Ceritasilat Novel Online

Tawon Merah Bukit Hengsan 8


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Bagian 8



Melihat kekalahan Sam-liong, Ji-liong berpikir cerdik. Dia tahu bahwa dia dan dua orang rekannya kurang pandai bersilat tangan kosong dan selalu mengandalkan senjata. Kalau dia harus bertanding tangan kosong, sukar baginya untuk menang. Akan tetapi kalau dia mengandalkan sepasang goloknya yang biasanya dia banggakan dan selama ini belum terkalahkan, hatinya menjadi besar dan banyak kemungkinan dia akan dapat mengalahkan lawannya.

   "Nah, aku Ji-liong, ketua kedua Kiu-liong-pang sekarang maju. Seorang di antara kalian boleh maju menandingi aku!"

   Katanya dan dia menggerakkan kedua tangannya ke punggung. Tampak dua sinar berkelebat dan kedua tangannya sudah memegang golok yang berkilau saking tajamnya.

   Siong Li memandang kepada Bwee Hwa untuk menawarkan kalau-kalau Bwee Hwa ingin menandingi orang kedua dari Kiu-liong-pang ini agar nanti ketua pertamanya yang tentu paling lihai itu dia yang akan menandinginya. Akan tetapi Bwee Hwa yang marah terhadap Toa-liong, berkata.

   "Biar engkau saja yang menghadapinya, Li-ko."

   Siong Li tersenyum. Dia sudah mengenal benar watak gadis yang berhati baja ini, maka dia berkata lirih.

   "Asal engkau ingat dan tidak sampai membunuh orang, Hwa-moi."

   "Aku tahu!"

   Jawab Bwee Hwa singkat.

   Siong Li lalu maju menghadapi Ji-liong dan dia melihat Toa-liong menyeringai, agaknya senang karena dia mendapatkan lawan Bwee Hwa! Akan tetapi Siong Li tidak memperdulikannya. Dia percaya penuh akan kemampuan gadis itu. Tidak jauh bedanya apakah dia yang maju melawan Toa-liong, ataukah Bwee Hwa. Hanya dia khawatir kalau-kalau Bwee Hwa tidak dapat menahan diri dan membunuh ketua Kiu-liong-pang itu. Setelah berhadapan dengan Ji-liong yang telah memegang kedua goloknya, disilangkan di depan dada, dia lalu mencabut pula pedangnya.

   "Ji-liong, aku sudah siap. Mulai dan seranglah!"

   Katanya menantang.

   Ji-liong tidak bersikap sungkan lagi. Dia lalu mengambil sikap dan memasang kuda-kuda. Tubuhnya yang sudah pendek itu menjadi lebih pendek lagi ketika dia menekuk kedua lututnya sehingga karena kedua kakinya memang pendek, pantatnya hampir menyentuh tanah. Kedua tangan digerakkan dan sepasang golok itu diputar di atas kepalanya, lalu berhenti bergerak dengan sepasang golok bersilang di depan, menunjuk ke atas.

   Kemudian, dia mengeluarkan teriakan panjang dan tubuhnya yang gendut pendek sehingga tampak bulat itu seolah menggelinding ke depan dan dia sudah menerjang Siong Li dengan sepasang goloknya melakukan serangan kilat. Golok tangan kiri membacok ke arah leher, disusul golok di tangan kanan membabat ke arah kaki lawan. Jurus serangan ini dalam Ilmu golok yang dikuasai Ji-liong disebut Siang-kwi-jio-beng (Sepasang Setan Berebut Nyawa)! Memang hebat dan berbahaya sekali. Serangan golok ke arah leher itu membuat perhatian lawan tertuju ke atas, tidak tahunya yang amat berbahaya adalah serangan susulan lain golok yang membabat ke arah kedua kaki!

   Namun, Siong Li adalah seorang pendekar yang sudah berpengalaman dan sering bertanding melawan tokoh-tokoh sesat yang memiliki ilmu silat yang ganas, curang dan penuh tipu muslihat. Karena itu, menghadapi Ji-liong dia sudah waspada. Maka, ketika serangan ke arah lehernya dilakukan lawan, dia tidak lengah dan dapat melihat gerakan kedua yang merupakan serangan susulan dan juga merupakan serangan inti. Maka, ketika golok menyambar ke arah lehernya, dengan tenang dia menangkis dengan pedangnya.

   "Tranggg......!!"

   Ketika golok kedua membabat kaki, dia melompat dan sambil melompat itu, pedang yang tadi menangkis golok sudah dikelebatkan mengancam ke arah ubun-ubun kepala si pendek gendut!

   "Hehh!"

   Ji-liong terkejut dan cepat melompat ke belakang. Lawan yang diserang dengan sepasang goloknya itu bukan hanya dapat menghindarkan diri, malah berbalik mengirim serangan balasan kontan yang tidak kalah dahsyatnya!

   Ji-liong lalu menerjang lagi, memainkan sepasang goloknya dengan cepat dan kuat sekali. Tampak dua gulungan sinar golok menyambar-nyambar. Siong Li meimbangi sepasang golok lawan dengan Thai-san Kiam-sut (Ilmu Pedang Aliran Thai-san-pai) yang cepat dan indah gerakannya.

   Dua orang itu lalu bertanding dan tampaknya memang ramai dan seru sekali. Gulungan sinar pedang beradu dan saling dorong, saling belit melawan dua gulungan sinar golok. Bagi para anak buah Kiu-liong-pang tampaknya pertandingan itu seru sekali dan mereka tidak tahu siapa yang lebih unggul di antara kedua orang itu. Akan tetapi, Toa-liong, Sam-liong, Bwee Hwa dan Ui Kong dapat melihat dengan jelas bahwa sesungguhnya, perlahan-lahan sinar pedang itu mulai mendesak dan menindih dua sinar golok yang makin lama menjadi semakin sempit gulungan sinarnya. Sebaliknya sinar pedang itu semakin luas, menyambar-nyambar dengan dahsyat.

   Ji-liong mulai menjadi bingung. Tadi dia masih dapat mengamuk dengan sepasang goloknya. Akan tetapi perlahan-lahan, gerakan sepasang goloknya selalu bertemu sinar pedang yang amat kuat dan selalu membuat sepasang goloknya terpental. Akhirnya, dia hanya mampu menangkis dengan kedua batang goloknya, hanya mampu memutar sepasang goloknya untuk melindungi dirinya dari ancaman pedang. Inipun tidak banyak menolong. Sinar pedang itu masih terus mengancamnya sehingga terpaksa dia harus mundur dan terus mundur karena terdesak dan tertekan.

   Siong Li mendesak terus dengan pedangnya. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat merobohkan lawannya. Akan tetapi untuk dapat melakukan hal itu, dia harus menyerang dengan jurus maut. Padahal dia tidak mau membuat Ji-liong terluka parah, apalagi sampai terbunuh. Dia mencari kesempatan baik untuk dapat mengalahkan pemimpin kedua dari Kiu-liong-pang itu tanpa harus melukai dengan parah.

   Akhirnya, kesempatan yang dinanti-nantikan itu tiba. Ketika dia menyerang dengan bacokan pedangnya dan ditangkis oleh golok di tangan kiri Ji-liong, dia sengaja mengerahkan seluruh tenaga pada bacokan itu.

   "Trangggg""!"

   Ji-liong terkejut dan tidak dapat mempertahankan goloknya yang sebelah kiri. Ketika dia menangkis pedang itu, dan goloknya beradu dengan kuatnya dengan pedang, dia merasa betapa lengan kirinya tergetar hebat dan jari-jari tangannya tidak mampu lagi menahan pegangan goloknya. Golok yang kiri itu terlempar jauh dan pada saat dia terkejut sekali, tiba-tiba kaki Siong Li mencuat dengan amat kuatnya, tepat menendang tangan kanannya yang memegang golok. Rasa nyeri yang hebat membuat tangan itu terpaksa melepaskan golok kedua itu dan tiba-tiba ujung pedang di tangan Siong Li telah menodong dadanya!

   Si gemuk pendek ini tak mampu berbuat atau berkata sesuatu. Matanya menjadi semakin sipit seperti terpejam dan mulutnya menyeringai, tersenyum masam. Lenyap semua kesombongannya dan dia hanya dapat berha-ha-ha-he-he lalu mundur mendekati dua orang rekannya. Siong Li juga tidak mengejar dan menyimpan kembali pedangnya.

   Siong Li lalu berkata kepada ketua pertama gerombolan itu.

   "Toa-liong, di pihakmu, dua orang telah kami kalahkan, berarti pihakmu telah kalah dan pertandingan ketiga tidak perlu diadakan lagi. Andaikata engkau menang sekalipun, tetap saja pihakmu menderita kalah, dua lawan satu."

   Siong Li memang ingin mencegah Bwee Hwa bertempur mengingat akan keganasan gadis itu.

   "Hemm, tidak bisa begitu!"

   Kata Toa-liong dengan suaranya yang berat dan parau.

   "Aku harus bertanding dengan nona ini, dengan Ang-hong-cu (Si Tawon Merah). Kalau aku kalah, ha-ha-ha!"

   Dia tertawa, seolah merasa geli mendengar dia akan kalah melawan gadis muda yang tampaknya masih remaja itu.

   "Kalau aku kalah, tentu saja kami akan menceritakan apa yang kami ketahui tentang Pek-lian-kauw menurut perjanjian. Akan tetapi kalau aku menang"""

   Dia menghentikan kata-katanya.

   "Kalau engkau menang, tetap saja pihakmu kalah!"

   Kata Ui Kong.

   "Tidak bisa!"

   Bantah Toa-liong.

   "Kalau dalam pertandingan antara aku dan Si Tawon Merah ini aku yang menang, maka aku akan menantang kalian berdua agar maju satu demi satu melawanku. Kalau aku dapat mengalahkan kalian berdua pula, berarti pihakku yang menang dan akulah yang berhak menentukan apa yang selanjutnya kita lakukan!"

   "Baik, kami terima aturan itu. Sudah, jangan banyak cakap lagi, mari kita bertanding!"

   Bentak Bwee Hwa.

   "Ha-ha-ha, nanti dulu, Ang-hong-cu,"

   Kata Toa-liong yang agaknya memang sengaja hendak memancing kemarahan tiga orang pendekar itu karena kemarahan membuat orang menjadi lengah. Ketua pertama ini memang seorang yang licik dan banyak pengalaman karena dalam usianya yang sudah limapuluh lima tahun sudah banyak dia malang melintang di dunia kang-ouw (sungai telaga, persilatan).

   "Aku belum menjelaskan, Ang-hong-cu. Kalau aku yang dapat mengalahkan kalian bertiga satu demi satu, maka kalian bertiga harus menerima hukuman karena kalian bertiga sudah berani merobohkan belasan orang anak buahku. It-kak-liong dan Pendekar Ki-lok ini harus berlutut minta maaf kepada kami, menyerahkan kuda dan barang-barang kalian, sedangkan engkau, Ang-hong-cu, engkau harus menjadi tamuku selama tiga hari tiga malam, ha-ha-ha!"

   Merah wajah Bwee Hwa mendengar ucapan yang bukan saja amat sombong, akan tetapi juga menghinanya karena sudah jelas bahwa dalam ucapannya yang mengharuskan ia menjadi tamu selama tiga hari tiga malam itu mengandung maksud yang kotor dan rendah!

   "Jahanam keparat engkau, Toa-liong! Tutup mulutmu yang busuk dan mari kita mulai bertanding!"

   Bentak Bwee Hwa dan tidak seperti dua orang temannya yang tadi bersikap tenang dan sabar, gadis ini sudah mencabut pedang pusaka Sin-hong-kiam dan begitu dicabut, saking cepat dan kuatnya, pedang yang berada di tangannya itu tergetar dan mengeluarkan suara berdengung seperti tawon terbang!

   "Ingat, Hwa-moi, jangan bunuh orang!"

   Kata Siong Li.

   Tanpa menoleh kepada Siong Li, Bwee Hwa menjawab pendek dan ketus.

   "Anjing ini tidak perlu dibunuh, hanya harus diberi hajaran agar mulutnya tidak menggonggong terus!"

   Siong Li menghela napas panjang dan saling pandang dengan Ui Kong. Tanpa bicara kedua orang pendekar ini sudah sepakat, yaitu, bahwa mereka akan menjaga dan mencegah kalau Bwee Hwa akan membunuh Toa-liong. Terbunuhnya ketua Kiu-liong-pang itu mungkin saja akan membuat dua orang ketua lainnya menutup mulut dan tidak mau bercerita tentang Pek-lian-kauw.

   Sementara itu, melihat Bwee Hwa bermuka merah dan sikapnya menunjukkan bahwa gadis itu marah besar, Toa-liong tertawa. Itulah yang dia kehendaki. Memang ketua ini terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan memandang rendah seorang lawan yang hanya seorang gadis muda remaja. Apalagi yang dalam keadaan marah seperti itu, tentu akan mudah dia kalahkan. Diapun menghunus sebatang pedang yang panjang dan besar lagi tajam berkilauan.

   "Lihat serangan pedangku!"

   Bwee Hwa membentak dan ia yang mendahului mengirim serangan kilat. Pedangnya membentuk sinar yang panjang dan mengeluarkan bunyi berdengung-dengung. Toa-liong terkejut juga, akan tetapi dia juga sudah menggerakkan pedangnya yang panjang dan berat, menangkis sambil mengerahkan tenaga dalamnya untuk mematahkan pedang lawan atau setidaknya untuk membuat pedang gadis itu terlepas dari pegangannya.

   "Tranggg""!"

   Bunga api berpijar, akan tetapi dengan kaget Toa-liong melihat betapa pedang lawan itu tidak terlepas, bahkan pedang yang kecil dibandingkan pedangnya yang panjang besar itu demikian kuatnya sehingga membuat telapak tangannya yang memegang gagang pedang tergetar dan panas ketika pedang mereka saling beradu.

   Setelah Toa-liong membalas serangan Bwee Hwa dan, mencoba untuk mendesak gadis itu, namun semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis Bwee Hwa, ketua pertama Kiu-liong-pang itu menjadi penasaran dan marah. Akan tetapi kini diapun tidak berani meremehkan lawannya lagi, maklum bahwa gadis itu ternyata memang lihai bukan main.

   Lenyaplah gairah berahinya, kalau tadinya dia hendak menundukkan gadis itu dengan ilmu pedangnya dan tidak ingin melukainya karena dia ingin mendapatkan gadis yang cantik denok itu, kini mulailah dia menyerang dengan sepenuh tenaganya dan mengeluarkan semua jurusnya yang paling ampuh. Kini dia bermaksud merobohkan gadis itu, tidak perduli bahwa pedangnya akan dapat mendatangkan luka parah. Kalau perlu dia akan membunuh gadis yang berbahaya itu.

   Bwee Hwa juga merasakan betapa lawannya kini mengamuk dengan sekuat tenaga. Iapun mengimbangi ilmu pedang lawan yang cukup berbahaya itu dengan Ilmu Pedang Tawon Sakti. Karena maklum bahwa ilmu pedang Toa-liong itu jauh lebih berbahaya dibandingkan kedua orang ketua yang lain, maka Bwee Hwa juga mengerahkan seluruh tenaga dan memainkan pedangnya dengan cepat. Pedangnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan terdengarlah bunyi berdengung-dengung seperti ada ratusan ekor tawon yang beterbangan dan menyambar ke arah Toa-liong.

   Pertandingan antara Toa-liong dan Bwee Hwa ini paling seru dan ramai di antara pertandingan melawan dua orang ketua yang lain tadi. Toa-liong memang lebih lihai dibandingkan kedua orang rekannya. Akan tetapi kini dia berhadapan dengan Si Tawon Merah yang amat lihai. Setelah mati-matian melawan sampai tigapuluh jurus lebih, perlahan-lahan Bwee Hwa mulai dapat mendesak lawannya.

   Toa-liong menjadi semakin penasaran. Sukar baginya untuk dapat percaya bahwa gadis muda yang tampaknya masih remaja ini mampu mendesaknya! Dia, ketua Kiu-liong-pang yang ditakuti, yang telah berusia limapuluh lima tahun dan sudah tigapuluh tahun malang melintang di dunia kang-ouw, sudah banyak pengalaman, kini harus kalah melawan seorang perempuan, masih muda remaja lagi, masih hijau dan patutnya hanya menjadi muridnya atau anaknya?

   Tiba-tiba Toa-liong mengeluarkan teriakan seperti seekor biruang marah dan tangan kirinya yang besar itu dengan telapak tangan terbuka mendorong ke arah dada Bwee Hwa, pada saat pedangnya untuk ke sekian kalinya beradu dengan pedang Bwee Hwa.

   "Tranggg""

   Wuuuutttt""!!"

   Pukulan jarak jauh dengan tangan kiri yang mengandung sin-kang (tenaga dalam) kuat itu mendatangkan angin menyambar ke arah dada Bwee Hwa.

   Gadis ini maklum akan kehebatan serangan tangan kiri itu. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar. Bukannya mengelak, Bwee Hwa malah menyambut pukulan tangan kiri lawan itu dengan tangan kirinya pula sambil mengerahkan ilmu Liap-kang Pek-ko-jiu yang dapat mengeraskan tangan, juga yang mengandung tenaga dahsyat.

   "Dessss""!"

   Tangan Bwee Hwa yang lunak, mungil dan indah itu bertemu dengan telapak tangan Toa-liong dan akibatnya, Bwee Hwa terdorong mundur dua langkah, akan tetapi Toa-liong terhuyung-huyung ke belakang. Selagi dia mengatur keseimbangan tubuhnya yang hampir jatuh terjengkang, Bwee Hwa sudah bergerak cepat sekali. Pedangnya menyambar-nyambar. Toa-liong tidak mampu melindungi dirinya dengan baik.

   "Srattt""!"

   Seperti kilat menyambar pedang itu berkelebat di depan muka Toa-liong. Begitu tajam ujung pedang Sin-hong-kiam dan begitu cepat gerakan tangan Bwee Hwa sehingga Toa-liong sendiri tidak menyadari apa yang telah terjadi dengannya.

   Tiba-tiba saja kaki Bwee Hwa sudah menendang tangannya yang memegang pedang dan pedangnya terlepas dari tangan dan terlempar jauh, sedangkan semua orang memandang kepadanya dengan mata terbelalak. Ada darah di kanan kiri mulutnya. Ketika merasakan perih-perih pada mulutnya, Toa-liong meraba mulutnya dan baru dia tahu bahwa mulutnya terluka ketika melihat tangannya berdarah. Tepi mulutnya, kanan kiri, telah terobek ujung pedang sehingga mulutnya bertambah lebar. Ketika dia hendak mengeluarkan suara, baru terasa betapa mulutnya perih dan nyeri dan dia lalu menutupi mulutnya dengan kedua tangan!

   Siong Li dan Ui Kong terkejut, akan tetapi hati mereka lega ketika Toa-liong tidak roboh dan ternyata hanya luka ringan, ujung bibirnya kanan kiri dirobek ujung pedang!

   Toa-liong memberi isyarat dengan tangan kepada anak buahnya untuk mengeroyok. Akan tetapi tiga orang pendekar muda itu sudah berloncatan dan pedang mereka sudah ditodongkan ke dada tiga orang ketua itu. Siong Li membentak kepada anak buah Kiu-liong-pang yang sudah mengepung tempat itu. Limapuluh orang lebih itu sudah mencabut senjata, siap mengeroyok!

   "Semua mundur atau kami akan membunuh tiga orang pimpinan kalian kemudian membasmi kalian sampai tidak ada seorangpun dapat lolos!"

   Gertakan ini manjur. Melihat betapa tiga orang pimpinan mereka sudah ditodong dan menyadari betapa lihainya tiga orang muda itu, para anak buah Kiu-liong-pang menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Mereka memandang ke arah tiga orang pimpinan mereka, tidak berani sembarangan bergerak.

   "Kalian mundur semua! Tolol! Hayo mundur!"

   Teriak Ji-liong dan Sam-liong karena Toa-liong tidak mampu bersuara dengan mulutnya yang robek itu. Mereka berdua merasa betapa ujung pedang yang menodong mereka itu telah menembus baju dan ujungnya yang runcing terasa menempel di kulit dada mereka. Karena maklum bahwa nyawa mereka terancam, maka mereka menjadi ketakutan dan cepat membentak para anak buah agar mundur. Mendengar bentakan dua orang pimpinan itu, puluhan anak buah Kiu-liong-pang segera mundur.

   "Nah, Ji-liong dan Sam-liong, kalian telah kalah semua dan harus memenuhi janji. Karena Toa-liong tidak dapat bicara, maka kalian berdua harus mewakilinya. Cepat katakan di mana adanya Pek-bin Moko dan di mana pula cabang Pek-lian-kauw di daerah ini!"

   Kata Siong Li.

   "Sam-liong, engkau wakililah kami,"

   Kata Ji-liong setelah memandang kepada Toa-liong dan ketua pertama ini masih menutupi mulutnya dengan kedua tangan, mengangguk.

   "Sesungguhnya kami tidak mempunyai hubungan dengan Pek-lian-kauw dan tidak mengenal tokohnya yang berjuluk Pek-bin Moko,"

   Kata Ji-liong.

   "Itu tidak perlu. Katakan saja di mana sarang cabang Pek-lian-kauw di daerah ini,"

   Kata pula Siong Li, dan Ui Kiong menekankan pedangnya ke dada Sam-liong sehingga orang tinggi kurus bermuka pucat ini menyeringai kesakitan.

   "Cepat katakan!"

   Bentak Ui Kong.

   "Baiklah, Pek-lian-kauw mempunyai cabang yang bersarang di puncak Bukit Siong di sebelah utara itu!"

   Kata Sam-liong sambil menuding ke arah sebuah bukit yang tampak dari situ.

   "Katakan, siapa pemimpin mereka dan berapa banyak jumlah anak buah mereka!"

   Kata pula Siong Li.

   "Kami hanya tahu bahwa pimpinan mereka terdiri dari tiga orang yang berjuluk Ang-bin Moko (Iblis Muka Merah), Hek-bin Moko (Iblis Muka Hitam) dan Pek-bin Moko (Iblis Muka Putih). Akan tetapi kami tidak mengenal mereka. Ada pun berapa jumlah anak buah mereka, kami tidak tahu, hanya kabarnya anak buah mereka tidak banyak akan tetapi ilmu kepandaian para pimpinan itu tinggi sekali,"

   Kata pula Sam-liong.

   Tentu saja tiga orang pendekar muda itu tidak merasa gentar, bahkan mereka telah menewaskan Hek-bin Moko. Sambil memandang ke arah bukit yang ditunjuk itu, sebuah bukit yang tidak berapa tinggi dan bukit itu tampak menghijau, tentu banyak hutan dan pohon Siong di sana, Siong Li berkata dengan suara lantang.

   "Baik, aku percaya akan keterangan kalian. Akan tetapi awas, kalau ternyata kalian berbohong, kami akan mencari kalian dan tidak akan memberi ampun! Sekarang, hayo kembalikan tiga ekor kuda kami berikut semua barang yang berada di atas kuda! Awas, kami tidak akan mengampuni kalau ada sebuahpun barang kami dicuri. Cepat!"

   "Cepat taati perintah itu dan kembalikan kuda dan barang-barang mereka!"

   Bentak Ji-liong kepada anak buah mereka.

   Bergegas para anak buah itu menuntun tiga ekor kuda yang tadi mereka rampas. Juga semua barang mereka kembalikan ke atas sela kuda.

   "Coba periksa isinya, Hwa-moi dan Kong-te."

   Ui Kong dan Bwee Hwa lalu saling pandang dan seperti telah mengerti maksud masing-masing mereka bergerak cepat menotok dan Toa-liong roboh terkulai, berbareng dengan Sam-liong yang juga roboh terkulai karena tertotok jalan darah mereka. Setelah membuat dua orang ketua ini tidak berdaya, Ui Kong dan Bwee Hwa menghampiri kuda mereka dan memeriksa. Ternyata buntalan pakaian mereka masih utuh, juga kantung uang yang dibawa Ui Kong sebagai bekal. Mereka lalu mengangguk kepada Siong Li dan cepat sekali Siong Li juga bergerak menotok Ji-liong yang roboh terkulai pula. Tiga orang ketua itu tertotok roboh dan tak mampu bergerak.

   Siong Li berteriak kepada para anggauta Kiu-liong-pang.

   "Para pimpinan kalian kami robohkan dan sebelum lewat satu jam, mereka tidak akan dapat bergerak. Awas, jangan ada yang menghalangi kami pergi dari sini!"

   Setelah Siong Li berkata demikian, tiga orang pendekar muda itu lalu melompat ke atas punggung kuda masing-masing dan segera melarikan kuda ke arah utara di mana tampak bukit yang diceritakan Sam-liong sebagai sarang cabang Pek-lian-kauw, yaitu Bukit Siong.

   Apa yang pernah diceritakan oleh Ong Siong Li tentang Leng-hong Hoatsu memang benar. Leng-hong Hoatsu adalah seorang pertapa yang datang dari Himalaya, seorang peranakan dari ayah bangsa Han dan ibu bangsa India. Sejak muda dia mengasingkan diri di Himalaya, bertemu dengan orang-orang sakti, pertapa-pertapa yang tinggi ilmunya dan dia memang suka sekali mempelajari ilmu kesaktian sehingga akhirnya dia menjadi seorang tua yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

   Dia merantau ke timur, ke daratan Cina dan mengajarkan Agama Buddha bercampur Agama Hindu. Dia menasihati rakyat agar hidup jalan kebenaran karena jalan itulah yang membawa kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan selama hidup di dunia. Dia juga selalu mengulurkan tangan menolong mereka yang terserang penyakit karena di samping ilmu silat dan ilmu sihir, Leng-hong Hoatsu juga mahir ilmu pengobatan.

   Pertapa sakti ini mempunyai peliharaan, seekor ular yang aneh. Di kanan kiri bawah leher, ular itu memiliki tonjolan yang dapat mekar seperti sayap sehingga ular itu disebut Hwee-coa (Ular Terbang). Sesungguhnya bukan terbang, melainkan melompat dari pohon ke pohon dan ketika melompat, tonjolan di kanan kiri itu berkembang sehingga ular itu dapat melayang.

   Akan tetapi, pada waktu itu, rakyat, terutama di dusun-dusun, masih amat tahyul. Mereka mulai menyembah ular itu yang mereka anggap seekor ular sakti penjelmaan dewa dan mereka bahkan lebih menghormati ular itu daripada Leng-hong Hoatsu sendiri. Kakek pertapa itu berusaha untuk membantah. Namun, ketahyulan yang sudah mencengkeram hati dan pikiran manusia memang sukar sekali untuk dihilangkan. Akhirnya Leng-hong Hoatsu kembali ke barat karena dia tidak ingin ular peliharaannya dipuja-puja orang.

   Kakek sakti ini mempunyai dua orang murid. Yang pertama bernama Sie Bun Sam, pada saat kisah ini terjadi, telah berusia duapuluh lima tahun. Sie Bun Sam adalah seorang pemuda yatim piatu dan telah menjadi murid Leng-hong Hoatsu sejak dia berusia lima tahun dan hidup sebatang kara dan terlantar karena ayah bundanya mati karena wabah yang mengamuk di desanya, di daerah Sin-kiang. Sie Bun Sam berwajah sederhana saja, seperti pemuda dusun kebanyakan, tidak buruk akan tetapi juga tidak terlalu tampan.

   Namun ada sesuatu yang amat menarik pada wajahnya, yang membuat orang yang bertemu dengannya timbul rasa suka. Mungkin mulutnya yang selalu dihias senyum, dan matanya yang bersinar lembut penuh pengertian dan kesabaran itu. Tubuhnya sedang saja, tidak membayangkan bahwa pemuda ini adalah seorang yang sakti dan lihai sekali. Pakaiannya juga sederhana namun bersih.

   Kesukaannya memakai sebuah caping lebar yang melindungi mukanya dan kepalanya dari sengatan matahari dan guyuran air hujan. Dia juga tidak membawa senjata apapun, namun kalau berada di tangannya, benda apapun dapat dijadikan senjata yang ampuh! Sie Bun Sam, seorang pemuda yang berbudi luhur, setia dan berbakti kepada gurunya, maka Leng-hong Hoatsu amat sayang kepada murid ini.

   Selain Sie Bun Sam, Leng-hong Hong masih mempunyai seorang murid lain, bernama Thio Kam Ki. Sebetulnya, Leng-hong Hoatsu yang bermata tajam dan peka perasaannya itu tidak begitu suka kepada anak ini, akan tetapi karena Thio Kam Ki juga ditemukan sebagai seorang anak berusia tiga tahun yang sebatang kara dan terlantar, dia merasa kasihan dan membawa anak ini ke pondoknya.

   Pada saat sekarang, Thio Kam Ki berusia duapuluh tiga tahun. Dia memiliki tubuh sedang dan wajahnya tampan dan pasti akan menarik perhatian banyak wanita. Berbeda dengan Sie Bun Sam suhengnya (kakak seperguruannya) yang sederhana, sebaliknya Thio Kam Ki ini sejak kecil suka akan kemewahan. Dia suka iri hati dan pandai mengambil hati dengan sikap yang manis buatan. Karena sifat-sifat ini maka Leng-hong Hoatsu lebih sayang kepada Sie Bun Sam dan dia mengajarkan lebih banyak ilmu kepada murid pertamanya itu. Diam-diam Thio Kam Ki tahu ini dan dia merasa iri hati kepada suhengnya.

   Tanpa setahu guru dan suhengnya, diam-diam ketika dia berusia duapuluh tahun, dia berguru kepada (Lanjut ke Jilid 09)

   Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan (Cerita Lepas)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09

   seorang pendeta aliran sesat yang juga bertapa di Pegunungan Himalaya, tidak begitu jauh dari tempat pertapaan Leng-hong Hoatsu. Dengan jalan sembunyi-sembunyi, selama dua tahun Thio Kam Ki mempelajari beberapa ilmu silat dan sihir yang sesat dari pertapa aliran sesat itu.

   Pendeta itu berjuluk Hwa Hwa Cinjin yang mengajarkan ilmu sihir aliran sesat yang biasa disebut sihir hitam. Setelah menjadi guru secara rahasia dari Thio Kam Ki selama dua tahun, Hwa Hwa Cinjin meninggalkan tempat pertapaannya di Himalaya. Hal ini terjadi setahun yang lalu dan ketika itu Kam Ki berusia duapuluh dua tahun.

   Kam Ki kini merasa bahwa dirinya sudah memiliki ilmu yang amat tangguh. Biarpun tadinya dia merasa iri hati kepada Sie Bun Sam karena guru mereka, Leng-hong Hoatsu mengajarkan ilmu yang lebih banyak kepada suhengnya itu, namun setelah selama dua tahun menimba ilmu dari Hwa Hwa Cinjin, Kam Ki merasa bahwa kini dia tidak akan kalah oleh suhengnya.

   Pada suatu sore, seperti biasa setelah menyelesaikan semua tugas pekerjaan mereka seperti membersihkan rumah dan pekarangan tempat tinggal guru mereka, mengumpulkan dan memotongi kayu bakar, mengangkut air dari sumber dan memenuhi semua kolam kamar mandi, mempersiapkan makan malam untuk Leng-hong Hoatsu dan mereka sendiri, kedua orang kakak beradik seperguruan itu berada di kebun belakang pondok guru mereka. Biasanya, sebelum mereka mandi, mereka akan lebih dulu berlatih silat untuk menyegarkan tubuh. Bun Sam sudah duduk di atas bangku di kebun itu ketika sutenya, Kam Ki, datang menghampirinya.

   "Suheng.......!"

   Kam Ki menegur sambil tersenyum akrab.

   "Eh, sute. Apakah engkau sudah membersihkan kamar samadhi suhu? Hari ini giliranmu membersihkannya, ingat?"

   
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sambil tersenyum lebar Kam Ki berkata.

   "Jangan khawatir, suheng! Tentu saja aku ingat dan aku sudah membersihkannya dengan rapi!"

   "Bagus! Eh, sute, sudah beberapa lama ini aku sering melihat engkau malam-malam meninggalkan pondok. Pergi ke mana saja sih engkau?"

   "Ah, aku mencari tempat yang sunyi untuk berlatih dengan tekun, suheng. Juga aku perlu tempat sunyi dan dingin untuk menghimpun hawa murni dan memperkuat tenaga sakti. Selama ini aku memperoleh banyak kemajuan, suheng. Maukah engkau melayani aku berlatih sore ini? Hitung-hitung engkau memberi petunjuk kepadaku agar aku dapat memperbaiki kekuranganku."

   Bun Sam tersenyum. Memang sudah lama sekali dia tidak pernah latihan ber-sama sutenya ini karena dahulu, kalau mereka berdua latihan, tingkat kepandaian adik seperguruannya ini masih jauh di bawahnya. Sekarangpun dia merasa yakin bahwa sutenya ini bukan lawan seimbang. Akan tetapi untuk menyenangkan hati sutenya, dia mengangguk.

   "Baiklah, sute. Mari kita latihan bersama."

   Mereka berdua segera mulai latihan dengan ilmu silat yang diajarkan oleh Leng-hong Hoatsu, yaitu Hwe-coa-sin-kun (Silat Sakti Ular Terbang). Mereka berdua sudah mempelajari ilmu silat yang amat hebat ini. Kedua lengan mereka bergerak seperti ular, meliuk-liuk dan selain cepat gerakannya dan tidak mudah diikuti lawan karena perubahan-perubahannya yang aneh, juga mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat. Karena Bun Sam maklum bahwa tenaga sutenya tidak seimbang dengan tenaganya, maka dia hanya mengeluarkan sebagian tenaganya saja, membatasi gerakannya dan sesekali kalau sutenya membuat gerakan atau jurus yang kurang sempurna, dia memberi tahu.

   Mereka saling serang sampai puluhan jurus dan tidak kurang dari sepuluh kali Bun Sam menunjukkan kesalahan atau ketidaksempurnaan gerakan sutenya. Akhirnya Bun Sam merasa cukup dan begitu dia mempercepat gerakannya, dia berhasil mendorong pundak sutenya sehingga tubuh Thio Kam Ki terdorong ke belakang dan dia harus membuat salto sampai tiga kali ke belakang agar tidak terjengkang. Akan tetapi dia tidak terluka karena memang Bun Sam tadi membatasi tenaganya.

   "Cukup, sute. Engkau memang telah memperoleh kemajuan pesat!"

   Kata Bun Sam untuk menyenangkan dan memberi semangat kepada Kam Ki.

   Wajah Kam Ki berubah pucat lalu kemerahan. Namun dia tersenyum dan tidak merasa kecewa. Mereka tadi berlatih menggunakan ilmu silat yang sama. Kalau dia kalah matang, gerakannya kalah gesit maka hal itu tidaklah mengherankan. Sekaranglah tiba saatnya untuk memberi hajaran kepada suhengnya yang telah lama mulai dibencinya karena perasaan iri hati yang memenuhi hatinya. Bagaimanapun juga, kalau dia bertanding melawan suhengnya mempergunakan ilmu silat, pasti dia akan kalah.

   "Terima kasih, suheng. Akan tetapi aku masih ingin menguji sampai di mana kemajuanku dalam hal tenaga dalam. Karena itu, sambutlah seranganku ini, suheng!"

   Bun Sam hendak menolak untuk mengadu tenaga sakti, akan tetapi sutenya telah memasang kuda-kuda dan menggerakkan kedua lengan untuk melancarkan pukulan jarak jauh dengan dorongan tenaga sakti. Maka, terpaksa dia harus menyambut, selain untuk melindungi dirinya, juga untuk mengukur sampai di mana kekuatan tenaga sakti sutenya agar dia mengetahui kemajuannya. Biasanya, dia dapat mengukur kekuatan tenaga sakti sutenya itu sekitar setengah ukuran tenaganya sendiri. Maka, karena mengira bahwa tenaga sakti sutenya mungkin sudah agak naik kekuatannya, dia menambah sedikit tenaganya, menggunakan tiga perempat bagian tenaganya dan mendorongkan kedua tangan ke depan menyambut serangan sutenya.

   Tentu saja dia menggunakan tenaganya untuk menahan saja, bukan untuk menyerang. Dengan demikian, maka dia akan memenangkan adu tenaga itu tanpa melukai sutenya, hanya membuat sutenya terpental mundur saja dan paling hebat terjengkang dan terbanting jatuh.

   Akan tetapi dia kaget sekali melihat mulut sutenya berkemak-kemik dan gerakan kedua lengan ketika mendorong itu sama sekali berbeda dengan apa yang diajarkan guru mereka. Dia menjadi curiga akan tetapi terlambat dan pada saat itu, dua tenaga sakti yang dahsyat bertemu di udara, di antara mereka.

   "Wuuuutttt""

   Blaaarrr""!!"

   Tubuh Bun Sam terlempar ke belakang dan dia terbanting roboh dalam keadaan pingsan!

   Melihat ini, Kam Ki menghampiri suhengnya untuk memeriksa dan melihat kakak seperguruannya itu benar-benar jatuh pingsan, dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang berubah merah lalu berdongak dan tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha-ha""!"

   Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan Leng-hong Hoatsu dan suara tawanya itu terhenti seperti dicekik. Timbul rasa takutnya. Kalau Leng-hong Hoatsu sampai mengetahui perbuatannya, dia pasti celaka! Bahkan guru gelapnya sendiri, Hwa Hwa Cinjin, merasa takut kepada Leng-hong Hoatsu dan ketika Hwa Hwa Cinjin mengetahui bahwa Kam Ki adalah murid Leng-hong Hoatsu, dia melarikan diri meninggalkan tempat itu. Hwa Hwa Cinjin takut kalau dituduh merampas murid Leng-hong Hoatsu, maka dia melarikan diri ketakutan. Apalagi dia!

   Berpikir demikian, Thio Kam Ki lalu melarikan diri turun dari lereng bukit, tidak berani mengambil pakaiannya yang berada di dalam pondok. Dia berlari cepat dengan hati ngeri seolah mendengar langkah Leng-hong Hoatsu mengejarnya!

   Ketika peristiwa itu terjadi, Leng-hong Hoatsu sedang tekun dalam samadhinya. Tiba-tiba ada perasaan tidak enak mengusiknya dan dia lalu membuka matanya dan bangkit berdiri. Tidak terdengar suara dalam pondok kayunya yang cukup besar itu, menandakan bahwa kedua orang muridnya tentu berada di luar pondok. Dia lalu melangkah keluar pondok. Karena dia tahu bahwa biasanya dua orang muridnya itu berlatih silat di kebun sebelum mereka mandi, Leng-hong Hoatsu lalu melangkahkan kakinya menuju kebun.

   Tak lama kemudian Leng-hong Hoatsu sudah berjongkok dekat tubuh Bun Sam dan memeriksa keadaan muridnya itu. Bun Sam masih pingsan dan pernapasannya sesak. Leng-hong Hoatsu membuka baju pemuda itu dan dia mengerutkan alisnya dan menggumam.

   "Hemm, siapa yang memukulnya dengan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang keji ini?"

   Karena maklum bahwa nyawa Bun Sam terancam bahaya maut, Leng-hong Hoatsu cepat turun tangan.

   Dia duduk bersila menempelkan tangan kirinya ke dada Bun Sam lalu menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh muridnya itu. Tenaga sakti Leng-hong Hoatsu sudah mencapai tingkat tinggi sekali, maka dalam waktu beberapa menit saja, warna merah darah di dada Bun Sam menghilang dan kulit dada itu menjadi putih bersih kembali. Bun Sam kini bernapas normal dan tak lama kemudian dia membuka matanya. Leng-hong Hoatsu melepaskan tangannya.

   Melihat suhunya bersila di dekatnya, Bun Sam cepat bangkit duduk dan berlutut memberi hormat. Dia maklum bahwa suhunya telah menolongnya dan mungkin sekali menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut.

   "Suhu""!"

   "Bun Sam, apa yang terjadi? Siapa yang memukulmu?"

   Tanya Leng-hong Hoatsu.

   Bun Sam menghela napas panjang. Rasanya berat untuk menceritakan pengalamannya karena ceritanya itu pasti akan membuat gurunya menjadi sedih. Dia sendiri menyayang Kam Ki karena sejak kecil mereka berdua hidup bersama Leng Hoat Hoatsu, suka duka dihadapi bersama. Dia sendiri merasa sedih sekali melihat kelakuan Kam Ki dan tidak tahu bagaimana adik seperguruannya yang sudah dianggap sebagai adiknya sendiri itu dapat menguasai ilmu pukulan beracun yang demikian hebatnya dan kejamnya.

   Setelah menghela napas beberapa kali dia lalu berkata.

   "Suhu, harap suhu suka memaafkan sute Thio Kam Ki"""

   Leng-hong Hoatsu mengerutkan alisnya yang sudah putih dan memandang wajah Bun Sam penuh selidik.

   "Hemm, kenapa sutemu? Apa yang telah terjadi? Ceritakanlah, Bun Sam!"

   "Teecu (murid) sendiri sampai saat ini masih terheran-heran, suhu. Tadi, sute mengajak teecu untuk latihan bersama. Mula-mula kami berdua berlatih dengan ilmu silat Hwe-coa-sin-kun dan dalam latihan itu, teecu lihat sute memang ada kemajuan, walaupun tidak banyak. Akan tetapi dia kemudian mengajak latihan mengukur tenaga sakti. Sebetulnya teecu hendak menolak, akan tetapi dia telah melakukan serangan pukulan jarak jauh kepada teecu. Terpaksa teecu menyambutnya dan teecu membatasi tenaga teecu agar dia tidak sampai terluka. Akan tetapi teecu melihat gerakan kedua tangannya berbeda dengan gerakan yang suhu ajarkan, dan dari kedua telapak tangan itu menyambar sinar merah yang aneh. Teecu merasa betapa ada kekuatan dahsyat mendorong teecu, membuat teecu terpental ke belakang dengan dada terasa nyeri dan teecu tidak ingat apa-apa lagi."

   "Hemm, kalau engkau menggunakan seluruh tenagamu, belum tentu engkau yang terluka, mungkin dia sendiri yang terluka oleh tenaganya yang membalik. Akan tetapi aneh, bagaimana Kam Ki dapat memiliki Ang-tok-ciang seperti itu""?"

   "Ang-tok-ciang, suhu?"

   Leng Hoat Hoatsu mengangguk.

   "Benar, pukulan ini adalah Ang-tok-ciang, satu di antara ilmu pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sihir. Hemm, di mana sekarang Kam Ki?"

   "Teecu tidak tahu, suhu. Mungkin dia telah kembali ke pondok."

   "Panggil dia, Bun Sam. Aku harus bicara dengannya, kutunggu di ruangan depan!"

   Bun Sam lalu mencari-cari. Akan tetapi dia tidak menemukan sutenya. Bahkan ketika dia mencari di kamar sutenya, kamar itupun kosong. Dia keluar dari pondok, memanggil-manggil, namun tidak ada jawaban. Akhirnya Bun Sam menduga bahwa besar kemungkinannya sutenya itu telah pergi, mungkin takut setelah merobohkannya. Maka dia lalu menghadap Leng-hong Hoatsu di ruangan depan dan melaporkan bahwa sutenya tidak ada.

   "Hemm, kita tunggu sampai satu dua hari. Kalau dia tidak pulang, berarti dia telah melarikan diri,"

   Kata Leng-hong Hoatsu dan dia merasa menyesal bukan main telah menerima anak itu menjadi muridnya. Memang sejak dulu dia sudah merasa bahwa Kam Ki memiliki watak dasar yang lemah dan anak itu akan mudah dikuasai oleh nafsu-nafsu daya rendah. Akan tetapi dia sama sekali tidak mengira anak itu berani mempelajari ilmu sesat, entah dari siapa, bahkan menggunakan ilmu itu untuk memukul Bun Sam yang menyayangnya seperti adik sendiri sehingga hampir saja Bun Sam tewas!

   Setelah ditunggu sampai dua hari dan Kam Ki belum juga pulang, tahulah Leng-hong Hoatsu dan Bun Sam bahwa Kam Ki benar-benar telah minggat dan tidak akan pulang lagi. Leng-hong Hoatsu memanggil Bun Sam.

   "Bun Sam, sekarang sudah tiba saatnya bagimu untuk turun gunung dan mengamalkan semua ilmu yang kaupelajari selama ini di sini."

   "Maaf, suhu. Rasanya teecu tidak tega meninggalkan suhu seorang diri di sini. Apalagi sekarang sute Kam Ki juga telah pergi. Perkenankan teecu menemani suhu di sini dan melayani suhu yang sudah berusia lanjut."

   "Bun Sam, apakah engkau lupa berapa usiamu sekarang? Engkau sudah berusia kurang lebih duapuluh empat tahun! Engkau bukan anak-anak lagi dan engkau telah mempelajari banyak ilmu. Semua ilmu tidak akan ada artinya kalau tidak kau amalkan. Semua jerih payahmu mempelajarinya selama bertahun-tahun akan terbuang percuma saja. Tidak perlu mengkhawatirkan diriku, Bun Sam. Aku adalah sebagian dari alam ini. Bagaimana aku dapat hidup sendiri? Aku tidak sendiri di dunia ini dan aku sudah biasa hidup tanpa bantuan orang lain. Tumbuh-tumbuhan di pengunungan ini akan mencukupi semua kebutuhan hidupku. Nah, aku minta agar engkau meninggalkan gunung, terjun ke dunia ramai mengamalkan semua ilmumu untuk kepentingan orang banyak. Untuk membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang, membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan."

   Biarpun hatinya merasa sedih dan terharu karena harus meninggalkan gurunya yang merupakan segala-galanya bagi Bun Sam. Kakek itu menjadi pengganti orang tuanya, gurunya, juga sahabatnya. Akan tetapi mendengar ucapan gurunya yang panjang lebar itu, dia tidak berani membantah.

   "Baik, suhu. Teecu akan menaati semua perintah suhu!"

   Katanya dengan suara tegas setelah berhasil menekan keharuan dan kesedihannya.

   "Ada sebuah tugas lagi yang penting. Engkau harus mencari Kam Ki dan usahakan agar dia tidak terseret ke dalam kesesatan. Kalau dia tidak dapat dibujuk dan ternyata menjadi orang tersesat, terpengaruh ilmu-ilmu sesat yang entah dia pelajari dari mana itu, maka engkau harus mencegahnya melakukan perbuatan jahat. Kalau perlu lenyapkan semua ilmunya agar dia menjadi orang lemah yang tidak dapat mengganggu orang lain."

   "Akan tetapi, suhu......."

   Bun Sam merasa sangsi apakah dia akan mampu melakukan hal itu. Dia amat sayang kepada sutenya yang telah dia anggap sebagai adik sendiri itu.

   "Bun Sam, ingat. Tugasmu adalah menentang yang jahat. Tidak perduli siapa orangnya, bahkan keluarganya sendiri sekalipun, kalau jahat, harus engkau bujuk dan sadarkan, dan kalau bujukan tidak berhasil menyadarkannya, harus kau tentang. Sebaliknya, kalau ada orang tak bersalah tertindas, siapapun dia itu, harus kaubela. Dalam membela kebenaran dan keadilan, dan menentang kejahatan, engkau sama sekali tidak boleh pilih kasih. Terkadang pilih kasih ini membuat orang kehilangan rasa keadilannya. Karena itu, menghadapi Kam Ki, engkau tidak boleh terpengaruh perasaan pilih kasih itu!"

   Bun Sam mengangguk-angguk.

   "Betapa pun beratnya, suhu, teecu akan menaati dan selalu ingat akan perintah suhu."

   "Bagus, sekarang berkemaslah dan berangkatlah hari ini juga."

   Bun Sam berkemas, membawa pakaian dalam sebuah buntalan kain kuning, lalu berlutut memberi hormat dan pamit kepada suhunya. Kemudian dia turun dari bukit itu dan melakukan perjalanan menuju ke timur.

   Ketika menuruni lereng bukit itu, Bun Sam merasa dirinya seolah menjadi seekor burung yang terbang melayang seorang diri dengan bebasnya. Dua macam perasaan teraduk di hatinya. Sedih dan girang. Dia bersedih memikirkan gurunya yang dia tinggalkan, gurunya yang sudah tua dan membutuhkan pelayanan. Akan tetapi diapun girang karena dia merasa bebas memasuki kehidupan baru di dunia ramai.

   Pemuda itu menuruni bukit terakhir dari Pegunungan Himalaya yang panjang. Usianya sekitar duapuluh dua tahun, tubuhnya tegap dan wajahnya tampan. Semua orang akan tertarik kalau bertemu dengannya. Wajah tampan itu selalu tersenyum ramah dan matanya tajam bersinar-sinar. Dia adalah Thio Kam Ki yang sejak kecil sekali telah dipelihara dan dididik oleh Leng-hong Hoatsu. Hatinya masih gembira sekali mengenang betapa dengan sekali serang saja menggunakan Ang-tok-ciang yang dipelajarinya dari Hwa Hwa Cinjin, dia mampu merobohkan Sie Bun Sam, suhengnya yang sejak kecil selalu mengunggulinya dalam segala hal.

   Sekarang dia bebas, dapat melakukan apa saja yang dikendakinya, sesuka hatinya. Biasanya, di pondok Leng-hong Hoatsu, dia merasa seperti dikekang dan diikat oleh segala macam peraturan. Begini tidak boleh, begitu dilarang. Apalagi suhengnya, Bun Sam itu. Seringkali mengomelinya, menasihatinya sampai dia merasa bosan.

   Hanya satu hal yang dibutuhkannya saat ini, ialah pakaian pengganti dan bekal uang. Dia meninggalkan pondok suhunya tanpa membawa apa-apa. Semua pakaian dia tingalkan karena dia takut kalau-kalau perbuatannya memukul roboh suhengnya akan ketahuan suhunya. Akan tetapi itu adalah soal kecil. Di mana-mana tersedia pakaian dan segala kebutuhannya! Tinggal ambil saja! Mau uang? Pakaian? Bahkan teman wanita yang cantik?

   "Ha-ha-ha, tinggal ambil, tinggal pilih!"

   Kam Ki tertawa sendiri sambil berlari cepat, membayangkan segala macam keindahan, segala macam keenakan dan kenikmatan, seolah melihat semua yang serba menyenangkan itu seperti buah-buahan yang bergantungan di depan matanya, tinggal mengulur tangan memetik dan menikmatinya!

   Ketika dia tiba di sebuah pedusunan yang agak besar, dusun besar pertama yang ditemuinya semenjak dia turun gunung, dia melihat sebuah rumah besar, yang terbesar dan terindah di antara semua rumah di dusun itu. Ketika mendengar bahwa rumah itu adalah tempat tinggal kepala dusun yang kaya, Kam Ki menjadi girang sekali. Di rumah inilah tersedia kebutuhanku, pikirnya. Pada saat itu yang amat dibutuhkan adalah uang karena dengan uang dia akan dapat membeli segala kebutuhannya. Terutama sekali yang terpenting pakaian karena dia tidak mempunyai pengganti sepotongpun pakaian. Lalu makanan enak dan lain-lain.

   Malam itu, dengan mudah saja dia memasuki rumah kepala dusun itu melalui atap dan setelah mencari-cari, akhirnya dia menemukan cukup banyak uang perak dan emas dalam sebuah almari. Dia mengambil sekantung uang perak dan emas, lalu meninggalkan rumah itu tanpa suara sehingga tidak ada penghuni rumah yang mengetahui bahwa rumah itu kecurian banyak uang. Barulah pada keesokan harinya, tuan rumah terkejut karena sekantung perak dan emas lenyap tanpa meninggalkan jejak. Pintu jendela masih utuh dan tertutup rapat, maka gegerlah seisi rumah. Tentu saja hanya ada dua tersangka yang dapat mencuri sekantung uang itu, yaitu pelayan atau setan!

   Kalau seisi rumah kepala dusun ribut dan panik, Kam Ki dengan santai membelanjakan uangnya, membeli beberapa stel pakaian dan makan sekenyangnya di warung makan. Hari itu juga dia melanjutkan perjalanan ke timur dengan menunggang kuda, seekor kuda yang dibelinya di dusun itu, berikut pelananya. Sejak kecil dia tidak pernah menunggang kuda, akan tetapi karena dia seorang ahli silat yang bertubuh kuat, maka sebentar saja dia sudah menguasai kudanya dan berani membalapkan kudanya di sepanjang jalan raya yang kasar.

   Hari ini panas sekali. Matahari memancarkan cahayanya tanpa terhalang awan. Panasnya menyengat kulit dan jalan itu menjadi kering berdebu. Kam Ki ingin berhenti mengaso, selain untuk berlindung dari terik matahari di bawah pohon rindang, juga dia ingin memberi kesempatan kepada kudanya untuk mengaso. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat di depan sana gerakan beberapa orang yang agaknya sedang berkelahi. Maka dibalapkannya kudanya ke depan.

   Setelah dekat dia melihat seorang wanita cantik jelita sedang berkelahi dikeroyok oleh tiga orang laki-laki yang berusia antara tigapuluh sampai enampuluh tahun. Wanita itu memiliki gerakan yang cepat sekali, memainkan sebatang pedang. Senjata ini digerakkan sedemikian cepatnya sehingga membentuk gulungan sinar putih.

   Namun, ketika Kam Ki melompat turun dari kuda, membiarkan kudanya makan rumput di tepi jalan, dia melihat betapa wanita itu terdesak hebat oleh tiga orang pengeroyoknya. Tiga orang laki-laki itu masing-masing memainkan sepasang golok sehingga wanita itu seolah dikeroyok oleh enam batang golok! Dan gerakan tiga orang pengeroyok itu, walaupun tidak secepat gerakan pedang wanita, namun karena mereka maju bertiga, tetap saja wanita itu menjadi repot melindungi dirinya dari sambaran enam batang golok yang bertubi-tubi!

   Melihat ini, Kam Ki tidak tahu siapa yang baik dan siapa yang jahat diantara mereka, akan tetapi karena melihat betapa wanita itu masih muda, tampaknya tidak lebih dari duapuluh tahun usianya dan cantik bukan main dan ia berada dalam keadaan terdesak, maka otomatis hati Kam Ki condong membela wanita itu. Maka, dia lalu membungkuk dan mengambil dua butir batu kerikil.

   Menurut penglihatannya, ilmu silat tiga orang itu biasa-biasa saja dan baginya masih rendah, maka dia lalu menyambit dengan dua buah kerikil ke arah dua orang di antara mereka. Tampak dua sinar hitam menyambar dan dua orang pengeroyok itu berteriak mengaduh dan terpelanting roboh tak mampu bergerak lagi karena benturan kerikil itu telah menotok jalan darah mereka sehingga mereka tidak mampu menggerakkan kaki dan tangan mereka.

   Wanita cantik itu ketika melihat dua orang lawannya roboh, lalu mengeluarkan teriakan melengking.

   "Hyaaaaatttt""!"

   Pedangnya menyambar dengan gerakan melengkung dan robohlah lawan ketiga dengan leher terluka dalam. Wanita itu tidak berhenti sampai di situ saja. Ia melompat ke depan, dua kali pedangnya berkelebat dan dua orang yang tadi roboh tertotok sambaran kerikil, juga dibacok lehernya. Darah membanjir dan tiga orang itu tewas seketika! Barulah wanita itu memeriksa pedangnya. Tidak ada darah sedikitpun mengotori pedangnya. Hal ini menunjukkan betapa cepatnya pedang itu tadi membacok leher sehingga tidak sampai ternoda darah. Lalu ia menyarungkan pedangnya di belakang punggung, dan ia memutar tubuh untuk memandang orang yang telah membantunya.

   Mereka berhadapan dalam jarak empat meter dan kedua pihak terpesona! Kam Ki terpesona karena setelah wanita itu tidak bergerak, baru tampak jelas olehnya betapa cantiknya wajah itu, betapa putih mulusnya kulit yang tampak di leher itu. Putih mulus kemerahan, dengan bentuk tubuh menggairahkan, pinggang ramping, pinggul dan dada menonjol dan lekuk lengkung tubuhnya indah menggairahkan. Sepasang mata itu bersinar seperti bintang dan bibir yang merah basah itu sedikit terbuka, setengah tersenyum menantang, membuat jantung dalam dada Kam Ki berdebar tegang.

   Namun kekejaman wanita itu yang membunuh pula dua orang lawan yang sudah roboh tertotok, membuat pemuda itu penasaran. Biarpun hatinya sudah mulai menyeleweng meninggalkan kebenaran setelah dia berguru kepada Hwa Hwa Cinjin, namun belum pernah Kam Ki melakukan pembunuhan, apalagi dengan cara kejam seperti itu. Bagaimanapun juga, sejak kecil dia menjadi murid Leng-hong Hoatsu yang mengajarkan kebenaran. Maka menyaksikan wanita itu membunuhi orang secara kejam, hatinya merasa penasaran dan agak menolak. Akan tetapi di lain pihak, rasanya tidak bisa dia kalau harus marah dan berkata-kata kasar terhadap seorang wanita yang demikian cantik jelitanya!

   "Nona, kenapa engkau membunuh mereka? Kenapa?"

   Wanita itu juga memandang kepada pemuda tampan itu dengan mata penuh kagum dan bibirnya kini merekah, senyumnya melebar. Wanita itu menggunakan tangan kiri untuk menyentuh setangkai bunga berwarna putih yang menghias rambut kepalanya sebelah kiri seolah hendak melihat apakah hiasan rambut itu masih berada di tempatnya. Pakaiannya yang terbuat dari sutera berwarna putih itu indah sekali, melekat ketat pada tubuhnya karena pakaian dari sutera itu potongannya memang ketat mencetak bentuk tubuhnya.

   Ia adalah seorang tokoh besar di kalangan kang-ouw, berjuluk Pek-hwa Sianli (Bidadari Bunga Putih) karena ia selalu memakai hiasan rambut kembang putih. Biarpun dia dijuluki Sian-li atau Bidadari, agaknya itu hanya untuk menyatakan kekaguman orang akan wajahnya yang cantik jelita seperti bidadari, juga bentuk tubuhnya yang aduhai! Akan tetapi sesungguhnya wanita yang sudah berusia tigapuluh tahun lebih namun masih tampak seperti baru berusia duapuluh tahun ini terkenal sebagai datuk wanita yang amat kejam dan jahat. Ia adalah seorang iblis betina yang cabul.

   Tiga orang itu adalah Siang-to Sam-hengte (Tiga Bersaudara Sepasang Golok), tiga orang pendekar yang suka menentang kejahatan mengandalkan ilmu sepasang golok mereka. Ketika mereka mendengar bahwa Pek-hwa Sianli mengganggu sebuah dusun, menculik pemuda dan kalau sudah bosan lalu membunuh pemuda itu, tiga orang pendekar itu ialu mencari dan menyerangnya. Kalau saja Kam Ki tidak kebetulan lewat dan membantu wanita itu, tentu Pek-hwa Sianli akan tewas oleh pengeroyokan mereka bertiga.

   Mendengar pertanyaan Kam Ki, Pek-hwa Sianli tersenyum dan matanya memandang penuh daya tarik.

   "Aih, taihiap (pendekar besar), apakah engkau lebih senang melihat aku yang mereka bunuh?"

   Tentu saja Kam Ki gelagapan mendengar jawaban yang berbalik menjadi pertanyaan itu. Dia menggeleng kepalanya.

   "Tentu saja tidak, nona. Akan tetapi, mengapa engkau berkelahi dengan mereka dan apakah kesalahan mereka maka engkau membunuh mereka?"

   "Jawabannya adalah pertanyaan itu tadi, taihiap yang gagah perkasa. Mereka menyerangku dan hendak membunuhku, karena itulah maka aku harus membunuh mereka karena aku tidak ingin mereka yang membunuhku. Dalam perkelahian mati-matian hanya ada dua pilihan, bukan? Dibunuh atau membunuh, dan kalau engkau yang menjadi aku, engkau pilih dibunuh atau membunuh?"

   Mau tidak mau Kam Ki tersenyum. Cara wanita itu bicara, sungguh menarik hati sekali. Bibirnya yang indah manis itu bergerak-gerak menantang! Suaranya juga merdu dan kata-katanya seolah tidak dapat dibantah kebenarannya.

   "Tentu saja aku tidak memilih dibunuh!"

   Jawabnya sejujurnya.

   "Akan tetapi kenapa mereka itu mengeroyokmu dan hendak membunuhmu? Apakah kesalahanmu, nona?"

   "Kesalahanku? Aihh, aku tidak melakukan sesuatu yang salah terhadap mereka. Kalau mau dicari kesalahanku, mungkin kesalahanku terletak pada wajah dan tubuhku!"

   Setelah berkata begitu, Pek-hwa Sianli mengerlingkan matanya dengan gaya yang menarik sekali. Akan tetapi, pada waktu itu Kam Ki adalah seorang perjaka yang belum pernah bergaul dekat dengan wanita, maka dia belum dapat menangkap apa yang tersirat dalam gerak dan gaya memikat itu.

   "Wajah dan tubuhmu? Kenapa? Aku tidak melihat sesuatu yang salah dengan wajah dan tubuhmu, nona. Apa maksud kata-katamu itu?"

   "Aihh, benarkah itu, taihiap? Kau tidak melihat sesuatu yang salah dengan wajah dan tubuhku? Kalau menurut penilaianmu, bagaimana dengan wajah dan tubuhku, taihiap?"

   Pertanyaan itu disertai gaya menggoda yang memikat dengan gerakan pundak dan dadanya, disertai bibir bawah yang mencebil dan kedipan mata kiri yang penuh arti.

   Kam Ki yang sama sekali belum berpengalaman itu hanya tertegun karena terpesona oleh semua kecantikan yang memiliki daya tarik amat kuat itu dan dia menjawab gagap.

   "Wajah dan tubuhmu""? Ahh....... aku....... aku tidak tahu, wajahmu cantik jelita dan tubuhmu indah......."

   Pek-hwa Sianli tertawa geli sambil menutupi mulutnya. Dari sikap pemuda itu tahulah ia bahwa pemuda yang berilmu tinggi ini sama sekali belum berpengalaman, tentu masih perjaka tulen dan hal ini membuat hatinya seperti terbakar oleh gairah berahi. Pemuda-pemuda perjaka yang pernah ia dapatkan hanyalah orang-orang lemah. Belum pernah ia mendapatkan seorang pemuda perjaka yang memiliki kepandaian tinggi seperti pemuda yang telah menyelamatkan nyawanya ini.

   "Terima kasih atas pujianmu, taihiap. Engkau sendiri, menurut penglihatanku, engkau seorang pemuda yang gagah perkasa dan ganteng, tampan bukan main."

   Wajah Kam Ki berubah merah.

   "Eh""

   Aku""

   Aku masih ingin mengetahui apa kesalahanmu terhadap mereka bertiga itu sehingga mereka mengeroyok dan hendak membunuhmu, nona."

   "Apakah engkau tidak dapat menduga apa yang hendak mereka lakukan setelah mereka melihat kecantikan wajahku dan keindahan tubuhku? Aih, engkau seperti bukan laki-laki saja, taihiap. Mereka bertiga itu tergila-gila kepadaku dan mereka menginginkan tubuhku, mereka ingin memiliki aku. Akan tetapi, huh, tubuhku yang indah ini tidak akan mudah begitu saja kuserahkan kepada sembarang laki-laki yang tidak kucinta! Karena aku menolak mereka, maka mereka menjadi marah dan hendak membunuh aku. Aku melawan mereka. Bagiku, daripada menyerahkan tubuhku ini kepada mereka, lebih baik aku melawan sampai mati. Untung engkau muncul dan engkau merobohkan dua orang dari mereka dengan sambitan kerikil. Taihiap, engkau yang masih begini muda sudah memiliki kepandaian yang begini tinggi, engkau telah menyelamatkan aku dari ancaman maut. Engkau adalah dewa penolongku. Taihiap, bolehkah aku mengetahui siapa nama besarmu?"

   

Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini