Ceritasilat Novel Online

Tawon Merah Bukit Hengsan 2


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



Bwee Hwa menyeret tubuh penjahat itu ke tempat terang. Ia menotok pangkal paha kaki yang buntung untuk menghentikan keluamya darah dan mengurangi rasa nyeri. Hwesio itu bergerak perlahan dan membuka matanya, memandang muka Bwee Hwa dengan kagum dan benci.

   "Engkau akan mati. Lebih baik engkau menebus dosamu dengan memberitahukan kepadaku di mana sarang kawan-kawanmu. Mungkin dengan jalan ini dosa-dosamu menjadi ringan,"

   Kata Bwee Hwa.

   Dengan susah payah orang gundul itu bertanya.

   "......engkau... engkau...... engkau... siapakah......?"

   "Aku Bwee Hwa, murid Sin-kiam Lojin!"

   Jawab Bwee Hwa tegas. Ia sengaja memperkenalkan nama gurunya yang dia tahu amat ditakuti para penjahat di dunia kang-ouw.

   Kedua mata orang itu terbelalak, mukanya pucat sekali ketika dia memandang wajah Bwee Hwa.

   ""ahh""

   Engkau.... hong-cu""

   Ang-hong-cu....!"

   Setelah berkata terengah-engah itu kepalanya terkulai dan diapun tewas.

   Bwee Hwa menghela napas panjang. Ia telah gagal memaksa orang itu mengakui di mana sarang Hwe-coa-kauw. Akan tetapi ia tertarik mendengar ucapan terakhir orang tadi. Ia dapat menduga bahwa pendeta Hwe-coa-kauw itu tentu mengenal baik nama besar gurunya dan tentu mengenal pula kesaktian gurunya yang pandai menggunakan senjata rahasia jarum yang disebut hong-cu-ciam (jarum tawon), maka tadi dia menyebutnya sebagai Ang-hong-cu. Tentu karena pakaiannya serba merah itulah. Ang-hong-cu?

   Hemm, julukan yang tepat dan tidak buruk, bahkan lucu. Ia memang berpakaian merah, warna kesukaannya, dan ia pandai mempergunakan hong-cu-ciam, bahkan pedang pemberian gurunya juga disebut Sin-hong-kiam (Pedang Tawon Sakti)! Boleh juga, pikirnya. Mulai sekarang aku akan menggunakan julukan Ang-hong-cu!

   Ia bangkit berdiri dan pada saat itu Jaksa Thio menghampirinya dan dengan suara gemetar dia bertanya mengenai Cin Lan, puterinya. Nyonya Thio berada di belakang suaminya, wajahnya pucat sekali.

   "Harap lopek bersabar,"

   Kata Bwee Hwa.

   "Aku sudah mencari ke seluruh penjuru kota, akan tetapi belum menemukan jejak penculik itu. Ketika aku memaksa keterangan dari penjahat yang terluka, sayang sebelum dapat memberi keterangan orang itu telah tewas."

   Mendengar ini, Nyonya Thio menjerit-jerit dan menangis sedih, sedangkan Jaksa Thio membanting-banting kaki dan menggeleng-geleng kepalanya dengan sedih dan bingung.

   "Jahanam Hwe-coa-kauw! Kalau kamu hendak membunuhku, datanglah dan cobalah, jangan menggangu puteriku yang tidak berdosa!"

   Teriak Jaksa Thio sambil mengamangkan kepalan tangannya ke arah genteng rumah.

   "Lopek dan bibi, biarlah aku mencari enci Cin Lan sampai dapat!"

   Setelah berkata demikian, tubuh Bwee Hwa melayang ke atas genteng dan sebentar saja bayangannya sudah lenyap.

   Malam telah hampir habis, terganti fajar yang berwarna putih keabu-abuan. Ketika Bwee Hwa sedang berlompatan dari sebuah genteng rumah ke genteng rumah yang lain, dengan gerakan cepat dan ringan sehingga tidak menimbulkan suara, tiba-tiba ia melihat bayangan orang berlari-lari di sebelah timur. Bayangan itu berlari di atas genteng dengan cepat sekali.

   Bwee Hwa tentu saja menjadi curiga. Tak salah lagi, bayangan itu tentu seorang di antara para anggauta Hwe-coa-kauw, pikirnya, maka iapun cepat melompat dan melakukan pengejaran. Agaknya bayangan itu mengetahui bahwa dirinya dikejar orang. Dia mempercepat larinya dan sebentar-sebentar menengok ke belakang.

   Dalam kejar-mengejar ini, keduanya terkejut dan heran karena mendapat kenyataan bahwa baik yang mengejar maupun yang dikejar tidak mampu mengubah jarak yang ada di antara mereka. Tidak dapat lebih dekat atau lebih jauh. Ini hanya berarti bahwa ilmu berlari cepat dan ilmu meringankan tubuh mereka setingkat dan seimbang! Hal ini membuat Bwee Hwa merasa penasaran sekali karena suhunya sendiri pernah mengatakan bahwa jarang ada orang yang mampu menandingi kecepatan larinya.

   Mereka berkejaran terus sampai keluar dari kota. Kabut pagi menipis terusir cahaya matahari yang makin meninggi sehingga kini Bwee Hwa dapat melihat orang yang dikejarnya itu dengan jelas. Sebaliknya, orang yang dikejarnya itu ketika menengok, dapat melihat pengejarnya dengan jelas pula dan dia tertegun. Tak disangkanya bahwa orang yang sejak tadi mengejarnya adalah seorang gadis berpakaian serba merah. Diapun tersenyum dan menghentikan larinya, membalikkan tubuh dan menanti datangnya pengejar itu.

   Bwee Hwa yang sudah merasa panas hatinya dan penasaran bahwa sejak tadi ia tidak mampu menyusul orang itu, begitu berhadapan segera menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka orang itu dan memaki.

   "Pengecut jangan lari kalau engkau memang gagah!"

   Ternyata pelari itu adalah seorang pemuda yang berwajah cukup ganteng dengan bahu bidang dan tubuh yang agak pendek, hanya lebih tinggi sedikit ketimbang Bwee Hwa.

   "Astaga, kukira siapa yang mengejar-ngejarku sejak tadi......."

   "Hemm, kaukira siapa?"

   Bentak Bwee Hwa yang marah dengan suara ketus.

   Pemuda itu tersenyum dan wajahnya tampak manis kekanak-kanakan kalau dia tersenyum lebar.

   "Kukira setan atau siluman, tidak tahunya......."

   Dia tidak melanjutkan kata-katanya dan mengamati gadis itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, membuat Bwee Hwa merasa risi sekali.

   "Tidak tahunya siapa? Hayo bicara yang jelas!"

   "Tidak tahunya seorang bidadari baju merah yang cantik jelita dan galak!"

   "Bangsat kurang ajar!"

   Bwee Hwa memaki lalu cepat ia menggerakkan pedangnya yang sejak tadi sudah dipegangnya, menyerang dengan tusukan ke arah dada pemuda itu. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga sakti yang amat kuat, terbukti dari suara pedang itu yang menggetar ketika ditusukkan.

   Pemuda itu terkejut, maklum bahwa gadis itu memiliki pedang yang amat berbahaya dan merupakan lawan yang lihai sekali. Diapun cepat mencabut pedangnya dan segera menyambut dengan gerakan tangkas, cepat dan bertenaga. Juga dia bersilat dengan hati-hati sekali. Setelah beberapa kali serangan Bwee Hwa dapat dia hindarkan dengan elakan cepat, tiba-tiba pedang gadis itu menyambar dengan babatan cepat ke arah lehernya. Tentu saja pemuda itu tidak mengehendaki lehernya dipenggal. Dari samping diapun menggerakkan pedangnya menangkis sambil mengerahkan tenaga sekuatnya.

   "Tranggg""!"

   Bunga api berpijar menyilaukan mata dan pemuda itu terkejut bukan main. Ternyata tangkisannya tidak mampu mematahkan pedang di tangan gadis itu, bahkan tangannya tergetar ketika dua pedang bertemu, menunjukkan tenaga sin-kang (tenaga sakti) gadis itu benar-benar amat kuat!

   Juga Bwee Hwa merasa tercengang. Tangan kanannya yang memegang pedang tergetar hebat dan biasanya, pedang lawan yang berbenturan sedemikian kuatnya dengan pedang Sin-hong-kiam (Pedang Tawon Sakti) di tangannya, pasti menjadi buntung. Akan tetapi pedang lawannya ini tidak apa-apa. Hal itu berarti bahwa pemuda itupun memiliki sebatang pedang pusaka yang kuat dan ampuh!

   Mendapatkan kenyataan ini, Bwee Hwa menjadi penasaran sekali. Maka ia lalu mengerahkan seluruh tenaga, mengeluarkan semua kemampuannya, memainkan ilmu pedang yang khusus dirangkai oleh Sin-kiam Lojin untuknya, disesuaikan dengan pedang pusakanya. Pedang pusakanya itu bernama Sin-hong-kiam (Pedang Tawon Sakti), ada ukiran beberapa ekor tawon di sepanjang badan pedang. Gurunya telah merangkai ilmu pedang yang disebut Sin-hong-kiam (Ilmu Pedang Tawon Sakti).

   Pedangnya berubah menjadi segulungan sinar, ujungnya berkelebatan seperti tawon menyambar-nyambar dan mulut gadis itu mengeluarkan suara berdengung lembut tajam seperti dengungan banyak tawon yang mengamuk. Itulah Sin-hong-kiam-sut!

   Pemuda itu terkejut bukan main dan dia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk membela diri agar jangan sampai terdesak. Bukan hanya kecepatan gerakan pedang gadis itu yang membuatnya terkejut, terutama sekali suara dengungan seperti ada tawon-tawon yang mengiang-ngiang di dekat telinganya itulah yang membuat dia menjadi bingung. Suara itu sungguh membuat telinganya sakit, konsentrasinya buyar dan karenanya permainan pedangnya menjadi kacau.

   Karena pemuda itu tidak bermaksud untuk berkelahi sungguh-sungguh dan tadi hanya ingin mencoba atau menguji saja, maka melihat kesungguhan gadis itu dalam penyerangannya, diapun melompat jauh ke belakang dan berseru.

   "Tahan......!"

   Bwee Hwa menahan serangannya, menghentikan gerakannya dan dengan tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan menggerakkan pedangnya melintang di depan dada, berkata dengan suara mengejek.

   "Hemm, pengecut. Kalau sudah terdesak minta berhenti. Kau mau apa?"

   Tiba-tiba pemuda itu memasukkan pedangnya kembali ke dalam sarung pedang, lalu tersenyum dan menjura dengan sikap hormat.

   "Li-hiap (pendekar wanita), maafkan aku yang salah sangka. Tadinya aku mengira bahwa engkau adalah seorang anggauta Hwe-coa-kauw yang terkutuk itu, akan tetapi tadi setelah berhadapan denganmu, aku segera tahu bahwa engkau bukanlah anggauta gerombolan busuk itu. Aku tadi hanya ingin mengujimu dan ternyata engkau sungguh hebat dan lihai sekali, membuat aku kagum dan tunduk. Ketahuilah, pujianku ini bukan main-main untuk bermuka-muka, karena aku Ong Siong Li bukanlah laki-laki yang suka berbohong."

   Mendengar nama itu, Bwee Hwa menjadi ragu-ragu dan ia mengerutkan sepasang alisnya, mengingat-ingat. Suhunya pernah memperkenalkan nama orang-orang yang terkenal di dunia kang-ouw, sebelum ia berpisah dari gurunya itu. Dan kini ia ingat bahwa nama Ong Siong Li juga pernah disebut suhunya.

   "Aku tadi juga menyangka bahwa engkau seorang anggauta Hwe-coa-kauw, maka aku mengejarmu karena aku memang sedang mencari-cari mereka. Namamu pernah kudengar dari suhuku. Bukankah engkau seorang tokoh Thai-san-pai (Partai Thai-san) yang berjuluk Kim-kak-liong (Naga Tanduk Emas)?"

   Pemuda itu tersenyum lebar.

   "Ingatanmu sungguh kuat, nona. Memang benar akulah orang yang kaumaksudkan itu. Akan tetapi sebutan yang diberikan kepadaku oleh orang-orang dunia kang-ouw itu sungguh terlalu tinggi untukku."

   Kini Bwee Hwa tersenyum lega. Senyum yang membuat Siong Li terpesona karena begitu tersenyum, wajah cantik jelita yang tadi tampak galak itu berubah menjadi ramah dan manis bukan main. Bwee Hwa memasukkan pedangnya di sarung pedang yang tergantung di pinggang kiri. Ia maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda tokoh Thai-san-pai yang terkenal sebagai pendekar pembela kebenaran dan keadilan dan menurut suhunya pendekar muda itu memiliki kepandaian yang tinggi. Hal ini telah ia buktikan sendiri karena ketika tadi ia bertanding melawan pemuda itu, ia mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang pemuda itu tidak berada di bawah tingkat kepandaiannya sendiri.

   "Memang kalau tidak bertanding lebih dulu kita tidak akan dapat berkenalan dengan baik seperti kata suhu dahulu,"

   Kata Bwee Hwa.

   "Maaf, nona. Suhumu yang mulia agaknya sudah mengenalku. Siapakah sesungguhnya nama suhumu? Dan siapa pula nama dan julukan nona sendiri kalau aku boleh mengetahuinya?"

   "Suhu berjuluk Sin-kiam Lojin......."

   "Wah! Kiranya engkau murid locianpwe (orang tua gagah) itu? Dan namamu"""

   "Namaku Bwee Hwa boleh juga disebut Ang-hong-cu (Si Tawon Merah)."

   "Ah, pantas saja aku menjadi sibuk setengah mati menghadapi ilmu pedangmu. Tak tahunya engkau murid seorang ahli pedang yang hebat. Dan julukanmu tadi memang tepat sekali. Ketika tadi aku bertanding denganmu, aku merasa seolah-olah aku diserang ribuan ekor tawon yang luar biasa, membuat aku bingung dan permainanku menjadi kacau. Dan kalau tidak salah, locianpwe Sin-kiam Lojin adalah seorang ahli pula dalam mempergunakan senjata rahasia berupa jarum yang disebut hong-cu-ciam (jarum tawon). Tentu engkau pandai pula mempergunakannya. Pantas sekali kalau engkau disebut Ang-hong-cu. Dengan pakaian merahmu memang engkau seperti seekor tawon yang sengatannya dahsyat dan berbahaya sekali!"

   "Hemm, sengatanku hanya kutujukan kepada para penjahat!"

   Kata Bwee Hwa dan mukanya berubah agak merah oleh pujian pemuda itu. Diam-diam ia merasa suka kepada pemuda yang peramah dan wajahnya cerah gembira ini.

   Karena merasa lelah setelah tadi berkejaran kemudian bertanding, Siong Li lalu duduk di atas sebuah batu besar yang berada di tepi jalan dan mempersilakan Bwee Hwa untuk duduk pula.

   "Kita beristirahat sejenak agar lebih enak bercakap-cakap. Kukira, banyak yang dapat kita bicarakan tentang Hwe-coa-kauw yang sama-sama kita musuhi itu, bukan?"

   Bwee Hwa mengangguk.

   "Agaknya engkau mengetahui banyak tentang perkumpulan gerombolan jahat itu. Ceritakanlah karena aku ingin menolong seorang gadis yang mereka culik."

   "Hemm, agaknya gadis yang aku tahu mereka larikan itu. Baiklah, aku mulai bercerita tentang asal usul mereka. Perkumpulan Hwe-coa-kauw sudah berdiri kurang lebih tigapuluh tahun. Timbulnya agama baru ini dari dunia barat. Pada suatu hari dari barat datanglah seorang pendeta perantau yang menyebarkan pelajaran tentang hidup yang baik dan benar. Pendeta ini mempunyai seekor ular yang aneh. Ular itu kecil saja, akan tetapi mempunyai keanehan. Ia mempunyai tonjolan di kanan kiri perutnya yang bentuknya seperti sayap dan ular itu dapat meloncat dan meluncur dengan cepat seperti seekor burung saja."

   "Mungkin ular kobra yang dapat mengembangkan lehernya,"

   Kata Bwee Hwa.

   "Mungkin saja. Akan tetapi ular kobra hanya dapat mengembangkan tubuh bagian leher saja, sedangkan ular kecil milik pendeta itu mengembangkan bagian perutnya mirip sayap. Karena itulah maka ular kecil itu disebut Hwe-coa (Ular Terbang) oleh penduduk."

   Siong Li melanjutkan ceritanya.

   "Pendeta itu bernama Leng Kong Hoatsu. Selain mengajar tentang budi pekerti baik, juga dia adalah seorang ahli pengobatan yang pandai dan banyak orang diselamatkan dari penyakit yang gawat. Sebetulnya ular itu hanya merupakan binatang peliharaan kesayangannya saja. Akan tetapi karena pada jaman itu orang-orang masih sangat bodoh dan percaya akan tahyul yang bukan-bukan, segera tersiar kabar bahwa Leng Kong Hoatsu mendapatkan ilmu kepandaiannya itu berkat kesaktian ular terbang itu! Mulailah orang-orang memuja ular kecil itu sebagai penjelmaan dewa! Sia-sia saja usaha Leng Kong Hoatsu untuk membantah kabar itu sehingga akhirnya pendeta ini menjadi kecewa dan meninggalkan tempat itu, kembali ke dunia barat, di balik pegunungan Himalaya.

   "Biarpun Leng Kong Hoatsu dan "ular terbangnya"

   Telah tidak ada lagi, orang-orang tetap memuja ular terbang. Kebodohan dan ketahyulan orang-orang ini dimanfaatkan orang-orang jahat dan timbullah perkumpulan yang disebut Hwe-coa-kauw (Agama Ular Terbang). Perkumpulan agama baru ini sebentar saja mendapat banyak pengikut dan untuk mendapatkan "berkat"

   Dari Dewa Ular Terbang itu, orang-orang rela menyerahkan uang dan harta benda mereka, disumbangkan kepada perkumpulan agama baru itu.

   "Setelah muncul tiga orang pendeta, sebenarnya mereka itu adalah bekas perampok yang kini mengenakan pakaian pendeta dan mencukur rambut mereka, yang memimpin Hwe-coa-kauw, perkumpulan itu maju pesat. Hal ini karena tiga orang pendeta itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pandai pula bermain sihir sehingga orang-orang menjadi semakin percaya. Tiga orang bekas perampok itu mengangkat diri mereka menjadi Kauw-cu (Ketua Agama). Tiga orang ini memilih para pembantu mereka dari golongan penjahat yang memiliki kepandaian silat tinggi. Para pembantu ini dilatih dan tak lama kemudian Hwe-coa-kauw menjadi perkumpulan yang kaya, kuat dan berpengaruh.

   "Akan tetapi, seperti sering kali terjadi di dunia ini, siapa yang sadar akan kekuatan dan pengaruh mereka, akan muncul watak sewenang-wenang mengandalkan kekuatan itu. Demikian pula dengan Hwe-coa-kauw. Setelah merasa kuat, mereka tidak puas hanya dengan menerima sumbangan-sumbangan, dan mulailah tampak belang mereka. Tiga kauwcu dan para pembantunya yang memang berasal dari golongan sesat, mulailah melakukan perbuatan sewenang-wenang dan memaksakan kehendak mereka sehingga rakyat yang tadinya percaya dan kagum, mulai memandang dengan alis berkerut, dan akhirnya menjadi ketakutan dan membenci. Hwe-coa-kauw berubah menjadi perkumpulan orang jahat yang tidak segan melakukan perbuatan keji apapun juga. Bahkan mereka berani melakukan penculikan, perkosaan dan peram pasan hak milik orang lain!

   "Karena inilah maka banyak pendekar pembela kebenaran dan keadilan bertindak. Mereka bersatu padu dan memusuhi Hwe-coa-kauw yang berpusat di Tit-le itu. Para pendekar dari berbagai partai persilatan ini berhasil mengobrak-abrik sarang Hwe-coa-kauw, membunuh banyak anak buah mereka. Akan tetapi tiga orang kauw-cu (ketua agama) itu berhasil melarikan diri bersama sisa anak buah mereka yang tinggal sedikit."

   "Aku mewakili perguruan Thai-san-pai bergabung dengan para pendekar itu,"

   Siong Li melanjutkan ceritanya.

   "Aku amat membenci para pimpinan Hwe-coa-kauw itu karena mereka telah membunuh seorang suheng (kakak seperguruan) yang pernah mencoba menentang mereka seorang diri saja. Maka setelah mereka melarikan diri, aku segera mengejar mereka dan melakukan penyelidikan. Akhirnya aku mendapat keterangan bahwa ke tiga orang kauw-cu itu menyusun anak buah mereka dan membangun sarang baru di sebuah hutan besar dekat kota Ki-ciu, maka aku segera menyelidiki ke sini."

   Bwe Hwa yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh kekaguman, bertanya.

   "Dan engkau telah menemukan sarang mereka yang baru itu?"

   "Kebetulan saja ketika aku sedang menyelidiki ke hutan, aku melihat mereka membawa lari seorang gadis. Aku segera mencoba untuk menolongnya. Akan tetapi ketika tiga orang pemimpin mereka yang mereka sebut Toa-kauwcu (Ketua Agama Pertama) Ji-kauwcu (Ketua Agama kedua) dan Sam-kauwcu (Ketua Agama ke Tiga) maju mengeroyokku, terpaksa aku melarikan diri karena aku tidak mampu menandingi pengeroyokan mereka yang lihai. Dan ketika melihat engkau mengejarku, kukira engkau seorang di antara mereka. Nah, sekarang ceritakan bagaimana engkau dapat bentrok dengan mereka dan siapa pula gadis yang mereka culik dan larikan itu."

   Bwee Hwa dengan singkat menceritakan tentang pertemuannya dan perkenalannya dengan Jaksa Thio dan anak isterinya.

   "Jaksa Thio itu seorang pejabat yang adil dan jujur. Isterinya juga ramah dan puterinya, Thio Cin Lan, adalah seorang gadis yang cantik dan lembut. Ketika malam tadi aku bermalam di rumah Keluarga Jaksa Thio, penjahat-penjahat itu menyerang dan aku cepat melawan mereka. Tidak tahunya mereka itu membakar belakang gedung dan selagi aku sibuk melawan penjahat dan semua pengawal memadamkan api, penjahat mempergunakan kesempatan itu untuk menculik Enci Cin Lan. Aku merasa heran sekali mengapa Hwe-coa-kauw itu memusuhi Jaksa Thio seperti itu?"

   "Tidak aneh, li-hiap. Agaknya Hwe-coa-kauw bermaksud untuk menanam pengaruh di daerah Ki-ciu. Mendengar akan keadilan dan kejujuran Jaksa Thio, tentu saja mereka ingin menyingkirkan pejabat yang berbahaya bagi mereka itu."

   "Ong-taihiap (Pendekar Besar Ong), sukakah engkau bersamaku membasmi sarang Hwe-coa-kauw yang jahat itu dan menolong Thio Cin Lan?"

   Tanya Bwee Hwa sambil menatap tajam wajah pemuda itu.

   Ong Siong Li tersenyum.

   "Tentu saja, hal itu tidak perlu ditanyakan lagi. Akan tetapi harap engkau jangan menyebut tai-hiap (pendekar besar) kepadaku."

   "Tentu saja aku menyebut tai-hiap, karena engkaupun menyebutku li-hiap (pendekar wanita)!"

   "Ha-ha, baiklah, aku yang salah, lalu aku harus menyebutmu bagaimana?"

   Bwee Hwa juga tersenyum.

   "Jawab dulu pertanyaanku. Aku harus menyebutmu apa?"

   "Kita orang segolongan dan sealiran, sudah seperti saudara sendiri. Karena aku sudah berusia duapuluh satu tahun dan tentu lebih tua ketimbang engkau, maka bagaimana kalau engkau menyebut aku toako (kakak) saja?"

   "Baiklah, Li-ko (kakak Li) dan engkau sebut aku Hwa-moi (adik Hwa)."

   "Hwa-moi, kalau begitu mari kita pergi menyelidiki sarang Hwe-coa-kauw di dalam hutan besar itu. Mereka menggunakan sebuah kuil tua yang sudah kosong sebagai sarang dan mereka telah membangun kembali kuil itu. Akan tetapi kita harus berhati-hati, karena tiga orang kauw-cu itu benar-benar lihai sekali."

   "Baik, mari kita pergi."

   Keduanya lalu bangkit dan pergi menuju sarang Hwe-coa-kauw dengan Siong Li sebagai penunjuk jalan. Dengan mempergunakan ilmu berlari cepat, tubuh kedua orang pendekar muda itu melesat seperti terbang saja cepatnya.

   Thio Cin Lan membuka kedua matanya. Ia merasa seperti dalam mimpi, mimpi yang buruk sekali, bermimpi bahwa ia diculik seorang laki-laki berkepala gundul yang membawanya lari seperti terbang keluar dari rumah orang tuanya di Ki-ciu. Kini ia sudah terbangun dan tentu mendapatkan dirinya tertidur dalam kamarnya dan semua tadi hanya mimpi kosong belaka.

   Ia membuka matanya, mengeluh lirih dan bangkit duduk, menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan. Ia tidak berada dalam kamarnya sendiri! Ia rebah di atas sebuah pembaringan bertilam merah, dalam sebuah kamar yang sama sekali asing! Oh, ia tidak bermimpi! Ia benar-benar diculik dan dilarikan orang lalu kini dikeram dalam kamar ini!

   Cin Lan cepat turun dari pembaringan, bermaksud untuk melarikan diri keluar dari dalam kamar itu. Akan tetapi, tiba-tiba muncul lima orang wanita muda yang cantik-cantik dan mereka segera memegang kedua lengannya.

   "Thio-siocia (Nona Thio), engkau tidak boleh keluar dari kamar ini. Seorang nona pengantin tidak boleh keluar dari kamar ini sebelum pernikahan disahkan!"

   Kata seorang di antara lima wanita itu.

   "Apa? Kau gila! Siapa yang menjadi nona pengantin? Siapa yang akan menikah?"

   Bentak Cin Lan.

   "Nona pengantinnya adalah engkau, Thio-siocia! Engkau yang akan menikah dengan Hwe-coa-sian (Dewa Ular Terbang) dan menjadi dewi!"

   Jawab lima orang wanita itu hampir berbareng.

   "Tidak! Kalian gila! Lepaskan aku""!"

   Cin Lan meronta-ronta dan mengamuk, akan tetapi lima orang gadis itu memeganginya dan tentu saja ia kalah kuat menghadapi lima orang wanita itu.

   Cin Lan adalah seorang gadis terpelajar. Tentu saja ia tidak mau percaya sama sekali akan bujukan mereka yang penuh tahyul itu. Akan tetapi ia cukup cerdik untuk mengetahui bahwa ia berada dalam tangan orang-orang yang percaya akan tahyul, maklum bahwa ia berada dalam ancaman bahaya besar. Maka, ia pura-pura bersikap mengalah dan tidak meronta lagi sehingga lima orang wanita itu mengendurkan pegangan mereka. Cin Lan menggunakan kesempatan ini untuk tiba-tiba meronta dan berlari lepas dari tangkapan mereka, langsung lari ke pintu kamar yang terbuka.

   Akan tetapi tiba-tiba ia menjerit kecil dan menahan larinya, bahkan lalu melangkah mundur sambil menatap wajah orang yang tiba-tiba muncul di ambang pintu dengan mata terbelalak. Yang muncul itu adalah seorang bertubuh tinggi kurus, berusia kurang lebih empatpuluh tahun dan ia ingat bahwa orang inilah yang menculiknya keluar dari rumah orang tuanya di Ki-ciu.

   Laki-laki berpakaian jubah pendeta dan kepalanya gundul itu tersenyum mengejek. Wajahnya cukup tampan akan tetapi kulit mukanya pucat kekuningan. Inilah Sam-kauwcu (Ketua Agama ketiga) dan ketika lima orang gadis itu melihat dia memasuki kamar, mereka segera menjatuhkan diri berlutut dengan memberi hormat secara merendah sekali. Mereka menjulurkan kedua tangan ke depan dan mencium lantai, seperti para hamba yang memberi hormat kepada rajanya!

   Pendeta tinggi kurus itu memasuki kamar dan menghampiri Cin Lan yang masih berdiri memandangnya dengan mata bersinar penuh keberanian dan kemarahan.

   "Nona, mengapa engkau menentang nasibmu yang amat baik ini? Ketahuilah, jika engkau menjadi pengantin Dewa Ular Terbang, engkau akan menjadi dewi dan hidupmu akan berbahagia dan terhormat."

   Mengingat bahwa orang ini yang menculiknya, Cin Lan menjadi marah dan ia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Sam-kauwcu lalu membentak.

   "Penjahat yang berkedok pendeta! Siapa sudi mendengar ocehanmu? Cepat antarkan aku kembali, kalau tidak ayah tentu akan mengirim para pengawal untuk menyeretmu di depan meja pengadilan dan menghukum dengan seribu kali cambukan!"

   Sam-kauwcu tersenyum menyeringai dan berkata.

   "Kalau begitu, terpaksa kami menggunakan kekerasan!"

   Tangannya menyambar ke depan dengan cepat sekali dan tahu-tahu Cin Lan telah tertotok dua kali yang membuat ia menjadi lemas dan tidak mampu mengeluarkan suara. Lima orang wanita pelayan, itu cepat memeluk tubuh Cin Lan sehingga tidak jatuh terkulai di atas lantai.

   
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Cepat dandani ia dengan pakaian pengantin yang sudah dipersiapkan karena upacara pernikahan akan dilangsungkan hari ini juga!"

   Kata Sam-kauwcu kepada lima orang wanita pelayan itu, lalu diapun keluar dari dalam kamar.

   Thio Cin Lan sama sekali tidak berdaya melawan ketika ia dimandikan oleh lima orang wanita itu, kemudian pakaian baru dikenakan pada tubuhnya. Pakaian dalam dari sutera halus, lalu pakaian luamya adalah pakaian mempelai berwarna merah berkembang-kembang dari kain tipis tembus pandang sehingga bentuk tubuhnya yang langsing dan kulitnya yang putih mulus itu membayang di balik pakaian pengantin itu. Rambutnya disisir rapi dan digelung secara indah, dihias tiara penuh mutiara. Wajahnya juga dihias sehingga Cin Lan tampak benar-benar cantik jelita dan agung bagaikan seorang bidadari!

   Lewat tengah hari terdengar bunyi canang dan tambur. Mempelai perempuan diarak keluar dari kamarnya menuju ke ruangan tengah di mana semua anggauta Hwe-coa-kauw telah berkumpul. Di tengah-tengah ruangan itu dikelilingi oleh para anggauta yang duduk agak jauh, terdapat sebuah bangku tinggi yang sudah dihias dengan bunga-bunga dan kertas berwarna.

   Cin Lan yang masih berada di bawah pengaruh totokan, tak mampu meronta atau berteriak, dinaikkan ke atas bangku tinggi dan didudukkan di sana. Gadis yang tak berdaya itu hanya dapat duduk lemas dan sepasang matanya memandang dengan penuh rasa ngeri. Di depannya, kurang lebih dua tombak jauhnya, terdapat sebuah kotak emas yang tergantung oleh tali dari tiang penglari. Kotak itu seluruhnya terbuat dari emas dan diukir indah, ukiran berbentuk seekor ular yang sedang terbang. Walaupun tidak diberitahu, Cin Lan dapat merasakan bahwa bahaya yang mengancam dirinya tentu datang dari kotak emas yang aneh itu, maka ia memandang ke arah kotak emas itu dengan gelisah.

   Semua anggauta gerombolan itu tidak ada yang mengeluarkan suara, hanya mata mereka memandang ke arah gadis itu dengan mata kagum dan penuh gairah. Dari pandang mata mereka tampak kesan seolah mereka hendak menelan gadis itu bulat-bulat! Hal ini terasa oleh Cin Lan dan menambah kengerian hatinya. Siapa takkan merasa ngeri, dalam keadaan tidak berdaya berada di tengah-tengah kurang lebih tigapuluh orang laki-laki yang tampak buas dan pandang mata mereka seperti orang berotak miring itu!

   Di bawah gantungan kotak emas itu duduk tiga orang pendeta berkepala gundul dan berjubah longgar. Yang seorang bertubuh tinggi besar, mukanya brewok namun kepalanya gundul, matanya mencorong lebar, usianya kurang lebih limapuluh lima tahun. Inilah Toa-kauwcu, ketua agama yang pertama.

   Yang kedua adalah seorang laki-laki berusia limapuluh tahun, pendek gendut sekali sehingga dia seperti seekor babi saja, wajahnya tampak lucu dan sama sekali tidak serem walaupun dia berusaha untuk membuat wajahnya tampak serem. Dia adalah Ji-kauwcu, ketua kedua. Adapun orang ketiga adalah Sam-kauwcu yang tinggi kurus berwajah pucat kekuningan dan berusia empatpuluh tahun itu. Mereka bertiga duduk di atas kursi-kursi berukir dengan gambar ular terbang.

   Setelah menaikkan Cin Lan ke atas bangku tinggi itu, lima orang pelayan wanita itu lalu mengundurkan diri ke dalam kamar atau ruangan di bagian belakang bangunan besar bekas kuil itu, seperti para wanita pelayan yang lain. Mereka itu dilarang menyaksikan upacara perkawinan. Cin Lan ditinggalkan seorang diri dan gadis ini dengan wajah pucat ketakutan memandang ke sekeliling melalui kerudung pengantin yang berupa tirai tipis tembus pandang itu.

   Kemudian tiga orang ketua agama itu berdoa dengan suara yang tidak jelas, seakan-akan hanya digumam saja. Akan tetapi aneh, semua anggauta yang berada dalam ruangan itu lalu menundukkan muka dan ikut berdoa sehingga ruangan itu penuh dengan suara orang berdoa yang menimbulkan gaung aneh dan suasananya menjadi seram sekali. Cin Lan mendengarkan dengan mata terbelalak dan bulu tengkuknya meremang karena ngeri dan takut. Toa-kauwcu lalu membakar dupa wangi yang asapnya memenuhi ruangan itu. Bau dupa yang harum aneh ini menambah suasana yang aneh dan menyeramkan.

   Tiba-tiba semua mulut terdiam seperti mendapat komando tak bersuara. Suasana menjadi sunyi, sunyi yang aneh karena suara doa gemuruh tadi berhenti secara tiba-tiba. Tiga orang ketua agama itu lalu bangkit berdiri dan menghampiri Cin Lan yang duduk di atas bangku tinggi. Mereka menggeser kursi mereka ke dekat bangku tinggi yang diduduki Cin Lan, lalu mereka berdiri di atas kursi sehingga dapat berhadapan sama tingginya dengan gadis itu.

   "Ya dewa ular yang maha agung, terimalah persembahan kami ini, pengantin paduka!"

   Kata Ji-kauwcu dalam doanya sambil merenggut kerudung penutup kepala dan muka Cin Lan. Pada saat yang sama Sam-kauwcu membuka totokan pada urat gagu Cin Lan akan tetapi pada saat yang sama juga menotok pundak gadis itu sehingga Cin Lan menjadi lemas tak mampu bergerak sedikitpun. Gadis itu kini hanya mampu bersuara akan tetapi tidak mampu bergerak. Terdengarlah isak tangisnya yang ketakutan. Kalau saja ia tidak ditotok sehingga tak mampu bergerak, tentu Cin Lan akan melompat turun dari bangkunya yang tinggi.

   Sementara itu, Toa-kauwcu menekan tombol yang terdapat pada kotak emas itu sehingga terdengar suara menjepret dan kotak emas itupun terbuka. Tampaklah dari kotak itu kepala seekor ular kecil yang menjulur keluar dengan sepasang matanya yang liar berwarna kemerahan dan lidahnya menjilat-jilat keluar dari moncongnya. Lidah itu lebih merah lagi warnanya.

   Perlahan-lahan ular itu merayap keluar sehingga tampak tubuhnya yang kecil panjang berbintik-bintik merah dan hitam. Binatang itu merayap ke atas peti dan akhirnya melingkar diam di atas peti, kepalanya memandang ke sana-sini seperti seorang raja sedang memeriksa para hulubalangnya yang menghadap di depannya.

   Agaknya ular itu hendak turun, akan tetapi peti emas itu tergantung begitu tinggi sedangkan untuk turun tidak terdapat tempat untuk merayap. Ular itu lalu menggerak-gerakkan kepalanya mencari tempat yang dekat untuk diloncati, dan tentu saja yang terdekat dengan tempatnya adalah Cin Lan yang duduk di atas bangku itu. Maka perhatian ular itu kini pindah seluruhnya kepada gadis itu yang duduk tak bergerak bagaikan patung di atas bangkunya.

   Cin Lan terbelalak memandang ular itu. Melihat betapa binatang itu memandang kepadanya sambil menjilat-jilatkan lidahnya, Cin Lan menjadi begitu ngeri dan takut sekali sehingga air matanya mengalir membasahi pipinya yang pucat tanpa dapat mengeluarkan sedikitpun suara karena ditahan-tahannya hati yang ingin menjerit-jerit, takut kalau-kalau hal itu akan membuat ular itu menyerangnya.

   Pada saat itu, Toa-kauwcu berdiri dari kursinya dan menghampiri Cin Lan yang hampir pingsan ketakutan. Kauw-cu ini memegang secawan anggur dan berbisik kepada Cin Lan.

   "Nona pengantin, silakan minum anggur pengantin untuk menghormati pengantin pria."

   Tentu saja Cin Lan tidak sudi menerimanya, bahkan ia memandang pendeta tinggi besar itu dengan mata penuh sinar kebencian. Toa-kauwcu lalu berdiri di atas kursinya dan berkata lirih.

   "Betapapun juga, lebih baik mati minum racun daripada mati tersiksa."

   Mendengar ucapan ini, Cin Lan menganggap bahwa ucapan itu ada benarnya juga. Karena menyangka bahwa yang berada dalam cawan itu tentu racun yang akan mematikannya, cepat ia berkata.

   "Baik..... berikan anggur itu..... akan kuminum.......!"

   Karena Cin Lan tidak dapat menggerakkan tubuhnya yang tertotok lemas, Toa-kauwcu lalu mengangkat cawan itu ke bibir Cin Lan dan menunangkan isi cawan ke dalam mulut gadis itu yang menerimanya lalu meminumnya sampai habis. Rasa minuman itu manis akan tetapi berbau amis, akan tetapi karena merasa lebih baik mati cepat daripada menghadapi siksaan yang mengerikan itu. Cin Lan menahan kemuakannya dan menelan semua isi cawan.

   Toa-kauwcu tersenyum lalu turun dari kursi dan meninggalkan Cin Lan setelah dia membebaskan gadis itu dari totokan yang membuatnya lemas tak mampu bergerak tadi.

   Gadis yang malang itu merasa betapa kepalanya menjadi pening dan pandang matanva kabur. Segala sesuatu tampak berpusing dan ia memejamkan kedua matanya, siap menerima datangnya kematian. Ia merasa tubuhnya ringan sekali dan anehnya, ia merasa nyaman, enak dan menyenangkan! Untuk beberapa saat lamanya ia memejamkan kedua matanya dan di depan mata yang terpejam itu ia melihat banyak macam warna beterbangan, berputar-putar dan berkilauan amat indahnya.

   Ketika ia membuka mata kembali, sungguh heran, ia merasa segar dan senang sekali. Ia melihat betapa ular yang berada di atas kotak emas itu mengangkat kepalanya dan kini tampak jelas betapa di bagian dada dan perut ulat itu terkembang sayap di kanan kiri! Alangkah indahnya ular itu. Kulitnya yang bertotol-totol merah hitam itu mengkilap dan warnanya amat indah.

   Cin Lan merasa suka sekali melihat ular itu, bagaikan seorang gadis melihat setangkai bunga atau seekor burung yang bulunya berwarna indah. Tanpa disadarinya sendiri gadis itu mengangkat kedua lengannya ke atas seolah-olah hendak dijulurkan dan hendak membelai ular yang kini siap hendak meloncat!

   Semua anggauta Hwe-coa-kauw yang berada di situ memandang ke arah dua mahluk yang saling berhadapan itu dan mereka menahan napas dengan hati tegang. Mereka semua maklum bahwa sebentar lagi.

   "pengantin pria"

   Itu akan melompat dan menerkam leher "pengantin wanita", dalam gigitannya yang berbisa dan mematikan. Setiap tahun sekali terjadilah persembahan kurban seperti ini yang dipilih di antara gadis-gadis cantik. Dan tahun ini yang dipilih adalah Thio Cin Lan, yang selain cantik jelita dan menjadi kembang kota Ki-ciu, juga ia berdarah bangsawan dan terutama sekali puteri Jaksa Thio yang tidak disuka oleh Hwe-coa-kauw.

   Suasana yang tegang memuncak dan semakin mencekam ketika orang-orang melihat betapa ular itu kini mengembang kan "sayapnya"

   Yang sebetulnya hanyalah tubuh ular yang digepengkan sehingga menjadi lebar seperti sayap. Ular itu kini siap untuk "terbang"

   Atau melompat ke arah Cin Lan yang berada di bawah pengaruh minuman perangsang itu, menanti ular kecil indah itu dengan senyum yang amat manis! Ular itu mendesis beberapa kali, kemudian tiba-tiba ia "terbang"

   Melompat ke arah Cin Lan, meluncur ke leher gadis itu. Semua orang menahan napas melihat tubuh ular itu melayang, hati mereka penuh ketegangan.

   Pada saat itu, dari luar jendela ruangan itu menyambar sinar-sinar kecil yang mengeluarkan suara berdengung seperti ada serombongan tawon kecil terbang masuk dan sinar-sinar kecil itu menyambar ke arah tubuh ular yang sedang meluncur di udara itu. Ular itu terpental di tengah udara sambil menggeliat-geliat dan jatuh ke bawah. Ketika tiba di atas lantai, ular itu berkelojotan sebentar lalu diam mati. Kepala dan lehernya penuh ditancapi jarum-jarum kecil. Itulah hong-cu-ciam (jarum tawon), senjata rahasia yang amat ampuh dari Bwee Hwa Si Tawon Merah!

   Untuk sejenak keadaan menjadi sunyi dan semua orang yang berada di situ tercengang keheranan. Demikian pula tiga orang Kauw-cu yang sama sekali tidak menduga akan terjadi hal seperti itu. Mereka tertegun dan tak dapat berbuat sesuatu kecuali memandang bangkai ular pujaan mereka yang telah mati. Namun, keadaan ini tidak berlangsung lama. Segera mereka bertiga melompat dengan marah sambil mencabut senjata masing-masing.

   "Jahanam busuk, jangan lari!"

   Mereka berseru dan cepat mereka melompat keluar dari ruangan itu melalui jendela. Di luar jendela telah berdiri Bwee Hwa dan Ong Siong Li, menanti dengan sikap tenang dan dengan pedang di tangan kanan.

   "Keparat, engkau berani datang lagi? Agaknya memang sudah bosan hidup!"

   Teriak Toa-kauwcu yang segera mengenal Siong Li yang tadi pagi melarikan diri setelah menghadapi pengeroyokan mereka bertiga.

   Siong Li tersenyum mengejek.

   "Selama pedang ini masih berada di tanganku, aku takkan berhenti berusaha untuk membasmi Hwe-coa-kauw yang terkutuk!"

   Bwee Hwa juga tidak mau kalah dan dengan pedang melintang depan dada, telunjuk tangan kirinya menuding ke arah tiga orang itu.

   "Kalian ini orang-orang sesat yang menyamar sebagai pendeta agama sesat. Kalau kalian ingin selamat, bebaskan nona Thio dan bubarkan perkumpulan jahat ini, lalu kalian menyerah kepada yang berwajib untuk menerima hukuman. Kalau tidak demikian, terpaksa kami turun tangan dan tidak saja kami akan membinasakan kalian bertiga, tapi juga akan kami obrak-abrik dan bakar sarang kalian ini!"

   "Nah, bukankah engkau ini perempuan yang semalam telah membunuh beberapa orang anak buah kami? Bagus, tidak usah kami bersusah payah mencari, engkau telah datang mengantarkan nyawa ke sini!"

   Teriak Toa-kauwcu.

   "Bunuh mereka!"

   Bentak Ji-kauwcu yang segera menyerang Bwee Hwa dengan serangan kilat. Pedangnya membacok ke arah leher gadis itu.

   "Wuuuttt....... trang"""

   Bunga api berpijar ketika Bwee Hwa menangkis serangan itu dengan Sin-hong-kiam di tangannya. Tangan Ji-kauwcu tergetar dan tahu bahwa mereka akan dikeroyok, Bwee Hwa dan Siong Li cepat berlompatan keluar dari kuil untuk mencari tempat yang luas. Mereka tiba di luar kuil yang luas dan di sana mereka menanti tiga orang yang mengejar mereka.

   Tiga orang Kauw-cu itu segera serentak menyerang dan terjadilah perkelahian dua lawan tiga yang seru sekali. Bayangan lima orang yang tangguh ini berkelebatan di antara gulungan lima sinar pedang.

   Para anak buah Hwe-coa-kauw juga mengejar dengan senjata di tangan. Akan tetapi ketika mereka hendak maju mengepung dua orang muda itu, tiba-tiba terdengar sorak sorai menggegap gempita dan muncullah limapuluh orang perajurit pengawal di bawah pimpinan Thio-taijin sendiri!

   Kiranya tadi sebelum memasuki hutan, Bwee Hwa dan Siong Li bersepakat untuk minta bantuan Thio-taijin mengingat bahwa gerombolan itu mempunyai banyak anak buah. Mendengar permintaan Bwee Hwa yang sudah mengetahui sarang gerombolan yang menculik puterinya, Thio-taijin yang marah dan ingin segera menyelamatkan puterinya turun tangan dan memimpin sendiri limapuluh orang perajurit pengawal ditemani para perwira yang memiliki ilmu silat tinggi, mengikuti Siong Li dan Bwee Hwa. Mereka berindap-indap menghampiri kuil di tengah hutan itu.

   Karena semua anggauta Hwe-coa-kauw sedang sibuk mengadakan upacara "pernikahan"

   Maka tidak ada yang mengetahui akan datangnya pasukan ini. Pasukan bersembunyi di luar kuil dan setelah melihat Bwee Hwa dan Siong Li keluar dan bertempur, melihat pula puluhan anak buah Hwe-coa-kauw siap mengeroyok, baru pasukan itu keluar sambil bersorak sorai dan dengan senjata di tangan.

   Para anggauta gerombolan terkejut bukan main. Akan tetapi karena pasukan itu sudah menyerbu, tidak ada jalan lain bagi mereka. Terpaksa mereka melawan mati-matian dan terjadilah pertempuran yang hebat di depan kuil itu. Sementara itu Thio-taijin sendiri, dikawal beberapa orang perwira, menyerbu kuil yang sudah ditinggalkan para anggauta gerombolan yang bertempur di luar. Mereka hanya menemukan belasan orang wanita cantik yang dipaksa menjadi pelayan di situ. Para wanita ini berlutut dan menyerah tanpa perlawanan. Jaksa Thio mendapatkan puterinya di ruangan tengah, mengenakan pakaian pengantin.

   Ketika melihat ayahnya, Cin Lan berlari menyambut dan jatuh pingsan dalam pelukan ayahnya. Cepat Jaksa Thio mem bawa puterinya pulang lebih dulu untuk merawat gadis itu dan menyerahkan pimpinan pasukan kepada para perwira.

   Biarpun mereka melakukan perlawanan nekat, namun karena jumlah mereka kalah banyak, hanya kurang lebih setengahnya, maka gerombolan Hwe-coa-kauw dapat dihancurkan. Banyak di antara mereka yang yang terbunuh atau tertawan, sisanya melarikan diri cerai berai ke dalam hutan.

   Sebagian perajurit lalu melakukan penggeledahan ke dalam kuil, menawan para wanita pelayan. Sebagian pula mengepung tiga orang kauw-cu yang masih bertanding melawan Bwee Hwa dan Siong Li. Mereka hanya berani mengepung dari jarak jauh karena ketika tadi mereka berusaha mengepung dari dekat dan membantu dua orang muda itu, baru beberapa gebrakan saja dua orang perajurit telah roboh terkena sambaran pedang tiga orang Kauw-cu yang lihai itu.

   Memang kepandaian tiga orang kauwcu itu tangguh sekali. Ilmu pedang mereka berdasarkan ilmu pedang dari Go-bi-pai, walaupun mereka sama sekali bukan murid-murid perguruan besar itu. Entah bagaimana mereka dapat mencuri dan mempelajari ilmu pedang ini. Akan tetapi ilmu pedang Go-bi Kiam-sut itu sudah bercampur dengan ilmu silat aliran Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), sebuah perkumpulan besar berkedok agama yang suka menentang pemerintah dan juga tidak segan melakukan perbuatan jahat.

   Tiga orang ini selain memiliki ilmu pedang yang kuat juga mereka memiliki tenaga sakti yang cukup tangguh di samping gerakan mereka cepat sekali. Karena inilah maka sampai sebegitu jauh Bwee Hwa dan Siong Li masih juga belum mampu mengalahkan mereka. Hal ini membuat Bwee Hwa merasa penasaran dan marah sekali. Diam-diam gadis perkasa ini mengeluarkan enam batang jarum kecil dan dengan mengerahkan tenaga, tangan kirinya bergerak tiga kali.

   "Sambut hong-cu-ciam ini!"

   Bentaknya.

   Sebagai seorang pendekar, ia memberi peringatan lebih dulu kepada orang yang ia serang dengan senjata rahasia. Ini merupakan peraturan tak tertulis bagi para pendekar agar tidak dianggap curang. Terdengar bunyi dengung dan tiga orang kauw-cu itu disambar senjata rahasia itu, masing-masing dua batang jarum.

   Mereka bertiga terkejut dan maklum akan hong-cu-ciam, mereka cepat memutar pedang untuk menangkis sehingga jarum-jarum itu runtuh. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan Bwee Hwa untuk menyerang hebat. Pedangnya berkelebatan dan dari mulutnya terdengar dengung tawon yang membuat tiga orang lawannya terganggu konsentrasinya. Juga Siong Li menyerang dengan dahsyat menggunakan kesempatan selagi gerakan tiga orang itu kacau setelah diserang hong-cu-ciam.

   Agaknya Toa-kauwcu yang bertubuh tinggi besar, mukanya brewok dan kepalanya gundul itu merasa bahwa kalau melawan terus, dia dan kawan-kawannya tidak akan menang, bahkan keadaan dia dan dua orang sutenya (adik seperguruannya) amat berbahaya karena anak buah mereka telah dihancurkan, segera dia memberi isyarat dengan teriakan rahasia kepada dua orang saudaranya. Mereka bertiga lalu berlompatan ke belakang sambil mengeluarkan senjata rahasia piauw beracun dan tanpa memberi peringatan seperti kelicikan para tokoh sesat, mereka menyambitkan piauw ke arah Siong Li dan Bwee Hwa.

   Dua orang muda ini sudah waspada sejak tadi, maka ketika ada sinar-sinar hitam menyambar, mereka berdua cepat memutar pedang. Sinar pedang mereka membentuk payung yang menjadi perisai diri dan semua piauw itu runtuh tertangkis sinar pedang.

   Kesempatan ini dipergunakan oleh tiga orang ketua gerombolan Hwe-coa-kauw untuk berlompatan keluar dari kepungan perajurit pengawal dan melarikan diri. Tentu saja Bwee Hwa dan Siong Li tidak mau membiarkan mereka lolos. Dengan cepat mereka berdua melakukan pengejaran sambil mengerahkan ilmu berlari cepat mereka.

   Setelah jarak antara mereka dan tiga orang kepala gerombolan itu cukup dekat, Bwee Hwa lalu menyerang dengan hong-cu-ciam (jarum tawon) ke arah orang yang berada paling belakang. Sinar lembut menyambar, terdengar dengung dan Ji-kauwcu yang bertubuh pendek gendut itu berteriak dan tubuhnya terpelanting. Sebatang jarum telah menancap di tengkuknya, membuat lemas dan sama sekali dia tidak dapat melakukan perlawanan ketika para perajurit pengawal datang lalu membelenggunya.

   Melihat Ji-kauwcu roboh, Toa-kauwcu mewjadi marah sekali. Dia merasa sakit hatinya kepada dua orang pendekar yang telah mengobrak-abrik gerombolannya bahkan telah membunuh banyak pembantunya, maka dengan nekat dia lalu membalikkan tubuh dan mengamuk. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sam-kauwcu untuk melarikan diri. Ketua ketiga dari Hwe-coa-kauw ini memang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi dan dia mampu berlari dengan amat cepatnya.

   Siong Li berusaha mengejarnya, namun dia segera kehilangan jejak dan karena dia mengkhawatirkan keselamatan Bwee Hwa, dia cepat kembali dan ikut mengeroyok Toa-kauwcu. Tentu saja ketua Hwe-coa-kauw ini tidak mampu menandingi dua orang pendekar muda itu dan lewat belasan jurus saja dia sudah roboh dan tewas. Maka terbasmilah perkumpulan agama sesat Hwe-coa-kauw. Hanya Sam-kauwcu seorang yang berhasil meloloskan diri. Banyak anak buahnya tewas atau tertawan dan hanya sedikit yang melarikan diri cerai berai mencari keselamatan masing-masing.

   Ketika Bwee Hwa dan Siong Li kembali ke sarang Hwe-coa-kauw, mereka disambut dengan penuh kegembiraan dan kehormatan oleh Jaksa Thio.

   "Bagaimana keadaan Enci Cin Lan, lo-pek?"

   Tanya Bwee Hwa kepada Jaksa Thio.

   "Ia baik-baik saja, hanya terkejut dan sekarang sudah diantar pulang. Syukurlah, semua ini karena pertolonganmu dan Ong-taihiap (Pendekar Besar Ong). Kami sekeluarga berhutang budi kepada kalian berdua."

   "Ah, harap jangan bicara tentang budi, taijin. Kami berdua hanya melakukan apa yang menjadi tugas kewajiban kami,"

   Kata Ong Siong Li.

   "Aku ingin melihat keadaan Enci Cin Lan sebentar,"

   Kata Bwee Hwa kepada Siong Li.

   Pemuda itu mengangguk dan mereka semua lalu kembali ke kota Ki-ciu dengan gembira karena selain Cin Lan telah dapat ditemukan dan diselamatkan, juga gerombolan agama sesat Hwe-coa-kauw telah dapat dibasmi.

   Setibanya di gedung keluarga Jaksa Thio, Bwee Hwa lalu pergi ke kamar. Ia melihat Cin Lan dalam keadaan sehat. Gadis bangsawan yang mengalami peristiwa yang amat mengerikan dan menakutkan itu kini sedang tidur pulas. Bwee Hwa tidak mau mengganggunya, lalu mengambil buntalan pakaiannya dan menuju ke luar di mana Siong Li duduk bersama Jaksa Thio. Melihat gadis itu keluar dan sudah menggendong buntalan pakaiannya, Jaksa Thio terkejut sekali. Dia cepat bangkit berdiri. Siong Li juga bangkit dari duduknya.

   "Eh, Bwee Hwa, engkau menggendong buntalan pakaianmu? Hendak ke manakah?"

   Nyonya Thio juga datang berlari dari dalam.

   "Bwee Hwa, jangan pergi sekarang. Tinggallah dulu di sini selama yang kaukehendaki! Kami senang engkau berada di sini!"

   Bwee Hwa tersenyum dan menggeleng kepalanya. Ia tahu bahwa kalau ia lebih lama tinggal di situ, ia hanya akan menerima pujian-pujian dan penghormatan-penghormatan yang sesungguhnya sama sekali tidak ia kehendaki atau cari.

   "Tidak mungkin, lopek dan bibi. Aku masih mempunyai banyak urusan yang harus kuselesaikan. Maka aku harus pergi sekarang juga melanjutkan perjalananku. Kelak, kalau aku lewat di kota ini pasti aku akan singgah untuk menanyakan keselamatan kalian dan Enci Cin Lan."

   "Thio-taijin, apa yang dikatakan Hwa-moi tadi memang benar. Kami masih mempunyai banyak urusan masing-masing yang harus diselesaikan. Karena itu, sayapun mohon pamit!"

   Jaksa Thio dan isterinya mencoba untuk menahan. Akan tetapi Bwee Hwa tidak dapat ditahan. Bahkan ketika Jaksa Thio menawarkan pemberian uang untuk bekal, baik Bwee Hwa maupun Siong Li menolak dengan halus. Mereka berdua lalu pergi meninggalkan Jaksa Thio dan isterinya yang hanya dapat mengikuti mereka dengan pandang mata heran dan kagum.

   Setelah tiba di luar kota Ki-ciu, Bwee Hwa berhenti di sebuah perempatan dan ia berkata.

   "Li-ko, sekarang kita harus berpisah di sini. Engkau teruskanlah perjalananmu dan aku akan melanjutkan perjalananku sendiri."

   Siong Li tidak memperlihatkan rasa kecewa yang menyelubungi hatinya. Dia masih tersenyum ketika berkata.

   "Hwa-moi, apa salahnya kalau kita mengambil jalan bersama? Apakah engkau mempunyai tujuan tertentu?"

   Bwee Hwa menggeleng kepala.

   "Kurasa lebih baik kita mengambil jalan masing masing, Li-ko. Tidak baik kalau engkau berjalan denganku karena hal itu akan mengakibatkan urusanmu sendiri terbengkalai. Aku hendak mencari seseorang."

   Ong Siong Li maklum bahwa gadis itu merasa tidak enak kalau harus melakukan perjalanan bersama dia dan diapun maklum akan hal ini, karena sebagai seorang gadis, tentu saja Bwee Hwa merasa malu untuk melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang sama sekali tidak ada hubungan apapun dengannya. Bahkan berkenalanpun baru saja! Dia menghela napas panjang dan bertanya.

   "Tidak apalah kalau kita harus berpisah, Hwa-moi. Mungkin dan mudah-mudahan saja kelak kita akan dapat saling berjumpa kembali. Akan tetapi tentang orang yang kau cari itu, siapakah dia kalau aku boleh mengetahuinya?"

   "Namanya akupun tidak tahu. Aku hanya mengetahui bahwa julukannya adalah Kauw-jiu Pek-wan (Lutung Putih Tangan Sembilan)."

   Setelah berpikir dan mengingat-ingat berapa lamanya, Siong Li lalu berkata.

   "Aku pernah mendengar (Lanjut ke Jilid 03)

   Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan (Cerita Lepas)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03

   nama julukan yang cukup terkenal itu, akan tetapi aku belum pernah bertemu dengan orangnya."

   "Di mana dia tinggal?"

   Tanya Bwee Hwa, ingin tahu sekali.

   Siong Li menggeleng kepalanya.

   "Menurut pendengaranku, dia adalah seorang tokoh kenamaan yang menjagoi beberapa belas tahun yang lalu, akan tetapi akhir-akhir ini tidak terdengar lagi namanya. Dahulu dia menjagoi di daerah utara, sekarang entah berada di mana, akupun tidak pernah mendengar lagi tentang dia."

   Bwee Hwa kecewa mendengar bahwa kawan baru ini tidak tahu di mana orang yang dicarinya itu berada.

   "Sebetulnya dia itu orang apakah? Apa kedudukannya dan apa yang dikerjakannya? Melihat julukannya, tentu dia seorang ahli silat yang tangguh."

   Siong Li memandangnya dengan sinar mata heran.

   "Engkau mencari dia akan tetapi tidak tahu dia itu orang macam apa? Sungguh aneh sekali. Kauw-jiu Pek-wan adalah seorang perampok tunggal yang namanya ditakuti orang karena kejam dan lihainya. Engkau mencari dia ada urusan apakah, Hwa-moi? Hati-hati, dia seorang yang lihai sekali, dan terkenal amat kejam dan menurut apa yang pernah kudengar, dia suka mengganggu wanita."

   Tiba-tiba muka Bwee Hwa menjadi merah.

   "Ah, tidak ada apa-apa. Terima kasih atas semua keteranganmu, Li-ko. Nah, biarlah kita berpisah di sini."

   Biarpun hatinya terasa berat harus berpisah dari gadis yang baru saja dikenalnya akan tetapi yang amat dikaguminya dan amat menarik hatinya itu, Siong Li tidak dapat membantah. Mereka lalu mengangkat kedua tangan dada, saling menghormat.

   "Selamat berpisah, Li-ko."

   "Selamat jalan, Hwa-moi. Semoga Thian (Tuhan) selalu melindungimu."

   Mereka mengambil jalan masing-masing. Bwee Hwa menuju ke utara dan Siong Li menuju ke timur.

   Bwee Hwa berjalan seorang diri. Ia tidak memperhatikan ke mana ia menuju. Ia membiarkan dirinya ke mana saja kedua kakinya membawanya. Pikirannya melamun tiada hentinya, mengenang apa yang ia dengar dari Ong Siong Li tentang Kauw-jiu Pek-wan. Dia itu, ayah kandungnya, adalah seorang perampok yang amat lihai dan amat kejam! Alangkah rendahnya! Jadi, ia adalah puteri seorang perampok, seorang penjahat?

   Ia mencoba untuk membayangkan lagi wajah seorang laki-laki yang diingatnya sebagai ayahnya dahulu. Seorang laki-laki tinggi besar bermuka seperti harimau dengan sepasang mata bundar besar dan suara yang keras dan kasar. Memang pantas kalau ayahnya menjadi perampok, akhirnya ia menarik kesimpulan sebagai hasil lamunannya itu dan ia menghela napas dalam. Inilah agaknya yang menjadi sebab mengapa gurunya tidak pernah mau menceritakan siapa sebetulnya ayahnya itu. Agaknya sudah mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang penjahat kejam.

   Bwee Hwa menghampiri sebatang pohon besar dan duduk di atas sebuah batu besar yang berada di bawah pohon itu. Timbul perasaan ragu dalam hatinya untuk melanjutkan pencarian terhadap ayahnya. Ia merasa malu memikirkan keadaan ayahnya sebagai seorang perampok, sebagai seorang penjahat besar yang kejam, bahkan yang menurut Siong Li tadi, seorang pengganggu wanita! Akan tetapi tiba-tiba ia teringat akan wajah ibunya. Ia masih ingat bahwa ibunya adalah seorang wanita yang cantik, akan tetapi seingatnya wanita cantik ibunya itu selalu diliputi kedukaan, sinar mata itu selalu sayu dan tak bersemangat. Ia menjadi terharu dan bibirnya berbisik lirih.

   ".......ibu......."

   Seketika lenyaplah semua keraguannya. Ia bukan hendak mencari ayahnya yang menjadi perampok jahat dan kejam, akan tetapi ia hendak mencari ibunya! Ibunya yang terkasih, ibunya yang cantik jelita dan ibunya yang selalu bersedih itu.

   Menurut keterangan Siong Li tadi, ayahnya dahulu menjagoi di daerah utara. Karena itulah ia tadi memilih jalan yang menuju ke utara. Bwee Hwa bangkit dan melanjutkan perjalanannya, menuju utara. Mudah-mudahan ia akan dapat menemukan ibunya. Kini hanya ibunya yang menjadi tujuan perjalanannya. Ia mencari Kauw-jiu Pek-wan hanya untuk dapat bertemu dengan ibunya.

   Karena ia tidak mengenal jalan dan hanya ngawur saja menuju ke utara, maka ketika bukit Siauw-liong-san menghadang di depannya, iapun langsung mendaki bukit itu. Bukit yang penuh hutan lebat dan besar, hutan-hutan liar yang jarang dimasuki orang dan bukit itu terkenal sebagai sarang gerombolan penjahat yang ganas. Orang-orang yang tinggal di daerah itu mengenal tempat ini dan tidak ada pemburu yang berani memburu binatang di hutan-hutan itu, tidak ada pedagang yang berani melalui jalan di hutan itu.

   

   Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini