Ceritasilat Novel Online

Antara Dendam Dan Asmara 9


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



"Kebahagiaan anak lebih besar lagi, Ayah. Tadinya kusangka bahwa aku adalah anak seorang kepala rampok, sungguhpun mendiang Ayah angkatku itu bukan sembarang perampok, akan tetapi ia memiliki jiwa gagah dan berwatak jujur pula. Akupun merasa amat berbahagia, Ayah."

   Sambil berkata demikian, dengan sikap manja Pek Giok memeluk Ibunya yang mengelus-elus rambutnya.

   "Anakku Pek Giok,"

   Berkata Ibunya.

   "Ada satu hal lagi yang akan memperlengkap kebahagiaan kita bersama, yakni... pernikahanmu, nak."

   Pek Giok terkejut dan melepaskan diri dari pelukan Ibunya untuk dapat memandang wajah Ibunya dengan mata terbuka lebar-lebar. Ibunya tersenyum melihat anaknya terkejut, karena ia maklum bahwa semua dara akan terkejut mendengar pembicaraan tentang pernikahan.

   "Pek Giok,"

   Katanya sambil menatap wajah anaknya yang menjadi kemerah-merahan itu.

   "Kau sudah cukup dewasa. Usiamu telah delapan belas tahun. Tengoklah, Ayah dan Ibumu sudah tua dan tidak ada lain kebahagiaan yang akan membuat Ayah-Bundamu meninggalkan dunia dengan senyum di bibir melainkan menyaksikan kau telah berumah tangga dan hidup berbahagia dengan suamimu."

   "Dan kedua tanganku sudah gatal-gatal untuk dapat menimang-nimang seorang cucu!"

   Kata pula Can-Kauwsu sambil tertawa-tawa gembira. Makin merahlah wajah Pek Giok mendengar ucapan ini dan ia hanya dapat menundukkan mukanya.

   "Pek Giok,"

   Kata pula nyonya Can.

   "Aku percaya bahwa kau tentu memiliki jiwa berbakti kepada orang-tuamu dan kau akan merasa suka dapat membahagiakan hati Ayah-Ibumu. Kamipun selalu berusaha untuk memilihkan seorang jodoh yang tepat dan cocok, anakku, dan kau takkan merasa kecewa dengan jodoh yang kami pilihkan untukmu."

   Pek Giok tetap diam saja, tak berani bergerak sedikitpun.

   "Sebelum kau pulang, Ayahmu dan aku telah merindukan perjodohan ini, anakku. Kami sudah membicarakannya dengan Lui Siong, dan kami akan merasa berbahagia sekali apabila kau menjadi isteri dari Lui Hong!"

   Berdebarlah hati Pek Giok mendengar nama ini dan ia mengangkat muka untuk menatap wajah Ibunya, akan tetapi ia menundukkan mukanya kembali.

   "Pek Giok,"

   Kata Ayahnya.

   "Kau percayalah kepada Ayah-Ibumu. Aku sudah tua dan sudah banyak makan asam garam di dunia ini. Telah kupertimbangkan masak-masak dan telah kuselidiki baik-baik tentang diri Lui Hong itu. ia adalah putera tunggal dari Lui Siong dan tentang Lui Siong itu, aku tidak akan ragu-ragu menyatakan bahwa ia adalah seorang yang gagah dan berbudi. Belasan tahun aku selalu dekat dengan dia, dan sudah kenal sampai matang betul keadaan hatinya. Ketika Ayahmu berada dalam keadaan sengsara, hanya Lui Siong seoranglah yang masih setia, dan kukira tanpa adanya hIburan-hIburan dari Lui Siong, mungkin aku tak kuat menahan penderitaan batin ketika itu. Lui Siong benar-benar seorang mulia dan aku tidak malu berbesan dengan dia. Adapun anaknya, Lui Hong itu, adalah seorang pemuda yang pilihan! Ilmu sasteranya cukup tinggi, dan tentang keadaan batinnya dapat diukur dalam kenyataan bahwa ia tidak mau mengikuti ujian untuk mendapatkan pangkat, karena ia menganggap bahwa orang-orang berpangkat pada masa ini hanya merupakan pemeras-pemeras rakyat jelata belaka. Alangkah murninya pendapat dan pikiran ini. Kemudian, iapun murid seorang tokoh besar di kalangan kang-ouw. Nama Sin-Kiam Kai-Ong bukanlah nama yang rendah dan semua orang gagah dunia maklum belaka siapa adanya Kakek sakti ini. ia seorang pendekar besar yang telah banyak melakukan kebajikan. Pula, watak Lui Hong dapat dilihat dari pembelaannya ketika ia menghadapi rombongan Song-Kauwsu. ia benar-benar membelaku dan hendak menjunjung kembali nama dan kehormatanku yang telah runtuh, disamping meninggikan nama Ayahnya sendiri. Ingat, bahwa ketika ia melakukan hal itu, kau belum datang dan kau masih dianggap tidak ada, anakku. Dengan demikian, maka perbuatannya yang gagah itu benar-benar dilakukan karena kemuliaan hatinya dan sama sekali tanpa rnaksud dan pamrih yang lainnya!"

   "Kata-kata Ayahmu benar belaka, anakku. Kurasa sukarlah mencari keduanya pemuda seperti Lui Hong itu,"

   Kata Nyo-nya Can.

   "Pula, Lui Siong sendiri sudah menyatakan setuju dan ia bahkan merasa gembira sekali kalau dapat menjodohkan puteranya dengan kau!"

   Ini Semua pujian terhadap diri Lui Hong hanya terdengar oleh Pek Giok dengan sebelah telinganya saja.

   Karena telinganya yang satu lagi pada saat itu penuh dengan gema suara Han Bun! Kedua matanya yang memandang lantai itu melihat bayangan pemuda yang gagah perkasa itu, dan telinganya mendengar gema suara nyanyian pemuda itu ketika perahu mereka dahulu berhenti pada suatu malam terang bulan. Lidahnya masih merasai kelezatan masakan pemuda itu dan teringatlah ia akan semua peristiwa yang dialaminya dengan pemuda itu. Terkenanglah ia betapa pemuda itu dengan beraninya rnenggoda dan menyebutnya dengan nama Sing-Gan Kim-Hi atau Ikan Emas Bermata Bintang dan terngianglah dalam telinganya ucapan Han Bun yang halus dan lemah-lembut ketika pemuda itu berkata di dalam perpisahan mereka bahwa pemuda itu takkan melupakannya selama hidupnya!

   "Bagaimana, Pek Giok?"

   Tiba-tiba suara Ibunya memecahkan dan membuyarkan semua kenangan indah itu. Pek Giok mengangkat mukanya dan ia sendiri tidak merasa bahwa kini kedua matanya telah menjadi basah dengan air mata. Melihat ini, Ibunya menjadi terharu dan memeluk anak tunggalnya itu dengan penuh kasih sayang.

   "Pek Giok, anakku sayang, kau jangan khawatir, nak. Ayah-Ibumu tidak akan menjerumuskan kesayangannya ke dalam Lumpur kesengsaraan. Kami menanggung dengan nyawa kami bahwa pilihan ini takkan salah!"

   "Betapapun juga,"

   Kata Ayahnya.

   "kami takkan memaksamu, Pek Giok. Kaulah yang menentukan hal ini. Kami belum memberi keputusan kepada Lui Siong tentang perjodohan ini. Akan tetapi, ingatlah bahwa kau akan mendatangkan kebahagiaan yang tak terbatas besarnya apabila kau setuju dengan pilihan kedua orang-tuamu ini!"

   Makin bingunglah hati dan pikiran gadis itu.

   Ia merasa amat terdesak di sudut dan tak berdaya menghadapi bujukan-bujukan kedua orang-tuanya. Kalau saja Ayah-Ibunya menggunakan paksaan, tentu hatinya yang keras akan memberontak. Akan tetapi, Ayah-Ibunya mengeluarkan kata-kata lembut yang membuat hatinya menjadi luluh, membuat tubuhnya menjadi lemas seakan-akan seluruh tulang dan uratnya lolos dari tubuhnya. ia percaya bahwa Lui Hong tentu seorang pemuda yang baik sebagaimana yang dinyatakan oleh Ayah-Ibunya. Akan tetapi, entah bagaimana, hatinya telah condong kepada Han Bun, pemuda yang pandai masak itu! Kalau sekiranya Han Bun yang menjadi pilihan Ayah-Ibunya, agaknya ia takkan sangsi-sangsi lagi menyatakan persetujuannya! Ada satu hal yang masih mengecewakan hatinya terhadap Lui Hong, yakni bahwa kepandaian silat pemuda itu masih belum dapat menandingi kepandaiannya sendiri!

   "Ayah,"

   Akhirnya ia terpaksa menjawab juga.

   "Semenjak dahulu aku bercita-cita..."

   Ia merasa sungkan dan malu-malu untuk melanjutkan.

   "Ya...?"

   Ayahnya mendesak.

   "Cita-citaku ialah... aku hanya suka menjadi... jodoh seorang yang ilmu kepandaiannya lebih tinggi dariku!"

   Ayahnya memandang sejenak lalu tertawa bergelak sambil mendongakkan kepalanya.

   "Ha, ha, ha! Kau keras hati seperti Iburnu! Kepandaianmu dalam hal ilmu silat begitu tinggi, pemuda manakah yang dapat menandingimu? lngatlah, Pek Giok, kepandaian itu tidak ada batasnya. Orang yang merasa dirinya sudah pandai, pasti ada orang lain yang lebih pandai lagi! Memang, dalam hal ilmu silat mungkin kau lebih pandai daripada Lui Hong, akan tetapi kau harus ingat bahwa pemuda itu meniiliki kepandaian dalam bidang lain yang jauh lebih tinggi daripadamu! Misalnya dalam hal ilmu sastera, tentu kau takkan dapat menang dari dia!"

   "Pek Giok, aku dulupun berpikiran seperti kau!"

   Kata Ibunya.

   "Aku bercita-cita untuk menjadi jodoh seorang yang ilmu sasteranya rnelebihi pengetahuanku. Akan tetapi akhirnya aku toh menikah dengan Ayahmu karena tertarik oleh kegagahan dan ilmu silatnya yang aku sendiri tidak mengerti sama sekali. Kalau memang kau sudah menjadi isteri Lui Hong, apa salahnya kalau kau membimbing suamimu dalam ilmu silat sehingga kepandaiannya akan dapat menyusulrnu dan sebaliknya kau mendapat bimbingan dalam ilmu sastera darinya? Bukankah hal itu akan baik sekali?"

   Pek Giok menundukkan kepalanya. Tentu saja ia tidak dapat membongkar isi hatinya, tidak dapat rnenceritakan kepada Ayah-Bundanya bahwa ia telah jatuh hati kepada Han Bun, pemuda ahli masak itu. Maka ia menjadi serba salah dan bingung. Untuk menolak, ia merasa tidak tega kepada Ayah-Ibunya.

   "Ayah dan Ibu, biarlah hal perjodohan ini ditunda dulu saja, kurasa tidak perlu terlalu buru-buru."

   "Akan tetapi kau tidak keberatan? Kau setujukah?"

   Tanya Ibunya.

   "Aku... aku hanya menyerahkan hal ini kepada Ayah dan Ibu saja, hanya satu permintaanku, yakni janganlah hal ini diselenggarakan secara buru-buru. Aku baru saja kembali ke rumah Ayah dan Ibu, dan tidak ingin aku meninggalkan Ayah-Ibu dalam rumah tangga sendiri."

   "Akan tetapi, tidak perlu kita berpisah!"

   Kata Ayahnya mendesak.

   "Kalau kau sudah menikah, kau dan suamimu boleh tinggal bersama kami di rumah ini."

   Pek Giok merasa terdesak sekali.

   "Asal jangan terburu-buru, Ayah. Aku minta waktu."

   Ayah dan Ibunya tertawa girang dan saling pandang dengan mata berseri.

   "Tidak perlu terburu-buru,"

   Kata Ayahnya.

   "Tiga atau empat bulan lagi kurasa sudah cukup lama."

   Ibunya membenarkan dan Pek Giok hanya dapat menundukkan kepala dengan muka merah. ia menjadi bingung sekali. Untuk menerima permintaan ini, hatinya masih amat berat kepada Han Bun yang tidak diketahui di mana adanya itu. Untuk menolak, ia tidak ingin melukai hati orang-tuanya.

   Kalau keadaan keluarga Can-Kauwsu diliputi kegembiraan dan kebahagiaan karena selain mendapat kemenangan dalam pIbu yang sekaligus mengangkat nama dan kehormatan mereka, adalah sebaliknya dengan keadaan Song-Kauwsu. Kim Lun berbaring di kamarnya dan merintih-rintih. Sungguhpun luka pada pergelangan tangannya yang putus itu sudah diobati dan dirawat oleh seorang tabib dan kini telah dibalut sehingga tidak terasa amat sakit lagi, namun ia masih merintih-rintih yang membuat isterinya duduk menangis dengan sedih di pinggir pembaringan. Rintihan Kim Lun ini tidak hanya disebabkan oleh rasa sakit pada lukanya, akan tetapi sebagian besar disebabkan oleh rasa sakit di lubuk hatinya. ia merasa sedih, penasaran, malu sekali dan terhina. Serasa hendak pecah dadanya kalau ia mengenangkan kembali betapa ia mendapat hinaan besar dari puteri Can-Kauwsu itu.

   Beberapa hari ia menggigit-gigit bibirnya dengan hati penuh dendam. ia mengambil keputusan, apabila lukanya telah sembuh, ia akan pergi bersama adiknya, mencari Suhunya, yakni Bu-Eng-Kwi Tok Liong Taisu agar Suhu ini mau membalaskan sakit hatinya terhadap Can-Kauwsu dan anaknya! Akan tetapi ia tidak ingat bahwa keadaan hati seseorang amat dipengaruhi tubuh dan karena ia selalu bersedih, marah dan penuh dendam, maka lukanya sukar sekali sembuh dan sampai lama belum juga mau mengering. Dari lain kamar di dalam rumah gedung itu terdengar suara isak tangis Kim Lian. Gadis ini juga mendapat perawatan tabib dan sambil menangis ia berbaring di atas tempat tidurnya. Sehelai kain putih melintang di mukanya karena pedang Pek Giok telah menggurat muka itu dari telinga kiri ke telinga kanan melalui hidungnya yang mancung.

   "Luka ini akan mudah sembuh,"

   Kata tabib yang mengobatinya.

   "Akan tetapi bekasnya masih akan merupakan garis hitam yang tak dapat hilang."

   Tentu saja Kim Lian, gadis yang genit dan pesolek itu merasa amat sedih dan sakit hati. Dengan adanya cacat dimukanya, ia kehilangan daya penariknya, sungguhpun ia dapat menutupi cacat itu dengan bedak tebal. Hatinya amat sakit terhadap Pek Giok.

   "Hati-hati kau, perempuan durjana, akan datang saatnya aku membalas dendam ini dan akan kurusakkan mukamu sampai menjadi seorang iblis yang menakutkan!"

   Gerutunya berkali-kali dengan hati penuh dendam. Seperti juga Kim Lun, pengharapannya untuk membalas sakit hati ini disandarkan kepada bantuan Gurunya.

   Kalau Kakaknya sudah sembuh, ia akan pergi dengan Kakaknya ke Sungai Liao-Ho, mencari Suhunya. Sementara itu, di dalam kamarnya sendiri, Song-Kauwsu menanggung penderitaan lukanya dengan diam-diam. Wataknya yang keras membuat ia tak pernah mengeluarkan keluhan sedikitpun. ia masih merasa penasaran, karena biarpun terluka, namun ia dapat pula melukai Can-Kauwsu, dengan dernikian berarti bahwa mereka masih sama kuat! ia tidak berduka melihat betapa mantunya dan Kim Lian menderita hinaan dan luka hebat, hanya ia merasa penasaran dan marah karena kini namanya jatuh! Pada hari itu juga, ia mencabut papan nama perguruannya dan menutup pintu Bukoan, sesuai dengan janjinya kepada Can-Kauwsu ketika hendak meninggalkan panggung. Isterinya duduk menyusut air matanya.

   "Memang sudah kuduga akan terjadi yang hebat,"

   Kata isterinya yang lemah lembut dan penyabar itu.

   "Untuk apakah segala macam permusuhan kosong ini? Sejak dulu aku amat tidak setuju dengan permusuhan ini. Apakah orang belajar silat hanya untuk saling pukul?"

   Song-Kauwsu terpaksa tersenyum mendengar ucapan isterinya ini.

   "Kau mana tahu tentang nama dan kehormatan seorang ahli silat."

   Isterinya yang biasanya sabar dan tidak banyak bicara itu kini memandangnya dengan penuh penyesalan.

   "Nama dan kehormatan? Apakah hubungannya nama kehormatan dengan ilmu silat? Apakah orang yang tidak tahu ilmu kasar itu berarti tidak mempunyai nama dan kehormatan? Para pujangga yang bijak pernah menyatakan bahwa serIbu orang sahabat masih terlalu sedikit, akan tetapi seorang saja musuh sudah terlampau banyak! Akan tetapi orang-orang yang menyebut dirinya ahli silat ternyata hanya pandai mengumpulkan musuh sebanyak-banyaknya saja. Dan ini yang kau sebut menjaga nama dan kehorrnatan?"

   Song-Kauwsu menghela napas. ia amat sayang kepada isterinya dan kalau isterinya yang biasanya pendiam itu sampai dernikian marah, maka tentu isterinya merasa berduka sekali berhubung dengan peristiwa ini. Dulupun isterinya tidak setuju ia mengambil mantu Kim Lun dan ternyata dalam hal ini isterinya yang benar. Ternyata Kim Lun merupakan seorang mantu yang buruk dan memalukan.

   "Sudahlah, jangan kau marah,"

   Ia menghIbur.

   "Tunggu saja kalau anak kita datang, akan kubalas penghinaan Can-Kauwsu itu."

   "Apa? Kau hendak membawa-bawa anak kita pula ke dalam permusuhan ini? Apakah anak itu kau kirim jauh-jauh sampai bertahun-tahun hanya untuk dijadikan alat penggempur musuh?"

   Song-Kauwsu diam saja dan isterinya yang tidak mendapat lawan lalu menangis terisak-isak. Benar-benar jauh perbedaannya dengan keadaan keluarga Can. Keadaan keluarga Song-Kauwsu ini diliputi awan kesedihan dan dendam. Beberapa hari kemudian setelah peristiwa itu terjadi, seorang pemuda yang berpakaian serba putih memasuki halaman rumah gedung Song-Kauwsu. Seorang pelayan tua menyambutnya dan pelayan ini rnerasa kagum melihat pemuda yang elok dan gagah itu, yang datang dengan wajah berseri dan mulut tersenyum girang.

   "Kongcu hendak mencari siapakah?"

   Tanya pelayan itu.

   "Kau pelayan di sini?"

   Tanya pemuda itu dengan gembira.

   "Siapakah namarnu, Lopek?"

   "Orang-orang menyebutku Akwi-Pek, dan sudah enam tahun aku menjadi pelayan dari Song-Kauwsu."

   "Bagus sekali, Akwi-Pek, lekas antarkan aku kepada Ayahku!"

   Pelayan itu memandang dengan mata terbelalak.

   "Jadi kongcu ini... putera Song-Kauwsu... yang bernama Han Bun...?"

   Pemuda itu yang bukan lain memang Han Bun sendiri adanya, mengangguk dan tersenyum.

   "Benar, Akwi-Pek, aku Han Bun dan lekaslah bawa aku kepada Ayah dan Ibu, aku sudah rindu sekali kepada mereka!"

   Pelayan itu lalu memegang tangan Han Bun dan sarnbil berlari-lari ia membawa Han Bun memasuki gedung.

   "Kongcu datang...! Kongcu datang...!!"

   Teriaknya dengan suara keras. Song Swi Kai dan isterinya yang sedang bicara di dalam kamar, ketika mendengar suara ini lalu memburu keluar dan... keduanya berdiri memandang dengan air mata berlinang kepada Han Bun yang telah tiba di situ.

   "Han Bun...!"

   Nyonya Song berseru girang.

   "Han Bun...!"

   Song-Kauwsu juga berseru. Han Bun lalu berlutut di depan Ayah-Bundanya. Ibunya memeluknya dan menariknya bangun, sedangkan Ayahnya lalu memegang kedua pundaknya. Suami-isteri itu mengamat-amati putera tunggal mereka dengan penuh kebanggaan dalam hati.

   "Ayah, kau kenapakah?"

   Tanya Han Bun ketika melihat Ayahnya yang pucat.

   "Tidak apa-apa, tidak apa-apa..."

   Jawab Song-Kauwsu sambil memandang kepada isterinya yang mengerling tajam kepadanya. Han Bun menjadi curiga, akan tetapi saat itu muncullah Bwee Eng yang telah mendengar tentang kedatangan adiknya. Melihat adiknya demikian tampan dan gagah, Bwee Eng memeluknya sambil menangis tersedu-sedu.

   "Han Bun..., adikku... kau harus membalaskan sakit hati kita ini..."

   "Bwee Eng!"

   Ibunya menegur.

   "Tak pantas kau menyambut adikmu dengan kata-kata itu!"

   "Sakit hati? Membalasnya? Apakah artinya semua ini?"

   Han Bun memandang Encinya yang telah merah kedua matanya saking terlalu banyak menangis itu.

   "Han Bun, cihumu sampai putus pergelangan tangannya, Ayah terluka dan... dan..."

   "Bwee Eng, diam! Pergilah kembali ke kamarrnu!"

   Song-Kauwsu membentak marah dan Bwee Eng tidak berani membantah Ayahnya. Sambil menutupi mukanya dan menangis tersedu-sedu ia pergi dari situ.

   "Ayah, apakah artinya semua ini?"

   Tanya Han Bun, akan tetapi Ibunya lalu menggandeng tangannya dan mengajaknya masuk ke dalam.

   "Kau baru tiba, tak perlu memusingkan kepala dengan segala macam urusan itu. Paling perlu lekas kau ceritakan semua pengalamanmu semenjak kau meninggalkan orang-tuamu."

   Demikianlah, dengan duduk di tengah-tengah antara Ayah dan Ibunya yang mendengarkan dengan penuh perhatian, Han Bun menceritakan riwayatnya semenjak ia dibawa pergi ke puncak Gunung Bu-Tong-San berguru kepada Koan Tek Losu dan Bun Tek Thaisu, kedua tokoh Bu-Tong-Pai itu sehingga kemudian ia menjadi murid dari It-Ci-Sian Cin Po Yangcu yang lihai. Kemudian ia juga menceritakan tentang tugasnya menyelidiki Pangeran Liang Tek Ong, akan tetapi ia tidak menceritakan kepada Ayah-Bundanya tentang gadis manis yang menawan hatinya, dara perkasa yang dikenalnya sebagai Ikan Emas Bermata Bintang itu!

   Agar kita dapat mengetahui lebih jelas tentang peti kecil berisi rahasia Pangeran Liang Tek Ong yang dibawa oleh Han Bun ketika pemuda ini berpisah dari Pek Giok, baiklah kita mengikuti perjalanannya secara singkat. Sebagaimana telah diketahui, Han Bun berpisah dari Pek Giok tanpa mengetahui nama gadis yang telah menawan hatinya itu.

   Pemuda ini lalu pergi ke Kotaraja untuk menemui pembesar tinggi yang bernama Kam Lok Sun. ia memang mendapat pesan dari Suhunya bahwa di Kotaraja ia dapat menghubungi Kam-Taijin ini yang mempunyai kedudukan tinggi dan dapat dipercaya sebagai seorang yang jujur dan berjiwa patriot. Kepada Kam-Taijin ini ia boleh mempercayakan segala macam rahasia. Setelah berhasil menghadap Kam Lok Sun, Han Bun lalu menceritakan segala pengalamannya dan memperlihatkan pula peti kecil berisi surat-surat persekutuan Pangeran Liang Tek Ong dengan Raja Mongol dan minta kepada pembesar itu untuk dapat mengatur sebaiknya agar Pangeran Liang Tek Ong tidak melanjutkan penghinaannya yang membahayakan Negara.

   "Menurut Suhu, hamba sendiri tidak boleh mernbongkar rahasia Pangeran Liang Tek Ong kepada Baginda Kaisar, maka hamba sengaja datang menghadap kepada Taijin untuk dapat menyelesaikan urusan ini selanjutnya. Bagian hamba hanyalah rnerampasnya dari Pangeran Liang Tek Ong saja."

   Tadinya Han Bun mengira bahwa pembesar itu tentu akan merasa sangat terkejut mendengar tentang maksud Pangeran Liang Tek Ong yang hendak memberontak itu. Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat betapa pembesar itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya yang gendut, seakan-akan cerita yang dituturkan oleh Han Bun itu adalah sebuah lelucon yang menggelikan hati! Tentu saja pemuda itu menjadi heran sekali dan diam-diam ia merasa ragu-ragu apakah Suhunya tidak salah pilih dengan menunjuk pembesar ini sebagai seorang pembesar bijaksana yang jujur dan patut dipercaya.

   "Ha, ha, ha!"

   Kiam-Taijin mengakhiri ketawanya.

   "Song-Enghiong, kau gagah perkasa dan patut menjadi murid Cin Po Yang-cu yang menjadi sahabat baikku. Akan tetapi orang-tua itu agaknya masih saja mencurigai segala pembesar negeri! Ma, kau telah membikin Pangeran Liang Tek Ong selama ini pusing kepala dan tidak enak makan tak nyenyak tidur. Ha, ha, ha!"

   "Taijin, apakah artinya ini? Ucapan Taijin benar-benar membikin hamba menjadi bingung sekali,"

   Kata Han Bun dengan hati tidak enak.

   
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tunggulah saja, Song-Enghiong dan kau akan mengetahui sendiri. Kalau aku yang bicara kepadamu, mungkin sekali kau takkan percaya kepadaku dan jiwa patriotmu akan tersinggung sehingga kau akan mengira bahwa akupun seorang pengkhianat Negara pula!"

   Pembesar itu lalu memanggil seorang pengawal dan membuat surat dengan cepat.

   "Antarkan surat ini cepat-cepat kepada Pangeran Liang Tek Ong!"

   Pengawal itu memberi hormat dan membawa surat itu cepat-cepat keluar.

   "Nah, biarlah kita menanti sebentar, Song-Enghiong dan janganlah kau ragu-ragu atau bercuriga kepadaku. Kau akan mendengar hal yang tak pernah kau sangka sama sekali dan yang akan membuat kau terbuka mata dan mengetahui keadaan Negara kita."

   Pembesar ini lalu memerintahkan untuk rnenyediakan hidangan di ruang tamu, sementara itu ia sendiri lalu menjamu Han Bun dengan arak yang baik dan makanan yang lezat. Tak lama kemudian, pengawal memberi laporan bahwa para tamu telah tiba.

   "Marilah kita sambut mereka, Song-Enghiong,"

   Pembesar itu mengajak Han Bun yang masih berada dalam kebingungan besar. Alangkah terkejutnya hati Han Bun ketika melihat bahwa yang datang adalah tamu-tamu agung. Diantaranya terdapat Pangeran Liang Tek Ong sendiri yang berseri-seri wajahnya, dan juga terdapat pembesar-pembesar lain yang berkuasa besar di istana Kaisar! ia cepat memberi hormat dan sebagai seorang pendekar gagah yang tidak mau terikat dengan segala upacara, ia memberi hormat dengan menjura saja. Semua orang lalu pergi ke ruang tamu dan jumlah mereka semua dengan Han Bun dan tuan rumah, tidak kurang dari lima belas orang.

   Mereka dipersilakan duduk mengelilingi meja makan yang besar oleh Kam-Taijin. Di dalam pertemuan inilah Han Bun mendengar hal yang benar-benar mengejutkan hatinya. Pangeran Liang Tek Ong dengan disaksikan oleh para pembesar itu menuturkan kepada Han Bun bahwa persekutuan yang ia adakan dengan pemerintah Mongol itu hanya siasat belaka dari Kaisar. Telah diketahui bahwa balatentara Mongol mempunyai niat untuk memukul dan menyerang Kerajaan, dan karena diketahui pula akan kekuatan tentara Mongol, maka ditugaskan kepada Pangeran Liang Tek Ong untuk berpura-pura mengadakan persekutuan dengan mereka. Dengan jalan ini maka gerak-gerik dan siasat musuh akan dapat diketahui sebelum mereka benar-benar mengadakan serangan besar-besaran! Bukan main kagetnya hati Han Bun mendengar ini dan sukar baginya untuk dapat mempercaya.

   "Akan tetapi..., kalau benar-benar hanya tipu dan pura-pura belaka, mengapa Tan Koan, patriot itu, dilukai oleh para perwira sehingga tewas?"

   Tanyanya. Pangeran Liang Tek Ong menghela napas.

   "Hal ini amat kusesalkan. Memang rahasia ini dipegang teguh dan tidak diketahui oleh siapapun juga kecuali para pembesar yang setia kepada Kaisar. Bahkan para perwira tidak ada yang mengetahuinya. Rahasia ini dijaga rapat-rapat agar jangan sampai membocor ke pihak musuh. Oleh karena itu, tidak ada lain jalan kecuali menghalau Tan Koan yang karena terdorong oleh kepatriotannya dan oleh ketidak-tahuannya menyerangku di dekat Telaga Koko Nor itu. Dengan jalan ini pula, maka pemerintah dengan mudah dapat mengetahui siapakah diantara para pejabat yang menyetujui "pemberontakanku"

   Dan siapa yang tidak setuju. Dari sinipun dapat dilihat siapa pembesar yang setia dan siapa pula yang tidak setia."

   Bukan main kecewa hati Han Bun mendengar penuturan ini. ia mengerutkan keningnya dan berkata perlahan.

   "Kalau demikian, maksud hamba dan Suhu yang baik itu ternyata hanya mengacaukan rencana Negara belaka?"

   "Tidak demikian, Song-Enghiong,"

   MenghIbur Pangeran Liang Tek Ong.

   "Betapapun juga, kau telah memperlihatkan bahwa kau dan Suhumu benar-benar rakyat yang berjiwa patriot dan setia. Kami takkan melupakan dan seandainya kau ada keperluan sesuatu, kami akan merasa senang sekali untuk membantumu. Adapun tentang peti kecil itu, hal itu tak usah dikhawatirkan, karena pihak Mongol masih belum tahu akan rahasia kita ini. Dengan perbuatanmu yang merampasnya, maka mereka bahkan lebih percaya kepadaku. Dengan demikian, perbuatanmu itu sama sekali tidak mengacaukan rencana kami, bahkan membantu kami sehingga rencana ini nampak sungguh-sungguh!"

   Demikianlah, setelah mendapat penjelasan yang amat mengherankan akan tetapi juga memuaskan hatinya itu, serta menerima pujian-pujian dari para pembesar tinggi, Han Bun lalu meninggalkan Kotaraja dan langsung menuju ke Sung-Kian, tempat tinggal Ayahnya. ia telah pergi ke Santung dan di sana mendapat keterangan bahwa Ayahnya telah pindah ke Sung-Kian dan menjadi Guru silat di kota itu. Semua pengalamannya ini ia tuturkan kepada Ayah-Ibunya setelah pemuda ini bertemu dengan Ayah-Ibunya sebagaimana sudah dituturkan di bagian depan. Setelah menuturkan riwayatnya kepada Song Swi Kai dan nyonya, Han Bun lalu bertanya kepada Ayahnya.

   "Akan tetapi sekarang aku ingin sekali mengetahui mengapa Ayah menderita luka dan apa maksud kata-kata Enci Bwee Eng tadi."

   Song-Kauwsu menghela napas.

   "Memang benar kata-kata Encimu tadi. Kami sekeluarga telah menerima hinaan hebat dari seorang Guru silat lain di kota ini."

   Song Swi Kai lalu menceritakan kepada anaknya tentang perrnusuhannya dengan Can-Kauwsu dan kemudian menceritakan pula tentang pertempuran yang baru terjadi beberapa hari yang lalu, betapa mereka semua mendapat penghinaan dari puteri Can-Kauwsu.

   (Lanjut ke Jilid 09)

   Antara Dendam & Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09

   Bukan main marahnya hati Han Bun mendengar ini. Sungguhpun ia memiliki tabiat yang halus seperti Ibunya dan penyabar pula, akan tetapi mendengar betapa Ayahnya, Cihunya (Kakak ipar) dan rombongan Ayahnya mendapat hinaan dan dikalahkan oleh seorang gadis puteri musuh atau saingan Ayahnya, ia menjadi marah sekali.

   "Ayah, jangan khawatir! Aku pasti akan dapat membalaskan sakit hati ini dan memberi hajaran kepada gadis sombong dan jahat itu!"

   "Inilah yang kuharapkan, Han Bun. Kalau bukan kau, siapa lagi yang akan dapat membalaskannya? Gadis puteri Can-Kauwsu itu benar-benar berkepandaian tinggi sekali. Baiknya kau telah mendapat latihan dari It-Ci-Sian Cin Po Yang, karena kalau hanya menerima pelajaran dari Suhu (Kwan Tek Losu dari Bu-Tong-Pai) saja, agaknya sukar bagimu untuk dapat menangkan dia!"

   Nyonya Song mencela.

   "Suamiku, mengapa kau membawa-bawa Han Bun ke dalam permusuhan ini? Anakku, memang akupun merasa sakit hati melihat Ayahmu dilukai. Akan tetapi, harus diingat bahwa Ayahmupun berhasil melukai Can-Kauwsu. Kalau kau berlaku sembrono dan menyerang mereka, bukankah ini berarti bahwa permusuhan terhadap mereka akan menjadi lebih hebat dan besar? Perlu betulkah hal ini dilanjut-lanjutkan sampai menyeret anak cucu kita?"

   Kata-kata akhir ini ia tujukan kepada suaminya yang diam saja tidak menjawab, sedangkan Han Bun juga tertegun mendengar ucapan Ibunya ini. Akan tetapi ia teringat akan sesuatu dan berkata.

   "Ibu, Ayah terluka oleh Can-kauw dan sebaliknya Guru silat itu terluka pula oleh Ayah. Hal ini tidak mendatangkan rasa penasaran. Akan tetapi, Cihu telah terpotong tangannya dan tadi aku mendengar bahwa adik perempuan Cihu juga dihina dengan guratan pedang pada mukanya. Hal ini benar-benar keji dan harus dibalas! Tidak selayaknya anak Can-Kauwsu itu mengandalkan kepandaian sendiri untuk menghina Cihu dan adiknya! Cihu adalah suami Enciku, karena ia menerima hinaan orang lain, sudah sepatutnya kalau aku yang membalaskannya!"

   Ibunya menunduk dan tidak dapat menjawab. Bagaimana ia harus menjawab? Tak mungkin ia menceritakan kepada puteranya bahwa ia tidak suka kepada mantu itu, bahwa mantu itu adalah seorang jahat yang berwatak rendah dan buruk! Juga Song-Kauwsu sendiri tidak dapat menceritakan hal yang memalukan ini, akan tetapi diam-diam Guru silat ini ingin memperlihatkan kepada Can-Kauwsu bahwa iapun mempunyai seorang putera yang gagah perkasa. Maka katanya,

   "Han Bun, memang ucapanmu ada benarnya. Akan tetapi benar pula kata Ibumu bahwa kau tidak boleh berlaku secara sembrono. Betapapun juga, kekalahan kami terjadi di atas panggung Luitai, jadi berarti kekalahan yang sah! Kalau kita hendak membalas, maka akan kuajukan tantangan kepada Can-Kauwsu. Aku sendiri masih merasa penasaran karena belum kalah dalam tangan Can-Kauwsu dalam arti yang mutlak. Aku akan tantang dia bersama puterinya untuk menghadapi aku dan kau! Bukankah ini sudah adil sekali namanya? Anak dan Ayah sendiri yang maju berpIbu, orang lain atau keluarga lain tidak boleh ikut campur!"

   "Bagus, Ayah, baiknya diatur demikian saja. Jangan Ayah khawatir, sebelum bertanding, Ayah dapat mempelajari beberapa macam ilmu pukulan Bu-Tong-Pai yang baru. Karena dalam pertempuran Ayah yang lalu menghadapi Can-Kauwsu, Ayah biarpun terluka akan tetapi dapat membalas dan melukainya, itu berarti bahwa kepandaian Ayah tidak berbeda jauh dengan Can-Kauwsu. Kalau Ayah mempelajari beberapa macam tipu pukulan baru, kurasa Ayah pasti akan dapat mengalahkannya!"

   Song-Kauwsu merasa girang sekali mendengar ini. Kemudian Han Bun lalu diantar ke kamar Kim Lun untuk berkenalan dengan Cihunya ini. Kim Lun sudah mendengar dari Bwee Eng tentang kedatangan Han Bun dan ketika ia melihat iparnya yang tampan dan gagah itu, diam-diam ia merasa girang karena ia dapat mengharapkan adik iparnya ini untuk membalaskan dendamnya kepada puteri Can-Kauwsu.

   "Gadis itu bernama Can Pek Giok dan ilmu silatnya benar-benar lihai. Bun-te (adik ipar) harus berhati-hati menghadapinya. Ilmu pedangnya benar-benar hebat dan sukar dilawan. Aku akan merasa berterima kasih sekali kalau kau dapat membalaskan sakit hatiku dan membabat putus tangan kanannya pula!"

   Diam-diam Han Bun merasa tidak suka melihat Cihumya yang pesolek bemata liar itu. ia mendapat kesan buruk terhadap Cihunya ini, karena gerak-gerik Kim Lun amat menyebaikan hatinya. Akan tetapi, tentu saja ia tidak memperlihatkan perasaannya ini dan menjawab.

   "Cihu jangan khawatir. Aku tentu akan berusaha sedapat mungkin untuk mengalahkan gadis itu dalam pIbu yang hendak kami adakan."

   Pada saat itu, Kim Lian keluar pula dari kamarnya. Lukanya sudah sembuh, akan tetapi untuk menutupi cacat menghitam pada mukanya, ia harus memakai bedak yang amat tebal dan yanci yang kemerah-merahan sehingga diam-diam Han Bun merasa heran sekali melihat bagaimana perempuan seperti ini dapat menjadi keluarga Ayahnya. Kesannya terhadap Kakak-beradik she Lee itu makin buruk.

   Terutama ketika ia mendengar bahwa mereka adalah murid dari Bu-Eng-Kwi Tok Liong Taisu, ia menjadi terkejut sekali. ia sudah mendengar nama Bu-Eng-Kwi Tok Liong Taisu sebagai seorang yang amat jahat dan keji. ia benar-benar merasa heran mengapa Ayahnya suka menjodohkan Encinya kepada Kim Lun ini, akan tetapi kembali ia harus menutup mulut dan menyimpan perasaan kecewa ini di dalam hatinya. Karena tak mungkin baginya untuk menyalahkan atau menegur Ayahnya. Apalagi bagaimana juga Encinya telah menjadi isteri Kim Lun! Kim Lian ketika melihat Han Bun untuk beberapa lama menjadi bengong bagaikan seorang yang kehilangan semangatnya. Tak pernah disangkanya bahwa adik Bwee Eng yang dikabarkan berGuru di Puncak Bu-Tong-Pai itu adalah seorang pemuda yang demikian eloknya! Sekaligus hatinya yang penuh nafsu dan bersifat cabul itu melonjak-lonjak di dalam dadanya!

   "Selamat datang, Adik Han Bun!"

   Katanya sambil menjura dengan gaya yang menarik dan senyum menghias bibirnya yang masih merah itu.

   "Aku tidak tahu siapakah yang lebih tua di antara kita, akan tetapi biarlah aku menyebut adik saja. Sungguh beruntung bahwa kau datang pada saat keluarga kita tertimpa bencana, dan aku sudah mendengar tentang kepandaianmu yang tinggi. Akan tetapi... untuk menghadapi lawan kita yang amat tangguh dan lihai itu, apakah tidak baik kalau kami sekalian menyaksikan dulu tingkat kepandaianmu? Dengan demikian, maka Song Lo-Enghiong akan berhati lega dan tenteram sebelum membiarkan kau menghadapi perempuan iblis yang betul-betul berbahaya itu!"

   Han Bun merasa muak dan sebal sekali melihat sikap dan gaya gadis genit itu, akan tetapi Song Swi Kai tiba-tiba berkata.

   "Benar juga kata-kata itu. Han Bun, biarlah kau memperlihatkan kepandaianmu agar kami dapat merasa puas!"

   Mereka semua lalu pergi ke Lian-Bu-Thia (tempat bermain silat) di sebelah kanan gedung itu, dan Kim Lun sendiri yang sudah hampir sembuh luka di tangannya juga ikut karena ia ingin menyaksikan kepandaian pemuda yang kelihatan lemah ini. Setelah mereka tiba di Lian-Bu-Thia, Kim Lian berkata.

   "Bermain silat seorang diri saja masih belum dapat menunjukkan kelihaianmu. Gadis she Can itu benar-benar lihai, bahkan aku dan Kakakku sendiri pun tidak dapat melawannya. Maka baiknya untuk menguji kepandaianmu, biarlah aku melayanimu bermain silat pedang sebentar, dari perlawanan ini akan dapat diukur apakah kepandaianmu lebih tinggi daripada kepandaian gadis setan itu"

   Sambil berkata demikian, Kim Lian lalu mencabut keluar pedangnya. Han Bun merasa ragu-ragu, akan tetapi Ayahnya mengangguk dan berkata.

   "Usul ini boleh dijalankan. Ketahuilah, Han Bun. Nona Kim Lian ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada aku, dan pihak Can-Kauwcu terdapat seorang pemuda she Lui yang kepandaiannya bahkan lebih tinggi daripada Nona Kim Lian, maka agar hatiku dapat percaya dan tenteram, kau lawanlah pedangnya dan berlakulah sungguh-sungguh sehingga kami dapat menilai kepandaianmu apakah engkau cukup kuat untuk menghadapi musuh-musuh kita."

   Han Bun terpaksa menurut, karena betapapun juga dia hendak memperlihatkan kepandaiannya kepada Ayahnya dan kepada yang lain-lain itu.

   "Baik, kau maju dan seranglah, Nona!"

   Atanya tanpa membuka jubah luarnya dan hanya berdiri biasa dengan tangan kosong.

   "Mana senjatamu, Adik Han Bun?"

   Tanya Kim Lian sambil tersenyum mengerling tajam.

   "Bagaimana aku menyerang kalau engkau tidak bersenjata?"

   "Mengandalkan ketajaman senjata menunjukkan bahwa ilmu silat orang itu belum cukup tinggi."

   Kata Han Bun yang sengaja menyombong.

   "Biarlah aku melayani dengan tangan kosong saja, karena kalau engkau tidak hati-hati, senjatamu itu bisa berubah menjadi senjataku!"

   Kim Lian dapat menduga bahwa kata-kata ini bermaksud bahwa pemuda itu. merampas senjatanya dengan tangan kosong. ia menjadi semakin kagum karena, keberanian pemuda itu dan tanpa ragu lagi ia lalu berseru.

   "Awas, senjata, Adikku yang perkasa!"

   Lalu ia bergerak menyerang dengan hebat. Untuk beberapa jurus, Han Bun hanya mengelak dengan lambat saja, akan tetapi cukup untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang di tangan Kim Lian.

   Akan tetapi, pada jurus-jurus selanjutnya, Kim Lian terkejut sekali karena tiba-tiba pemuda itu menggerakkan kedua tangannya yang mengeluarkan angin pukulan hebat dan yang membuat gerakan pedangnya menjadi kacau-balau! lnilah ilmu pukulan yang disebut Kong-Jiu-Jip Pek-Kiam (Dengan Tangan Kosong Memasuki Ratusan Pedang)! Belum sampai lima belas jurus, tiba-tiba saja Kim Lian berteriak kaget bukan main dan pedangnya terlepas dari tangan lalu tahu-tahu telah pindah ke dalam tangan Han Bun yang berdiri sambil tersenyum! Bukan main kagum dan terkejutnya Kim Lian dan juga Kim Lun melihat kelihaian pemuda itu, sedangkan Song-Kauwsu merasa amat girang dan bangga. Sambil mengelus dagunya dia berkata.

   "Bagus! Engkau pasti akan dapat mengaIahkan gadis itu, Han Bun!"

   Akan tetapi, diam-diam Han Bun merasa gelisah. Dia tadi telah menyaksikan kehebatan ilmu pedang yang dimainkan Kim Lian. Kalau Kim Lun memiliki ilmu pedang yang lebih lihai daripada gadis itu dan kedua Kakak-beradik itu dengan pedang mereka masih kalah menghadapi pedang gadis she Can, dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu kepandaian gadis musuhnya itu! Dia sendiri kalau tidak menggunakan ilmu Kong-Jiu-Jip Pek-Kiam dan kalau Kim Lian tidak bergerak dengan ragu-ragu dan sungkan,

   Agaknya belum tentu dia akan dapat merampas pedang itu sedemikian mudahnya. Sebaliknya, Kim Lian semakin jatuh hati kepada pemuda ini. Belum pernah ia bertemu dengan pentuda segagah ini selama hidupnya dan diam-diam ia berpikir bahwa kalau ia dapat menjadi isteri Song Han Bun, ia akan merasa bahagia dan puas, tidak akan peduli lagi kepada laki-laki lain! Maka ia berdiri sambil menundukkan mukanya dan kerling mata serta senyumnya yang ditujukan kepada Han Bun mengandung penuh arti. Akan tetapi Han Bun tidak mengacuhkannya dan hanya mengembalikan pedang itu dengan sikap sopan. Kim Lun menyembunyikan perasaan gembiranya. Dia hampir merasa yakin bahwa pemuda ini pasti akan mengalahkan Pek Giok, sungguhpun pikiran ini membuat dia merasa iri hati.

   Ingin sekali dia dapat membalas gadis itu dengan memotong tangannya dengan pedang di tangannya sendiri Iri hati membuat dia menjadi murung dan dengan alasan bahwa tangannya masih merasa nyeri, dia kembali ke dalam kamarnya bersama Bwee Eng. Ketika Song-Kauwsu menemui ketua dari Kuil Ban-Hok-Si untuk minta persetujuannya mendirikan panggung Luitai untuk yang ke tiga kalinya di pekarangan depan Kuil itu, Jin Hwat Hosiang yang menjadi ketua Kuil itu dengan sedih memberitahukan bahwa terpaksa dia menolak karena dia telah mendapat ancaman dan peringatan dari pihak pemerintah bahwa kini dilarang untuk mengadakan panggung Luitai di tempat terbuka! Terpaksa Song-Kauwsu lalu menulis surat kepada Can-Kauwsu, menantang Guru silat she Can itu bersama puterinya untuk mengadakan pertandingan pIbu terakhir melawan dia dan puteranya yang baru datang.

   Tempat boleh diadakan di mana saja. Sambil menanti surat balasan, Song-Kauwsu melatih diri dengan ilmu pukulan yang dipelajarinya dari puteranya sendiri. Sampai malam Guru silat yang keras hati ini melatih diri dengan rajinnya di Lian-Bu-Thia (ruangan berlatih silat). Sementara itu, setelah memberi petunjuk kepada Ayahnya dan melihat bahwa gerakan Ayahnya sudah sempurna, Han Bun lalu beristirahat dan masuk ke dalam kamarnya yang sudah dibereskan dengan rapi oleh Ibunya. Ketika dia masuk ke dalam kamar, Ibunya masih berada di situ dan membereskan tempat tidurnya dengan tangannya sendiri. Melihat tidak ada orang lain di situ, dengan terus terang Han Bun mengutarakan isi hatinya kepada Ibunya.

   "Ibu, aku melihat sikap Cihu (Kakak ipar) dan Nona Kim Lian itu sungguh tidak menyenangkan hati."

   "Ssstt...!"

   Kata Ibunya sambil menaruhkan jari telunjuknya di depan mulut.

   "Jangan keras-keras, Han Bun. Kalau terdengar oleh Ayahmu, dia akan merasa semakin sedih."

   Han Bun mendekati Ibunya dan memegang tangan Ibunya dengan kasih sayang.

   "Ada apakah sebetulnya, Ibu? Seolah-olah Ayah dan Ibu menyembunyikan sesuatu kepadaku. Dan kulihat betapa Enci Bwee Eng tampak berduka dan tidak bahagia dalam hidupnya."

   Tiba-tiba Ibunya menutup muka dengan kedua tangan dan menangis sambil menjatuhkan diri duduk di atas tempat tidur.

   "Ibu, ada apakah?"

   Tanya Han Bun sambil duduk dekat Ibunya dan merangkul pundak wanita itu.

   "Aah, semua ini kesalahan Ayahmu"

   Kata Ibunya.

   "Dia terlalu ingln mendapatkan kemenangan dari Can-Kauwsu sehingga terpaksa pula dia memungut mantu kepada orang muda durhaka itu...!"

   Kemudian dengan air mata bercucuran karena hatinya hancur apabila teringat akan nasib puterinya yang telah dinikahkan dengan seorang tak berharga seperti Kim Lun, Nyonya Song menceritakan tentang semua kelakuan Kim Lun dan Kim Lian yang tidak tahu malu dan yang mencemarkan nama keluarga Song. Alangkah marahnya Han Bun ketika mendengar semua ini.

   "Bedebah!"

   Dia memaki.

   "Akan kuusir mereka itu dari sini!"

   "Jangan begitu, Han Bun. Ingatlah kepada Encimu Bwee Eng!"

   Han Bun duduk termenung dengan hati kesal sekali. Benar juga, kalau dia memberi hajaran atau mengusir Kim Lun, lalu bagaimana dengan nasib Encinya. Sampai jauh malam sesudah Ibunya meninggalkannya, Han Bun rebah telentang, berbaring dan melamun dengan hati sedih.

   Tak pernah disangkanya bahwa Ayah-Bundanya akan mengalami nasib seburuk itu, dan semua ini disebabkan oleh Kakak-beradik she Lee yang jahat itu! Menjelang tengah malam, ketika dia telah mulai jatuh pulas, tiba-tiba sesosok bayangan yang ramping memasuki kamarnya dan membuka daun pintu yang hanya ditutup tanpa dikunci. Bayangan ini ternyata adalah Kim Lian yang mengenakan pakaian yang tipis dan tidak sopan. Melihat sikap Han Bun yang ramah tamah dan sinar mata yang selalu berseri itu, gadis cabul ini menjadi salah duga dan mengira bahwa Han Bun si pemuda elok itu "ada hati"

   Kepadanya. Maka dengan amat berani, terdorong oleh hatinya yang bernafsu dan cabul, ia sengaja datang ke dalam kamar Han Bun dengan niat yang benar-benar tak tahu malu! Kim Lian sama sekali tidak mengira bahwa gerakan-gerakannya itu diam-diam dilihat oleh dua pasang mata.

   Yang pertama adalah sepasang mata Han Bun sendiri yang mengintai dari balik kelambu, karena biarpun tadi dia telah pulas, namun sedikit suara kaki gadis itu membuat dia terbangun dan diam-diam memandang dengan mata terbelalak heran. Adapun mata ke dua adalah sepasang mata dari Song-Kauwsu yang baru selesai berlatih silat dan kini hendak kembali ke kamarnya. Ketika melihat gadis itu memasuki kamar Han Bun, Song-Kauwsu menjadi begitu marah sehingga Guru silat ini tidak mampu bergerak, hanya berdiri diam bagaikan telah berubah menjadi patung! Akhirnya Song-Kauwsu dapat menekan perasaannya yang terguncang dan dengan cepat dia menghampiri pintu kamar puteranya. Akan tetapi pada saat itu, terdengar jerit mengerikan, disusul oleh terlemparnya tubuh Kim Lian keluar pintu kamar!

   "Perempuan rendah! Kau tidak pantas berada di dalam rumah ini!"

   Terdengar Han Bun memaki dan ketika pemuda itu keluar, dia melihat Ayahnya sedang mencekik leher Kim Lian yang telah lemas tubuhnya terkena tendangannya tadi! Pada saat itu, Nyonya Song juga berlari keluar dari kamarnya karena nyonya ini pun belum tidur. Melihat suaminya sedang mencekik leher Kim Lian, ia cepat menghampiri dan menarik tangan suaminya.

   "Lepaskan! Apa kau sudah gila?"

   Song-Kauwsu menjadi sadar lagi dari nafsu amarahnya dan dia melepaskan leher Kim Lian sehingga tubuh gadis itu yang sudah menjadi lemas jatuh ke atas lantai dan terdengar ia merintih-rintih. Nyonya Song lalu membimbing gadis itu masuk kembali ke dalam kamarnya dimana Kim Lian membanting diri di atas pembaringan sambil menangis.

   "Perempuan tidak tahu malu! Perempuan rendah hina berbatin kotor!"

   Terdengar Song-Kauwsu memaki. Song-Kauwsu mengumbar hawa nafsu amarahnya. Telah berbulan-bulan dia menahan nafsu amarahnya karena selama itu dia tidak berani menghalang-halangi segala perbuatan Kim Lian, bahkan tidak berani memaki gadis yang amat dibencinya itu. Nyonya Song Swi Kai keluar dari kamar Kim Lian dan mencoba untuk menghIbur suaminya dengan kata-kata halus, akan tetapi suaminya bertambah marah dan niembentak.

   "Cukup! Aku sudah cukup sabar sehingga terasa hendak muntah darah melihat lagak mereka, lagak perempuan rendah itu dan Kakaknya yang keparat!"

   "Hihh, dia kan mantumu sendiri."

   Kata isterinya.

   "Tidak peduli! Mereka semua harus pergi dari sini! Pergi dari rumahku!"

   Saking marahnya Song-Kauwsu tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan dia menjatuhkan diri di atas kursi dan tidak bergerak, hanya berdiam bagaikan patung sambil terengah-engah, dadanya turun naik. Bwee Eng tampak berlari-lari keluar dari kamarnya dan sambil menangis tersedu-sedu, wanita muda yang bernasib malang ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ayahnya. Terharulah hati Song-Kauwsu melihat puterinya. Dia hanya dapat mengelus rambut kepala puterinya itu dan berbisik perlahan.

   "Bwee Eng... Anakku kasihan kau..."

   Nyonya Song juga memeluk anaknya dan menangis tersedu-sedu, sedangkan Han Bun hanya berdiri memandang sambil menghela napas panjang berkali-kali. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ternyata Kim Lun dan Kim Lian telah pergi dari gedung itu dengan diam-diam. Kedua Kakak-beradik ini merasa malu sekali dan kini mereka hendak mencari Guru mereka untuk membalas dendam kepada orang-orang yang telah menghina mereka. Membalas dendam kepada Pek Giok, kepada Can-Kauwsu, kepada Han Bun dan kepada Song-Kauwsu!

   Song-Kauwsu, isterinya dan Han Bun terpaksa menghIbur hati Bwee Eng yang menangis terisak-isak di dalam kamarnya sendiri. Tak lama kemudian datanglah surat balasan dari Can-Kauwsu yang menerima tantangan Song Swi Kai, dan mengundang Guru silat she Song itu dan puteranya untuk datang ke rumahnya dan mengadu kepandaian di sana! Ketika Can Gi Sun menerima surat tantangan Song Kwi Kai, dia merasa terkejut dan heran. Tadinya dia mengira bahwa dengan pertempuran terakhir di tas panggung Luitai itu, semua permusuhan telah dibikin habis dengan pihaknya memperoleh kemenangan. Akan tetapi, tak tersangka olehnya bahwa hal itu masih akan berekor. Bahkan kini Song-Kauwsu dalam suratnya menantangnva untuk bertanding kembali karena yang dulu Itu dianggapnya masih sama kuatnya, sedangkan untuk menghadapi Pek Giok, Song-Kauwsu mengajukan puteranya sendiri!

   "Sekarang baiklah kita memutuskan dengan tenaga sendiri dan tenaga anak kita, jangan menggunakan tenaga rang luar!"

   Demikian kalimat penutup surat tantangan Song-Kauwsu. Tantangan ini diterima oleh Can-Kauwsu dengan hati murung dan tidak gembira, Akan tetapi ketika Pek Giok membaca surat itu ia tersenyum.

   "Biarlah mereka datang, Ayah. Dan kali ini kita benar-benar akan menundukkan mereka agar lain kali jangan mereka berani berlagak lagi dan mencari kerIbutan!"

   Maka dIbuatnyalah surat balasan oleh Can-Kauwsu yang menetapkan hari itu juga agar pertandingan dilangsungkan di Lian-Bu-Thia dalam rumahnya! Setelah Kim Lun dan Kim Lian pergi. Han Bun lalu bertanya secara terus terang kepada Ayahnya tentang permusuhannya dengan Can-Kauwsu. Ayahnya juga bicara terus terang, menceritakan tentang semua peristiwa yang terjadi dengan sejelasnya, sama sekali tidak menutupi kesalahan-kesalahan Kim Lian. Dia menceritakan betapa permusuhan ini menjadi semakin besar dan hebat ketika Kim Lian mengadakan hubungan! yang tidak tahu malu dengan Ma Ek, murid Can-Kauwsu dan betapa kemudian Kim Lian bertempur dan mengalahkan Can-Kauwsu. Mendengar cerita ini, kemarahan Han Bun terhadap Can-Kauwsu dan puterinya berkurang.

   "Pantas saja mereka merasa sakit hati sekali!"

   Katanya.

   "Siapa orangnya yang tidak merasa sakit hati kalau dihina seperti Itu oleh Kim Lian? Terus terang saja, Ayah, tindakan puteri Can-Kauwsu telah menghukum Kim Lun dan Kim Lian tanpa membunuh mereka itu tak dapat dianggap terlalu kejam."

   Ayahnya menghela napas panjang,

   "Memang, Kim Lun dan Kim Lian sudah pantas diberi hajaran. Akan tetapi kalau tidak mengingat bahwa Kim Lun telah menjadi mantuku, dan tidak mengingat bahwa kepandaian mereka lebih tinggi daripada kepandaianku, ingin sekali memberi hajaran kepada mereka, bahkan mungkin lebih hebat daripada yang dilakukan oleh puteri Can-Kauwsu itu. Akan tetapi harus kau ingat bahwa mereka berdua itu pada waktu diadakan pIbu merupakan pembela-pembelaku, maka jatuhnya kedua orang itu juga mendatangkan malu dan menjatuhkan namaku. Akan tetapi sudahlah, sekarang kita jangan memikirkan mereka lagi. Kita menghadapi Can-Kauwsu dengan sikap sebagai seorang gagah yang mempertahankan nama dan kehormatan. Kalau kita menang, maka kemenangan ini adalah sah, dan kalau kita kalah, sudahlah, aku akan mengundurkan diri saja dan pindah ke kota lain."

   Han Bun tidak dapat membantah kata-kata Ayahnya ini. Demikianlah, setelah mereka bersiap-siap dan menerima pesan dari nyonya Song agar mereka berdua jangan sampai memperdalam permusuhan, kedua Ayah dan anak ini berangkat menuju ke rumah Can-Kauwsu. Kedatangan Song-Kauwsu dan Song Han Bun disambut oleh Gu Ma Ek dan pemuda ini dengan sopan lalu memberi hormat kepada mereka lalu berkata.

   "Selamat datang, Song-Kauwsu. Kedatangan Jiwi (Tuan Berdua) telah ditunggu oleh Suhu dan Jiwi dipersilakan langsung saja menuju ke Lian-Bu-Thia."

   Song-Kauwsu heran sekali melihat Gu Ma Ek telah berada di situ pula, dan Han Bun merasa terpukul oleh sikap yang sopan dari pemuda ini. Dia melangkahkan kaki melalui ambang pintu rumah Can-Kauwsu dengan hati tidak enak, karena merasa seakan-akan dia dan Ayahnya datang untuk mencari kerIbutan. Akan tetapi dia menekan perasaannya dengan pikiran bahwa mereka datang secara laki-laki yang hendak menjunjung tinggi nama dan kehormatan mereka sebagai seorang, gagah. Can-Kauwsu telah berkumpul dengan Pek Giok, Lui Hong, Lui Siong dan murid-muridnya yang lain ketika mereka mendengar akan kedatangan lawan. Semua murid di bawah pimpinan Lui Siong telah mendapat pesan keras sekali agar supaya jangan ikut campur dalam pertandingan pIbu, jangan mengeluarkan suara-suara mengejek dan diharuskan duduk dengan anteng dan sopan.

   Bahkan Lui Hong telah dipesan agar jangan ikut campur seandainya nanti Can-Kauwsu dan Pek Giok terdesak atau kalah. Mereka akan menghadapi musuh besar ini dengan cara yang gagah pula. Can-Kauwsu dan Pek Giok bangkit dari tempat duduk mereka dan maju menyambut kedatangan Song-Kauwsu. Can-Kauwsu dan Song-Kauwsu saling menjura memberi hormat setelah mereka saling berhadapan, akan tetapi bukan main heran mereka ketika mereka melihat betapa Han Bun dan Pek Giok sama sekali tidak saling menjura melainkan hanya berdiri bagaikan patung. Ketika kedua orang Guru silat itu memandang kepada anak masing-masing mereka hampir berseru kaget karena mereka melihat betapa dua orang muda itu berdiri saling pandang dengan mata terbelalak, mulut ternganga, dan muka pucat.

   "Kau...??"

   "Kau...???"

   Dua kali ucapan ini keluar hampir berbareng dari mulut Pek Giok dan Han Bun.

   "Kau... Ikan Emas Bermata Bintang... engkaukah puteri Can-Kauwsu...?"

   "Kau... kau putera Song-Kauwsu...??"

   Tentu saja semua orang juga merasa terheran-heran mendengar ucapan-ucapan yang sama sekali tidak mereka mengerti ini, bahkan Song-Kauwsu dan Can-Kauwsu saling pandang dengan bingung. Akan tetapi biarpun pertemuan dengan pemuda yang selama ini selalu diingatnya itu merupakan pukulan yang hebat dan menggetarkan hatinya, Pek Giok yang keras hati dapat segera menenangkan hatinya lebih dulu daripada Han Bun yang hanya berdiri pucat dengan bibir gemetar. Gadis itu tiba-tiba memandang dengan sinar mata berapi dan sekali tangannya bergerak, ia telah mencabut keluar pedangnya yang bersinar hijau, yaitu Cheng-liong-kiam.

   "Bagus! Marilah kita selesaikan permusuhan ini dengan cara gagah. Cabutlah pedangmu!"

   Ia menantang. Akan tetapi Han Bu masih saja berdiri pucat dan tidak bergerak sama sekali.

   Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Han Bu, engkau kenapakah? Sudah kenalkah engkau dengan Nona ini?"

   Tanya Song Swi Kai kepada puteranya yang masih berdiri tak bergerak bagaikan patung. Pek Giok melompat ke tengah ruangan Lian-Bu-Thia itu dan menantang.

   "Engkau datang hendak membalaskan Kim Lun manusia jahanam yang kupotong tangannya? Hendak membalaskan sakit hati Kim Lian Si Perempuan Pelacur yang telah kulukai mukanya? Boleh, boleh! Majulah dan mari kita menentukan siapa yang Iebih unggul! Cabutlah pedangmu kalau engkau memang laki-laki gagah!"

   Han Bun masih belum dapat menjawab atau bergerak. Dia merasa mulutnya kering dan napasnya memburu. Tak pernah disangkanya bahwa puteri musuh Ayahnya adalah gadis baju hijau yang selama ini telah menjatuhkan hatinya, gadis yang telah menawan hatinya dan yang tak pernah dilupakannya sesaat pun. Dia menjadi bingung, terharu, dan sedih.

   "Han Bun!"

   Tiba-tiba dia mendengar Ayahnya membentak nyaring.

   "Tulikah telingamu? Tidak dengarkah engkau ditantang orang? Majulah dan cabutlah pedangmu!"

   Bagaimana dia dapat mencabut pedang dan melawan Pek Giok sebagai musuh? Han Bun mengeluh. Dia memang ingin sekali mencoba ilmu pedang gadis itu, akan tetapi tidak sebagai musuh.

   "Ayah..."

   Katanya lambat dan lirih.

   "Mengapa aku harus bermusuhan dengannya...? Ayah, marilah kita pulang saja dan habiskan urusan ini... aku... aku tidak dapat mencabut pedangku terhadap Ikan Emas"

   "Kau gila...???"

   Song-Kauwsu memotong.

   "Takutkah engkau? Baik, kalau engkau takut, biar aku sendiri yang mengadu nyawa!"

   Guru silat tua ini lalu mencabut sepasang tombak cagak dari pinggangnya dan melompat ke tengah lapangan untuk menghadapi Pek Giok.

   "Ayah, jangan...!"

   Han Bun cepat bergerak memegang kedua tangan Ayahnya. Ketika pemuda itu bertemu pandang dengan Ayahnya, dia terkejut sekali melihat betapa air mata menitik keluar dari mata Ayahnya. Tiba-tiba dia sadar dan ingat betapa hebatnya dia telah melukai perasaan Ayahnya. Ayahnya sengaja menantang Can-Kauwsu dan mengandalkan bantuannya, dan kini ternyata dia yang dibanggakan Ayahnya itu seolah merasa takut kepada lawan!

   "Pengecut! Kalau kau takut, pulanglah kepada Ibumu, biar aku sendiri yang menentukan, menang atau menjadi mayat di sini!"

   "Ayah, ampunkan aku! Baik, aku akan melawannya, Ayah."

   Sambil berkata demikian, Han Bun mencabut pedangnya dan dia melompat menghadapi Pek Giok.

   "Seng-Gan Kim-Hi (Ikan Emas Bermata Bintang), kalau engkau memang tega, biarlah aku mati di dalam tanganmu!"

   

Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono

Cari Blog Ini