Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 23


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 23



Khong-Sim Sin-Kai memejamkan kedua matanya dan tubuhnya bergoyang -goyang sedikit ke kiri kanan berirama. Han Bun berkata dengan suara penuh hormat,

   "Maafkan Teecu, Suhu. Teecu ingin mengulang pertanyaan Teecu tadi. TUHAN Yang Maha Kuasa telah menurunkan banyak wahyu berbentuk pelajaran agama kepada manusia di dunia agar manusia dapat menjadi mahluk utama yang baik dan mulia sesuai dengan firman-firman-Nya yang tertuang dalam wahyu agama itu, akan tetapi mengapa kehidupan manusia masih seperti ini, penuh dengan kekacauan, dengki, iri, benci dan permusuhan. Mengapa kejahatan masih merajalela dalam kehidupan manusia?"

   Mendengar pertanyaan ini, sebelum Khong-Sim Sin-Kai menjawab, tiba-tiba Pek Giok sudah berkata lantang,

   "Setanlah yang menjadi gara-gara itu semua! Setan itu jahat sekali dan setan yang menggoda manusia sehingga manusia condong untuk melakukan kejahatan!"

   Setelah berkata demikian, agaknya baru gadis itu teringat akan kelancangannya, maka cepat ia memberi hormat kepada Khong-Sim Sin-Kai dan berkata.

   "Lo-Cianpwe Khong-Sim Sin-Kai, harap maafkan kelancangan saya."

   Kakek itu tersenyum.

   "Baik sekali pendapatmu itu, karena agaknya sudah menjadi pendapat umum untuk menimpakan kesalahan kepada yang mereka namakan setan. Padahal, kalau kita mengakui bahwa TUHAN itu Maha Pencipta, tidak ada kekuasaan kecuali kekuasaan TUHAN yang mencipta segala sesuatu, maka jelas bahwa adanya setan pun tentu merupakan satu di antara ciptaan TUHAN. Mengapa kita menyalahkan setan yang menggoda manusia, menggoda kita membawa kita ke dalam perbuatan jahat atau dosa? Setan tidak dapat disalahkan karena memang itulah tugasnya! Kalau tidak menggoda manusia, jelas bukan setan lagi namanya, mungkin dia yang dinamakan malaikat atau para pembantu TUHAN yang membawa kebaikan! Sekadar contoh, di dunia ini terdapat binatang nyamuk yang kerjanya hanya mengganggu dan menghisap darah manusia! Dan sudah pasti bahwa nyamuk, seperti hewan dan mahluk lain, juga hasil ciptaan TUHAN! Jadi adanya setan dan nyamuk itu hampir sama, keduanya mengganggu manusia. Kalau sampai kita digigit nyamuk, apakah kita harus menyalahkan nyamuk? Ini bodoh sekali dan mau menang sendiri. Kita semestinya menghindarkan diri jangan sampai digigit nyamuk dan tidak menyalahkan nyamuk karena memang dia dikodratkan demikian, yaitu hidup dari darah manusia! Demikian pula dengan setan. Kalau kita sampai tersesat dan melakukan kejahatan, hal itu bukan salah si setan yang menggoda, melainkan salah kita sendiri mengapa kita sampai dapat tergoda! Kalau iman kita kepada TUHAN teguh dan murni, biar ada seribu setan datang menggoda, kita tidak akan terseret dan menyimpang dari jalan kebenaran seperti yang dikehendaki TUHAN!"

   Mendengar ini, Pek Giok mengangguk-anggukkan kepalanya dan ada pengertian baru memasuki nuraninya. Akan tetapi dasar ia berwatak keras dan belum puas kalau keinginan tahunya belum terjawab, maka ia lalu bertanya,

   "Tapi Lo-Cianpwe belum memberi keterangan tentang mengapa manusia yang sudah mempelajari ajaran agama yang merupakan wahyu dari TUHAN itu masih saja melakukan kejahatan? Saya sendiri selama ini lebih banyak menjumpai orang-orang jahat daripada yang baik. Bukankah mereka semua, terutama orang-orang berpangkat yang terpelajar, sudah mengetahui bahwa kejahatan itu tidak boleh mereka lakukan?"

   Pertanyaan Pek Giok ini disambut anggukan kepala oleh Han Bun dan Lui Hong yang merasa setuju dengan pertanyaan itu.

   "Baik, biarpun yang kalian tanyakan rrierupakan masalah gawat, aku akan mencoba memberi penjelasan dan semoga TUHAN membimbingku sehingga penjelasan ini sesuai dengan kebenaran dan kenyataan hidup. Nah, harap dengarkan dengan hati dan pikiran yang hening."

   Suara Kakek itu terdengar lembut, namun agaknya pada saat itu keheningan yang mendalam menyelimuti suasana di puncak bukit sehingga suaranya terdengar jelas oleh mereka yang berada di situ.

   "Seperti kita telah mendengar tadi, manusia diciptakan di dunia sudah pasti ada artinya, ada manfaatnya seperti semua ciptaan TUHAN yang lain. Bahkan hawa udara yang tak tampak mutlak diperlukan dan besar manfaatnya untuk kehidupan semua mahluk. Sinar matahari dan bulan, bahkan semua bintang yang tampak ada manfaatnya bagi alam

   semesta. TUHAN sudah sedemikian besar dan melimpah-limpah berkah kasih-Nya kepada mahluk hidup, terutama kepada manusia dan kenyataan inilah yang membuat manusia merasa yakin bahwa manusia merupakan mahluk paling utama dalam kasih sayang TUHAN. Lalu, apa yang pantas dilakukan manusia untuk menyatakan terima kasihnya kepada TUHAN? Apa buktinya kalau kita mengaku bahwa kita juga mengasihi dan cinta kepada-Nya? Apa yang dapat kita berikan kepada-Nya sebagai balasan kasih-Nya, sebagai tanda bahwa kita benar-benar berterima kasih dan membalas kasih-Nya yang teramat besar itu? TUHAN Maha Memiliki, tiada kekurangan apa pun, oleh karena itu yang dapat kita lakukan adalah menjadi pembantu-Nya, menjadi pembantu-Nya menyejahterakan dunia seisinya, menjadi PENYALUR berkat-Nya yang berkelebihan dan tidak berkesudahan! Menerima kasih-Nya sehingga Kasih itu bersemi dan tumbuh dalam diri kita lahir batin sehingga pohon Kasih itu berbuah sebagai sikap dan perbuatan kita yang bermanfaat bagi dunia seisinya. Kalau berkah TUHAN itu berupa kepandaian dan pengertian dapat kita salurkan berkah itu dengan memberikan bimbingan pengertian kepada mereka yang belum mengerti, menyadarkan mereka yang belum mengerti dari sikap dan perbuatan mereka yang salah dan bodoh. Kalau berkah itu berupa tenaga yang kuat, dapat kita salurkan dengan membantu dan membela melindungi mereka yang lemah tak berdaya. Kalau berkah itu berupa harta benda yang berlimpah dan berlebihan dapat kita salurkan dengan membantu mereka yang miskin dan membutuhkan harta benda. Kalau berkah itu tidak merupakan yang ketiganya itu, berkah Kasih yang bersinar dalam diri kita dapat kita salurkan dengan sikap, ucapan, dan prilaku yang baik, ramah dan penuh kasih kepada sesama kita. Bahkan penyaluran kasih yang terakhir ini tidak kalah nilainya dengan penyaluran kasih melalui harta benda dan sebagainya. Kasih sayang yang merupakan berkah TUHAN itu kita salurkan pertama-tama kepada sanak keluarga kita yang terdekat, kemudian setelah untuk keluarga dan rumah tangga, meluas kita salurkan kepada masyarakat dan lingkungan, kemudian meluas kepada Bangsa, Negara dan Tanah Air, setelah itu makin berkembang ditujukan kepada manusia dan dunia!"

   "Maaf, Suhu, kalau begitu, sudah menjadi mahluk termuliakah kita kalau kita sudah melakukan semua kebaikan itu, menolong sesama manusia dengan segala kelebihan yang ada pada kita?"

   Tanya Han Bun dengan hati-hati. Kakek itu menggelengkan kepalanya.

   "Sama sekali tidak benar begitu, karena segala macam perbuatan baik itu sesungguhnya bukan merupakan kebaikan sejati kalau dilakukan dengan pamrih mendapatkan imbalan dari perbuatannya itu. Patut diketahui bahwa semua kebaikan yang berpamrih bukanlah kebaikan lagi, melainkan hanya merupakan jual beli belaka. Kita beli dengan perbuatan yang kita sebut kebaikan itu agar mendapatkan sesuatu yang nilainya lebih atau menyenangkan bagi kita."

   "Akan tetapi, Lo-Cianpwe,"

   Pek Giok membantah.

   "Kalau perbuatan itu terdorong oleh rasa cinta kita kepada yang kita tolong, bukankah itu kebaikan namanya?"

   Kembali Kakek itu menggelengkan kepalanya.

   "Ada dua macam cinta kasih. Yang pertama adalah cinta kasih Illahi, cinta kasih TUHAN Yang Maha Kasih. Cinta kasih TUHAN tidak memilih-milih, tidak pandang bulu, tanpa pamrih sama sekali. Lihat sinar matahari itu, menghangatkan dan menghidupkan segala sesuatu tanpa pandang bulu, semua manusia mendapatkannya, dari Raja sampai hamba yang paling rendah kedudukannya, dari si kaya raya sampai si miskin, dari si cerdik pandai sampai si sederhana tak terpelajar, dari Pendeta sampai orang yang paling sesat. Lihat keharuman bunga, dicium siapa saja dari orang berkedudukan paling tinggi sampai yang paling rendah, dari yang merasa dirinya paling suci sampai yang paling jahat, tetap sama harumnya. Itulah cinta kasih TUHAN dan cinta kasih itulah yang dapat kita salurkan, merupakan perbuatan yang muncul dari jiwa, bukan dari akal pikiran. Kalau cinta kasih itu muncul dari akal pikiran kita, maka yang timbul adalah perbuatan yang sudah pasti berpamrih, memakai perhitungan sehingga sebelum memberikan bantuan, pikiran menimbang lebih dulu. Siapa yang pantas ditolong dan siapa yang tidak. Apa untungnya kalau menolong dia dan apa ruginya! Karena cinta kasih seperti itu dituntun oleh nafsu maka sudah pasti berpamrih karena demikianlah sifat nafsu, selalu mengejar kenikmatan dan kesenangan bagi diri sendiri."

   "Maafkan pertanyaan saya, Lo-Cianpwe. Bukankah terdapat cinta kasih yang murni tanpa pamrih di antara manusia? Maksud saya cinta kasih antara suami-isteri, antara orang-tua dan anak, antara Guru dan murid, dan sebaliknya. Bukankah mereka itu terikat oleh cinta kasih yang tulus dan murni tanpa pamrih untuk keuntungan diri sendiri?"

   Tanya Lui Hong dan pertanyaan ini pun disetujui oleh Pek Giok dan Han Bun dengan anggukan kepala. Kembali Khong-Sim Sin-Kai menggelengkan kepala sejenak dan menghela napas panjang.

   "Sayang sekali, hanya sedikit saja manusia yang memiliki cinta kasih yang didasari cinta kasih murni yang dianugerahkan TUHAN kepada manusia. Sebagian besar manusia, baik dia itu suami atau isteri, orang-tua atau anak, Guru atau murid dan antara sahabat, memiliki cinta kasih yang sudah dikendalikan nafsu. Memang tampaknya cinta kasih antara mereka itu murni, akan tetapi mari kita selidiki. Biarpun lebih halus tampaknya, namun pada dasarnya cinta kasih antara mereka itu masih mengandung pamrih untuk kesenangan diri pribadi, seperti jual-beli tadi, dibeli dengan cintanya untuk mendapatkan sesuatu yang menguntungkan dan menyenangkan diri sendiri. Seorang suami atau isteri berkata kepada pasangannya: Aku cinta padamu, akan tetapi itu belum titik, masih ada lanjutannya walaupun mungkin hanya dalam hatinya, yaitu aku cinta padamu, akan tetapi engkau harus juga cinta padaku, engkau harus melayaniku, menyenangkan aku, jangan mencinta orang lain dan sebagainya. Andaikata itu dilanggar, maka yang kita lihat, cinta itu berubah menjadi benci! Demikian pula cinta orang-tua terhadap anak, berpamrih agar anak itu berbakti, menurut dan tidak membuat marah orang-tua, tidak murtad. Kalau hal itu terjadi, cintanya pun dapat berubah menjadi benci. Si anak pun cintanya berpamrih agar orang-tuanya memanjakan dan menyayangnya, kalau tidak dia akan berontak dan membenci orang-tuanya. Walaupun tidak semua pasangan ini sampai retak dan pecah, namun kalau mereka mau jujur, tentu mereka pernah mengalami gangguan-gangguan dalam cinta mereka, apalagi kalau cinta itu sepenuhnya dikuasai nafsu dan tidak disinari kasih sayang yang datang dari TUHAN. Gangguan berupa cemburu, curiga, bosan, marah, iri, dan sebagainya. Nafsu daya rendah yang berada dalam diri setiap orang manusia itulah yang selalu menyeret manusia melakukan perbuatan jahat dan dosa."

   "Kalau begitu, mengapa kita tidak mematikan saja nafsu-nafsu kita agar kita tidak melakukan dosa?"

   Pek Giok membantah.

   "Para Pendeta dan sastrawan selalu menganjurkan agar kita mengendalikan nafsu, Lo-Cianpwe,"

   Kata Lui Hong.

   "Manusia dengan kemauan sendiri tidak mungkin mengendalikan nafsu-nafsunya, apalagi membunuh nafsu karena membunuh nafsu berarti mati. Nafsu daya rendah sesungguhnya merupakan peserta yang diberikan TUHAN kepada kita agar melayani hidup kita, agar kita dapat menikmati hidup kita di dunia. Setiap nafsu itu pada ujungnya mendatangkan kenikmatan bagi badan dan ini memang sudah menjadi sifatnya dan bukan tidak ada gunanya. Misalnya nafsu makan, pada ujungnya mendatangkan kenikmatan, hal ini perlu sekali agar manusia karena adanya kenikmatan itu mau makan. Andai kata tidak ada kenikmatan sehingga manusia tidak mau makan, lalu apa jadinya? Manusia akan mati kelaparan! Daya-daya rendah mempengaruhi hati akal pikiran melahirkan nafsu-nafsu dan dengan adanya nafsu ini maka manusia dapat menyejahterakan hidupnya. Tanpa adanya nafsu manusia tidak akan dapat membuat segala macam benda yang dia perlukan untuk menikmati kehidupan ini, dapat membuat rumah, pakaian, makanan yang enak-enak, dan sebagainya, yang kesemuanya itu untuk menyejahterakan badannya selagi hidup di dunia. Jelas nafsu tidak mungkin dapat dibunuh selama manusia masih hidup karena manusia memerlukan nafsu untuk dapat hidup layak dan sejahtera, untuk dapat menikmati hidup ini dengan jasmaninya."

   "Akan tetapi, Lo-Cianpwe, bukankah banyak Pendeta dan Pertapa, termasuk Sam-wi Locianpwe (Tiga Orang-tua Gagah) yang sengaja mengasingkan diri, bertapa dengan maksud melakukan samadhi dan menjauhkan diri dari kesenangan dunia sehingga tidak terpengaruh oleh nafsu-nafsu sendiri? Bukankah itu berarti pengendalian nafsu?"

   Pek Giok mengejar. Khong-Sim Sin-Kai mengangguk-anggukkan kepala tiga kali.

   "Memang benar itulah yang dimaksudkan dan dikehendaki, akan tetapi hanya berapa orang sajakah yang berhasil? Keberhasilan itupun tidak sempurna, kebanyakan hanya perasaannya sendiri saja yang mengira bahwa mereka berhasil menundukkan nafsunya sendiri. Padahal, dalam samadhinya itu mereka memupuk segala macam kepandaian dan kesaktian, dan itupun hasil dari dorongan nafsu."

   Dengan nada suara serius Khong-Sim Sin-Kai lalu berkata melanjutkan keterangannya.

   "Manusia tidak mungkin berhasil sepenuhnya mengendalikan nafsu-nafsunya sendiri melalui kemauan dan akal pikirannya. Mengapa demikian? Karena justeru nafsu itu bersarang di dalam hati akal pikirannya. Daya-daya rendah yang menjadi peserta manusia berusaha menguasai manusia dan menjadi nafsu yang semula memang bertugas menjadi hamba manusia. Namun karena nafsu itu mengandung kenikmatan dan manusia yang jiwanya sudah tertutup oleh daya nafsu, maka menjadi lemah dan keinginannya hanya mengejar kesenangan dan kenikmatan itu. Dengan demikian, maka bukan lagi jiwa yang murni yang memimpin segala prilakunya, melainkan digantikan oleh nafsu. Nafsu yang semestinya menjadi hamba manusia, berbalik menjadi majikan dan si manusia menjadi budaknya. Bahkan hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu itu seringkali menjadi pembela yang membenarkan tindakan yang dibimbing nafsu itu. Setiap pelaku kejahatan seperti maling, perampok, koruptor dan penjahat Iainnya selalu saja melalui pikirannya mencari alasan untuk membenarkan tindakan mereka yang tidak benar. Hati akal pikiran mereka itu mengerti sekali bahwa perbuatan mereka jahat dan tidak benar karena melalui pikiran mereka telah mempelajari semua ajaran melalui agama masing-masing bahwa perbuatan mereka itu jahat dan dosa. Akan tetapi justeru pikiran mereka sendiri yang dipengaruhi nafsu berusaha keras untuk membela dan membenarkan tindakan itu!"

   "Wah, kalau begitu sungguh sukar dan berbahaya adanya nafsu-nafsu itu, Lo-Cianpwe,"

   Kembali Pek Giok berkata, menyadari bahwa kemarahannya yang menjurus kepada kebenciannya terhadap Song Han Bun yang sebetulnya ia cinta itu juga merupakan nafsu yang membentuk cemburu!

   "Lalu bagaimana caranya manusia dapat mengendalikan nafsu kalau nafsu tidak dapat dibunuh?"

   "Tidak ada cara bagaimana harus mengendalikan nafsu karena keinginari mengendalikan nafsu itupun merupakan ulah nafsu itu sendiri yang melihat bahayanya nafsu lalu ingin terbebas dari nafsu sehingga dapat hidup senang. Hanya TUHAN dengan kekuasaan-Nya yang dapat menundukkan nafsu karena nafsu adalah ciptaan-Nya. Kekuasaan TUHAN saja yang dapat menundukkan nafsu sehingga nafsu kembali ke tugasnya semula, yaitu menjadi pelayan manusia selagi manusia hidup di dunia."

   "Maaf, Suhu,"

   Kata Han Bun yang mendukung pertanyaan Pek Giok tadi.

   "Lalu apa usaha kita agar kekuasaan TUHAN dapat berkarya menolong kita menundukkan nafsu yang menguasai kita itu?"

   "Kekuasaan TUHAN akan bekerja dan sejak dulu sudah bekerja, baik di luar maupun di dalam diri kita, bekerja di mana saja, mengatur semua ciptaan-Nya. Kalau hati akal pikiran kita bekerja, padahal sudah bergelimang nafsu, TUHAN juga tidak melarang. TUHAN Maha Kasih, demikian mengasihi kita sehingga kita manusia diberi kebebasan seluas-luasnya. TUHAN Maha Kasih dan Maha Adil, maka keadilan-Nya yang membuat kita harus memetik buah dari hasil tanaman kita sendiri. Kekuasaan TUHAN akan bekerja, seperti bekerja-Nya ketika membuat jantung kita berdetik sepanjang masa hidup kita, seperti bekerja-Nya ketika tubuh kita, rambut dan kuku, tumbuh, ketika kita dapat melihat, mendengar, mencium, merasakan dengan lidah atau senTUHAN, kekuasaan-Nya selalu bekerja kalau hati akal pikiran kita berhenti. Kalau kita berserah diri sepenuhnya, pasrah lahir batin selengkapnya dengan sabar dan ikhlas, kalau kita pasrah tanpa mencampuri dengan hati akal pikiran kita, maka kekuasaan TUHAN pasti akan bekerja dan kekuasaan-Nya yang penuh cinta kasih itu akan sedikit demi sedikit membebaskan kita dari gelimang dan pencemaran nafsu daya rendah. Kalau jiwa kita sudah tersentuh kekuasaan TUHAN, jiwa kita tersentuh Jiwa Besar, roh kita tersentuh Roh Suci, maka jiwa kita yang dibersihkan akan sepenuhnya mengendalikan seluruh alat tubuh Kalau sudah begitu, nafsu daya rendah kita kembali menjadi alat atau pelayan kita, bukan lagi memperhamba kita. Kalau sudah begitu, seluruh badan kita dibersihkan, gerakan menurut jiwa kita yang sudah terbimbing oleh kekuasaan TUHAN sehingga jiwa itu dalam keadaan badan bagaimana pun, sehat atau sakit, senang atau susah selalu berserah diri dalam bimbingan-Nya."

   "Suhu pernah menjelaskan semua itu kepada Teecu,"

   Kata Han Bun.

   "Mohon penjelasan apakah lalu dalam kehidupan ini kita hanya menyerahkan segalanya kepada TUHAN, pasrah bongkokan begitu kepada-Nya?"

   Khong-Sim Sin-Kai tersenyum.

   "Banyak Pendeta atau Pertapa melakukan itu, dan Ini jelas menyalahi kodrat TUHAN. Kita Ini jiwa-jiwa yang diberi badan dan diciptakan di dunia oleh TUHAN tentu bermaksud agar kita hidup di dunia dan mengatur hidup kita. Kalau TUHAN tidak menghendaki demikian, kalau tidak menganggap penting kehidupan manusia di dunia, mengapa kita diciptakan hidup di sini? Buktinya, semua mahluk yang di-ciptakan hidup di dunia ini diberi perlengkapan sempurna untuk dapat hidup. Tumbuh-tumbuhan dengan akarnya untuk mencari makan, binatang-binatang dengan perlengkapannya masing-masing sehingga dapat mencari makan yang telah dikodratkan menjadi makanannya. Apalagi manusia, diberi perlengkapan badan yang sempurna dari rambut sampai ke telapak kaki, ditambah lagi dengan hati akal pikiran dan nafsu-nafsunya. Maka, tidak menggunakan perlengkapan itu untuk hidup di dunia, mendatangkan kesejahteraan bagi dunia seisinya selain untuk diri sendiri dan keluarga, merupakan dosa! Dosa terhadap Sang Maha Pencipta yang telah menganugerahkan semua ini kepada kita. Kita harus memanfaatkannya, harus bekerja, harus berusaha untuk kepentingan hidup ini! Jadi, untuk kesejahteraan hidup di dunia ini, kita harus menggunakan segala kemampuan alat tubuh kita termasuk hati akal pikiran. Adapun untuk kedamaian abadi setelah kita meninggalkan dunia ini, kita serahkan sepenuhnya kepada TUHAN."

   Kini Song-Bun Lojin, setelah keheningan yang amat mendalam berlangsung beberapa saat mengikuti terhentinya bicara Khong-Sim Sin-Kai, berkata dengan suara gembira.

   "Nah, anak-anak, kukira kalian sudah mengerti sekarang. Dalam kehidupan di dunia ini, kita wajib bekerja, berusaha, berikhtiar semampu kita untuk mendatangkan kesejahteraan kepada diri sendiri dan sesama kita, kepada manusia dan lingkungan, menggunakan semua alat tubuh ini agar dapat menjadi penyalur berkat TUHAN dan membantu pekerjaan-Nya. Namun di dasar semua ikhtiar kita itu, kita landasi dengan penyerahan total, pasrah jiwa raga dengan sabar dan ikhlas kepada TUHAN Yang Maha Esa. Karena sesungguhnya, segala macam ikhtiar kita itu amatlah terbatas dan sama sekali tidak menjamin keberhasilan mutlak. Berhasil atau tidaknya usaha dan ikhtiar kita, seluruhnya tergantung kepada penentuan TUHAN belaka. Dan patut diingat keterangan Khong-Sim Sin-Kai tadi bahwa penyerahan diri secara total, penyerahan jiwa tanpa dibantu keinginan hati akal pikiran yang bergelimang nafsu, akan menundukkan nafsu dan membersihkan jiwa sehingga kekuasaan TUHAN dengan Roh Suci-Nya akan bekerja dan membimbing kita."

   Kemudian, hening di puncak bukit itu. Keheningan yang menghanyutkan dan tiga orang muda itu merasa seolah mereka melayang-layang seperti awan-awan putih yang bergerak perlahan di angkasa, tampak seperti sekelompok domba-domba putih beriringan pulang ke kandang mereka. Tiga orang Kakek sakti itu meninggalkan puncak bukit, mengambil jalan mereka masing-masing, diantar ucapan terima kasih dan selamat jalan oleh murid masing-masing yang berlutut memberi hormat. Setelah mereka pergi, Song Han Bun, Can Pek Giok, dan Lui Hong saling menghampiri dan mereka bertiga duduk saling berhadapan di atas batu. Dengan sejujurnya Song Han Bun yang menatap wajah Can Pek Giok berkata kepada gadis itu dan juga kepada Lui Hong.

   "Nona Can Pek Giok dan Saudara Lui Hong, maafkan kesalahpahaman tadi. Aku memang seorang yang lemah dan aku mengaku salah."

   Mendengar pengakuan salah yang diucapkan dengan jujur ini, baik Pek Giok maupun Lui Hong merasa malu dan menyesal kepada sikap mereka sendiri. Memang sesungguhnya demikianlah watak hampir semua manusia, tidak mau kalah kalau dijahati maupun dibaiki. Kalau dicubit ingin balas memukul, sebaliknya kalau diberi sepuluh ingin membalas dua puluh! Karena itu, tepatlah nasihat para bijaksana bahwa apa pun sikap kita kepada orang lain pasti akan berbalik kepada diri kita sendiri. Kalau kita ingin orang lain menyayangi kita, kita haruslah menyayangi orang lain, kalau kita ingin orang lain menghormati kita, kita harus menghormati orang lain. Senyum tulus kita akan dibalas tawa ramah, cemberut kita akan dibalas sumpah serapah!

   "Ah, sama sekali tidak, Saudara Song Han Bun. Akulah yang terburu nafsu menyangka yang bukan-bukan terhadap dirimu, maafkan kebodohanku tadi!"

   Kata Lui Hong.

   "Ah..., aku... aku pun minta maaf. Aku yang menuduhmu yang kulakukan dengan ngawur karena... karena... aku..."

   Pek Giok berkata tersendat-sendat.

   "Karena engkau cemburu, Nona Can?"

   Lui Hong melanjutkan dan Pek Giok melotot kepadanya, akan tetapi mukanya berubah kemerahan dan ia tidak membantah.

   "Ah, tidak apa-apa, Nona Can Pek Giok. Memang, harus kuakui bahwa bibit permusuhan itu dulu yang menanamnya adalah mendiang Ayahku. Harus kuakui bahwa mendiang Ayahku adalah seorang yang berhati keras dan tidak mau kalah, maka wataknya itu mula-mula menimbulkan permusuhan antara keluarga Song dan keluarga Can. Kemudian di tambah lagi dengan datangnya Kakak-beradik Lee yang merusak keluargaku sehingga permusuhan keluarga Song dengan keluarga Can menjadi semakin berkembang. Sungguh menyesal sekali aku pulang terlambat sehingga tidak dapat mencegah semua kejadian itu. Akan tetapi Ibuku telah menjelaskannya semua dan aku harap engkau dapat memaafkan semua kesalahan keluargaku, Nona Can Pek Giok."

   "Hei! setelah semua persoalan dapat dibikin terang dan semua pihak sudah saling minta dan memberi maaf, kenapa engkau masih bersikap sungkan, Saudara Han Bun? Perlukah engkau menyebut Nona kepada Can Siocia dan apakah ia harus menyebut engkau Tuan?"

   Lui Hong mencela sambil tertawa.

   "Hemm, Saudara Lui Hong, habis aku harus menyebut apa?"

   Tanya Han Bun yang sebetulnya sudah dapat menduga ke mana arah pembicaraan pemuda itu.

   "Ah, hal itu tentu saja terserah kepada kalian berdua. Sekarang aku mohon pamit karena ada urusan penting yang harus kuselesaikan,"

   Kata Lui Hong.

   "Hong-ko (Kakak Hong), engkau tentu tidak akan membiarkan puteri Jaksa Li itu hidup menderita, bukan?"

   Tanya Pek Giok untuk membalas godaan Lui Hong tentang sebutan antara ia dan Han Bun tadi. Kini wajah Lui Hong menjadi kemerahan dan dia cepat menjawab,

   "Tentu saja, Giok-moi."

   Dia juga senang disebut Hong-Ko oleh gadis itu maka dia menyebut Giok-moi (Adik Giok) karena bagaimanapun juga mereka berdua pernah menjadi tunangan resmi! "Adalah kewajibanku untuk menjaga dan melindunginya."

   Setelah berkata demikian, dia bangkit, memberi hormat kepada Pek Giok dan Han Bun, kemudian dengan cepat tubuhnya berkelebat menuruni puncak bukit.

   "Pemuda yang baik dan ilmu kepandaiannya juga amat hebat,"

   Kata Han Bun memuji Lui Hong.

   "Ya, dia amat baik dan setia membela keluarga kami,"

   Kata Pek Giok, kini tidak lagi merasa benci kepada Lui Hong karena ia tahu bahwa Lui Hong memutuskan pertunangan mereka bukan karena semata menolaknya, melainkan karena pemuda itu selain telah mencinta seorang wanita lain, yaitu puteri Jaksa Li, juga Lui Hong tahu benar bahwa ada pertalian cinta kasih antara ia dan Han Bun.

   "Dan sekarang... eh, Bun-Ko, bagaimana dengan kita...?"

   Biarpun pertanyaan ini dilakukan dengan nada suara datar lirih dan agak ragu, namun sempat membuat jantung Han Bun tergetar, apalagi mendengar gadis itu menyebutnya Bun-Ko (Kakak Bun).

   "Giok-moi...,"

   Katanya dan suaranya mengandung getaran haru.

   "Engkau tentu mengetahui bahwa sejak pertama kali kita saling berjumpa, aku jatuh cinta kepadamu. Sampai sekarang aku tetap mencintamu dan sampai selamanya, semoga TUHAN memperkenankan, aku akan tetap mencintamu. Aku tahu pula dari Ibuku bahwa orang-tuamu dan orang-tuaku juga sebetulnya setuju kalau kita dijodohkan, akan tetapi Ayahmu dulu menolak karena hal itu memang tidak mungkin terjadi karena engkau sudah ditunangkan dengan Lui Hong. Sekarang, Lui Hong telah memilih sendiri jodohnya, kita berdua sudah bebas, oleh karena itu, apabila engkau tidak keberatan, Giok-moi, aku akan minta kepada Ibuku agar menemui Ibumu dan membicarakan tentang perjodohan antara kita. Bagaimana pendapatmu?"

   Wajah Pek Giok kini berseri dan berwarna kemerahan, mulutnya tersenyum akan tetapi pandang matanya hanya sejenak menatap wajah Han Bun lalu ia menundukkan pandang matanya.

   "Sesukamulah, Bun-Ko, aku sih setuju saja. Hanya... rasanya aku belum siap sebelum aku dapat membunuh si jahanam Pek-Bin Giam-Lo, membalas dendam atas pembunuhan yang dia lakukan kepada Ayahku dan Ayahmu."

   "Nanti dulu, Giok-moi. Apakah kita sudah lupa akan semua keterangan dan nasihat yang kita terima dari ketiga Lo-Cianpwe yang bijaksana tadi? Kita harus menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri kita dan pada semua mahluk tidaklah menyimpang dari garis yang telah ditentukan oleh TUHAN, melalui hukum karma, hukum sebab akibat yang mendasari kebijaksanaan dan keadilan-Nya. Apa pun yang terjadi dengan diri kita dan segala mahluk, seperti yang telah terjadi menimpa Ayah kita, sudah menjadi garis mereka pula dan tidak mungkin dapat diubah oleh siapapun juga. Kalau kita mendendam, berarti kita membiarkan racun tumbuh dalam hati kita dan kita membiarkan karma mengikat kita sehingga akan terjadi dendam-mendendam yang tiada berkesudahan. Jangan membiarkan kita menjadi sebab, karena kelak kita akan memetik akibatnya. Biarlah TUHAN sendiri yang akan menghukum siapa yang semestinya dihukum dan memberi anugerah kepada siapa yang sepatutnya diberi anugerah. bagaimana pendapatmu, Giok-moi?"

   Sejenak Pek Giok termenung dan perlahan-lahan beberapa tetes air mata menjatuhi pipinya. Ia teringat akan Ayahnya yang dibunuh orang, juga menyadari bahwa ia tidak boleh menjadi hakim sendiri menjatuhkan hukuman kepada orang yang telah membunuh Ayahnya. Ia menyadari bahwa Pek-Bin Giam-Lo yang sudah tua itu membunuh Ayahnya dan Ayah Han Bun untuk membalas dendam atas kematian muridnya, Bu-Eng-Kwi Tok Liong Taisu yang tewas di tangannya dan di tangan Han Bun. Kalau sekarang ia lalu membalas dendam dan membunuhnya, lalu apa bedanya ia dengan Pek-Bin Giam-Lo? Sama-sama terlibat dalam karma dendam-mendendam dan balas-membalas. Ia harus merelakan kematian Ayahnya dan menyerahkan hukuman kepada Pek-Bin Giam-Lo sebagai akibat kejahatannya itu kepada TUHAN.

   "Engkau benar, Bun-Ko. Aku setuju dan marilah kita pulang."

   Han Bun merasa girang sekali. Terutama karena kini Pek Giok agaknya sudah banyak berubah setelah selama tiga tahun menerima gemblengan dari Song-Bun Lojin yang sakti dan bijaksana. Pek Giok bukan lagi gadis yang dulu galak dan keras hati. Sungguhpun masih lincah dan pemberani, namun ia memiliki pertimbangan yang bijaksana dan memiliki pengertian. Mereka berjalan santai dan entah siapa yang bergerak lebih dulu, mereka, berjalan perlahan menuruni puncak itu sambil bergandeng tangan!

   Lui Hong langsung menuju ke rumah Jaksa Li, disambut oleh Jaksa Li, isterinya dan Li Sian Hwa yang menangis tersedu-sedu ketika Lui Hong datang. Mereka duduk di ruangan tamu dan Sian Hwa berkata di antara isaknya.

   "Hong-Ko, tolonglah, Hong-Ko. Tolong kau selamatkan anakku Bu San dari tangan Si Kejam itu...!"

   Lui Hong menghela napas panjang, dengan sikap tak berdaya dia memandang kepada Jaksa Li dan Nyonya Li yang juga menangis sedih. Jaksa Li agaknya mengerti akan kebingungan Lui Hong, maka dia pun hanya menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya.

   "Hwa-moi, dengarkan aku baik-baik dan hentikan tangismu, tenangkan hati dan pikiranmu dan mari kita pertimbangkan dengan baik-baik apa yang harus kita lakukan menghadapi peristiwa ini. Sama sekali bukan karena aku tidak mau membantumu atau karena aku takut melakukan dan memenuhi permintaanmu itu, akan tetapi kita harus menyadari bahwa hal itu sungguh tidak mungkin dilaksanakan."

   Mendengar ini, Sian Hwa menghentikan tangisnya, mengusap mukanya dengan saputangan dan menatap wajah Lui Hong dengan heran.

   "Apa apa maksudmu, Hong-Ko? Mengapa tidak mungkin? Bu San itu anakku! Aku yang mengandungnya, aku yang melahirkannya. Dia milikku, harus kudapatkan kembali!"

   Lui Hong menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya.

   "Sayang sekali peraturan pemerintah maupun kebiasaan rakyat tidak menganggapnya begitu, Hwa-moi. Sejak dahulu, semua orang dan juga pemerintah sudah menentukan bahwa yang berhak terhadap seorang anak, apalagi seorang anak laki-laki, adalah Ayah kandungnya. Pengadilan negeri akan membenarkan si Ayah kandung kalau terjadi perebutan dengan Ibu kandung si anak. Juga pendapat umum akan menyalahkan si Ibu. Andaikata aku dapat merebut anak itu dari tangan Leng Sui, maka akibatnya, engkau, aku dan anak itu akan menjadi buronan, mungkin dikejar oleh Pemerintah Cin dan juga Pemerintah Sung, bahkan ditentang oleh umum. Apa engkau menghendaki hal itu terjadi?"

   Mendengar ini, Sian Hwa tidak mampu menjawab, hanya terisak perlahan. Terdengar Jaksa Li berkata dengan tegas,

   "Sian Hwa, apa yang dikatakan Lui Hong itu benar sekali. Anakmu, Leng Bu San adalah hak dari Ayahnya, hal ini tidak bisa diganggu-gugat. Kalau engkau memaksa Lui Hong menggunakan kekerasan merampas Bu San padahal anak itu kini sudah dibawa ke Kotaraja Yen-Ching (Peking di jaman Kerajaan Cin), selain amat sukar dan berbahaya, juga andaikata berhasil, tentu Pangeran Leng Sui akan mengerahkan pasukan untuk melakukan pengejaran dan perampasan kembali. Dan patut diingat bahwa kalau Perdana Menteri Chin Kui mendengar, dia tentu akan membantu Pangeran Leng Sui dan ikut mengerahkan pasukan melakukan pencarian. Kalau sudah begitu, apa daya kita?"

   Mendengar ini, Li Sian Hwa hanya dapat menangis sedih. Lui Hong menjadi bingung dan tidak tega melihat wanita yang dikasihinya menderita demikian hebat. Sudah merasa sengsara menjadi isteri Leng Sui, kini harus berpisah dari putera kandungnya!

   "Hwa-moi, percayalah kepadaku. Sejahat-jahatnya seorang manusia, tidak mungkin seorang Ayah kandung akan menyengsarakan putera kandungnya. Aku merasa yakin bahwa Leng Sui tentu akan memelihara Bu San dengan baik dan penuh kasih sayang. Kelak, kalau anakmu itu sudah besar dan mengerti, pasti dia akan mencari Ibu kandungnya. Akulah yang kelak akan menerangkan kepadanya, apa yang telah dilakukan Leng Sui kepadamu, Ibu kandungnya."

   Akhirnya, setelah dihibur oleh Lui Hong, Jaksa Li dan Nyonya Li, Sian Hwa dapat menenangkan hatinya. Dalam kesempatan itu dengan terus terang Jaksa Li menyatakan penyesalannya akan sikapnya dahulu yang menolak Lui Hong berhubungan dengan puterinya. Dan dengan terus terang Lui Hong mengakui bahwa bagaimanapun juga, dia masih mencintai Li Sian Hwa yang kini telah menjadi janda.

   Dia sanggup untuk membela dan melindungi janda muda itu sebagai isterinya, kalau Sian Hwa mau menerimanya dan kalau Ayah-Ibunya menyetujuinya. Sian Hwa yang memang sejak dulu kagum dan jatuh cinta kepada Lui Hong, tentu saja menyambut dengan senang dan penuh harapan akan mengalami keadaan hidup yang lebih baik daripada yang sudah ia alami ketika menjadi isteri Leng Sui selama sekitar dua tahun lebih. Sementara itu, bagi Jaksa Li dan isterinya merupakan suatu penghormatan dan hiburan besar karena tentu saja amat memalukan dan mencemarkan nama dan kehormatan keluarganya kalau puteri tunggalnya menjadi seorang janda yang bukan hanya ditinggalkan suami, bahkan dipisahkan dari puteranya. Kini ia akan menjadi isteri Lui Hong, berarti puteri mereka mendapatkan kehormatan baru sebagai Nyonya Lui. Dan keadaan Lui Hong juga tidak mengecewakan.

   Dia seorang pemuda terpelajar dan selain itu juga seorang pendekar besar yang namanya disegani dan dihormati banyak orang. Demikianlah, setelah disetujui kedua pihak, juga orang tua Lui Hong, yaitu Lui Siong dan isterinya menyetujui, pernikahan antara Lui Hong dan Li Sian Hwa dilangsungkan dengan perayaan sederhana namun cukup meriah. Sederhana karena pengantin wanitanya seorang janda sehingga perayaannya berbeda dengan pernikahan seorang gadis. Namun perayaan itu dilaksanakan cukup khidmat dan terhormat karena bagaimanapun juga, Li Koan adalah seorang jaksa di Kotaraja yang dihormati karena keadilan dan kebersihannya dalam ruangan pengadilan, seorang pejabat pengadilan yang sama sekali tidak dapat disogok, tidak dipengaruhi uang dan tidak takut menghadapi pengaruh siapa pun demi menegakkan keadilan.

   Tentu saja dalam perayaan pernikahan itu hadir pula Nyonya Can sebagai tamu kehormatan, dan juga Can Pek Giok dan Song Han Bun yang secara resmi telah bertunangan atas persetujuan Ibu masing-masing. Setelah menikah, Lui Hong memenuhi permintaan mertuanya untuk tinggal di Kotaraja, di mana dia dengan mudah dapat membantu sang mertua dalam kantor pengadilan karena memang Lui Hong memiliki pendidikan yang cukup tinggi dalam hal kesusastraan. Karena Li Sian Hwa merupakan anak tunggal, maka orang tuanya merasa berat untuk berpisah dan kini tinggallah Lui Hong di rumah gedung Jaksa Li yang cukup besar. Kurang lebih tiga bulan setelah Lui Hong menikah dengan Li Sian Hwa, pernikahan dilangsungkan antara Can Pek Giok dan Song Han Bun.

   Karena kedua mempelai ini sudah tidak mempunyai Ayah lagi, maka Nyonya Song dan Nyonya Can bersepakat untuk merayakan pernikahan itu bersama-sama sehingga pesta pernikahan dirayakan cukup meriah. Bukan hanya para sahabat dan kenalan di kota Sung-Kian yang hadir, bahkan banyak pula tamu dari Kotaraja, di antaranya bahkan Pangeran Liang Tek Ong sendiri berkenan hadir! Juga beberapa orang tokoh dari Bu-Tong-Pai di mana Han Bun pernah menjadi murid tersayang, dan beberapa prang tokoh Kun-Lun-Pai di mama Can Pek Giok pernah menjadi murid Kun-Lun Sam-Sian (Tiga Dewa Kun-Lun) datang memenuhi undangan murid-murid mereka. Setelah Pek Giok dan Han Bun menikah, terjadi semacam perebutan antara Nyonya Can dan Nyonya Song.

   Karena masing-masing hanya mempunyai seorang anak, maka keduanya tentu saja menghendaki agar anak dan mantu mereka yang hanya satu-satunya itu tinggal bersama mereka di rumah masing-masing. Dengan bijaksana Pek Giok dan Han Bun lalu melerai dan terpaksa mereka tidak berpihak dan mereka tinggal bergiliran di kedua rumah orang tua mereka itu. Sebulan tinggal di rumah Nyonya Can dan sebulan kemudian tinggal di rumah Nyonya Song. Demikian setelah beberapa bulan, akhirnya dua orang Ibu yang cukup bijaksana itu mengambil jalan tengah, yaitu mereka membiarkan kedua orang anak mereka yang telah menjadi suami-isteri itu membeli dan memiliki sebuah rumah sendiri. Dengan demikian mereka dapat saling mengunjungi dan sementara itu memberi kesempatan kepada suami-isteri itu untuk membangun sebuah rumah tangga sendiri dan hidup berbahagia.

   Sementara itu, dengan hati panas namun juga tidak berdaya, Pangeran Leng Sui kembali ke utara, ke kota raja Yen-Ching dan melaporkan apa yang terjadi di Hang-Chouw. Akan tetapi sebelum Kaisar Kerajaan Cin marah, dengan cepat telah datang utusan dari Perdana Menteri Chin Kui yang mengatas-namakan Kaisar Sung Kao Cu minta maaf atas sikap Pangeran Liang Tek Ong terhadap Pangeran Leng Sui. Bagaimanapun juga, Leng Sui cukup puas bahwa dia dapat membawa pulang Leng Bu San karena selain hal itu dapat menyakitkan hati Li Sian Hwa yang dibencinya, juga dia dapat mendidik puteranya itu agar kelak memusuhi Lui Hong dan Li Sian Hwa.

   Sementara itu, Ang-Hwa Niocu Siang-koan Ceng, akhirnya menerima pinangan Pangeran Leng Sui dan menjadi isterinya. Terkabul harapannya untuk menjadi isteri Pangeran dengan harapan kelak menjadi permaisuri kalau Pangeran Leng Sui dapat menjadi Kaisar Kerajaan Cin! Wanita yang amat cerdik ini benar-benar telah menguasai Pangeran Leng Sui sehingga suami itu selalu menuruti kemauan Ceng Ceng, bahkan tidak berani mengambil seorang pun selir! Perdana Menteri Chin Kui mendapat teguran keras dari sekutunya, yaitu Kaisar Kerajaan Cin tentang penghinaan yang dilakukan Pangeran Liang Tek Ong kepada Pangeran Leng Sui. Karena itu, Perdana Menteri Chin Kui tidak tinggal diam dan berusaha keras untuk membalas dengan melenyapkan Pangeran Liang Tek Ong yang memang sejak dahulu paling berani menentangnya.

   Untuk terang-terangan memusuhi Pangeran Liang Tek Ong dia masih ragu dan khawatir karena dia tahu bahwa Kaisar Sung Kao Cu sayang dan percaya kepada adiknya itu. Akhirnya, setahun kemudian dia berhasil melenyapkan Pangeran Liang Tek Ong dengan cara mengirim orang-orang yang sakti untuk membunuh Pangeran Liang Tek Ong dalam Istananya. Kotaraja menjadi gempar ketika semua orang mendengar berita bahwa Pangeran Liang Tek Ong kedapatan tewas dengan dada tertembus pedang, terbunuh tanpa si pembunuh meninggalkan jejak sama sekali. Tentu saja para pendekar yang berjiwa patriot dan yang kagum dan menghormati Pangeran Liang Tek Ong menjadi penasaran dan berduka. Mereka berusaha keras untuk menyelidiki dan membalas dendam, akan tetapi jejak si pembunuh tidak diketahui.

   Banyak yang menduga bahwa ini tentu perbuatan yang didalangi oleh pemerintah Kerajaan Cin atau mungkin juga dari Bangsa Mongol yang mulai bangkit. Biarpun ada pula yang menduga tangan kotor Perdana Menteri Chin Kui yang bertanggung jawab, namun karena memang tidak ada buktinya, tidak ada yang dapat menuduhnya. Bahkan Kaisar Sung Kao Cu sendiri, biarpun berduka atas kematian Pangeran Liang Tek Ong, tidak dapat menuduhnya, bahkan Kaisar tidak percaya kalau Perdana Menterinya itu yang menjadi dalang. Terutama sekali Song Han Bun dan Can Pek Giok yang ketika itu telah mempunyai seorang anak puteri berusia satu bulan, menjadi penasaran. Song Han Bun ikut pula melakukan penyelidikan dan dia hanya dapat mengetahui bahwa pembunuh itu memiliki ilmu pedang yang amat hebat.

   Pedang itu menembus dada dan jantung dan saking tajamnya, ketika melalui tulang-tulang iga, tulang itu terbabat putus dengan rapi seolah tulang iga itu lunak saja, sayatannya tak meninggalkan bekas! Akan tetapi dia pun tidak menemukan jejak si pembunuh. Yang mula-mula melakukan penyelidikan tentu saja Lui Hong karena dia tinggal di Kotaraja dan dia pula yang memberi kabar kepada Song Han Bun. Mereka berdua melakukan penyelidikan namun sia-sia belaka. Beberapa bulan kemudian, Li Sian Hwa setelah satu setengah tahun menikah dengan Lui Hong, juga melahirkan seorang anak laki-laki. Tentu saja hal ini amat membahagiakan hati Sian Hwa dan kedua orang tuanya, menghibur mereka, dari kedukaan kehilangan Leng Bu San. Putera Lui Hong diberi nama Lui Tiong Lee, sedangkan puteri Song Han Bun diberi nama Song Bwe Cin.

   Biarpun kematian Pangeran Liang Tek Ong merupakan kehilangan besar bagi Kerajaan Sung yang semakin lemah, namun harus diakui bahwa politik yang dijalankan Perdana Menteri Chin Kul yang selalu mendekati Kerajaan Cin dan juga Kerajaan-kerajaan lain seperti Shi-Sia dan Mongol membuat Kerajaan Sung masih bertahan.

   Namun pemerintahannya semakin lemah, para pejabatnya semakin angkara murka, saling berlumba menumpuk kekayaan dan mereka tidak segan-segan membebani rakyat dengan pajak-pajak yang berat. Masih beruntung bahwa Kaisar Sung Kao Cu (1127-1162) yang lemah itu menghormati kaum beragama sehingga pada jaman itu Sam Kauw (Tiga Agama : Buddhism, Confucianism, dan Taoism) berkembang dengan baik. Para Tosu (Pendeta Agama To) yang terkenal tekun mempelajari rahasia-rahasia alam dapat menemukan alat kompas yang semula dipergunakan untuk menentukan letak Hong-Sui (Angin dan Air) untuk memilih letak yang baik bagi bangunan rumah tinggal, makam, jembatan dan sebagainya.

   Setelah kompas ditemukan, mulailah alat itu dipergunakan untuk keperluan pelayaran, menentukan arah bagi perahu yang berada di tengah samudera. Mulailah Kerajaan Sung, dibantu oleh para Pendeta To, mengembangkan pelayaran sehingga dapat memiliki armada yang selain dapat memperkuat pertahanan di sungai dan lautan, juga dapat mengembangkan perdagangan lewat lautan. Sampai beberapa tahun lamanya tidak terjadi bentrokan atau pertempuran antara Kerajaan Sung dan Kerajaan Cin yang juga dikenal sebagai Bangsa Kathal. Bangsa ini merupakan perkembangan dari suku Cin yang dahulunya juga merupakan Bangsa Nomad yang suka berpindah-pindah.

   Setelah jumlah mereka mencapai banyak dan menjadi kuat, mereka berhasi mengusir Kerajaan Sung ke selatan dan menduduki Cina bagian utara, mendirikan Kerajaan On (Kerajaan Emas) yang cukup kuat dengan wilayah dari Sungai Yang-Ce ke utara sampai melewati Tembok Besar. Bahkan Kerajaan Cin sudah merasa demikian besar dan kuat sehingga pemerintahannya memaksa para kepala suku yang banyak terdapat di Gurun Gobi dan di sebelah utara Tembok Besar untuk membayar upeti kepada Kerajaan Cin. Karena takut menghadapi bala tentara Cin yang amat besar jumlahnya, hampir sejuta orang, para pimpinan suku Bangsa di utara dan barat-laut tidak berani membantah. Namun demi menjaga kehormatan mereka, para kepala suku ini mengirimkan upeti itu dengan sebutan "hadiah".

   (Lanjut ke Jilid 23)

   Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 23

   Diantara suku-suku Bangsa di utara itu, kiranya hanya suku Mongol saja yang lebih kuat daripada yang lain, terkadang menolak atau kalau mengirimi "hadiah"

   Juga tidak begitu banyak. Bukan hanya kepala suku, bahkan para kepala gerombolan penjahat juga terpaksa mengirim upeti kepada Kerajaan Cin karena kalau tidal, pasukan Cin tentu akan menyerang dan membasmi mereka.

   Biarpun pada jaman itu terdapat banyak penguasa daerah yang kecil-kecil, namun yang patut dicatat dan yang terbesar hanyalah tiga, yaitu paling utara di luar bahkan jauh dari Tembok Besar adalah Bangsa Mongol, kemudian di luar Tembok Besar sampai ke sebelah dalam terus ke selatan dengan perbatasan Sungai Yang-Ce adalah Kerajaan Cin, kemudian paling selatan yang kini menguasai armada yang cukup kuat adalah Kerajaan Sung. Dan agaknya tiga kekuatan besar itu tidak ingin melibatkan diri dalam perang terbuka. Agaknya masing-masing lebih memusatkan perhatian mereka untuk menghimpun kekuatan. Maka yang terjadi hanyalah semacam "perang dingin"

   Dan semua ini merupakan hasil siasat politik Perdana Menteri Chin Kui yang mengulurkan tangan damai dengan Kerajaan Cin maupun dengan Bangsa Mongol yang ketika itu diwakili oleh Pangeran Baduchin.

   Kerajaan Cin yang beribu kota Yen-Ching tampaknya makmur juga. Biarpun sebagian besar rakyatnya adalah petani dan peternak domba, juga ada budak belian dan pengemis. Akan tetapi banyak juga terdapat kaum terpelajar, perajurit, pegawai pemerintah dan para Bangsawan. Akan tetapi karena mereka itu keturunan suku Bangsa petualang, mereka yang dahulunya tinggal di daerah yang sulit dan keras, mereka adalah orang-orang yang kuat, pandai menunggang kuda, pemanah-pemanah ulung, dan pandai berperang.

   Kerajaan Cin diperintah seorang Kaisar yang didewa-dewakan rakyatnya karena seorang Kaisar bergelar Thian-Cu (Putera TUHAN) dan keluarga Istana dinamakan Keluarga Sorga! Mengenai filsafat kehidupan Bangsa Cin pada umumnya tidak banyak bedanya dengan Bangsa pribumi dan suku-suku lain di Cina Selatan. Bangsa Cin juga menghargai pelajaran Tiga Agama yang besar pengaruhnya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Terutama sekali tata-susila menurut yang diajarkan Khong-Cu. Mereka memuja leluhur mereka, bersembahyang di depan keping-keping kayu yang diatur dan yang melambangkan jiwa Nenek-Moyang mereka yang telah meninggal. Mereka yang tidak miskin mengenakan pakaian dari sutera yang beraneka warna, sedangkan para budak berpakaian dari kapas dan tidak boleh memakai sepatu. Para pejabat tinggi diiringi budak-budak yang memayungi tuan mereka.

   Untuk menjaga keselamatan keluarga dan agar jangan ada setan yang "tersesat jalan"

   Memasuki rumah, mereka memasang Hu (Surat Jimat) di depan pintu. Mendengar akan kemakmuran Kerajaan Cin atau Kathai, banyak sekali suku-suku Bangsa liar yang tidak tinggi peradabannya, memasuki daerah Cin. Begitu berbaur, mereka itu seolah lenyap diisap oleh masyarakat dan mereka meniru adat istiadat, berpakaian, bahkan beragama seperti rakyat Kerajaan Cin. Sikap mereka dalam pergaulan sehari-hari adalah sikap yang telah menjadi tradisi sejak jaman dahulu, yaitu hormat kepada para dewa, hormat kepada Raja, dan hormat kepada orang-tua atau orang lebih tua. Akan tetapi di antara para terpelajar ada pula yang melancarkan kritik-kritik dalam bentuk sajak kepada Raja atau pejabat tinggi yang lalim dan korup.

   
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pemerintah Cin cukup kuat, memiliki persenjataan yang memadai dan di antaranya yang terkenal adalah senjata alat pelontar batu dengan busur yang talinya harus direntangkan belasan orang perajurit. Ada pula sejenis katapel yang tali-talinya harus direntangkan puluhan orang perajurit. Ada pula yang dinamakan api terbang, yaitu katapel yang menerbangkan bahan yang sudah dibakar. Ada pula semacam "meriam"

   Atau ranjau yang diledakkan dalam bumbung bambu besar, melontarkan peluru batu atau besi. Siangkoan Ceng, puteri Ketua Beng-Kauw yang kini telah menjadi isteri Pangeran Leng Sui, hidup dengan mulia dan terhormat. Diantara para puteri keluarga Istana Kerajaan Cin, tidak ada wanita yang memiliki pengaruh dan kekuasaan sebesar yang dimiliki Siangkoan Ceng.

   Bukan hanya Pangeran Leng Sui, suaminya, yang takut dan tunduk kepadanya sehingga Pangeran ini mengusir semua selirnya atas permintaan Siangkoan Ceng, bahkan para pejahat tinggi pun menghormati Nyonya Leng Sui ini. Juga Kaisar Kerajaan Cin yang mendengar akan kelihaian wanita itu, juga kagum dan segan kepadanya. Sebetulnya Siangkoan Ceng sepatutnya bersyukur karena ia telah mendapatkan kedudukan yang cukup mulia. Akan tetapi ada satu hal yang membuat ia seringkali termenung dengan hati kesal dan jengkel, yaitu, setelah menjadi isteri Leng Sui selama sepuluh tahun, ia tidak juga mempunyai anak. Hal ini tidaklah terlalu menjengkelkan karena ia pun tidak terlalu mendambakan anak, akan tetapi yang membuat ia jengkel adalah bahwa ia harus membiarkan Leng Bu San menganggap ia sebagai Ibu!

   Padahal anak itu sama sekali bukan anaknya, melainkan anak dari Leng Sui dan Li Sian Hwa dan sama sekali tidak ada rasa sayang sedikit pun dalam hatinya terhadap Leng Bu San yang kini telah berusia sebelas tahun. Selama sepuluh tahun ia terpaksa memperlakukan anak itu seperti anaknya sendiri walaupun sikapnya yang baik itu hanya secara lahiriah saja. Akhirnya setelah Leng Bu San semakin manja dan kolokan, ia tidak tahan lagi dan mencari akal untuk mengenyahkan anak itu dari kehidupannya. Pada suatu malam sehabis bermesraan dengan suaminya, Siangkoan Ceng berkata kepada Leng Sui dengan lembut, lebih seperti orang mengeluh daripada mengadu.

   "Pangeran, akhir-akhir ini aku merasa khawatir melihat sikap anak kita Bu San."

   Pangeran Leng Sui menatap wajah isterinya dan alisnya berkerut.

   "Hemm, apa yang dilakukan anak nakal itu? Apa dia bersikap kurang ajar kepadamu?"

   "Tidak, akan tetapi dia pernah mengatakan bahwa dia mendapat mimpi dan dalam mimpi itu dia bukan anak kandungku, bahkan dia mengatakan bahwa dalam mimpinya aku mengancam hendak mem-bunuhnya. Ah, aku merasa khawatir sekali. Aku sayang anak kita itu..."

   "Ah, bagaimana dia dapat mengetahui bahwa dia bukan anak kandungmu?"

   "Dia tidak tahu, dia hanya mimpi,"

   Kata Siangkoan Ceng.

   "Siapa tahu, mungkin berita itu ada yang membocorkan kepadanya."

   "Tapi siapa berani demikian lancang? Panggil Bu San ke sini sekarang juga, aku akan menanyainya!"

   "Tidak tepat kalau begitu, mungkin kalau ditanya dia akan takut mengaku. Sebaiknya menanti sampai dia cerita sendiri, seperti yang dilakukannya padaku."

   Mendengar ini, Pangeran Leng Sui menurut. Pada keesokan malamnya ketika Bu San tidur pulas dalam kamarnya, diam-diam Siangkoan Ceng dengan menggunakan kepandaiannya memasuki kamar itu tanpa ada yang mengetahuinya. la duduk di tepi pembaringan, memandang anak laki-laki yang berusia sebelas tahun dan yang sedang tidur pulas itu.

   Leng Bu San adalah seorang anak laki-laki yang tampan, mirip Ayahnya. Akan tetapi bentuk bibirnya mirip bibir Li Sian Hwa, Ibu kandungnya. Tubuhnya termasuk tinggi, tegap, kulitnya agak gelap dan rambutnya agak berombak. Seorang anak laki-laki yang ganteng. Akan tetapi justeru hal ini, terutama bentuk mulut yang mirip Ibunya itu, yang membuat Siang-koan Ceng kini memandang penuh kebencian. Alangkah mudah baginya untuk membunuh anak itu saat ini juga, pikirnya. Akan tetapi ia tidak bodoh, tidak mau melakukan hal yang tidak akan menguntungkan dirinya itu. Mulailah Siangkoan Ceng mengerahkan ilmu hitam seperti yang dahulu ia pelajari dari mendiang Tong Tong Lokwi. Ia meletakkan tangan kirinya menempel dahi anak itu, diam sambil membaca mantra dan memejamkan mata sejenak, lalu ia membuka mata menatap Bu San dan berbisik lirih,

   "Anak brengsek, engkau bukan anakku, engkau kularang menyebut Ibu padaku. Aku bukan Ibu kandungmu dan suatu saat aku akan membunuhmu!"

   Lalu ia mengulang-ulang kalimat terakhir itu.

   "Aku akan membunuhmu, akan membunuhmu, akan membunuhmu!"

   Dalam tidurnya, kini Bu San gelisah, bergerak-gerak seperti ketakutan. Setelah merasa cukup Siangkoan Ceng meninggalkan kamar itu. Pada keesokan harinya, Bu San menghadap Ayahnya. Dengan sikap penasaran dia bercerita kepada Ayahnya tentang mimpinya semalam.

   "Ayah, aku mimpi aneh sekali. Ibu kelihatan amat membenciku, memaki-maki dan mengatakan bahwa aku bukan anak kandungnya, bahkan ia mengancam akan membunuhku!"

   Leng Sui menatap wajah puteranya sambil mengerutkan alisnya.

   "Bu San, apa yang kau katakan ini? Engkau tahu betapa Ibumu amat menyayangmu."

   "Tapi dalam mimpi itu Ibu mengatakan bahwa aku bukan anak kandungnya!"

   "Hemm, dari siapa engkau mendengar akan hal itu?"

   Bu San memandang Ayahnya dengan mata terbelalak.

   "Jadi benar, Ayah? Aku bukan anak kandung Ibu? Kalau begitu, siapa Ibu kandungku?"

   Pangeran Leng Sui menghela napas panjang.

   "Engkau sekarang sudah besar dan akhirnya engkau tentu akan mengetahuinya juga. Baiklah, aku akan menceritakan terus terang. Dahulu aku tinggal di selatan, di kota Hang-Chouw, Ibu kota Kerajaan Sung sebagai wakil dari Kerajaan Cin kita. Aku jatuh cinta kepada Li Sian Hwa, puteri Jaksa Li Koan dan menikahinya. Akan tetapi setelah engkau lahir, sikap Li Sian Hwa itu berubah. Bahkan ketika engkau berusia satu tahun, Li Sian Hwa bersekongkol dengan seorang penjahat bernama Lui Hong dan mereka berusaha untuk membunuhku! Untunglah, pada saat aku terancam bahaya maut itu, muncul Ibumu Siangkoan Ceng yang menyelamatkanku. Maka terpaksa kita lalu melarikan diri dan pindah ke sini. Ibumu Siangkoan Ceng amat menyayangmu, justeru Li Sian Hwa itu yang jahat!"

   "Ayah, kalau begitu, antarkan aku ke Hang-Chouw, aku ingin melihat dan bertemu Ibu kandungku!"

   Kata Bu San.

   "Dan membiarkan mereka membunuhmu? Ah, Bu San, ketika kau berusia satu tahun saja, Ibumu dan penjahat Lui Hong itu sudah berusaha untuk membunuh kita berdua! Kalau engkau datang ke sana, sana saja artinya dengan menyerahkan diri untuk dibunuh!"

   "Akan tetapi kenapa, Ayah? Bagaimana mungkin Ibu kandungku sendiri ingin membunuhku?"

   "Karena kita ini Bangsa Cin, Anakku! Dan Li Sian Hwa itu seorang pribumi Han dan seperti semua orang Han, ia pun amat membenci kita orang Cin!"

   "Kalau ia membenci Bangsa Cin, mengapa ia menikah dengan Ayah?"

   Pangeran Leng Sui menghela napas panjang.

   "Semula ia memang mencintaku, akan tetapi setelah ia bertemu dengan jahanam Lui Hong itu, ia berbalik membenciku, ingin membunuhku dan juga membunuhmu."

   Tiba-tiba Leng Bu San menangis! Ayahnya sampai terkejut karena sejak kecil anak itu jarang sekali menangis. Setelah dapat meredakan tangisnya, Bu San berkata,

   "Ibu kandungku jahat!"

   "Ia kini malah menikah dengan jahanam Lui Hong,"

   Kata Pangeran Leng Sui yang telah mendengar akan hal itu.

   

Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini