukkan acara yang amat menarik. Karena kedua pihak yang kini dirayakan pertunangannya, yaitu"

   Ciu Siocia dan Kim Kongcu. Keduanya merupakan orang-orang yang ahli dalam ilmu silat, maka untuk menggembirakan suasana, kini akan dipertunjukkan permainan silat oleh beberapa orang ahli silat yang dipilih untuk keperluan ini. Silakan menikmati pertunjukan ini"

   Dia mundur diiringi tepuk tangan gembira dari para tamu. Dua orang laki-laki yang berpakaian ringkas sebagai ahli-ahli silat naik ke atas panggung. Mereka dengan sikap gagah memberi hormat ke arah panggung di mana duduk tuan rumah dan besannya dan dua orang muda yang bertunangan, kemudian mereka memberi hormat ke arah penonton. Beberapa orang yang memegang canang, gembreng dan tambur bermunculan dan mereka membawa bendera dengan gambar harimau bersayap.

   Ini menandakan bahwa yang bertugas meramaikan pesta itu adalah perkumpulan silat Harimau Terbang yang cukup terkenal di kota Tong-an. Musik yang bising itu dibunyikan dan mulailah kedua orang pesilat itu mendemonstrasikan ilmu silat mereka. Gerakan mereka gagah dan bertenaga. Kemudian mereka memperlihatkan ilmu silat pasangan. Mereka saling serang dengan tangkasnya dan biarpun semua gerakan itu telah diatur terlebih dahulu, namun kelihatannya seperti orang yang sungguh-sungguh berkelahi sehingga para tamu memberi sambutan dengan tepuk tangan dan seruan-seruan gembira. Akan tetapi bagi mereka yang memiliki, kepandaian silat tinggi, seperti Cong Bu dan Lian Hwa, pertunjukan itu tidak ada artinya, hanya indah dilihat saja akan tetapi hanya mengandung ilmu bela diri yang amat lemah.

   Karena yang mengundang rombongan ini adalah kepala daerah yang berbesan dengan komandan pasukan keamanan, maka sekali ini rombongan perkumpulan silat Harimau Terbang disertai ketua atau guru mereka, seorang laki-laki berusia limapuluh tahun yang bertubuh kecil pendek. Melihat keadaan tubuhnya, orang akan memandang rendah. Akan tetapi sekali ini, ketua itu ingin menyenangkan hati kepala daerah dan diapun maju sendiri untuk mendemonstrasikan kepandaiannya! Ketika dia muncul dan memberi hormat ke arah panggung, kemudian kepada para tamu, mereka yang telah mengenalnya menyambutnya dengan tepuk tangan gemuruh. Siapa yang tidak mengenal Kwan-kauwsu (Guru Silat Kwan) yang menjadi ketua Hui-houw Bu-koan (Perguruan Silat Harimau Terbang)? Biarpun pendek kecil akan tetapi orang ini sudah dikenal sebagai jago silat yang pandai.

   Ketika Kwan-kauwsu mulai bersilat, diam-diam Cin Han memperhatikan dan diapun tahu, bahwa biarpun dia saja memiliki tingkat yang iebih tinggi dari pada kedua orang muridnya tadi, namun ilmu silat yang dipertontonkan oleh guru silat inipun hanya indah ditonton saja, tidak memiliki dasar yang kuat sehingga masih meragukan kalau dipergunakan untuk membela diri menghadapi lawan tangguh. Akan tetapi, gerakan orang ini memang lincah bukan main, agaknya dia memang hendak memamerkan kepandaiannya dan sesuai dengan nama perkumpulannya, maka dia bergerak cepat laksana seekor harimau yang pandai terbang! Sorak sorai dan tepuk tangan gemuruh yang menyambut permainan silat ketua perguruan silat Harimau Terbang itu agaknya membuat Kwan Kauwsu menjadi bangga bukan main. Setelah berhenti bersilat, dia lalu memberi hormat ke empat penjuru, kemudian berkata dengan suara yang lantang.

   "Cu-wi yang mulia. Ilmu silat perkumpulan kami, sesuai dengan namanya, mengandalkan kelincahan, baru menggunakan kekerasan, seperti seekor harimau yang terbang. Untuk memeriahkan pesta ini, biarlah saya akan membuat sayembara. Lihatlah, ini adalah sebuah pisau belati pusaka peninggalan kakek saya, terbuat dari pada baja aseli dari utara."

   Dia mencabut sebuah pisau belati dan nampaklah sinar berkilau kebiruan. Sebatang pisau belati yang amat baik memang.

   "Saya akan mengikatkan pisau ini di punggung saya dan saya persilakan siapa saja di antara cuwi mencoba-coba untuk mengambil pisau ini. Siapa yang berhasil merampasnya, biarlah saja aku sebagai saudara tua dan pisau ini akan saya persembahkan kepadanya sebagai hadiah. Saya memberi kesempatan selama dua puluh jurus kepada siapi saja yang hendak mencoba, dan saya hanya akan mengelak tanpa membalas serangan."

   Manusia sombong, pikir Cin Hin. Pada saat itu, dari kelompok tamu, keluarlah seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan, bertubuh tinggi kurus dia lalu naik ke atas panggung sambil tersenyum. Dia memberi hormat kepada tuan rumah dan keluarganya di panggung.

   "Harap Tai jin, sudi memaafkan saya yang hendak meramaikan pesta ini dengan mencoba-coba mengadu untung. Siapa tahu saya bisa mendapatkan pisau belati yang baik berikut seorang adik baru!"

   Semua orang tertawa mendengar kelakar ini.

   "Bagus!! Silakan maju dan mencoba-coba, sobat!"

   Kata guru silat kecil pendek itu. Tambur pun dipukul dan seorang murid perguruan itu siap untuk menghitung binyaknya jurus.

   Si tinggi kurus melangkah maju dan membuka serangan dengan menubruk, menggunakan kedua lengannya yang panjang. Lengan kiri menyambar ke arah perut sebagai ancaman dan lengan kanan menyambar ke arah punggung untuk merampas pisau belati. Akan tetapi, dengan mudah saja Kwan-kauwsu mengelak, lincah dan lucu gerakannya. Si tinggi kurus menyerang lagi, bertubi-tubi, bahkan kadang kadang menyelingi dengan tendangan, namun semuanya luput karena guru silat itu memiliki gerakan yang jauh lebih cepat dan lincah. Karena tubrukan dan serangannya selalu dapat dielakkan dengan gerakan yang lucu, para penonton tertawa geli, mentertawakan si tinggi kurus dan sampai lewat dua puluh jurus, jangankan dapat merampas pisau, menyentuh ujung baju Kwan-kauwsu saja dia tidak mampu!

   Dengan muka merah karena ditertawakan orang, si tinggi kurus mengundurkan diri. Tiba tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan Kwan-kauwsu telah berdiri seorang pemuda yang amat tampan. Pakaiannya sederhana dan terlalu besar, wajahnya tampan dan gerak-geriknya halus, namun sepasang, matanya mengeluarkan sinar berapi penuh semangat. Cin Han terkejut melihat majunya Kim Eng dan dia pun mempergunakan kesempatan selagi para penonton dan tamu mencurahkan seluruh perhatian ke atas panggung, diapun menyelinap masuk dan mencampurkan diri dengan para tamu, duduk di sebuah kursi kosong dan siap siaga. Dia harus turun tangan mencegah kalau Kim Eng nekat hendak membunuh Ciu Tai-jin! Kim Eng memberi hormat kepada Kwan-kauwsu sambil berkata singkat,

   "Aku ingin mencoba kelihaianmu dan merampas pisau!"

   Biarpun ia sudah membesarkan suaranya, tetap saja terdengar halus, membuat semua orang meragu dan heran. Kwan-kauwsu yang bangga oleh kemenangannya yang pertama tadi, tersenyum lebar dan memandang rendah kepada pemuda yang gayanya halus seperti wanita itu.

   "Ha-ha, tentu saja boleh, orang muda. Nah, engkau mulailah!"

   Kepada muridnya dia berseru,

   "Jangan salah menghitung jurus!"

   Kembali musik dibunyikan dengan bising dan Kwan-kauwsu dengan lagak memandang ringan mulai bergerak-gerak mengubah kuda-kuda agar nampak gagah. Kim Eng memang sengaja mencari gara-gara, maka iapun menyerang dengan cengkeraman ke arah muka guru silat itu dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan menampar ke arah dada. Ketika guru silat itu dengan sigapnya mengelak, cengkeramannya ke arah muka itu dilanjutkan ke arah punggung dan hampir saja pisau itu dapat dirampasnya. Guru silat Kwan terkejut dan cepat dia melempar tubuh ke belakang, terjungkir balik akan tetapi pisaunya dapat diselamatkan dari rampasan orang. Semua orang bertepuk tangan memuji gerakan Kwan-kauwsu berjungkir balik tadi, tidak tahu bahwa guru silat itu terkejut bukan main menghadapi kecepatan serangan pertama dari Kim Eng.

   Kini gadis itu tidak membuang banyak waktu lagi. Dengan gerakan cepat dari ilmu silat Kun-lun-pai yang selama ini dipelajarinya dengan tekun, ia menyerang lagi. Kecepatan gerakannya membuat guru silat Kwan menjadi bingung dan tiba-tiba saja, jari tangan gadis itu telah berhasil menotok jalan darah di kedua pundaknya yang mengakibatkan Kwan-kauwsu tak mampu pula menggerakkan tubuhnya. Dan pada saat itu, dengan amat mudahnya Kim Eng mengambil pisau belati dari punggung kakek yang pendek kecil itu. Akan tetapi, Kim Eng tidak ingin bermusuhan dengan orang lain dan cepat ia memulihkan totokannya sambil mengembalikan pisau belati ke tangan Kwan-kauwsu sambil berkata lantang.

   "Maafkan aku dan terimalah kembali pisaumu!"

   Ketika merasa tubuhnya dapat bergerak kembali dan pisau itu berada, di tangannya, wajah guru silat itu berubah pucat, lalu menjadi merah sekali. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi orang yang memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih lihai darinya dan berapa orang itu sama sekali tidak berniat buruk. Maka diapun menjura kepada Kim Eng kemudian memberi hormat ke arah panggung dan berkata.

   "Ampunkan hamba, Tai-jin. Permainan hamba hanya sampai di sini saja."

   Setelah berkata demikian, diapun memberi isarat kepada murid-muridnya untuk turun dari atas panggung tanpa banyak cakap lagi. Para tamu banyak yang merasa heran. Peristiwa tadi terjadi terlalu cepat sehingga kebanyakan dari mereka tidak tahu apa yang telah terjadi. Akan tetapi tentu saja Ciu Lian Hwa dan tunangannya, Kim Cong Bu, dapat melihat jelas dan merekapun kagum akan kelihaian pemuda yang tampan halus itu. Selagi banyak orang keheranan, tiba-tiba seorang laki-laki muda bertubuh tinggi besar sudah berada di atas panggung. Laki-laki ini adalah Tan Sun dan dia sudah memberi hormat ke arah tuan rumah dan keluarganya.

   "Ciu Tai-jin, hamba Tan Sun dan bersama adik hamba tidak dapat menghaturkan sumbangan sesuatu kecuali apa yang kami dapat lakukan, yaitu permainan iImu silat tentu saja, kalau Tar-jin sudi menerimanya."

   Ciu Tai-jin mengerutkan alisnya. Dia tidak tahu siapa dua orang muda itu dan karena bimbang dia memandang kepada puterinya. Ciu Lian Hwa sudah tertarik sekali melihat betapa lihainya pemuda yang halus, itu tadi merampas pisau dari punggung Kwan Kauwsu, maka kini ia mengangguk kepada ayahnya. Pembesar itupun lalu menjawab dengan anggukan kepada Tan Sun sebagai tanda bahwa dia menyetujui. Mendengar ini, Tan Sun berkata dengan suara lantang,

   "Terima kasih, Tai-jin."

   Kemudian bersama Kim Eng dia berdiri di tengah panggung yang luas itu, menghadap penonton dan suaranya masih lantang ketika dia berkata.

   "Cuwi yang mulia, kami mendengar bahwa sepasang mempelai yang kini dirayakan pertunangannya adalah ahli-ahli silat kelas tinggi yang amat lihai. Oleh karena itu, sungguh meremehkan mereka berdua kalau di sini dipertunjukkan segala macam ilmu silat murahan seperti yang tadi kita sama lihat. Sekarang ini banyak sekali nama besar yang sesungguhnya hanya kosong melompong belaka. Kami tidak berani mengatakan bahwa nama besar sepasang mempelai sebagai ahli-ahli silat juga kosong belaka, akan tetapi kami berdua ingin sekali mengajak mereka untuk memperlihatkan kehebatan mereka agar disaksikan oleh para tamu yang terhormat!"

   Setelah berkata demikian, dengan sengaja Tan Sun dan Kim Eng berdiri menghadap kearah Lian Hwa dan Cong Bu dengan sikap dan pandang mata menantang.

   Cin Han terkejut. Tak disangkanya Kim Eng akan mengambil jalan demikian, yaitu agaknya hendak menentang dan menghadapi keluarga Ciu secara berterang, bahkan di depan umum! Apakah maksud gadis itu? Hendak membikin malu keluarga itu di depan umum? Ciu Lian Hwa adalah seorang gadis yang terkenal galak dan pemberani, walaupun berbudi baik. Mendengar betapa ia dan tunangannya ditantang secara halus di depan umum, tentu saja mukanya sudah menjadi merah dan ia marah sekali. Tanpa ingat lagi bahwa ia adalah orang yang saat itu sedang dirayakan dalam pesta untuk pertunangannya, ia sudah meloncat dan melemparkan mantel indah yang dipakainya. Tubuhnya berkelebat dan ia sudah berhadapan dengan Tan Sun dari Kim Eng.

   "Orang-orang sombong!"

   Bentaknya sambil menudingkan telunjuknya.

   "Kalian agaknya sengaja hendak membikin ribut di sini! Aku Ciu Lian Hwa boleh jadi bukan orang yang terlalu tinggi ilmu silatnya sehingga tidak perlu disohorkan, akan tetapi jangan kira aku takut kalau hanya menghadapi tantangan kalian!!"

   Tan Sun dan Kim Eng merasa girang sekali melihat pancingan mereka berhasil. Tepat seperti dugaan Cin Han, memang Kim Eng hendak melampiaskan dendamnya dengan cara membikin malu keluarga Ciu di depan umum. Kalau saja ia mampu mengalahkan dua orang yang dirayakan pertunangannya itu, dan dengan demikian merendahkan nama besar musuh besarnya, ia sudah akan merasa puas juga!

   "Suheng, biarlah aku menghadapinya,"

   Kata Kim Eng kepada suhengnya melihat majunya Lian Hwa. Tan Sun mengangguk dan diapun mengundurkan diri, siap untuk melindungi sumoinya kalau ada bahaya mengancam. Melihat puterinya maju, tentu saja Ciu Tai-jin menjadi khawatir dan dia sudah memberi isyarat kepada komandan pengawal. Belasan orang pengawal, dengan senjata di tangan, sudah maju hendak menangkap Tan Sun dan Kim Eng. Melihat ini, Lian Hwa berseru nyaring kepada pengawal.

   "Para pengawal mundur! Jangan mencampuri urusan ini, hanya akan membikin malu saja kepada kami!!"

   Tepat seperti yang sudah diperhitungkan oleh Tan Sun dan Kim Eng, gadis yang merasa memiliki ilmu silat tinggi ini, tentu saja merasa malu melihat pasukan pengawal hendak melindunginya.

   "Bagus, kiranya nona Ciu memang memiliki kegagahan,"

   Kata Kim Eng, akan tetapi pujian yang dilakukan dengan senyum mengejek itu tentu saja bahkan membuat panas hati Lian Hwa. Para pengawal mundur kembali oleh bentakan Lian Hwa, bahkan Ciu Tai-jin juga memandang bingung, tidak berani memaksa para pengawal karena diapun mengenal watak keras puterinya.

   "Tidak perlu banyak cakap lagi! Engkau tadi menantangku, nah, aku sudah maju dan bersiaplah untuk menandingiku!"

   Kata Ciu Lian Hwa dan iapun mengeluarkan seruan keras sebagai tanda bahwa ia sudah mulai menyerang. Serangannya dahsyat karena begitu menyerang, Lian Hwa sudah mempergunakan ilmu silat Sin-eng-kun (Garuda Sakti) yang kini sudah dikuasainya dengan baik sekali. Dengan tangan kiri di pinggang, tangan kanan Lian Hwa memukul ke arah dada lawan, dengan gerakan lurus. Melihat hebatnya serangan ini, Kim Eng cepat mengelak sambil menangkis dari samping.

   "Plakk!"

   Pukulan tangan Lian Hwa berubah menjadi cengkeraman dan tangan itu diputar dengan kuatnya untuk menangkap pergelangan tangan lawan yang menangkis. Namun hal ini sudah diketahui lebih dulu oleh Kim Eng yang juga sudah cepat menarik kembali lengan yang menangkis sehingga lolos duri cengkeraman, bahkan iapun cepat membalas dengan tendangan kaki kirinya ke arah lutut lawan. Lian Hwa meloncat ke belakang menghindar, kemudian iapun menerjang lagi dengan sengit. Terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang gadis itu. Keduanya memiliki gerakan yang sama ringan dan lincahnya, dan tubuh mereka berkelebatan, sukar diikuti dengan pandang mata biasa sehingga para tamu bersorak-sorak gembira, mengira bahwa dua orang itu memperlihatkan tontonan yang menarik.

   Sama sekali mereka tidak menduga bahwa perkelahian itu bukan sekedar demonstrasi belaka, melainkan telah menjadi suatu perkelahian yang sungguh-sungguh dan mati-matian. Cin Han yang kini menyelinap lebih dekat, memandang dengan hati gelisah. Dari gerakan mereka, dia tahu bahwa bagaimanapun juga, Lian Hwi masih kalah setingkat dibandingkan Kim Eng, terutama sekali kalah dalam hal tenaga sin-kang. Beberapa kali tubuh Lian Hwa tergetar kalau lengan mereka bertemu"

   Dan Lian Han merasa khawatir sekali kalau kalau dalam kemarahannya, Kim Eng akan membunuh puteri pembesar itu. Agaknya, Cong Bu juga melihat bahwa tunangannya terdesak, maka diapun tidak dapat menahan kegelisahan dan kemarahannya. Sambil berseru marah diapun meloncat ke atas panggung untuk membantu sumoinya atau tunangannya, akau tetapi Tan Sun yang sudah siap sejak tadi menyambutnya.

   "Ah, sungguh baik sekali kalau mempelai pria juga memperlihatkan kelihaiannya!"

   Katanya sambil menghadang. Para tamu bertepuk tangan semakin meriah dan mengira bahwa memang benar Kim Cong Bu hendak ikut memeriahkan suasana dengan memperlihatkan ilmu kepandaiannya. Cong Bu tidak banyak cakap lagi, langsung saja menerjang dan ditangkis oleh Tan Sun yang jauh lebih kuat darinya sehingga dalam beberapa belas jurus saja, Cong Bu juga terdesak bebat seperti keadaan sumoinya. Sementara itu, Kim-ciangkun sudah mengerahkan pasukan pengawal untuk mengepung tempat itu. Melihat ini, Cin Han maklum akan gawatnya keadaan yang berbalik mengancam keselamatan Kim Eng dan temannya, maka diapun cepat melompat ke tengah panggung sambil berseru,

   "Harap jangan berkelahi!"

   Dan tubuhnya bergerak ke sana-sini, menangkisi pukulan empat orang yang sedang bertempur itu. Lian Hwa dan Cong Bu yang memang sudah terdesak hebat tadi, begitu melihat munculnya seseorang yang melerai, tentu saja dapat bernapas lega dan merekapun berloncatan ke belakang sambil memandang kepada orang yang berani menghentikan pertandingan itu. Demikian pula Kim Eng dan Tan Sun, melihat munculnya orang yang dapat menangkisi pukulan-pukulan mereka, menghentikan serangan dan merekapun memandang dengan penuh perhatian, Tentu saja Lian Hwa dan Cong Bu terkejut bukan main ketika mengenal orang yang melerai itu adalah Cin Han.

   "Cin Han... Engkau... bagaimana berani menghentikan pertandingan ini?"

   Seru Lian Hwa, masih terheran-heran karena tadi ia melihat gerakan Cin Han demikian cepatnya ketika menengahi perkelahian itu. Cin Han memandang sambil tersenyum.

   "Ciu Siocia, engkau dan Kim Kongcu adalah calon-calon mempelai yang sedang dirayakan hari pertunangan kalian, sungguh tidak semestinya kalau turun tangan sendiri menghadapi pertandingan. Biarlah aku yang mewakili kalian untuk memeriahkan suasana yang menggembirakan ini."

   "Tapi... tapi... mereka ini lihai sekali...,.!"

   Seru Lian Hwa khawatir.

   "Aku tidak ingin kau wakili!!"

   Kata Cong Bu tak senang. Biarpun dia tadi kewalahan dan munculnya pemuda ini telah menyelamatkannya dari kekalahan, namun dia tidak ingin pemuda ini muncul sebagai jagoan.

   "Maaf, Kim Kongcu, akan tetapi tuan rumahnya adalah keluarga Ciu dan aku mewakili keluarga Ciu."

   Lian Hwa sudah menarik tangan tunangannya untuk diajak mundur dan duduk kembali di panggung kehormatan. Sementara itu, Kim Eng juga kaget bukan main melihat majunya Cin Han yang hendak mewakili keluarga musuhnya, Ia sudah tahu akan kelihaian Cin Han, maka tentu saja ia kaget bukan main. Di samping itu, juga perasaan hatinya tertusuk dan ia menjadi sedih melihat betapa pemuda yang amat dikaguminya itu kini membela musuhnya. Ia lalu menyentuh lengan Tan Sun.

   "Suheng, mari kita pergi saja!"

   Ajaknya.

   "Engkau mundurlah, sumoi, biar kuhadapi wakil keluarga Ciu ini. Sobat, kau sambutlah seranganku!"

   Dan Tan Sun sudah menyerang dengan cepat dan kuat. Melihat suhengnya sudah bergerak menyerang, terpaksa Lian Hwa mundur ke bawah panggung. Cin Han menyambut serangan Tan Sun dengan mudah dan selama belasan jurus dia sengaja membiarkan lawan menyerangnya.bertubi-tubi tanpa membalas. Maksudnya agar lawan tahu bahwa dia mengalah. Akan tetapi, hal ini malah membuat Tan Sun meraba penasaran sekali dan memperhebat serangannya. Sementara itu Lian Hwa dan Cong Bu yang mengamati pertempuran itu, menjadi bengong. Baru mereka tahu bahwa sesungguhnya Cin Han memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada mereka.

   "Aih, kiranya Cin Han lihai bukan main..."

   Bisik Lian Hwa.

   "Hemm, tentu dia diterima suhu menjadi muridnya,"

   Kata Cong Bu.

   "Tidak, gerakannya berbeda dengan gerakan kita. Kita dahulu terlalu memandang rendah kepadanya,"

   Kata Lian Hwa dan tunangannya diam saja, tidak berani menjawab karena dia tahu betapa sampai sekarangpun dia memperlihatkan sikap memandang rendah kepada Cin Han. Kim Eng yang menonton pertandingan itu, meremas-remas jari tangan sendiri. Ingin ia menangis rasanya. Mengapa Cin Han membela keluarga Ciu? Iapun kini dapat menduga bahwa orang berkedok sapu tangan malam sebulan yang lalu itu, yang menggagalkan usahanya membunuh pembesar Ciu, tentu Cin Han juga adanya!

   Tan Sun juga menyadari hal ini. Setelah tujuh belas jurus dia menyerang dengan sia-sia, melihat gerakan Cin Han, teringatlah dia akan orang berkedok saputangan yang menggagalkan usaha dia dan sumoinya di rumah keluarga Ciu malam hari itu. Dia menyerang semakin hebat, namun tiba-tiba Cin Han membalas serangannya dan diapun terdesak hebat! Baru beberapa kali Cin Han membalas, sudah dua kali, Tan Sun merasa betapa pundak dan dadanya tersentuh. Kalau Cin Han menghendaki, tentu dia sudah tertotok roboh! Hal ini diketahuinya dan Tan Sun menjadi bingung Apa maksudnya lawan yang lihai ini? Dia membela keluarga Ciu, akan tetapi juga jelas tidak ingin merobohkannya dan telah bersikap mengalah.

   "Kiranya engkau orang berkedok saputangan malam itu?"

   Bentaknya dengan hati penasaran. Teriakan ini menyadarkan Lian Hwa dan ayahnya bahwa dua orang muda yang kini hendak membikin ribut pesta itu bukan lain adalah dua orang berkedok yang sebulan yang lalu pada malam hari pernah menyerbu ke dalam gedung dan hendak membunuh Ciu Tai-jin. Karena itu, tiba-tiba Ciu Taijin berseru untuk menangkap dua orang itu.

   "Mereka adalah pembunuh pembunuh itu! Tangkap mereka!"

   Kim Ciangkun sendiri lalu memberi aba-aba kepada pasukannya untuk bergerak menangkap Tan Sun dan Kim Eng. Panggung itu dikurung oleh pasukan dan beberapa orang pasukan telah berloncatan naik ke atas panggung! Melihat ancaman ini, Kim Eng juga sudah meloncat ke atas panggung untuk mengamuk bersama suhengnya yang kini sudah berhenti bertanding karena Cin Han sudah meloncat ke belakang. Tiba-tiba Cin Han berkata kepada Kim Eng,

   "Nona Lui, mari kita pergi, cepat!"

   Dan Cin Han membuka jalan dengan merobohkan tiga orang prajurit yang sudah berloncatan naik ke atas panggung. Dia terus menerjang ke bawah, diikuti oleh Kim Eng dan Tan Sun yang masih bingung dan tidak tahu mengapa tiba-tiba terjadi perubahan pada sikap Cin Han.

   Kalau tadi, Cin Han mewakili tuan rumah untuk menandingi mereka, akan tetapi kini, setelah pasukan mengancam untuk menangkap mereka, dia malah membela dan membantu mereka untuk meloloskan diri! Akan tetapi, pada saat itu tidak ada waktu bagi mereka untuk banyak berheran. Merekapun mengamuk seperti Cin Han, membuka jalan dengan kekerasan untuk keluar dari kepungan. Keadaan yang kacau itu membuat para tamu menjadi panik dan hal ini menguntungkan tiga orang muda yang berusaha melarikan diri itu. Setelah berhasil membobolkan kepungan, Cin Han meloncat dan menyusup di antara tamu diikuti oleh Kim Eng dan Tan Sun dan akhirnya mereka berhasil lolos keluar dan melarikan diri.

   Cin Han di depan, diikuti Kim Eng dan paling akhir Tan Sun berada di belakang. Cin Han mengajak mereka terus lari keluar dari kota Tong-an dan memasuki sebuah hutan lebat di lereng bukit. Setelah masuk ke dalam hutan, barulah Cin Han berhenti berlari. Dengan napas agak memburu Kim Eng menghapus keringat yang membasahi leher dan dahinya dan untuk beberapa lamanya ia berdiri berhadapan dengan Cin Han dan saling pandang. Juga Tan Sun menatap wajah, pemuda itu dengan penuh perhatian, dengan alis berkerut karena dia masih bingung memikirkan sikap pemuda itu. Semula memusuhinya dengan membela keluarga Ciu, kemudian beibalik menyelamatkan dia dan sumoinya. Hal ini diakuinya bahwa kalau tidak ada pemuda ini, dia dan sumoinya mungkin kini sudah menjadi tawanan.

   "Sobat, siapakah engkau dan apa artinya perubahan sikapmu terhadap kami?"

   Tanyanya sanbil menatap tajam wajah yang tenang penuh senyum ramah itu.

   "Suheng, dia ini adalah Cin Han..."

   "Ah, engkau sudah mengenalnya, sumoi?"

   "Tentu saja! Karena aku mengenalnya dan mengenal kelihaiannya, maka tadi aku mengajak engkau untuk pergi dan tidak melawannya. Dia bernama Bu Cin Han dan kami... di waktu kecil kami adalah teman bermain. Cin Han, ini adalah suhengku, Tan Sun,"

   Kim Eng memperkenalkan.

   "Tapi, kenapa dia mewakili keluarga Ciu dan kemudian membantu kami meloloskan diri?"

   Kim Eng memandang kepada Ci Han.

   "Ya, kenapa, Cin Han? Sikapmu sungguh membingungkan. Kenapa engkau mewakili dan membela keluarga Ciu yang jahat itu?"

   "Kebetulan sekali aku juga mengenal baik dua orang muda yang sedang bertunangan itu, nona. Akan tetapi bukan karena itulah aku tadi melerai dan mewakili mereka. Aku hanya khawatir kalau kalau engkau akan membunuh orang. Aku tidak menghendaki engkau membunuh orang, nona. Itu pula sebabnya mengapa sebulan yang lalu, malam-malam itu, aku mencegah kalian membunuh Ciu Taijin. Maafkan aku."

   Kim Eng mengerutkan alisnya.

   "Lalu mengapa engkau membantu, kami meloloskan diri?"

   "Karena aku tidak ingin pula melihat engkau tertawan."

   "Cin Han, kenapa engkau mencampuri urusanku? Aku memang ingin membunuh orang she Ciu itu, dan hal itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya denganmu! Ataukah barangkali engkau telah menjadi kaki tangan pembesar itu?"

   Kim Eng bertanya drngan ketus dan sikapnya marah. Cin Han menggeleng kepala.

   "Hanya kebetulan saja malam hari itu aku melihat sikap kalian yang mencurigakan. Aku membayangi kalian sampai ke rumah keluarga Ciu dan aku segera mengenalmu di balik kedok itu, nona. Melihat betapa kalian hendak membunuh Ciu Taijin, aku lalu mengenakan kedok saputangan dan mencegahnya, Aku menduga bahwa kalian tidak akan sudah begitu saja, maka aku selalu mengamati rumah keluarku Ciu, sampai tiba hari perayaan pesta pertunangan itu. Seperti yang kuduga, kalian muncul sebagai tamu."

   "Tapi... mengapa engkau membela dan melindungi Kepala Daerah Ciu itu?"

   "Nona Lui Kim Eng, aku tidak melindunginya. Andaikata yang akan kau bunuh itu seorang pembesar lain, tentu aku akan berusaha mencegahnya pula. Aku tidak melindungi dia, melainkan tidak ingin melihat engkau menjadi pembunuh berdarah dingin."

   Kim Eng membelalakkan matanya.

   "Cin Han tahukah engkau siapa Ciu Taijin itu dan apa yang telah dia lakukan terhadap keluargaku, terhadap ayahku?"

   "Itulah yang ingin kuketahui, mengapa kalian begitu nekat hendak membunuhnya."

   "Tan suheng ini hanya membantuku saja. Dia tidak mempunyai persoalan dengan keluarga Ciu. Akan tetapi aku... dendamku setinggi langit sedalam lautan! Engkau sudah mendengar dari ibu tempo hari bahwa ayahku telah difitnah orang sehingga dipecat dari jabatannya, disita semua hartanya sehingga hidup menderita dan sengsara. Tahukah engkau siapa yang melakukan fitnah itu? Bukan lain adalah orang she Ciu itu!! Nah, kini aku berusaha membalas dendam, dan takkan puas hatiku sebelum dapat membasmi keluarga itu!"

   Cin Han mengerutkan alisnya. Kiranya gadis ini hendak membunuh Ciu Taijin karena dendam, seperti yang pernah dia lakukan dahulu ketika dia hendak membunuh ayah Kim Eng, yaitu bekas Jaksa Lui.

   "Nona, pikirkan baik-baik dan sadarilah akan kekeliruanmu sebelum terlambat. Lupakah engkau akan keadaanku sendiri ketika aku berkunjung ke rumahmu? Ketika itu, aku..."

   "Nanti dulu, Cin Han."

   Kim Eng memotong lalu ia berpaling kepada Tan Sun.

   "Tan suheng, harap engkau suka meninggalkan kami berdua karena aku ingin bicara dengan Cin Han tanpa didengar orang lain."

   Pemuda tinggi besar itu sejenak memandang kepada Cin Han dengan alis berkerut, wajahnya membayangkan penasaran dan tidak senang, akan tetapi tanpa membantah dia lalu melangkah pergi meninggalkan mereka berdua di bawah pohon besar itu.

   "Nona, engkau telah menyinggung hatinya. Menyuruh suhengmu pergi seolah-olah tidak percaya kepadanya,"

   Cin Han merasa tidak enak hati melihat itu.

   "Tidak mengapa, Cin Han. Dia akan memaafkan aku karena dia sangat sayang kepadaku. Aku tidak ingin dia mendengar tentang urusan ayah dengan keluargamu."

   Ia menoleh ke arah perginya Tan Sun dan ternyata pemuda itu sudah tidak nampak lagi bayangannya.

   "Nah, sekarang katakan mengapa engkau tadi bilang bahwa aku telah keliru untuk membalas dendamku kepada keluarga Ciu."

   "Mari kita duduk dan bicara-dengan hati terbuka dan pikiran jernih, nona, karena membicarakan tentang dendam membutuhkan pikiran jernih dan hati yang lapang, bebas dari pengaruh emosi,"

   Mereka berdua lalu duduk di atas batu besar, berhadapan dan nampak oleh Cin Han betapa cantik jelitanya gadis itu, jantungnya berdebar kencang, akan tetapi dia dapat menenteramkannya kembali dan mulailah dia bicara dengan nada suara tenang penuh kesabaran,

   "Nona, seperti kukatakan tadi, sebelum aku sadar, akupun mengandung dendam sakit hati dalam batin terhadap ayahmu. Dendam selalu membara di hatiku walaupun sudah kututup-tutupi, sebelum aku tiba di rumah keluargamu. Juga aku mendendam kepada Phang Lok, bekas tukang kebun keluargamu itu. Aku telah mengambil keputusan untuk membunuh ayahmu dan juga Phang Lok. Keadaanku pada waktu itu agaknya sama dengan keadaan hatimu sekarang. Untunglah bahwa aku telah menyadari kekeliruanku dan kuharap engkau akan dapat menyadarinya pula. Dendam adalah racun yang akan merusak batin sendiri, nona. Dendam adalah api yang akan membakar dan menghanguskan diri sendiri, dendam menciptakan mata rantai hukum karma yang akan menjadi lingkaran setan!"

   "Akan tetapi terhadap kematian ayah ibumu, ayahku sama sekali tidak bersalah, Cin Han. Sebaliknya, orang she Ciu itu sengaja melaporkan ayahku ke atasan sehingga ayah dipecat dan menderita sengsara. Orang she Ciu itu penyebab kesengsaraan keluarga ayah, sebaliknya, kesengsaraan keluarga orang tuamu bukan disebabkan oleh ayah yang selalu bersikap baik kepada keluarga orang tuamu."

   Cin Han masih tersenyum, akan tetapi senyumnya agak pahit kini dia dapat melihat jelas apa yang terjadi dalam pikiran gadis itu.

   "Nona, setiap macam peristiwa yang terjadi dalam kehidupan ini, pasti ada penyebabnya. Dan kita selalu mencari penyebabnya kepada orang luar yang kita jadikan kambing hitam, kemudian kita menjadi dendam dan ingin menyakiti atau membunuh yang menjadi penyebab dari akibat yang terjadi itu. Kita merasa enggan untuk mencari kesalahan diri sendiri yang menjadi sebab. Contohnya aku sendiri. Tadinya aku menganggap bahwa orang tuaku selalu benar dan kesalahannya pasti terletak kepada orang lain, dalam hal urusanku, pada ayahmu dan Phang Lok. Akan tetapi setelah aku mendengar akan peristiwa yang sebenarnya terjadi, baru terbuka mataku dan aku sadar bahwa setiap perbuatan akan menimbulkan akibat yang akan menimpa diri sendiri, sesuai dengan perbuatan itu. Setiap peristiwa menjadi sebab dari akibat yang lain lagi. Kalau kita digerakkan oleh dendam dan melakukan pembalasan dendam, maka berarti kita telah menciptakan suatu sebab lain yang kelak, cepat atau lambat, pasti akan menimbulkan suatu akibat lain pula."

   "Akan tetapi ayahku tidak berdosa..."

   "Yakin benarkah nona akan hal itu? Adakah manusia yang tidak berdosa di dunia ini? Bahkan dalam urusan orang tuaku sekalipun, apakah ayahmu juga tidak mempunyai kesalahan apapun, tidak menjadi satu di antara sebab-sebab yang mengakibatkan terjadinya bencana dalam keluarga orang tuaku? Nona, bukan aku menuduh, akan tetapi kalau benar ayahmu itu bersih dan tidak bersalah, mungkinkah pihak atasan dapat memecatnya tanpa kesalahan? Andaikata nona berhasil melampiaskan dendam dan membunuh Ciu Taijin, apakah urusannya akan habis sampai di situ saja? Tentu ada anggauta keluarganya yang berbalik mendendam kepadamu, dan hidupmu takkan aman lagi, selamanya akan dikejar-kejar orang yang memusuhimu."

   "Maksudmu hukum karma...?"

   "Ya, hukum karma yang akan menjadi lingkaran setan yang selalu mencengkeram dan menguasai kehidupan kita. Hanya kita sendirilah yang akan mampu mematahkan rantai ikatan itu, dengan membuang segala macam dendam, dengan membersihkan batin kita dari simpanan perasaan benci dan menghabiskan segala urusan yang terjadi pada saat itu juga, tanpa memperpanjang dab menyimpannya di dalam hati kita."

   Gadis itu termenung, lalu menarik napas panjang.

   
Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Akan tetapi, aku... akan selalu penasaran..."

   "Penasaran timbul karena memang dalam hati kita terdapat api dendam yang selalu membara, yang seperti nafsu lain, membutuhkan pelampiasan dalam bentuk perbuatan. Terus terang saja, nona, aku di waktu kecil pernah hidup di dalam kuil di mana puteri Ciu Taijin dan putera Kim Ciangkun, dua orang muda yang kini bertunangan itu, menjadi murid Siauw-lim-pai. Dan aku sudah banyak mendengar tentang Ciu Taijin dari para hwesio di kuil itu. Menurut apa yang kudengar, Ciu Taijin adalah seorang pembesar yang baik dan jujur, yang menentang para pembesar lain yang korup. Kalau dia bukan seorang pembesar yang baik, sudah pasti para hwesio di kuil Siauw lim itu tidak akan mau menerima puterinya menjadi murid. Bukan aku bermaksud menyalahkan ayahmu dan membenarkan Ciu Taijin, akan tetapi hanya untuk menyadarkan bahwa sedikit banyak, ayahmu sendirilah yang menjadi sebab dari peristiwa pemecatan itu. Seperti juga orang tuaku menjadi penyebab dari malapetaka yang menimpa keluarga kami."

   Sejenak Kim Eng memandang wajah pemuda itu, kemudian ia menarik napas panjang lagi, merasa betapa semangat dendamnya seperti udara membocor dari sebuah balon yang berlubang. Semangatnya menjadi kempis.

   "Aih, Cin Han, engkau membuat aku menjadi bimbang terhadap diri sendiri..."

   "Memang kita harus selalu bimbang terhadap diri sendiri, nona, dan selalu mengamati diri sendiri dengan waspada karena hanya pengamatan terhadap diri sendirilah yang mendatangkan kesadaran. Kita akan melihat betapa setiap perbuatan kita dilandasi nafsu, oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau seluruh kehidupan kita dicengkeram oleh hukum karma."

   Balon dendam dalam batin Kim Eng itu kini benar benar mengempis yang membuat gadis itu merasa lemas seperti kehilangan kekuatan dan pegangan. Ia menatap wajah pemuda itu sampai beberapa lamanya, kemudian bertanya,

   "Cin Han, mengapa kau lakukan semua ini?."

   Cin Han juga menatap wajah yang cantik itu.

   "Melakukan apa, nona?"

   "Engkau pernah menganggap, ayahku sebagai musuh besar yang mencelakai keluarga orang tuamu, akan tetapi sekarang engkau dengan mati-matian berusaha mencegah aku melakukan pembunuhan, bahkan engkau selama sebulan selalu menjaga agar aku jangan melakukan usaha itu, kemudian engkau juga nembantu aku dan suheng meloloskan diri dari kepungan pasukan. Mengapa engkau melakukan semua ini untuk aku, Cin Han?"

   Cin Han menatap wajah itu dan melihat betapa sepasang mata yang indah itu mengamatinya penuh selidik. Diapun menunduk. Tak mungkin dia menipu diri sendiri, tidak mungkin dia membohongi Kim Eng. Dia mencinta gadis ini.

   "Karena... semenjak pertemuan kita di Bin-juan itu, ketika engkau menolongku dari penodongan dua orang penjahat, kemudian di malam harinya engkau pula yang menolongku ketika dua orang penjahat itu muncul. Ah, bukan, bahkan semenjak kita berdua masih kanak-kanak, di dalam taman bunga itu ketika aku memanjat dan memetikkan dua buah jeruk untukmu, kemudian engkau menyuruh aku menangkap kupu-kupu akan tetapi kutolak, semenjak itu aku... aku sudah jatuh cinta padamu, nona."

   "Ahh..."

   Kim Eng menutupi muka dengan kedua tangannya, merasa terharu sekali akan tetapi juga girang karena ia sendiri sejak bertanding melawan pemuda itu di rumahnya, membela ayahnya, telah merasa kagum bukan main terhadap pemuda ini, kagum dan juga terharu dan suka sekali melihat betapa pemuda itu telah sadar dan tidak lagi mendendam kepada ayahnya. Kiranya pemuda yung dikaguminya itu kini menyatakan cinta kepadanya dengan terus terang, dengan lembut, bahkan menyatakan cinta sejak mereka masih kanak- kanak, menggugah kembali kenangan lama yang manis ketika mereka masih kanak-kanak! Melihat Kim Eng menutupi mukanya dengan kedua tangannya, Cin Han berkata dengan suara mengandung penuh penyesalan.

   "Maafkan aku, nona. Sesungguhnya, tidak pantas bagi seorang seperti aku untuk menyatakan perasaan hatiku kepada seorang gadis sepertimu, akan tetapi aku harus menyatakannya dengan jujur. Sekali lagi maafkan aku kalau aku menyinggung perasaanmu. Selamat tinggal!"

   Berkata demikian, dengan jantung seperti ditusuk rusanya, Cin Han meloncat pergi.

   "Cin Han...!."Hanya batinnya saja yang memanggil akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulutnya ketika Kim Eng menurunkan kedua tangannya dan mencari-cari dengan matanya, namun tidak lagi nampak bayangan pemuda itu. Ia bangkit berdiri dengan bingung, lalu menjatuhkan diri lagi di atas batu dan sekali ini ketika ia menutupi mukanya, dari sela-sela jari tangannya mengalir keluar air matanya.

   Sekali ini ia benar-benar menangis tanpa diketahuinya benar mengapa ia menangis, mengapa ia merasa terharu, merasa kehilangan dan merasa sedih. Cin Han berlari cepat meninggalkan Kim Eng. Hatinya seperti diremas rasanya, karena hatinya tidak ingin dia meninggalkan gadis itu, tidak ingin berjauhan lagi. Namun dia harus pergi, dia harus menjauhkan diri. Tidak pantas seorang laki-laki yatim piatu dan miskin seperti dia mendekati seorang gadis seperti Kim Eng! Rasa iba diri membuat pemuda ini lari dengan muka pucat dan hanya dengan kekuatan batin saja dia mampu menahan mengucurnya air mata. Tiba-tiba nampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Tan Sun telah menghadang di depannya. Muka pemuda yang tinggi hesar itu nampak merah dan pandang matanya penuh kemarahan.

   "Engkau bersiaplah untuk mengadu nyawa denganku!"

   Bentak Tan Sun dengan marah dan mengambil sikap hendak menyerang.

   "Eh, eh... nanti dulu, sobat Apa maksudmu menantangku?"

   Tanya Cin Han dengan kaget dan heran.

   "Hemm, kau sudah berani menyinggung hati sumoi dengan pernyataan cintamu. Engkau menghinanya!"

   Berkata demikian, Tan Sun sudah mencabut pedangnya dan langsung menyerang dengan dahsyatnya! Cin Han mengelak cepat dan beberapa kali dia berseru agar Tan Sun menghentikan serangannya dan bicara, akan tetapi Tan Sun tidak memperdulikannya, bahkan menyerang semakin nekat.

   Tentu saja Cin Han harus membela diri dengan elakan-elakan cepat, lalu mulai menangkis dan balas menyerang karena bagaimanapun juga, serangan Tan Sun semakin berbahaya saja. Dia merasa serba salah. Kalau dia menghendaki, dengan tingkatnya yang lebih tinggi, dia akan mampu merobohkan lawan, akan tetapi harus menggunakan serangan yang kuat dan hal ini membahayakan lawan. Dia tidak ingin mencelakai lawan. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan terdengar suara nyaring ketika pedang di tangan Tan Sun tertangkis oleh pedang lain yang dipegang oleh Kim Eng! Gadis ini telah menangkis serangan suhengnya dan jelas nampak bahwa ia masih menangis. Tentu saja Tan Sun terkejut bukan main dan cepat meloncat ke belakang.

   "Suheng... jangan... jangan kau serang dia...!"

   Kim Eng berkata dengan isak tertahan.

   "Sumoi! Aku membelamu. Bukankah dia telah menghinamu dan membuatmu menangis? Dia telah berani menyatakan cintanya kepadamu..."

   "Tidak! Dia tidak menghina..."

   "Sumoi. apa artinya ini?"

   "Aku... aku menangis karena terharu, karena bahagia..."

   "Sumoi! Jadi kau... kau juga cinta padanya?"

   Kim Eng tidak menjawab, hanya mengangguk dan menutupi mukanya dengan kedua tangan. Menangis!

   "Nona Kim Eng...!"

   Cin Han melangkah malu dan memegang tangan gadis itu.

   "Benarkah itu? Benarkah? Mungkinkah...?"

   "Sumoi, engkau cinta padanya? Dan aku..."

   "Maaf, suheng."

   Kini Kim Eng menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan dibiarkannya saja Cin Han memegang lengannya. Ia memandang suhengnya.

   "Aku tahu bahwa sejak dulu engkau mencintaku, suheng. Akan tetapi maafkan aku, aku sayang dan suka kepadamu sebagai suheng, sebagai sahabat, tidak pernah sebagai seorang wanita terhadap pria."

   "Dan kepada dia ini?"

   "Kami telah saling mencinta sejak masih kanak-kanak, suheng. maafkan aku..."

   Wajah yang merah dari Tan Sun kini berubah pucat dan sejenak dia memandang kepada Kim Eng dan Cin Hari. Kemudian, dengan suara lirih, dia lalu mengangkat kedua tangan di depan dada.

   "Kalau begitu kionghi (selamat), saudara Bu Cin Han. Engkau telah mendapatkan seorang calon jodoh yang tiada keduanya di dunia ini. Selamat tinggal, sumoi, semoga engkau berbahagia!"

   Tanpa menoleh lagi Tan Sun lalu meloncat dan lari pergi meninggalkan tempat itu.

   "Nona... tidak mimpikah aku...?"

   Kedua lengannya merangkul pundak. Kim Eng balas merangkul dan menyusupkan mukanya di dada pemuda itu.

   "Masihkah engkau harus bertanya lagi dan masihkah engkau harus merendahkan diri dan menyebut nona kepadaku."

   "Kim Eng...! Eng-moi" (adik Eng)...!"

   Cin Han mendekap kepala itu dengan kedua lengannya, seolah-olah dia hendak memasukkan kepala itu ke dalam dadanya agar tidak lepas lagi.

   "Cin Han... Han-koko (kakak Han)...!"

   "Kasihan saudara Tan Sun."

   "Sudahlah, cintanya kepadaku penuh nafsu, dia membantuku untuk membunuh orang, dia mencinta penuh cemburu, dia hendak menguasai aku, memiliki aku. Sedangkan engkau... engkau rela berkorban diri demi untuk menyadarkan aku, untuk membahagiakan aku..."

   "Eng moi, aku cinta padamu... ah, betapa rinduku kepadamu selama ini..."

   "Dan aku hanyalah calon isterimu yang bodoh, Han-ko, biarlah aku yang akan menebus semua kesalahan yang pernah dilakukan ayahku terhadap keluarga orang tuamu..."

   "Hushhh, tidak ada dendam membara lagi, Eng-moi..."

   Dan merekapun tenggelam dalam pelukan mesra.

   TAMAT

   Solo, akhir Juni 1981.

   Sumber djvu : Tiraikasih http://kangzusi.com

   Edit by : aaa, Ebook oleh : Dewi KZ

   79

   

   

   


Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini