Tawon Merah Bukit Hengsan 11
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
Melihat munculnya sepuluh orang laki-laki yang bersenjata golok dan pada baju bagian dada mereka terdapat lukisan bunga teratai putih pada lingkaran dasar biru, tahulah dara kembar itu bahwa mereka tentulah anggauta gerombolan Pek-lian-kauw. Keduanya lalu melompat turun dari atas kuda dan menghadapi mereka dengan siap siaga dan waspada.
Sepuluh orang gerombolan Pek-lian-kauw itu terbelalak memandang dua orang gadis itu. Mereka merasa kagum dan heran. Kagum akan kecantikan mereka akan tetapi juga heran melihat betapa dua orang dara itu persis sama. Wajah, bentuk tubuh, pakaian, semua serupa dan tidak dapat dibedakan satu sama lain. Pemimpin kelompok itu lalu melangkah maju dan bertanya, suaranya keren karena seperti biasa terjadi pada pria umumnya, bertemu dengan wanita cantik lalu timbul sikapnya untuk berlagak.
"Hei, dua orang nona yang cantik dan gagah! Siapakah kalian dan ada keperluan apa kalian mendaki bukit ini? Kalian melanggar wilayah kami!"
Can Kim Siang yang selalu menjadi wakil pembicara di antara sepasang dara kembar itu karena ia lebih pandai bicara daripada Can Gin Siang yang pendiam, lalu menjawab lantang.
"Siapa kami tidak perlu kalian Ketahui! Kalian adalah para anggauta gerombolan Pek-lian-kauw. Minggirlah atau terpaksa kami berdua akan membunuh kalian semua!"
"Ha-ha, galak benar engkau, nona. Kami tidak akan mempergunakan kekerasan karena ketua kami tentu akan marah kalau kami melukai apalagi sampai membunuh dua orang gadis cantik jelita seperti kalian berdua. Akan tetapi karena kalian telah melanggar wilayah kami, terpaksa kami akan menangkap kalian dan kami bawa menghadap ketua kami."
Dua orang gadis kembar itu saling pandang. Keduanya memiliki perasaan yang amat peka satu terhadap yang lain sehingga melalui pandang mata saja mereka sudah menduga pikiran masing-masing. Can Kim Siang dan adik kembarnya berpikir bahwa berdasarkan pengalaman mereka menghadapi gerombolan penjahat, untuk membasmi gerombolan penjahat haruslah seperti kalau membunuh ular. Yaitu kepalanya dulu dihancurkan dan seluruh badan dan ekornya akan tak berdaya lagi. Menghadapi gerombolan penjahat juga demikian. Kepalanya atau pemimpinnya dulu dibasmi. Kalau pemimpinnya mati, tentu para anggautanya akan menyerah.
"Memang kedatangan kami ini untuk bertemu dengan ketua kalian! Akan tetapi kami hendak bertemu dengannya sebagai orang bebas, bukan tangkapan. Kalau kalian hendak menangkap kami, terpaksa kami melawan dan membunuh kalian!"
Kata Can Kim Siang.
Seorang anggauta gerombolan itu mendekati sang pemimpin regu dan berbisik.
"Hati-hati, twako, jangan-jangan mereka ini teman-teman ketua kita yang baru. Kalau kita ganggu dan ketua mendengarnya, kita akan celaka......."
Pemimpin itu mengangguk, lalu berkata kepada dua orang dara kembar itu.
"Baiklah, mari kami antar nona berdua bertemu dengan ketua kami, bukan sebagai tawanan, melainkan sebagai tamu. Silakan, nona-nona!"
Kim Siang dan Gin Siang merasa girang. Mereka akan lebih senang kalau dapat membasmi saja pimpinan gerombolan ini, daripada harus membasmi para anggauta yang hanya menaati perintah pimpinannya. Mereka menunggang kuda mereka dan mendaki bukit, didahului oleh sepuluh orang anggauta Pek-lian-kauw itu karena dua orang dara kembar itu tidak menghendaki anak buah gerombolan itu berjalan di belakang mereka.
Setelah tiba di pintu gerbang perkampungan Pek-lian-kauw, Kim Siang dan Gin Siang turun dari atas kudanya dan mereka membiarkan anak buah Pek-lian-kauw mengurus dua ekor kuda mereka. Dengan waspada dan hati-hati dua orang dara kembar yang tabah itu mengikuti anggauta Pek-lian-kauw yang mengantar mereka sampai ke dalam pekarangan rumah besar tempat tinggal ketua Pek-lian-kauw.
Pemimpin regu tadi segera memasuki rumah besar dan ketika mendapat keterangan dari para pelayan bahwa sang ketua berada dalam kamarnya, dia segera menuju ke kamar itu dan mengetuk daun pintu kamar yang tertutup.
"Tok-tok-tok.......!!"
Thio Kam Ki berada di dalam kamarnya yang luas itu. Dia duduk di tepi pembaringan dan di atas pembaringan itu Bwee Hwa rebah telentang dengan kedua kaki tangannya terbelenggu! Setelah tadi berhasil menangkap Bwee Hwa dengan menotoknya sehingga gadis itu terkulai lemas dan dipondongnya memasuki rumah, dia lalu melempar tubuh Bwee Hwa di atas pembaringan, mengikat kedua kaki tangannya, baru dia membebaskan totokan pada diri Bwee Hwa sehingga Bwee Hwa dapat bergerak kembali. Akan tetapi gadis itu tidak mampu menggerakkan kaki tangannya yang terpentang dan terikat pada kaki pembaringan. Ia teringat akan Ong Siong Li yang terluka dan terpukul roboh.
Kini ia tertawan dan mungkin Siong Li tewas, juga Ui Kong tentu tidak mampu melawan seorang diri saja. Membayangkan semua ini, Bwee Hwa memandang kepada Kam Ki yang duduk di atas kursi sambil minum arak itu dengan mata mencorong penuh kemarahan. Membayangkan Siong Li tewas, ia menjadi sedih dan marah sekali. Ong Siong Li merupakan orang yang paling baik baginya, pemuda itu merupakan penolongnya, sahabatnya yang setia, dan ia tahu pula betapa Siong Li amat mencintanya.
Iapun amat suka dan kagum kepada Siong Li, walaupun ia mencinta pemuda itu sebagai kasih sayang seseorang terhadap kakaknya. Betapa besar kasih sayang Siong Li kepadanya sehingga pemuda itu mengantar ia untuk mencari tunangannya, calon suaminya! Siong Li mengalah, mengorbankan kesenangan diri sendiri demi cintanya dan demi kebahagiaan dirinya! Ia sendiri mencinta Siong Li sebagai seorang kakak. Juga ia tidak mempunyai rasa cinta terhadap Ui Kong maupun Ui Kiang, hanya menganggap kedua kakak beradik ini sebagai sahabat-sahabat yang baik. Bagaimanapun juga, kini mengingat bahwa mungkin Siong Li tewas dan Ui Kong terancam bahaya, ia menjadi sedih sekali dan marah.
"Kamu""
Jahanam busuk, manusia terkutuk! Lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai mati!"
Bwee Hwa memaki sambil memandang kepada pemuda tampan yang gerak-geriknya lembut namun yang memiliki ilmu kepandaian amat lihai itu.
Mendengar kata-kata ketus ini, Kam Ki menoleh, lalu minum sisa arak dalam cawannya dan setelah meletakkan cawan kosong di atas meja, dia tersenyum menghampiri pembaringan. Dia duduk di tepi pembaringan dan mengamati wajah dan seluruh tubuh Bwee Hwa.
Diam-diam Bwee Hwa bergidik dan merasa seluruh bulu di tubuhnya meremang. Ia merasa seolah-olah sinar mata pemuda itu menggerayangi dan membelai seluruh tubuhnya. Pandang mata itu terasa amat mengerikan baginya. Sering sudah ia melihat pandang mata seperti itu dari para pria yang bertemu dengannya, akan tetapi baru sekarang ia melihat sinar mata yang begitu penuh nafsu seperti bernyala-nyala, senyum yang tampak olehnya begitu keji dan kejam!
"Hemm, Ang-hong-cu Lim Bwee Hwa, julukan Ang-hong-cu (Si Tawon Merah) memang tepat untukmu. Engkau dapat menjadi liar dan galak seperti seekor tawon yang siap menyerang dan menyengat siapa saja, akan tetapi engkaupun dapat seperti seekor kupu-kupu yang amat cantik jelita menggairahkan. Bwee Hwa, engkau telah terjatuh ke dalam tanganku. Betapa mudahnya bagiku untuk membunuhmu, akan tetapi aku tidak tega membunuhmu, bahkan menyakitimupun aku tidak tega. Engkau begini cantik jelita, kulitmu begini mulus. Gadis seperti engkau ini pantasnya disayang dan dibelai, bukan disakiti"""
"Keparat, aku tidak membutuhkan pujian dan rayuanmu! Cepat katakan bagaimana keadaan dua orang temanku!"
"Ha-ha-ha, dua orang temanmu itu mencari kematiannya di sini. Mereka sudah mati!"
Tentu saja Bwee Hwa terkejut bukan main dan kesedihan membuat ia menjadi marah sekali. Akan tetapi karena kaki tangannya terbelenggu sehingga ia tidak mampu bergerak, ia hanya dapat memandang dengan sinar mata penuh kebencian dan berteriak-teriak.
"Jahanam busuk! Engkau kejam, engkau keparat! Hayo lepaskan aku dan kita bertanding sampai mati! Kalau engkau pengecut dan tidak berani, hayo cepat bunuh! Aku tidak takut mati!"
Kam Ki tidak marah, malah tersenyum.
"Hem, dalam keadaan marah engkau malah semakin cantik menarik. Bwee Hwa, manis, jangan salahkan aku kalau dua orang itu mati. Mereka mencari kematian mereka sendiri karena berani menyerbu ke sini. Akan tetapi engkau""
Aku tidak mengijinkan siapapun juga membunuhmu atau bahkan melukaimu. Aku cinta padamu, Bwee Hwa, dan aku ingin engkau menjadi isteriku dan hidup sebagai suami di sini, memimpin para anak buah. Engkau akan hidup bahagia.......!"
"Cukup!"
Bwee Hwa membentak.
"Lebih baik aku mati daripada menjadi isteri seorang penjahat busuk macam kamu!"
Biarpun mulutnya tetap tersenyum, namun dalam hatinya Kam Ki mulai merasa dongkol.
"Lim Bwee Hwa, biar kau pikirkan lebih dulu permintaanku agar engkau lebih baik hidup dan menjadi isteriku di sini daripada engkau nekat mencari kematian. Aku akan mandi dulu. Nanti aku akan kembali mendengar keputusan dan jawabanmu."
Setelah berkata demikian, Kam Ki keluar dari kamar itu.
Setelah pemuda itu meninggalkan kamar, Bwee Hwa mulai menangis. Tadi ia tidak sudi memperlihatkan tangisnya di depan pemuda itu. Akan tetapi kini, setelah ditinggal sendirian, ia membayangkan kematian Ong Siong Li dan Ui Kong seperti yang dikatakan Kam Ki tadi dan ia merasa berduka sekali. Ia memang belum mempunyai perasaan cinta sebagai seorang wanita terhadap pria kepada kedua orang pemuda itu, biarpun Siong Li merupakan seorang sahabat terbaiknya yang selalu membela dan membantunya dan Ui Kong adalah salah seorang calon tunangannya karena ia harus memilih antara Ui Kong dan Ui Kiang untuk menjadi calon jodohnya seperti yang telah ditentukan mendiang ibunya. Akan tetapi ia menganggap Siong Li dan Ui Kong sebagai sahabat-sahabat yang amat baik dan ada rasa kagum dan sayang dalam hatinya terhadap mereka. Kini mereka telah tewas! Ia merasa sedih dan juga sakit hati sekali terhadap Pek-lian-kauw yang dipimpin Kam Ki, pemuda yang jahat akan tetapi juga amat lihai sekali itu.
Tak lama kemudian, terpaksa Bwee Hwa menghentikan lamunannya dan menghentikan pula tangisnya walaupun ia tidak dapat menghapus air mata yang membasahi kedua pipinya karena ia mendengar langkah kaki orang memasuki ruangan itu.
Setelah orang itu datang dekat dan duduk di tepi pembaringan di mana ia diikat, ia melihat Kam Ki yang agaknya telah mandi dan kini mengenakan pakaian bersih dan indah. Juga ketika pemuda itu di tepi pembaringan, dekat sekali dengannya, ia mencium bau harum. Agaknya pemuda itu sengaja bersolek untuk menarik hatinya. Akan tetapi, kemunculan pemuda yang tampak tampan dan lembut itu bukan menarik hati Bwee Hwa, bahkan membuat ia muak dan semakin membencinya.
"Ah, adik manis, kenapa engkau menangis?"
Tanya Kam Ki dengan lembut dan ia mengusap air mata dari pipi Bwee Hwa. Gadis itu menggerakkan kepalanya menolak rabaan itu.
"Bwee Hwa, bagaimana, apakah engkau telah mengambil keputusan? Maukah engkau menjadi isteriku tersayang? Percayalah, aku cinta padamu."
"Jahanam, tidak perlu merayu. Kalau mau bunuh, lakukanlah, dan jangan banyak cakap lagi!"
Bwee Hwa menghardik lalu membuang muka, tidak mau memandang pemuda yang dibencinya itu.
Kesabaran mulai menyurut dari hati Kam Ki.
"Dengar baik-baik, Bwee Hwa. Sekarang engkau boleh memilih satu antara dua. Pertama, engkau menurut dengan suka rela menjadi isteriku dan kita hidup berdua di sini dalam keadaan terhormat, mulia dan serba kecukupan. Kedua, kalau engkau tetap menolak, aku akan memaksamu dan memperkosamu, setelah aku bosan engkau akan kuserahkan kepada anak buah Pek-lian-kauw agar engkau mereka permainkan beramai-ramai sampai engkau mati! Nah, engkau pilih yang mana?"
Tanpa berpikir panjang untuk memilih-milih, Bwee Hwa membentak.
"Aku memilih mati!"
Wajah Kam Ki berubah merah.
"Engkau memilih yang kedua?"
"Aku tidak sudi memilih, baik yang pertama maupun yang kedua. Aku akan membalas dendam kepadamu kalau masih hidup atau aku akan memilih mati agar arwahku dapat mengejar dan membalas dendam kepadamu, keparat!"
Kam Ki marah sekali. Akan tetapi pada saat itu, pintu kamar diketuk orang dari luar.
"Siapa berani menggangguku? Apa engkau minta mati?"
Bentak Kam Ki yang merasa terganggu.
"Ampun, pangcu (ketua). Saya tidak bermaksud mengganggu, akan tetapi hendak melaporkan bahwa di luar ada dua orang gadis cantik ingin bertemu dengan pangcu."
Jawab kepala jaga dengan suara agak gemetar karena dia merasa ketakutan.
(Lanjut ke Jilid 12)
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan (Cerita Lepas)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 12
Mendengar bahwa ada dua orang gadis cantik ingin bertemu dengannya, kemarahan Kam Ki mereda. Dia bangkit berdiri, berkata kepada Bwee Hwa.
"Kau tunggu saja. Masih ada waktu untuk berpikir. Akan tetapi kalau aku kembali ke sini dan engkau masih keras kepala menolak untuk menjadi isteriku, aku akan melakukan pilihan kedua!"
Setelah berkata demikian, Kam Ki melangkah ke pintu kamar, keluar dan menutupkan kembali daun pintu kamar itu. Kemudian, diiringkan oleh kepala jaga yang melapor itu, dia melangkah keluar.
Setelah tiba di luar, dia melihat dua orang gadis yang cantik manis berdiri dengan sikap gagah. Yang mengagumkan hatinya, dua orang gadis itu memiliki wajah, bentuk tubuh, gelung rambut dan pakaian yang persis sama, seolah dia melihat seorang gadis dan bayangannya! Dia menduga bahwa tentu dia berhadapan dengan sepasang gadis kembar yang cantik jelita dan gagah. Mereka memiliki kulit yang putih mulus kemerahan, bermata tajam jeli seperti bintang, hidung mancung dan mulut yang menggairahkan. Juga bentuk tubuh mereka amat indah. Dua orang gadis ini tidak kalah cantik dibandingkan Lim Bwee Hwa!
Sementara itu, Can Kim Siang dan Can Gin Siang, dua orang gadis kembar tercengang melihat bahwa ketua Pek-lian-kauw yang keluar menemui mereka sama sekali bukan seorang yang berpakaian pendeta berusia lanjut seperti yang mereka duga, melainkan seorang laki-laki muda yang berpakaian mewah! Pemuda berwajah tampan gagah, bersikap lembut dan senyumnya menawan.
Kam Ki merasa gembira dan dia segera mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai tanda penghormatan yang segera dibalas oleh sepasang gadis kembar itu.
Sio-cia(Nona Berdua), siapakah kalian dan ada keperluan apakah nona datang berkunjung?"
Tanya Kam Ki dengan suara yang lembut dan senyum memikat.
"Kami ingin bertemu dan bicara dengan ketua Pek-lian-kauw,"
Kata Can Kim Siang. Ia mengira bahwa pemuda itu tentu seorang anggauta pula.
Kam Ki tersenyum.
"Akulah ketua Pek-lian-kauw di sini, nona."
Dua orang gadis itu saling pandang dan Kim Siang mengerutkan alisnya lalu berkata ragu.
"Akan tetapi, bukankah ketua Pek-lian-kauw seorang yang sudah berusia lanjut dan berpakaian sebagai pendeta? Kami mendengar bahwa Pek-lian-kauw adalah perkumpulan agama"""
"Ha-ha, memang tadinya begitu. Akan tetapi sekarang aku yang menjadi ketua di sini semenjak beberapa bulan yang lalu."
"Hemm, kebetulan kalau begitu. Kami sepasang saudara Can hanya kebetulan lewat di daerah ini dan kami mendengar berita dari para penduduk pedusunan di daerah ini bahwa banyak terjadi penculikan dan perampokan yang dilakukan oleh gerombolan penjahat yang tinggal di puncak Siong-san sini. Karena yang berada di sini adalah perkumpulan Pek-lian-kauw, maka kami minta pertang-gungan jawab ketua Pek-lian-kauw. Benarkah anak buahmu yang melakukan pengacauan dan mengganggu rakyat di pedusunan daerah ini?"
Tanya Kim Siang sambil menatap ketua perkumpulan gerombolan penjahat.
Senyum di bibir Kam Ki melebar. Tentu saja dia tahu akan perbuatan anak buahnya itu karena dialah yang lebih dulu memilih gadis-gadis yang diculik, memilih yang dia sukai.
"Aih, nona-nona yang baik, kenapa kalian menuduh begitu? Aku ketua Pek-lian-kauw Kam Ki tidak pernah......."
Sepasang gadis kembar itu terkejut sekali sehingga Kim Siang segera memotong ucapan Kam Ki.
"Siapa namamu tadi?"
"Namaku Kam Ki dan aku tidak pernah membiarkan anak buahku berbuat jahat!"
"Kam Ki? Jadi engkau inikah yang dulu berada di lereng, Bukit Ayam Emas? Engkau yang telah berjina dengan A-hui dan A-kui? Engkau tunangan Pek-hwa Sianli?"
Kim Siang berseru marah.
"Eh, bagaimana engkau bisa tahu?"
Kam Ki bertanya, terheran-heran dan terkejut, akan tetapi sama sekali tidak takut maka diapun tidak hendak menyangkal.
Can Kim Siang dan Can Gin Siang mencabut pedang mereka. Kedua orang gadis kembar ini bersenjata siang-kiam(sepasang pedang).
"Kam Ki, bersiaplah engkau untuk menebus dosa dan mati di tangan kami!"
Kim Siang membentak, kini tidak merasa ragu untuk memenuhi permintaan piauw-ci (kakak misan) yang juga gurunya yang pertama, yaitu Pek-hwa Sianli, dan untuk membunuh Kam Ki karena ternyata bahwa pemuda itu adalah seorang penjahat, ketua Pek-lian-kauw yang suka mengganggu penduduk dusun dan menculik gadis-gadis dusun.
"Hei, nanti dulu!"
Kata Kam Ki, masih tenang saja karena memang dia selalu memandang rendah orang lain dan menganggap diri sendiri yang paling pandai.
"Boleh saja kalau kalian hendak mencoba untuk membunuhku nanti. Akan tetapi katakan lebih dulu apa hubungannya aku bercintaan dengan Pek-hwa Sianli, dengan A-hui dan A-kui? Siapakah kalian berdua ini sebenarnya?"
"Kami adalah piauw-moi (adik misan) Pek-hwa Sianli dan ia minta kepada kami untuk membunuh engkau yang sudah mengkhianati cintanya. Kam Ki, bersiaplah untuk mati di tangan kami!"
"Ha-ha-ha!"
Kam Ki tertawa.
"Aku memang sudah siap, bukan untuk mati di tangan kalian, melainkan untuk bersenang-senang dengan kalian berdua!"
Tentu saja sepasang gadis kembar itu menjadi merah mukanya karena marah. Mereka berpencar ke kiri kanan, lalu dari kiri kanan mereka menyerang dengan gerakan cepat dan kuat sambil mengeluarkan bentakan nyaring.
"Haiiittttt""!!"
Kam Ki terkejut bukan main. Serangan kedua orang gadis ini benar-benar hebat dan amat berbahaya. Dia mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan mengandalkan kecepatannya untuk mengelak ke sana-sini. Akan tetapi dua pasang pedang itu membentuk empat gulungan sinar yang mengejarnya ke manapun dia berkelebat sehingga Kam Ki menjadi kewalahan juga. Sesungguhnya, tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian sepasang gadis kembar ini. Akan tetapi karena dua orang gadis itu maju berbareng dan mereka berdua agaknya memiliki hubungan batin yang amat kuat sehingga gerakan mereka dapat dipersatukan, seolah dikendalikan oleh satu pikiran saja maka mereka merupakan lawan yang amat tangguh.
Di lain pihak, sepasang gadis kembar itupun terkejut ketika serangan mereka yang gencar itu selalu gagal. Pemuda itu dapat bergerak dengan cepat sekali sehingga tubuhnya bagaikan bayangan saja yang berkelebatan di antara sinar pedang mereka. Dan kalau sekali-kali Kam Ki mengibaskan tangan untuk menangkis pedang dari samping, mereka merasa betapa tangan mereka tergetar hebat.
Sekarang mengertilah sepasang gadis kembar itu mengapa Pek-hwa Sianli menyuruh mereka berdua mencari dan membunuh Kam Ki. Pek-hwa Sianli sendiri pasti tidak dapat menandingi pemuda yang amat lihai sekali. Mereka lalu mengerahkan seluruh kemampuan mereka dengan kerja sama yang amat baik sehingga mereka mampu menekan Kam Ki walaupun tidak mudah untuk membunuhnya.
Kam Ki melihat Ang-bin Moko sudah muncul di situ dan bersama para anak buah menonton dia bertanding melawan sepasang gadis kembar itu.
"Moko, bantu aku menangkap mereka ini. Jangan bunuh dan jangan lukai, tangkap hidup-hidup!"
Kata Kam Ki.
Ang-bin Moko maklum apa yang dimaksudkan Kam Ki. Dia lalu membanting bahan peledak di dekat dua orang gadis kembar itu. Terdengar suara ledakan dan asap putih yang tebal membubung. Can Kim Siang dan Can Gin Siang hendak menghindar, namun Kam Ki menghadang mereka dengan tamparan-tamparan yang mendatangkan angin kuat sehingga mereka tidak mampu menjauh dan otomatis mereka menyedot asap putih. Seketika mereka merasa pandang mata mereka gelap dan sambil mengeluh keduanya roboh terguling, pingsan terbius oleh asap yang mengandung pembius amat kuat itu.
Sambil tertawa girang Kam Ki mengempit tubuh dua orang gadis kembar itu dan membawanya masuk ke dalam kamar besar di mana Bwee Hwa masih terikat di atas pembaringan. Kam Ki memerintahkan anak buahnya untuk mengambilkan dua buah dipan, lalu mengikat dua orang gadis kembar itu masing-masing di atas sebuah dipan, seperti keadaan Bwee Hwa, telentang di atas pembaringan dengan kedua kaki tangan terikat kuat!
Kam Ki duduk menghadapi meja dan tertawa-tawa senang sambil memandangi tiga orang gadis itu berganti-ganti. Ketiganya mempunyai daya tarik tersendiri. Ketiganya cantik jelita menggairahkan!
"Ha-ha-ha! Aku semalam tidak bermimpi kejatuhan tiga buah bintang ge-merlapan, tahu-tahu sekarang ada tiga orang gadis cantik manis siap melayaniku. Ha-ha-ha!"
"Engkau jahanam keparat busuk!"
Bwee Hwa memaki.
Akan tetapi Kam Ki hanya tertawa sambil menuangkan arak dalam cawan dan meminumnya dengan hati senang.
Dengan perasaan berat tertindih kekhawatiran akan nasib Siong Li yang terkepung, apa lagi nasib Bwee Hwa yang tertawan oleh Kam Ki, ketua Pek-lian-kauw yang lihai itu, Ui Kong membalapkan kudanya menuruni lereng bukit.
Tiba-tiba dia melihat debu mengepul tinggi di dekat bukit dan tampak pasukan yang cukup besar, agaknya tidak kurang dari duaratus orang perajurit! Hati Ui Kong berdebar penuh ketegangan dan harapan, lalu membalapkan kudanya ke depan. Setelah dekat, dia melihat kakaknya, Ui Kiang menunggang kuda di depan pasukan, bersama tiga orang perwira.
Pasukan itu mulai memasuki hutan di lereng terbawah. Melihat ini Ui Kong berseru nyaring.
"Kiang-ko""!"
Ui Kiang memandang ke depan dan segera mengenal adiknya. Dia memberitahu para perwira agar menghentikan pasukan. Pasukan berhenti dan sebentar saja kedua kakak beradik itu sudah saling berhadapan.
Kedua orang kakak beradik itu melompat turun dari atas kuda dan mereka berlari saling menghampiri.
"Kong-te, bagaimana keadaanmu? Di mana Hwa-moi dan saudara Siong Li?"
"Ah, celaka, Kiang-ko. Bwee Hwa tertawan dan Li-ko terancam bahaya,"
Kata Ui Kong.
"Bagaimana mungkin kalian bertiga sampai dapat dikalahkan?"
Ui Kiang berseru heran dan juga kaget.
"Kiang-ko, cabang Pek-lian-kauw itu mempunyai seorang ketua baru, masih muda dan bernama Kam Ki. Dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, amat lihai dan kami tidak mampu menandinginya,"
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Ui Kong.
"Kalau begitu, mari kita tolong adik Bwee Hwa dan saudara Siong Li. Engkau menjadi penunjuk jalan. Pasukan ini akan membantu kita, Kong-te!"
Ui Kong merasa lega dan dengan semangat meluap-luap karena timbul harapan baru untuk dapat menyelamatkan Bwee Hwa dan Siong Li, dia membedal kudanya, kembali naik ke Bukit Siong, diikuti oleh Ui Kiang, para perwira dan pasukan mereka.
Tak seorangpun di antara mereka melihat atau mengetahui bahwa ketika Ui Kong dan Ui Kiang bicara tadi, ada bayangan orang mengintai dan mendengarkan mereka dari atas sebatang pohon yang tinggi besar dan lebat daunnya. Begitu mendengar nama Kam Ki disebut, bayangan itu lalu berkelebat lenyap dan mendahului pasukan itu naik ke bukit Siong. Gerakannya amat ringan dan larinya seperti terbang cepatnya.
Bagaimana Ui Kiang dapat secara kebetulan tiba di tempat itu bersama Pasukan besar? Kiranya setelah Ui Kong, Bwee Hwa, dan Siong Li pergi, Ui Kiang merasa tidak enak karena dia hanya mampu menyumbangkan pikiran dan tidak dapat melakukan sesuatu untuk membantu mereka. Maka dia lalu cepat menghubungi panglima pasukan keamanan di kota Ki-lok dan menceritakan segalanya, juga tentang dugaannya bahwa sarang pembunuh yang tokoh Pek-lian-kauw itu dapat dilacak melalui gerombolan Kiu-liong-pang. Juga dia menceritakan tentang usaha Ui Kong, Bwee Hwa, dan Siong Li yang ingin menemukan pembunuh ayahnya dan merampas kembali patung Kwan Im dari Kuil Ban-hok-si. Dia minta bantuan panglima itu yang segera memerintahkan tiga orang perwiranya untuk memimpin duaratus orang perajurit membantu Ui Kiang yang hendak melakukan pengejaran dan membantu tiga orang pendekar. Demikianlah, di lereng pertama Bukit Siong itu pasukan bertemu dengan Ui Kong setelah mereka mendatangi gerombolan Kiu-liong-pang di lembah Sungai Kiu-liong dan memaksa tiga orang ketua gerombolan itu untuk memberitahu di mana adanya sarang Pek-lian-kauw.
Dan siapakah bayangan yang berkelebat dan kini berlari secepat terbang mendaki Bukit Siong itu? Dia adalah seorang pemuda yang bentuk tubuhnya sedang, wajahnya gagah namun membayangkan kelembutan, pakaiannya sederhana, kepalanya tertutup sebuah caping lebar. Pemuda ini memiliki sinar mata yang lembut dan wajahnya selalu dihiasi senyum yang ramah, penuh kesabaran dan penuh pengertian.
Dia bukan lain adalah Sie Bun Sam, pemuda berusia duapuluh lima tahun, murid utama Leng-hong Hoatsu. Seperti kita Ketahui, Sie Bun Sam menerima tugas dari Leng-hong Hoatsu untuk mencari sutenya, Thio Kam Ki yang menyeleweng dan berguru pada orang sesat.
Setelah beberapa bulan melacak, pada hari itu secara kebetulan dia mendengar keluhan para penduduk daerah Bukit Siong tentang kejahatan yang dilakukan gerombolan yang bersarang di puncak Bukit Siong. Seperti halnya dua orang gadis kembar, mendengar ini Bun Sam menjadi penasaran. Jiwa pendekarnya tersentuh dan dia mengambil keputusan untuk mendaki Siong-san dan membasmi gerombolan penjahat itu agar tidak lagi mengganggu ketenteraman kehidupan penduduk dusun di sekitar pegunungan itu.
Kebetulan sekali dia melihat pertemuan antara Ui Kong dan Ui Kiang. Bun Sam yang ingin tahu apa yang terjadi sehingga ada pasukan besar berada di situ, cepat melompat ke atas pohon dan sempat mendengarkan percakapan Ui Kong dan Ui Kiang. Ketika dia mendengar bahwa Pek-lian-kauw lah perkumpulan gerombolan pengacau itu dan kini gerombolan itu dipimpin oleh Kam Ki tentu saja dia terkejut dan menyesal sekali.
Tidak disangkanya bahwa sute yang amat disayangnya itu kini malah semakin dalam terperosok dalam kesesatan. Menjadi ketua Pek-lian-kauw! Maka dia harus cepat turun tangan mencegah sutenya itu melakukan perbuatan yang tidak baik. Dia mendengar laporan para penduduk di kaki gunung tadi bahwa gerombolan itu mengganggu rakyat dan bahkan menculik gadis-gadis.
Hati Bun Sam terguncang, penuh keraguan. Benarkah sutenya sekarang melakukan kejahatan seperti itu? Rasanya sukar dipercaya! Akan tetapi kalau dia mengingat betapa sutenya telah memukulnya pingsan dengan ilmu pukulan asing yang bersifat jahat, dia menjadi curiga. Maka, cepat dia melompat dan berlari cepat ke puncak gunung, karena agaknya pasukan pemerintah itu siap untuk membasmi gerombolan yang dipimpin Thio Kam Ki.
Dia hendak membuktikan dulu bagaimana keadaan gerombolan itu. Kalau benar gerombolan itu Pek-lian-kauw melakukan kejahatan dipimpin oleh Kam Ki, dia harus menentangnya. Akan tetapi kalau semua itu hanya fitnah dan sutenya tidak bersalah, dia harus membela sutenya dari serangan pasukan!
Thio Kam Ki duduk menghadap meja dan minum arak sambil memandang ke arah tiga orang gadis yang telah diikat kaki tangannya dan rebah telentang di atas pembaringan masing-masing itu! Dia merasa girang sekali. Tiga orang gadis itu sungguh cantik menarik dan mereka bertiga itu sudah berada dalam tangannya. Bagaikan tiga potong daging sudah berada dalam mangkok di depannya, tinggal makan saja! Akan tetapi, dia merasa kecewa dan tidak puas. Dia ingin tiga orang gadis cantik itu mau melayaninya dan membalas cintanya. Bukan melayaninya karena dipaksa. Kalau saja mereka bertiga suka menjadi isteri-isterinya dan hidup bersamanya di situ, tentu dia akan merasa berbahagia sekali!
Setelah puas minum arak, Kam Ki lalu menghampiri pembaringan Bwee Hwa. Dia duduk di tepi pembaringan dan membujuk Bwee Hwa, karena bagaimanapun juga, dia lebih tertarik kepada Bwee Hwa.
"Bwee Hwa, bagaimana, apakah engkau tetap menolak? Lihat, mereka berdua menjadi tawananku. Merekapun cantik-cantik dan memiliki ilmu silat yang bahkan lebih lihai daripada kepandaianmu. Mereka tentu akan senang sekali kalau menjadi isteriku."
"Jahanam busuk! Siapa sudi menjadi isterimu? Aku tidak sudi!"
Kata Can Kim Siang yang kini sudah siuman dari pingsannya.
"Akupun tidak sudi! Lebih baik mati!"
Teriak Can Gin Siang yang juga sudah siuman.
"Huh, laki-laki tidak tahu malu!"
Bwee Hwa mengejek.
"Tulikah telingamu sehingga kamu tidak mendengar ucapan mereka? Mereka berdua menolak untuk menjadi isterimu, akupun lebih baik mati daripada menjadi isterimu. Mau bunuh boleh bunuh, akan tetapi untuk menjadi isterimu, jangan harap!"
Kata Bwee Hwa dengan suara mengandung ejekan.
Ucapan-ucapan tiga orang gadis itu mendatangkan kesan baik satu sama lain di antara mereka dan mereka merasa lebih kuat karena mengalami nasib yang sama.
Mendengar ucapan tiga orang gadis itu, wajah Kam Ki menjadi merah sekali. Dia merasa marah bukan main. Untung tidak ada orang lain yang melihat keadaan dan mendengar makian tiga orang gadis itu. Kalau ada orang lain melihat dan mendengarnya, dia akan merasa malu bukan main! Dia, seorang pemuda yang berilmu tinggi, berwajah tampan dan gagah pula, kini ditolak mentah-mentah oleh tiga orang gadis. Bukan hanya ditolak, bahkan dimaki-maki dan dihina. Kalau menurutkan nafsu amarahnya, ingin dia membunuh tiga orang gadis itu pada saat itu juga! Akan tetapi tiga orang gadis itu begitu cantik dan manis, sayang kalau dibunuh begitu saja!
Untuk menenangkan hatinya yang panas dan marah, Kam Ki menuang dan minum arak dari cawannya sampai tiga kali. Kemudian dia tertawa.
"Ha-ha-ha! Kalian ini gadis-gadis yang angkuh dan besar kepala! Kalian berani menolakku? Ha-ha-ha, kalian kira begitu mudah menghinaku, ya? Tunggu saja! Aku akan menghinamu sepuluh kali lipat! Aku akan memperkosa kalian satu demi satu di sini, mempermainkan kalian sesuka hatiku dan sepuasku! Kalau aku sudah bosan, aku akan memberikan kalian kepada anak buahku, biar kalian dibuat permainan mereka sampai kalian mampus!"
Biarpun mulut mereka diam saja, namun di dalam hatinya, sepasang gadis kembar itu merasa ngeri juga mendengar ancaman itu. Akan tetapi mereka diam saja dan mereka berdua kagum ketika mendengar Bwee Hwa tertawa mengejek.
"Huh, ucapanmu itu hanya menunjukkan bahwa engkau adalah seorang pemuda yang tidak tahu malu dan jahat, keji, dan licik! Kalau memang engkau seorang pemuda gagah, hayo lepaskan ikatan ini dan mari kita bertanding sampai mati! Aku tidak takut padamu dan tidak takut akan ancamanmu, keparat! Kalau engkau melaksanakan ancamanmu itu, setelah mati aku pasti akan menjadi setan penasaran dan akan mengejarmu sampai di manapun juga."
Thio Kam Ki memandang kepada Bwee Hwa dengan mata melotot dan sinarnya mencorong marah.
"Hemm, Lim Bwee Hwa gadis sombong! Engkaulah yang akan kusiksa dan kuhina lebih dulu di depan dua orang gadis kembar ini!"
Setelah berkata demikian, Kam Ki bangkit dari kursinya dan menghampiri pem-baringan di mana Bwee Hwa rebah telentang dengan kaki tangan terikat. Karena merasa tidak berdaya, Bwee Hwa memejamkan kedua matanya agar ia tidak usah menyaksikan apa yang akan dilakukan pemuda itu kepadanya.
Kam Ki yang telah banyak minum arak sehingga nafsunya semakin berkobar membakar dan mempengaruhi hati akal pikirannya, sambil menyeringai lebar berkata.
"Tunggulah sebentar, manisku. Aku merasa panas dan hendak mandi dulu biar badanku segar sehingga aku akan mampu melayani kalian bertiga berturut-turut, ha-ha-ha!"
Setelah berkata demikian, dia mengusap pipi Bwee Hwa. Gadis itu membuang muka dan Kam Ki lalu meninggalkan kamar itu sambil tertawa bergelak.
Setelah pemuda itu pergi meninggalkan kamar, Can Kim Siang yang tadi melihat sikap Bwee Hwa dan merasa suka akan keberaniannya, bertanya.
"Sobat, siapakah engkau dan bagaimana dapat tertawan oleh bangsat itu?"
Bwee Hwa yang tadi juga melihat betapa dua orang gadis itu berani menentang dan memaki Kam Ki, segera menjawab.
"Namaku Lim Bwee Hwa, orang menyebut aku Ang-hong-cu. Aku bersama dua orang sahabatku menyerang Pek-lian-kauw untuk membunuh Pek-bin Moko dan merampas kembali patung emas Dewi Kwan Im yang dia curi dari kuil Ban-hok-si. Kami berhasil membunuh Pek-bin Moko, akan tetapi"""
Bwee Hwa berhenti sebentar karena lehernya serasa dicekik kesedihan.
"seorang sahabatku tewas dan yang lain entah bagaimana nasibnya, sedangkan aku sendiri tertawan."
"Ah""
Kami tadi berpapasan dengan seorang pemuda bertubuh tinggi tegap naik kuda dengan cepat sekali menuruni lereng bukit. Apakah itu sahabatmu yang kedua itu?"
Tanya Can Gin Siang, dan Kim Siang juga mengangguk karena menduga demikian.
"Berapa kira-kira usianya dan apa warna pakaiannya?"
Tanya Bwee Hwa.
"Usianya sekitar duapuluh tahun lebih, pakaiannya berwarna kuning,"
Kata Kim Siang.
"Ah, benar dia!"
Seru Bwee Hwa.
"Tentu dia itu Kong-ko, maksudku Ui Kong. Dia dapat meloloskan diri, syukurlah dan aku yakin dia pasti tidak akan tinggal diam begitu saja melihat aku tertawan. Aku yakin bahwa dia tentu mencari bala bantuan!"
"Ssssttt....... dia datang""!"
Kata Kim Siang dan mereka bertiga menanti dengan jantung berdebar penuh ketegangan.
Mereka bertiga sudah berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan ikatan kaki tangan mereka, akan tetapi Kam Ki yang tahu bahwa tiga orang gadis itu memiliki kepandaian tinggi, sudah mengikat kaki tangan mereka dengan tali yang amat kuat sehingga usaha mereka bertiga selalu gagal.
Tiga orang gadis itu otomatis menengok ke arah pintu kamar. Akan tetapi mereka tidak melihat siapa-siapa di situ dan ada suara gerakan orang di jendela kamar. Mereka otomatis menengok ke arah jendela.
Daun jendela terbuka dari luar dan pengganjalnya dari palang itupun patah. Sesosok tubuh orang dengan gerakan yang amat gesit melompat ke dalam kamar itu tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, seolah seekor burung raksasa yang terbang masuk lewat jendela.
Tiga orang gadis tawanan itu menengok dan memandang dengan heran dan hati tegang, akan tetapi ketika melihat bahwa orang itu sama sekali bukan Thio Kam Ki seperti yang mereka duga dan khawatirkan, mereka menjadi lega, akan tetapi juga heran dan bertanya-tanya dalam hati apakah masuknya orang asing ini akan mendatangkan malapetaka ataukah pertolongan. Orang itu adalah seorang pemuda berusia kurang lebih duapuluh lima tahun, tubuhnya sedang saja, juga wajahnya tidak terlalu tampan namun juga tidak jelek, sederhana seperti pakaiannya. Sebuah caping lebar menutupi kepalanya.
Bwee Hwa yang berada paling dekat dengan orang itu, berkata lirih.
"Siapakah engkau, kawan ataukah lawan? Kalau lawan, cepat bunuh kami! Kami tidak takut mati!"
Laki-laki itu adalah Sie Bun Sam. Dia memandang kepada Bwee Hwa dan tersenyum lembut. Pandang matanya seolah terpesona melihat wajah Bwee Hwa dan dia berkata lembut.
"Bukan kawan dan bukan lawan, nona. Akan tetapi tidak dapat aku berdiam diri saja melihat kejahatan dilakukan orang."
Setelah berkata demikian, dia mengampiri Bwee Hwa dan dua kali tangannya bergerak, ikatan pada kaki dan tangan gadis itu putus.
Hwa menggosok-gosok pergelangan kaki dan tangannya untuk melancarkan jalan darahnya lalu melompat turun dan melihat Sin-hong-kiam miliknya yang tadi dirampas Thio Kam Ki berada di atas meja, ia menyambar pedangnya itu.
Sementara itu Bun Sam sudah melepaskan ikatan pada kaki tangan Can Kim Siang dan Can Gin Siang. Dua orang gadis kembar inipun segera mengambil Siang-kiam (pedang pasangan) masing-masing yang tadi juga dibawa Kam Ki dan berada di atas meja. Tiga orang gadis itu merasa girang sekali, seolah-olah burung garuda mendapatkan kembali paruh dan cakarnya.
"Terima kasih, sobat!"
Kata Bwee Hwa.
Sebelum Bun Sam sempat menjawab, terdengar suara ribut-ribut di luar kamar itu.
"Mereka datang mengejarku ke sini. Mari kita keluar menyambut mereka dan serahkan orang yang bernama Thio Kam Ki kepadaku!"
Bun Sam mendahului tiga orang gadis itu, membuka daun pintu kamar dan ternyata di luar kamar terdapat belasan orang anggauta Pek-lian-kauw. Mereka adalah para anggauta yang melakukukan pengejaran terhadap Bun Sam.
Pemuda itu tadi memasuki perkampungan Pek-lian-kauw dan ketika dia dihadang tiga orang anggauta Pek-lian-kauw dengan mudah dia merobohkan mereka. Akan tetapi dia kelihatan oleh beberapa orang anggauta lain yang segera mengumpulkan teman-temannya dan melakukan pengejaran.
Bwee Hwa, Kim Siang, dan Gin Siang yang sudah marah sekali lalu menerjang maju dan tiga orang anggauta Pek-lian-kauw terjungkal mandi darah disambar pedang mereka. Yang lain-lain cepat berlari keluar karena mereka semua sudah maklum akan kelihaian tiga orang gadis tawanan itu. Mereka tadi ketika mengejar Bun Sam sama sekali tidak mengira bahwa tiga orang gadis itu sudah bebas.
Melihat tiga orang rekan mereka roboh mandi darah, yang lain segera melarikan diri keluar dari rumah itu, selain untuk mencari tempat yang lebih luas sehingga mereka dapat leluasa mengeroyok, juga mereka mengharapkan bantuan para anggauta lain. Terutama sekali mereka menanti munculnya Thio Kam Ki dan Ang-bin Moko yang mereka andalkan.
Sementara itu, ketika dia sedang mandi, Kam Ki mendengar suara hiruk pikuk itu. Cepat dia mengeringkan tubuh lalu mengenakan pakaian, kemudian dia melompat keluar, cepat menuju ke kamar di mana tiga orang gadis tawanannya berada.
Alangkah kaget dan marahnya ketika dia tidak melihat tiga orang gadis itu di atas pembaringan masing-masing, juga pedang-pedang mereka tidak ada. Tahulah dia bahwa mereka itu, entah bagaimana caranya, telah dapat me-lepaskan diri. Mendengar suara ribut di depan rumah, Kam Ki cepat berlari ke-luar, merasa penasaran, kecewa dan marah.
Ketika dia tiba di pekarangan yang luas itu, dia melihat semua anak buah sedang mengepung dan mengeroyok tiga orang gadis yang telah bebas itu. Para anak buah itu dipimpin sendiri oleh Ang-bin Moko. Melihat Ang-bin Moko memimpin kurang lebih limapuluh orang anggautanya itu mengeroyok, Kam Ki merasa yakin bahwa dia akan mampu menangkap tiga orang gadis itu kembali.
"Ang-bin Moko, tangkap mereka hidup-hidup! Jangan bunuh atau lukai mereka!"
Teriaknya.
Tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan Thio Kam Ki telah berdiri Sie Bun Sam yang memandangnya dengan alis berkerut dan sinar mata penuh mengandung teguran!
"Suheng""! Kau""
Di sini?"
Tanyanya gagap, bukan karena takut melainkan karena kaget. Kini mengertilah dia mengapa tiga orang gadis yang ditawannya itu dapat terlepas. Tentu suhengnya ini yang membebaskannya!
"Sute, apa saja yang kaulakukan ini? Sungguh menyedihkan dan memalukan. Engkau tersesat jauh sekali, sute!"
Kam Ki sudah dapat menenangkan hatinya dan dia tertawa mengejek.
"Suheng, kenapa engkau mencampuri urusanku? Ingat, aku dapat mengalahkanmu seperti dulu, engkau pernah roboh pingsan oleh pukulanku. Apakah engkau kini hendak menentangku? Suheng, kunasihatkan kepadamu. Pergilah sebelum aku hilang sabar karena aku akan menyesal kalau harus membunuhmu!"
Bun Sam tersenyum.
"Sute, dulu engkau merobohkan aku karena kecuranganmu. Sekarang dengarlah nasihatku, sute. Ingatlah, sejak dahulu aku menyayangmu, aku tidak ingin melihat engkau celaka. Maka, sadarlah, sute. Ingat akan nasihat suhu. Tinggalkan perkumpulan sesat ini dan mari kita kembali kepada suhu yang akan membimbingmu! Aku yang akan mintakan ampun kepada"""
Akan tetapi ucapan itu terpaksa dihentikan karena secara curang sekali, tiba-tiba Kam Ki sudah menyerangnya dengan pukulan Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) yang dulu pernah merobohkan Bun Sam. Dia tahu bahwa kalau dia menggunakan semua ilmu yang dia pelajari dari Leng-hong Hoatsu, tidak mungkin dia mampu mengalahkan Bun Sam yang memiliki tingkat lebih tinggi.
Dia menggunakan Ban-tok-ciang yang dipelajari dari Hwa Hwa Cin-jin karena Bun Sam tentu tidak mengenal ilmu ini. Serangannya memang hebat sekali. Kedua tangan yang sudah dialiri hawa beracun itu menyambar-nyambar ganas dan mengeluarkan bau yang amis seperti ada ratusan ular berbisa menyerang Bun Sam.
Akan tetapi sebelum turun gunung, Bun Sam sudah diberitahu gurunya bahwa dia tidak akan kalah oleh ilmu sesat sutenya kalau dia menggunakan seluruh tenaga saktinya. Kalau dulu dia sampai terluka dan pingsan, hal itu terjadi karena dia tidak menyangka dan dia hanya mempergunakan tenaga tidak sepenuhnya agar sutenya tidak terluka.
Kini, menghadapi serangan bertubi itu, dia menggunakan kelincahan gerak tubuhnya untuk mengelak ke sana-sini, dan mencari kesempatan untuk menotok roboh sutenya. Bagaimanapun juga, Bun Sam tetap sayang kepada sutenya yang sejak kecil hidup bersama dia di bawah asuhan Leng-hong Hoatsu. Dia tidak tega untuk melukai sutenya itu, apalagi membunuhnya. Maka, pertandingan itu menjadi seimbang dan Kam Ki yang licik itu agaknya maklum bahwa suhengnya mengalah.
Hal ini tidak membuat hatinya tergerak dan terharu, bahkan dia hendak mencari keuntungan dari kelemahan hati Bun Sam itu. Dia menyerang semakin ganas, memainkan ilmu silat Ciu-kwi-kun (Silat Setan Mabok) yang dipelajari dari Hwa Hwa Cinjin. Pertandingan itu menjadi seru sekali dan tidak mudah bagi Bun Sam untuk dapat merobohkan sutenya tanpa melukainya.
Sementara itu, tiga orang gadis, tanpa perundingan lebih dulu, sudah menghadapi pengeroyokan banyak orang dengan saling membelakangi. Dengan demikian, mereka tidak sampai diserang dari belakang. Ketiganya mengamuk dengan pedang mereka dan gerakan mereka memang lincah dan kuat sekali sehingga para pengeroyok tidak berani terlalu mendekat setelah ada enam orang roboh oleh pedang tiga orang dara perkasa itu. Ang-bin Moko akhirnya dilawan oleh Bwee Hwa, sedangkan sepasang gadis kembar itu menghadapi puluhan orang anak buah Pek-lian-kauw.
"Bwee Hwa, hati-hati, tosu (pendeta) siluman itu memiliki alat peledak yang mengeluarkan asap beracun!"
Teriak Kim Siang, sambil memutar sepasang pedangnya menghadapi pengeroyokan puluhan orang itu.
Biarpun sepasang gadis kembar ini lihai sekali ilmu sepasang pedang mereka, namun jumlah pengeroyok terlampau banyak. Mereka berdua harus memutar sepasang pedang mereka untuk melindungi diri mereka dari datangnya serangan golok, pedang, atau tombak yang seperti hujan lebat. Mereka berdua hanya mampu melindungi diri tanpa dapat membalas karena serangan banyak orang itu tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk balas menyerang.
Perkelahian antara Ang-bin Moko melawan Bwee Hwa amat seru. Tingkat kepandaian mereka seimbang sehingga perkelahian itu ramai sekali, sukar diduga siapa di antara mereka yang akan keluar sebagai pemenang. Sesungguhnya, Bwee Hwa lebih bersemangat dan gerakannya lebih lincah.
Namun Ang-bin Moko menang pengalaman dan selain dari itu, pimpinan cabang Pek-lian-kauw ini mengandalkan banyak anggauta yang akan dapat disuruh membantunya mengeroyok Bwee Hwa kalau dua orang gadis kembar itu sudah dapat ditundukkan. Yang membuat dia repot adalah karena tadi Kam Ki berteriak agar tiga orang gadis cantik itu ditangkap hidup-hidup, jangan dilukai atau dibunuh. Semua anak buah mendengar dan tentu saja mereka merasa takut kepada Kam Ki kalau melanggar perintah itu. Hal ini membuat mereka hanya mengepung rapat akan tetapi selalu menjaga agar gadis-gadis itu jangan sampai terluka atau roboh tewas.
Mendadak mendengar sorak sorai dan duaratus orang perajurit yang dipimpin para perwira tiba di puncak itu. Mereka adalah pasukan yang diajak Ui Kiang dan kemudian bertemu dengan Ui Kong dan kini mereka tiba di puncak itu dengan Ui Kong sebagai penunjuk jalan. Begitu tiba di perkampungan Pek-lian-kauw, para perajurit itu menyerbu masuk. Ui Kong sendiri sudah cepat terjun ke dalam pertempuran. Dia girang bukan main melihat Bwee Hwa masih hidup dan kini sedang bertanding mati-matian melawan Ang-bin Moko.
"Hwa-moi, mari kita basmi para iblis Pek-lian-kauw!"
Bentak Ui Kong dan dia sudah menggunakan pedangnya untuk membantu Bwee Hwa menyerang Ang-bin Moko.
Gegerlah semua anggauta Pek-lian-kauw menghadapi penyerbuan pasukan pemerintah yang amat banyak jumlahnya itu. Mereka menjadi panik dan sebentar saja banyak anggauta Pek-lian-kauw roboh. Yang hendak melarikan diri, tidak mendapatkan jalan karena mereka sudah terkepung ketat.
Ang-bin Moko terkejut bukan main. Menghadapi Bwee Hwa saja dia sudah merasa repot, apalagi kini ditambah seorang musuh yang tingkat kepandaiannya tidak kalah dibandingkan tingkatnya sendiri. Dia terdesak hebat dan terancam oleh pedang Bwee Hwa dan Ui Kong. Dia lalu melompat ke belakang dan mengayun tangan, membanting alat peledak.
"Awas, Kong-ko, asap beracun!"
Bwee Hwa berseru dan kedua orang muda ini cepat melompat menjauhi ketika ledakan itu mengeluarkan asap yang mengandung pembius. Beberapa orang perajurit yang berada dekat tempat ledakan, terserang asap ini dan mereka roboh pingsan!
Ang-bin Moko menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Karena tempat itu telah terkepung ketat. Dia mengamuk dengan pedangnya dan berhasil membobolkan kepungan dengan merobohkan empat orang perajurit. Akan tetapi pada saat itu, dua batang pedang menyambar. Ang-bin Moko masih berhasil menangkis pedang Bwee Hwa, akan tetapi pedang Ui Kong memasuki lambungnya. Ang-bin Moko mengeluh dan roboh, tewas seketika.
Betapapun lihainya, Thio Kam Ki kini menjadi panik. Ketika semua ilmunya dia keluarkan untuk merobohkan Bun Sam tidak berhasil, barulah dia maklum bahwa dulu dia dapat merobohkan Bun Sam karena suhengnya itu tidak mengira dia menggunakan ilmu pukulan sesat yang dahsyat dan tidak menjaga diri dengan tenaga sepenuhnya.
Sekarang, dia mendapat kenyataan bahwa suhengnya itu memang tangguh bukan main. Akan tetapi karena suhengnya tidak mau membunuhnya, maka dia masih mampu melawan. Berulang kali mereka mengadu tenaga selalu Thio Kam Ki terdorong mundur.
Kini, melihat dengan jelas betapa anak buah Pek-lian-kauw berjatuhan karena tidak dapat mengimbangi kekuatan lawan yang jauh lebih banyak jumlahnya, melihat pula betapa pembantu utamanya, Ang-bin Moko juga roboh, dia menjadi khawatir sekali dan maklum bahwa kalau dilanjutkan perlawanannya, nyawanya terancam bahaya maut. Dia lalu mengerahkan seluruh tenaga Ban-tok-ciang menyerang Bun Sam dengan pukulan jarak jauh sambil membentak nyaring dengan suara yang mengandung kekuatan sihir untuk menggetarkan jantung lawan dan membuatnya lemah.
"Yaaaaahhhhhh!"
Menghadapi serangan dahsyat ini, Bun Sam menyambut dengan kedua telapak tangan didorongkan pula. Akan tetapi tetap saja Bun Sam membatasi tenaga karena dia sama sekali tidak ingin melukai apalagi membunuh sutenya yang masih disayangnya.
"Blaarrrr""!"
Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu dan akibatnya, tubuh Kam Ki terlempar ke belakang. Akan tetapi dia tidak terluka, hanya terdorong dan terpental seolah tenaganya bertemu dengan sesuatu yang lunak namun yang membuat dia terpental seperti menghantam sebuah bola karet besar.
Kini dia melihat kesempatan untuk menyelamatkan diri. Begitu kakinya menyentuh tanah, dia sudah melompat jauh, terjun ke dalam pertempuran antara para perajurit dan anak buah Pek-lian-kauw dan menghilang di antara banyak orang yang sedang bertempur itu.
Kam Ki mencari jalan keluar dengan merobohkan setiap orang yang berada di depannya. Karena dia menyusup ke dalam pertempuran antara banyak orang itu maka Bun Sam tidak dapat mengejarnya, juga tiga orang gadis yang mengamuk dan Ui Kong juga tidak tahu bahwa Thio Kam Ki sedang berusaha melarikan diri. Kejadian itu berlangsung demikian cepat dan Kam Ki berhasil meloloskan dirinya setelah merobohkan belasan orang perajurit!
Mellhat keadaan para anggauta Pek-lian-kauw sudah terdesak hebat dan para pimpinan mereka tidak ada lagi, Ui Kong dan Bwee Hwa lalu cepat memasuki bangunan induk tempat tinggal Kam Ki dan melakukan penggeledahan. Dalam sebuah kamar, mereka menemukan patung emas Dewi Kwan Im dari kuil Ban-hok-si. Ui Kong segera mengambilnya. Mereka juga menemukan belasan orang gadis muda dan cantik, yaitu mereka yang selama ini diculik oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Ui Kong lalu menyerahkan mereka kepada para perwira pasukan agar kelak para gadis itu dikembalikan ke dusun mereka.
Akhirnya, semua anggauta Pek-lian-kauw yang tadinya melakukan perlawanan mati-matian itu terbasmi hampir semua dan sisanya, hanya belasan orang menjadi putus asa dan melemparkan senjata sambil berlutut tanda menyerah. Mereka menjadi orang-orang tawanan.
Para perwira pasukan lalu memerintahkan para anggauta Pek-lian-kauw yang masih hidup untuk mengurus dan mengubur semua mayat yang menjadi korban pertempuran, merampas semua barang berharga yang berada di perkampungan itu, lalu membakar semua rumah yang terdapat di situ. Kemudian pasukan meninggalkan perkampungan Pek-lian-kauw yang sudah menjadi puing, kembali ke kota Ki-lok dengan gembira karena telah memperoleh kemenangan.
Sie Bun Sam, Ui Kong, Ui Kiang, Lim Bwee Hwa dan dua orang gadis kembar dengan hormat mengurus dan mengubur jenazah Ong Siong Li yang tewas dalam perlawanannya menghadapi pengeroyokan banyak anggauta Pek-lian-kauw tadi. Bwee Hwa tidak dapat menahan keharuan dan kesedihan hatinya ketika jenazah Siong Li telah dikubur. Ia menangis di depan gundukan tanah itu sehingga membuat para pendekar, terutama Ui Kong dan Ui Kiang yang maklum betapa akrabnya hubungan antara Bwee Hwa dan Siong Li, yang sudah seperti kakak dan adik.
Enam orang pendekar ini menjauhi perkampungan di mana para perajurit tadi sibuk mengurus para korban, merampas barang-barang lalu membakari pondok. Mereka tidak ingin mencampuri urusan pasukan pemerintah.
Dalam kesempatan itu, Bwee Hwa yang memandang Sie Bun Sam berkata.
"Saudara yang gagah perkasa dan budiman telah menyelamatkan kami bertiga. Kalau tidak ada engkau, mungkin kami bertiga sekarang sudah mati terbunuh atau membunuh diri."
"Benar sekali. Kami berdua kakak beradik bersyukur dan sangat berterima kasih atas budi pertolongan taihiap tadi,"
Kata Can Kim Siang sambil mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan, diikuti oleh adiknya.
"Aneh, kami bertiga berhutang nyawa kepadamu, akan tetapi kita belum saling berkenalan!"
Kata Bwee Hwa sambil tersenyum. Agaknya kedukaannya karena kematian Siong Li hanya sebentar saja mengganggu kelincahan Bwee Hwa yang selalu bersemangat dan gembira itu.
Sie Bun Sam seolah terpesona memandang wajah dan gaya bicara Lim Bwee Hwa. Belum pernah dia merasa seperti ini. Sudah banyak dia melihat wanita cantik tanpa kesan, akan tetapi sekali ini, ada sesuatu pada diri Bwee Hwa yang membuat dia terpesona.
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dua orang gadis kembar itupun cantik menarik, akan tetapi bagi Bun Sam mereka itu biasa saja. Dia merasa heran sendiri mengapa jantungnya berdebar ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Bwee Hwa dan dia menutupi debar jantungnya itu dengan senyum ramah dan dia mengangkat kedua tangan di depan dada kepada tiga orang gadis dan dua orang pemuda itu, membalas penghormatan mereka.
"Ah, sesungguhnya di antara kita tidak perlu merasa berhutang budi karena dalam menghadapi gerombolan penjahat ini kita semua telah bersatu padu. Semua juga berjasa karena telah memenuhi kewajiban masing-masing sebagai orang-orang menentang kejahatan. Bahkan aku mohon maaf dari anda sekalian akan kejahatan yang dilakukan Thio Kam Ki yang sesungguhnya adalah sute-ku (adik seperguruanku) sendiri."
Bun Sam menghela napas panjang, perasa kecewa dan menyesal sekali bahwa sute yang disayangnya itu ternyata telah tersesat amat jauhnya.
Tentu saja lima orang muda itu terkejut bukan main dan mereka semua memandang kepada Bun Sam dengan sinar mata heran.
"Sute-mu? Dia itu sute-mu? Akan tetapi mengapa dia begitu jahat dan engkau musuhi sendiri?"
Tanya Bwee Hwa.
Bun Sam menghela napas panjang lalu tersenyum.
"Sebelum aku menceritakan lebih lanjut tentang Thio Kam Ki, apakah tidak sebaiknya kita saling berkenalan dulu. Rasanya tidak enak bercakap-cakap dengan orang-orang yang tidak kukenal. Nah, perkenalkan, aku bernama Sie Bun Sam, berasal dari pegunungan Himalaya."
"Aku bernama Lim Bwee Hwa dari""
Twi-bok-san."
Ia mengaku Twi-bok-san, di mana mendiang ibunya tinggal menjadi isteri mendiang Kauw-jiu Pek-wan Kui Ciang Hok, yang sekarang tentu saja menjadi haknya.
"Kami berdua adalah saudara kembar, aku bernama Can Kim Siang, dan ini adikku bernama Can Gin Siang. Kami tinggal di rumah piauw-ci (kakak perempuan misan) kami di bukit Ayam Emas."
Kim Siang memperkenalkan diri mereka, bukan hanya Bun Sam, melainkan kepada Bwee Hwa, Ui Kiang, dan Ui Kong.
"Kami berdua adalah kakak beradik. Aku bernama Ui Kong, dan yang baru datang membawa pasukan ini adalah kakakku Ui Kiang. Kami tinggal di kota Ki-lok."
Ui Kong memperkenalkan diri dan kakaknya.
Setelah mereka saling memperkenalkan nama mereka, Bwee Hwa lalu berkata.
"Secara kebetulan sekali kita semua berada di sini, bersatu melawan gerombolan Pek-lian-kauw dan saling berkenalan. Sebelum kita bercerita, sebaiknya kalau kita duduk di sana, rasanya canggung kalau kita bicara sambil berdiri saja."
Semua orang setuju dan menghampiri tempat yang ditunjuk Bwee Hwa, yaitu sebuah pohon besar di bawah mana terdapat banyak batu yang dapat mereka jadikan tempat duduk. Setelah semua orang duduk berhadapan, Bun Sam segera bercerita.
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Memburu Iblis Karya Sriwidjono Kisah Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo